Anda di halaman 1dari 10

BAB I

PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Ushul nahwu dalam kajian bahasa Arab mempunyai kesamaan dengan
ushul fiqih dalam dalam kajian ilmu fiqh. Di dalam ilmu ushul nahwu
terdapat adillah al-nahwu sedangkan dalam ilmu ushul fiqh al fiqh dikenal
adillah al ahkam yang kedua-duanya sama-sama digunakan untuk
menetapkan hukum.
Ushul nahwu memiliki sumber hukum Al-Qur’an, Sunnah, Ijma’, Qiyas
dan Istishhabul Hal sebagaimana yang telah disepakati oleh ulama Bashrah
dan Kufah. Senada dengan yang ditegaskan oleh Muhbib Abdul Wahab,
bahwa nahwu secara epistomologis merupakan sebuah ilmu yang telah
memenuhi kriteria sebagai sistem pengetahuan yang ilmiah karena didasari
oleh prinsip-prinsip dan dalil-dalil epistomologis (teori ilmu pengetahuan)
seperti as-simaa', al-qiyas, al- ijma' dan istishhab al-haal.
Dalam makalah ini pemakalah akan mengemukakan tentang qiyas,
sebagai salah satu sumber hukum dalam penetapan qaidah nahwu. Tidak
terlepas juga dari beberapa perbedaan pendapat aliran nahwu mengenai
kehujjahan qiyas, dan hal-hal yang menjadi perbedaan di antara kedua aliran
tersebut, yaitu aliran Bashrah dan Kufah.
B. Rumusan Masalah
Adapun yang dibahas dalam makalah ini adalah :
1. Apa yang dimaksud dengan qiyas dalam ilmu ushul al-nahwi?
2. Apa saja rukun-rukun qiyas dalam ilmu ushul al-nahwi?
3. Apa saja pembagian qiyas dalam ilmu ushul al-nahwi?
4. Bagaimana pendapat aliran-aliran nahwu mengenai qiyas?

1
C. Tujuan
Dan adapun tujuan dari pembahasan ini adalah :
1. Untuk mengetahui pengertian qiyas dalam ilmu ushul al-nahwi.
2. Untuk mengetahui rukun-rukun qiyas dalam ilmu ushul al-nahwi
3. Untuk mengetahui pembagian qiyas dalam ilmu ushul al-nahwi
4. Untuk mengetahui pendapat aliran-aliran nahwu mengenai qiyas.

2
BAB II
PEMBAHASAN

A. PENGERTIAN QIYAS
Secara etimologi qiyas adalah ukuran, persamaan atau persesuaian dan
mengira-ngirakan. Sedangkan secara terminologi istilah qiyas diartikan
membawa furu’ (cabang) kepada ashal (pokok) dengan suatu alasan sehingga
hukum yang berlaku pada ashal juga diberlakukan pada furu’. Pendapat lain
mengatakan bahwa qiyas adalah menghubungkan furu’ dengan ashal secara
keseluruhan, atau mengibaratkan sesuatu dengan sesuatu secara keseluruhan.1
Sedangkan menurut Ibn al-Anbary qiyas adalah mempersamakan
sesuatu yang tidak ada dalilnya kepada sesuatu yang ada dalilnya apabila
memiliki kesamaan makna. Dan yang dimaksud dengan sesuatu yang tidak
ada dalilnya adalah kata-kata baru yang menyerupai kata-kata Arab, dan
sesuatu yang ada dalilnya adalah kata-kata Arab fushah.2
Ibn al-Anbary juga mengatakan, bahwa tidaklah benar apabila ada
seseorang yang mengingkari adanya metode qiyas di dalam ilmu nahwu,
karena nahwu itu semuanya adalah qiyas. Dan ilmu nahwu adalah ilmu yang
dikira-kirakan serta ditetapkan dari perkataan orang Arab. Maka siapa yang
mengingkari qiyas berarti mengingkari ilmu nahwu.3

B. RUKUN-RUKUN QIYAS

143 .‫ ص‬،)1996 ،‫ املكتبة األكادمييه‬:‫ (قاهرة‬،‫ في أدلة النحو‬،‫عفاف حسانني‬1


19 ‫ ص‬،)1995 ،‫ دار الفكر العريب‬:‫ (القاهرة‬،‫ القياس في اللغة العربية‬،‫ حممد حسن عبد العزيز‬2
:‫اهرة‬44‫ (الق‬،‫ كتاب االقتراح في علم اصول النحو‬،‫يوطي‬44‫ر الس‬44‫رمحن بن أيب بك‬44‫د ال‬44‫دين عب‬44‫ جالل ال‬3
45 ‫ ص‬،)1310 ،‫اجلمهورية النبوية على صاحبها انصلواة والتحية‬

3
1. Ashl (‫)األصل‬
Al ashl dinamakan juga dengan maqis ‘alaih atau mahmul ‘alaih,
yaitu suatu keadaan yang telah ditetapkan hukumnya melalui nash dan
ijma’. Maqis ‘alaih adalah segala sesuatu yang di dengar dari orang Arab,
sebagaimana yang telah diterangkan di dalam bab terdahulu tentang sima’,
kemudian dijadikan dasar dalam penetapan ilmu nahwu dan qaidah tata
bahasa. Selanjutnya yang disebut maqis ‘alaih adalah hukum-hukum dan
kaidah tata bahasa yang telah ditetapkan melalui musyawarah, dan
dijadikan sebagai ketetapan dasar dalam mengqiyaskan sesuatu yang
belum ada dalilnya.
2. Furu’ (‫)الفرع‬
Furu’ dinamakan juga dengan maqis atau mahmul, yaitu sesagala
sesuatu yang ingin diketahui hukumnya. Maqis adalah suatu perkiraan
mengenai kebenaran teks-teks bahasa yang menjadi masalah dari
kebiasaan mengikuti perkataan orang Arab yang bertujuan untuk
membersihkan bahasa Arab itu sendiri, karena tidak mungkin bahasa itu
didengar dari satu orang saja. Bahasa Arab itu tidak terbatas, sehingga
ditetapkanlah batasan mengenai apa saja yang masuk ke dalam tata bahasa
Arab melalui periwayatan.
3. Illat (‫)العلة‬
Illat adalah alasan diberlakukannya qiyas, maksudnya adanya
keadaan yang sama antara ashl dan furu’. Tidaklah sempurna qiyas
kecuali karena adanya illat. Antara ashl dan furu’ mesti ada illat yang
menjadi penghubungnya, dan illat itulah yang menjadi dasar berlakunya
hukum pada ashl terhadap furu’. Bagaimanapun illat terkait erat dengan
hukum nahwu.

4. Hukum (‫)الحكم‬

4
Hukum qiyas di dalam nahwu maksudnya adalah kata-kata yang
telah memiliki kaidah tata bahasa, dan hukum itu pula yang ditetapkan
bagi furu’ (kata-kata yang belum memiliki kaidah) apabila memiliki
kesamaan illah. Pada hakekatnya, hukum ashl yaitu rafa’ adalah milik
fa’il, namun kemudian diberlakukan pada kalimat yang tidak disebutkan
fa’ilnya (naib fa’il), karena adanya alasan yang mempersatukan keduanya
yaitu sama-sama disandarkan pada fi’il.4
C. Pembagian Qiyas
Menurut Al Anbari, qiyas terbagi tiga, yaitu :
1. Qiyas ‘Illah
Qiyas ‘illah yaitu mengqiyaskan furu’ kepada ashl, karena ada
illah yang sama dalam hukum ashl. Contohnya: mengqiyaskan naib fa’il
kepada fa’il karena adanya alasan disandarkan.
2. Qiyas Syibh
Qiyas syibh yaitu mengqiyaskan furu’ kepada ashl, karena adanya
persamaan yang dimiliki keduanya, namun di luar ‘illah yang terdapat di
dalam hukum ashl. Sebagai contoh: memberlakukan i’rab yang terdapat
pada fi’il mudhari’ (fi’il yang menunjukkan waktu sekarang) yang bersifat
khusus setelah sebelumnya bersifat umum sam dengan i’rab pada isimnya
yang bersifat khusus setelah sebelumnya bersifat umum. Maka i’rab fi’il
seperti i’rab isim.
3. Qiyas Thard
Qiyas thard yaitu qiyas yang di dalamnya terdapat persamaan
hukum, namun tidak ada kecocokan dalam ‘illah, dan qiyas ini masih
dalam perselisihan para ulama nahwu, sebagian ulama berpendapat bahwa
qiyas ini tidak bisa dijadikan hujjah.5

‫ اهليئة املصرية‬:‫ (مصر‬،‫ دراسة ايبيستيمولوجية للفكر اللغوى عند العرب‬:‫ األصول‬.‫ متام حسان‬4
180 .‫ ص‬،)1979 ،‫العامة للكتاب‬

:‫ (السورية‬،‫ اإلغراب في جدل اإلعراب‬،‫أيب الربكات عبد الرمحن كمال الدين بن حممد االنباري‬5
110 - 105 .‫ ص‬،)1958 ،‫مطبعة اجلامعة السورية‬

5
Pendapat lain menurut Ahmad Thoha menyebutkan, bahwa Qiyas
terbagi empat :
1. Mengqiyaskan furu’ ke dalam ashl
Qiyas ini dinamakan juga dengan qiyas musawi, seperti
mengqiyaskan jama’ kepada mufradnya, atau mengqiyaskan i’lal kepada

ِ
shahihnya. Contoh: ٌ‫ودمَي‬ ‫قِيَ ٌم‬ dan ٌ‫وثِورة‬ ِ
َ َ ٌ‫ز َو َجة‬.
2. Mengqiyaskan sesuatu kepada hal yang sepadan
Qiyas ini dinamakan juga dengan qiyas musawi. Seperti

penambahan kata ‫إن‬ sesudah ‫ما‬ mashdariyyah, zharfiyyah dan

maushuliyyah diqiyaskan kepada ‫ ما‬nafiyyah. Dan meletakkan‫الم‬ ibtida’

kepada ‫ما‬ nafiyyah diqiyaskan kepada ‫ما‬ maushuliyyah. Contoh lain

penguatan fi’il sesudah ‫ ال‬nafiyyah diqiyaskan kepada ‫ ال‬nahiyyah.

Kemudian bina ‫ حذام‬diqiyaskan kepada ‫دراك‬, dan lain sebagainya.

3. Mengqiyaskan ashl ke dalam furu’


Qiyas ini dinamakan juga dengan qiyas al ula, seperti mengilal
mashdar karena ilal yang terdapat di dalam fi’ilnya, dan menshahihkan

mashdar karena shahih yang terdapat di dalam fi’ilnya. Contoh: ‫ت‬


ُ ‫قَاو ْم‬
َ
‫ قِ َو ًاما‬menjadi ‫ت قِيَ ًاما‬
ُ ‫قُ ْم‬.

4. Mengqiyaskan sesuatu yang berlawanan kepada lawannya

6
Mengqiyaskan sesuatu yang berlawanan pada lawannya,

dinamakan juga dengan qiyas adwan. Seperti mengqiyaskan ‫ لَ ْن‬kepada ‫مَل‬


keduanya saling berlawanan (menunjukkan masa sekarang dan yang telah

berlalu)‫الرجل‬ ْ ‫ض ِر‬
‫ب‬ ْ َ‫مَلْ ي‬ diqiyaskan kepada jar, ‫الرجل‬ ‫ واضرب‬diqiyaskan

ِ
kepada ‫يضرب‬ ‫مل‬dalam keadaan jar. 6

D. Kontoversi Aliran Nahwu (Kufah dan Bashrah) tentang Qiyas

1. Isim yang enam (‫ذو‬ ،‫ هن‬،‫ فم‬،‫ حم‬،‫ أخ‬،‫)أب‬


Menurut ulama Kufah, isim yang enam itu dii’rabkan dengan dua
keadaan, yaitu berubahnya harkat isim yang enam dalam keadaan rafa’
(dengan dhammah dan waw), dalam keadaan nasab (dengan fathah dan
alif) dan dalam keadaan jar (dengan kasrah dan ya’). Contoh yang mereka

kemukakan adalah (‫أبيك‬ - ‫)أبوك – أباك‬


Sedangkan menurut ulama Bashrah isim yang enam dii’rabkan
pada satu keadaan saja, yaitu dii’rabkan dengan waw ketika rafa’, dengan
alif ketika nashab dan dengan ya ketika jar.
2. Mubtada’ dan Khabar
Menurut ulama Kufah, mubtada dan khabar itu dirafa’kan.
Sedangkan menurut ulama Bashrah bahwa mubtada itu dirafa’kan karena
ibtida’nya (posisinya di awal kalimat). Dan untuk khabar mereka
berselisih pendapat mengenai apa yang merafa’kannya. Sebagian ulama
Bashrah berpendapat bahwa khabar itu dirafa’kan karena ibtida’nya
(letaknya di awal kalimat), sebagian lagi berpendapat bahwa khabar itu
dirafa’kan karena ibtida’ dan mubtada’nya, dan pendapat lain mengatakan

.‫) ص‬2005 ،‫ جامعة األزهر‬:‫ (الطبعة األوىل‬،‫ المختصر في أصول النحو‬،‫أمحد طه حسانني سلطان‬6
79-77

7
bahwa khabar itu dirafa’kan karena mubtada’ dan mubtada’ dirafa’kan
karena ibtida’nya.
3. Dhamir pada isim fa’il
Menurut ulama Kufah, bahwa dhamir pada isim fa’il apabila di

jarkan kepada selainnya contoh ‫اربته هي‬44 4 ‫د ض‬44 4 ‫هن‬, maka tidak harus

dijelaskan. Sedangkan menurut ulama Bashrah wajib dijelaskan.


4. Mendahulukan khabar dari mubtada’
Menurut ulama Kufah, tidak boleh mendahulukan khabar
mubtada’ dari mubtada baik mufrad atau jumlah, maksudnya tidak boleh

jika mendahulukan dhamir dari pada isim zhahir. Contoh: ‫ائم‬44‫ ق‬,‫ائم زيد‬44‫ق‬

adalah dhamir dari ‫زيد‬. Dan pada contoh ‫ اله اء‬,‫ائم زيد‬44 ‫وه ق‬44 ‫ أب‬pada ‫وه‬44 ‫أب‬

adalah dhamir dari ‫زيد‬. Sedangkan menurut ulama Bashrah, boleh

mendahulukan khabar mubtada’ dari mubtada baik mufrad atau jumlah.


5. Isim munada (isim yang terletak setalah huruf nida’)
Menurut ulama Kufah, bahwa isim munada mufrad ‘alam atau
mufrad ma’rifah yang tidak berupa jumlah atau syibhul jumlah maka dia

mu’rab marfu’ dengan tidak bertanwin. Contoh: ‫زيد‬ ‫يا‬


Sedangkan menurut ulama Bashrah, bahwa isim munada mufrad
‘alam maka dia mabni dhammah dalam posisi nashab, karena dia maf’ul.
6. Huruf nida’
Menurut ulama Kufah, bahwa boleh setelah huruf nida’ memakai

alif dan lam. Contoh: ‫ ياالرجل‬dan ‫االغالم‬44‫ ي‬, dengan alasan dalam berdo’a

boleh mengatakan‫اغفرلنا‬ ‫يا اهلل‬.

8
Sedangkan menurut ulama Bashrah, hal ini tidak boleh, karena alif
lam memfaedahkan bagi ma’rifah, dan ya’ juga memfaedahkan bagi
ma’rifah, maka tidak boleh mengumpulkan dua ma’rifah dalam satu

kalimat. Contoh: ‫زيد‬ ‫يا‬


7. Mudhaf dan mudhaf ilaih
Menurut ulama Kufah, boleh memisahkan mudhaf dan mudhaf ilaih
dengan selain zharaf atau huruf jar karena darurah syair. Sedangkan
menurut ulama Bashrah, tidak boleh memisahkan mudhaf dan mudhaf
ilaih dengan selain zharaf atau huruf jar, karena mudhaf dan mudhaf ilaih
itu kedudukannya sama dan tidak bisa dipisahkan antara keduanya.

8. Pemakaian huruf ‫من‬

Menurut ulama Kufah, boleh memakai huruf ‫( من‬artinya sejak) pada isim
zaman dan isim makan. Sedangkan menurut ulama Bashrah, memakai

huruf ‫ من‬hanya pada isim zaman. Contoh: ‫وم اجلمعة‬44‫ه من ي‬44‫ا رأيت‬44‫ م‬dan ‫ا‬44‫م‬

‫سرت من بغداد‬7

194 - 181 .‫ ص‬،)1996 ،‫ املكتبة األكادمييه‬:‫ (قاهرة‬،‫ في أدلة النحو‬،‫ عفاف حسانني‬7

9
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
1. Qiyas mengira-ngirakan sesuatu atas sesuatu dengan jalan
mempersamakan sesuatu yang tidak ada dalilnya kepada sesuatu yang ada
dalilnya apabila di antara keduanya memiliki kesamaan makna, atau
menganalogikan suatu hal (kaidah bahasa) yang belum ada keputusan
kaidahnya kepada bahasa yang telah ada ketetapan kaidahnya.
2. Qiyas memiliki empat rukun, yaitu ashl (maqis ‘alaih atau mahmul
‘alaih), furu’ (maqis atau mahmul), illah dan hukum.
3. Ibnu Anbari membagi qiyas menjadi tiga macam, yaitu: qiyas illah, qiyas
syibh, dan qiyas thard. Sedangkan Ahmad Thoha membagi qiyas menjadi
empat macam, yaitu: menqiyaskan furu’ kepada ashl, menqiyaskan
sesuatu kepada hal yang sepadan, menqiyaskan ashl kepada furu’ dan
menqiyaskan sesuatu yang berlawanan.
4. Qiyas muncul dan digunakan dalam merumuskan kaidah kebahasaan
seiring dengan dimulainya perumusan dasar-dasar ilmu nahwu. Dalam
berbagai literature yang membicarakan teori dan gramatikal bahasa arab,
hampir seluruhnya menyebutkan bahwa prinsip Al-Qiyas telah mulai
digunakan tokoh yang dianggap sebagai bapak Ilmu Nahwu, Abu al-
Aswad al-Du’ali, kemudian diperluas pemaknaan, pengertian dana
penggunaannya oleh para ahli nahwu generasi selanjutnya.
B. Saran
Penulis berharap dengan adanya makalah ini, pembaca dapat mengerti
dan memahami tentang Qiyas. Penulis juga senantiasa meminta kritik dan
saran yang membangun untuk kesempurnaan makalah ini kedepannya.

10

Anda mungkin juga menyukai