Anda di halaman 1dari 28

BAB II

KAJIAN TEORITIK

A. Landasan Teoritik

1. Pengertian Pendidikan Akhlak

a. Pengertian Pendidikan

Keberagaman manusia sebagai subjek yang memandang

pendidikan sebagai objeknya akan menghasilkan pendefinisian

terhadap pendidikan secara beragam juga. Keberagaman definisi

pendidikan tersebut tidak lepas dari sumber pengetahuan yang

dipakainya. Manusia yang mendefinisikan pendidikan dengan

bersumber pada pengetahuan indrawinya dan rasionalisasinya saja,

akan menghasilkan definisi pendidikan yang cenderung materialis.

Sedangkan manusia yang mendefinisikan pendidikan dengan

pijakan Al-Qur’an dan hadits, pengalaman indrawi dan hasil

rasionalisasinya akan mendefinisikan pendidikan sesuai dengan

nilai moral Al-Qur’an dan hadits yang humanis.1

Dalam kamus KBBI, kata pendidikan berasal dari kata

didik dan mendidik. Secara etimologi, mendidik berarti memelihara

dan memberi latihan (ajaran, tuntunan, dan pimpinan) mengenai

akhlak dan kecerdasan pikiran. Sedangkan pendidikan, secara

1
Novan dan Barnawi, Ilmu Pendidikan Islam, (Jogjakarta: Ar-Ruzz Media, 2012), h. 21-
22
etimologi adalah proses perubahan sikap dan tingkah laku

seseorang melalui cara perbuatan mendidik.

Secara bahasa, pendidikan berasal dari kata pedagogi yang

berarti pendidikan dan kata pedagogia yang berarti ilmu

pendidikan, yang berasal dari bahasa Yunani. Pedagogia terdiri

atas dua kata, yaitu paedos dan agoge yang berarti saya

membimbing, memimpin anak. Dari pengertian tersebut

pendidikan dapat diartikan sebagai kegiatan seseorang dalam

membimbing dan memimpin anak menuju pertumbuhan dan

perkembangan secara optimal agar dapat berdiri sendiri dan

bertanggung jawab.

Dalam bahasa Inggris Pendidikan disebut Education yang

berasal dari kata educare. Istilah educare berarti menarik keluar

(drawing out) atau memunculkan potensi anak atau

mengembangkan potensi anak didik. Karena tiap anak memiliki

potensi berbeda satu dengan yang lain, itu sebabnya mereka

disebut subjek didik bukan objek didik. Jadi, jelas tugas pendidik

bukan memberi (mentransfer) tetapi membimbing dan melatih.

Peserta didik bukan ember kosong.2

Istilah pendidikan Islam dalam Konferensi Dunia Tentang

Pendidikan Islam di Jeddah tahun 1979 merekomendasikan tiga

term, yaitu at-tarbiyah, at-ta’lim, dan at-ta’dib. Ketiga term ini

dengan panjang lebar dibahas oleh M. Naquib Al-Attas.


2
Nur’aeni dkk., Pengantar Pendidikan, Jakarta: UNINDRA PRESS, 2012.
Singkatnya, term at-ta’dib menurut Naquib adalah yang paling

cocok untuk menyebut pendidikan Islam. Term ini menurutnya

menghargai ilmu manusia sebagai peserta didik, tidak seperti at-

tarbiyah yang mengedepankan kasih sayang, sehingga cenderung

toleran dan tidak profesional. Sementara at-ta’alim menurut

Naquib tidak saja digunakan untuk pendidikan manusia, juga

digunakan untuk mendidik hewan. Untuk itu at-ta’lim tidak khas

untuk pendidikan manusia.3

Di dalam Al-Qur’an tidak ada kata yang asalnya dari “a-da-

ba”. Tetapi yang diusung Naquib al-Attas dasar dari ta’dib adalah

sebuah hadits yang menurut Nurcholis Majid kualitasnya dho’if

‫َأح َس َن تَْأ ِديْيِب‬


ْ َ‫ََّأدبَيِن َريِّب ف‬
“Tuhanku telah mendidikku, maka ia sempurnakan
pendidikkan ku” (H.R. Al-Aksary dari Ali ra.)

Istilah adab dikenal dalam peradaban Arab sejak pra Islam,

terkadang diartikan dengan etika. Ta’dib bisa disebut proses

menjadikan seseorang beradab dalam pengertian berakhlak mulia.

Jika dipahami adab sinonim dari akhlak dan tujuan akhir

pendidikan adalah akhlak, maka tidak sepenuhnya salah, walaupun

tetap tidak juga mencakup unsur-unsur pendidikan lainnya seperti

pendidikan akal.

Kata adab juga terkadang diterjemahkan menjadi moral.

Amin Rais contohnya menerjemahkan adab al-‘ilm dengan moral


3
Sultoni Sehat, Filsafat Pendidikan Akhlak, Yogyakarta: Deepublish, 2016. h. 2-3
keilmuan. Dalam bahasa Inggris, moral diartikan, yang

memperhatikan prinsip-prinsip benar-salah. Pengertian ini dalam

filsafat sama saja dengan logika. Memang hal-hal yang benar itu

akan dinilai baik, sementara yang salah itu menjadi buruk. Adapun

dalam bahasa Indonesia, moral itu sama dengan akhlak dan juga

budi pekerti.4

Dari berbagai Istilah tentang pendidikan, namun pada

hakekatnya pendidikan merupakan suatu kegiatan secara sadar dan

disengaja, penuh tanggung jawab yang dilakukan oleh orang

dewasa kepada anak sehingga timbul interaksai dari keduanya agar

anak tersebut mencapai kedewasaan.

Tentang pengertian pendidikan lebih jauh dapat kita

cermati beberapa batasan yang diajukan banyak pakar. Antara lain:

1) Pendidikan adalah proses transformasi budaya. Juga disebut

bahwa pendidikan adalah usaha membudayakan anak manusia.

Karena mendidik sama artinya dengan melestarikan budaya,

menularkan budaya, mengembangkan budaya dan mengubah

budaya.

2) Pendidikan adalah usaha mengembangkan dan memfungsikan

seluruh potensi jasmani-rohani manusia.

3) Pendidikan adalah penyiapan tenaga kerja.

4) Pendidikan sebagai proses penyiapan warga negara yang baik,

yakni warga negara yang tahu hak dan kewajibannya.


4
Sultoni Sehat, Filsafat Pendidikan Akhlak, Yogyakarta: Deepublish, 2016. h. 17-18
5) Pendidikan adalah proses pembentukan pribadi atau karakter

anak. Karena mendidik adalah upaya mendewasakan anak.

Orang dewasa secara moral telah matang atau telah memiliki

kepribadian terpuji.

6) Jika telah mencapai kedewasaan maka pendidikan dilakukan

sendiri. Bagi orang dewasa, pendidikan tidak lagi menjadi

tanggung jawab pendidik tetapi menjadi tanggung jawab diri

sendiri.

Dan definisi pendidikan minimal memuat tiga unsur yang

mendukung pelaksanaan keberagaman seseorang dalam wilayah

hablumminallah dan hablumminannas, yaitu (1) pendidikan

merupakan usaha berupa bimbingan bagi pengembangan potensi

jasmaniah dan ruhaniah secara seimbang, (2) usaha tersebut

didasarkan atas ajaran Islam yang bersumber dari Al-Qur’an,

Hadits, dan ijtihad, (3) usaha tersebut diarahkan supaya

membentuk dan mencapai kepribadian Muslim, yaitu kepribadian

yang di dalamnya tertanam nilai-nilai Islam sehingga segala

perilakunya sesuai dengan nilai-nilai Islam. 5

Sebagai makhluk Tuhan, manusia idealnya melakukan

internalisasi secara kontinu (istiqomah) terhadap nilai-nilai ilahiah

agar mencapai derajat insan kamil (manusia paripurna) sesuai

dengan kehendak Allah Swt. Internalisasi tersebut dilakukan

5
Novan dan Barnawi, Ilmu Pendidikan Islam, (Jogjakarta: Ar-Ruzz Media, 2012), h.23-
24
melalui pendidikan dimana pendidikan dalam konteks ini terkait

dengan gerak dinamis, positif, dan kontinu bagi setiap individu

menuju idealitas kehidupan manusia agar mendapat nilai terpuji.

Aktivitas pendidikan tersebut meliputi pengembangan kecerdasan

pikir (rasio, kognitif), dzikir (afektif, emosi, hati, dan spiritual),

dan keterampilan fisik (psikomotorik).6

Jika dibandingkan dengan aliran-aliran pendidikan secara

umum, maka pendidikan akhlak menganut dua aliran, yaitu (1)

aliran rasional, dan (2) aliran mistik (Suwito, 2004:49). Pendidikan

akhlak melihat manusia dari sisi immateri, sedangkan unsur

immateri dalam Islam terdiri dari unsur rasio dan unsur rasa. Oleh

karena itu, pendidikan akhlak rasional memberikan porsi kajian

lebih utama pada pendidikan daya pikir manusia. Sedangkan

pendidikan akhlak mistik lebih kepada pendidikan daya rasa pada

diri manusia. Secara filosofis, sistem teologi yang memberi peran

besar kepada akal cenderung kepada pemikiran akhlak rasional,

sedangkan teologi tradisional dengan tidak mengandalkan akal

cenderung kepada pemikiran akhlak mistik.

Sebagai konsekuensi dari pendidikan akhlak rasional akan

memberikan dorongan kuat pada manusia yang bersikap dinamis.

Begitu juga sebaliknya konsekuensi dari pendidikan akhlak mistik

kurang memberikan dorongan kuat terhadap perubahan sikap

manusia dinamis. Maskawaih membagi tiga materi pokok dalam


6
Novan dan Barnawi, Ilmu Pendidikan Islam, (Jogjakarta: Ar-Ruzz Media, 2012), h.24
pendidikan akhlak, pertama hal-hal yang wajib bagi kebutuhan

tubuh, kedua hal-hal yang wajib bagi jiwa, ketiga hal-hal yang

wajib bagi hubungan manusia (Suwito, 2004:119). Ketiga pokok

materi tersebut dapat diperoleh dari ilmu-ilmu yang berkaitan

dengan pemikiran dan ilmu-ilmu yang berkaitan dengan indera.7

b. Pengertian Akhlak

Al-Ghazali mendefinisikan akhlak sebagai berikut:

‫ال بِ ُس ُه ْولٍَة‬
ُ ‫ص ُد ُر اَأْل ْف َع‬ ِ ِ ‫الن ْف‬
ْ َ‫س َراس َخةٌ َعْن َها ت‬ َّ ‫فَاخْلُلُ ُق ِعبَارةٌ َع ْن َهْيَئ ِة يِف‬
َ
‫فِ ْك ٍر َو ِرْؤ يٍَة‬ ‫اج ٍة إىَل‬ ِ
َ ‫َويُ ْس ٍر م ْن َغرْيِ َح‬
“Akhlak adalah sifat yang tertanam dalam jiwa yang
darinya lahir berbagai perbuatan dengan mudah dan
gampang, tanpa perlu pemikiran dan pertimbangan."

Jika yang lahir darinya itu perbuatan yang baik dan terpuji,

baik dari segi akal maupun syara’, maka ia disebut akhlak yang

baik. Dan jika yang lahir darinya perbuatan yang tercela, maka

sikap tersebut disebut akhlak buruk” (Ibnu, 2009: 99).

Jadi pendidikan akhlak adalah bimbingan secara sadar oleh

seorang pendidik terhadap perkembangan jiwa anak didik baik

jasmani maupun rohani sehingga memiliki perilaku yang baik dan

terpuji menurut akal maupun tutunan agama Islam serta bisa

menjauhi dan meninggalkan perilaku yang buruk menurut akal

maupun tuntunan agama Islam.

7
Tim Pengembang Ilmu Pendidikan FIP-UPI, Ilmu dan Aplikasi Pendidikan, Imperial
Bhakti Utama, 2007. h. 260
Akhlak dalam konsep bahasa Indonesia semakna dengan

istilah etika atau moral. Akhlak merupakan satu fundamen penting

dalam ajaran Islam, sehingga Rasulullah saw. menegaskan dalam

sebuah hadits bahwa tujuan diutusnya beliau adalah untuk

memperbaiki dan menyempurnakan akhlak mulia.8

‫ت اِل ُمَتِّ َم‬ ِ ِ ِ


ُ ْ‫َع ْن َأيِب ْ ُهَر ْيَرةَ قَ َال َر ُس ْو ُل اهلل صلى اهلل عليه وسلم امَّنَا بُعث‬
‫صالِ َح اْالَ ْخاَل ِق‬ َ
“Dari Abu Hurairah berkata; Rasulullah saw. bersabda:
‘Bahwasannya aku diutus untuk menyempurnakan akhlak
yang baik’”. (H.R. Ahmad) 9

Menurut Imam Al-Jurjani, akhlak adalah bangunan jiwa

yang bersumber darinya perilaku spontan tanpa didahului

pemikiran, berupa perilaku baik (akhlak yang baik) ataupun

perilaku buruk (akhlak yang tercela).10 Yang kedua akhlak

diperoleh melalui usaha manusia (muktasabah). Tujuan akhir

pendidikan akhlak dalam pandangan para ulama Islam klasik

adalah terbentuknya karakter positif dalam perilaku manusia.

Namun dalam praktiknya, pendidikan akhlak cenderung pada

pengajaran baik dan buruk secara normatif seperti halnya

pendidikan moral.

c. Tujuan Pendidikan Akhlak

8
Faisal Mukarom dkk., Al-Qur’an Hadis, (Jakarta: Kementrian Agama, 2014), h. 52-53.
9
Faisal Mukarom dkk., op. cit., h. 53.
10
Ali Mukti, dkk., Kumpulan Bahan Ajar Pendidikan Karakter Berbasis Tradisi
Pesantren, jakarta : Rumah Ktiab, h.11
Pendidikan sebagai sebuah proses tentunya mempunyai

tujuan, dimana tujuan merupakan suatu arah yang ingin dicapai.

Tujuan pendidikan ditentukan oleh dasar pendidikannya sebagai

suatu landasan filosofis yang bersifat fundamental dalam

pelaksanaan pendidikan. Dalam hal ini, masing-masing negara

menentukan sendiri tujuan pendidikannya. Demikian pula masing-

masing orang mempunyai bermacam-macam tujuan pendidikan,

yaitu melihat kepada cita-cita, kebutuhan, dan keinginannya.

Tujuan pendidikan bersifat normatif. Artinya tujuan

pendidikan selalu mengandung norma yang bersifat memaksa.

Memaksa disini berarti tidak bertentangan dengan hakikat

perkembangan peserta didik, dan bisa diterima masyarakat sebagai

nilai terpuji. Tujuan pendidikan yang normatif tersebut memang

sulit dilaksanakan, sulit diwujudkan.

Dalam perspektif Islam, dasar dan tujuan pendidikan adalah

pembentukan kepribadian individu yang paripurna (kaffah). Pribadi

terwujudnya keseluruhan esensi manusia secara kodrati, yaitu

sebagai makhluk individu, makhluk sosial, makhluk bermoral, dan

makhluk yang ber-Tuhan. Citra pribadi yang seperti itu sering

disebut sebagai manusia paripurna (insan kamil) atau pribadi yang

utuh, sempurna, seimbang, dan selaras.

Manusia yang sempurna berarti manusia yang memahami

tentang Tuhan, diri, dan lingkungannya. Jadi, pendidikan akan


mencapai tujuannya jika nilai-nilai humanis tersebut masuk dalam

diri peserta didiknya. Peserta didikakan mempunyai motivasi yang

kuat untuk belajar agar bermanfaat bagi sesama. Peserta didik akan

mempunyai motivasi yang kuat untuk belajar agar bermanfaat bagi

sesama. Peserta didik yang belajar scara continue akan memiliki

pikiran yang cerdas-kreatif, hati yang bersih, tingkat spiritual yang

tinggi, dan kekuatan secara kesehatan fisik yang prima. Semua

keunggulan tersebut digunakan untuk diabdikan kepada Tuhan dan

untuk memberikan kemaslahatan individual dan sosial yang

optimal dalam konteks kenegaraan.

Dalam ajaran Islam, terdapat spirit pendidikan seumur

hidup yang telah dikenal sejak lama, yaitu sejak munculnya Islam

itu sendiri. Nabi Muhammad Saw. bersabda :

‫ب اْلعِْل َم ِم َن الْ َم ْه ِد اِىَل اهَّلْ ِدى‬


ُ ُ‫اُطْل‬
“Tuntutlah ilmu sejak dari buaian sampai ke liang lahat”

Saat ini pendidikan dalam kandungan Ibu dikenal dengan

pendidikan pranatal (pendidikan sebelum anak dilahirkan). Dan

berakhirnya pendidikan adalah ketika individu tersebut meninggal

dunia. Pendidikan dalam Islam bernilai transendental, tidak hanya

berproses di dunia saja, tetapi tetap ada maknanya hingga

dikehidupan akhirat. Oleh karena itu, pendidikan dalam perspektif

Islam menjadi tidak terbatas (no limit to learn).11

11
Novan dan Barnawi, Ilmu Pendidikan Islam, (Jogjakarta: Ar-Ruzz Media, 2012), h 93-95.
Pendidikan secara historis-oprasional telah dilaksanakan

sejak adanya manusia petama dimuka bumi ini, yaitu sejak nabi

Adam as. yang dalam Al-Qur’an dinyatakan bahwa proses

pendidikan itu terjadi pada saat nabi Adam berdialog dengan

Tuhan. Dialog tersebut muncul karena ada motivasi dalam diri nabi

Adam untuk menggapai kehidupan yang sejahtera dan bahagia.

Dialog tersebut didasarkan pada motivasi individu yang ingin

selalu berkembang sesuai dengan kondisi dan konteks

lingkunganya. Dialog merupakan bagian dari proses pendidikan

dan ia membutuhkan lingkungannya yang kondusif dan strategi

yang memungkinkan peserta didik bebas berapresiasi dan tidak

takut salah, tetapi tetap beradab dan mengedepankan etika.

Berbicara masalah tujuan pendidikan akhlak sama dengan

berbicara tentang pembentukan akhlak, karena banyak sekali

dijumpai pendapat para ahli yang mengatakan bahwa tujuan

pendidikan adalah pembentukan akhlak. Muhammad Athiya al-

Abrasyi mengatakan bahwa pendidikan budi pekerti dan akhlak

adalah jiwa dan tujuan pendidikan Islam (Al-Abrasyi 1974, hlm.

15). Demikian pula Ahmad D Marimba berpendapat bahwa tujuan

utama pendidikan Islam adalah identik dengan tujuan hidup setiap

Muslim, yaitu untuk menjadi hamba Allah yakni hamba yang


percaya dan menyerahkan diri kepada-Nya dengan memeluk Islam

(Marimba 1980, hlm. 48-49).12

Dari berbagai penjelasan di atas, pada dasarnya tujuan

pendidikan akhlak sejalan dengan tujuan pendidikan seperti yang

disinggung dalam Al-Qur’an yaitu membina manusia baik secara

pribadi, kelompok agar mampu menjalankan fungsinya sebagai

khalifah Allah maupun sebagai hamba Allah. Tugas khalifah

sendiri harus memenuhi empat sisi yang saling berkaitan yaitu

pemberi tugas (Allah), penerima tugas (manusia), tempat atau

lingkungan dimana manusia berada, dan materi-materi penugasan

yang harus mereka laksanakan. Dan keempat hal ini saling

berkaitan, itulah sebabnya sering terjadi perbedaan dan tujuan

pendidikan antara masyarakat yang satu dengan yang lainnya,

karena mereka harus memperhatikan faktor lingkungan dimana

manusia itu berada (Mahmudah, tt, hlm. 56).13

2. Pendidik dan Anak Didik

a. Pengertian Pendidik

Pendidik adalah orang dewasa yang dengan sengaja

mempengaruhi peserta didik agar meraih kedewasaan. Mereka bisa

guru, orang tua, tokoh masyarakat, dll. Mereka dituntut hendaknya

memiliki:14

12
Afriantoni, Prinsip-Prinsip Pendidikan Akhlak Generasi Muda : Percikan Pemikiran
Ulama Sufi Turki Bediuzzaman Said Nursi, Deeppublish: Yogyakarta, 2015. H. 18
13
Afriantoni, Prinsip-Prinsip Pendidikan Akhlak Generasi Muda : Percikan Pemikiran
Ulama Sufi Turki Bediuzzaman Said Nursi, Deeppublish: Yogyakarta, 2015. H. 23
14
Nur’aeni dkk., Pengantar Pendidikan, Jakarta: UNINDRA PRESS, 2012, h. 22
1) Kompetensi (Ilmu, Keterampilan)

2) Sikap/Moral (ESQ)

3) Kewibawaan

Pendidik dalam pendidikan islam adalah setiap orang

dewasa yang karena kewajiban agamanya bertanggung jawab atas

pendidikan dirinya dan orang lain. Sedangkan yang menyerahkan

tanggung jawab dan amanat pendidikan adalah agama, dan

wewenang pendidik dilegitimasi oleh agama, sementara yang

menerima tanggung jawab dan amanat adalah setiap orang dewasa.

Ini berarti, bahwa pendidik merupakan sifat yang lekat pada setiap

orang karena tanggung jawabnya atas pendidikan.15

Sebagai pemegang amanat, pendidik bertanggung jawab

untuk mendidik peserta didiknya secara adil dan tuntas (mastery

learning) dan mendidik dengan sebaik-baiknya dengan

memperhatikan nilai-nilai humanisme karena pada saatnya nanti

akan dimintai pertanggungjawaban atas pekerjannya tersebut.

Secara teologis juga diyakini bahwa mengajar merupakan

bagian dari tugas kemanusiaan yang harus di emban oleh siapapun

juga. Sebagaimana dalam firman Allah swt. :

‫وما كان املؤمنون لينفروا كافّة فلوال نفر من فرقة منهم طائفة‬
‫ليتفقه يف الدين و لينذروا قومهم اذا رجعوا اليهم حيذرون‬

15
Ramayulis, Ilmu Pendidikan Islam, (Jakarta : Kalam Mulia, 2015), h.102
“Tidak sepatutnya bagi mukminin itu pergi semuanya (ke
medan perang). Mengapa tidak pergi dari tiap-tiap
golongan di antara mereka beberapa orang untuk
memperdalam pengetahuan mereka tentang agama dan
untuk memberi peringatan kepada kaumnya apabila
mereka telah kembali kepadanya, supaya mereka itu dapat
menjaga dirinya.” (Q.S At-Taubah [9] : 122)

Di dalam Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional

Nomor 20 Tahun 2003 dibedakan antara pendidik dan tenaga

kependidikan. Tenaga kependidikan adalah anggota masyarakat

yang mengabdikan diri dan diangkat untuk menunjang

penyelenggaraan pendidikan. Sedangkan pendidik adalah tenaga

kependidikan yang berkualifikasi sebagai guru, dosen, konselor,

pamong belajar, widya iswara, tutor, instruktur, fasilitator dan

sebutan lain yang sesuai dengan kekhususannya serta berpartisipasi

dalam penyelenggaraan pendidikan.16

Dalam lingkup pendidikan profesionalitas seorang pendidik

merupakan hal yang amat penting. Dan akan terwujud apabila

pendidik menguasai kompetensi-kompetensi yang berlandaskan

nilai-nilai ajaran Islam. Dan hal tersebut meliputi 5 hal, yaitu (1)

Kewibawaan (2) Kompetensi keguruan, berupa kompetensi

kepribadian, kompetensi pedagogiek, kompetensi sosial dan

kompetensi profesional. (3) Kompetensi dalam penguasaan bahasa

Indonesia dan bahasa asing (Arab dan Inggris) (4) Kompetensi

16
Undang-Undang SISDIKNAS 2003 UU RI NO. 20 Tahun 2003 Bab I Pasal I point 5
dan 6.
dalam penguasaan teknologi dan informasi. (5) Nilai-nilai ajaran

Islam yang terdapat dalam Al-Qur’an dan Hadits.

Itu semua akan lebih baik bila dilandasi oleh kemampuan

atau keterampilan mendidik. Mendidik sendiri dapat ditampilkan

dalam bentuk: 17

1) Pembelajaran

2) Penyuluhan

3) Keteladanan/Model

4) Pelatihan

5) Bimbingan

b. Pengertian Anak Didik

Peserta didik adalah anak manusia yang18 :

1) Sedang tumbuh dan berkembang

2) Butuh bimbingan dan perlakuan manusiawi (bukan tindak

kekerasan baik fisik maupun psikis)

3) Mampu mandiri

4) Memiliki potensi unik (beda satu dengan yang lain)

5) Mampu menyesuaikan dengan lingkungan, mencintai

lingkungan dan internalisasi nilai-nilai

6) Mau berubah, siap dan mampu merubah lingkungan.

Peserta didik secara formal adalah orang yang sedang

berada pada fase pertumbuhan fisik dan perkembangan psikis,

17
Nur’aeni dkk., Pengantar Pendidikan, Jakarta: UNINDRA PRESS, 2012, h. 23
18
Nur’aeni dkk., Pengantar Pendidikan, Jakarta: UNINDRA PRESS, 2012, h. 23
pertumbuhan dan perkembangan merupakan ciri dari seorang

peserta didik yang perlu bimbingan dari seorang pendidik.

Dalam Undang-Undang RI Nomor 20 Tahun 2003 pada

pasal 1 ayat 4 disebutkan bahwa peserta didik adalah anggota

masyarakat yang berusaha mengembangkan potensi diri melalui

proses pembelajaran yang tersedia pada jalur, jenjang, dan jenis

pendidikan tertentu. Kemudian pada pasal 6 ayat 1 disebutkan

bahwa setiap warga negara yang berusia tujuh sampai dengan lima

belas tahun wajib mengikuti pendidikan dasar (SD dan SMP).

3. Pembentukan Akhlak Peserta Didik

Menurut sebagian ahli mengatakan bahwa akhlak itu tidak

perlu dibentuk karena akhlak adalah insting (gharizah) yang dibawa

manusia sejak lahir (Mansyur 1961, hlm.91). Bagi golongan ini bahwa

masalah akhlak adalah pembawaan dari diri manusia sendiri, dan dapat

juga berupa kata hati atau intuisi yang selalu cenderung kepada

kebenaran. Dengan pandangan seperti ini, maka akhlak akan tumbuh

dengan sendirinya, walaupun tanpa dibentuk atau diusahakan.

Kelompok ini lebih lanjut menduga bahwa akhlak adalah gambaran

bathin sebagaimana terpantul dalam perbuatan lahir. Pebuatan lahir ini

tidak akan sanggup mengubah perbuatan bathin. Orang yang bakatnya

pendek tidak dapat dengan sendirinya meninggikan dirinya, demikian

pula sebaliknya. (Al-Ghazali, tt, hlm. 54)


Selanjutnya adapula pendapat yang mengatakan bahwa akhlak

adalah hasil dari pendidikan, latihan, pembinaan, dan perjuangan keras

dan sungguh-sungguh. (Al-Ghazali, tt, hlm. 90). Kelompok yang

mendukung pendapat yang kedua ini umunya dari ulama-ulama Islam

yang cenderung kepada akhlak. Ibnu Maskawaih, Ibnu Sina, Al-

Ghazali dan lain-lain termasuk pada kelompok yang mengatakan

bahwa akhlak adalah hasil usaha (muktasabah). 19

Untuk menjelaskan faktor-faktor yang mempengaruhi

pembentukan akhlak pada khususnya dan pendidikan pada umumnya,

ada tiga aliran yang sangat popular, yaitu aliran nativisme, aliran

empirisme, dan aliran konvergensi (Abudin Nata, 2002). berikut ini

adalah penjelasannya:

a. Menurut aliran Nativisme, bahwa faktor yang paling berpengaruh

terhadap pembentukan diri seseorang adalah faktor pembawaan

dari dalam yang bentuknya dapat berupa kecenderungan kepada

yang baik, maka dengan sendirinya orang tersebut akan menjadi

baik. Aliran nativisme ini nampaknya begitu yakin terhadap

potensi batin yang ada dalam diri manusia dan aliran ini erat

kaitannya dengan aliran intuisme dalam penentuan baik dan buruk

sebagaimana telah diuraikan diatas. Aliran ini tampak kurang

menghargai atau kurang memperhitungkan peran pembinaan dan

pendidikan.

19
Afriantoni, Prinsip-Prinsip Pendidikan Akhlak Generasi Muda : Percikan Pemikiran
Ulama Sufi Turki Bediuzzaman Said Nursi, Deeppublish: Yogyakarta, 2015. H. 19
b. Menurut aliran empirisme, bahwa faktor yang paling berpengaruh

terhadap pembentukan diri seseorang adalah faktor dari luar, yaitu

lingkungan sosial termasuk pembinaan dan pendidikan yang

diberikan. Jika pembinaan dan pendidikan yang diberikan kepada

anak itu baik, maka baiklah anak itu. Demikian juga sebaliknya.

Aliran ini tampak lebih percaya kepada peranan yang dilakukan

oleh dunia pendidikan dan pengajaran.

c. Menurut aliran konvergensi, pembentukan akhlak dipengaruhi oleh

faktor internal, yaitu faktor pembawaan anak dan faktor dari luar

yaitu pembinaan yang dibuat secara khusus, atau melalui berbagai

metode (Arifin 1991, hlm.13)

Aliran ketiga ini sejalan dengan hadits Nabi yang berbunyi:

‫ فَ ََأب َواهُ يُ َه ِّو َدانِِه َْأو مُيَ ِّج َسانِِه َْأو‬،‫ُك ُّل َم ْولُْو ٍد يُ ْولَ ُد َعلَى الْ ِفطَْر ِة‬
‫صَرانِِه‬
ِّ َ‫يُن‬
“Setiap anak dilahirkan dalam keadaan membawa fitrah
(rasa ketuhanan dan kecenderungan kepada kebenaran),
maka kedua orang tuanya lah yang memebentuk anak itu
menjadi yahudi, nasrani atau majusi” (H.R. Bukhari)

Imam Al-Ghazali berpendapat, bahwa akhlak yang disebutnya

dengan tabiat manusia dapat dilihat dalam dua bentuk, yaitu :

a. Tabiat-tabiat fitrah, kekuatan tabiat pada asal kesatuan tubuh dan

berkelanjutan selama hidup. Sebagian tabiat tersebut lebih kuat dan

lebih lama dibandingkan dengan tabiat lainnya. Seperti tabiat


syahwat yang ada pada manusia sejak ia dilahirkan, lebih kuat dan

lebih sulit diluruskan dan diarahkan dibandingkan tabiat marah.

b. Akhlak yang muncul dari suatu perangai yang banyak diamalkan

dan dita’ati, sehingga menjadi bagian dari adat kebiasaan yang

berurat berakar pada dirinya.20

Pembentukan akhlak dilakukan setahap demi setahap sesuai

dengan irama pertumbuhan dan perkembangan, dengan mengikuti

proses yang alami. Perlu disadari bahwa pendidikan akhlak itu terjadi

melalui semua segi pengalaman hidup, baik melalui pengelihatan,

pendengaran dan pengalaman atau perlakuan yang diterima atau

melalui pendidikan dalam arti yang luas.

Usaha-usaha yang dapat dilakukan dalam pembentukan akhlak

diantaranya:

a. Penekanan pada internalisasi nilai dalam pembelajaran, meliputi

transformasi pengetahuan, pengembangan keterampilan dan

penanaman nilai.

b. Mempergunakan berbagai pendekatan dalam proses pembelajaran,

meliputi pendekatan keteladanan, pendekatan pembiasaan, dan

pendekatan fungsional.

c. Menciptakan suasana keagamaan.

d. Menyatukan visi dan penyesuaian semua tenaga kependidikan.21

4. Ruang Lingkup Pendidikan Akhlak

20
Ramayulis, Ilmu Pendidikan Islam, Jakarta : Kalam Mulia, 2015, h.147.
21
Ramayulis, Ilmu Pendidikan Islam, (Jakarta : Kalam Mulia, 2015), h.515-522.
Ruang lingkup pendidikan akhlak mencakup hal-hal sebagai

berikut 22:

a. Hubungan Manusia dengan Allah swt.

Pola hubungan manusia dengan Allah swt. Sebagaimana

digambarkan dalam Al-Qur’anul Karim:

ِ َّ ُ‫﴾ اللَّه‬١﴿ ‫َأح ٌد‬


ْ‫﴾ َومَل‬٣﴿ ‫﴾ مَلْ يَل ْد َومَلْ يُولَ ْد‬٢﴿ ‫الص َم ُد‬ َ ُ‫قُ ْل ُه َو اللَّه‬
٤﴿‫َأح ٌد‬
َ ‫﴾يَ ُك ْن لَهُ ُك ُف ًوا‬
“Katakanlah: “Dia-lah Allah Yang Maha Esa, Allah
adalah Tuhan yang bergantung kepada-Nya segala
sesuatu. Dia tidak beranak dan tidak pula diperanakkan,
dan tidak ada seorang pun yang setara dengan Dia” (Q.S.
Al-Ikhlas: 1-4)

b. Hubungan Manusia dengan Rasulullah saw.

Pola hubungan manusia dengan Rasulullah saw adalah

menegakkan sunnah Beliau, menziarahinya di Madinah, dan

membacakan sholawat untuknya. Sunnah Rasulullah adalah salah

satu sumber ajaran Islam selain daripada Al-Qur’an. Diantara adab

terhadap Rasulullah adalah berziarah kemakamnya dapat dilakukan

pada saat menunaikan ibadah haji atau umroh. Begitu juga dengan

bershSolawat kepadanya dan keluarganya adalah ajaran Islam.

ِ َ‫اهلل صلَّى اهلل علَي ِه وسلَّم ق‬


‫اع ًدا ِإ ْذ َد َخ َل َر ُج ٌل‬ ِ ‫ بينَا رسو ُل‬:‫ال‬ ٍ
َ َ َ َْ ُ َ ْ ُ َ َْ َ َ‫ضالَةَ بْ ِن عَُبْيد ق‬ َ َ‫َع ْن ف‬
ِ ِ ِ َ ‫ َف َق‬، ْ ‫ اَللّ ُه َّم ا ْغ ِف ْريِل ْ َو ْارمَح ْيِن‬:‫ال‬
‫ت َأيُّ َها‬ َ ‫صلَّى اهللُ َعلَْيه َو َسلَّ َم َعج ْل‬ َ ‫ال َر ُس ْول اهلل‬ َ ‫صلَّى َف َق‬ َ َ‫ف‬
‫ِ مِب‬
‫صلَّى َر ُج ٌل‬ َ َّ‫ال مُث‬َ َ‫ص ِّل َعلَ َّي مُثَّ ْادعُهُ ق‬
َ ‫ت فَامْح َداهللَ َا ُه َو َْأهلُهُ َو‬ َ ‫ت َف َق َع ْد‬ َ ‫صلَّْي‬ َ ‫صلِّ ْي ِإ َذا‬
َ ‫الْ ُم‬

22
Tim Pengembang Ilmu Pendidikan FIP-UPI, Ilmu dan Aplikasi Pendidikan, Imperial
Bhakti Utama, 2007. h. 257-258
َ ‫ َف َق‬، ‫صلَّى اهللُ َعلَْي ِه َو َسلَّ َم‬ ِ َ ِ‫آخر بع َد َذل‬
ُ‫صلَّى اهلل‬
َ ُّ ‫ال النَّيِب‬ َ ِّ ‫صلَّى َعلَى النَّيِب‬ َ ‫ك فَ َحم َد اهللَ َو‬ َْ َُ
ِ
‫ب‬ ْ َ‫صلِّي ْادعُ جُت‬َ ‫ َعلَْيه َو َسلَّ َم َأيُّ َها الْ ُم‬.
Dari Fadhalah bin ‘Ubad Radhiyallahu anhu, ia berkata:
“Ketika Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam
keadaan duduk-duduk, masuklah seorang laki-laki. Orang
itu kemudian melaksanakan shalat dan berdo’a: ‘Ya Allah,
ampunilah (dosaku) dan berikanlah rahmat-Mu kepadaku.’
Maka, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
‘Engkau telah tergesa-gesa, wahai orang yang tengah
berdo’a. Apabila engkau telah selesai melaksanakan shalat
lalu engkau duduk berdo’a, maka (terlebih dahulu) pujilah
Allah dengan puji-pujian yang layak bagi-Nya dan
bershalawatlah kepadaku, kemudian berdo’alah.’
Kemudian datang orang lain, setelah melakukan shalat dia
berdo’a dengan terlebih dahulu mengucapkan puji-pujian
dan bershalawat kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa
sallam, maka Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam
berkata kepadanya, ‘Wahai orang yang tengah berdo’a,
berdo’alah kepada Allah niscaya Allah akan mengabulkan
do’amu.’

c. Hubungan Manusia dengan Dirinya Sendiri

Pola hubungan manusia dengan dirinya sendiri terutama

menyangkut menjaga kesucian diri dari sifat rakus dan mengumbar

nafsu. Mengembangkan keberanian dalam menyampaikan yang

haq, memberantas kezaliman, memberantas kebodohan, sabar

dalam menghadapi cobaan, bersyukur atas nikmat, rendah hati,

tawadhu, dan tidak sombong. Ada tiga potensi yang ada pada diri

manusia, yaitu nafsu, marah, dan kecerdasan.

d. Hubungan Manusia dalam Anggota Keluarga

Pola hubungan antar keluarga ditandai seperti berbakti kepada

kedua orang tua, baik dalam bertutur kata, memberi bantuan


materil dan non-materi, memberikan nafkah kepada istreri, anak

dan anggota keluarga lainnya. Isteri mentaati suami dan suami

berlaku baik kepada isterinya, dan mendidik diri dan keluarganya

supaya bebas dari siksa api neraka. Hubungan dalam keluarga yang

amat penting adalah pola hubungan antar orang tua dengan anak.

Mendidik anak adalah kewajiban orang tua yang paling utama dan

cara mendidik ini akan berbekas dalam diri si anak. Rasulullah saw.

bersabda :

“Kewajiban Bapak kepada anaknya adalah memberikan


dia nama yang baik, mengajari ia kesopanan yang baik,
mengajarkan ia menulis, berenang, dan memanah, jangan
beri makan kecuali yang baik dan kawinkan dia apabila
dewasa”.

Demikian pula sebaliknya, anak harus berbakti kepada kedua

orangtuanya. Sebagaimana firman Allah swt:

“Dan Kami perintahkan kepada manusia (berbuat baik)


kepada dua orang ibu-bapaknya; ibunya telah
mengandungnya dalam keadaan lemah yang bertambah-
tambah, dan menyapihnya dalam dua tahun. Bersyukurlah
kepada-Ku dan kepada dua orang ibu bapakmu, hanya
kepada-Kulah kembalimu”. (Q.S: Lukman :14)

Penghormatan anak kepada kedua orang tua berkali-kali Allah swt.

firmankan melalui A-Qur’anul Karim. Ini menandakan betapa

pentingnya hal tersebut. Menyinggung perasaan apalagi

menghardik dan durhaka kepadanya adalah dosa besar. Rasulullah

saw. bersabda :
“Bahwa dosa besar adalah syirik kepada Allah swt. dan
durhaka kepada orang tua” (H.R Timrmidzi)

B. Kerangka Pemikiran

Pendidikan merupakan masalah yang akan senantiasa menjadi

tantangan hidup kita. Sebagaimana diketahui, masalah pendidikan di setiap

zaman tidaklah sama. Masing-masing zaman memiliki tantangan

tersendiri. Sebagaimana pesan orang bijak, memahami masalah adalah

setengah dari jawaban. oleh karena itu memahami perkembangan

kehidupan di setiap zaman khususnya perkembangan pendidikan akan

membantu kita menentukan solusi pendidikan yang akan kita gulirkan.23

Pendidikan ahlak merupakan pendidikan yang berusaha

membentuk kepribadian manusia dengan menekankan pada pembiasaan,

namun harus melalui proses yang panjang dengan hasil yang tidak dapat

diketahui dengan segera. Pembentukan ahlak dimulai dari pengisian qalb

dengan Iman yang harus dijiwai oleh ideologi tauhid dan pendidikannya

harus bersumber dari nilai-nilai yang terdapat dalam Al-Qur’an, sunnah

dan kebenaran yang bersifat mutlak. Sehingga, pembentukan ahlak dapat

dilaksanakan dengan baik dan menghasilkan generasi bangsa cerdas yang

berahlakul karimah.

Dalam hal ini kerangka pemikirannya diawali dengan konsep

pendidikan akhlak yang dibentuk melalui penanaman nilai-nilai akhlak

perspektif Imam Al-Ghazali yang terdapat dalam kitab ayyuhal walad.

23
Zarman Wendi, Ternyata Mendidik Anak Cara Rasulullah Mudah & Efektif, (Jakarta:
Kawan Pustaka, 2017), h. 16.
Menggunakan metode dialog, keteladanan dan nasihat. Yang nantinya

akan menghasilkanS implementasi akhlak mulia di sekolah. Untuk lebih

jelasnya bisa diperhatikan skema kerangka berfikir berikut:

Konsep Pendidikan
Akhlak

Pembentukan
Metode Dialog
Penanaman nilai-nilai akhlak
perspektif Imam Al-Ghazali
proses
yang terdapat dalam kitab Metode
ayyuhal walad. Keteladanan

Hasil
Metode
Implementasi Akhlak Nasihat
Mulia di Sekolah

Gambar 1: Skema kerangka berpikir


C. Hasil Penelitian yang Relavan

Berdasarkan penelusuran literatur, penulis menemukan beberapa

hasil penelitian yang identik dengan penelitian yang dilakukan penulis.

Penelitian-penelitian tersebut, antara lain:

1. Penelitian yang dilakukan oleh Euis Dahlia pada tahun 2017 (Jurusan

Pendidikan Agama Islam UIN Raden Intan Lampung), dengan judul

“Konsep Pendidikan Akhlak Perspektif Imam Al-Ghazali”. Kesimpulan

dari skripsi tersebut menyatakan bahwa konsep pendidikan akhlak

menurut Imam Al-Ghazali yaitu untuk meningkatkan kualitas moral

serta untuk mengatasi degradasi moral atau degradasi akhlak manusia

yang semakin hari semakin merosot. Dengan adanya konsep

pendidikan akhlak di era globalisasi ini mampu menjadi motivator

lembaga pendidikan,melalui konsep pendidikan yang berdasarkan Al-

Quran dan hadis. Bahwa kekuatan moral harus muncul dan

memberikan stimulus bagi praktik pendidikan.24

2. Skripsi karya Moh. Nawawi (2013) UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta,

dengan judul “Konsep Pendidikan Akhlak Anak Menurut Imam Al-

Ghazali Dalam Kitab Ayyuhal Walad”. Kesimpulan dari skripsi

tersebut menyatakan bahwa konsep pendidikan akhlak anak

berpangkal pada empat hal, yaitu; (1) pendidikan hendaklah berangkat

dari titik awal tujuan pengutusan Rasul, yakni menyempurnakan

akhlak manusia; (2) pendidikan juga harus memandang nilai

24
Euis Dahlia “Konsep Pendidikan Ahlak Perspektif Imam Al-Ghazali” Tahun 2017,
Skripsi, (Jurusan Pendidikan Agama Islam UIN Raden Intan Lampung, 2013)
kesempurnaan manusia untuk mengoptimalkan poteni manusia; (3)

pendidikan akhlak meniscayakan integritas pembelajaran, dan; (4) sifat

pendidikan akhlak juga harus menyentuh dimensi spiritual murid.25

3. Skripsi karya Putik Nur Rohmawati (2017) IAIN Salatiga dengan judul

“Konsep Pendidikan Akhlak Dalam Kitab Ayyuhal Walad Karya Imam

Al-Gahazali”. Kesimpulan dari skripsi tersebut menyatakan bahwa

konsep pendidikan anak menurut Imam Al-Ghazali dalam kitabnya

ayyuhal walad berpangkal pada empat hal, yaitu: (1) tujuan pendidikan

menurut Imam Al-Ghazali adalah menghilangkan sifat-sifat atau

akhlak buruk dan menanamkan akhlak yang baik pada diri anak, (2)

syarat agar seorang syaikh dapat menjadi wakil Rasulullah saw. ia

harus seorang yang alim dengan syarat-syarat tertentu, (3) inti ilmu

adalah pengetahuan yang membuat seseorang faham akan makna

ketaatan dan ibadah yang berlandaskan syari’at Islam, (4) metode yang

digunakan Imam Al-Ghazali dalam kitab ayyuhal walad adalah dengan

metode keteladanan, metode cerita atau kisah dan metode

pembiasaan.26

Dari ketiga penelitian tersebut, terdapat perbedaan dan

persamaan dengan penelitian penulis adalah sebagai berikut:

25
Moh. Nawawi, “Konsep Pendidikan Ahlak Anak Menurut Al-Ghazali Dalam Kitab
Ayyuhal Walad” Tahun 2013, Skripsi, (UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, 2013)
26
Putik Nur Rohmawati , “Konsep Pendidikan Ahlak Dalam Kitab Ayyuhal Walad Karya
Imam Al-Gahazali”. Tahun 2017, Skripsi, (UIN Salatiga, 2017)
1. Perbedaan :

a. Materi yang disajikan di dalam Skripsi karya Putik Nur

Rohmawati (2017) IAIN Salatiga dengan judul “Konsep

Pendidikan Akhlak Dalam Kitab Ayyuhal Walad Karya Imam

Al-Gahazali” secara keseluruhan menggunakan sudut pandang

imam Al-Ghazali secara keseluruhan. Sedangkan materi yang

disajikan dalam skripsi penulis, mengambil beberapa sudut

pandang diantaranya sudut pandang dalam arti umum, filsafat

dan dalam arti luas.

b. Materi yang disajikan di dalam Skripsi karya Moh. Nawawi

(2013) UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, dengan judul “Konsep

Pendidikan Akhlak Anak Menurut Imam Al-Ghazali Dalam

Kitab Ayyuhal Walad” menitik beratkan pada pendidikan

akhlak anak. Sedangkan penulis membahas pendidikan akhlak

secara umum. Dan dalam konteks peserta didik di sekolah.

c. Penelitian yang dilakukan oleh Euis Dahlia pada tahun 2017

(Jurusan Pendidikan Agama Islam UIN Raden Intan Lampung),

dengan judul “Konsep Pendidikan Akhlak Perspektif Imam Al-

Ghazali”. Menyajikan konteks pembahasan yang kekinian

secara global. Sedangkan penulis, menyajikan konteks

pembahasan dengan menitikberatkan pada konteks kajian kitab

ayyuhal walad.
2. Persamaan :

Dari ketiga skripsi yang penulis ambil sebagai hasil penelitian

yang relavan, persamaannya adalah sama-sama menggunakan

sudut pandang Imam Al-Ghazali dalam ranah pendidikan

akhlak.

Anda mungkin juga menyukai