Anda di halaman 1dari 35

PERTUMBUHAN DAN PERKEMBANGAN GERAKAN POLITIK UMAT

ISLAM INDONESIA SEBELUM KEMERDEKAAN:


SAREKAT ISLAM, PERMI, PERTI DAN MASYUMI

Makalah ini Disusun dan Dipresentasikan Untuk Memenuhi Tugas


Pada Mata Kuliah Konseling Pendidikan Islam
Program Doktor (S3) UIN Sumatera Utara

Oleh:
Manshuruddin
(4002193014)

Semester/Prodi: II/PEDI A

Dosen Pembimbing:
Prof. Dr. H. Haidar Putra Daulay, M.A.
DR. Ali Imran Sinaga, M.Ag

PROGRAM PASCASARJANA
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUMATERA UTARA
MEDAN
2020

1
DAFTAR ISI

DAFTAR ISI ................................................................................................... i


PENDAHULUAN ........................................................................................... 1
PEMBAHASAN ............................................................................................. 2
A. Sarekat Islam ........................................................................................ 2
Pertumbuhan Sarekat Islam.................................................................. 2
Bentuk-Bentuk Perjuangan Sarekat Islam dalam Bidang
Politik Tahun 1918-1942 ..................................................................... 4
B. Persatuan Muslimin Indonesia (PERMI) ............................................. 10
Pertumbuhan PERMI ........................................................................... 10
Ideologi PERMI ................................................................................... 11
Perkembangan dan Pergerakan PERMI ............................................... 13
C. Persatuan Tarbiyah Indonesia (PERTI) ............................................... 16
Pertumbuhan PERTI ............................................................................ 16
Peran dan Pergerakan PERTI ............................................................... 18
Kiprah PERTI di Minangkabau ........................................................... 21
D. Masyumi ............................................................................................... 23
Pertumbuhan Masyumi ........................................................................ 23
Ideologi Politik dan Struktur Partai...................................................... 24
Aktifitas Partai Masyumi Dalam Era Revolusi Fisik ........................... 26
Keluarnya Nadhlatul Ulama (NU) dari Keanggotaan Masyumi .......... 27

PENUTUP ....................................................................................................... 28
Kesimpulan ..................................................................................................... 28
DAFTAR PUSTAKA ..................................................................................... 30

i
PERTUMBUHAN DAN PERKEMBANGAN GERAKAN POLITIK UMAT
ISLAM INDONESIA SEBELUM KEMERDEKAAN:
SARIKAT ISLAM, PERMI, PERTI DAN MASYUMI

PENDAHULUAN
Islam dan Politik adalah sebuah keterpaduan yang saling mengikat dan tidak
dapat dipisahksan satu sama lain. Ada beberapa kalangan dari umat Islam yang
mengklaim sebagai kalangan modernis yang berusaha memisahkan sisi itu, namun
seluruh gagasan pemikiran Islam dibangun diatas fudamen bahwa kedua sisi saling
bergandengan tangan dengan selaras dan tidak dapat dipisahkan.Hal inilah yang
pada akhirnya turut mempengaruhi proses pertumbuhan dan perkembangan politik
Islam di Nusantara.
Indonesia yang mula-mula merupakan basis dari kekuatan Hindu-Budha
lambat laun menjadi pusat perkembangan dari teritori kekuasaan Islam, hal ini
ditandai dengan berdirinya manifestasi atas pembasisan kekuatan politik, selain itu
berdirinya kerajaan tersebut dapat mengungguli Kawasan dunia lainnya yang
selama berabad-abad menjadi patronase kekuasaan ekspansi Islam.
Kekuatan politik Islam Nusantara mengalami masa suram saat kehadiran
para penjajah dari Barat. Di mulai dengan munculnya Portugis, Inggris, dan
Belanda semuanya menutup akses institusi politik Islam untuk mengembangkan
diri, meskipun banyak terjadi perlawanan-perlawanan baik dari para sultan, kaum
bangsawan, ulama hingga rakyat jelata. Lahirnya partai menandai adanya kesadaran
nasional. Pada masa itu semua organisasi baik yang bertujuan sosial, ataupun yang
berasaskan politik agama dan sekuler ikut memainkan peranan dalam pergerakan
nasional untuk Indonesia merdeka.
Kehadiran partai politik pada masa permulaan merupakan menifestasi
kesadaran nasional untuk mencapai kemerdekaan bagi bangsa Indonesia. Dalam
makalah ini, penulis mencoba mengelaborasi pertumbuhan dan perkembangan
gerakan politik umat Islam Indonesia sebelum masa kemerdekaan meliputi Sarikat
Islam, PERMI, PERTI dan Masyumi.

1
PEMBAHASAN

A. Sarekat Islam
Pertumbuhan Sarekat Islam
Syarikat Islam, atau Sarekat Islam (SI) dahulu bernama Sarekat Dagang
Islam (SDI) didirikan pada tanggal 16 Oktober 1905 oleh Haji Samanhudi. SDI
merupakan organisasi yang pertama kali lahir di Indonesia, pada awalnya
Organisasi yang dibentuk oleh Haji Samanhudi dan kawan-kawan ini adalah
perkumpulan pedagang-pedagang Islam yang menentang politik Belanda memberi
keleluasaan masuknya pedagang asing untuk menguasai komplar ekonomi rakyat
pada masa itu. Pada kongres pertama SDI di Solo tahun 1906, namanya ditukar
menjadi Sarikat Islam.
Sarekat Islam merupakan perubahan dari organisasi yang berbasis sosial.
Setelah mendapatkan pengakuan dan disahkan oleh pemerintah Belanda pada
tanggal 1912 organisasi berkembang pesat dan mengalami perubahan karena
Tjokroaminoto lebih menitikberatkan pergerakan dalam bidang politik. Islam
dijadikan sebagai landasan ideologi serta tali pengikat persatuan untuk
membangkitkan kesadaran berbangsa dan bernegara rakyat bumiputera secara
nasional. Kehadiran Sarekat Islam sebagai kelanjutan perjuangan rakyat
bumiputera melawan pemerintah kolonial Belanda melalui gerakan politik untuk
membebaskan Hindia Belanda dari belenggu penjajah.1
Tahun 1914, Haji Samanhudi meletakkan jabatanya sebagai pemimpin
Sarekat Islam digantikan Tjokroaminoto. Pergantian itu dilaukukan sejak kongres
kedua Sarekat Islam di Yogyakarta. Dalam kongres terjadi perdebatan mengenai
perubahan kepengurusan Sarekat Islam. Haji Samanhudi sebagai pemimpin Sarekat
Islam menginginkan ketetapan struktur kepengurusan lama dan menjadikan
Surakarta sebagai Central Comitte Sarekat Islam. Sementara golongan muda,
menginginkan adanya perubahan. Meskipun terjadi perselisihan, hasil kongres tetap

1
Suwarno, Latar Belakang dan Fase Awal Pertumbuhan Kesadaran Nasional,
(Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2011), hal. 66-67

2
memutuskan mengadakan perubahan struktur kepengurusan dengan mengangkat
Tjokroaminoto menjadi pemimpin Sarekat Islam.2
Adanya pergantian pemimpin tersebut merjadi perubahan besar,
Tjokroaminoto sebagai pemimpin baru merupakan kaum terpelajar yang
menggantikan Haji Samanhudi dari golongan menengah, yaitu saudagar.
Tjokroaminoto, selain berpendidikan tinggi, juga dikenal sebagai orang yang
egaliter dan mempunyai keterampilan dalam berorganisasi. Sejak berada di bawah
kepemimpin Tjokroaminoto inilah Sarekat Islam kemudian dirombak menjadi
gerakan politik untuk melawan pemerintah kolonial.3
Pecahnya Perang Dunia I, menimbulkan perubahan situasi politik di Hindia
Belanda. Hal itu dikarenakan pengaruhnya telah memanaskan kondisi politik di
Asia, khususnya negara Jepang yang terus meningkatkan industri persenjataan.
Khawatir akan kekuatan Jepang, pemerintah kolonial Belanda akhirnya berinisiatif
mengadakan aksi Indie Werbaar bagi rakyat bumi putera. Sebab pemerintah
kolonial Belanda tidak memiliki pertahanan yang kuat untuk mengamankan
wilayah Hindia Belanda. Sedangkan untuk memperoleh tambahan kekuatan,
pemerintah kolonial Belanda tidak mungkin meminta bantuan negara induk karena
berada dalam situasi yang lebih tertekan.4 Berdasarkan alasan itulah pemerintah
kolonial Belanda mengadakan wajib militer bagi rakyat bumiputera.
Aksi Indie Werbaar dimanfaatkan Sarekat Islam sebagai momen yang tepat
untuk memperoleh hak politik. Tjokroaminoto dalam sebuah rapat umum bersama
berbagai organisasi pergerakan yang sadar politik menyatakan dukunganya
terhadap aksi Indie Werbaar dengan syarat pemerintah kolonial Belanda
memberikan perluasan hak-hak politik bagi rakyat Bumiputera.5 Gagasan tersebut
menjadi dasar bagi organisasi pergerakan dalam partisipasi aksi Indie Werbaar.
Menanggapi tuntutan kaum pergerakan, khusunya pemimpin Sarekat Islam
pemerintah kolonial Belanda kemudian melakukan perubahan kebijakan di bidang

2
Rambe, S, Sarekat Islam, Pelopor Bangkitnya Nasionalisme Indonesia 1905-1942,
(Jakarta: Kebangkitan Insan Cendikia, 2008), hal. 76
3
Deliar Noer, Gerakan Modern Islam di Indonesia 1900-1942, (Jakarta: LP3ES, 1982),
hal. 119
4
Rambe, S, Op.Cit, hal. 112-113
5
Korver, A.P.E, Sarekat Islam, Gerakan Ratu Adil, (Jakarta, Grafiti Pers, 1985), hal. 57

3
politik, yaitu mencabut pasal 111 Regeering Reglement (RR) tentang larangan
berpolitik serta akan membentuk sebuah dewan perwakilan.6 Sarekat Islam
kemudian mengadakan aktivitas politik melalui kongres nasional dengan
mempropagandakan tujuan atau program besar organisasi, yaitu memperoleh
Zelfbestuur (pemerintahan sendiri).7

Bentuk-Bentuk Perjuangan Sarekat Islam dalam Bidang Politik Tahun 1918-


1942
Sarekat Islam yang berubah menjadi gerakan politik dengan tujuan
memperoleh pemerintahan sendiri (kemerdekaan), dalam merealisasikan tujuanya
melakukan berbagai perjuangan politik. Perjuangan politik Sarekat Islam dilakukan
melalui Voksraad (Dewan Rakyat), gerakan buruh, gerakan Pan-Islam, PPPKI
(Permufakatan Perhimpunanperhimpunan Politik Kebangsaan Indonesia), dan
GAPI (Gabungan Politik Indonesia).

1. Sarekat Islam Berjuang Melalui Volksraad8


Gagasan masuknya Sarekat Islam dalam Volksraad dipandang sebagai
langkah yang strategis. Kesempatan berpartisipasi dalam Volksraad dapat
digunakan untuk memakmurkan rakyat Bumiputera melalui peraturan-peraturan
yang akan dibuat bersama pemerintah kolonial Belanda.9 Untuk merealisasikannya,
Tjokroaminoto dan Abdul Muis yang terpilih menjadi anggota Volksraad akan
melakukan diplomasi serta mengadakan kerjasama atau oposisi dengan anggota
Volksraad lainya.

6
Deliar Noer, Op.Cit, hal. 209
7
Ihsan, A.Z dan Soeharto, P, Aku Pemuda Kemarin Di Hari Esok. Capita Selecta Pertama
Kumpulan Tulisan Asli, Lezing, Pidato Tokoh Pergeerakan Kebangsaan. Capita Selecta Pertama.
(Jakarta: Jayasakti, 1981), hal. 13-21
8
Semacam dewan perwakilan rakyat Hindia Belanda, dibentuk pada tanggal 16 Desember
1916, Pada awal berdirinya, memiliki 38 anggota, 15 di antaranya adalah orang pribumi, selama
periode 1927-1941, Volksraad hanya pernah membuat enam undang-undang, dan dari jumlah ini,
hanya tiga yang diterima oleh pemerintahan Hindia Belanda.
9
Nasihin, Sarekat Islam Mencari Ideologi 1924-1945, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar,
2012), hal. 59

4
Tjokroaminoto dan Abdul Muis yang menjadi wakil Sarekat Islam
menggabungkan diri dalam sebuah fraksi Radicale Concentratie10. Tujuanya untuk
memperkuat diplomasi agar segala tuntutan yang diajukan oleh oposisi
direalisasikan oleh pemerintah kolonial Belanda, terutama untuk mempercepat
realisasi Volksraad sebagai dewan perwakilan rakyat yang sebenarnya.11 Hal itu
dilakukan agar dapat mempercepat realisasi tujuan politik Sarekat Islam.

2. Sarekat Islam Berjuang Melalui Gerakan Baru


Upaya Sarekat Islam untuk mencapai kemerdekaan dalam perkembanganya
ditempuh secara radikal. Hal itu dipengaruhi oleh golongan sosialis revolusioner12
(komunis) dari Sarekat Islam cabang Semarang.13 Pengaruh komunis dalam tubuh
Sarekat Islam semakin kuat dengan mufakat menjadikan gerakan buruh sebagai
basis kekuatan untuk melawan kapitalisme dan kolonialisme Belanda.14 Berbagai
serikat buruh di Hindia Belanda akhirnya diorganisir dan disatukan dalam satu
ikatan federasi PPKB (Persatuan Pergerakan Kaum Buruh) di bawah kendali
Sarekat Islam untuk mengadakan aksi bersama.
Perjuangan Sarekat Islam melalui gerakan buruh dilakukan dengan cara
mengadakan aksi pemogokan. Namun gerakan buruh yang dikoordinasi Sarekat
Islam tidak memiliki persatuan yang kuat. Terjadi Perebutan pengaruh antara
golongan komunis dengan Islam dalam PPKB, sehingga PPKB menjadi terpecah.15
Meskipun begitu, aksi pemogokan terus berjalan. Bahkan pemogokan umum pun
dilakukan. Akan tetapi aksi pemogokan mendapat respon yang keras dari

10
Satu faksi dalam Volksraad yang berisi gerakan-gerakan politik nasionalis seperti Sarekat
Islam, Boedi Oetomo, Indische Partij, dll
11
Anshoriy. N. dan Hendratno. A., H.O.S. Tjokroaminoto Pelopor Pejuang, Guru
Bangsadan Penggerak Sarekat Islam, (Yogyakarta: Ilmu Giri, 2015), hal. 15
12
Paham ini disebarkan oleh H.J.F.M Sneevliet, menggunakan taktik infiltrasi berhasil
menyusup ke dalam tubuh SI dengan tujuan yang sama yaitu membela rakyat kecil dan menentang
kapitalisme namun dengan cara yang berbeda menyebabkan SI pecah menjadi "SI Putih" yang
dipimpin oleh HOS Tjokroaminoto dan "SI Merah" yang dipimpin Semaoen. SI merah berlandaskan
asas sosialisme-komunisme.
13
Utomo, C.B, Dinamika Pergerakan Kebangsaan Indonesia dari Kebangkitan Hingga
Kemerdekaan, (Semarang: IKIP Semarang Press, 1995), hal. 86
14
Sulistyo, B., Pemogokan Buruh Sebuah Kajian Sejarah, (Yogyakarta: PT Tiara Wacana
Yogya, 1995), hal. 89
15
Pringgodigdo, A.K., Sejarah Pergerakan Rakyat Indonesia, (Jakarta: Dian Rakyat,
1980), hal. 84

5
pemerintah kolonial Belanda. Para propagandis ditangkap dan diasingkan.
Akibatnya aksi pemogokan mengalami kegagalan.16 Ditumpasnya berbagai aksi
pemogokan serta ditangkapnya berbagai pemimpin pergerakan. Menjadikan
perjuangan Sarekat Islam dalam upaya mencapai kemerdekaan semakin sulit.

3. Partai Sarekat Islam Berjuang Melalui Gerakan Pan-Islam


Seiring dengan makin kerasnya pemerintah kolonial Belanda merespon
gerakan politik di Hindia Belanda, Sarekat Islam terus mengadakan berbagai
perubahan untuk meningkatkan perjuangannya. Tahun 1923 Sarekat Islam merubah
nama menjadi Partai Sarekat Islam.17 Selain itu, Partai Sarekat Islam juga merubah
startegi perjuangannya dari kooperasi menjadi non kooperasi yang didasarkan pada
gerakan Pan-Islam.18 Hal itu dilakukan sebagai bentuk kekecewaan terhadap
pemerintah kolonial Belanda serta golongan komunis yang memecah-belah
gerakan. Perubahan itu semakin menegaskan Partai Sarekat Islam sebagai partai
Islam yang radikal.
Gerakan Pan-Islam19 merupakan penerapan politik non kooperasi Partai
Sarekat Islam terhadap pemerintah kolonial Belanda. Untuk membangun kekuatan
umat Islam di Hindia Belanda, Partai Sarekat Islam mengadakan propaganda
melalui kongres Al-Islam.20 Melalui kongres Al-Islam, Partai Sarekat Islam dapat
mengajak berbagai organisasi Islam seperti Muhammadiyah untuk menyatukan
kekuatan dengan gerakan umat Islam dunia di bawah kepemimpinan Khalifah.21
Partai Sarekat Islam juga melakukan propaganda untuk mengadakan hubungan
dengan “Liga menentang penjajah”, serta mengadakan kursus-kursus tentang

16
Nasihin, Sarekat Islam Mencari Ideologi 1924-1945, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar,
2012), hal. 129-138
17
Suradi, S.S., Haji Agus Salim dan Konflik-Konflik Politik dalam Sarekat Islam, (Jakarta:
Sinar Harapan, 2014), hal. 55
18
Shiraishi, T., Zaman Bergerak: Radikalisme Rakyat di Jawa 1912-1926. Jakarta: Grafiti
Press, 1997), hal. 326
19
Gerakan memperjuangkan untuk mempersatukan umat Islam di bawah satu negara Islam
yang umumnya disebut kekhalifahan.
20
Kongres Al-Islam pertama yang digagas Sarekat Islam dan dihadiri pelbagai organisasi
seperti Muhammadiyah, Al-Irsyad, dan perwakilan ulama tradisionalis, dihelat di Cirebon pada 31
Oktober hingga 2 November 1922.
21
Wiradipradja, H. E. S dan Yahya, M. W, Satu Abad Dinamika Perjuangan Syarikat
Islam, (Jawa Barat: Perum Percetakan Negara RI, 2005), hal. 48

6
nasionalisme dan sosialisme Islam untuk melawan pemerintah kolonial Belanda.22
Propaganda-propaganda yang dilakukan Partai Sarekat Islam membuat pemerintah
kolonial Belanda marah karena dapat membahayakan kedudukannya.
Perjuangan Partai Sarekat Islam melalui gerakan Pan-Islam mendapat
berbagai tekanan dari pemerintah kolonial Belanda. Di dalam Volksraad,
pemerintah mengancam berbagai propaganda yang dilakukan Partai Sarekat Islam.
Bahkan pemerintah kolonial Belanda mengadakan penangkapan terhadap para
pemimpin Partai Sarekat Islam di berbagai daerah. Selain itu, Pemerintah kolonial
Belanda juga menggagalkan upaya Partai Sarekat Islam menjalin kerjasama dengan
“Liga menentang penjajah”.23 Akibatnya perjuangan Partai Sarekat Islam melalui
gerakan Pan-Islam pun mengalami kegagalan.

4. Partai Sarekat Islam Berjuang Melalui PPPKI24


Partai Sarekat Islam yang mendapat tekanan dari pemerintah kolonial
Belanda, tidak menyurutkan perjuangannya dalam mencapai kemerdekaan. Pada
tahun 1927 Partai Sarekat Islam menjalin kerjasama dengan golongan nasionalis
melalui Permufakatan Perhimpunan-perhimpunan Politik Kebangsaan Indonesia
(PPPKI).25 Terbentuknya federasi PPPKI menjadi simbol kesatuan aksi nasional
organisasi pergerakan serta menjadi sarana kerjasama dalam upaya mencapai
kemerdekaan. Perjuangan Partai Sarekat Islam dalam federasi nasional tersebut
sebagai kelanjutan sikap non kooperasi terhadap pemerintah kolonial Belanda.
Melalui federasi PPPKI, Partai Sarekat Islam mengadakan aksi protes. Pada
tanggal 29-30 Maret 1929 Partai Sarekat Islam bersama anggota PPPKI
memutuskan mengadakan aksi umum menentang pasal 153 bis dan ter, serta pasal

22
Amin, M, Syarikat Islam: Obor Kebangkitan Nasional 1905-1942, (Yogyakarta: Amin
Press, 1996), hal. 68
23
Pringgodigdo, A.K., Sejarah Pergerakan Rakyat Indonesia, (Jakarta: Dian Rakyat,
1980), hal. 40
24
Pemufakatan Perhimpunan-Perhimpunan Politik Kebangsaan Indonesia (PPPKI) adalah
organisasi pergerakan kemerdekaan, yang berisikan kumpulan dari beberapa organisasi-organisasi
seperti Partai Sosialis Indonesia, Budi Utomo, Partai Nasional Indonesia, Paguyuban Pasundan,
Jong Sumatranen Bond, Pemuda Kaum Betawi, dan Kelompok Studi Indonesia, didirikan dalam
sebuah rapat di Bandung pada tanggal 17-18 Desember 1927.
25
Suwondo, B., Sejarah Kebangkitan Nasional Daerah Jawa Timur, Depdikbud, 1977),
hal. 146

7
161 bis dari KUHP. Selain itu, juga diputuskan mendirikan Fonds National untuk
menyokong sekolah kebangsaan.26 Erfpacht pun tidak luput dari pentauan Partai
Sarekat Islam. Tjokroaminoto mengupas permasalahan Erfpacht yang merugikan
dan menyengsarakan rakyat Bumiputera. Sehingga diputuskanlah berbagai aksi
untuk membebaskan rakyat dari Erfpacht.27
Namun perjuangan Partai Sarekat Islam melalui PPPKI mengalami berbagai
hambatan. Selain datang dari pemerintah kolonial Belanda, juga dari sesama
anggota federasi. Hal itu disebabkan adanya berbagai perbedaan pandangan,
ditambah kritik kaum nasionalis terhadap Partai Sarekat Islam cabang Batavia yang
tidak ikut serta dalam rapat-rapat protes PPPKI terhadap Poenale Sanctie28, serta
munculnya tulisan penghinaan terhadap Partai Sarekat Islam. Menanggapi berbagai
kritik dari kaum nasionalis, Partai Sarekat Islam kemudian merubah namanya
menjadi Partai Sarekat Islam Indonesia dan terpaksa memutuskan keluar dari
PPPKI.29 Keputusan itu dilakukan Partai Sarekat Islam Indonesia karena berada
dalam kondisi yang tidak memungkinkan untuk tetap berpartisipasi di dalam PPPKI

5. Partai Sarekat Islam Indonesia Berjuang Melalui GAPI


Tanggal 21 Mei 1939, Partai Sarekat Islam Indonesia kembali kembali
mengadakan kerjasama dengan organisasi pergerakan di dalam Gabungan Politik
Indonesia (GAPI). GAPI merupakan federasi nasional yang mengusahakan
kerjasama antara organisasi dan partai politik untuk mengadakan aksi bersama
dalam memanfaatkan situasi dan kondisi yang akan terjadi di Hindia Belanda akibat
pecahnya Perang Dunia II.30

26
Ibid, Suwondo…., hal. 132
27
Amelz., H.O.S. Tjokroaminoto Hidup dan Perdjuangannja, Djilid I. (Djakarta: Bulan
Bintang, 1952), hal. 190
28
Menjadi bagian Ordonansi Kuli tahun 1880 kemudian diperbaharui pada tahun 1889,
aturan ini menetapkan bahwa para tuan tanah pemilik perkebunan boleh menghukum kuli nya
dengan cara yang dianggap pantas, termasuk memberikan denda. Lihat. Marwati Djoened
Poesponegoro & Nugroho Notosusanto, Sejarah Nasional Indonesia V, (Jakarta: Balai Pustaka,
2008), hal. 106
29
Inglison, J., Jalan Ke Pengasingan, Pergerakan Nasionalis Indonesia Tahun 1927- 1934,
(Jakarta: LP3ES, 1988), hal. 143-146
30
Nasihin, Sarekat Islam Mencari Ideologi 1924-1945, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar,
2012), hal. 255-256

8
Perjuangan Partai Sarekat Islam Indonesia melalui GAPI dilakukan secara
diplomasi. Partai Sarekat Islam Indonesia bersama anggota GAPI mengajak
pemerintah kolonial Belanda bekerjasama dalam menghadapi segala kemungkinan
yang akan terjadi di Hindia Belanda akibat situasi internasional yang mulai
bergejolak. Kerjasama dijalankan dengan syarat pemerintah kolonial Belanda
membentuk suatu parlemen yang demokratis bagi rakyat Bumiputera.31 Untuk itu,
GAPI membentuk Kongres Rakyat Indonesia (KRI) yang kemudian dirubah
menjadi Majelis Rakyat Indonesia (MRI). Dari kongresnya, selain mengadakan
propaganda mengajak rakyat Bumiputera mendukung aksi Indonesia berparlemen
sebagai upaya awal untuk mencapai kemerdekaan, juga berhasil menetapkan
bendera Merah Putih serta lagu Indonesia Raya sebagai bendera dan lagu
persatuan.32
Perjuangan Partai Sarekat Islam Indonesia secara diplomasi ternyata tidak
membawakan hasil. Pada 14 Februari 1941 Abikusno (dari Partai Sarekat Islam
Indonesia) memimpin diplomasi dengan Komisi Vismman. Dalam diplomasinya
konsep GAPI tentang pembentukan parlemen (Dewan Negara) dengan dua Kamar
dan Majelis diserahkan. Tetapi usaha Partai Sarekat Islam Indonesia menjadi sia-
sia. Ketika Perang Pasifik pecah, Parindra mengambil inisiatif sendiri
mengeluarkan maklumat GAPI. Maklumat itu meminta pemerintah kolonial
Belanda mengambil alih Hindia Belanda serta mendorong rakyat Bumiputera untuk
membantu dan patuh pada kebijakan yang akan dijalankan.33 Kebijakan sepihak
Parindra34 membuat Partai Sarekat Islam Indonesia kecewa. Hal itu karena
menyalahi tujuan utama yang telah digagas bersama. Sehingga Partai Sarekat Islam
Indonesia sebagai salah satu penganggas memutuskan keluar dari GAPI.35

31
Kartodirdjo. S, Pengantar Sejarah Indonesia Baru: Sejarah Pergerakan Nasional dari
Kolonialisme Sampai Nasionalisme, Jilid 2, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1990), hal. 188
32
Poesponegoro, M.D dan Notosusanto, N., Sejarah Nasional Indonesia, Zaman
Kebangkitan Nasional dan Masa Hindia Belanda, (Jakarta: Balai Pustaka, 2008), hal. 396
33
Noer, Op. Cit., hal. 233-294
34
Suatu partai politik yang berdasarkan nasionalisme Indonesia dan menyatakan tujuannya
adalah Indonesia Mulia dan Sempurna (bukan Indonesia Merdeka).
35
Suryanegara, Api Sejarah, Jilid I, (Bandung: Grafindo Salamadani, 2009), hal. 569

9
Akhirnya perjuangan Partai Sarikat Islam dalam mencapai kemerdekaan kembali
mengalami kegagalan.

B. Persatuan Muslimin Indonesia (PERMI)


Pertumbuhan PERMI
Pasca terjadinya Silungkang36 tahun 1926-9127 Sumatera Thawalib37
mengalami kegoncangan dan kemerosotan yang drastis. Banyak di antara guru-guru
Sumatera Thawalib dilarang mengajar, karena diangggap berbahaya oleh Belanda.
Akibatnya kegiatan Sumatera Thawalib sebagai lembaga pendidikan menjadi
lumpuh. Di samping itu juga akibat terjadinya gempa bumi di Padang Panjang pada
tahun 1927 gedung-gedung Sumatera Thawalib hancur berantakan.
Pada tanggal 24-27 Mei 1930 dilaksanakan kongres Sumatera Thawalib di
Bukit Tinggi. Salah satu keputusan yang penting dari kongers ini adalah Sumatera
Thawalib menjelma menjadi “Persatuan Muslimin Indonesia” (PMI).38 Penjelmaan
ini dipengaruhi kuat oleh elemen-elemen radikal dari Sarekat Islam (SI) cabang
Sumatera Barat dan kelompok-kelompok Sumatera Thawalib menjadi
perhimpunan politik. 39 Dengan berubahnya nama dari Sumatera Thawalib menjadi
PMI maka keanggotaan PMI terbuka untuk umum, dan kegiatannya tidak terbatas
pada kegiatan sosial dan pendidikan saja lagi, tetapi juga sudah bergerak aktif di
bidang politik dalam usahanya memperjuangkan kepentingan rakyat umum.

36
Pemberontakan Rakyat Silungkang 1927 merupakan gerakan Islam revolusioner
terhadap pemerintah Kolonial Belanda, dan bukan sebuah Pemberontakan Komunis sebagaimana
tercantum dalam laporan resmi Kolonial. Lihat. Amir Marzali, Pemberontakan Komunis Silungkang
1926-1927 Sebuah Gerakan Islam Revolusioner, (Paradigma: Jurnal Kajian Budaya, 2020), Vol 10
No. 1, hal. 59-61
37
Sumatera Thawalib lahir di Pusat Ranah Minang. Ia mengawali dirinya sebagai
perkumpulan pelajar-pelajar agama Sumatera, melengkapi diri dengan usaha koperasi anak-anak
mengaji dan seterusnya membina lembaga pendidikan Islam. Terkadang ia juga menampakkan diri
sebagai perkumpulan guru-guru muda agama Islam yang berupaya menyajikan pendidikan Islam
dalam bentuk baru, memakai didaktik dan metodik dalam mengajarkan dan mengembangkan
pemkian-pemikiran Islam yang baru, baik di ruangan kelas, maupun di tengah masyarakat, baik
secara lisan maupun tulisan. Lihat. Burhanuddin Daya, Sumatra Thawalib Dalam Gerakan
Pembaharuan Pemikiran Islam di Sumatera Barat, (Jurnal: Al-Jamiah, 1989), No. 38, hal. 14
38
Dinas Sosial, Bunga Rampai Nilai-Nilai Perjuangan Perintis Kemerdekaan di DKI
Jakarta, (Jakarta: Daerah Khusus Ibukota, 19870, hal. 28
39
Yudi Latif, Genealogi Intelegensia: Pengetahuan & Kekuasaan Inteligensia Muslim
Indonesia Abad XX, (Jakarta: Kencana Prenadamedia, 2013), hal. 265

10
Fakih Hasyim, salah seorang tokoh PMI yang sudah mengawali
pergerakannya mulai dari Surau Jembatan Besi adalah seorang tokoh PMI yang
mempopulerkan ide ekonomi yang berdiri pada kaki sendiri (antarki) dan
menganjurkan pembentukan Bank Nasional yang berdiri sendiri pula. Fakih
Hasyim sebelumnya adalah anggota Indonesische Studie Club40 di Surabaya yang
banyak mempengaruhi cara berpikir selanjutnya. Haji Abdullah Madjid dan A.
Gaffar Ismail pandangan politiknya lebih cenderung kepada pandangan Islam yang
banyak dipengaruhi oleh PSII (Partai Sarikat Islam Indonesia). Haji Djalaluddin
Thaib dan Darwis Thaib pandangan mereka lebih banyak dipengaruhi oleh
pandangan Partindo dan PNI-Hatta.41
Dalam kongres PMI pertama tanggal 5-9 Agustus 1930 di Payakumbuh
yang diikuti oleh 6 cabang PMI ditetapkanlah landasan perjuangan organisasi ini
dalam anggaran Dasar PMI. Antara lain disebutkan bahwa: Indonesia yang terdiri
dari banyak pulau dengan 80 % penduduknya memeluk agama Islam yang
merupakan bagian dari dunia Timur mendasarkan perjuangan mereka atas Islam
dan Kebangsaan. Muslimin Indonesia sedang berjuang untuk kemajuan agar
memperoleh hak-hak kemanusiaan yang harus tercermin dalam tata kehidupan
sosial, kemakmuran dan kemuliaan hidup mereka, dan sebagainya.

Ideologi PERMI
Pada kongres kedua PMI tahun 1932 di Padang nama PMI ditukar dengan
PERMI42 dan mulai saat itulah PERMI resmi menjadi satu partai politik. Sikap
perjuangan PERMI terhadap pemerintah Hindia Belanda adalah tidak mau
bekerjasama (non Koperasi) dan berjuang secara radikal dalam menghadapi musuh
bangsa dan agama. Sikap PERMI yang demikian tegas, kembali membangunkan
semangat juang rakyat Sumatera Barat dari kelesuan yang disebabkan akibat perang
Silungkang 1925-1927.

40
Merupakan wadah pemersatu keinsyafan dan pemahaman politik para pelajar, didirikan
oleh Sutomo pada bulan Juli 1924 di Surabaya. Lihat Slamet Muljana, Kesadaran Nasional, Dari
Kolonilaisme Sampai Kemerdekaan, (Yogyakarta: LKiS, 2012), hal. 68
41
Proyek Penelitian dan Pencatatan Kebudayaan Daerah, Sejarah Kebangkitan Nasional
Daerah Sumatera Barat, (Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1977), hal. 66
42
Taufik Abdullah, dkk, Sejarah Sosial Daerah Sumatera Barat, (Departemen P dan K,
1983), hal. 4

11
Selama periode dari Januari 1931 hingga Juli 1932 PERMI berubah dengan
cepat dari organisasi pendidikan dan ekonomi yang berorientasi politik ke partai
politik nasionalis radikal. Setelah apa yang disebut "fase pendidikan politik, dari
November 1931 hingga Juli 1932, PERMI menyatakan dirinya sebagai partai
"radikal dan non-kooperatif". PERMI telah secara aktif terlibat dalam mewujudkan
program pendidikan dari bekas Sumatera Thawalib, seperti menetapkan kurikulum
sekolah standar dan meningkatkan sekolah agama. Sebagai bagian dari kegiatan
ekstrakurikulernya, PERMI dengan cepat mengembangkan organisasi pramuka “el-
Hilal”, menjadi yang terbesar di Sumatera Barat. Setelah transformasi resmi
PERMI menjadi sebuah partai politik, pramuka menjadi organisasi independen.
Dari Juli 1932 hingga April 1933, PERMI berkembang menjadi partai politik
terbesar paling radikal di Sumatera dan memulai persiapan untuk ekspansi ke Jawa
setelah cabang-cabangnya tersebar di Minangkabau dan lainnya.43
Paham Nasionalisme dan Islam menjadi dasar rumusan ideologi PERMI
berkat bantuan Haji Ilyas Yakub seorang yang pernah menempuh pendidikan di
Makkah dan Mesir dan Muchtar Lutfi seorang yang melakukan pengembaraan dari
Malaya ke Mesir dan Makkah. Sekembalinya ke Minangkabau mereka melihat
pertentangan antara Syarekat Islam dan PNI, mereka mempunyai gagasan
mendirikan partai yang berbasis kebangsaan dan keagamaan, karena kedua hal itu
tidak dapat dilepaskan dalam kehidupan manusia.44 Pandangan Permi yang
memadukan paham nasionalisme dengan Islam sejalan dengan pendapat banyak
orang Minangkabau saat itu. Pandangan ini mengkritik partai-partai nasionalis
lainnya yang mengambil model gerakan nasionalis India dan cenderung enggan
mengakui Islam sebagai faktor pemersatu dalam perjuangan kemerdekaan.
PERMI merumuskan kebangsaan sebagai cara bertindak dan strategi
perjuangan untuk mencapai kemerdekaan, bukan hanya sekedar landasan berpikir.
Kebangsaan adalah jalan untuk mencapai kemerdekaan Indonesia. Adapun Islam

43
Taufik Abdullah, Schools and Politics: The Kaum Muda Movement in West Sumatra
(1927-1933) (Jakarta: Equinox Publishing, 2009), hal. 202
44
Noer, Deliar, Gerakan Modern Islam di Indonesia 1900-1942, (Jakarta: LP3ES, 1996),
hal. 170-173

12
yang menjadi slogan PERMI adalah landasan dan i’tikad perjuangan untuk
mencapai kemuliaan Islam. Organisasi yang baru dibentuk ini kemudian membagi
kerjanya pada empat bagian yaitu politik (ideologi Islam dan Kebangsaan), sosial,
ekonomi, dan persamaan hak kemanusiaan. 45

Perkembangan dan Pergerakan PERMI


Dalam waktu yang singkat PERMI berkembang dengan cepat. Cabang-
cabang dan ranting PERMI terdapat di seluruh Sumatera Barat. Cabangnya
berjumlah sebanyak 30 buah dan ranting-rantingnya sebanyak 160 buah di seuruh
daerah Sumatera Barat. Jumlah seluruh anggota, adalah 750.000 orang. Untuk
menyebarluaskan aspirasi perjuangan meraka ke tengah-tengah masyarakat
Sumatera Barat maka PERMI menerbitkan sebuah majalah yang bernama “Medan
Rakyat” di Padang dan dipimpin oleh Haji Ilyas Yakub. Majalah Medan Rakyat ini
betul-betul dapat berfungsi sebagaimana yang diharapkan.46
Dalam waktu yang relatif singkat media pers ini dapat memperluas
pengaruh ke pelosok Sumatera Barat, hingga jumlah simpatisan PERMI jauh
melebihi jumlah anggotanya sendiri. Ke dalam majalah itu dituangkan semua ide
perjuangan PERMI, bagaimana cara perjuangan yang hendak ditempuh, apa
perlunya kehidupan ekonomi rakyat yang ditingkatkan dan sebagainya. Di samping
itu pada Medan Rakyat juga terlihat pokok-pokok pikiran menurut garis sosialisme
ekstrim yang mencemaskan pemerintah Belanda di Sumatera Barat dan hal ini
menyebabkan segala kegiatan PERMI diawasi pemerintah Belanda dengan ketat.
Setelah PERMI resmi menjadi politik, terjadilah perpecahan atau
pertentangan pendapat dengan pemimpin-pemimpin Muhammadiyah dan
perguruan Diniyah (Padang Panjang). Muhammadiyah akan mengeluarkan
pemimpin-pemimpin mereka yang berorientasi politik sebagai anggota
Muhammadiyah, begitu juga dengan perguruan Diniyah. Di samping itu beberapa
penasehat Sumatera Thawalib dari angkatan tua yang masih sangat berpengaruh

45
Eka Yudha Wibowo, Pengaruh Haji Terhadap Politik Islam di Indonesia, Tahun 1900-
1945, (Yogyakarta: Thaqafiyyat, 2015), Vol. 16 No. 1, hal. 50
46
Yuliandre Darwis, Sejarah Perkembangan Pers Minangkabau 1859-1945, (Jakarta:
Gramedia Pustaka Utama, 2013), hal. 65

13
seperti Dt. Bandaro Basa dan Syech Ibrahim Musa Parabek dari semula sudah
menentang pembubaran Sumatera Thawalib dan dijadikan PERMI.
Gagasan Islam nasionalis Rasyid Ridha telah sangat mempengaruhi para
ulama di Sumatra Barat. Namun gagasan ini baru mendapatkan wadah politk yang
cocok ketika terbentuknya Permi dan pulangnya dua cendekiawan Minangkabau
tamatan Kairo, Ilyas Ya'kub dan Muchtar Lutfi untuk memegang tampuk
kepemimpinan PERMI.47
Di Padang PERMI segera menceburkan dirinya dalam kegiatan organisasi
yang ada. Langkah pertama, bulan Juni 1930 PERMI ikut dalam kegiatan Persatuan
Guru Hindia Belanda (PGHB) dalam rangka menentang rencana pemerintah Hindia
Belanda di Sumatera Barat untuk menghentikan perluasan HIS. Selanjutnya
PERMI mengajak organisasi-organisasi lain terutama persatuan pedagang,
organisasi-organisasi agama dan organisasi lainnya.48
Di Padang, PERMI tidak hanya sebatas mempengaruhi golongan Islam saja,
tetapi juga berusaha mempengaruhi para intelektual Barat Minangkabau. Pada
mulanya mereka hanya dapat mempengaruhi pemuda Intelektual Barat itu melalui
perkumpulan Jong Islamiaten Bond. Tetapi akhir tahun 1930 PERMI telah dapat
mengumumkan berdirinya cabang-cabang PERMI di kota Padang dengan
anggotanya terdiri dari segala golongan masyarakat. Akhir tahun 1930 itu juga
PERMI sudah memulai pekerjaan beratnya dengan mengadakan pertemuan-
pertemuan masa dan menerbitkan majalah.
Segala kegiatan PERMI dapat dicapai dengan berhasil berkat bantuan para
pedagang besar Pasar Gadang di Padang yang bertindak sebagai pendorong dan
pemberi dana yang dibutuhkan. Dengan bantuan Basa Bandaro, seorang tokoh
terkemuka dalam masyarakat pedagang di Padang, PERMI dapat berhubungan
dengan Himpunan Sandang Indonesia di Padang. Hal ini melapangkan dada PERMI
untuk memperoleh dana buat penunjang program pendidikannya, terutama untuk
pendirian Islamic College.

47
Audrey Kahin, Dari Pemberontakan ke Integrasi: Sumatra Barat dan Politik Indonesia
1926-1998, (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2008), hal. 62–63.

14
Pendirian lembaga ini adalah dalam rangka usaha menjalani kerjasama
dengan para intelektual Barat. Pada waktu itu, para intelektual Barat asal orang
Sumatera Barat sendiri memandang rendah terhadap para ulama Islam. Mereka
menganggap kedudukan mereka sangat tinggi di tengah masyarakat karena mereka
telah melalui sistem pendidikan yang dilaksanakan oleh orang Barat yang mereka
anggap mempunyai kelebihan dari orang Timur. Karena pendidikan dengan sistem
Barat yang mereka terima, mereka bekerja pada pemerintahan Belanda dan untuk
itu mereka mendapat gaji yang cukup besar dan dimanjakan Belanda. Sedangkan
para Ulama adalah tamatan pendidikan tradisional yang mereka anggap rendah
tingkatnya.
Oleh karena itu, mereka para intelektual Barat menganggap rendah kepada
Ulama Islam. Di samping itu mereka menganggap apa yang diperjuangkan ulama-
ulama itu sebagai suatu usaha yang merongrong pemerintahan Belanda, yang
berarti merongrong mereka juga. Anggapan yang demikian merupakan jurang
pemisah yang sangat dalam antara para ulama dengan para intelektual Barat itu.
Dengan membuka Islamic College, tingkat pengetahuan ulama-ulama dapat
ditingkatkan karena Islamic College adalah lembaga pendidikan setingkat Sarjana
Muda. Itulah usaha PERMI dalam mendekati para Intelektual Barat, jadi Intelektual
Barat didekati dengan Intelektual Islam.49
Di dalam tubuh PERMI sendiri terdapat dua golongan besar yaitu golongan
nasionalisme dan golongan Islam. Golongan nasionalisme lebih mengutamakan
rasa persatuan kebangsaan dalam memperjuangkan ide-idenya. Gologan Islam
mengutamakan cara-cara yang diajarkan agama Islam dalam memperjuangkan ide-
idenya. Di antara kedua golongan itu tujuan perjuangannya sama, tetapi cara yang
ditempuh untuk memperjuangakannya agak berbeda. Hal ini sudah terasa sejak
PERMI diresmikan jadi partai politik. Antara tahun 1930-1932 salah satu usaha
PERMI ke dalam dirinya sendiri adalah mempersatukan kedua pandangan ini,
karena masing-masing golongan ini mempengaruhi golongan lain, mereka saling
berebut pengaruh dalam tubuh PERMI sendiri.

49
Op. Cit, Sejarah Kebangkitan Nasional Daerah Sumatera Barat, hal. 72

15
Ilyas Ya’kub dalam tajuknya di Medan Rakjat terbitan Februari 1931
menyesalkan krisis dalam pergerakan rakyat Indonesia pada saat itu, terutama
terpecahnya gerakan Islam dengan nasionalis (kebangsaan). Menurutnya,
meskipun didasarkan atas dua asas yang berbeda, tidak ada perbedaan dan
pertentangan pada tujuan yang hendak dicapai kedua gerakan tersebut. Dia
menyerukan persatuan sebagai tanda kedewasaan, dan berpendapat memasukkan
slogan Permi "Islam dan kebangsaan" ke dalam gerakan politik akan memecahkan
krisis.50
Pada tahun 1934 pemerintah Belanda mempergunakan “hak luar biasa”
Gubernur Jenderal terhadap PERMI. Kegiatan PERMI dibatasi, pemimpin-
pemimpinnya ditangkap dan dibuang ke Digul. PERMI dilarang mengadakan rapat.
Pada tahun 1937 PERMI dibubarkan pemerintah Hindia Belanda.51

C. Persatuan Tarbiyah Indonesia (PERTI)


Pertumbuhan PERTI
Minangkabau merupakan wilayah yang terkenal kuat keterkaitannya pada
adat, disamping itu, Minangkabau adalah salah satu daerah yang mengalami proses
Islamisasi sangat dalam. Akan tetapi Sulit dipastikan kapan sebenarnya Islam
masuk ke daerah ini. Ada yang mengatakan abad ke-8, abad ke-12 dan bahkan ada
juga yang memperkirakan abad ke-7 karena menurut almanak tiongkok, sudah
didapati suatu kelompok masyarakat Arab di Sumatera Barat pada tahun 674 M.52
Terlepas dari berbagai versi yang ada, Hamka mengatakan bahwa raja Islam
pertama di Minangkabau (pagaruyung) adalah Raja Alam Arif sekitar tahun 1600
M. Oleh karena pusat kerajaan ini jauh dari daratan, diperkirakan bahwa dengan

50
Taufik Abdullah,, Schools and Politics: The Kaum Muda Movement in West Sumatra
(1927-1933). Equinox Publishing, 2009), hal.. 177.
51
Proyek Penelitian dan Pencatatan Kebudayaan Daerah, Sejarah Kebangkitan Nasional
Daerah Sumatera Barat, (Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1977), hal. 73
52
Taufik Abdullah, Sejarah dan Masyarakat, Lintas Historis Islam di Indonesia, (Jakarta:
Pustaka Firdaus. 1987), hal. 111-112, dan lihat juga Mahmud Yunus, Sejarah Pendidikan Islam di
Indonesia, (Jakarta: Pustaka Mahmudiah. 1960), hal. 17-18.

16
masuknya raja tersebut, berarti Islam telah menyebar di wilayah Minangkabau
sekitar tahun 1600 M tersebut.53
Sejak Islam masuk ke Minangkabau, telah terjadi beberapa kali
pembaharuan. Pada awal abad ke-20 muncul gerakan pembaharuan Islam di
Minangkabau yang dipelopori oleh kaum muda. Gerakan itu bertujuan untuk
mengubah tradisi, terutama gerakan tarekat. Kaum muda melakukan perubahan
melalui pendidikan, dakwah, media cetak dan perdebatan. Mereka mendirikan
lembaga-lembaga pendidikan seperti Sumatera Thawalib yang lebih
mengutamakan ilmu-ilmu untuk menggali dan memahami Islam dari sumbernya.
Menyadari gencarnya kegiatan kaum muda, kaum tua pun mulai bergerak,
mereka melakukan reaksi yang sama, yaitu dengan menerbitkan majalah. Diantara
majalah yang mereka terbitkan termasuk Suluh Melaju di Padang (1013), al-Mizan
di Maninjau (1918) yang diterbitkan oleh organisasi local Sjarikat al-Ihsan, Al-
Mizan, (lain pula) 1928 dan Suarti (Suara Perti) dalam tahun 1940 yang berkenaan
dengan soal-soal organisasi.54 Dalam bidang pendidikan, kaum tua mengaktifkan
lembaga surau. Kaum tua juga membentuk suatu perkumpulan yang bernama
Ittihadul sebagai tandingan kaum muda yang dikenal dengan PGAI.
Diilhami oleh perkembangan tersebut, timbullah niat Syekh Sulaiman Ar-
Rasuly untuk menyatukan ulama-ulama kaum tua dalam sebuah wadah. Untuk itu,
Syekh Sulaiman Ar-Rasuly, memprakarsai suatu pertemuan besar di Candung
Bukittinggi pada tanggal 5 Mei 1928.55 Pertemuan itu dihadiri oleh sejumlah kaum
tua, diantaranya Syekh Abbas al-Qadhi, Syekh Muhammad Djamil Djaho, Syekh
Wahid ash-Shahily dan ulama kaum tua lainnya. Dalam pertemuan itu disepakati
untuk mendirikan Madrasah Tarbiyah Islamiyah yang disingkat dengan MTI.
Pada tahun 1930, mengingat pertumbuhan dan perkembangan madrasah-
madrasah Tarbiayah Islamiyah, timbullah keinginan Syekh Sulaiman Ar-Rasuly
untuk menyatukan ulama-ulama kaum tua, terutama para pengelola madrasah

53
Hamka, Ayahku Riwayat Hidup Dr. H. Abd Karim Amrullah dan Perjuangan Kaum
Agama, (Jakarta: Widjaya. 1950), hal. 5
54
Deliar Noer, Gerakan Modern Islam di Indonesia 1900-1942, (Jakarta: LP3ES. 1980),
hal. 241.
55
Dewan Redaksi Ensiklopedia Islam, Ensiklopedi Islam 4, (Jakarta PT. Ikhtiar Baru Van
Hoove, 1994), hal. 97.

17
dalam suatu wadah organisasi. Untuk itu, ia mengumpulkan kembali ulama-ulama
kaum tua di Candung Bukittinggi pada tanggal 20 Mei 1930.56 Pertemuan ini
memutuskan untuk membentuk organisasi Persatuan Tarbiyah Islamiyah yang
disingkat dengan PTI. Ketika terbentuknya organisasi ini ada 7 Madrasah Tarbiyah
Islamiyah kepunyaan kaum Tua yang tergabung di dalamnya. Pada tahun 1930 PTI
mendapatkan pengakuan resmi dari pemerintah sebagai badan hukum, yang oleh
karena itu tahun 1930 disebut juga sebagai tahun pertama bagi PTI. Jumlah ulama
yang menggabungkan diri dengan PTI cukup banyak.57
Pada tahun 1935 diadakan rapat lengkap di Candung Bukittinggi yang
menunjuk H. Siradjudin Abbas sebagai ketua Pengurus Besar PTI. Pada masa
kepengurusan ini, berhasil disusun Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga
dan disahkan oleh konfrensi tanggal 11-16 Februari 1938 di Bukittinggi, dan
disepakati juga singkatan Persatuan Tarbiyah Islamiyah berubah menjadi PERTI.
Ketika itu dirumuskan pula tujuan organisasi ini, yaitu:
1. Berusaha memajukan pendidikan agama dan yang bersangkutan dengan itu.
2. Menyiarkan dan mempertahankan agama Islam dari segala serangan.
3. Memperhatikan kepentingan ulama-ulama, guru-guru sekolah agama
seluruhnya, terutama sekolah-sekolah Tarbiyah Islamiyah.
4. Memperkukuh silaturahmi sesama anggota.
5. Memperkukuh dan mempekuat ‘adat nan kawi, syara’ nan lazim” dalam
setiap negeri.58

Peran dan Pergerakan PERTI


Syekh Sulaiman Ar-Rasuly dalam mengembangkan organisasi yang
didirikannya mengalami perkembang pesat. Pada tahun 1937, tercatat sebanyak 137
MTI di Minangkabau, dan di beberapa tempat luar Minangkabau. Pada tahun 1938,
didirikan pula sebuah madrasah khusus untuk putri, yaitu MTI putri di Bengkawas,
Bukittinggi yang dipimpin Ummi Hj. Syamsiah Abbas dimana pada tahun 1940

56
Nelmawarni, dkk, “Persatuan Tarbiyah Islamiyah (PERTI)”, dalam Sosiohumanika 16
B (1), (Padang: IAIN-IB Press. 2003), hal. 52
57
Karel A. Steenbrik, Pesantren, Madarasah, Sekolah, (Jakarta: LP3ES. 1974), hal. 64
58
Nelmawarni, Op.Cit, hal. 53

18
tercatat memiliki murid sekitar 250 orang. Bahkan pada tahun 1937, misalnya,
jumlah murid di MTI Jaho mencapai sekitar 700 orang, kemudian MTI Candung
dengan jumlah murid sebanyak 500 orang, dan pada tahun 1938 mencapai 500
orang murid. Diperkirakan pada tahun 1942 sudah terdapat 300 sekolah PERTI
dengan 45.000 murid. Sekolah-sekolah tersebut tidak merupakan persatuan yang
ketat, diantaranya terdapat perbedaan sifat dan tingkat. Dalam PERTI, termasuk
surau kecil maupun surau besar, dimana diajarkan agama pada tingkat tinggi
maupun tingkat rendah, semua disebut Madrasah PERTI.
Madrasah PERTI menerapkan sistem klasikal, akan tetapi belum
memasukkan perubahan isi pendidikan. Pada beberapa surau pengajian Alquran
atau pengajian kitab kitab yang tradisional hanya diselenggarakan menurut sistem
klasikal. Namun pada surau yang lain, dimasukkan juga beberapa mata pelajaran
dari sekolah gubernemen. Sampai tahun 1947 sekolah PERTI, yang memasukkan
mata pelajaran umum belum begitu banyak.
Isu yang mengatakan PERTI hanyalah organisasi lokal dan partai kecil,
kelihatannya membuat para peneliti kurang tertarik menjadikan objek studi.
Padahal menurut Deliar Noer,59 pada tahun 1945 saja organisasi ini sudah
mempunyai cabang hampir diseluruh Sumatera dan beberapa daerah lainnya di luar
pulau Sumatera, seperti Kalimantan Selatan dan Sulawesi Selatan dengan anggota
sekitar 400.000 orang. Perkembangan selanjutnya tercatat 350 buah madrasah milik
PERTI dari tingkat kanak-kanak sampai Perguruan Tinggi. Oleh karena itu perlu
dipertegas lagi, tidak mustahil organisasi “kaum tua” yang mengklaim dirinya
sebagai pengikut Ahlussunnah Waljama’ah dan mazhab Syafi’I ini, mempunyai
banyak studi yang menarik untuk dikaji. Selain aktif dibidang pendidikan,
organisasi ini juga aktif diluar bidang pendidikan, diantaranya membangun
sejumlah masjid dan rumah yatim piatu. Sesudah 1945 PERTI juga membangun
klinik dan rumah sakit melalui Yayasan Rumah Sakit Islam (Yarsi).
Pada periode-periode berikutnya, terutama pada masa Ekawibawa Bung
Karno, dalam mengikuti gagasan NASAKOM telah menimbulkan pro dan kontra

59
Deliar Noer, Gerakan Modern… Op. Cit, hal. 244

19
dalam tubuh PERTI. Kemelut yang kurang terbenahi ini kenyataannya sangat
merugikan bagi tujuan semula dari organisasi ini. Pengelolaan bidang pendidikan,
dakwah dan sosial seolah-olah terabaikan kalau tidak dapat dikatakan terlupakan
sama sekali. Oleh karena itu, pada tahun 1969 Syekh Sulaiman Ar-Rasuly pendiri
organisasi ini satu-satunya yang masih hidup pada waktu itu, mendekritkan agar
kembali kepada khittah semula, yaitu status non-politik. Dekrit sesepuhnya itu
hanya di diterima oleh sebagian saja, yang dipimpin Baharuddin Ar-Rasuly yang
kemudian menyalurkan aspirasi politiknya bergabung dengan GOLKAR. Adapun
sebagian lagi yang tidak menerima dekrit tersebut tetap sebagai anggota partai
politik dan ikut dalam pemilihan umum 1971.
Pada masa pasca Orde Baru, untuk menjaga independensi organisasi agar
tidak berpolitik praktis, maka pada Munas ke IV Tarbiyah tahun 1999 di Hotel Jaya
Raya Cisarua Puncak. Organisasi ini mengambil sebuah keputusan yang penting
yaitu “untuk tidak berafiliasi lagi dengan partai politik apapun”. Dalam hal ini
Tarbiyah di deklarasikan sebagai organisasi masa keagamaan yang independen.60
Dengan posisi yang semacam ini, orang akan jadi paham akan apa yang
terjadi di kalangan Persatuan Tarbiyah Islamiyah setelah berkiprah di dunia politik.
Garapannya yang bercabang dua; pendidikan keagamaan dan politik kenegaraan,
adalah lahan yang jelas menuntut dinamisasi dan penalaran intelektual dengan
segala macam sistemnya. Artinya, para tokoh Persatuan Tarbiyah Islamiyah yang
memiliki kemampuan intelektual, punya dua wajah fundamental garapan
penalarannya. Hanya, karena telah mengambil kata sepakat untuk tidak
membicarakan nilai-nilai keagamaan, ibadah dan akidah yang sudah menjadi
amalan banyak orang, mereka menjadi segan untuk mengggarap lahan itu. Lalu,
sebagai manusia, dan apalagi sebagai tokoh-tokoh yang berpotensi intelektual dan
butuh penyalurannya, disengaja atau tidak, potensi nalar itu teralirkan ke potensi
kedua, dunia politik dengan segala macam tipu daya.61

60
Alaidin Koto, Sejarah Perjuangan Persatuan Tarbiyah Islamiyah di Pentas Nasional,
(Jakarta: Tarbiyah Press, 2006) hal. 128- 135.
61
Alaidin Koto, Ibid, hal. 101

20
Namun keterlibatan elite-elite Tarbiyah dalam politik, tidak begitu saja
mudah diterima oleh elite-elite Tarbiyah lainnya yang berasal dari akademisi.
Mereka memandang beragam persoalan keterlibatan elite-elite Tarbiyah di kancah
politik lokal di Kota Padang. Pandangan pertama adalah keterlibatan elite-elite
Tarbiyah di kancah politik tidak membawa dampak apa-apa terhadap Tarbiyah
secara kelembagaan. Mereka yang masuk partai politik hanya membawa misi
pribadi tanpa mencoba memberikan sumbangan fikiran dan materi untuk
perkembangan lembaga kedepan. Kondisi tersebut hanya menyeret Tarbiyah dalam
pergolakan politik semata, sehingga inti dari misi lembaga yaitu pendidikan, sosial
dan dakwah sering terabaikan.

Kiprah PERTI di Minangkabau


Kemunculan PERTI di Minangkabau semenjak tahun 1928 mengalami
perkembangan cukup menggembirakan dengan berubahnya sistem pendidikan
surau menjadi madrasah. Bahkan jumlah Madrasah Tarbiyah Islamiyah (MTI) yang
diorganisir dalam wadah PERTI berkembang dengan baik. Pendidikan yang
bernaung di bawah PERTI yang bertujuan secara filosofis sama dengan tujuan
pendidikan yang telah diperbarui kaum reformis, bahkan sampai sekarang tujuan
pendidikan PERTI itu masih relevan dengan tujuan pendidikan nasional. Tujuan
seperti dikemukakan oleh Samsul Nizar, yaitu untuk membentuk al-Insan al-Kamil
atau manusia paripurna. Maka setidaknya pendidikan Islam seyogyanya diarahkan
pada dua dimensi, yaitu pertama, dialektika horizontal terhadap sesamanya. Kedua,
dimensi ketundukan vertikal kepada Allah. 62
Namun jika dibandingkan dengan Perserikatan Muhammadiyah yang
didirikan oleh K.H. Ahmad Dahlan di Yogyakarta pada tanggal 18 November 1912
M.63 PERTI tidak begitu pesat perkembangannya. Hal ini walaupun sama-sama
dalam keadaan zaman menuju pergerakan untuk Kemerdekaan RI, akan tetapi
keberadaan kedua organisasi itu dari pekembangannya jauh berbeda.

62
Samsul Nizar, Seabad Buya Hamka, Memperbincangkan Dinamika Intelektual dan
Pemikiran Hamka tentang Pendidikan Islam, (Jakarta: Kencana, 2008), hal. 116.
63
Herry Mohammad, dkk., Tokoh-Tokoh Islam yang Berpengaruh abad Ke-20, (Jakarta:
Gema Insani, 2006), hal. 10.

21
K.H. Ahmad Dahlan bergabung dengan Boedi Oetomo dan kawan-
kawannya yang mendunia sifatnya, sedangkah Syekh H. Soelaiman Ar-Rasuli
bergabung dengan ulama-ulama daerah atau lokal saja. Karena itu, PERTI lahir di
Sumatera Barat tidak meluas sampai ke Yogyakarta. Adapun Perserikatan
Muhammadiya lahir di Yogyakarta akan tetapi ke Sumatera Barat bahkan besarnya
di Sumatera Barat. Jika dipandang dari keberadaan PERTI baik sebagai lembaga
pendidikan maunpun dalam bentuk organisasi semenjak berdiri secara resmi pada
tahun 1928 M, maka PERTI telah memberikan peranannya sebagaiman organisasi
Islam lainnya didalam Negara Kesatuan Republik Indonesia. Inti kiprah dengan
berdirinya PERTI dalam bentuk lembaga sesuai dengan apa yang diungkapkan oleh
Daud Effendi, pengamat politik Islam mengatakan bahwa dengan kehadiran
lembaga pendidikan Islam semenjak sistem surau sampai ke madrasah, mampu
memberikan getaran-getaran eskatologi atau spiritualitas yang dalam di tengah-
tengah komunitas.64 Kiprah PERTI bukan pendidikan saja, akan tetapi mencakup
kiprahnya dalam mengisi dan membentuk basis perjuangan rakyat dan
kemerdekaan.
Keberadaan PERTI sebagai pembentuk lembaga pendidikan dan sebagai
Partai Politik telah banyak mempunyai andil dalam masyarakat: Pertama, alumni
Madrasah Tarbiyah Islami banyak berkiprah apalagi setelah merdeka atau
menjelang Pemilihan Umum pertama tahun 1951, alumni MTI banyak yang aktif
dalam partai bahkan menjadi anggota Konstituante seperti Rusli Abdul Wahid anak
dari Syekh Abdul Wahid Gadang Suluki Payakumbuh, Umar Bakry alumni
Madrasah Tarbiyah Candung Bukitinggi dari Tanah Datar, dan lain-lain. Selain itu,
banyak juga yang berkerja dalam pemerintahan, terutama dalam lembaga peradilan
Agama seperti Buya Dt. Manujun dari Jaho Padang Panjang. Hal ini mungkin
karena materi yang dipelajarinya semasa di Madrasah dahulu kitab-kitab kuning
seperti Mahalli, Thaufah, Bidayatu al-Mujtahid, dan Baiquni. 65

64
Abuddin Nata (Editor), Sejarah Pertumbuhan dan Perkembangan Lembaga-lembaga
Pendidikan Islam di Indonesia, (Jakarta: Grasindo, 2001), hal. Cover Belakang
65
Penjelasan Buya Umar Bakry kepada penulis tahun 1973 di Madrasah Tarbiyah
Islamiyah Padang Panjang Pariangan Tanah Datar (Penulis kls 3 MTI). Pengertian tentang “Kitab
Kuning” ini dipertegas oleh Azyumardi Azra: “Kitab-kitab keagamaan berbahasa Arab Melayu,
yang ditulis oleh ulama Timur Tengah juga ditulis oleh ulama Indonesia sendiri. Lihat Azyuramardi

22
Kedua¸ alumninya banyak juga mendirikan atau mengisi kegiatan yang
bersifat “Uzlah”, seperti mendirikan kelompok pengajian termasuk pengajian suluk
dan tarekat. Biasnaya Tungku Khalifah lebih dekat kepada ulama-ulama atau
alumni Madrasah Tarbiyah Islamiyah daripada alumni Thawalib atau Muallimin
atau Sekolah Muhammadiyah. Keberadaan tempat suluk di berbagai daerah adalah
salah satu kontribusi bagi pendidikan rohani bagi orang-orang dewasa dan lansia.

D. Masyumi
Pertumbuhan Masyumi
Pada bulan November 1943 secara resmi Jepang meresmikan Madjelis
Sjoero Moeslimin Indonesia atau yang lebih dikenal dengan Masyumi dan
membubarkan MIAI yang didominasi oleh para kaum Islam perkotaan. Masyumi
menjadi sarana baru bagi Jepang untuk menarik simpati masyarakat muslim agar
mendukung kepentingan perang Jepang yang terlihat mulai terdesak.
Dalam perkembangannya ada dua jenis keanggotaan di Masyumi. Pertama
adalah organisasi-organisasi Islam yang mendapatkan legalitas dari Jepang untuk
beraktifitas. Kedua adalah para ulama atau pemimpin yang mendapatkan
rekomendasi dari biro urusan agama. Masyumi pun dalam perjalanannya
didominasi oleh Muhammadiyah dan Nahdlatul Ulama karena hanya kedua
organisasi ini yang mendapatkan legalitas Jepang untuk beraktifitas selanjutnya dua
organisasi tradisionalis Persatuan Oemmat Islam pimpinan K.H. Ahmad Sanusi dari
Sukabumi dan Perikatan Oemmat Islam pimpinan K.H. Abdul Halim dari Cirebon
juga menyusul bergabung.66
Masyumi dengan otoritas penuh dari Jepang mampu membentuk cabang
diseluruh level kepengurusan, mulai dari tingkat Karisedenan, kawedanan,
kecamatan, desa bahkan sampai ke kelompok-kelompok rukun tetangga bentukan
Jepang. Bagi Jepang luasnya jaringan Masyumi diharapkan dapat memperkuat
basis penguasaanya di Nusantara. Bahkan pada bulan Desember tahun 1944 Jepang

Azra, Pendidikan Islam: Tradisi dan Modernisasi menuju Millenium Baru, (Jakarta: Kalimah,
2001), hal. 36
66
Benda, J. Bulan Sabit dan Matahari. (Jakarta, Pustaka Jaya: 1980). hal. 152.

23
mengumumkan pengoperasian satuan tentara sukarelawan Muslim Hizbullah.
Perkumpulan semi militer ini diberi seragam dan perlengakapan serdadu yang
kemudian diberi pelatihan militer oleh tentara Jepang selama tiga bulan.
Masyumi berbeda dengan organisasi Islam lain yang lahir sebelumnya,
selama kurun waktu setahun sejak pendiriannya Masyumi mampu melakukan
pekerjaan yang tak pernah dilakukan sebelumnya oleh organisasi lainnya. Diantara
lain membangun jaringan keseluruh pelosok Nusantara, merekrut milisi dalam
jumlah yang besar dan menyatukan berbagai kelompok perjuangan kaum Islam.
Pada bulan November 1945 atau tiga bulan setelah proklamasi kemerdekaan
Masyumi mengadakan Kongres yang pertama kalinya. Dalam berbagai sidang,
muncul perdebatan sengit antar peserta kongres terkait nama organisasi. Para
pendiri Masyumi bersikukuh untuk tetap menggunakan nama Masyumi karena
struktur Masyumi sudah tersebar keseluruh wilayah Nusantara sehingga akan
membutuhkan waktu yang lama untuk kemudian mensosialiasikan nama yang baru,
pihak yang lain berpendapat bahwa Masyumi adalah bentukan Jepang. Mereka
tidak mau dibayang-bayangi masa lalu dan diolok-olok kaum nasionalis karena
tetap mempertahankan organisasi bentukan Jepang.67
Kongres diwarnai perdebatan yang cukup alot, dan forum akhirnya
memutuskan bahwa Masyumi tidak berubah nama, hanya ditambah kata partai
didepannya menjadi Partai Masyumi.68 Partai Masyumi dibentuk menjadi partai
politik agar senantiasa dapat menyalurkan aspirasi politik umat Islam Indonesia
yang sekaligus merupakan satu-satunya partai politik yang mewakili golongan
Islam di Indonesia.69

Ideologi Politik dan Struktur Partai


Anggaran Dasar Masyumi yang disahkan oleh Kongres Umat Islam
Indonesia pada tahun 1945 menyebutkan bahwa Masyumi berasaskan Islam70 dan
bertujuan untuk terlaksananya ajaran dan hukum Islam di dalam kehidupan warga,

67
Ahmad Syafii Maarif, Islam dan Kenegaraan, (Jakarta, LP3ES, 1985) hal. 110
68
Ibid, Ahmad Syafii Maarif, hal. 110
69
Mukkadimah Anggaran Dasar Partai Masyumi Tahun 1945.
70
Anggaran Dasar Partai Masyumi Pasal II

24
masyarakat dan negara kesatuan Republik Indonesia menuju keridhaan Ilahi.
Masyumi dibentuk sebagai respon langsung terhadap tekad bangsa Indonesia yang
sedang mempertahankan kemerdekaannya.
Partai Masyumi menghendaki Indonesia menjadi suatu “negara hukum”
yang berdasarkan ajaran-ajaran Islam. Menurut para tokoh Masyumi, suatu negara
akan bersifat Islam bukan karena secara formal disebut “negara Islam”, tapi negara
itu disusun sesuai dengan ajaran Islam. Sebutan “negara Islam” adalah persoalan
sekunder. Persoalan utama dalam hubungan Islam dan negara adalah bagaimana
caranya agar ajaran-ajaran Islam dapat menjiwai kehidupan bernegara. Rancangan
Undang-Undang Republik (Islam) Indonesia yang diusulkan partai Masyumi
merumuskan dua alternatif mengenai asas negara, yaitu “Republik Indonesia
berdasarkan Islam” atau “Republik Islam Indonesia berdasarkan Ketuhanan Yang
Maha Esa”. Rancangan tersebut menggambarkan cita-cita tertinggi partai Masyumi
mengenai negara yang diinginkan oleh Islam.
Masyumi menggunakan tiga cara untuk mencapai tujuan-tujuannya, yaitu
dengan kekerasan, keterlibatan dalam pemerintahan, dan diplomasi. Ketiga cara ini
dianggap sebagai cara-cara yang paling sesuai untuk dilakukan.71 Cara pertama
dimulai dengan menggunakan otoritas karismatik para ulama untuk mengumumkan
perang jihad untuk menghapuskan imperialisme dan kolonialime serta mengusir
penjajah dari Indonesia. Kaum Kolonialis dan Imperialis telah merendahkan dan
menghina agama Islam, maka tidak ada pilihan lain kecuali melawan mereka
sebagai perang Sabil. Masyumi juga mendesak rayat untuk mengangkat senjata
mengusir penjajah sebagai fardhu ‘ain. Bagi mereka yang mati dalam perang
kemerdekaan itu adalah mati syahid.
Cara kedua, Masyumi segera melibatkan diri dalam proses penyusunan
pemerintahan. Hal ini tidak dapat dipisahkan mengingat tokoh-tokoh Masyumi
merupakan tokoh-tokoh yang terlibat dalam perjuangan kemerdekaan sejak zaman
penjajahan. Sejak awal kemerdekaan, beberapa tokoh Masyumi telah ikut dalam
kabinet, parlemen, dan jabatan-jabatan administrasi pemerintahan. Masyumi

71
Anggaran Dasar Partai Masyumi Pasal IV

25
memandang keterlibatan secara langsung dalam pemerintahan sebagai suatu jalan
strategis dalam mewujudkan tujuantujuannya. Dengan cara demikiann,
hukumhukum Allah tidak saja disampaikan melalui mimbar di masjid, tetapi juga
melalui pejabat-pejabat pemerintahan dalam bentuk undang-undang negara. Sesuai
dengan pandangan dasarnya yang memandang pluralisme sebagai hal yang positif
membuat Masyumi dapat dengan mudah berkoalisi dengan pihak-pihak lain.
Cara ketiga dilakukan Masyumi melalui aktivitas diplomatik dengan tokoh-
tokoh di negara lain dan organisasi internasional untuk memperoleh pengakuan
kemerdekaan Indonesia. Struktur organisasi Partai Masyumi memperlihatkan
adanya pembedaan fungsi-fungi tertentu dalam organisasi, yaitu fungsi legislatif
melalui muktamar dan dewan partai, fungsi eksekutif melalui pimpinan partai, dan
fungsi badan penasehat melalui majelis syura.

Aktifitas Partai Masyumi Dalam Era Revolusi Fisik


Sebagai Negara yang telah merdeka, para pemimpin bansga berusaha
mencari formulasi kepemimpinan dan sistem pemerintahan yang tepat untuk
menyelesaikan berbagai persoalan bangsa. Pada masa itu lebih tepat disebut dengan
masa formulasi atau masa pencarian jatidiri. Berbagai kelompok pada saat itu terus
berdiskusi dan berdebat untuk mencari format yang tepat untuk menyelenggarakan
dan membuat sistem pemerintahan.72
Berkaitan dengan diubahnya sistem pemerintahan dari presidensal menjadi
parlementer yang ditandai dengan pembentukan kabinet pertama yang dipimpin
oleh sutan Sjahrir pada bulan November 1945, Partai Masyumi menolak perubahan
tersebut karena sistem Presidensial dirasa lebih dapat menjamin stabilitas
pemerintahan. Bahkan partai Masyumi bukan hanya tidak sepakat dengan sistem
parlementer namun juga menyatakan ketidakpercayaan terhadap kabinet Sjahrir.
Penolakan tersebut didasari oleh sikap Sjahrir yang cenderung sangat
kooperatif dengan pihak Belanda yang berusaha kembali menguasai Indonesia,
Sjahrir lebih mengedepankan perundingan padahal partai Masyumi mengangap

72
Muhammad Alfan, Dinamika Politik di Indonesia, (Bandung: Pustaka Setia, 2015), hal.
44

26
model kepemimpinan Sjahrir hanya akan mendegradasi mental dan moral bangsa
Indonesia yang saat itu sedang dalam puncak semangat dan motivasi dalam
mempertahankan kemerdakaan.73
Ketidakpercayaan partai Masyumi kepada kabinet Sjahrir kemudian
menimbulkan tuntutan restrukturisasi kabinet Sjahrir dan menuntut suatu kabinet
koalisi. Dalam perkara ini partai Masyumi satu pemahaman dengan organisasi
Persatuan Perjuangan yang dipimpin oleh Tan Malaka. Selanjutnya menyusul
partaipartai politik lainnya tentang apa yang digagas partai Masyumi tentang sistem
pergantian kabinet. Misalnya, PNI yang mengambil keputusan dalam konggres PNI
tanggal 20-30 Januari 1946. Tekanan-tekanan tersebut berhasil dan berdampak
pada pembubaran kabinet Sjahrir yang ditandai dengan pengembalian mandat oleh
Sutan Sjahrir kepada Presiden Soekarno.74

Keluarnya Nadhlatul Ulama (NU) dari Keanggotaan Masyumi


Keanggotaan Masyumi mengalami pengurangan, terutama setelah NU
(Nahdatul Ulama) keluar dari Masyumi pada 1952. NU keluar dari Masyumi
disebabkan karena kurang terakomodasinya keinginan dan kepentingan NU dalam
Masyumi. Hal ini bisa dilihat dari dua hal. Pertama, NU sudah lama merasa tidak
nyaman dalam Masyumi, terutama sejak Muktamar Masyumi IV di Yogyakarta
pada tanggal 15-18 Desember 1949. Ketidaknyamanan itu semakin terasa ketika
muktamar memutuskan untuk merubah status Majelis Syuro menjadi badan
penasehat. NU merasa kedudukannya dalam Masyumi sudah tidak begitu penting
lagi dalam proses pengambilan keputusan dan kebijaksanaan partai..75
Perubahan struktur Masyumi tersebut, terutama fungsi Majelis Syuro
menimbulkan kekecewaan di kalangan NU. Sebagaimana dikatakan Syaifuddin
Zuhri, perubahan struktur itu tidak mencerminkan demokrasi dalam sistem
musyawarah, karena kebijaksanaan partai lebih banyak menitikberatkan pada
pertimbangan politik dari pada fatwa Majelis Syuro. Ketimpangan struktur
organisasi Masyumi dirasakan tidak wajar, di samping kurang terwakilinya tokoh-

73
Deliar Noer, Partai Islam di Pentas Nasional, (Jakarta, LP3ES: 1987) hal.154
74
Ibid, hal. 157
75
Noer, Partai-partai Islam, hal. 80-81

27
tokoh NU di tingkat pimpinan partai, suara NU pun sering tidak mendapat tempat
dalam keputusan-keputusan politik Masyumi. Kedua, tidak dipenuhinya tuntutan
dari kalangan NU agar kursi menteri agama diserahkan kepada mereka. Penolakan
terhadap tuntutan NU tersebut oleh Pimpinan Partai Masyumi menjadi puncak dari
kekecewaan NU terhadap Masyumi.
Berangkat dari serangkaian peristiwa itu, maka dikalangan tokoh NU
muncul pemikiran untuk mengkaji ulang kedudukan NU dalam Masyumi. Masalah
ini pun akhirnya dibawa dan dibahas di tingkat Pengurus Besar NU. Dalam rapat
NU pada tanggal 5 April 1952 di Surabaya diputuskan untuk mengeluarkan NU
dari Masyumi. Keputusan PB NU ini kemudian diperkuat Muktamar NU ke 19 di
Palembang pada 28 April-1 Mei 1952. Keputusan itu diambil melalui voting dengan
61 suara setuju, 9 menolak dan 7 abstain.76 Berdasarkan hasil voting itu, akhirnya
Muktamar NU ke 19 di Palembang memutuskan NU keluar dari Masyumi.
Keputusan Muktamar NU kemudian dikomunikasikan ke Pimpinan Partai
Masyumi. Pertemuan yang diadakan antara Pimpinan Partai Masyumi dengan PB
NU menghasilkan kesepakatan untuk mencabut keanggotan NU dari Masyumi.77
Oleh kaena itu, NU keluar dari Masyumi dan membentuk partai politik sendiri
yakni Partai NU. NU kemudian ikut sebagai salah satu kontestan pada Pemilu 1955.

PENUTUP
Kesimpulan
Sarekat Islam sebagai pelopor gerakan politik, memunculkan berbagai
perjuangan baru dalam melawan pemerintah kolonial Belanda. Perjuangan baru
tersebut yaitu secara kooperasi maupun non kooperasi melalui Volksraad (Dewan
Rakyat), gerakan buruh, gerakan Pan-Islam, PPPKI, dan GAPI. Perjuangan gaya
baru ini membawa cara-cara baru dalam mengekspresikan garakan politik rakyat
Bumiputera untuk merespon pemerintah kolonial Belanda, yakni lewat diplomasi,
pemogokan, propaganda, serta protes atau unjuk rasa. Sampai pemerintah kolonial

76
Katjung Marijan, Quo Vadis NU Setelah Kembali ke Khittah 1926 (Surabaya: Erlangga,
1992), hal. 62-63.
77
Arsip Nasional R.I, Nahdhatul Ulama, No. 142.

28
Belanda menyerah tanpa syarat kepada Jepang pada tanggal 8 Maret 1942, yang
menjadi akhir dari kekuasaan Belanda di Hindia Belanda.
PERMI secara internal memiliki dua golongan besar yaitu golongan
nasionalisme dan golongan Islam. Golongan nasionalisme lebih mengutamakan
rasa persatuan kebangsaan dalam memperjuangkan ide-idenya. Gologan Islam
mengutamakan cara-cara yang diajarkan agama Islam dalam memperjuangkan ide-
idenya. Di antara kedua golongan itu tujuan perjuangannya sama, tetapi cara yang
ditempuh untuk memperjuangakannya agak berbeda. Hal ini sudah terasa sejak
PERMI diresmikan jadi partai politik. Antara tahun 1930-1932 salah satu usaha
PERMI adalah mempersatukan kedua pandangan ini, karena masing-masing
golongan ini mempengaruhi golongan lain, mereka saling berebut pengaruh dalam
tubuh PERMI sendiri.
Kiprah PERTI dalam kancah pendidikan selaras dengan keinginan dan niat
dari Syekh Sulaiman Ar-Rasuly, mendirikan Madrasah Tarbiyah Islamiyah atau
yang disingkat MTI. Pendidikan yang bernaung di bawah PERTI yang bertujuan
secara filosofis sama dengan tujuan pendidikan yang telah diperbarui kaum
reformis, bahkan sampai sekarang tujuan pendidikan PERTI itu masih relevan
dengan tujuan pendidikan nasional, membentuk Insan Kamil manusia paripurna.
Masyumi menggunakan tiga cara untuk mencapai tujuan-tujuannya, yaitu
dengan kekerasan, keterlibatan dalam pemerintahan, dan diplomasi. Ketiga cara ini
dianggap sebagai cara-cara yang paling sesuai untuk dilakukan.78 Cara pertama
dimulai dengan menggunakan otoritas karismatik para ulama untuk mengumumkan
perang jihad dalam menghapuskan imperialisme dan kolonialime serta mengusir
penjajah dari Indonesia. Cara kedua, Masyumi segera melibatkan diri dalam proses
penyusunan pemerintahan. Hal ini tidak dapat dipisahkan mengingat tokoh-tokoh
Masyumi merupakan tokoh-tokoh yang terlibat dalam perjuangan kemerdekaan
sejak zaman penjajahan. Cara ketiga dilakukan Masyumi melalui aktivitas
diplomatik dengan tokoh-tokoh di negara lain dan organisasi internasional untuk
memperoleh pengakuan kemerdekaan Indonesia.

78
Anggaran Dasar Partai Masyumi Pasal IV

29
DAFTAR PUSTAKA

Abdullah, Taufik, dkk, 1983, Sejarah Sosial Daerah Sumatera Barat, Departemen
P dan K.
Abdullah, Taufik, 2009, Schools and Politics: The Kaum Muda Movement in West
Sumatra 1927-1933, Jakarta: Equinox Publishing.
______________, 1987, Sejarah dan Masyarakat, Lintas Historis Islam di
Indonesia, Jakarta: Pustaka Firdaus.
A.K, Pringgodigdo, 1980, Sejarah Pergerakan Rakyat Indonesia, Jakarta: Dian
Rakyat.
Alfan, Muhammad, 2015, Dinamika Politik di Indonesia, Bandung: Pustaka Setia.
A.P.E, Korver, 1985, Sarekat Islam, Gerakan Ratu Adil, Jakarta: Grafiti Pers.
Arsip Nasional R.I, Nahdhatul Ulama, No. 142.
A.Z, Ihsan dan Soeharto, P., 1981, Aku Pemuda Kemarin Di Hari Esok. Capita
Selecta Pertama Kumpulan Tulisan Asli, Lezing, Pidato Tokoh Pergeerakan
Kebangsaan. Capita Selecta Pertama. Jakarta: Jayasakti.
B, Sulistyo, 1995, Pemogokan Buruh Sebuah Kajian Sejarah, Yogyakarta: PT Tiara
Wacana Yogya.
B, Suwondo, 1977, Sejarah Kebangkitan Nasional Daerah Jawa Timur,
Depdikbud.
C.B, Utomo, 1995, Dinamika Pergerakan Kebangsaan Indonesia dari Kebangkitan
Hingga Kemerdekaan, Semarang: IKIP Semarang Press.
Darwis, Yuliandre, 2013, Sejarah Perkembangan Pers Minangkabau 1859-1945,
Jakarta: Gramedia Pustaka Utama
Dewan Redaksi Ensiklopedia Islam, Ensiklopedi Islam 4, 1994, Jakarta: PT. Ikhtiar
Baru Van Hoove.
Dinas Sosial, 1987, Bunga Rampai Nilai-Nilai Perjuangan Perintis Kemerdekaan
di DKI Jakarta, Jakarta: Daerah Khusus Ibukota.
H.E.S, Wiradipradja dan Yahya, M. W, 2005, Satu Abad Dinamika Perjuangan
Syarikat Islam, Jawa Barat: Perum Percetakan Negara RI.
H.O.S, Amelz, 1952, Tjokroaminoto Hidup dan Perdjuangannja, Djilid I, Djakarta:
Bulan Bintang.
Hamka, 1950, Ayahku Riwayat Hidup Dr. H. Abd Karim Amrullah dan Perjuangan
Kaum Agama, Jakarta: Widjaya.

30
J, Benda, 1980, Bulan Sabit dan Matahari, Jakarta: Pustaka Jaya
J, Inglison, 1988, Jalan Ke Pengasingan, Pergerakan Nasionalis Indonesia Tahun
1927- 1934, Jakarta: LP3ES.
Kahin, Audrey, 2008, Dari Pemberontakan ke Integrasi: Sumatra Barat dan Politik
Indonesia 1926-1998, Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.
Koto, Alaidin, 2006, Sejarah Perjuangan Persatuan Tarbiyah Islamiyah di Pentas
Nasional, (Jakarta: Tarbiyah Press.
Latif, Yudi, 2013, Genealogi Intelegensia: Pengetahuan & Kekuasaan Inteligensia
Muslim Indonesia Abad XX, Jakarta: Kencana Prenadamedia.
M, Amin, 1996, Syarikat Islam: Obor Kebangkitan Nasional 1905-1942,
Yogyakarta: Amin Press.
M.D, Poesponegoro dan Notosusanto, N., 2008, Sejarah Nasional Indonesia,
Zaman Kebangkitan Nasional dan Masa Hindia Belanda, Jakarta: Balai
Pustaka.
Maarif, Ahmad Syafii, Islam dan Kenegaraan, Jakarta: LP3ES, 1985.
Marijan, Katjung, 1992, Quo Vadis NU Setelah Kembali ke Khittah 1926, Surabaya:
Erlangga.
Poesponegoro, Marwati Djoened & Nugroho Notosusanto, 2008, Sejarah Nasional
Indonesia V, Jakarta: Balai Pustaka.
Muljana, Slamet, 2012, Kesadaran Nasional, Dari Kolonilaisme Sampai
Kemerdekaan, Yogyakarta: LKiS.
Mohammad, Herry, dkk., 2006, Tokoh-Tokoh Islam yang Berpengaruh abad Ke-
20, Jakarta: Gema Insani.
N, Anshoriy dan Hendratno. A., 2015, H.O.S. Tjokroaminoto Pelopor Pejuang,
Guru Bangsadan Penggerak Sarekat Islam, Yogyakarta: Ilmu Giri.
Nasihin, 2012, Sarekat Islam Mencari Ideologi 1924-1945, Yogyakarta: Pustaka
Pelajar.
Nata, Abuddin, 2001, Sejarah Pertumbuhan dan Perkembangan Lembaga-lembaga
Pendidikan Islam di Indonesia, Jakarta: Grasindo.
Nelmawarni, dkk, 2003, Persatuan Tarbiyah Islamiyah (PERTI), dalam
Sosiohumanika 16B (1), Padang: IAIN-IB Press.
Nizar, Samsul, 2008, Seabad Buya Hamka, Memperbincangkan Dinamika
Intelektual dan Pemikiran Hamka tentang Pendidikan Islam, Jakarta:
Kencana, 2008.
Noer, Deliar, 1982, Gerakan Modern Islam di Indonesia 1900-1942, Jakarta:
LP3ES.

31
___________, 1987, Partai Islam di Pentas Nasional, Jakarta, LP3ES.
Proyek Penelitian dan Pencatatan Kebudayaan Daerah, 1977, Sejarah Kebangkitan
Nasional Daerah Sumatera Barat, Jakarta: Departemen Pendidikan dan
Kebudayaan.
Marzali, Amir, Pemberontakan Komunis Silungkang 1926-1927 Sebuah Gerakan
Islam Revolusioner, Paradigma: Jurnal Kajian Budaya, 2020, Vol 10 No. 1
Azra, Azyumardi, Pendidikan Islam: Tradisi dan Modernisasi menuju Millenium
Baru, Jakarta: Kalimah, 2001
S, Kartodirdjo, 1990, Pengantar Sejarah Indonesia Baru: Sejarah Pergerakan
Nasional dari Kolonialisme Sampai Nasionalisme, Jilid 2, Jakarta:
Gramedia Pustaka Utama.
S, Rambe, 2008, Sarekat Islam, Pelopor Bangkitnya Nasionalisme Indonesia 1905-
1942, Jakarta: Kebangkitan Insan Cendikia.
S.S, Suradi, 2014, Haji Agus Salim dan Konflik-Konflik Politik dalam Sarekat
Islam, Jakarta: Sinar Harapan.
Steenbrik, Karel A, 1974, Pesantren, Madarasah, Sekolah, Jakarta: LP3ES.
Suryanegara, 2009, Api Sejarah, Jilid I, Bandung: Grafindo Salamadani.
T, Shiraishi, 1997, Zaman Bergerak: Radikalisme Rakyat di Jawa 1912-1926.
Jakarta: Grafiti Press.
Wibowo, Eka Yudha, 2015, Pengaruh Haji Terhadap Politik Islam di Indonesia,
Tahun 1900-1945, Yogyakarta: Thaqafiyyat.
Yunus, Mahmud, 1960, Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia, Jakarta: Pustaka
Mahmudiah.

32
33

Anda mungkin juga menyukai