Anda di halaman 1dari 13

Makalah

KEPRIBADIAN PENDIDIK MUSLIM


DALAM PERSPEKTIF FILSAFAT PENDIDIKAN ISLAM

Disusun oleh:
Kamalia (4002193007)
Elfidayati (4002193024)

Semester/Prodi: I/PEDI A

Dosen pembimbing:
Prof. Dr. Al Rasyidin, M.Ag

PASCASARJANA
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUMATERA UTARA
MEDAN
2019
PENDAHULUAN
Pada hakikatnya, pendidikan Islam adalah suatu proses yang berlangsung
secara kontinyu dan berkesinambungan dalam kehidupan manusia dan berlangsung
sepanjang hayat. Tugas dan fungsi pendidikan memiliki sasaran pada peserta didik
yang senantiasa tumbuh dan berkembang secara dinamis, mulai dari kandungan
sampai akhir hayatnya dan keberhasilan pendidikan tidak lepas dari aspek pendidik.
Pendidik pada hakekatnya adalah orang yang telah mendapatkan amanat dan
mempunyai tanggung jawab dunia akherat dalam mendidik, membimbing,
mengarahkan dan mengantarkan peserta didik ke gerbang kesuksesan baik di dunia
maupun di akherat. Oleh karena itu untuk menjadi pendidik yang berkualitas dan
profesional harus memiliki kriteria dan persyaratan tertentu yang harus dipenuhi
dalam rangka pencapaian tujuan hidup dan juga sifat-sifat yang menghiasi
pribadinya dalam menjalankan tugas dan tanggungjawab sebagai pendidik dalam
pandangan Islam. Pendidik yang baik adalah pendidik yang memperhatikan tugas
dan tanggung jawabnya terhadap peserta didik, yang dilandasi iman dan takwa
kepada Allah Swt. dan juga mampu mengembangkan potensi yang ada baik lahir
maupun batin (jasmani, psikis, maupun rohani).
Dengan demikian, pendidik bertanggungjawab memenuhi kebutuhan
peserta didik, baik spiritual, intelektual, moral, estetika maupun kebutuhan fisik
peserta didik dalam arti pendidik bertanggungjawab untuk memenuhi kebutuhan
jasmani dan rohani mereka.

PEMBAHASAN
A. Kepribadian Pendidik Muslim dalam Perspektif Filsafat Pendidikan
Islam
a. Hakekat Kepribadian
Kepribadian adalah adalah sifat-sifat (traits) atau ciri-ciri khas
(characteristics) yang dimiliki seseorang dan ditampilkannya secara konsisten
dalam prilaku kehidupan kesehariannya.1 Menurut pengertian ini, setidaknya

1
Al Rasyidin, Falsafah Pendidikan Islami; Membangun Kerangka Ontologi, Epistimologi,
dan Aksiologi Praktik Pendidikan Islami (Medan: Citapustaka Media Perintis, 2017), h. 81.
ada 2 (dua) komponen utama kepribadian, yaitu: (1) sifat-sifat, dan (2) ciri-ciri
khas yang ada pada diri individu. Sifat dan ciri-ciri khas tersebut ditampilkan
individu secara konsisten dalam interaksinya dengan orang lain atau
masyarakat. Karenanya, dari sisi ini, perilaku yang konsisten ditampilkan
adalah wujud nyata dari kepribadian seseorang.
Al-Nabhani menjelaskan bahwa qiwam syakhshiyah, prilaku tersebut
muncul atau ditampilkan seseorang disebabkan oleh 2 (dua) unsur utama, di
antaranya: (1) persepsi atau pemahaman (mafhum) yang ada pada seseorang
sebagai hasil proses berpikirnya terhadap suatu fakta. (2) kecenderungan
(muyul) yang terdapat dalam jiwa seseorang terhadap suatu fakta. 2 Unsur
pertama berhubungan dengan aktivitas intelektual atau penalaran terhadap
fakta dan unsur kedua berkaitan dengan sikap jiwa manusia, yaitu cara
seseorang berbuat untuk memuaskan segala kebutuhan dan keinginan yang
dicirikan oleh adanya kecenderungan-kecenderungan terhadap sesuatu.
Karenanya, berdasarkan hal itu, kepribadian dapat didefinisikan sebagai cara
berpikir manusia terhadap fakta dan kecenderungannya terhadap fakta
tersebut.3
Demikianlah bila dicermati dalam konteks ini, maka akal pikiran ('aql),
hati (qalb) dan jiwa (nafs) adalah unsur dasar pembentukan kepribadian
manusia atau setidaknya fakultas mental yang mempengaruhi kepribadian
manusia. Sebab, pada dasarnya seluruh perilaku manusia merupakan wujud
nyata dari dorongan, keinginan atau kecenderungan-kecenderungan pikiran,
hati dan jiwanya.
Dalam perspektif Islam, pemahaman yang benar tentang makna
kepribadian Muslim harus mengacu kepada konsepsi Islam tentang manusia.
Dalam Alquran, dijelaskan bahwa manusia diciptakan dari unsur-unsur yang
bersifat fisik-materi dan non fisik-non materi. Karenanya, manusia merupakan

2
Lihat Taqiyuddin al-Nabhani, al-Syakhshiyah al-Islamiyah Juz I (Beirut: Dar al-Ummah,
cet. I, 1994)
3
Lihat Muhammad Husain Abdullah, Mafahim islamiyah Juz I (Beirut: Dar al-Bayariq,
cet. I, 1994)
makhluk dwi dimensi. Dimensi fisik-materi manusia adalah al-jism, dan
dimensi non fisik-non materiny adalah al-ruh.4
Dimensi materi manusia (al-jism) memiliki daya fisik atau jasmani, dan
daya gerak. Daya fisik ini dapat berupa mendengar, melihat, merasa, meraba
dan mecium. Sedangkan daya gerak dap berupa kemampuan untuk
menggerakkan tangan, kaki, kepala, dan unsur-unsur jism lainnya. Sementara
itu, dimensi non materi manusia (al-ruh) memiliki daya berfikir atau
kemampuan melakukan penalaran yang disebut al-'aql yang berpusat di kepala,
daya merasa dan memahami yang disebut qalb yang berpusat di dada, dan daya
jiwa yang disebut nafs yang berpusat di perut.5
Al-Attas mengemukakan bahwa dimensi non fisik-non materi (al-ruh)
manusia adalah tempat bagi segala sesuatu yang intelejibel dan dilengkapi
dengan fakultas yang memiliki sebutan berlainan dalam keadaan yang berbeda,
yaitu ruh, nafs, qalb, 'aql. Setiap sebutan memiliki dua makna, yaitu: (1)
merujuk pada aspek-aspek jasadiyah ataupun kebinatangan, dan (2) merujuk
pada aspek keruhanian. Ketika ruh bergelut dengan segala sesuatu yang
berkaitan dengan intelektual dan pemahaman, maka ia disebut "intelek" atau
'aql; ketika mengatur tubuh atau jasmani, ia disebut "jiwa" atau nafs; ketika
sedang mengalamai pencerahan intuisi, ia disbeut dengan "hati" atau qalb; dan
ketika kembali ke dunianya yang abstrak, ia disebut ruh.6
Kualitas suatu perilaku apakah dalam bentuk pemikiran, perasaan atau
perbuatan yang ditampilkan seseorang secara konsisten yang menjadi sifat atau
karakter khasnya sangat bergantung kepada unsur-unsur yang membentuk
kepribadiannya. Ketika al-ruh cenderung, mengikatkan diri, atau terperangkap
oleh materi, maka perilaku yang ditampilkan seseorang adalah pemikiran,
perasaan, dan perbuatan yang rendah. Sebaliknya, jika al-ruh cenderung dan
berorientasi pada naturnya, maka perilaku yang ditampilkan seseorang adalah

4
Al Rasyidin, Falsafah Pendidikan Islami..., h. 82.
5
Harun Nasution, Islam Rasional (Bandung: Mizan, 1995), h. 37.
6
Syed Mohd. Naquib al-Attas, Konsep Pendidikan dalam Islam. Terj. Haidar Bagir
(Bandung: Miza, 1990), h. 5-7. Lihat juga Wan Mohd. Nor Wan Daud, Filsafat dan Praktik
Pendidikan Islam Syed Mohd. Naquib al-Attas (Bandung: Mizan, 2003), h. 94.
pemikiran, perasaan, dan perbuatan yang mulia. Karenanya, pola kepribadian
seseorang ditentukan oleh konsistensi kecenderungan al-ruh nya (muyul) pada
salah satu dari dua karakter. Pertama, adalah natur ilahiyah atau citra
ketuhanan, dan kedua adalah natur material atau citra kemakhlukan.
b. Esensi Pendidik Muslim
Dalam pengertian yang paling umum, pendidik adalah orang yang
tugasnya mendidik. Sedangkan dalam pengertian khusus –perspektif falsafah
pendidikan islami– pendidik adalah orang yang bertugas untuk mengingatkan
dan meneguhkan kembali perjanjian suci (syahadah) yang pernah diikrarkan
manusia di hadapan Tuhannya. Untuk melakukan tugas tersebut, maka
pendidik haruslah seorang yang memiliki al'ilm wa al-adab yang dengan ilmu
dan adab tersebut ia mampu mengantarkan dirinya pada syahadah terhadap
Tuhan, sehingga ia layak untuk mengingatkan dan meneguhkan kembali
perjanjian atau syahadah primordialnya terhadap Allah Swt.7
Dalam Islam, mendidik dipandang sebagai suatu tugas yang sangat
mulia. Karenanya, Islam menempatkan orang-orang yang beriman dan berilmu
pengetahuan lebih tinggi derajatnya bila dibandingkan dengan manusia
lainnya. Mengapa demikian? Karena orang-orang yang beriman dan berilmu
pengetahuan pada dasarnya merupakan penerus tugas-tuga para nabi dan rasul
untuk mendidik umat manusia.
Menurut para ahli pendidikan Islam, secara umum tugas pendidik adalah
mendidik.8 Aktivitas mendidik itu sebahagian dilakukan dalam bentuk
mengajar, melatih, membimbing, mengarahkan, memberi dorongan, memuji,
memberi contoh atau keteladanan yang baik, membiasakan, bahkan memberi
hadiah dan hukuman. Karenanya tugas mendidik bukan hanya sekedar
mengajar, akan tetapi juga memotivasi, menggerakkan, memberi penguatan,
mengklarifikasi, dan memfasilitasi proses pembelajaran, yaitu proses dimana

7
Al Rasyidin, Falsafah Pendidikan Islami..., h.133.
8
Ahmad Tafsir, ilmu Pendidikan dalam Perspektis Islam (Bandung: Remaja Rosdakarya,
1992), h. 78.
peserta didik dibina agar dapat merealisasikan seluruh potensi yang dimilikinya
secara maksimal.9
Dalam Islam, tugas utama yang harus diemban pendidik pada dasarnya
adalah mengenalkan dan meneguhkan kembali perjanjian suci manusia
terhadap Allah Swt. untuk itu seorang pendidik harus berupaya mengantarkan
peserta didiknya ke arah pengenalan kembali syahadah kepada Allah Swt. yang
telah diikrarkan ketika individu manusia berada di alam ruh. Proses pengenalan
itu harus berlanjut pada upaya eduktif untuk meneguhkan syahadah, yakni
konsistensi pengakuan akan ke-Maha Esaan Alla Swt. dalam seluruh sikap,
amal, dan perbuatan sepanjang kehidupan. Dengan demikian, melalui
pendidikan islami, pendidik berupaya mengantarkan peserta didik pada
keimanan dan kedekatan kepada Allah Swt. agar tujuan itu tercapai, maka
pendidik harus berusaha mensucikan diri atau jiwa peserta didiknya; sebab
hanya diri atau jiwa-jiwa yang suci sajalah yang dapat menuju dan dekat
dengan Allah Swt.
An-Nahlawi mengemukakan bahwa selain bertugas mengalihkan
berbagai ilmu pengetahuan serta keterampilan kepada peserta didik, tugas
paling utama yang harus dilakukan pendidik adalah tazkiyah al-nafs, yaitu
mengembangkan, membersihkan, dan mengangkat jiwa peserta didik agar
sampai kepada Penciptanya, menjauhkan dari kejahatan, dan menjaga agar
mereka tetap berada pata fitrahnya.10 Sesungguhnya, tazkiyah al-nafs
merupakan tuga pertama yang dilakukan para nabi dan rasul dalam mendidik
umatnya. Alquran menginformasikan bahwa sebelum menta'lim manusia
dengan al'ilm, sebagai pendidik, para nabi dan rasul terlebih dahulu melakukan
proses pensucian jiwa.11 Pensucian tersebut merupakan pra kondisi untuk
mempermudah proses penyampaian ilmu, penanaman etika atau adab, dan
pembiasaan beribadah serta beramal salih. Karenanya dalam posisinya sebagai

9
Hasan Langgulung, Asas-Asas Pendidikan Islam (Jakarta: Al Husna, 1988), h. 87.
10
Abdurrahman an-Nahlawi, Prinsip-Prinsip dan Metoda Pendidikan Islam dalam
Sekolah, Keluarga dan Masyarakat. Terj. Herry Noer Aly (Bandung: CV Diponegoro, 1992), h.
239.
11
Lihat QS. Al-A'raf/7: 172.
pewaris tugas para nabi, maka pendidik muslim harus meneladani mereka
dalam melaksanakan tugas mendidik umat. Dalam konteks ini, mendidik bukan
hanya mengajar, apalagi sekedar memindahkan pengetahuan kepada peserta
didik. Mendidik adalah suatu aktivitas menyampaikan ilmu pengetahuan ke
dalam diri peserta didik, menanamkan dan menginternalisasikan adab atau
etika ke dalam jiwa dan kepribadian mereka, dan melatih serta membiasakan
mereka melaksanakan ibadah dan berbagai amal kebaikan.12
c. Karakteristik Pendidik Muslim
Perlu diketahui bahwa di dalam Islam, hakikat pendidik itu adalah Allah
Swt. Dia-lah al-'alim yang menta'limkan sebahagian perbendaharaan ilmu-Nya
kepada manusia. Sebagai "pendidik", Allah Swt. memiliki karakteristik yang
tersimpul dalam nama-nama-Nya yang Maha Agung dan Indah, yakni al-asma
al-husna. Sebagai contoh; jika Allah Swt. adalah al-'alim, maka pendidik
muslim haruslah seorang yang memiliki otoritas di bidang pengetahuan yang
akan diajarkannya. Jika Allah Swt. adalah al-khaliq, maka seorang pendidik
muslim haruslah kreatif dan aktif dalam memproduksi ilmu pengetahuan,
mengajarkannya, dan mengamalkannya. Jika Alla Swt, adalah al-Rahman,
maka seorang pendidik muslim haruslah pemurah dan tidak kikir dalam
mengajarkan ilmu kepada peserta didiknya. Jika Allah Swt adalah al-Rahim,
maka seorang pendidik muslim haruslah memiliki jiwa dan sifat kasih sayang
kepada anak didiknya. Dengan kasih sayang itulah proses interaksi edukatif
dilakukannya. Jika Allah Swt adalah al-Ghaffar, maka seorang pendidik
muslim haruslah bersifat lapang dada, bersedia dan mampu memaafkan
kesalahan peserta didik serta memiliki tekad yang kuat untuk menghindarkan
mereka dari kekeliruan atau kesalahan, sembari memperbaiki mereka yang
terlanjur salah agar tidak melakukan hal yang sama di kemudian hari.13
Demikianlah seterusnya, seluruh asma al-husna harus dan wajib diteladani
oleh pendidik muslim dan menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari sifat,
watak, karakter, dan kepribadian mereka. Contoh terbaik dari seorang pendidik

12
Al Rasyidin, Falsafah Pendidikan Islami..., h. 143.
13
Ibid., h. 144-145.
yang mampu meneladani asma al-husna tersebut dalam diri dan
kepribadiannya adalah Rasulullah Saw. kemudian para ahl dzikr dan 'ulama.
Oleh karena itu, bagi para pendidik lainnya, baik orang tua, guru maupun
dosen, pribadi-pribadi tersebut merupakan contoh yang harus diikut dan
diteladani.
Dalam tataran praktikal, menurut an-Nahlawi, seorang pendidik muslim
haruslah sosok yang memiliki karakteristik sebagai berikut:
1. Memiliki watak dan sifat rabbaniyah yang terwujud dalam tujuan,
tingkah laku, dan pola pikirnya. Jika pendidik telah memiliki sifat
rabbani, maka dalam semua aktivitas edukasi, ia akan berupaya
menjadikan para peserta didiknya menjadi insan rabbani pula.
2. Bersifat ikhlas. Dengan profesi sebagai pendidik dan dengan keluasan
ilmunya, ia bertugas hanya untuk mencari ketidhaan Allah Swt. dan
menegakkan kebenaran.
3. Bersifat sabar dalam mengajarkan berbagai pengetahuan kepada
peserta didik. Sebab, mendidik itu memerlukan pelatihan dan
pengulangan, variasi metode, dan melatih jiwa peserta didik dalam
memikul beban. Aktivitas mendidik harus dapat melahirkan hasrat
dalam diri peserta didik untuk menyerap pengajaran ke dalam jiwa
dan menerapkan atau mengamalkannya dalam perbuatan.
4. Jujur dalam menyampaikan apa yang diketahuainya. Tanda kejujuran
itu adalah menerapkan terlebih dahulu apa-apa yang akan diajarkan
kepada peserta didik ke dalam dirinya sendiri. Sebab, jika ilmu dan
amal sejalan, maka peserta didik akan lebih mudah meniru dan
mengikuti dalam setiap perkataan dan perbuatan.
5. Senantiasa membekali diri dengan ilmu dan kesediaan diri untuk terus
menerus mengkajinya. Sebab Alla Swt. memerintahkan kepada para
rasul dan orang-orang rabbani untuk senantiasa belajar.
6. Mampu menggunakan metode mengajar secara bervariasi yang sesuai
dengan prinsip-prinsip penentuan metode mmengajar yang selaras
dengan materi pengajaran dan situasi pembelajaran.
7. Mampu mengelola siswa, tegas dalam bertindak, dan berperilaku
proposional.
8. Mengetahui kehidupan psikis para peserta didik sesuai dengan masa
perkembangannya sehingga ia dapat memperlakukan mereka sesuai
dengan kondisi atau keberadaanya.
9. Tanggap terhadap berbagai konsisi dan perkembangan dunia yang
mempengaruhi jiwa, keyakinan, dan pola berpikir peserta didik.
10. Bersikap adil terhadap para peserta didik.14
Menurut Athiyah al-Abrasyi, memberikan batasan tentang karakteristik
pendidik, di antaranya:
1. Seorang pendidik hendaknya memiliki sifat zuhud, yaitu
melaksanakan tugasnya bukan semata-mata materi, akan tetapi lebih
dari itu adalah karena mencari keridhaan Allah Swt.
2. Seorang pendidik hendaknya bersih fisiknya dari segala macam
kotoran dan bersih jiwanya dari segala macam sifat tercela.
3. Seorang pendidik hendaknya ikhlas dan tidak ria dalam melaksanakan
tugasnya.
4. Seorang pendidik hendaknya bersikap pemaaf dan memaafkan
kesalahan orang lain (terutama terhadap peserta didiknya), sabar dan
sanggup menahan amarah, senantiasa membuka diri dan menjaga
kehormatannya.
5. Seorang pendidik hendaknya mampu mencintai peserta didiknya
sebagaimana ia mencintai anaknya sendiri (bersifat keibuan atau
kebapakan).
6. Seorang pendidik hendaknya mengetahui karakter peserta didiknya,
seperti pembawaan, kebiasaan, perasaan, dan berbagai potensi yang
dimilikinya.

14
Abdurrahman an-Nahlawi, Prinsip-Prinsip dan Metoda Pendidikan.., h. 239-246.
7. Seorang pendidik hendaknya menguasai pelajaran yang diajarkannya
dengan baik dan profesional.15
Dari batasan kriteria karakteristik pendidik di atas, terlihat jelas bahwa
menjadi seorang pendidik tidak mudah. Ia menghendaki persyaratan tertentu
yang perlu dipenuhi sebelum profesi tersebut ditekuninya. Oleh karena itu,
tidak heran bila Islam meletakkannya pada posisi sangat mulia dan terhormat.
B. Analisis Kepribadian Pendidik Muslim dalam Perspektif Filsafat
Pendidikan Islam
Seperti yang kita ketahui, banyak fakta adanya kasus-kasus tentang
rendahnya kepribadian pendidik. Hal tersebut dapat terlihat dari tindakan
kekerasan seorang pendidik. Hal ini juga dapat dilihat dari berbagai tindakan
kekerasan yang dilakukan oleh sejumlah pendidik di beberapa lembaga
pendidikan, baik berupa kekerasan fisik, maupun kekerasan psikis. Selain itu,
marak pula kasus tentang tindakan pelecehan seksual yang dilakukan pendidik
kepada peserta didiknya. Hal ini menunjukkan bahwa memang masig
rendahnya kompetensi kepribadian tenaga pendidik di Indonesia, walaupun ada
juga pendidik yang dapat digunakan sebagai suri tauladan bagi peserta
didiknya karena kepribadiannya yang baik.
Berbagai penjelasan yang telah dikemukakan di atas, ˗mengenai hakekat
kepribadian pendidik muslim serta karakteristik yang harus dimiliki pendidik
muslim˗ bagi pendidik muslim khususnya agar dapat menerapkan dalam
kehidupan. Tidak sedikit kasus-kasus yang telah mengaburkan fungsi pendidik
yaitu guru sebagai sosok panutan maupun uswah khasanah di masyarakat.
Beberapa kasus di antaranya adalah kasus seorang guru Sekolah Dasar di
Kediri, Jawa Timur yang menampar siswinya hingga hidungnya berdarah
lantaran tidak mengerjakan PR sekolah,16 ada juga guru SMK di Purwokerto
menampar 9 muridnya dikarenakan telat masuk kelas,17 kasus seorang guru

15
Muhammad 'Athiyah Al-Abrasyi, Dasar-dasar Pokok Pendidikan Islam. Terj. Bustani
A. Gani dan Djohar Bahry (Jakarta: Bulan Bintang, 1989), h. 137-141.
16
Lihat kaltim.tribunnews.com
17
Lihat liputan6.com
SMPN di Yogyakarta yang menendang muridnya dikarenakan terlambat
datang ke sekolah.18
Beberapa fakta di atas menunjukkan bahwa kepribadian pendidik (guru)
masih menjadi permasalahan dalam pendidikan khususnya di Indonesia.
Pendidik yang seharusnya menampilkan kepribadian yang baik, justru
melakukan tindakan yang menyalahi kepribadian yang seharusnya dimilikinya,
seperti kekerasan, ketidak jujuran, dan tindakan amoral lainnya yang dilakukan
oleh pendidik merupakan permasalahan kepribadian yang perlu mendapat
perhatian dan harus diperbaiki.
Dari beberapa kasus ini pula, tentunya belum dipahami benar apa itu
kepribadian pendidik muslim. Sebagai pendidik muslim haruslah dapat
meneladani karakter ataupun sifat-sifat Allah Swt. yaitu asma al-husna.
Seorang pendidik muslim haruslah memiliki sifat penyayang, jiwa yang lembut
dan penuh kasih terhadap anak didiknya, sebagaimana hal tersebut dapat
diteladani dari sifat Allah Swt. yaitu al-Rahim. Termasuk juga seorang
pendidik muslim haruslah bersifat lapang dada, bersedia dan mampu
memaafkan kesalahan peserta didik serta memiliki tekad yang kuat untuk
menghindarkan mereka dari kekeliruan atau kesalahan, sembari memperbaiki
mereka yang terlanjur salah agar tidak melakukan hal yang sama di kemudian
hari, hal ini diteladani dari sifat Allaw Swt. yaitu al-Ghaffar.
Pendidikan merupakan upaya untuk mencerdaskan anak bangsa.
Pendidikan tidak lepas dari murid atau peserta didik. Murid merupakan subjek
didik yang harus diakui keberadaanya. Berbagai karakter peserta didik dan
potensi dalam dirinya tidak boleh diabaikan begitu saja. Tugas utama pendidik
adalah mendidik dan mengembangkan berbagai potensi tersebut.
Apabila ada pendidik (guru) yang sikap dan prilakunya menyimpang
karena dipengaruhi beberapa faktor. Pertama, adanya malpraktek; yaitu
melakukan praktek yang salah atau miskonsep. Pendidik salah dalam
menerapkan hukuman pada peserta didik. Apapun alasannya tindakan

18
Lihat merdeka.com
kekerasan maupun pencabulan pendidik (guru) terhadap peserta didik (murid)
merupakan suatu pelanggaran. Kedua, kurang siapnya pendidik maupun
peserta didik secara fisik, mental, maupun emosional. Kesiapan fisik, mental,
dan emosional pendidik maupun peserta didik sangat diperlukan. Jika kedua
belah pihak siap secara fisik, mental, dan emosional, proses belajar mengajar
akan lancar, interaksi siswa dan guru pun akan terjalin harmonis layaknya
orang tua dengan anaknya. Ketiga, kurangnya penanaman budi pekerti di
sekolah. Pelajaran budi pekerti sekarang ini sudah sangat minim sekali. Kalau
pun ada, sifatnya hanya sebagai pelengkap, lantaran diintegrasikan dengan
berbagai mata pelajaran yang ada. Namun realitas di lapangan pelajaran yang
didapat peserta didik (murid) kebanyakan hanya dijejali dengan berbagai
materi, sehingga nilai-nilai budi pekerti yang harus diajarkan justru sering
terlupakan.
Selain dari ketiga faktor di atas, juga dipengaruhi oleh tipe-tipe kejiwaan.
Fungsi jiwa secara garis besar ada 3 (tiga) yaitu pikiran, kemauan, dan
perasaan. Pikiran berkedudukan di kepala, kemauan berkedudukan di dalam
dada, dan perasaan berkedudukan di dalam tubuh bagian bawah. Sebagaimana
Al Rasyidin mengungkapkan bahwa akal pikiran ('aql), hati (qalb) dan jiwa
(nafs) adalah unsur dasar pembentukan kepribadian manusia atau setidaknya
fakultas mental yang mempengaruhi kepribadian manusia. Sebab, pada
dasarnya seluruh perilaku manusia merupakan wujud nyata dari dorongan,
keinginan atau kecenderungan-kecenderungan pikiran, hati dan jiwanya.19
Dengan demikian, apabila pikiran, kemauan, perasaan tidak sinkron akan
menimbulkan permasalahan. Perasaan tidak dapat mengendalikan hawa nafsu,
akibatnya kemauan tidak terkendali dan pikiran tidak dapat berpikir bijak. Agar
pendidikan berjalan dengan baik, paling tidak pendidik harus memahami
faktor-faktor tersebut. Kemudian mampu mengantisipasinya dengan baik.
Sehingga kesalahan-kesalahan pendidik dalam sikap dan perilaku dapat
dihindari.

19
Al Rasyidin, Falsafah Pendidikan Islami.., h. 82.
KESIMPULAN
Dari beberapa pemaparan di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa
kepribadian pendidik muslim dalam perspektif filsafat pendidikan Islam harus
mengacu kepada konsepsi Islam tentang manusia. Dalam artian manusia
merupakan makhluk dwi dimensi yaitu dimensi al-jism dan al-ruh. Sebagai unsur
dasar pembentukan kepribadian pendidik muslim dapat dilihat bagan dibawah ini:

mahfum Cara berfikir


terhadap fakta
Manusia Kepribadian
Manusia
Kecenderungan jiwa
muyul
Terhadap fakta

DAFTAR PUSTAKA
Abdullah, Muhammad Husain, Mafahim islamiyah Juz I. Beirut: Dar al-Bayariq,
cet. I, 1994.
Al Rasyidin, Falsafah Pendidikan Islami; Membangun Kerangka Ontologi,
Epistimologi, dan Aksiologi Praktik Pendidikan Islami. Medan: Citapustaka
Media Perintis, 2017.
Al-Abrasyi, Muhammad 'Athiyah. Dasar-dasar Pokok Pendidikan Islam. Jakarta:
Bulan Bintang, 1989.
Al-Attas, Syed Mohd. Naquib. Konsep Pendidikan dalam Islam. Terj. Haidar Bagir
Bandung: Miza, 1990.
Al-Nabhani, Taqiyuddin, al-Syakhshiyah al-Islamiyah Juz I. Beirut: Dar al-
Ummah, cet. I, 1994.
An-Nahlawi, Abdurrahman. Prinsip-Prinsip dan Metoda Pendidikan Islam dalam
Sekolah, Keluarga dan Masyarakat. Bandung: CV Diponegoro, 1992.
Langgulung, Hasan. Asas-Asas Pendidikan Islam. Jakarta: Al Husna, 1988.
Nasution, Harun. Islam Rasional. Bandung: Mizan, 1995.
Tafsir, Ahmad. Ilmu Pendidikan dalam Perspektis Islam. Bandung: Remaja
Rosdakarya, 1992.
Wan Daud, Wan Mohd. Nor. Filsafat dan Praktik Pendidikan Islam Syed Mohd.
Naquib al-Attas. Bandung: Mizan, 2003.

Anda mungkin juga menyukai