Anda di halaman 1dari 21

TUGAS UJIAN TENGAH SEMESTER

STUDI AL-QUR’AN

Dosen pengampu : Dra. Hj. Umi Hasunah, M.Th.I

Disusun oleh

1. Basti Triyansah (1118017)

FAKULTAS AGAMA ISLAM

PENDIDIKAN AGAMA ISLAM

UNIVERSITAS PESANTREN TINGGI DARUL ULUM

JOMBANG 2019
TUGAS UJIAN TENGAH SEMESTER

STUDI AL-QUR’AN

Dosen pengampu : Dra. Hj. Umi Hasunah, M.Th.I

Disusun oleh

Muhammad Farhan Widhuha (1118024)

FAKULTAS AGAMA ISLAM

PENDIDIKAN AGAMA ISLAM

UNIVERSITAS PESANTREN TINGGI DARUL ULUM

JOMBANG 2019
1. APA PERBEDAAN AL-QUR’AN DAN ULUMUL QUR’AN, JELASKAN!

Hampir semua ilmu mengawali materinya dengan mendifinisikan sesuatu yang menjadi
objek bahasan dari ilmu tersebut. Demikian pula dengan Ulumulquran, karena yang menjadi
pokok masalah dari ilmu ini adalah alqur’an, maka mari kita lihat apa dan bagaimana proses
para ulama mendifinisikan Alqur’an.

Kata Qur’an pada mulanya diambil dari akar kata qara’a, qira’atan, qur’anan. Misalnya
seperti dalam firman Allah SWT: “Sesungguhnya atas tanggungan kamilah
mengumpulkannya (di dadamu) dan (membuatmu pandai) membacanya, apabila Kami telah
selesai membacakannya Maka ikutilah bacaannya itu.” (QS. Al‐Qiyamah [75] : 17 ‐ 18),

Dalam struktur bahasa Arab kata Qur’an adalah masdar (infinitif) menurut wazan (tasrif,
konjugasi, atau pola) “Fu’lan” Memang dalam berbagai ayatnya Allah menyebut Kitab Suci
Umat Islam ini dengan sebutan Qur’an misalnya dalam

“Dan apabila dibacakan Al Quran, Maka dengarkanlah baik‐baik, dan perhatikanlah


dengan tenang agar kamu mendapat rahmat” (QS. Al A’raf [7] : 204),

Banyak sekali difinisi yang yang dibuat para Ulama, tentu saja berbagai macamnya, tidak ada
yang persis sama. Disini hanya akan disampaikan yang paling pas dan sesuai dalam
pandangan Manna al‐Qattan (Mabahis Fi Ulumil Quran), yang mana bersumber dari
bukunyalah materi ini ditulis.

Yang paling mudah memang mendifinisikan Alqur’an secara kongkrit, misalnya : “Alquran
adalah bismillahir rahmaanir rahim, alhamdulillahi rabbil alamin sampai dengan minal
jinnatii wannas.” namun untuk lebih mendekati maknanya dan agar benar‐benar terbedakan
dengan yang lainnyamaka para ulama mendifinisikan Alqur’an dengan :

“Qur’an adalah Kalam (firman) Allah yang diturunkan kepada Muhammad S.A.w. yang
membacanya merupakan suatu ibadah” Dalam difinisi tersebut, “Kalam” atau kata
merupakan statement yang meliputi segala kalam, namun dengan menghubungkannya
kepada “Allah” maka “Kalamullah” menunjuk secara tegas dan spesifik, jadi tidak termasuk
kalam (kata) manusia, jin dan malaikat.

Dengan memakai kata “yang diturunkan” maka tidak termasuk Kalam Allah yang sudah
khusus menjadi milik‐Nya, seperti yang terungkap dalam firman‐Nya :

“Katakanlah: Sekiranya lautan menjadi tinta untuk (menulis) kalimat‐kalimat Tuhanku,


sungguh habislah lautan itu sebelum habis (ditulis) kalimat‐kalimat Tuhanku, meskipun
Kami datangkan tambahan sebanyak itu (pula)” (QS. Al‐Kahfi [18] : 109)

atau (QS. Luqman [31] : 27)

“Dan seandainya pohon‐pohon di bumi menjadi pena dan laut (menjadi tinta), ditambahkan
kepadanya tujuh laut (lagi) sesudah (kering)nya, niscaya tidak akan habis‐habisnya
(dituliskan) kalimat Allah. Sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.”

Dengan membatasi apa yang diturunkan itu hanya “kepada Muhammad S.A.W. maka tidak
termasuk yang diturunkan kepada Nabi‐Nabi sebelumnya seperti Taurat, Injil dan yang
lainnya.

Dan dengan dikatakan “yang membacanya merupakan suatu ibadah” maka terbedakanlah
ketika kita membaca hadits ahad maupun hadits kudsi, sebab membacakan hadits tidaklah
sama dengan membaca Qur’an.

Selain disebut dengan Qurán, Kalamullah ini disebut juga dengan Alkitab atau Kitab Allah
(QS. Al Baqarah: 2) dan

(QS. Al An’am: 114), Al‐Furqan yang berarti pembeda antara yang benar dan yang batil (QS.
Al Furqan: i), Az‐Zikr yang

berarti peringatan (QS.15:9), dan At‐Tanzil yang berarti diturunkan (QS.26:192). Hanya saja

penamaan Alquran dan Alkitab lebih populer dari nama‐nama yang lainnya.

Allah SWT dalam berbagai ayatnya juga menyebut alquran dengan berbagai sifatnya, berikut
rinciannya :

Nur (cahaya) (QS An‐Nisa’[4]; 174)

“Hai manusia, Sesungguhnya telah datang kepadamu bukti kebenaran dari Tuhanmu.
(Muhammad dengan mukjizatnya) dan telah Kami turunkan kepadamu cahaya yang terang
benderang (Al Quran).”

Huda (petunjuk), Syifa’(obat), Rahmah (rahmat), dan Mauízah (nasihat) (Qs Yunus
[10];57)

“Hai manusia, Sesungguhnya telah datang kepadamu nasehat dari Tuhanmu dan obat bagi
penyakitpenyakit (yang berada) dalam dada dan petunjuk serta rahmat bagi orang‐orang
yang beriman.”

Mubin (yang menerangkan) (QS Al‐Maídah [5];15)

“Hai ahli Kitab, Sesungguhnya telah datang kepadamu Rasul Kami, menjelaskan kepadamu
banyak dari isi Al kitab yang kamu sembunyi kan, dan banyak (pula yang) dibiarkannya.
Sesungguhnya telah datang kepadamu cahaya dari Allah, dan kitab yang menerangkan”.

Mubarak (yang diberkati) (QS Al‐AnÁm [6];92)


”dan ini (Al Quran) adalah kitab yang telah Kami turunkan yang diberkahi; membenarkan
Kitab‐Kitab yang (diturunkan) sebelumnya dan agar kamu memberi peringatan kepada
(penduduk) Ummul Qura (Mekah) dan orang‐orang yang di luar lingkungannya.
orang‐orang yang beriman kepada adanya kehidupan akhirat tentu beriman kepadanya (Al
Quran) dan mereka selalu memelihara sembahyangnya.”

Busyra ’’(kabar gembira) (QS Al‐Baqarah [2];97)

“Katakanlah: “Barang siapa yang menjadi musuh Jibril, Maka Jibril itu telah
menurunkannya (Al Quran) ke dalam hatimu dengan seizin Allah; membenarkan apa
(kitab‐kitab) yang sebelumnya dan menjadi petunjuk serta berita gembira bagi orang‐orang
yang beriman.”

Aziz (yang mulia) (QS Fussilat [41];41) “Sesungguhnya orang‐orang yang mengingkari Al
Quran ketika Al Quran itu datang kepada mereka, (mereka itu pasti akan celaka), dan
Sesungguhnya Al Quran itu adalah kitab yang mulia.”

Majid (yang dihormati) (QS Al‐Buruj [85];21)

“bahkan yang didustakan mereka itu ialah Al Quran yang mulia”

Basyir (pembawa kabar gembira), dan Nazir (pembawa peringatan) (QS Fussilat [41];3‐4)

“kitab yang dijelaskan ayat‐ayatnya, Yakni bacaan dalam bahasa Arab, untuk kaum yang
mengetahui, yang membawa berita gembira dan yang membawa peringatan, tetapi
kebanyakan mereka berpaling, tidak mau mendengarkan.”

Bukalah Alquran dan dapati ayat‐ayat tersebut diatas renungkan dan resapi Insya Allah kita
akan dapati banyak nasehat, obat, penyejuk jiwa, berita gembira, kemuliaan, pengingat dan
jutaan kebaikan lainnya. Dan mari kita mulai jalin hubungan yang indah dengan Alquran
sebab ia adalah surat dari Tuhan kita untuk kita.
2. Jelaskan Sejarah Perkembangan Ulumul Qur’an

Sejarah perkembangan ‘ulumul quran terbagi menjadi beberapa fase, dimana tiap-tiap fase
menjadi dasar bagi perkembangan menuju fase selanjutnya, hingga ‘ulumul quran menjadi
sebuah ilmu khusus yang dipelajari dan dibahas secara khusus pula. Berikut beberapa fase /
tahapan perkembangan ‘ulumul quran.

‘Ulumul Qur’an pada Masa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam

Embrio awal ‘ulumul quran pada fase ini adalah berupa penafsiran ayat Al-Quran langsung dari
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada para sahabat, atau berupa riwayat mengenai
pertanyaan para sahabat tentang makna suatu ayat Qur’an, menghafalkan dan mempelajari
hukum-hukumnya.

Contoh riwayat saat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menafsirkan ayat Qur’an kepada
sahabat,

Dari ‘Uqbah bin ‘Amir Al Juhani berkata,

ُ‫علَىُا ْل ِم ْنبَ ِرُيَقول‬


َ ُ‫ُوه َو‬ َ ‫سله َم‬ َ ‫علَ ْي ِه‬
َ ‫ُو‬ ‫صله ه‬
َ ُ‫ىَُّللا‬ َ ُ‫ََُّللا‬
ِ ‫ُرسول ه‬ َ { ٍُ‫ُم ْنُق هوة‬
َ ُ‫س ِم ْعت‬ ِ ‫ط ْعت ْم‬ ْ ‫}وأ َ ِعدُّواُلَه ْمُ َماُا‬
َ َ ‫ست‬ َ َُ‫أ َ ََلُإِنه ُا ْلق هوة‬
‫ُالر ْميُأ َ ََلُ ِإنه ُا ْلق هوةَ ه‬
ُ‫ُالر ْمي‬ ‫الر ْميُأ َ ََلُ ِإنه ُا ْلق هوةَ ه‬
‫ه‬
“Saya mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berada di atas mimbar berkata:
‘Dan persiapkan untuk mereka apa yang kalian mampu berupa kekuatan. Ketahuilah bahwa
kekuatan itu adalah memanah, ketahuilah bahwa kekuatan itu adalah memanah, ketahuilah
bahwa kekuatan itu adalah memanah!’” (HR. Abu Daud No. 2153)

Diantara riwayat yang menyebutkan antusiasme sahabat dalam menghafal dan mempelajari Al-
Quran adalah riwayat berikut,

ُ‫بُالنهُِب ِى‬ ِ ‫ص َحا‬ ْ َ ‫اُم ْنُأ‬


ِ َ‫ُِالرحْ َم ِنُقَالَُ َح هدثَنَاُ َم ْنُكَانَ ُي ْق ِرئن‬ ‫ع ْبد ه‬َ ُ‫ع َْنُأ َ ِبى‬-‫صلىُهللاُعليهُوسلم‬- ُ‫ُم ْن‬ ِ َ‫أَنهه ْمُكَانواُيَ ْقت َ ِرئون‬
ُ ‫َُّللا‬
ِ ‫رسو ِل ه‬-‫صلىُهللاُعليهُوسلم‬-
َ ِ ‫ت ُفَالَ ُيَأْخذونَ ُ ِفىُا ْلعَش ِْر ُاأل ْخ َرىُ َحتهىُيَ ْعلَمواُ َماُ ِفىُ َه ِذه‬
ُ ‫ُِمنَ ُا ْل ِع ْل ِم‬ ٍ ‫عش ََر ُآيَا‬
َ
‫وا ْلعَ َم ُِل‬. َ ‫قَالواُفَعَ ِل ْمنَاُا ْل ِع ْل َم‬.
َ ‫ُوا ْلعَ َم َُل‬
Riwayat dari Abi Abdul Rahman as-Sulamiy (seorang tabi’in), ia berkata, “Telah menceritakan
kepada kami orang yang dulu membacakan kepada kami yaitu sahabat-sahabat Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam bahwa mereka dulu mendapatkan bacaan (Al-Qur’an) dari Rasululullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam sepuluh ayat, mereka tidak mengambil sepuluh ayat yang lainnya
sehingga mereka mengerti apa yang ada di dalamnya yaitu ilmu dan amal. Mereka berkata,
‘Maka kami mengerti ilmu dan amal.’” (Hadits Riwayat Ahmad nomor 24197, dan Ibnu Abi
Syaibah nomor 29929)

Riwayat di atas paling tidak mengandung informasi tentang sejarah Al-Qur’an dan metode
pembelajaran Al-Qur’an.
Hal yang berkaitan dengan ‘ulumul qur’an adalah kebijakan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam yang melarang para sahabat–pada masa tertentu–untuk menulis selain qur’an, sebagai
upaya menjaga kemurnian AlQuran.

Dari Abu Sa’id al- Khudri, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata,

َُ‫علَ هي ُقَالَُ َه هما ٌم ُأَحْ سِبه ُقَال‬ َ ُ‫ب‬ َ َ‫ُو َم ْن ُ َكذ‬


َ ‫يُو ََل ُ َح َر َج‬
َ ‫ع ِن‬ َ ‫آن ُفَ ْليَ ْمحه‬
َ ُ‫ُو َح ِدثوا‬ َ ُ‫عنِي‬
ُِ ‫غ ْي َر ُا ْلق ْر‬ َ َ ‫يُو َم ْن ُ َكت‬
َ ُ‫ب‬ َ ُ‫ََل ُتَكْتبوا‬
َ ِ‫عن‬
ِ ‫متَعَ ِمدًاُفَ ْليَتَبَ هوأُْ َم ْقعَدَه‬
ُِ ‫ُم ْنُالنه‬
‫ار‬

“Janganlah kalian tulis riwayat/yang kamu terima dariku, barangsiapa yang (telah) menulis
riwayat dariku selain al qur’an hendaklah Ia menghapusnya, dan beritakanlah apa yang kamu
terima dariku ini (kepada orang lain) dan tidak ada halangan (tidak dosa bagi kamu). Barang
siapa berdusta atas (nama) ku dengan sengaja, maka dia akan menempati (menyiapkan)
tempatnya di neraka.” (H.R. Muslim No. 5326)

‘Ulumul Qur’an pada Masa Khalifah

Pada masa khalifah, perkembangan ‘ulumul quran ditandai dengan munculnya kebijakan-
kebijakan para khalifah sebagaimana berikut,

1. Khalifah Abu Bakar: menetapkan kebijakan pengumpulan/penulisan Al-Quran untuk


pertama kalinya yang diprakarsai oleh Umar bin Khattab dan ditangani prosesnya oleh
Zaid bin Tsabit.
2. Kekhalifahan Utsman: menetapkan kebijakan menyatukan kaum muslimin pada satu
mushaf, dan hal itupun terlaksana. Mushaf itu disebut mushaf Imam. Salinan-salinan
mushaf ini juga dikirimkan ke beberapa provinsi. Penulisan mushaf tersebut dinamakan
ar-Rosmul ‘Utsmani yaitu dinisbahkan kepada Utsman, dan ini dianggap sebagai
permulaan dari ilmu Rasmil Qur’an.
3. kekalifahan Ali: menetapkan kebijakan berupa perintah kepada Abu ‘aswad Ad-Du’ali
untuk meletakkan kaidah-kaidah nahwu, cara pengucapan yang tepat dan baku dan
memberikan ketentuan harakat pada qur’an. Ini juga disebut sebagai permulaan Ilmu
I’rabil Qur’an.

‘Ulumul Qur’an Pada Masa Sahabat dan Tabi’in

Para sahabat senantiasa melanjutkan usaha mereka dalam menyampaikan makna-makna al-
qur’an dan penafsiran ayat-ayat yang berbeda diantara mereka, sesuai dengan kemampuan
mereka yang berbeda-beda dalam memahami dan karena adanya perbedaan lama tidaknya
mereka hidup bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, hal demikian diteruskan oleh
murid-murid mereka, yaitu para tabi’in.

Diantara para Mufasir yang termasyhur dari para sahabat adalah:

1. Empat orang Khalifah ( Abu Bakar, Umar, Utsman dan Ali )


2. Ibnu Masud,
3. Ibnu Abbas,
4. Ubay bin Kaab,
5. Zaid bin sabit,
6. Abu Musa al-Asy’ari, dan
7. Abdullah bin Zubair.

Banyak riwayat tafsir Qur’an yang diambil dari Abdullah bin Abbas, Abdullah bin Mas’ud dan
Ubay bin Ka’ab, dan apa yang diriwayatkan dari mereka tidak berarti merupakan tafsir Quran
yang sudah sempurna, tetapi hanya terbatas pada makna beberapa ayat dengan penafsiran yang
masih samar dan penjelasan yang masih global.

Dari kalangan para tabi’in, diantara mereka ada satu kelompok terkenal yang mengambil ilmu ini
dari para sahabat disamping mereka sendiri bersungguh-sungguh atau melakukan ijtihad dalam
menafsirkan ayat. Yang terkenal di antara mereka adalah,

1. Murid-murid Ibnu Abbas di Makkah yang terkenal ialah: Sa’id bin Jubair, Mujahid,
‘IKrimah bekas sahaya ( maula ) Ibnu Abbas, Tawus bin Kisan al Yamani dan ‘Atha’ bin
Abu Rabah.
2. Murid-murid Ubay bin Kaab, di Madinah: Zaid bin Aslam, Abul Aliyah, dan Muhammad
bin Ka’b al Qurazi.
3. Murid-murid Abdullah bin Mas’ud di Iraq yang terkenal : ‘Alqamah bin Qais, Masruq al
Aswad bin Yazid, ‘Amir as Sya’bi, Hasan Al Bashri dan Qatadah bin Di’amah as Sadusi.

Dan yang diriwayatkan oleh mereka meliputi: ilmu tafsir, ilmu Gharibil Qur’an, ilmu Asbabun
Nuzul, ilmu Makki Wal madani dan ilmu Nasikh dan Mansukh, tetapi semua ini tetap didasarkan
pada riwayat dengan cara didiktekan.

Masa Tadwin (Pembukuan)

Perkembangan selanjutnya dalam ‘ulumul quran adalah masa pembukuan ‘ulumul Quran yang
juga melewati beberapa fase, sebagai berikut:

Pembukuan Tafsir Al-Quran menurut riwayat dari Hadits, Sahabat dan Tabi’in

Pada abad kedua hijri tiba masa tadwin yang dimulai dengan pembukuan hadits beserta segala
babnya yang bermacam-macam, dan itu juga menyangkut hal yang berhubungan dengan tafsir.
Maka sebagian ulama membukukan tafsir Qur’an yang diriwayatkan dari Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam, dari para sahabat, atau dari para tabi’in. Diantara mereka yang terkenal
adalah: Yazid bin Harun as Sulami (wafat 117 H), Syu’bah bin Hajjaj (wafat 160 H), Waqi’ bin
Jarrah (wafat 197 H), Sufyan bin ‘uyainah (wafat 198 H), dan Aburrazaq bin Hammam (wafat
112 H). Mereka adalah para ahli hadis. Sedang tafsir yang mereka susun merupakan salah satu
bagiannya. Namun tafsir mereka yang tertulis tidak ada yang sampai ke tangan kita.

Pembukuan Tafsir berdasarkan susunan Ayat


Kemudian langkah mereka itu diikuti oleh para ulama’ yang menyusun tafsir Qur’an yang lebih
sempurna berdasarkan susunan ayat. Dan yang terkenal diantara mereka adalah Ibn Jarir at
Tabari (wafat 310 H).

Demikianlah, tafsir pada mulanya dinukil (dipindahkan) melalui penerimaan (dari muluit ke
mulut) dari riwayat, kemudian dibukukan sebagai salah satu bagian hadits, selanjutnya ditulis
secara bebas dan mandiri. Maka berlangsunglah proses kelahiran at Tafsir bil Ma’sur
(berdasarkan riwayat), lalu diikuti oleh at Tafsir bir Ra’yi (berdasarkan penalaran).

Munculnya Pembahasan Cabang-cabang Ulumul Quran selain Tafsir

Disamping ilmu tafsir, lahir pula karangan yang berdiri sendiri mengenai pokok-pokok
pembahasan tertentu yang berhubungan dengan qur’an yang sangat diperlukan oleh seorang
mufasir, diantaranya:

Ulama abad ke-3 Hijri

 Ali bin al Madini (wafat 234 H) guru Al-Bukhari, menyusun karangannya mengenai
asbabun nuzul.
 Abu ‘Ubaid al Qasim bin Salam (wafat 224 H) menulis tentang Nasikh Mansukh dan
Qira’at.
 Ibn Qutaibah (wafat 276 H) menyusun tentang problematika Quran (musykilatul quran).

Ulama Abad Ke-4 Hijri

 Muhammad bin Khalaf bin Marzaban (wafat 309 H) menyusun al- Hawi fi ‘Ulumil
Qur’an.
 Abu muhammad bin Qasim al Anbari (wafat 751 H) juga menulis tentang ilmu-ilmu
qur’an.
 Abu Bakar As Sijistani (wafat 330 H) menyusun Gharibul Qur’an.
 Muhammad bin Ali bin al-Adfawi (wafat 388 H) menyusun al Istigna’ fi ‘Ulumil Qur’an.

Ulama Abad Ke-5 dan setelahnya

 Abu Bakar al Baqilani (wafat 403 H) menyusun I’jazul Qur’an


 Ali bin Ibrahim bin Sa’id al Hufi (wafat 430 H) menulis mengenai I’rabul Qur’an.
 Al Mawardi (wafat 450 H) menegenai tamsil-tamsil dalam Qur’an ( ‘Amtsalul Qur’an).
 Al Izz bin Abdussalam (wafat 660 H) tentang majaz dalam Qur’an.
 ‘Alamuddin Askhawi (wafat 643 H) menulis mengenai ilmu Qira’at (cara membaca
Qur’an) dan Aqsamul Qur’an.

Pembukuan secara khusus ‘Ulumul Quran dengan mengumpulkan cabang-cabangnya.

Pada masa sebelumnya, ilmu-ilmu al-quran dengan berbagai pembahasannya di tulis secara
khusus dan terserak, masing-masing dengan judul kitab tersendiri. Kemudian, mulailah masa
pengumpulan dan penulisan ilmu-ilmu tersebut dalam pembahasan khusus yang lengkap, yang
dikenal kemudian dengan ‘Ulumul Qur’an. Di antara ulama-ulama yang menyusun secara
khusus ‘ulumul quran adalah sebagai berikut :

1. Ali bin Ibrahim Said (330 H) yang dikenal dengan al Hufi dianggap sebagai orang
pertama yang membukukan ‘Ulumul Qur’an, ilmu-ilmu Qur’an.
2. Ibnul Jauzi (wafat 597 H) mengikutinya dengan menulis sebuah kitab berjudul Fununul
Afnan fi ‘Aja’ibi ‘ulumil Qur’an.
3. Badruddin az-Zarkasyi (wafat 794 H) menulis sebuah kitab lengkap dengan judul Al-
Burhan fii ulumilQur’an .
4. Jalaluddin Al-Balqini (wafat 824 H) memberikan beberapa tambahan atas Al-Burhan di
dalam kitabnya Mawaaqi’ul ‘uluum min mawaaqi`innujuum.
5. Jalaluddin As-Suyuti (wafat 911 H) juga kemudian menyusun sebuah kitab yang terkenal
Al-Itqaan fii ‘uluumil qur`an.

Catatan: kitab Al-Burhan ( Zarkasyi) dan Al-Itqon ( As-Suyuti) hingga hari ini masih dikenal
sebagai referensi induk / terlengkap dalam masalah ‘ulumul Qur’an. Tidak ada peneliti tentang
‘ulumul quran, kecuali pasti akan banyak menyandarkan tulisannya pada kedua kitab tersebut.

‘Ulumul Qur’an pada Masa Modern/Kontemporer

Sebagaimana pada periode sebelumnya, perkembangan ‘ulumul quran pada masa kontemporer
ini juga berlanjut seputar penulisan sebuah metode atau cabang ilmu Al-Quran secara khusus dan
terpisah, sebagaimana ada pula yang kembali membagi, menyusun atau menyatukan cabang-
cabang ‘ulumul qur’an dalam kitab tersendiri dengan penulisan yang lebih sederhana dan
sistematis dibading kitab-kitab klasik terdahulu.

Kitab yang terbit membahas khusus tentang cabang-cabang ilmu Quran atau pembahasan khusus
tentang metode penafsiran Al-Quran di antaranya :

1. Kitab I’jaazul Qur’an yang ditulis oleh Musthafa Shadiq Ar-Rafi`i,


2. Kitab At-Tashwirul Fanni fiil Qur’an dan Masyaahidul Qiyaamah fil Qur’an oleh Sayyid
Qutb,
3. Tarjamatul Qur’an oleh Syaikh Muhammad Musthafa Al-Maraghi yang salah satu
pembahasannya ditulis oleh Muhibuddin al-Khatib,
4. Masalatu Tarjamatil Qur`an oleh Musthafa Sabri,
5. An-Naba’ul Adziim oleh DR. Muhammad Abdullah Daraz dan
6. Muqaddimah Tafsir Mahaasilu Ta’wil oleh Jamaluddin Al-Qasimi.

Kitab yang membahas secara umum ulumul quran dengan sistematis, diantaranya:

1. Syaikh Thahir Al-jazaairy menyusun sebuah kitab dengan judul At-Tibyaan fii ‘Uluumil
Qur’an.
2. Syaikh Muhammad Ali Salamah menulis pula Manhajul Furqan fii ‘Uluumil Qur’an
yang berisi pembahasan yang sudah ditentukan untuk Fakultas Ushuluddin di Mesir
dengan spesialisasi dakwah dan bimbingan masyarakat dan diikuti oleh muridnya,
3. Muhammad Abdul ‘Adzim az-Zarqani yang menyusun Manaahilul ‘Irfaan fii ‘Ulumil
Qur`an.
4. Syaikh Ahmad Ali menulis Mudzakkiraat ‘Ulumil Qur`an yang disampaikan kepada
mahasiswanya di Fakultas Ushuluddin Jurusan Dakwah dan Bimbingan Masyarakat.
5. Kitab Mahaabisu fii ‘Ulumil Qur’an oleh DR. Subhi As-Shalih.

Pembahasan tersebut dikenal dengan sebutan ‘Uluumul Qur’an, dan kata ini kini telah menjadi
istilah atau nama khusus bagi ilmu-ilmu tersebut.
3. Sebutkan Dalil-Dalil Yang Menjelaskan Fungsi Al-Qur’an Minimal 4 Ayat Beserta
Penjelasannya!

 Dalil pertama:

Alloh –Ta’ala- berfirman:

( ِ‫ِو أالقَ َم َر‬َ ‫س‬


َ ‫ش أم‬ َ ً ‫طلُبُهُِ َحثيث‬
َّ ‫اِوال‬ ‫ارِيَ أ‬ ‫ضِفيِستَّةِأَي ٍَّامِث ُ َّمِا أست ََوىِ َعلَ أ‬
َ ‫ىِالعَ أرشِيُ أغشيِاللَّ أيلَِالنَّ َه‬ َ ‫ِو أاْل َ أر‬ َّ ‫َِّللاُِالَّذيِ َخلَقَ ِال‬
َ ‫س َم َاوات‬ َّ ‫ِربَّ ُك ُم‬
َ ‫إِ َّن‬
‫أ‬
ِ َ‫ِربُّ ِالعَالَمين‬ َّ َ‫ارك‬
َ ُ‫َِّللا‬ َ ‫أ‬
َ َ‫ِواْل أِم ُرِتَب‬ ‫أ‬ ‫أ‬ َ َ
َ ‫س َّخ َراتٍِبأ أمرهِأ ََلِلَهُِالخَل ُق‬ َ ‫اْلعراف) َوالنُّ ُج‬/ 54.
َ ‫ومِ ُم‬

“Sesungguhnya Tuhan kamu ialah Allah yang telah menciptakan langit dan bumi dalam enam
masa, lalu Dia bersemayam di atas `Arsy. Dia menutupkan malam kepada siang yang
mengikutinya dengan cepat, dan (diciptakan-Nya pula) matahari, bulan dan bintang-bintang
(masing-masing) tunduk kepada perintah-Nya. Ingatlah, menciptakan dan memerintah hanyalah
hak Allah. Maha Suci Allah, Tuhan semesta alam”. (QS. Al A’raf: 54)

Berhujjah dengan ayat ini dari dua sisi:

Pertama:

Bahwa Alloh –Ta’ala- telah membedakan antara menciptakan dan memerintah, keduanya adalah
bagian dari sifat-sifat-Nya, menyandarkan keduanya kepada Dzat-Nya. Adapun penciptaan
adalah perbuatan-Nya, sedangkan perintah-Nya adalah firman-Nya. Hukum asal dari dua kata
yang digabungkan masing-masing mempunyai arti yang berbeda, kecuali jika ada indikasi yang
menyatakan tidak demikian, dalam ayat tersebut ada banyak indikasi yang menguatkan adanya
perbedaan antara keduanya di antaranya adalah sebagaimana yang akan disebutkan kemudian.

Kedua:

Bahwa penciptaan itu tidak terjadi kecuali dengan perintah, sebagaimana firman Alloh –Ta’ala-:

( ِ ُ‫ش أيئًاِأ َ أنِيَقُولَِلَهُِ ُك أنِفَيَ ُكون‬


َ َِ‫يس )إنَّ َماِأ َ أم ُرهُِإذَاِأ َ َراد‬/ 82 .

“Sesungguhnya perintah-Nya apabila Dia menghendaki sesuatu hanyalah berkata kepadanya:


"Jadilah!" maka terjadilah ia”. (QS. Yaasiin: 82)

Firman Alloh: “Kun !” adalah perintah-Nya, jika dianggap sebagai makhluk pasti ciptaan-Nya
tersebut membutuhkan perintah, perintah membutuhkan perintah, dan demikian seterusnya, yang
demikian itu bisa dipastikan kebatilannya.

Imam Ahmad –rahimahullah- telah berhujjah dengan ayat ini atas Jahmiyah dan Mu’tazilah,
beliau berkata:
 Dalil kedua:

Alloh –Ta’ala- berfirman:

‫ َعلَّ َم أ‬. ِ َ‫سان‬


َّ ِ َ‫ِالقُ أرآن‬
( ِ ُ‫الرحأ َمن‬. ‫الرحمن) َخلَقَ أ‬/ 1 – 3 .
َ ‫ِاْل أن‬

“ (Tuhan) Yang Maha Pemurah, Yang telah mengajarkan Al Qur'an. Dia menciptakan manusia”.
(QS. Ar Rahman: 1-3)

Alloh –Ta’ala- telah membedakan antara llmu-Nya dan ciptaan-Nya, Al Qur’an adalah ilmu-Nya
sedangkan manusia adalah ciptaan-Nya. Ilmunya Alloh berbeda dengan makhluk-Nya. Alloh –
Ta’ala- berfirman:

ٍ ‫ِو ََلِنَص‬
( ِ‫ير‬ َّ ِ َ‫ِالع ألمِ َماِلَكَ ِمن‬
َ ‫َّللاِم أن‬
َ ٍ ‫ِولي‬ ‫ىِولَئنِات َّ َبعأتَ ِأ َ أه َوا َء ُه أمِ َب أعدَِالَّذيِ َجا َءكَ ِمنَ أ‬ ‫ىَِّللاِه َُو أ‬
َ َ‫ِال ُهد‬ َّ َ‫البقرة)قُ ألِإ َّنِ ُهد‬/ 120.

“Katakanlah: "Sesungguhnya petunjuk Allah itulah petunjuk (yang benar)". Dan sesungguhnya
jika kamu mengikuti kemauan mereka setelah pengetahuan datang kepadamu, maka Allah tidak
lagi menjadi pelindung dan penolong bagimu”. (QS. Al Baqarah: 120)

Alloh –Ta’ala- telah menamakan Al Qur’an sebagai ilmu, Nabi telah mendapatkannya dari
Tuhannya, Dialah Alloh yang telah mengajarkan kepadanya –shallallahu ‘alaihi wa sallam- dan
ilmu-Nya bukanlah makhluk, jikalau ilmu-Nya makhluk maka Alloh akan bersifat dengan lawan
katanya sebelum menciptakan, Maha Tinggi Alloh dan Maha Suci Alloh dari semua hal itu.

Imam Ahmad –rahimahullah- telah berhujjah dengan hal itu, beliau sampaikan dalam kisah
diskusi beliau dengan Jahmiyyah di majelisnya Al Mu’tashim:

“Abdurrahman Al Qazzaz berkata kepada saya: “Alloh ada sebelum Al Qur’an”. Saya jawab:
“Kalau begitu maka Alloh ada namun tidak mempunyai ilmu..”, dia terdiam. “Kalau dia
mengklaim bahwa Alloh ada namun tidak mempunyai ilmu, maka dia telah berlaku kafir kepada
Alloh”. (Diriwayatkan oleh Hambal dalam Al Mihnah: 45)

Dikatakan juga kepada beliau –rahimahullah-:

“Suatu kaum berkata: “Jika seseorang berkata: “kalamullah bukanlah makhluk”. Mereka berkata:
“Siapa imam anda dalam masalah ini ?, dari mana ucapanmu bahwa Al Qur’an bukan makhluk
?”

Beliau berkata:

“Hujjahnya adalah firman Alloh –Tabaaraka wa Ta’ala- :

( ِ‫)فمنِحاجكِفيهِمنِبعدِماِجاءكِمنِالعلم‬

“Siapa yang membantahmu tentang kisah `Isa sesudah datang ilmu (yang meyakinkan kamu)”.
(QS. Ali Imron: 61)
Dan tidaklah yang datang kepada beliau kecuali Al Qur’an”.

Beliau –rahimahullah- juga berkata:

“Al Qur’an bagian dari ilmu Alloh, maka barang siapa yang mengklaim bahwa ilmu Alloh
adalah makhluk maka dia telah menjadi kafir”. (Diriwayatkan oleh Ibnu Hani’ dalam Al Masa’il:
2/153-154)

 Dalil yang ketiga:

Alloh –Ta’ala- berfirman:

( ِ‫يِولَ أوِجئأنَاِبمثألهِ َمدَدًا‬ ‫ِربيِلَنَفدَ أ‬


َ ُ‫ِالبَحأ ُرِقَ أبلَِأ َ أنِتَ أنفَدَِكَل َمات‬
َ ‫ِرب‬ ‫الكهف)قُ ألِلَ أوِ َكانَ أ‬/ 109.
َ ‫ِالبَحأ ُرِمدَادًاِلكَل َمات‬

“Katakanlah: "Kalau sekiranya lautan menjadi tinta untuk (menulis) kalimat-kalimat Tuhanku,
sungguh habislah lautan itu sebelum habis (ditulis) kalimat-kalimat Tuhanku, meskipun Kami
datangkan tambahan sebanyak itu (pula)”. (QS. Al Kahfi: 109)

Alloh –Ta’ala- berfirman:

ٌ ‫َِّللاَِ َعز‬
( ِ‫يزِ َحكي ٌم‬ َّ ‫َِّللاِإ َّن‬
َّ ُ‫تِكَل َِمات‬ َ ِ‫ِو أالبَحأ ُرِيَ ُمدُّهُِم أنِبَ أعده‬
‫س أبعَةُِأ َ أب ُح ٍرِ َماِنَفدَ أ‬ َ ‫ش َج َرةٍِأ َ أق ََل ٌم‬
َ ِ‫يِاْل َ أرضِم أن‬
‫لقمان) َِولَ أوِأَنَّ َماِف أ‬/ 27.

“Dan seandainya pohon-pohon di bumi menjadi pena dan laut (menjadi tinta), ditambahkan
kepadanya tujuh laut (lagi) sesudah (kering) nya, niscaya tidak akan habis-habisnya (dituliskan)
kalimat Allah. Sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana”. (QS. Luqman: 27)

Alloh –Ta’ala- telah mengabarkan –dan firman-Nya adalah benar- bahwa kalimat-kalimat-Nya
tidak terbatas, kalau saja semua lautan yang telah Dia ciptakan dijadikan tinta untuk menulisnya,
dan semua pohon menjadi penanya, maka akan habis tinta semua lautan tersebut, penanya pun
akan rusak, sedangkan kalimat-kalimat Alloh belum habis. Penjelasan ini maksudnya adalah
tentang keagungan kalam Alloh –Ta’ala- dan kalam tersebut adalah sifat dan ilmu-Nya. Hal ini
tentunya tidak bisa dianalogikan dengan kalamnya makhluk yang akan musnah, jika kalam Alloh
adalah makhluk maka akan habis sebelum habisnya tinta satu lautan dari semua lautan yang ada;
karena Alloh telah menetapkan kerusakan pada semua makhluk tidak pada Dzat dan sifat-Nya.

 Dalil Keempat:

Nama-nama Alloh –Ta’ala- di dalam Al Qur’an seperti: (Alloh, Ar Rahman, Ar Rahim, As


Samii’, Al ‘Aliim, Al Ghafuur, Al Kariim) dan lainnya dari Asma’ul Husna, semua itu adalah
bagian dari kalam-Nya; karena Dia-lah sendiri yang menamakannya dengan nama-nama
tersebut, baik secara lafadz maupun maknanya.

Alloh –Ta’ala- telah menyamakan antara bertasbih pada Dzat-Nya dan bertasbih dengan Nama-
nama-Nya, Alloh –Ta’ala- berfirman:

( ِ‫ِاْل َ أعلَى‬
‫ِربكَ أ‬
َ ‫سبحِاس َأم‬
َ ) ‫اْلعلى‬/ 1،
“Sucikanlah nama Tuhanmu Yang Maha Tinggi”. (QS. Al A’la: 1)

Alloh –Ta’ala- juga telah menyamakan antara berdo’a kepada Dzat-Nya dan berdo’a kepada
Nama-nama-Nya, sebagaimana dalam firman-Nya:

‫ِاْل َ أس َما ُء أ‬
( ِ‫ِال ُح أسنَىِفَادأعُوهُِب َها‬ ‫اْلعراف)و َّّلِل أ‬/180
َ

“Hanya milik Allah asma-ul husna, maka bermohonlah kepada-Nya dengan menyebut asmaa-ul
husna itu”. (QS. Al A’raf: 180)

Demikian juga Alloh –Ta’ala- menyamakan antara berdzikir kepada-Nya dengan berdzikir
kepada Nama-nama-Nya, sebagaimana dalam firman-Nya:

ً ‫ِوأَص‬
( ِ‫يَل‬ َ ‫اْلنسان)واذأ ُكرِاس َأم‬/25
َ ً‫ِربكَ ِبُ أك َرة‬ َ .

“Dan sebutlah nama Tuhanmu pada (waktu) pagi dan petang”. (QS. Al Insan: 25)

Tasbih, do’a dan dzikir tersebut jika dilakukan kepada makhluk, maka berarti kufur kepada
Alloh.

Jika dikatakan: “Sungguh kalam Alloh –Ta’ala- adalah makhluk”.

Maka berarti nama-nama-Nya termasuk di dalamnya, dan barang siapa yang mengklaim
demikian, maka dia telah menjadi kafir sebagaimana yang telah kami sebutkan; karena hal itu
mengandung arti bahwa Alloh –Ta’ala- tidak mempunyai nama-nama tersebut sebelum
menciptakan kalam-Nya. Maka juga berarti orang yang bersumpah dengan salah satu dari nama-
nama-Nya adalah musyrik; karena dia telah bersumpah kepada makhluk, sedangkan makhluk
bukanlah sebagai Al Kholiq (pencipta).

Dengan hujjah inilah sekelompok ulama salaf dan para imam berdalil bahwa Al Qur’an bukanlah
makhluk, di antara mereka adalah:

Imam Hujjah Sufyan bin Sa’id ats Tsauri berkata:

“Barang siapa yang berkata: “ِِ‫ِهللاِالصمد‬،‫ “قلِهوِهللاِأحد‬adalah makhluk, maka dia telah menjadi
kafir”. (Diriwayatkan oleh Abdullah dalam As Sunnah: 13 dengan sanad yang baik)

Imam Syafi’i berkata:

“Barang siapa yang bersumpah dengan salah satu nama dari nama-nama Alloh, lalu dia
melanggarnya maka wajib membayar kaffarat; karena nama Alloh bukanlah makhluk, dan
barang siapa yang bersumpah dengan Ka’bah atau dengan Shofa dan Marwah maka tidak wajib
membayar kaffarat; karena dia adalah makhluk, sedangkan nama-Nya bukanlah makhluk”. (HR.
Ibnu Abi Hatim dalam Adab Syafi’i: 193 dengan sanad yang benar)

Ahmad bin Hambal berkata:


“Nama-nama Alloh yang ada di dalam Al Qur’an, dan Al Qur’an termasuk ilmu Alloh, barang
siapa yang mengklaim bahwa Al Qur’an itu makhluk maka dia menjadi kafir, dan barang siapa
yang mengklaim bahwa nama-nama Alloh adalah makhluk maka dia menjadi kafir”. (HR.
Sholeh dalam Al Mihnah: 52, 66-67)

 Dalil kelima:

Alloh –Ta’ala- telah mengabarkan bahwa Al Qur’an telah diturunkan oleh-Nya dan disandarkan
kepada-Nya, sebagaimana dalam firman-Nya:

‫ِرب أ‬
( ِ َ‫ِالعَالَمين‬ َ ‫أبِفيهِم أن‬ ‫السجدة)ت َ أنزيل أ‬/ 2
َ ‫ُِالكتَاب ََِل‬
َ ‫ِري‬

“Turunnya Al Qur'an yang tidak ada keraguan padanya, (adalah) dari Tuhan semesta alam”. (QS.
As Sajdah: 2)

Dia juga berfirman:

( ِ‫ِربكَ ِب أال َحق‬


َ ‫َابِ َي أعلَ ُمونَ ِأ َ َّنهُِ ُمن ََّزلٌِم أن‬ ‫)والَّذينَ ِآت َ أينَا ُه ُم أ‬
َ ‫ِالكت‬ َ ‫اْلنعام‬/114

“Orang-orang yang telah Kami datangkan kitab kepada mereka, mereka mengetahui bahwa Al
Qur'an itu diturunkan dari Tuhanmu dengan sebenarnya”. (QS. Al An’am: 114)

Dia juga berfirman:

( ِ‫ِربكَ ِب أال َحق‬ ‫ُِرو ُح أ‬


َ ‫ِالقُد ُسِم أن‬ ُ ‫النحل )قُ ألِن ََّزلَه‬/ 102

“Katakanlah: "Ruhul Qudus (Jibril) menurunkan Al Qur'an itu dari Tuhanmu dengan benar”.
(QS. An Nahl: 102)

Dia (Alloh) tidak menyandarkan sesuatu yang diturunkan kepada Dzat-Nya kecuali kalam-Nya,
hal ini menunjukkan adanya kekhususan dari sisi artinya, maka hal itu tidaklah sama dengan
turunnya hujan, besi dan lain sebagainya. Kesemuanya itu Alloh telah mengabarkan bahwa juga
diturunkan, akan tetapi tidak menyandarkan kepada Dzat-Nya secara langsung, berbeda dengan
kalam (firman) Nya, kalam itu adalah sifat, sedangkan sifat itu tidak disandarkan kecuali kepada
yang memilikinya tidak kepada yang lainnya, jika sifat itu adalah makhluk, maka akan berpisah
dengan penciptanya dan tidak sah menjadi sifat-Nya; karena Alloh –Ta’ala- tidak membutuhkan
makhluknya dan tidak memiliki sedikitpun dari sifat makhluk-Nya.
4. Apa Tujuan Dan Fungsi I’jazzul Qur’an

Tujuan dan Fungsi Mukjizat

Mukjizat berfungsi sebagai bukti kebenaran para Nabi dalam menyampaikan firman Allah SWT.
Meskipun dari segi bahasa berarti melemahkan sebagaimana dikemukakan di atas, namun dari
segi agama, ia sama sekali tidak dimaksudkan untuk melemahkan atau membuktikan
ketidakmampuan yang ditantang. Mukjizat ditampilkan oleh Tuhan melalui hamba-hamba
pilihan-Nya untuk membuktikan kebenaran ajar iIlahi yang dibawa oleh masing-masing Nabi.
Jika demikian halnya, maka ini paling tidak mengandung dua konsekuensi.

 Pertama,

bagi yang telah percaya kepada Nabi, maka ia tidak lagi membutuhkan mukjizat. Ia tidak lagi
ditantang untuk melakukan hal yang sama. Mukjizat yang dilihat hanya berfungsi memperkuat
keimanan, serta menambah keyakinannya akan kekuasaan Allah SWT.

 Kedua,

para Nabi sejak Adam hingga Isa diutus untuk suatu kurun tertentu serta masyarakat tertentu.
Tantangan yang mereka kemukakan sebagai mukjizat pasti tidak dapat dilakukan oleh umatnya.
Namun apakah ini berarti peristiwa luar biasa yang terjadi melalui mereka itu tidak dapat
dilakukan oleh selain umat mereka pada generasi sesudah generasi mereka? Jika tujuan mukjizat
hanya untuk meyakinkan umat setiap nabi, maka boleh jadi umat yang lain dapat melakukannya.
Kemungkinan ini lebih terbuka bagi mereka yang berpendapat bahwa mukjizat pada hakikatnya
berada dalam jangkauan hukum-hukum Allah SWT yang berlaku di alam. Namun, ketika hal itu
terjadi, hukum-hukum tersebut belum lagi diketahui oleh masyarakat Nabi yang bersangkutan.
Sumber daya manusia sungguh besar dan tidak dapat dibayangkan kapasitasnya. Potensi kalbu
yang merupakan salah satu sumber daya manusia dapat menghasilkan hal-hal luar biasa yang
boleh jadi tidak diakui oleh yang tidak mengenalnya. Hal ini sama dengan penolakan generasi
terdahulu tentang banyaknya kenyataan masa kini yang lahir dan pengembangan daya pikir. Nah,
sama sekali bukanlah satu hal yang mustahil apabila kesucian jiwa para nabi dapat menghasilkan
melalui bantuan Allah SWT peristiwa luar biasa dipandang dari ukuran hukum-hukum alam
yang diketahui umum. Padahal sesungguhnya ia mempunyai hukum-hukumnya tersendiri dan
yang dapat dilakukan oleh siapa pun selama terpenuhi syarat-syaratnya. Boleh jadi dalam
konteks ini yang menyebabkan terjadinya adalah kesucian jiwa tersebut
5. Apa Saja Macam-Macam Asbabun Nuzul

Asbabun nuzul bisa ditinjau dari berbagai aspek. Jika ditinjau dari aspek bentuknya, sabab al-
nuzul dapat dibagi kepada dua bentuk. pertama berbentuk peristiwa dan yang kedua berbentuk
pertanyaan.

Asbabun nuzul yang berbentuk peristiwa ada tiga macam

1.pertengkaran,

2. kesalahan yang serius, dan

3. cita-cita dan harapan.

Sabab al-nuzul yang berbentuk pertanyaan dapat pula dibagi kepada tiga macam, yaitu

1. pertanyaan tentang masa lalu,

2. masa yang sedang berlansung, dan

3. masa yang akan datang.

Dari segi jumlah sebab dan ayat yang turun, Asbabun nuzul dapat dibagi menjadi :

1. Ta’addud al-sabab wa al-nazil wahid (sebab turunnya lebih dari satu dan inti persoalan yang
terkandung dalam ayat atau sekelompok ayat yang turun satu)

2. Ta’adud al-nazil wa al-sabab wahid (inti persoalan yang terkandung dalam ayat atau
sekelompok ayat yang turun lebih dari satu sedang sebab turunnya satu).

Jika ditemukan dua riwayat atau lebih tentang sebab turun ayat dan masing-masing menyebutkan
suatu sebab yang jelas dan berbeda dari yang disebutkan lawannya, maka riwayat itu perlu
diteliti dan di analisis. Permasalahannya ada empat bentuk :

1. Salah satu dari keduanya riwayat shahih dan yang lain tidak, maka diselesaikan dengan jalan
memperpegangi riwayat yang shahih dan menolak riwayat yang tidak shahih. Misalnya,
perbedaan yang terjadi antara riwayat Bukhari, Muslim, dan lainnya dari satu pihak dan riwayat
Al-Thabrani dan Ibn Abi Syaibah di pihak lain. Bukhari, Muslim, dan lainnya meriwayatkan dari
Jundub. Ia (Jundub) berkata : “Nabi SAW kesakitan sehingga ia tidak bangun satu atau dua
malam. Seorang perempuan datang kepadanya dan berkata: “Hai Muhammad, saya tidak melihat
setanmu kecuali telah meninggalkanmu”, maka Allah menurunkan :

‫ والضحى‬. ‫ سجى اذا واليل‬. ‫قلى وما ربك ودعك ما‬

Al-Thabrani dan Ibn Abi Syaibah meriwayatkan dari Hafs Ibn Maisarah dari ibunya, dari ibunya
(neneknya dari ibu) dan ibunya itu pembantu Rasul SAW: “Sesungguhnya seekor anak anjing
memasuki rumah Nabi SAW. Anak anjing itu masuk ke bawah tempat tidur dan mati, maka
selama empat hari Nabi SAW tidak dituruni wahyu. Maka ia (Nabi) berkata: “Hai Khaulah, apa
yang telah terjadi dirumah Rasulullah? Jibril tidak datang kepadaku”. Saya berkata pada diri saya
sendiri: Sekiranyalah engkau persiapkan rumah ini dan engkau sapu, maka saya jangkaukan
penyapu ke bawah tempat tidur itu, maka saya mengeluarkan anak anjing tersebut. Nabi SAW
pun datang dalam keadaan jenggotnya gemetar. Dan memang jika turun (wahyu) kepadanya ia
menjadi gemetar”. Maka Allah menurunkan ‫ والضحى‬hingga firman-Nya ‫فترضى‬

Dalam hal demikian menurut Al-Zarqani, kita mendahulukan riwayat yang pertama dalam
menerangkan sebab turunnya ayat tersebut, karena keshahihan riwayatnya dan tidak riwayat
yang kedua. Sebab dalam sanad riwayat yang kedua terdapat periwayat yang tidak dikenal.

2. Bila kedua riwayat itu shahih, namun salah satunya mempunyai penguat (murajjih) dan yang
lain tidak, maka penyelesaiannya adalah mengambil riwayat yang mempunyai penguat.
Misalnya, hadits yang diriwayatkan Al-Bukhari dari Ibn Mas’ud. Ia berkata: “Saya berjalan
bersama Nabi SAW di Madinah dan ia (Nabi) bertongkat pelepah korma. Ia melewati
sekelompok orang Yahudi. Mereka berkata kepada sebagian mereka: “Coba kamu tanya dia”,
maka mereka berkata: “Ceritakan kepada kami tentang ruh”, Nabi terhenti sejenak dan kemudian
ia mengangkat kepalanya. Saya pun mengerti bahwa ia dituruni wahyu hingga wahyu itu naik.
Kemudian ia berkata:

‫قليَل اَل العلم من اوتيتم وما ربى امر من الروح قل‬

Dalam hubungan ayat yang sama, Al-Tirmizi meriwayatkan hadits yang dishahihkan dari Ibn
Abbas. Ia berkata: “Orang-orang Quraisy berkata kepada orang-orang Yahudi, “ Berikan kepada
kami sesuatu yang akan kami pertanyakan kepada orang ini (Nabi)”. Mereka berkata: “Kamu
tanyakanlah kepadanya tentang ruh”; merekapun menanyakannya, maka Allah menurunkan:

‫الروح عن ويسالونك‬

Menurut Al-Suyuthi dan Al-Zarqani, riwayat yang kedua ini menunjukkan bahwa ayat tersebut
turun di Mekkah dan sebab turunnya adalah pertanyaan kaum Quraisy. Sedangkan riwayat
pertama jelas menunjukkan turunnya di Madinah karena sebab turunnya adalah pertanyaan orang
Yahudi. Riwayat yang pertama ini lebih kuat dari yang kedua. Yang pertama adalah riwayat Al-
Bukhari dan yang kedua ditinggalkan.

3. Keshahihan dua riwayat itu sama dan tidak ditemukan penguat (murajjih) bagi salah satu
keduanya. Akan tetapi keduanya dapat dikompromikan. Kedua sebab itu benar terjadi dan ayat
turun mengiringi peristiwa tersebut benar, karena masa keduanya berhampiran. Maka
penyelesaiannya adalah dengan menganggap terjadinya beberapa sebab bagi turunnya ayat
tersebut. Ibn Hajar berkata: “ Tidak ada halangan bagi terjadinya ta’addud al-sabab (sebab
ganda)
Misalnya, hadits yang diriwayatkan oleh Al-Bukhari dari jalan Ikrimah dari Ibn Abbas, bahwa
Hilal Ibn Umayyah menuduh istrinya berbuat mesum, disisi Nabi dengan Syarik Ibn Samha.
Nabi berkata: “Buktikan atau hukuman atas pundakmu”. Ia berkata : “Hai Rasulullah jika
seseorang dari kami mendapati seorang laki-laki bersama isterinya dia harus pergi mencari
bukti?”, maka Jibril pun turun dan menurunkan kepada Nabi :

‫انفسهم اَل شهداء لهم يكن ولم ازواجهم يرمون والذين‬, ‫قوله الى‬.... ‫ النور( الصادقين من كان ان‬: 6)

Sementara itu, Al-bukhari dan Muslim meriwayatkan dari Sahl Ibn Sa’d, bahwa Uwaimir datang
kepada Ashim Ibn Adiy yang adalah pemimpin bani ‘Ajlan seraya berkata: Bagaimana
pendapatmu tentang seseorang yang menemukan istrinya bersama laki-laki lain. Apakah ia
bunuh laki-laki itu, maka ia pun membunuhnya, atau bagaimanakah ia bertindak? Tanyakanlah
untuk saya hal yang demikian kepada Rasul SAW. Ashim pergi menanyakan kepada Rasul,
tetapi Rasul tidak memberikan jawaban sehingga Uwaimir pergi menanyakannya lansung kepada
Rasul. Rasul berkata: “ Allah telah menurunkan Al-Qur’an tentang engkau dan temanmu
(istrimu). Rasul memerintahkan keduanya melakukan mula’anah sehingga Uwaimir melakukan
li’an terhadap istrinya.

Kedua riwayat ini shahih dan tidak ada penguat (murajjih) bagi salah satu keduanya atas lainnya.
Dalam pada itu, tidak terdapat kesulitan untuk menjadikan kedua-duanya sebagai sebab turun
ayat tersebut karena waktu peristiwa berhampiran.

4. Keadaan dua riwayat itu shahih, tidak ada penguat (murajjih) bagi salah satu keduanya atas
yang lainnya, dan tidak pula mungkin menjadikan keduanya sekaligus sebagai asbab al-nuzul
karena waktu peristiwanya jauh berbeda. Penyelesaian masalah ini adalah dengan menganggap
berulang-ulangnya ayat itu turun sebanyak asbab al-nuzulnya.

Misalnya hadits yang diriwayatkan Al-Baihaqi dan Al-Bazzar dari Abu Hurairah bahwa Nabi
SAW. Berdiri dekat Hamzah ketika gugur menjadi syahid dan tubuhnya dicincang. Nabi berkata:
“ sungguh saya akan cincang tujuh puluh orang dari mereka sebagai penggantimu”. Jibril pun
turun dengan membawa tiga ayat dari akhir surah al-Nahl:

‫به ماعوقبتم بمثل قبوا فعا قبتم عا وان‬

Sementara itu, Al-Tirmizi dan Al-Hakim meriwayatkan dari Ubaiy Ibn Ka’ab. Ia berkata :
“Takkala pada perang Uhud jatuh korban dari kaum Anshar 64 orang dan dari kaum Muhajirin 6
orang termasuk Hamzah, mereka teraniaya, maka kaum Anshar berkata: “Jika kita dapat
mengalahkan mereka pada suatu hari seperti ini, kita akan melebihkan (jumlah korban) mereka
nanti”. Pada ketika penaklukan Mekkah, Allah menurunkan ayat :

‫قبتم عا وان‬
Riwayat pertama menunjukkan bahwa ayat tersebut turun pada perang Uhud dan riwayat kedua
menunjukkan turunnya pada penaklukan Mekkah. Sedangkan jarak waktu antara dua peristiwa
tersebut beberapa tahun. Karena itu sulit diterima akal bahwa ayat itu turun satu kali mengiringi
dua peristiwa itu sekaligus. Berdasarkan hal yang demikian, tidak ada jalan keluar selain dengan
mengatakan turunnya berulang-ulang, sekali pada perang Uhud, dan sekali pada penaklukan
Mekkah.

Inilah empat bentuk permasalahan dan pemecahannya ketika terjadi ta’addud al-sabab wa al-
nazil wahid, yaitu riwayat tentang sebab turun ayat lebih dari satu riwayat sedang ayat yang
turun satu atau beberapa ayat yang turun serempak. Adapun jika sebaliknya, yaitu ta’addud al-
nazil wa al-sabab wahid (ayat yang turun berbeda dan sababnya tunggal atau sama), maka hal
yang demikian tidak menjadi masalah. Hal demikian tidak bertentangan dengan hikmah untuk
meyakinkan manusia dan menjelaskan kebenaran. Bahkan, cara yang demikian bisa lebih efektif.

Anda mungkin juga menyukai