Oleh:
Kiki Muhamad Hakiki
Perbedaan agama di Indonesia bahkan di dunia acap kali masih menjadi penghalang
bagi terwujudnya kehidupan yang toleran, harmoni, jauh dari prasangka dan tindakan
kekerasan. Realita ini semakin menguatkan pandangan bahwa agama merupakan sumber
kebencian, perpecahan dan inspirasi bagi pelaku kekerasan, yang antara lain untuk
melenyapkan mereka yang berbeda atau dianggap berbeda.
Di sisi lain sejumlah agamawan berkhutbah, dan sebagian masyarakat penganut
agama mempercayai bahwa agama seyogyanya membuat penganutnya terhindar dari hal-hal
negatif seperti tersebut di atas. Mereka yakin bahwa setiap agama, termasuk Islam membawa
misi perdamaian, toleransi dan perlindungan bagi umat agama lain yang berbeda. Lantas
bagaimana sebetulnya teks agama (Islam) dalam hal ini al-Qur’an berbicara soal itu?
Makalah ini akan memfokuskan pada kajian seputar respon Islam dengan kitab suci
al-Qur’an-nya terkait dengan isu kebebasan beragama dan berkeyakinan sebagai salah satu
isu yang tercantum di dalam Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (disingkat DUHAM),
ditemukan juga di dalam berbagai dokumen historis tentang HAM, seperti; dokumen Rights
of Man France (1789), Bill of Rights of USA(1791) dan International Bill of Rights (1966).
Hak Asasi Manusia adalah hak-hak dasar yang melekat pada diri setiap orang sejak ia
dilahirkan. Ia berlaku universal (berlaku bagi semua orang di mana saja dan kapan saja). Hak
ini merupakan anugerah Allah. Karena sifatnya yang demikian, maka tidak ada kekuatan
apapun yang bisa mengurangi atau mencabut hak tersebut.Menurut Abed al-Jabiri, istilah al
‘Alamiyyyah atau universal mengandung arti bahwa hak-hak tersebut ada dan berlaku bagi
semua orang di mana saja, tanpa membedakan jenis kelamin, ras, status sosial, agama, dan
sebagainya. Oleh sebab itu, HAM tidak terpengaruh oleh kebudayaan dan peradaban apapun
(la yuatstsir fiha ikhtilaf al-Tsaqafat wa al-Hadharat), melintasi batas ruang dan waktu
(ta’lu ‘ala al-Zaman wa al-Tarikh). HAM adalah hak setiap manusia karena dia melekat pada
diri manusia (‘ala al-Insan ayyan kana wa anna kana).[5]
Salah satu hak paling asasi yang dimiliki oleh manusia sebagai anugerah Allah adalah
kebebasan untuk memilih agama berdasarkan keyakinannya. Beragama adalah hal yang
membedakan antara manusia dengan makhluk lain. Manusia diberi keleluasaan oleh Allah,
apakah akan mengikuti petunjuk jalan-Nya atau jalan yang lain. Berdasarkan pilihannya,
manusia akan dimintai pertanggungjawaban di akhirat. Prinsip kebebasan ini secara tegas
disebutkan dalam QS. Al- Kahfi: 29.
ْ شو
َِىٱلوُ جُوَِهِب ْئس ِْ َاثواِِب َمآءِِ َك ْٱل ُمهْلِِ َي َّ َّٰ َوقُلِِ ْٱلحَ قِِمنِرَّ ِّب ُك ِْمِ َفمَنِ َشا ٓ َِءِ َفِْلي ُْؤمنِ َومَنِ َشا ٓ َِءِ َف ْل َي ْكفُرِِْإ َّنِا ِٓأَعْ َت ْد َناِل
َِ َلظلمينَِِ َنارً اِأَح
ُ اطِبه ِْمِسُرَ ادقُهَاِ َوإنِ َيسْ َتغ ُيثواِِ ُيغ
﴾٩٢﴿َِتِمُرْ َت َف ًقا ِْ ِٱل َّشرَ ابُِِ َو َسآء
Artinya:”Dan katakanlah: "Kebenaran itu datangnya dari Tuhanmu; maka barangsiapa yang
ingin (beriman) hendaklah ia beriman, dan barangsiapa yang ingin (kafir) biarlah ia kafir".
Sesungguhnya Kami telah sediakan bagi orang orang zalim itu neraka, yang gejolaknya
mengepung mereka. Dan jika mereka meminta minum, niscaya mereka akan diberi minum
dengan air seperti besi yang mendidih yang menghanguskan muka. Itulah minuman yang
paling buruk dan tempat istirahat yang paling jelek” (QS. Al-Kahfi: 29)
َِّٰ َٱلط ِّي َّٰ َبتِِ َو َفض َّْل َّٰ َن ُه ِْمِ َعل
ِ ً ىِ َكثيرِِ ِّممَّنِِْ َخلَ ْق َناِ َت ْفض
﴾٠٧﴿ِيل َّ َِِىِءَا َد َِمِ َوحَ م َْل َّٰ َن ُه ِْمِفىِ ْٱلبَرِِِّ َو ْٱل َبحْ رِِ َورَ َز ْق َّٰ َنهُمِمِّن
ِٓ َولَ َق ِْدِ َكرَّ ْم َناِبَن
Artinya: “Dan sesungguhnya Kami telah memuliakan anak-anak Adam. Kami angkat mereka di
daratan dan lautan, Kami beri mereka rizki dari yang baik-baik serta Kami lebihkan
mereka dengan kelebihan yang sempurna atas kebanyakan ciptaan Kami”. (QS. al Isra: 70).
Keyakinan adalah milik Allah semata. Dalam teks Islam disebut sebagai "hidayah"
(petunjuk/anugerah Allah). Hidayah menurut Al-Qur'an hanya milik Allah:
Artinya: "Sungguh, engkau (Muhammad) tidak dapat memberi petunjuk kepada orang yang engkau
kasihi, tetapi Allah memberi petunjuk kepada orang yang Dia kehendaki, dan Dia lebih
mengetahui orang-orang yang mau menerima petunjuk".(QS. al-Qashash: 56).
Artinya: “Wahai manusia Kami ciptakan kamu dari laki-laki dan perempuan dan Kami jadikan
kamu bersuku-suku dan berbangsa-bangsa agar kamu saling mengenal. Sesungguhnya
yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah adalah yang paling bertaqwa kepada-
Nya”.(QS. al-Hujurat: 13).
Artinya: “Hai sekalian manusia, bertakwalah kepada Tuhanmu yang telah menciptakan kamu dari
diri (entitas) yang satu, dan daripadanya Allah menciptakan pasangannya, dan dari
keduanya Allah mengembangbiakkan laki-laki dan perempuan yang banyak”.(QS. al Nisa:
1)
Pernyatan paling eksplisit lainnya mengenai hal ini dinyatakan dalam (QS. al Ahzab:
35) :
َِ صب َّٰرَ تِِ َو ْٱل َّٰ َخشعينَِِ َو ْٱل َّٰ َخش َّٰ َعت َو ْٱل ُم َت
َِصدِّقينَِِ َو ْٱل ُم َتص َّ َّٰ صبرينَِِ َوٱل َّ َّٰ صد َّٰ َقتِِ َوٱل َّ َّٰ صدقينَِِ َوٱل َّ َّٰ إنَِِّ ْٱلمُسْ لمينَِِ َو ْٱلمُسْ ل َّٰ َمتِِ َو ْٱلم ُْؤمنينَِِ َو ْٱلم ُْؤم َّٰ َنتِِ َو ْٱل َّٰ َقنتينَِِ َو ْٱل َّٰ َقن َّٰ َتتِِ َوٱل
َّٰ َّ َّٰ صئ َّٰ َمتِِ َو ْٱل َّٰحَ فظينَِِفُرُوجَ ُه ِْمِ َو ْٱل َّٰحَ ف َّٰ َظتِِ َو ٓ ٓ
َ
﴾١٦﴿ِٱّللُِلَهُمِم َّْغفرَ ًِةِ َوأجْ رً اعَظيمًا َّ َ َّٰ َّ
ِ ِٱّللِ َكثيرً اِ َوٱلذكرَ تِِأ َع َِّد َّ
َِ َِِٱلذكرين َّ َّٰ صئمينَِِ َوٱل َّ َّٰ ِّد َّٰ َقتِِ َوٱل
Artinya: “Sesungguhnya laki-laki dan perempuan yang muslim, laki-laki dan perempuan yang
mukmin, laki-laki dan perempuan yang tetap dalam ketaatannya, laki-laki dan
perempuanyang benar, laki-laki dan perempuan yang sabar, laki-laki dan perempuan yang
khusyu’, laki-laki dan perempuan yang bersedekah, laki-laki dan perempuan yang
berpuasa, laki-laki dan perempuan yang memlihara kehormatannya, laki-laki dan
perempuan yang banyak menyebut (nama) Allah, Allah telah menyedikan ampunan dan
pahala yang besar”. (QS al Ahzab: 35). Demikian juga dalam QS al-Nahl, 97, QS Ali Imran,
195, QS al-Mukmin 40, dan lain-lain.
ِ َ ش َه َد ٓا َِءِ َف
ِل َِّ ِِظواِِمنِك َّٰ َتب
ُ ٱّللِ َو َكا ُنواِِ َعلَيْه ُ نز ْل َناِٱل َّت ْورَ َّٰى َِةِفيهَاِ ُه ًدىِ َو ُنورِِ َيحْ ُك ُِمِبهَاِٱل َّنبيونَِِٱلَّذينَِِأَسْ لَمُواِِللَّذينَِِهَادُواِِ َوٱلرَّ َّٰ َّبنيونَِِ َو ْٱْلَحْ بَارُِِبمَاِٱسْ ُتحْ ف
َ َإ َّنِآِأ
َّٰ ْ ٓ َّٰ ُ َ َّ َ َ َّ ً ً َ َّٰ ْ
َ َ
﴾٤٤﴿َِِٱّللُِفأولئكَِِ ُه ُِمِٱلكفرُون ِ ِل ُ
َِ يلِ َومَنِل ِْمِ َيحْ كمِب َمِا ِٓأنز َ
ِ لِتشترُواِِبـَا َيتىِث َمناِقل َ َ ِ َت ْخ َشوُ اِِٱلناسَِِ َوٱخش ْونِِ َو
َ َ ْ َّ
Artinya: “Sungguh, Kami yang menurunkan Kitab Taurat; di dalamnya (ada) petunjuk dan cahaya.
Yang dengan Kitab itu para nabi yang berserah diri kepada Allah memberi putusan atas
perkara orang Yahudi, demikian juga para ulama dan pendeta-pendeta mereka, sebab
mereka diperintahkan memelihara kitab-kitab Allah dan mereka menjadi saksi
terhadapnya. Karena itu janganlah kamu takut kepada manusia, (tetapi) takutlah kepada-
Ku. Dan janganlah kamu jual ayat-ayat-Ku dengan harga murah. Barangsiapa tidak
memutuskan dengan apa yang diturunkan Allah, maka mereka itulah orang-orang
kafir”. [QS. Al-Maidah/5:44].
Melalui ayat-ayat dalam al-Qur’an ini juga ditegaskan bahwa Islam memberikan
pengakuan terhadap umat Yahudi dan Nashrani; mereka cukup menjadikan kitab suci
masing-masing sebagai sandaran moral mereka. Ditegaskan pula, sekiranya mereka berpaling
dari kitab sucinya, mereka adalah kafir dan fasik.
Kelima, tentang pengakuan terhadap para pembawa agama sebelumnya seperti Musa
dan Isa al-Masih. Sebagaimana perintah mengimani kitab-kitab wahyu, umat Islam
diharuskan mengimani para nabi dan rasul, minimal 25 rasul, karena jumlah nabi dan rasul
menurut hadits nabi diperkirakan mencapai 124.000 orang nabi dan 315 orang rasul.
Keenam, secara eksplisit al-Qur’an menegaskan bahwa siapa saja – Yahudi,
Nashrani, Shabi’in, dll – yang menyatakan hanya beriman kepada Allah, percaya pada Hari
Akhir, dan melakukan amal saleh, tak akan pernah disia-siakan oleh Allah. Mereka akan
mendapatkan balasan yang setimpal atas keimanan dan jerih payahnya.
Artinya: “Sesungguhnya orang-orang yang beriman, orang-orang Yahudi, Şābi'īn dan orang-orang
Nasrani, barangsiapa beriman kepada Allah, kepada hari kemudian, dan berbuat
kebajikan, maka tidak ada rasa khawatir padanya dan mereka tidak bersedih hati”. (QS.
Al-Maidah/5: 69)
Ketujuh, al-Qur’an membolehkan umat Islam berteman dengan umat agama lain,
selama umat agama lain itu tak memusuhi dan tak mengusir dari tempat tinggalnya.
Sekiranya mereka melakukan permusuhan, maka wajar kalau umat islam diperintahkan
melakukan pertahanan diri.
ِٱّللُِ َعنِِٱلَّذينَِِلَ ِْمِ ُي َّٰ َقتلُو ُك ِْمِفىِٱلدِّينِِ َولَ ْمي ُْخرجُو ُكمِ ِّم
َِّ ِلِ َي ْنه ََّٰى ُك ُِم َِّ ٱّللُِ َقديرِِ َو
ِ َّ ﴾٠﴿ِِٱّللُِ َغفُورِِرَّحيم َِ ٱّللُِأَنِ َيجْ َع
َِّ لِ َب ْي َن ُك ِْمِ َو َبيْنَِِٱلَّذينَِِعَا َد ْي ُتمِ ِّم ْنهُمِم ََّو َّدًِةِ َو َِّ َِعسَى
ْ
ىِإخرَ ا ٓ َّٰ َ َ َّٰ ُ َّٰ ُ ْ َ ُ
ِ ٱّللُِ َعنِِٱلذينَِِقتلوك ِْمِفىِٱلدِّينِِ َوأخرَ جُوكمِمِّنِد َيركم َْوظ َهرُواِِ َعل ُ َ َ َّٰ َّ َّ ُ ْ َّ
ِ ِ﴾ِإنمَاِ َينهَىك ُِم٨﴿َِِٱّللِيُحبِِٱل ُمقسطين
َّٰ ْ ْ َّ َ ُ ْ ُ َ َ
َِ َِِّنِد َّٰ َير ُك ِْمِأنِتبَرو ُه ِْمِ َوتقسط ٓواِِإليْه ِْمِإن
َّٰ ٓ
﴾٢﴿َِِج ُك ِْمِأَنِ َت َولَّ ْو ُه ِْمِ َومَنِ َي َت َولَّ ُه ِْمِ َفأُو َّٰلَئكَِِ ُه ُِمِٱلظلمُون
َّ
Artinya: “Mudah-mudahan Allah menimbulkan kasih sayang di antara kamu dengan orang-orang
yang pernah kamu musuhi di antara mereka. Allah Mahakuasa. Dan Allah Maha
Pengampun, Maha Penyayang (7) Allah tidak melarang kamu berbuat baik dan berlaku adil
terhadap orang-orang yang tidak memerangimu dalam urusan agama dan tidak mengusir
kamu dari kampung halamanmu. Sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang
berlaku adil (8) Sesungguhnya Allah hanya melarang kamu menjadikan mereka sebagai
kawanmu orang-orang yang memerangi kamu dalam urusan agama dan mengusir kamu
dari kampung halamanmu dan membantu (orang lain) untuk mengusirmu. Barangsiapa
menjadikan mereka sebagai kawan, mereka itulah orang-orang yang zalim (9).” (QS. Al-
Mumtahanah/60:7-9).
Dalam hal umat Islam meminta bantuan dan perlindungan, sejarah juga mengukir
tetang hal sebagai berikut.
Pertama, ketika umat Islam dikejar-kejar orang-orang kafir Quraisy Mekah, Nabi
mencari petlindungan kepada Najasyi, Raja Abisinia yang Kristen. Ratusan sahabat Nabi
termasuk Utsman dan istrinya Ruqayah (putrid Nabi), hijrah ke Abisinia untuk menghindari
ancaman pembunuhan kafir Quraisy. Pada saat kafir Quraisy memaksa sang raja
mengembalikan umat Islam ke Mekah, ia tetap pada pendiriannya: pengikut Muhammad
harus dilindungi dan diberikan haknya untuk memeluk agama Islam. Menariknya, ketika
Sang Raja ini meninggal dunia, Muhammad pun melaksanakan salat jenazah dan
memohonkan ampun atasnya.
Kedua, Abu ‘Ubaidillah al-Mahdi, khalifah pertama dari Dinasti Fathimiyah pernah
meminta nasihat kepada salah seorang Kristen tentang lokasi yang tepat bagi ibu kota
Negara.[6]
Beberapa ayat al-Qur’an di atas dan masih banyak lagi ayat yang lain menjelaskan
tentang kemuliaan martabat manusia, kebebasan dan kesetaraan manusia tanpa melihat
latarbelakang asal usulnya, warna kulit, jenis kelamin bahasa dan agama. Ini adalah
konsekuensi logis dari doktrin Kemahaesaan Allah. Semua manusia dengan berbagai
latarbelakangnya itu pada ujungnya berasal dari sumber yang tunggal, ciptaan Tuhan.
Keunggulan yang dimiliki manusia satu atas manusia yang lain hanyalah pada aspek
kedekatannya dengan Tuhan.
Dalam fakta sejarahnya, pernyataan-pernyataan al-Qur-an dan hadits Nabi saw. di
atas selanjutnya menjadi dasar Nabi saw untuk mendeklarasikan apa yang dikenal
dengan “Shahifah Madinah”, “Mitsaq al Madinah” atau Piagam Madinah, pada tahun 622 M.
Isinya meliputi kesepakatan-kesepakatan tentang aturan-aturan yang berlaku dalam
masyarakat Madinah. Para ahli sejarah menyatakan bahwa Piagam Madinah ini adalah
naskah otentik yang tidak diragukan keasliannya tentang prinsip-prinsip kemanusiaan
universal.[7] Sebagian menyatakannya sebagai deklarasi HAM pertama di dunia.
Bahkan Nurcholish Madjid, dengan tegas menyatakan bahwa Hak-hak Asasi Manusia
Universal (DUHAM) sesungguhnya mendapatkan inspirasi dan diilhami oleh ajaran-ajaran
Islam. Islam adalah agama yang telah mendeklarasikan hak-hak dasar manusia jauh berabad
lamanya sebelum DUHAM. Menurut Nurcholish "pandangan dasar kemanusiaan yang
berasal dari Madinah tersebut diadopsi ke Eropa oleh Giovani Pico della Mirandola, filosof
terkemuka zaman renaissance. Dia menyampaikan orasi tentang "Martabat Manusia" pada
tahun 1486 di Roma di hadapan para sarjana Eropa. Dia dengan terang-terangan mengakui
bahwa pikiran-pikirannya diperoleh dari bacaannya atas karya-karya intelektual muslim".[8]
Dengan penjelasan di atas, kita dapat menyimpulkan bahwa Hak-Hak Asasi Manusia
adalah sejalan dengan visi Islam, bahkan Islam telah memelopori prinsip-prinsip
kemanusiaan ini jauh berabad sebelum dunia Barat mendeklarasikannya. Tak hanya
memberikan pengakuan dan jaminan, al-Qur’an juga mewajibkan umat Islam untuk
memberikan hak beragama bagi umat non-Muslim sesuai ajaran mereka.
Berangkat dari fakta-fakta normative tersebut, semakin jelaslah bahwa Islam telah
menjamin dan melindungi kebebasan beragama dan berkeyakinan. Tidak sekadar itu,
menurut al-Qur’an, umat non-Muslim pun akan diselamatkan Allah sejauh mereka
menjalankan ajaran agamanya secara sungguh-sungguh dan melakukan amal saleh,
sebagaimana ditetapkan kitab suci masing-masing.
Meskipun banyak teks-teks al-Qur’an yang menjamin kebebasan beragama dan
berkeyakinan, akan tetapi faktanya diskriminasi dan pelanggaran atas kebebasan beragama
kerap kali terjadi. Menarik apa yang diungkapkan oleh Abdullahi Ahmed an-Naim (1998)
salah seorang pemikir asal Sudan yang kini menetap di Amerika. Ia menemukan setidaknya
ada lima kasus dalam al-Qur‘an yang sering digunakan oleh kalangan Islam untuk
membenarkan tindakan diskriminatifnya karena alasan gender dan perbedaan agama serta
keyakinan. Keenam kasus yang dimaksud oleh an-Na‘im adalah sebagai berikut:[9]
1. Laki-laki Muslim boleh mengawini perempuan Kristen atau Yahudi (Ahli Kitab), sedangkan
laki-laki Kristen dan Yahudi tidak boleh mengawini perempuan Muslim. Laki-laki dan
perempuan Muslim tidak boleh mengawini orang musyrik (Q.S.al-Maidah: 5 dan al-Baqarah:
221).
2. Perbedaan agama menjadi penghalang adanya hubungan saling mewarisi. Seorang Muslim
tidak dapat mewarisi atau mewariskan kepada nonmuslim, demikian sebaliknya.
3. Laki-laki Muslim dapat mengawini hingga empat orang perempuan dalam waktu yang
bersamaan, sedang perempuan hanya dapat kawin dengan seorang laki-laki (Q.S. al-Nisa: 2).
4. Seorang laki-laki Muslim dapat menceraikan isterinya, atau seorang isteri dan isteri-isterinya
dengan meninggalkan begitu saja tanpa akad, talak, tanpa berkewajiban memberikan
berbagai alas an atau pembenaran atas tindakannya itu. Sebaliknya, perempuan hanya dapat
bercerai dengan kerelaan suami atau surat keputusan pengadilan yang mengizinkannya
dengan alas an-alasan khusus, seperti ketidakmampuan suami dan keenganannya untuk
mengurus isteri (Q.S. al-Baqarah: 226-232).
5. Dalam pewarisan, seorang perempuan Muslim menerima bagian yang lebih sedikit daripada
bagian laki-laki Muslim, ketika keduanya berada dalam kedekatan hubungan kekeluargaan
yang sama dengan yang meninggal (Q.S.al-Nisa: 11; 176).
a. internal freedom (kebebasan internal). Berdasarkan pada norma ini, setiap orang dipandang
memiliki hak kebebasan berpikir, berkesadaran, dan beragama. Norma ini juga mengakui
kebebasan setiap individu untuk memiliki, mengadopsi, mempertahankan atau mengubah
agama dan kepercayaannya.
b. external freedom (kebebasan eksternal). Norma ini mengakui kebebasan mewujudkan
kebebasan atau keyakinan dalam berbagai bentuk manifestasi seperti kebebasan dalam
pengajaran, praktik, peribadatan, ketaatan. Manifestasi kebebasan beragama dan
berkepercayaan dapat dilaksanakan baik diwilayah pribadi maupun publik. Kebebasan juga
bisa dilakukan secara individual dan bersama-sama orang lain.
c. noncoercion (tanpa paksaan). Norma ini menekankan adanya kemerdekaan individu dari
segala bentuk paksaan dalam mengadopsi suatu agama atau berkepercayaan. Dengan kata
lain, setiap individu memiliki kebebasan memiliki suatu agama atau kepercayaan tanpa perlu
dipaksa oleh siapa pun.
d. nondiscrimination (tanpa diskriminasi). Berdasarkan norma ini, negara berkewajiban
menghargai dan memastikan bahwa seluruh individu di dalam wilayah kekuasaanya dan
yurisdiksinya memperoleh jaminan kebebasan beragama atau berkepercayaan tanpa
membedakan warna kulit, jenis kelamin, bahasa, agama atau kepercayaan,pandanga politik
dan pandangan lainnya, asal-usul bangsa, kekayaan, status kelahiran.
e. rights of parent and guardian (hak orang tua dan wali). Menurut norma ini, negara
berkewajiban menghargai kebebasan orang tua dan para wali yang abash secara hukum untuk
memastikan pendidikan agama dan moral bagi anak-anak mereka sesuai dengan kepercayaan
mereka sendiri. Negara juga harus memberikan perlindungan atas hak-hak setiap anak untuk
bebas beragama atau berkepercayaan sesuai dengan kemampuan mereka sendiri.
f. corporate freedom and legal status (kebebasan berkumpul dan memperoleh status hukum).
Aspek penting kebebasan beragama atau berkepercayaan terutama dalam kehidupan
kontemporer adalah adanya hak bagi komunitas keagamaan untuk mengorganisasikan diri
atau membentuk asosiasi.
g. limits of permissible restrictions on external freedom (pembatasan yang diperkenankan
terhadap kebebasan eksternal). Kebebasan untuk mewujudkan atau mengeskpresikan suatu
agama atau kepercayaan dapat dikenai pembatasan oleh hukum dengan alasan ingin
melindungi keselamatan umum, ketertiban, kesehatan dan moral dan hak-hak dasar lainnya.
h. nonderogability. Negara tidak boleh mengurangi hak kebebasan beragama atau
berkepercayaan bahkan dalam situasi darurat sekalipun.
Kesimpulan
Akhirnya, sebagai rekomendasi untuk solusi ke depan, penulis mengajak seluruh
elemen bangsa, civil society, kelompok akademisi, agamawan, dan elit pemerintah agar
membangun sinergi, bergandeng tangan, untuk menegakkan hak dan prinsip kebebasan
beragama di negeri ini melalui upaya-upaya konkret sebagai berikut.
1. Melakukan upaya rekonstruksi budaya melalui jalur pendidikan dalam arti yang seluas-
luasnya, baik pendidikan formal, non-formal maupun informal. Perlu sekali mengubah
budaya masyarakat yang eksklusif, intoleran, dan senang kekerasan menuju budaya inklusif,
toleran, cinta damai dan pluralis.
2. Merevisi sejumlah undang-undang dan peraturan yang tidak kondusif bagi terwujudnya
kebebasan beragama di tanah air, seperti RUU KUHP, khususnya bab tentang Tindak Pidana
terhadap Agama dan Kehidupan Beragama.
3. Mengembangkan reinterpretasi ajaran agama yang lebih kondusif bagi pemenuhan hak
kebebasan beragama agar dapat membebaskan manusia dari belenggu tirani dan
kebencian.Wa Allah a'lam bi as-shawab.