Anda di halaman 1dari 11

Jaminan Al-Qur’an

Terhadap Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan

Oleh:
Kiki Muhamad Hakiki

Perbedaan agama di Indonesia bahkan di dunia acap kali masih menjadi penghalang
bagi terwujudnya kehidupan yang toleran, harmoni, jauh dari prasangka dan tindakan
kekerasan. Realita ini semakin menguatkan pandangan bahwa agama merupakan sumber
kebencian, perpecahan dan inspirasi bagi pelaku kekerasan, yang antara lain untuk
melenyapkan mereka yang berbeda atau dianggap berbeda.
Di sisi lain sejumlah agamawan berkhutbah, dan sebagian masyarakat penganut
agama mempercayai bahwa agama seyogyanya membuat penganutnya terhindar dari hal-hal
negatif seperti tersebut di atas. Mereka yakin bahwa setiap agama, termasuk Islam membawa
misi perdamaian, toleransi dan perlindungan bagi umat agama lain yang berbeda. Lantas
bagaimana sebetulnya teks agama (Islam) dalam hal ini al-Qur’an berbicara soal itu?
Makalah ini akan memfokuskan pada kajian seputar respon Islam dengan kitab suci
al-Qur’an-nya terkait dengan isu kebebasan beragama dan berkeyakinan sebagai salah satu
isu yang tercantum di dalam Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (disingkat DUHAM),
ditemukan juga di dalam berbagai dokumen historis tentang HAM, seperti; dokumen Rights
of Man France (1789), Bill of Rights of USA(1791) dan International Bill of Rights (1966).

Dalam DUHAM, kebebasan beragama dan berkeyakinan dikelompokkan dalam


kebebasan berpendapat dan keduanya tercantum di dalam Hak Sosial dan Kebudayaan
(Social and Cultural Rights). Tepatnya, kedua kebebasan tersebut terdapat di dalam Pasal 18
dan 19. Pasal 18 the Universal Declaration of Human Rights menyatakan: “Setiap orang
berhak atas kebebasan fikiran, hati nurani dan agama. Dalam hak ini, termasuk berganti
agama dan kepercayaan, kebebasan untuk menyatakan agama atau kepercayaan dengan
cara mengerjakannya, mempraktikannya, melaksanakan ibadah dan mentaatinya, baik
sendiri maupun bersama-sama dengan orang lain, di muka umum maupun
sendiri”. Sementara itu, pada Pasal 19 dinyatakan, “Setiap orang berhak atas kebebasan
mempunyai dan mengeluarkan pendapat; dalam hak ini termasuk memiliki pendapat
tanpa gangguan, dan untuk mencari, menerima, dan menyampaikan informasi dan buah
fikiran melalui media apa saja dan dengan tidak memandang batas-batas wilayah.”.
Tema ini dipilih mengingat akhir-akhir ini di Indonesia konflik atas nama agama
kembali menyeruak dan menjadi isu sentral yang selalu mengancam keutuhan, rasa aman dan
stabilitas Negara.

Apa itu HAM ?


Secara historis, Hak Asasi Manusia (HAM) muncul setelah adanya Magna Charta 1215
di Inggris yang berisi pembatasan kekuasaan raja-raja absolut yang kemudian menjadi embrio
bagi monarkhi konstitusional.[2] Magna Charta ini kemudian diikuti dengan lahirnya
Undang-Undang Hak Asasi Manusia (Bill of Rigths) di Inggris tahun 1689 yang berintikan
bahwa manusia harus diperlakukan sama di depan hukum. Dalam perkembangan HAM
selanjutnya ditandai munculnya The American Declaration of Independence tahun 1776 yang
lahir dari paham Rosseau dan Montesquieu. Setelah itu lahir pula deklarasi Perancis (The
French Declaration) yang memuat aturan-aturan hukum yang menjamin hak asasi manusia
dalam proses hukum, diantaranya; freedom of expression, freedom of religion, the right of
proprerty dan hak-hak dasar lainnya.[3]
Semua hak-hak yang ada dalam berbagai instrumen HAM tersebut kemudian
dijadikan dasar pemikiran untuk memunculkan rumusan HAM yang bersifat universal.
Sehingga pada lintasan sejarah selanjutnya, di bawah payung PBB, negara-negara dunia
mendeklarasikan undang-undang terkait dengan HAM yangdideklarasikan pada 10 Desember
1948, sesudah melalui proses perdebatan yang sangat panjang.[4]
Sepanjang yang dapat diketahui, dalam khazanah klasik Islam (al-Turats al-Islamy),
penulis tidak pernah menemukan istilah ini. Namun dewasa ini, di dunia Arab-Islam Hak
Asasi Manusia Universal tersebut dikenal dengan istilah “Al-Huquq al-Insaniyah al-
Asasiyyah al-Alamiyah”.
Meskipun begitu, hal paling utama bukanlah soal nama atau istilah, tetapi substansi
dari nama atau istilah tersebut. Bahasa manusia berbeda-beda. Bahasa adalah symbol dari
makna yang ada di dalamnya. Ulama mengatakan : “La Masyahhata fi al-Isthilah”. Secara
literal ungkapan ini berarti istilah/bahasa tidak pelit. Artinya: “tidak seyogyanya seseorang
melarang orang lain menggunakan suatu istilah tertentu untuk member makna sesuatu,
jika dia menjelaskan maksudnya”.

Islam dan Ham


Membicarakan sekaligus mensosisalisasikan Hak Asasi Manusia (HAM) selalu
penting. Ia menjadi semakin penting ketika realitas social kita tengah memperlihatkan wajah-
wajah yang tidak lagi menghargai martabat manusia, seperti yang banyak terlihat pada saat
ini di banyak tempat di dunia ini, dan lebih khusus lagi di negeri kita tercinta. Indonesia.

Hak Asasi Manusia adalah hak-hak dasar yang melekat pada diri setiap orang sejak ia
dilahirkan. Ia berlaku universal (berlaku bagi semua orang di mana saja dan kapan saja). Hak
ini merupakan anugerah Allah. Karena sifatnya yang demikian, maka tidak ada kekuatan
apapun yang bisa mengurangi atau mencabut hak tersebut.Menurut Abed al-Jabiri, istilah al
‘Alamiyyyah atau universal mengandung arti bahwa hak-hak tersebut ada dan berlaku bagi
semua orang di mana saja, tanpa membedakan jenis kelamin, ras, status sosial, agama, dan
sebagainya. Oleh sebab itu, HAM tidak terpengaruh oleh kebudayaan dan peradaban apapun
(la yuatstsir fiha ikhtilaf al-Tsaqafat wa al-Hadharat), melintasi batas ruang dan waktu
(ta’lu ‘ala al-Zaman wa al-Tarikh). HAM adalah hak setiap manusia karena dia melekat pada
diri manusia (‘ala al-Insan ayyan kana wa anna kana).[5]
Salah satu hak paling asasi yang dimiliki oleh manusia sebagai anugerah Allah adalah
kebebasan untuk memilih agama berdasarkan keyakinannya. Beragama adalah hal yang
membedakan antara manusia dengan makhluk lain. Manusia diberi keleluasaan oleh Allah,
apakah akan mengikuti petunjuk jalan-Nya atau jalan yang lain. Berdasarkan pilihannya,
manusia akan dimintai pertanggungjawaban di akhirat. Prinsip kebebasan ini secara tegas
disebutkan dalam QS. Al- Kahfi: 29.

ْ ‫شو‬
َِ‫ىٱلوُ جُوَِهِب ْئس‬ ِْ ‫َاثواِِب َمآءِِ َك ْٱل ُمهْلِِ َي‬ َّ َّٰ ‫َوقُلِِ ْٱلحَ قِِمنِرَّ ِّب ُك ِْمِ َفمَنِ َشا ٓ َِءِ َفِْلي ُْؤمنِ َومَنِ َشا ٓ َِءِ َف ْل َي ْكفُرِِْإ َّنِا ِٓأَعْ َت ْد َناِل‬
َِ َ‫لظلمينَِِ َنارً اِأَح‬
ُ ‫اطِبه ِْمِسُرَ ادقُهَاِ َوإنِ َيسْ َتغ ُيثواِِ ُيغ‬
﴾٩٢﴿ِ‫َتِمُرْ َت َف ًقا‬ ِْ ‫ِٱل َّشرَ ابُِِ َو َسآء‬
Artinya:”Dan katakanlah: "Kebenaran itu datangnya dari Tuhanmu; maka barangsiapa yang
ingin (beriman) hendaklah ia beriman, dan barangsiapa yang ingin (kafir) biarlah ia kafir".
Sesungguhnya Kami telah sediakan bagi orang orang zalim itu neraka, yang gejolaknya
mengepung mereka. Dan jika mereka meminta minum, niscaya mereka akan diberi minum
dengan air seperti besi yang mendidih yang menghanguskan muka. Itulah minuman yang
paling buruk dan tempat istirahat yang paling jelek” (QS. Al-Kahfi: 29)

Argumentasi Tekstual Al-Qur’an terkait HAM


Inti paling utama dari Hak Asasi Manusia (HAM) sebagaimana diketahui adalah
penghormatan martabat manusia, kemerdekaan (kebebasan) dan kesetaraan manusia. Jika
kita membaca sumber Islam paling otoritatif : Al-Qur’an dan sunnah Nabi (hadits),
sebenarnya akan banyak kita temukan teks-teks yang menjelaskan tentang inti utama HAM
tersebut. Beberapa di antaranya adalah :
Pertama, tentang kehormatan martabat manusia. Al-Qur’an menegaskan :

َِّٰ َ‫ٱلط ِّي َّٰ َبتِِ َو َفض َّْل َّٰ َن ُه ِْمِ َعل‬
ِ ً ‫ىِ َكثيرِِ ِّممَّنِِْ َخلَ ْق َناِ َت ْفض‬
﴾٠٧﴿ِ‫يل‬ َّ َِِ‫ىِءَا َد َِمِ َوحَ م َْل َّٰ َن ُه ِْمِفىِ ْٱلبَرِِِّ َو ْٱل َبحْ رِِ َورَ َز ْق َّٰ َنهُمِمِّن‬
ِٓ ‫َولَ َق ِْدِ َكرَّ ْم َناِبَن‬

Artinya: “Dan sesungguhnya Kami telah memuliakan anak-anak Adam. Kami angkat mereka di
daratan dan lautan, Kami beri mereka rizki dari yang baik-baik serta Kami lebihkan
mereka dengan kelebihan yang sempurna atas kebanyakan ciptaan Kami”. (QS. al Isra: 70).

Kedua, tentang Kebebasan. Al-Qur'an menyebut manusia sebagai khalifah fi al


Ardh. Yakni pemegang amanat Allah. (QS. al-Baqarah: 30, QS. al-Ahzab: 72). Ini karena
manusialah makhluk-Nya yang paling unggul dan dimuliakan di antara makhluk-Nya yang
lain. Keunggulan dan kemuliaan manusia atas yang lain itu lebih karena manusia diberikan
akal-pikiran. Tidak ada ciptaan Allah yang memiliki fasilitas paling canggih ini. Dengan
potensi akal pikiran inilah manusia menjadi makhluk yang bebas untuk menentukan sendiri
nasibnya di dalam menjalani kehidupannya di dunia ini. Dengan akal-intelektualnya pula
manusia menciptakan peradaban dan kebudayaan. Akan tetapi bersamaan dengan itu
manusia juga harus menanggung risiko dan bertanggungjawab atas segala tindakannya itu di
hadapan Allah, kelak. Ini menunjukkan bahwa kebebasan selalu mengandung makna
tanggungjawab dan bersifat moral.
Al-Qur’an juga menyatakan :”La Ikrah fi al-Din” (tidak ada paksaan dalam agama).
Ini adalah pernyataan paling eksplisit tentang kebebasan beragama dan berkeyakinan,
sekaligus larangan memaksakan kehendak keyakinan agama terhadap orang lain. Bahkan
Nabi sekalipun tidak berhak memaksa orang lain untuk mengikuti agamanya. Kewajiban Nabi
hanyalah menyampaikan peringatan. Hal ini sebagaimana dijelaskan dalam Al-Qur’an:

َ ‫﴾ لَّسْ تَِِ َعلَيْهمِب ُم‬٩٢﴿ِِ‫َف َذ ِّكرِِْإ َّن َمِآِأَنتَِِ ُم َذ ِّكر‬


﴾٩٩﴿ِِ‫صيْطر‬
Artinya: "Maka berilah peringatan, karena sesungguhnya kamu hanyalah orang yang memberi
peringatan. Kamu bukanlah orang yang berkuasa atas mereka. (QS. al-Ghasyiyah: 21-22).

Keyakinan adalah milik Allah semata. Dalam teks Islam disebut sebagai "hidayah"
(petunjuk/anugerah Allah). Hidayah menurut Al-Qur'an hanya milik Allah:

ََِّ َِِّ‫لِ َتهْدىِمَنِِْأَحْ َببْتَِِ َو َّٰلَكن‬


﴾٦٥﴿َِِ‫ٱّللِ َيهْدىِمَنِ َي َشا ٓ ُِءِ َوهُوَِِأَعْ لَ ُِمِب ْٱل ُم ْه َتدين‬ ِ َ َِِ‫إ َّنك‬

Artinya: "Sungguh, engkau (Muhammad) tidak dapat memberi petunjuk kepada orang yang engkau
kasihi, tetapi Allah memberi petunjuk kepada orang yang Dia kehendaki, dan Dia lebih
mengetahui orang-orang yang mau menerima petunjuk".(QS. al-Qashash: 56).

Ketiga, tentang kesetaraan manusia. Al-Qur-an menyatakan:

ََِّ َِِّ‫ٱّللِأَ ْت َق َّٰى ُك ِْمِإن‬


﴾٢١﴿ِِ‫ٱّللِعَليمِِ َخبير‬ َِّ ِ‫لِل َتعَارَ فُ ٓواِِإنَِِّأَ ْكرَ َم ُك ِْمِعن َِد‬
َِ ‫شعُوبًاِ َو َق َبآئ‬ َِّٰ ‫َّٰ َٓيأَيهَاِٱل َّناسُِِإ َّناِ َخلَ ْق َّٰ َن ُكمِمِّنِ َذ َكرِِ َوأُن َث‬
ُ ِ‫ىِ َوجَ ع َْل َّٰ َن ُك ِْم‬

Artinya: “Wahai manusia Kami ciptakan kamu dari laki-laki dan perempuan dan Kami jadikan
kamu bersuku-suku dan berbangsa-bangsa agar kamu saling mengenal. Sesungguhnya
yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah adalah yang paling bertaqwa kepada-
Nya”.(QS. al-Hujurat: 13).

Dalam ayat yang lain dijelskan:

ََِّ ِ َِّ‫ٱّللِٱلَّذىِ َت َسا ٓ َءلُونَِِبهۦِ َو ْٱْلَرْ حَ امَإن‬


ِ‫ٱّلل‬ ََِّ ِِ‫الِ َكثيرً ا ِ َون َسا ٓ ًِءِ َوٱ َّتقُوا‬ َِّ ‫َّٰ َٓيأَيهَاِٱل َّناسُِِٱ َّتقُواِِرَ َّب ُك ُِمِٱلَّذىِ َخلَ َق ُكمِمِّنِ َّن ْفسِ ِ َّٰ َوحدَةِ ِ َو َخلَِقَِِم ْنهَاِ َز ْوجَ هَا ِ َوب‬
ِ ً َ‫َث ِم ْن ُهمَاِرج‬
﴾٢﴿ِ‫َكانَِِ َعلَ ْي ُك ِْمِرَ قيبًا‬

Artinya: “Hai sekalian manusia, bertakwalah kepada Tuhanmu yang telah menciptakan kamu dari
diri (entitas) yang satu, dan daripadanya Allah menciptakan pasangannya, dan dari
keduanya Allah mengembangbiakkan laki-laki dan perempuan yang banyak”.(QS. al Nisa:
1)
Pernyatan paling eksplisit lainnya mengenai hal ini dinyatakan dalam (QS. al Ahzab:
35) :

َِ ‫صب َّٰرَ تِِ َو ْٱل َّٰ َخشعينَِِ َو ْٱل َّٰ َخش َّٰ َعت َو ْٱل ُم َت‬
َِ‫صدِّقينَِِ َو ْٱل ُم َتص‬ َّ َّٰ ‫صبرينَِِ َوٱل‬ َّ َّٰ ‫صد َّٰ َقتِِ َوٱل‬ َّ َّٰ ‫صدقينَِِ َوٱل‬ َّ َّٰ ‫إنَِِّ ْٱلمُسْ لمينَِِ َو ْٱلمُسْ ل َّٰ َمتِِ َو ْٱلم ُْؤمنينَِِ َو ْٱلم ُْؤم َّٰ َنتِِ َو ْٱل َّٰ َقنتينَِِ َو ْٱل َّٰ َقن َّٰ َتتِِ َوٱل‬
َّٰ َّ َّٰ ‫صئ َّٰ َمتِِ َو ْٱل َّٰحَ فظينَِِفُرُوجَ ُه ِْمِ َو ْٱل َّٰحَ ف َّٰ َظتِِ َو‬ ٓ ٓ
َ
﴾١٦﴿ِ‫ٱّللُِلَهُمِم َّْغفرَ ًِةِ َوأجْ رً اعَظيمًا‬ َّ َ َّٰ َّ
ِ ِ‫ٱّللِ َكثيرً اِ َوٱلذكرَ تِِأ َع َِّد‬ َّ
َِ َِِ‫ٱلذكرين‬ َّ َّٰ ‫صئمينَِِ َوٱل‬ َّ َّٰ ‫ِّد َّٰ َقتِِ َوٱل‬

Artinya: “Sesungguhnya laki-laki dan perempuan yang muslim, laki-laki dan perempuan yang
mukmin, laki-laki dan perempuan yang tetap dalam ketaatannya, laki-laki dan
perempuanyang benar, laki-laki dan perempuan yang sabar, laki-laki dan perempuan yang
khusyu’, laki-laki dan perempuan yang bersedekah, laki-laki dan perempuan yang
berpuasa, laki-laki dan perempuan yang memlihara kehormatannya, laki-laki dan
perempuan yang banyak menyebut (nama) Allah, Allah telah menyedikan ampunan dan
pahala yang besar”. (QS al Ahzab: 35). Demikian juga dalam QS al-Nahl, 97, QS Ali Imran,
195, QS al-Mukmin 40, dan lain-lain.

Doktrin egalitarianisme (al-musawah) Islam di atas juga dinyatakan dalam hadits


Nabi Muhammad SAW. Dalam salah satu sabdanya beliau mengatakan :“Manusia bagaikan
gigi-gigi sisir, tidak ada keunggulan orang Arab atas non Arab, orang kulit putih atas kulit
hitam, kecuali atas dasar ketakwaan kepada Tuhan”. Sabda beliau yang lain : “Sungguh,
Allah tidak menilai kamu pada tubuh dan wajahmu melainkan pada tingkahlaku dan
hatimu”. Dan “Kaum perempuan adalah saudara kandung kaum laki-laki”.
Keempat, tentang pengakuan terhadap eksistensi dan kebenaran kitab-kitab sebelum
Islam. Taurat dan Injil, misalnya, disebut al-Qur’an sebagai petunjuk (hudan) dan penerang
(nar).

ِ َ ‫ش َه َد ٓا َِءِ َف‬
ِ‫ل‬ َِّ ِِ‫ظواِِمنِك َّٰ َتب‬
ُ ‫ٱّللِ َو َكا ُنواِِ َعلَيْه‬ ُ ‫نز ْل َناِٱل َّت ْورَ َّٰى َِةِفيهَاِ ُه ًدىِ َو ُنورِِ َيحْ ُك ُِمِبهَاِٱل َّنبيونَِِٱلَّذينَِِأَسْ لَمُواِِللَّذينَِِهَادُواِِ َوٱلرَّ َّٰ َّبنيونَِِ َو ْٱْلَحْ بَارُِِبمَاِٱسْ ُتحْ ف‬
َ َ‫إ َّنِآِأ‬
َّٰ ْ ٓ َّٰ ُ َ َّ َ َ َّ ً ً َ َّٰ ْ
َ َ
﴾٤٤﴿َِِ‫ٱّللُِفأولئكَِِ ُه ُِمِٱلكفرُون‬ ِ ِ‫ل‬ ُ
َِ ‫يلِ َومَنِل ِْمِ َيحْ كمِب َمِا ِٓأنز‬ َ
ِ ‫لِتشترُواِِبـَا َيتىِث َمناِقل‬ َ َ ِ ‫َت ْخ َشوُ اِِٱلناسَِِ َوٱخش ْونِِ َو‬
َ َ ْ َّ

Artinya: “Sungguh, Kami yang menurunkan Kitab Taurat; di dalamnya (ada) petunjuk dan cahaya.
Yang dengan Kitab itu para nabi yang berserah diri kepada Allah memberi putusan atas
perkara orang Yahudi, demikian juga para ulama dan pendeta-pendeta mereka, sebab
mereka diperintahkan memelihara kitab-kitab Allah dan mereka menjadi saksi
terhadapnya. Karena itu janganlah kamu takut kepada manusia, (tetapi) takutlah kepada-
Ku. Dan janganlah kamu jual ayat-ayat-Ku dengan harga murah. Barangsiapa tidak
memutuskan dengan apa yang diturunkan Allah, maka mereka itulah orang-orang
kafir”. [QS. Al-Maidah/5:44].

Melalui ayat-ayat dalam al-Qur’an ini juga ditegaskan bahwa Islam memberikan
pengakuan terhadap umat Yahudi dan Nashrani; mereka cukup menjadikan kitab suci
masing-masing sebagai sandaran moral mereka. Ditegaskan pula, sekiranya mereka berpaling
dari kitab sucinya, mereka adalah kafir dan fasik.
Kelima, tentang pengakuan terhadap para pembawa agama sebelumnya seperti Musa
dan Isa al-Masih. Sebagaimana perintah mengimani kitab-kitab wahyu, umat Islam
diharuskan mengimani para nabi dan rasul, minimal 25 rasul, karena jumlah nabi dan rasul
menurut hadits nabi diperkirakan mencapai 124.000 orang nabi dan 315 orang rasul.
Keenam, secara eksplisit al-Qur’an menegaskan bahwa siapa saja – Yahudi,
Nashrani, Shabi’in, dll – yang menyatakan hanya beriman kepada Allah, percaya pada Hari
Akhir, dan melakukan amal saleh, tak akan pernah disia-siakan oleh Allah. Mereka akan
mendapatkan balasan yang setimpal atas keimanan dan jerih payahnya.

﴾٥٢﴿َِِ‫لِ ُه ِْمِ َيحْ َز ُنون‬


ِ َ ‫لِ َخ ْوفِِ َعلَيْه ِْمِ َو‬ َ َّٰ ِ‫ل‬
ِ َ ‫صلحً اِ َف‬ َِّ ‫ىِمَنِِْءَامَنَِِب‬
َِ ‫ٱّللِ َو ْٱلي َْومِِٱ ْلءَاخرِِ َوعَم‬ َِّٰ َ‫صر‬ َّ َّٰ ‫إنَِِّٱلَّذينَِِءَا َم ُنواِِ َوٱلَّذينَِِهَادُواِِ َوٱل‬
َ َّٰ ‫صبـ ُونَِِ َوٱل َّن‬

Artinya: “Sesungguhnya orang-orang yang beriman, orang-orang Yahudi, Şābi'īn dan orang-orang
Nasrani, barangsiapa beriman kepada Allah, kepada hari kemudian, dan berbuat
kebajikan, maka tidak ada rasa khawatir padanya dan mereka tidak bersedih hati”. (QS.
Al-Maidah/5: 69)

ِ َ ‫صلحً اِ َفلَ ُه ِْمِأَجْ ُر ُه ِْمِعن َِدِرَ بِّه ِْمِ َو‬


ُِ‫لِ َخ ْوفِِ َعلَيْه ِْمِ َو َل ُه ِْمِ َيحْ َزن‬ َ َّٰ ِ‫ل‬
َِ ‫ٱّللِ َو ْٱلي َْومِِٱ ْلءَاخرِِ َوعَم‬ َّ َّٰ ‫ىِ َوٱل‬
َِّ ‫صبـينَِِمَنِِْءَامَنَِِب‬ َ َّٰ ‫إنَِِّٱلَّذينَِِءَا َم ُنواِِ َوٱلَّذينَِِهَادُواِِ َوٱل َّن‬
َِّٰ َ‫صر‬
﴾٥٩﴿َِِ‫ون‬

Artinya: “Sesungguhnya orang-orang yang beriman, orang-orang Yahudi, orang-orang Nasrani


dan orang-orang Şābi'īn, siapa saja (di antara mereka) yang beriman kepada Allah dan
hari akhir, dan melakukan kebajikan, mereka mendapat pahala dari Tuhannya, tidak ada
rasa takut pada mereka, dan mereka tidak bersedih hati”. (QSal-Baqarah/2: 62).

Ketujuh, al-Qur’an membolehkan umat Islam berteman dengan umat agama lain,
selama umat agama lain itu tak memusuhi dan tak mengusir dari tempat tinggalnya.
Sekiranya mereka melakukan permusuhan, maka wajar kalau umat islam diperintahkan
melakukan pertahanan diri.
ِ‫ٱّللُِ َعنِِٱلَّذينَِِلَ ِْمِ ُي َّٰ َقتلُو ُك ِْمِفىِٱلدِّينِِ َولَ ْمي ُْخرجُو ُكمِ ِّم‬
َِّ ِ‫لِ َي ْنه ََّٰى ُك ُِم‬ َِّ ‫ٱّللُِ َقديرِِ َو‬
ِ َّ ﴾٠﴿ِِ‫ٱّللُِ َغفُورِِرَّحيم‬ َِ ‫ٱّللُِأَنِ َيجْ َع‬
َِّ ‫لِ َب ْي َن ُك ِْمِ َو َبيْنَِِٱلَّذينَِِعَا َد ْي ُتمِ ِّم ْنهُمِم ََّو َّدًِةِ َو‬ َِّ ِ‫َعسَى‬
ْ
‫ىِإخرَ ا‬ ٓ َّٰ َ َ َّٰ ُ َّٰ ُ ْ َ ُ
ِ ‫ٱّللُِ َعنِِٱلذينَِِقتلوك ِْمِفىِٱلدِّينِِ َوأخرَ جُوكمِمِّنِد َيركم َْوظ َهرُواِِ َعل‬ ُ َ َ َّٰ َّ َّ ُ ْ َّ
ِ ِ‫﴾ِإنمَاِ َينهَىك ُِم‬٨﴿َِِ‫ٱّللِيُحبِِٱل ُمقسطين‬
َّٰ ْ ْ َّ َ ُ ْ ُ َ َ
َِ َِِّ‫نِد َّٰ َير ُك ِْمِأنِتبَرو ُه ِْمِ َوتقسط ٓواِِإليْه ِْمِإن‬
َّٰ ٓ
﴾٢﴿َِِ‫ج ُك ِْمِأَنِ َت َولَّ ْو ُه ِْمِ َومَنِ َي َت َولَّ ُه ِْمِ َفأُو َّٰلَئكَِِ ُه ُِمِٱلظلمُون‬
َّ

Artinya: “Mudah-mudahan Allah menimbulkan kasih sayang di antara kamu dengan orang-orang
yang pernah kamu musuhi di antara mereka. Allah Mahakuasa. Dan Allah Maha
Pengampun, Maha Penyayang (7) Allah tidak melarang kamu berbuat baik dan berlaku adil
terhadap orang-orang yang tidak memerangimu dalam urusan agama dan tidak mengusir
kamu dari kampung halamanmu. Sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang
berlaku adil (8) Sesungguhnya Allah hanya melarang kamu menjadikan mereka sebagai
kawanmu orang-orang yang memerangi kamu dalam urusan agama dan mengusir kamu
dari kampung halamanmu dan membantu (orang lain) untuk mengusirmu. Barangsiapa
menjadikan mereka sebagai kawan, mereka itulah orang-orang yang zalim (9).” (QS. Al-
Mumtahanah/60:7-9).
Dalam hal umat Islam meminta bantuan dan perlindungan, sejarah juga mengukir
tetang hal sebagai berikut.
Pertama, ketika umat Islam dikejar-kejar orang-orang kafir Quraisy Mekah, Nabi
mencari petlindungan kepada Najasyi, Raja Abisinia yang Kristen. Ratusan sahabat Nabi
termasuk Utsman dan istrinya Ruqayah (putrid Nabi), hijrah ke Abisinia untuk menghindari
ancaman pembunuhan kafir Quraisy. Pada saat kafir Quraisy memaksa sang raja
mengembalikan umat Islam ke Mekah, ia tetap pada pendiriannya: pengikut Muhammad
harus dilindungi dan diberikan haknya untuk memeluk agama Islam. Menariknya, ketika
Sang Raja ini meninggal dunia, Muhammad pun melaksanakan salat jenazah dan
memohonkan ampun atasnya.
Kedua, Abu ‘Ubaidillah al-Mahdi, khalifah pertama dari Dinasti Fathimiyah pernah
meminta nasihat kepada salah seorang Kristen tentang lokasi yang tepat bagi ibu kota
Negara.[6]
Beberapa ayat al-Qur’an di atas dan masih banyak lagi ayat yang lain menjelaskan
tentang kemuliaan martabat manusia, kebebasan dan kesetaraan manusia tanpa melihat
latarbelakang asal usulnya, warna kulit, jenis kelamin bahasa dan agama. Ini adalah
konsekuensi logis dari doktrin Kemahaesaan Allah. Semua manusia dengan berbagai
latarbelakangnya itu pada ujungnya berasal dari sumber yang tunggal, ciptaan Tuhan.
Keunggulan yang dimiliki manusia satu atas manusia yang lain hanyalah pada aspek
kedekatannya dengan Tuhan.
Dalam fakta sejarahnya, pernyataan-pernyataan al-Qur-an dan hadits Nabi saw. di
atas selanjutnya menjadi dasar Nabi saw untuk mendeklarasikan apa yang dikenal
dengan “Shahifah Madinah”, “Mitsaq al Madinah” atau Piagam Madinah, pada tahun 622 M.
Isinya meliputi kesepakatan-kesepakatan tentang aturan-aturan yang berlaku dalam
masyarakat Madinah. Para ahli sejarah menyatakan bahwa Piagam Madinah ini adalah
naskah otentik yang tidak diragukan keasliannya tentang prinsip-prinsip kemanusiaan
universal.[7] Sebagian menyatakannya sebagai deklarasi HAM pertama di dunia.
Bahkan Nurcholish Madjid, dengan tegas menyatakan bahwa Hak-hak Asasi Manusia
Universal (DUHAM) sesungguhnya mendapatkan inspirasi dan diilhami oleh ajaran-ajaran
Islam. Islam adalah agama yang telah mendeklarasikan hak-hak dasar manusia jauh berabad
lamanya sebelum DUHAM. Menurut Nurcholish "pandangan dasar kemanusiaan yang
berasal dari Madinah tersebut diadopsi ke Eropa oleh Giovani Pico della Mirandola, filosof
terkemuka zaman renaissance. Dia menyampaikan orasi tentang "Martabat Manusia" pada
tahun 1486 di Roma di hadapan para sarjana Eropa. Dia dengan terang-terangan mengakui
bahwa pikiran-pikirannya diperoleh dari bacaannya atas karya-karya intelektual muslim".[8]
Dengan penjelasan di atas, kita dapat menyimpulkan bahwa Hak-Hak Asasi Manusia
adalah sejalan dengan visi Islam, bahkan Islam telah memelopori prinsip-prinsip
kemanusiaan ini jauh berabad sebelum dunia Barat mendeklarasikannya. Tak hanya
memberikan pengakuan dan jaminan, al-Qur’an juga mewajibkan umat Islam untuk
memberikan hak beragama bagi umat non-Muslim sesuai ajaran mereka.
Berangkat dari fakta-fakta normative tersebut, semakin jelaslah bahwa Islam telah
menjamin dan melindungi kebebasan beragama dan berkeyakinan. Tidak sekadar itu,
menurut al-Qur’an, umat non-Muslim pun akan diselamatkan Allah sejauh mereka
menjalankan ajaran agamanya secara sungguh-sungguh dan melakukan amal saleh,
sebagaimana ditetapkan kitab suci masing-masing.
Meskipun banyak teks-teks al-Qur’an yang menjamin kebebasan beragama dan
berkeyakinan, akan tetapi faktanya diskriminasi dan pelanggaran atas kebebasan beragama
kerap kali terjadi. Menarik apa yang diungkapkan oleh Abdullahi Ahmed an-Naim (1998)
salah seorang pemikir asal Sudan yang kini menetap di Amerika. Ia menemukan setidaknya
ada lima kasus dalam al-Qur‘an yang sering digunakan oleh kalangan Islam untuk
membenarkan tindakan diskriminatifnya karena alasan gender dan perbedaan agama serta
keyakinan. Keenam kasus yang dimaksud oleh an-Na‘im adalah sebagai berikut:[9]

1. Laki-laki Muslim boleh mengawini perempuan Kristen atau Yahudi (Ahli Kitab), sedangkan
laki-laki Kristen dan Yahudi tidak boleh mengawini perempuan Muslim. Laki-laki dan
perempuan Muslim tidak boleh mengawini orang musyrik (Q.S.al-Maidah: 5 dan al-Baqarah:
221).
2. Perbedaan agama menjadi penghalang adanya hubungan saling mewarisi. Seorang Muslim
tidak dapat mewarisi atau mewariskan kepada nonmuslim, demikian sebaliknya.
3. Laki-laki Muslim dapat mengawini hingga empat orang perempuan dalam waktu yang
bersamaan, sedang perempuan hanya dapat kawin dengan seorang laki-laki (Q.S. al-Nisa: 2).
4. Seorang laki-laki Muslim dapat menceraikan isterinya, atau seorang isteri dan isteri-isterinya
dengan meninggalkan begitu saja tanpa akad, talak, tanpa berkewajiban memberikan
berbagai alas an atau pembenaran atas tindakannya itu. Sebaliknya, perempuan hanya dapat
bercerai dengan kerelaan suami atau surat keputusan pengadilan yang mengizinkannya
dengan alas an-alasan khusus, seperti ketidakmampuan suami dan keenganannya untuk
mengurus isteri (Q.S. al-Baqarah: 226-232).
5. Dalam pewarisan, seorang perempuan Muslim menerima bagian yang lebih sedikit daripada
bagian laki-laki Muslim, ketika keduanya berada dalam kedekatan hubungan kekeluargaan
yang sama dengan yang meninggal (Q.S.al-Nisa: 11; 176).

Kondisi Jaminan HAM di Indonesia saat ini


Sebagai salah satu hak yang paling fundamental, pelaksanaan kebebasan beragama
atau berkepercayaan didasarkan pada delapan norma sebagai berikut :[10]

a. internal freedom (kebebasan internal). Berdasarkan pada norma ini, setiap orang dipandang
memiliki hak kebebasan berpikir, berkesadaran, dan beragama. Norma ini juga mengakui
kebebasan setiap individu untuk memiliki, mengadopsi, mempertahankan atau mengubah
agama dan kepercayaannya.
b. external freedom (kebebasan eksternal). Norma ini mengakui kebebasan mewujudkan
kebebasan atau keyakinan dalam berbagai bentuk manifestasi seperti kebebasan dalam
pengajaran, praktik, peribadatan, ketaatan. Manifestasi kebebasan beragama dan
berkepercayaan dapat dilaksanakan baik diwilayah pribadi maupun publik. Kebebasan juga
bisa dilakukan secara individual dan bersama-sama orang lain.
c. noncoercion (tanpa paksaan). Norma ini menekankan adanya kemerdekaan individu dari
segala bentuk paksaan dalam mengadopsi suatu agama atau berkepercayaan. Dengan kata
lain, setiap individu memiliki kebebasan memiliki suatu agama atau kepercayaan tanpa perlu
dipaksa oleh siapa pun.
d. nondiscrimination (tanpa diskriminasi). Berdasarkan norma ini, negara berkewajiban
menghargai dan memastikan bahwa seluruh individu di dalam wilayah kekuasaanya dan
yurisdiksinya memperoleh jaminan kebebasan beragama atau berkepercayaan tanpa
membedakan warna kulit, jenis kelamin, bahasa, agama atau kepercayaan,pandanga politik
dan pandangan lainnya, asal-usul bangsa, kekayaan, status kelahiran.
e. rights of parent and guardian (hak orang tua dan wali). Menurut norma ini, negara
berkewajiban menghargai kebebasan orang tua dan para wali yang abash secara hukum untuk
memastikan pendidikan agama dan moral bagi anak-anak mereka sesuai dengan kepercayaan
mereka sendiri. Negara juga harus memberikan perlindungan atas hak-hak setiap anak untuk
bebas beragama atau berkepercayaan sesuai dengan kemampuan mereka sendiri.
f. corporate freedom and legal status (kebebasan berkumpul dan memperoleh status hukum).
Aspek penting kebebasan beragama atau berkepercayaan terutama dalam kehidupan
kontemporer adalah adanya hak bagi komunitas keagamaan untuk mengorganisasikan diri
atau membentuk asosiasi.
g. limits of permissible restrictions on external freedom (pembatasan yang diperkenankan
terhadap kebebasan eksternal). Kebebasan untuk mewujudkan atau mengeskpresikan suatu
agama atau kepercayaan dapat dikenai pembatasan oleh hukum dengan alasan ingin
melindungi keselamatan umum, ketertiban, kesehatan dan moral dan hak-hak dasar lainnya.
h. nonderogability. Negara tidak boleh mengurangi hak kebebasan beragama atau
berkepercayaan bahkan dalam situasi darurat sekalipun.

Pada kenyataannya, kedelapan norma kebebasan beragama atau berkepercayaan


tersebut tidak berjalan mulus. Di beberapa negera termasuk di Indonesia sendiri sering
dijumpai pelanggaran terhadap kebebasan beragama atau berkeyakinan. Indonesia adalah
salah satu negara yang sering mendapat sorotan terkait dengan pelanggaran kebebasan
beragama atau berkeyakinan.[11] Meskipun memiliki cukup banyak landasan normatif,
ternyata Indonesia belum bebas dari pelanggaran terhadap kebebasan beragama atau
berkeyakinan. Berdasarkan analisis yang dilakukan oleh Imparsial (2006), pelanggaran yang
dilakukan negara terhadap kebebasan beragama atau berkepercayaan menggunakan dua
modus.
Modus pertama, negara melakukan pelanggaran secara tidak langsung dengan cara
melakukan pembiaran atas berbagai kasus yang terjadi sehingga menimbulkan aksi kekerasan
yang dilakukan masyarakat, seperti pada kasus yang menimpa Jama’ah Ahmadiyah di Cikesik
Pandeglang, Banten. Dalam beberapa kasus terlihat sikap aparat keamanan yang membiarkan
dan tidak melakukan pencegahan sehingga mendorong sekelompok orang untuk tetap
melanjutkan aksinya seperti menutup tempat ibadah atau melakukan penyerangan terhadap
kepercayaan kelompok lain. Sebagai pihak yang punya kewenangan dalam pengendalian
keamanan dan ketertiban di masyarakat, aparat keamanan seharusnya menindak pelaku
kekerasan tersebut. Tetapi tidak jarang aparat keamanan melakukan pembiaran seakan
tindakan pelaku kekerasan dibenarkan. Tindakan pembiaran yang dilakukan oleh aparat
keamanan menurut Imparsial tidak dapat dibenarkan karena sama halnya negara tidak
memberikan jaminan dan perlindungan terhadap kebebasan beragama atau berkepercayaan.
Sedangkan dalam modus kedua, negara melakukan pelanggaran secara langsung melalui
pembuatan dan penguatan berbagai kebijakan yang membatasi dan membelenggu
keberagama dan berkepercayaan.
Meskipun keran ekspresi keberagamaan sudah mulai dibuka lebar, akan tetapi
perkembangan ini tentu tidak sepenuhnya memuaskan, sebab faktanya ternyata masih
menyisakan ruang diskriminasi terhadap warganya dengan memilah adanya agama atau
kepercayaan yang diakui dan tidak atau belum diakui menurut perundang-undangan.
Bukankah pemahaman tentang keberadaan kelompok agama-agama lokal dengan berbagai
hak sipil yang melekat pada mereka merupakan pemahaman yang urgen untuk
disosialisasikan di masyarakat.
Semangat penerapan nilai-nilai HAM dalam bidang keagamaan sebenarnya telah
tergambar setidaknya dalam beberapa produk legislasi negara kita, seperti; 1).Dalam
Konstitusi negara kita sudah mengatur pengakuan sekaligus jaminan dan perlindungan
terhadap hak dan kebebasan mendasar untuk memeluk agama dan kepercayaan seperti dalam
Pasal 29 Ayat (2) UUD; 2). UU HAM No. 39 tahun 1999 yang menegaskan kembali
kemerdekaan memeluk dan menjalankan agama dan kepercayaannya; 3). UU Peradilan HAM
No. 26 tahun 2000 yang memasukkan kejahatan kemanusiaan yang dilakukan secara luas
dan sistematis kepada sebuah kelompok atau asosiasi yang salah satunya berdasarkan
identitas agama tertentu bisa digolongkan sebagai pelanggaran HAM berat; 4). Amandemen
kedua konstitusi (UUD 1945) pada tahun 2002 yang menegaskan kembali kebebasan untuk
memeluk dan beribadah sesuai agama dan kepercayaan. Di samping itu, amandemen
konstitusi juga menjamin warga untuk bebas dari dan mendapatkan perlindungan terhadap
segala bentuk diskriminasi.
Usaha kearah yang lebih serius dalam penegakkan HAM dan penguatan nilai-nilai
kebebasan beragama semakin terlihat ketika pada tahun 2005, Indonesia secara tegas
mengambil kebijakan keagamaan dengan meratifikasi aturan PBB dalamInternational
Covenant on Civil and Political Rights. (Rumadi: 2010). Dengan usaha kearah itu, berarti
negara kita sebenarnya telah sepakat untuk menghargai, melindungi, dan memberikan
kebebasan beragama kepada warganya, termasuk kepada penganut agama lokal seperti
agama sunda wiwitan yang dianut oleh Orang Baduy di Banten sekali pun.
Bahkan tidak hanya itu, pada tahun 2006, usaha negara Indonesia untuk memberikan
hak kebebasan secara lebih luas diwujudkan dalam penerbitan UU No. 23 tahun 2006 tentang
Administrasi Kependudukan. Pada pasal 61 ayat 2 misalnya, secara eksplisit meminta negara
melayani kepentingan administrasi kependudukan warga termasuk dalam KTP di luar enam
agama resmi dan secara implisit mengakui keberadaan mereka dalam sistem administrasi
kependudukan Indonesia.
Meskipun sudah banyak bermunculan berbagai model legislasi terkait hak kebebasan
beragama, akan tetapi fakta diskriminasi beragama kerap kali muncul terutama pada mereka
yang menganut beberapa kepercayaan yang dianggap “bukan agama”. Padahal, selain agama-
agama yang “diresmikan” tersebut masih banyak lagi agama dan aliran kepercayaan lainnya
yang dianut oleh penduduk Indonesia. Dan anehnya lagi, agama-agama yang tidak
mempunyai legalitas formal itu adalah agama-agama asli Indonesia, bukan agama impor
seperti enam agama yang sudah diakui secara resmi itu.
Meskipun pintu kebebasan beragama sudah dibuka, akan tetapi faktanya, negara
kita masih memiliki beberapa Undang-undang yang terkadang dijadikan sebagai alat atau
dalil untuk memberengus pihak-pihak yang dianggap melakukan penodaan agama. Kebijakan
negara yang biasanya dipakai untuk mengadili kasus-kasus seperti itu adalah; 1). Kitab
Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) Pasal 156 dan Pasal 156a; 2).Unadang-undang No.
1/PnPs/1965 tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama. 3). Surat
Keputusan Jaksa Agung No. KEP-108/JA/5/1984 tentang Pembentukan Tim Koordinasi
Pengawasan Aliran Kepercayaan Masyarakat.
Padahal jika kita bandingkan kondisi negara kita dengan negara-negara lainnya, maka
justru banyak negara menghapuskan kolom agama dan kepercayaan dalam kartu identitas
kependudukan. Negara-negara yang tercatat sebagai negara dengan mayoritas penduduk
muslim, bahkan beberapa negara Islam sekalipun, dalam prakteknya tidak mewajibkan
adanya afiliasi pada satu agama dan kepercayaan tertentu, atau malah tidak mengharuskan
pencantuman keyakinan dalam kartu tanda identitas penduduknya. Di antara negara-negara
tersebut adalah Aljazair, Bahrain, Iraq, Kuwait, Mauritania, Oman, Qatar, Sudan, Tunisia,
Arab Emirat. Mereka tetap dapat membereskan problem administrasi kependudukan tanpa
perlu mengambil resiko besar dengan mencantumkan kolom identitas agama dan
kepercayaan.
Tapi, kondisi yang berbeda ditemukan di Indonesia, pihak-pihak yang bersikeras
menginginkan pencantuman identitas enam agama resmi (minus kepercayaan) berargumen
bahwa itu adalah cara yang paling efektif untuk menghindari kesalahan-kesalahan
administratif. Ilustrasi yang biasa mereka kemukakan adalah: “seandainya terdapat mayat
yang tidak dikenal, maka identitas agama di KTP dapat dipakai sebagai petunjuk sehingga
ia akan dapat dimakamkan sesuai dengan agamanya”. Argumen semacam ini merupakan
simplifikasi dari penyelesaian masalah, tanpa memperhitungkan potensi permasalahan lain
yang akan timbul karena solusi itu. Pilihannya, menguburkan mayat secara benar berdasarkan
agama dalam KTP atau membiarkan penduduk tak bersalah menjadi mayat korban konflik
akibat identitas agama dalam KTP?, nampaknya perlu dipikirkan ulang.

Kesimpulan
Akhirnya, sebagai rekomendasi untuk solusi ke depan, penulis mengajak seluruh
elemen bangsa, civil society, kelompok akademisi, agamawan, dan elit pemerintah agar
membangun sinergi, bergandeng tangan, untuk menegakkan hak dan prinsip kebebasan
beragama di negeri ini melalui upaya-upaya konkret sebagai berikut.
1. Melakukan upaya rekonstruksi budaya melalui jalur pendidikan dalam arti yang seluas-
luasnya, baik pendidikan formal, non-formal maupun informal. Perlu sekali mengubah
budaya masyarakat yang eksklusif, intoleran, dan senang kekerasan menuju budaya inklusif,
toleran, cinta damai dan pluralis.
2. Merevisi sejumlah undang-undang dan peraturan yang tidak kondusif bagi terwujudnya
kebebasan beragama di tanah air, seperti RUU KUHP, khususnya bab tentang Tindak Pidana
terhadap Agama dan Kehidupan Beragama.
3. Mengembangkan reinterpretasi ajaran agama yang lebih kondusif bagi pemenuhan hak
kebebasan beragama agar dapat membebaskan manusia dari belenggu tirani dan
kebencian.Wa Allah a'lam bi as-shawab.

Terbit di Jurnal Al-Dzikra Vol. 7 No. 1 Januari - Juni Tahun 2013

Anda mungkin juga menyukai