Anda di halaman 1dari 3

Pemikiran Islam Dibangun oleh Akal Maka pemikiran islam didefinisikan sebagai upaya menilai fakta dari sudut

pandang Islam Katakanlah : Dia-lah Allah, Yang Maha Esa. Allah adalah Tuhan yang bergantung kepadanya segala sesuatu. (TQS. AlIkhlas [112] : 1-2) Sebagaimana disinggung sebelumnya, sebuah definisi yang benar harus memenuhi dua hal yaitu bersifat jamian (menyeluruh) dan manian (mencegah, yaitu mencegah masuknya mana asing ke dalam sesuatu yang didefinisikan). Maka pemikiran islam didefinisikan sebagai upaya menilai fakta dari sudut pandang Islam. ( Studi Dasar-dasar Pemikiran Islam,1990) Dengan merujuk kepada definisi diatas, pemikiran islam mengandung tiga hal yaitu fakta (al waqi); hukum (justifikasi); dan keterkaitan fakta dengan hukum. Fakta dapat berupa benda maupun perbuatan. Fakta berupa benda hanya memiliki dua macam hukum, yakni mubah (halal) dan haram. Buah anggur, misalnya hukumnya mubah, sedangkan apabila buah anggur dijadikan khamer maka hukumnya haram. Dalam konteks benda ini, ada sebuah kaidah syariat yang diambil dari nash-nash al-Quran dan al Hadits yaitu : Al ashlu fl ql-asyaai al-ibaahah ma lam yarid daliilu attahrimi [Hukum asal setiap benda adalah mubah, kecuali ada dalil yang mengharamkannya.] Sedangkan jika fakta berupa perbuatan, maka hukumnya ada lima, yakni fardlu (wajib), mandub (sunah), mubah, makruh dan haram. Misalnya, shaum Ramadhan hukumnya wajib, shadaqah hukumnya sunah (mandub), makan roti hukumnya mubah, berbicara di wc hukumnya makruh, dan riba itu hukumnya haram. Dalam konteks perbuatan ini, ada kaidah syariat yang diambil dari dalil al Quran dan al Hadirs yang berbunyi : Al ashlu fi al-afaali at-taqayyadu [Hukum asal setiap perbuatan adalah terikat ( dengan hukum syara)] Hukum dan fakta harus diambil dari dalil-dalil syariat, yaitu dari kitabullah dan Sunnah Rasul, dan apa-apa yang ditunjukkan oleh Kitabullah dan Sunnah rasul, yaitu ijma sahabat dan Qiyas.

Pemikiran Islam ada dua macam, yaitu pemikiran yang berkaitan dengan aqidah, seperti keimanan kepada Allah, kepada Malaikat, kepada rasul-rasul-Nya, kepada KitabKitabnya, Kepada Hari Kiamat dan Kepada Qadla dan Qadar. Dan pemikiran yang berkaitan dengan hukum syariat yang bersifat praktis, seperti Sholat, Zakat, Shaum, Haji dan Jihad. Pemikiran Islam dibangun diatas dua asas, yakni akal dan syariat. Islam telah memerintahkan kepada manusia untuk menggunakan akalnya. Allah mendorong manusia untuk memperhatikan alam semesta dan apa saja yang ada didalamnya dengan cermat, sehingga dapat menghantarkannya kepada keimanan tentang adanya sang Khalik, Sang Pencipta. Allah Swt berfirman : Pada dirimu sendiri, apakah kamu tiada memperhatikan? [TQS. Adz-Dzariat [51] : 21) Perhatikanlah manusia itu, dari apa ia diciptakan. (TQS athThariq [86] : 5) Apakah mereka tidak memperhatikan pada kerajaan langit dan bumi dan segala sesuatu yang telah diciptakan Allah. ( TQS. Al-Araf (7) 185) Sesungguhnya pada langit dan bumi benar-benar terdapat tanda-tanda kekuasaan Allah bagi orang-orang yang beriman. Dan pada penciptaan kamu dan pada binatang melata yang bertebaran (di muka bumi) terdapat tanda-tanda (kekuasaan Allah) bagi kaum yang meyakini. ( TQS. Al-Jatsiyah : 3-4) Dengan pengamatan seperti itu, manusia akan mampu membuktikan adanya sang Khalik, Sang Pencipta, Yang Maha kuasa. Dengan akalnya manusia bisa menjangkau keberadaan alKhalik yang Maha Esa, yang telah menciptakan makhluk, dengan akalnya pula, manusia bisa membuktikan bahwa alQuran adalah Kalamullah, dan Muhammad saw adalah Rasulullah. Oleh karena itu, akal merupakan asas bagi aqidah Islam. Tidak aneh kiranya ketika seorang arab Baduy (orang awam) tatkala ditanyakan kepadanya Dengan apa kamu mengenal Rabbmu? Jawabnya : Tahi onta itu menunjukkan adanya onta dan bekas tapak kaki menunjukkan pernah ada orang yang berjalan.

Namun perlu diingat, untuk masalah iman, suatu dalil tidak senantiasa bersifat aqli,namun bisa juga bersifat naqli, tergantung perkara yang diimaninya. Jika perkara itu masih dalam jangkauan panca indra/akal, maka dalil keimanannya bersifat aqli, tetapi jika diluar jangkauan panca indra/akal, maka ia didasarkan kepada dalil naqli. Hanya saja perlu diingat bahwa sumber suatu dalil naqli juga ditetapkan dengan jalan aqli. Artinya, penentuan sumber dalil naqli tersebut dilakukan melalui penyelidikan untuk menentukan mana yang boleh dan mana yang tidak boleh dijadikan sebagai sumber dalil naqli. Oleh karena itu, semua dalil tentang aqidah pada dasarnya disandarkan pada metode aqliyah. Dalam hal ini Imam Syafii berkata : Ketahuilah bahwa kewajiban pertama bagi seorang mukallaf adalah berfikir dan mencari dalil untuk marifat kepad Allah swt. Arti berfikir adalah melakukan penalaran dan perenungan kalbu dalam kondisi orang yang berfikir tersebut dituntut untuk marifat kepada Allah. Dengan cara seperti itu, ia bisa sampai kepada marifat terhadap hal-hal yang ghaib dari pengamatannya dengan indera dan ini merupakan suatu keharusan. Hal ini merupakan suatu kewajiban dalam bidang ushuluddin. (Dinukil dari Materi Dasar Islam hal 3, dari Kitab karya Imam Syafii Fiqhul Akbar hal 16) Kiranya pemaparan tersebut sudah bisa menunjukkan bahwa aqidah Islam adalah aqidah aqliyyah. Akidah yang menjadi asas bagi pemikiran Islam. Akidah yang dibangun berdasarkan akal Wallahualam.

Anda mungkin juga menyukai