Anda di halaman 1dari 25

PUTUSNYA PERKAWINAN

A. PENDAHULUAN
Sudah menjadi kodrat alam, bahwa dua orang manusia dengan jenis
kelamin yang berlainan, seorang perempuan dan seoarng laki-laki, ada daya
saling menarik satu sama lain untuk hidup bersama. Untuk meligimitasi hidup
bersama itu dibuat peraturan yang mengatur perihal perkawinan. Dalam pasal
1 Bab 1 Undang-undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974  dinyatakan
”Perkawinan ialah lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita
sebagai suami istri dengan  tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang
bahagia dan kekal berdasarkan ketuhanan yang Maha Esa”. Dalam pasal 2
KHI, perkawinan menurut Hukum Islam  adalah pernikahan, yaitu  akad yang
sangat kuat untuk menaati perintah Allah dan melaksanakan-Nya merupakan
ibadah.
Dengan demikian jelaslah bahwa dasar sebuah keluarga dalam Islam
adalah ikatan darah dan perkawinan.Perkawinan merupakan kebutuhan fitri
setiap manusia yang memberikan banyak hasil yang penting diantaranya
untuk membentuk sebuah keluarga.Namun demikian dalam kenyataannya
terkadang perkawinan tidak mampu dipertahankan dan berakhir perceraian
dalam hal ini suami menjatuhkan talaq. Maka dengan ini, kami akan mencoba
menguraikan makalah tentang putusnya perkawinan.

B. Pengertian Putusnya Perkawinan


“Putusnya perkawinan” adalah istilah hukum yang digunakan dalam
UU Perkawinan untuk menjelaskan “perceraian” atau berakhirnya hubungan
perkawinan antara seorang laki-laki dengan perempuan yang selama ini hidup
sebagai suami istri. Penggunaan istilah “putusnya perkawinan” ini harus
dilakukan secara hati-hati karena untuk pengertian perkawinan yang putus itu

1
dalam istilah fiqh digunakan kata “ba-‘in”, yaitu satu bentuk perceraian yang
suami tidak boleh kembali lagi kepada mantan istrinya kecuali dengan melalui
akad nikah yang baru.1
Pada dasarnya perkawinan itu dilakukan untuk waktu selamanya
sampai matinya salah seorang suami-istri.Inilah sebenarnya yang dikehendaki
Islam. Namun dalam keadaan tertentu terdapat hal-hal yang menghendaki
putus perkawinan itu dalam arti bila hubungan perkawinan tetap dilanjutkan,
maka kemudaratan akan terjadi. Dalam hal ini Islam membenarkan putusnya
perkawinan sebagai langkah terakhir dari usaha melanjutkan rumah
tangga.Putusnya perkawinan dengan begitu adalah suatu jalan keluar yang
baik.
Putusnya perkawinan dalam hal ini berarti berakhirnya hubungan
suami-istri.Putusnya perkawinan itu ada dalam beberapa bentuk tergantung
dari segi siapa sebenarnya yang berkehendak untuk putusnya perkawinan itu.2
Putusnya perkawinan yang dalam kitab fiqh disebut thalaq diatur
secara cermat dalam UU Perkawinan, PP No. 9 Tahun 1975 sebagai aturan
pelaksanaan dari UU Perkawinan dan juga secara panjang lebar diatur dalam
KHI. Pasal 38 UU Perkawinan menjelaskan bentuk putusnya perkawinan
dengan rumusan:
Perkawinan dapat putus karena:
a) Kematian
b) Perceraian, dan
c) Atas keputusan pengadilan
Pasal ini ditegaskan lagi dengan bunyi yang sama dalam KHI Pasal
113 dan kemudian diuraikan dalam Pasal 114 dengan rumusan:

1
Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia, (Jakarta: Kencana Prenada
Media Group, 2009), hal 189
2
Amir Syarifuddin, Garis-Garis Besar Fiqh, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2010),
hal 124

2
Putusnya perkawinan yang disebabkan karena perceraian dapat
terjadi karena talak atau berdasarkan gugatan perceraian.

C. Sebab-Sebab Putusnya Perkawinan


Suatu perkawinan dapat putus dan berakhir karena beberapa hal, yaitu
karena terjadinya talak yang dijatuhkan oleh suami terhadap istrinya, atau
karena perceraian yang terjadi antara keduanya, atau karena sebab-sebab lain.
Hal-hal yang menyebabkan putusnya perkawinan itu akan dijelaskan sebagai
berikut:
1. Thalaq
Akar dari kata thalaq adalah al-ithlaq, artinya melepaskan atau
meninggalkan. Anda berkata,aku telah melepaskan atau membebeaskan
tawanan, jika memang anda melepaskan dan membebaskannya. Dalm
syariat islam, talak artinya melepaskan ikatan pernikahan atau
mengakhirinya.
Hukum Talak, Sesenguhnya keharmonisan dalam rumah tangga
merupakan salah satu tujuan yang diinginkan oleh islam. akad nikh
diharapkan dapat menyatukan dua insan n kasiuntuk selama-lamnya sampai
ajal menjemput, sehingga suami istri dapat mewujudkan rumah tangga
seebagai tempat perlindungan, merasakan naungan kasih sayang dan dapat
memelihara anak-anak mereka tumbuh dengan baik. Karenanya, ikatan
perkawinan bagi suami istri merupakan ikataan perkawinan yang paling
suci dan paling kokoh.
Jika ikatan antara suami istri demikian kuatnya, maka tidak pantas
untuk dirusak dan dianggap sepele. Setiap perbuatan yang mengganggap
sepele hubungan perkawinan dan mengabaikannya sangat dibenci oleh
Islam, karena perbuatan tersebut dapat menghilangkan kebaikan dan
kemaslahatan bagi suami istri.
Ibnu Umar berkata, Rasulullah SAW bersabda

3
“perbuatan halal yang sangat dibenci Allah SWT adalah talak.”
Setiap orang yang ingin merusak perbuatan suami istri, maka dia
dinyatakan keluar dari Islam dan tidak lagi memiliki tempat dalam Islam.
Rasulullah SAW bersabda
“tidak termasuk golongan kami orang yang merusak hubungan
seorang perempuan dengan suaminya.”
Bagi seorang istri yang meminta cerai (suaminya) tanpa sebab dan
alasan yang dibenarkan (oleh syariat), maka diharamkan baginya mencium
baunya harum surga. Tsauban berkata, Rasulullah SAW bersabda
“setiap wanita yang meminta cerai suaminya tanpa suatu sebab,
mamka haram baginya mencium bau surga.”
Menurut mazhab Hambali hukum talak bisa jadi wajiib, haram,
boleh, dan sunnah. Demikian juga dengan talak perempuan yang di li’an,
setelah melewati masa iddah selama empat bulan Allah berfirman,3



Artinya: “Kepada orang-orang yang meng-ilaa' isterinya[141] diberi


tangguh empat bulan (lamanya). Kemudian jika mereka kembali (kepada
isterinya), Maka Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.
Dan jika mereka ber'azam (bertetap hati untuk) talak, Maka Sesungguhnya Allah
Maha mendengar lagi Maha Mengetahui”.
[141] Meng-ilaa' isteri Maksudnya: bersumpah tidak akan mencampuri isteri. dengan
sumpah Ini seorang wanita menderita, Karena tidak disetubuhi dan tidak pula diceraikan.
dengan Turunnya ayat ini, Maka suami setelah 4 bulan harus memilih antara kembali
menyetubuhi isterinya lagi dengan membayar kafarat sumpah atau menceraikan.
Pengertian talaq dalam Pasal 114 ini dijelaskan KHI dalam Pasal
117.Talak adalah ikrar suami di, hadapan sidang Pengadilan Agama yang

3
Sayyid Sabiq, Fiqih Sunnah, (Jakarta, Cakrawala Publishing, 2012), Hal, 2-6.

4
menjadi salah satu sebab putusnya perkawinan dengan cara bagaimana dimaksud
dalam Pasal 129, 130, dan 131.Pembagian talak ada dua macam yaitu:
a) Talak raj’i
Talak yang suami diberi hak untuk kembali kepada istrinya tanpa
melalui nikah baru, selama istrinya itu masih dalam masa iddah.
Pasal 118
Talak raj’i adalah talak satu atau dua, dimana suami
berhak rujuk selama istri dalam masa iddah.

b) Talak ba’in
Talak yang putus secara penuh dalam arti tidak memungkinkan
suami untuk kembali kepada istrinya kecuali dengan nikah baru.4
Talak ba’in ada dua yaitu:
1) Ba’in sughra
Talak satu atau dua dengan menggunakan tebusan dari
pihak istri atau melalui putusan pengadilan dalam bentuk
fasakh. Dalam bentuk ini si suami yang akan kembali kepada
istrinya dalat langsung melalui pernikahan baru.
Pasal 119
(1) Talak bain shughra adalah talak yang tidak boleh
dirujuk tapi boleh nikah baru dengan suaminya
meskipun dalam iddah.
(2) Talak bain sughra sebagaimana tersebut pada ayat (1)
adalah:
a. Talak yang terjadi qobla al-dukhul
b. Talak dengan tebusan atau khuluk; dan
c. Talak yang dijatuhkan olehb Pengadilan
Agama.
4
Op. cit, Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia, hal 221

5
2) Ba’in kubra
Talak tiga, baik sekali ucapan atau berturut-turut. Bain
kubra ini menyebabkan si suami tidak boleh kembali kepada
istrinya, meskipun dengan nikah baru, kecuali bila istrinya itu
telah nikah dengan laki-laki lain, kemudian bercerai dan habis
pula iddahnya.
Pasal 120
Talak bain kubra adalah talak yang terjadi untukketiga
kalinya. Talak jenis ini tidak dapat dirujuk dan tidak
dapat dinikahi kembali, kecuali apabila pernikahan itu
dilakukan setelah bekas istri menikah dengan orang lain
dan kemudian terjadi perceraian ba’da al-dukhul dan
habis masa iddahnya.5
2. Khulu’
Khulu’ terdiri dari lafaz kha-la-‘a yang berasal dari bahasa Arab
secara etimologi berarti menanggalkan atau membuka pakaian.
Dihubungkannya kata khulu’ dengan perkawinan karena dalam al-Qur’an
disebutkan suami itu sebagai pakaian bagi istrinyadan istri itu merupakan
pakaian bagi suaminya dalam surat al-Baqarah ayat 187:6








Artinya:“Dihalalkan bagi kamu pada malam hari bulan puasa


bercampur dengan isteri-isteri kamu; mereka adalah Pakaian bagimu, dan

5
Ibid, h. 226–230
6
Ibid, h. 231

6
kamupun adalah Pakaian bagi mereka. Allah mengetahui bahwasanya
kamu tidak dapat menahan nafsumu, Karena itu Allah mengampuni kamu
dan memberi ma'af kepadamu. Maka sekarang campurilah mereka dan
ikutilah apa yang Telah ditetapkan Allah untukmu, dan makan minumlah
hingga terang bagimu benang putih dari benang hitam, yaitu fajar.
Kemudian sempurnakanlah puasa itu sampai (datang) malam, (tetapi)
janganlah kamu campuri mereka itu, sedang kamu beri'tikaf[115] dalam
mesjid. Itulah larangan Allah, Maka janganlah kamu mendekatinya.
Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepada manusia, supaya
mereka bertakwa”.

Khulu’ ialah perceraian yang timbul atas kemauan istri dengan


membayar ‘iwadl kepada suami, misalnya kata suami: “Ku kutalak dengan
bayaran seratus riburupiah”. Kemudian istri membayar kepadanya seratus
ribu rupiah.Peceraian yang dilakukan secara khulu’ berakibat, bekas suami
tidak boleh menambah talak sewaktu ‘iddah, hanya dibolehkan kawin lagi/
kembali dengan akad baru.
Sebagian ulama berpendapat tidak boleh khulu’ melainkan apabila
keinginan bercerai datang dari pihak istri karena mungkin tidak dapat
persesuaian lagi dengan suaminya.
Firman Allah dalam al-Qur’an surat al-Baqarah, ayat 229 yang
berbunyi:7






Artinya:“Talak (yang dapat dirujuki) dua kali. setelah itu boleh


rujuk lagi dengan cara yang ma'ruf atau menceraikan dengan cara yang
7
Op. cit, Abdul Rahman Ghozali, hal 220

7
baik. tidak halal bagi kamu mengambil kembali sesuatu dari yang Telah
kamu berikan kepada mereka, kecuali kalau keduanya khawatir tidak akan
dapat menjalankan hukum-hukum Allah. jika kamu khawatir bahwa
keduanya (suami isteri) tidak dapat menjalankan hukum-hukum Allah,
Maka tidak ada dosa atas keduanya tentang bayaran yang diberikan oleh
isteri untuk menebus dirinya[144]. Itulah hukum-hukum Allah, Maka
janganlah kamu melanggarnya. barangsiapa yang melanggar hukum-
hukum Allah mereka Itulah orang-orang yang zalim”.

Ada beberapa unsur syarat mengenai khulu’ yaitu:


a. Suami yang menceraikan adalah seseorang yang ucapannya
telah dapat diperhitungkan secara syara’. Yaitu akil baligh dan
berbuat atas kehendak sendiri.
b. Istri yang dikhulu’ adalah seorang yang berada dalam wilayah
sisuami.
c. Adanya yang diganti dalam bentuk suatu yang berharga dan
dapat dinilai. Yang dinilai sama dengan mahar sewaktu nikah.
d. Sighat/ ucapan cerai yang disampaikan oleh suami dalam
ungkapan tersebut dinyatakan uang ganti atau iwadh.
Khulu’ sebagai salah satu bentuk putusnya perkawinan tidak diatur
sama sekali dalam UU Perkawinan. Namun KHI ada mengaturnya dalam
dua tempat, yaitu pada Pasal 1 ayat (1) dan Pasal 124 yang bunyinya:
Pasal 1
(i) Khulu’ adalah perceraian yang terjadi atas
permintaan istri dengan memberikan tebusan atau
iwadh kepada dan atas persetujuan suaminya
Pasal 124

8
Khulu harus berdasarkan atas alasan perceraian
sesuai ketentuan pasal 116.8
3. Fasakh
Fasakh berasal dari bahasa Arab dari akar kata fa-sa-kha yang
secara etimologi berarti membatalkan.Bila dihubungkan dengan
perkawinan berarti membatalkan perkawinan atau merusak perkawinan.
Dalam arti terminologis ditemukan beberapa rumusan yang hampir
bersamaan maksudnya, diantaranya yang terdapat dalam KBBI, berikut:
Pembatalan ikatan pernikahan oleh Pengadilan Agama berdasarkan
tuntutan istri atau suami yang dapat dibenarkan Pengadilan Agama atau
karena pernikahan yang telah terlanjur menyalahi hukum pernikahan.
Beberapa faktor penyebab terjadinya fasakh:
a. Syiqaq, adanya pertengkaran antara suami istri yang tidak
mungkin didamaikan. Dalam firman Allah pada surat an-Nisa’
ayat 35




Artinya:“Dan jika kamu khawatirkan ada persengketaan antara


keduanya, Maka kirimlah seorang hakam[293] dari keluarga laki-laki dan
seorang hakam dari keluarga perempuan. jika kedua orang hakam itu
bermaksud mengadakan perbaikan, niscaya Allah memberi taufik kepada
suami-isteri itu. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha
Mengenal”.

b. Fasakh karena cacat, cacat yang terdapat pada diri suami atau
istri, baik cacat jasmani atau cacat rohani atau jiwa.
c. Fasakh karena ketidakmampuan suami member nafkah.

8
Op. cit, Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia, hal 241

9
d. Fasakh karena suami gaib, suami meninggalkan tempat
tetapnya dan tidak diketahui kemana perginya dan dimana
beradanya dalam waktu yang sudah lama.
e. Fasakh karena melanggar perjanjian dalam perkawinan.9

Selain hal-hal tersebut ada juga hal-hal lain yang menyebabkan


terjadinya fasakh, yaitu sebagai berikut:
 Karena ada balak (penyakit belang kulit)
 Karena gila
 Karena penyakit kusta
 Karena ada penyakit menular, seperti sipilis, TBC dan lain
sebagainya
 Karena ada daging tumbuh pada kemaluan perempuan yang
menghambat maksud perkawinan (bersetubuh).
 Karena ‘unnah
4. Zhihar
Menurut bahasa Arab, kata zhihar terambil dari kata zhahrun yang
bermakna punggung. Dalam kaitannya dengan hubungan suami istri, zhihar
adalah ucapan suami kepada istrinya yang berisi menyerupakan punggung
istri dengan punggung ibu suami, seperti ucapan suami kepada istrinya:
“Engkau bagiku adalah seperti punggung ibuku”.10
Firman Allah dalamsurat al-Mujadilah ayat al-Mujadilah ayat 2
yang berbunyi:




9
Ibid, h. 242 – 252
10
Op. cit, Abdul Rahman Ghozali, hal 228 – 229

10
Artinya:“Orang-orang yang menzhihar isterinya di antara kamu,
(menganggap isterinya sebagai ibunya, padahal) tiadalah isteri mereka itu
ibu mereka. ibu-ibu mereka tidak lain hanyalah wanita yang melahirkan
mereka. dan Sesungguhnya mereka sungguh-sungguh mengucapkan suatu
perkataan mungkar dan dusta. dan Sesungguhnya Allah Maha Pemaaf lagi
Maha Pengampun”.

5. Ila’
Ila’ berasal dari bahasa Arab yang secara arti kata berarti “tidak
mau melakukan sesuatu dengan cara bersumpah” atau “sumpah”. Menurut
istilah hukum Islam, ila’ ialah “sumpah suami dengan menyebut nama
Allah atau sifat-Nya yang tertuju kepada istrinya untuk tidak mendekati
istrinya itu, baik secara mutlak maupun dibatasai dengan ucapan selamanya
atau dibatasi empat bulan atau lebih”.11
Beberapa contoh ila’ adalah ucapan suami kepada istri sebagai
berikut:
a. Demi Allah, saya tidak akan menggauli istriku
b. Demi kekuasaan Allah, saya tidaka akan mencampuri istriku
selama lima bulan
c. Demi Allah, saya tidak akan mendekati istriku selamanya.
Pada hakikatnya ila’ adalah suatu bentuk perceraian sebagai akibat
dari sumpah suami yang menyatukan bahwa ia (suami) tidak akan
menggauli istri. Apabila suami telah bersumpah tidak akan menggauli
istrinya, maka suami diberi kesempatan untuk memikirkan dua hal dalam
jangka waktu empat bulan.
Dasar hukum pengaturan ila’ ialah firman Allah surat al-Baqarah
ayat 226-227:

11
Ibid, h. 234 – 235

11




Artinya:“Kepada orang-orang yang meng-ilaa' isterinyadiberi


tangguh empat bulan (lamanya). Kemudian jika mereka kembali (kepada
isterinya), Maka Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha
Penyayang.Dan jika mereka ber'azam (bertetap hati untuk) talak, Maka
Sesungguhnya Allah Maha mendengar lagi Maha Mengetahui”.

6. Li’an
Li’an adalah lafadz dalam bahasa Arab yang berasal dari akar kata
laa-‘a-na, yang secara harfiah berarti “saling melaknat”. Menurut hukum
islam, li’an ialah sumpah yang diucapkan oleh suami ketika ia menuduh
istrinya berbuat zina dengan empat kali kesaksian bahwa ia termasuk orang
yang benar dalam tuduhannya, kemudian pada sumpah kesaksian kelima
disertai persyaratan bahwa ia bersedia menerima laknat Allah jika ia
berdusta dalam tuduhannya itu.12
Hal ini dijelaskan dalam surat an-Nur ayat 4:




Artinya:“Dan orang-orang yang menuduh wanita-wanita yang


baik-baik[1029] (berbuat zina) dan mereka tidak mendatangkan empat
orang saksi, Maka deralah mereka (yang menuduh itu) delapan puluh kali
dera, dan janganlah kamu terima kesaksian mereka buat selama-lamanya.
dan mereka Itulah orang-orang yang fasik”.

M.Thaib mengemukakan ada beberapa penyebab putusnya


perkawinan, yaitu:
12
Op. cit, Amir Syarifuddin, Garis-Garis Besar Fiqh, hal 131-139

12
a. Tidak senang lagi terhadap pasangan
b. Tidak diberi nafkah
c. Lemah syahwat
d. Penganiayaan
e. Perintah orang tua
f. Tergoda laki-laki atau wanita lain
g. Pengecap rasa
h. Penuntut kemewahan
i. Mengidap suatu penyakit
j. Melanggar persyaratan
k. murtad13
Ada tujuan paling penting dari hubungan suami istri yaitu
memelihara kesucian dan pertalian cinta kasih sayang antara pasangan.
Tujuan ini akan hilang jika salah satu diantara pasangan ada yang terkena
penyakit dan tidak mampu memberikan kepuasan seksual terhadap
pasangannya. Maka akan terjadi bencana bahkan perkawinan akan
bubar.Faktor umum penyebab putusnya perkawinan:
1. Istri tidak mematuhi perintah suami
2. Istri atau suami mengabaikan pasangannya, anak-anak dalam
rumah tangganya
3. Tidak ada rasa cinta dan kasih sayang antara keduanya
4. Beda prinsip atau aqidah
5. Sakit yang tidak memungkinkan mengadakan hubungan seks,
istri mandul, dan tidak mau dimadu.14
D. Alasan dan Tata Cara Perceraian
1. Alasan Percerain.

13
M. Thalib, Analisa Wanita Dalam Bimbingan Islam, (Bandung: al-Ikhlas, 1987), hal 19
14
Mustakfiri Asror, Problema Dalam Rumah Tangga, (Jakarta: Hidayah Fil Insan, 2002), hal.
96

13
Adapun alasan perceraian yaitu sebagai berikut:
1) Nusyuz istri
Nusyz adalah kata yang berasal dari bahasa Arab yang secara
etimologi “irtifa’” berarti meninggi atau terangkat. Kalau dikatakan istri
nusyuz terhadap suaminya berarti istri merasa dirinya sudah lebih tinggi
kedudukannya dari suaminya, sehingga ia tidak lagi merasa berkewajiban
mematuhinya. Secara defintif nusyuz diartikan dengan: “kedurhakaan
istri terhadap suami dalam hal menjalankan apa-apa yang diwajibkan
Allah atasnya”.
Adapun beberapa perbuatan yang dilakukan istri, yang termasuk
nusyuz, antara lain sebagai berikut:
a) Istri tidak mau pindah mengikuti suami untuk menempati rumah yang
telah disediakan sesuai dengan kemampuan suami, tau istri
meninggalkan rumah tanpa izin suami.
b) Apabila keduanya tinggal di rumah istri atas seizin istri, kemudian
pada suatu ketika istri melarangnya untuk masuk ke rumah itu dan
bukan karena hendak pindah rumah yang disediakan oleh suami.
c) Istri menolak ajakan suaminya untuk menetap di rumah yang
disediakannya tanpa alasan yang pantas.
d) Apabila istri bepergian tanpa suami atau mahramnya walaupun
perjalanan itu wajib, seperti haji, karena perjalanan perempuan tidak
dengan suami atau mahramnya termasuk maksiat.15
2) Nusyuz suami
Nusyuz suami mengandung arti pendurhakaan suami kepada Allah
karena meninggalkan kewajibannya terhadap istrinya. Nusyuz suami
terjadi bila ia tidak melaksanakan kewajibannya terhadap istrinya, baik
meninggalkan kewajiban yang bersifat materi atau nafaqah atau
meninggalkan kewajiban yang bersifat nonmateri diantaranya mu’asyarah
15
Tihami dkk, Fikih Munakahat, ( Jakarta: PT Rajagrafindo Persada, 2010), hal 185

14
bi al-ma’ruf atau menggauli istrinya dengan baik. Yang terakhir ini
mengandung arti yang luas, yaitu segala sesuatu yang dapat disebut
menggauli istrinya dengan cara buruk, seperti berlaku kasar, menyakiti
fisik dan mental istri, tidak melakukan hubungan badaniyahdalam waktu
tertentu dan tindakan lain yang bertentangan dengan asas pergaulan baik.
Menurut ketentuan hukum yang berlaku, di Indonesia Perceraian
dapat terjadi karena alasan-alasan sebagai berikut:

1. Salah satu pihak berbuat zina atau menjadi pemabuk, pemadat, penjudi,
dan lain sebagainya yang sukar disembuhkan
2. Salah satu pihak meninggalkan pihak lain selama 2 (dua) tahun berturut-
turut tanpa izin pihak lain dan tanpa alasan yang sah atau karena hal lain
diluar kemampuannya
3. Salah satu pihak mendapat hukuman penjara 5 (lima) Tahun atau
hukuman yang lebih berat setelah perkawinan berlangsung
4. Salah satu pihak melakukan kekejaman atau penganiayaan berat yang
mebahayakan pihak yang lain
5. Salah satu pihak mendapat cacat badan atau penyakit dengan akibat tida
dapat menjalankan kewajibannya sebagai Suami / Istri
6. Antara Suami dan Istri terus menerus terjadi perselisihan dan
pertengkaran dan tidak ada harapan akan hidup rukun lagi dalam rumah
tangga. 16

3) Syiqaq
Syiqaq mengandung arti pertengkaran, kata ini biasanya
dihubungkan kepada suami istri sehingga berarti pertengkaran yang terjadi
antara suami istri yang tidak dapat diselesaikan sendiri oleh

16
Sudarsono, Hukum Perkawinan Nasional, (Jakarta: Rineka Cipta, 1994), hal 116

15
keduanya.Syiqaq ini timbul bila suami tau istri atau keduanya tidak
melaksanakan kewajiban yang mesti dipikulnya.17

2. Tata Cara Percerain Di Pengadilan.


Tata cara perceraian menurut Kompilasi Hukum Islam (KHI) dan
Hukum Acara Peradilan Agama
Pasal 129
Seorang suami yang akan menjatuhkan talak kepada
istrinya mengajukan permohonan , baik lisan maupun tertulis
kepada Pengadilan Agama yang mewilayahi tempat tinggal
istri disertai dengan alasan serta memninya agar diadakan
sidang untuk keperluan itu.
Pasal 130
Pengadilan Agama dapat mengabulkan atau menolak
permohonan tersebut, dan terhadap keputusan tersebut dapat
diminta upaya hukum banding dan kasasi.

Pasal 131
1. Pengadilan Agama yang bersangkutan mempelajari
permohonan dimaksud pasal 129 dan dalam waktu
selambat-lambatnya tiga puluh hari memanggil pemohon
dan istrinya untuk menerima penjelasan tentang segala
sesuatu yang berhubungan dengan maksud menjatuhkan
talak.
2. Setelah Pengadilan Agama tidak berhasil menasehati
kedua belah pihak dan ternyata cukup alasan untuk
menjatuhkan talak serta yang bersangkutan tidak
mungkin lagi hidup rukun dalamrumah tangga,
17
Slamet Abidin dkk, Fiqh Munakahat 1, ( Bandung: CV PUSTAKA SETIA, 1999), hal 187

16
Pengadilan Agama menjatuhkan keputusannya tentang
izin bagi suami untuk mengikrarkan talak.
3. Setelah keputusan mempunyai kekuatan hukum tetap,
suami mengikrarkan talaknya di depansidang Pengadilan
Agama, dihadiri oleh istri atau kuasanya.
4. Bila suami tidak mengucapkan ikrar talak dalam tempo 6
(enam) bulan terhitung sejak putusan Pengadilan Agama
tentang izin ikrar talak baginya mempunyai kekuatan
hukum yang tetap, maka hak suami untuk mengikrarkan
talak gugur dan ikatan perkawinan tetap utuh.
5. Setelah sidang penyaksian ikrar talak Pengadilan Agama
membuat penetapan tentang terjadinya talak rangkap
empat yang merupakan bukti perceraian bagi bekas suami
dan istri. Helai pertama beserta surat ikrar talak
dikirimkan kepada Pegawai Pencata Nikah yang
mewilayahi tempat tinggal suami untuk diadakan
pencatatan, helai kedua dan ketiga masing-masing
diberikan kepada mantan suami istri, dan helai keempat
disimpan oleh Pengadilan Agama.18
Pasal 132
1. Gugatan perceraian diajukan oleh istri atau kuasanya
kepada Pengadilan Agama, yang daerah hukumnya
mewilayahi tempat tinggal penggugat kecuali istri
meninggalkan kediaman bersama tanpa izin suami.
2. Dalam hal tergugat bertempat kediaman di luar negeri,
Ketua Pengadilan Agama memberitahukan gugatan
tersebut kepada tergugat melalui Perwakilan Republik
Indonesia setempat.
18
Op. cit, Abdul Rahman Ghozali, hal 255 – 256

17
Pasal 133
1. Gugatan perceraian karena alasan tersebut dalam pasal
116 huruf b, dapat diajukan setelah lampau 2 (dua) tahun
terhitung sejak tergugat meninggalkan rumah.
2. Gugatan dapat diterima apabila tergugat menyatakan atau
menunjukkan sikap tidak mau lagi kembali ke rumah
kediaman bersama.19
Pasal 134
Gugatan perceraian karena alasan tersebut dalam pasal
116 huruf f, dapat diterima apabila telah cukup jelas bagi
Pengadilan Agama mengenai sebab-sebab perselisihan dan
petengkaran itu dan setelah mendengar pihak keluarga serta
orang-orang yang dekat dengan suami istri tersebut.
Pasal 135
Gugatan perceraian karena alasan suami mendapat
hukuman penjara 5 (lima) tahun atau hukuman yang lebih
berat sebagai dimaksud dalam pasal 116 huruf c, maka untuk
mendapatkan putusan perceraian sebagai bukti penggugat
cukup menyampaikan salinan putusan Pengadilan yang
memutuskan perkara disertai keterangan yang menyatakan
bahwa putusan itu telah mempunyai kekuatan hukum yang
tetap.

Pasal 136
1. Selama berlangsungnya gugatan perceraian atas
permohonan penggugat atau tergugat berdasarkan
19
Ibid, h. 257

18
pertimbangan bahaya yang mungkin ditimbulkan,
Pengadilan Agama dapat mengizinkan suami istri
tersebut untuk tidak tinggal dalam satu rumah.
2. Selama berlangsungnya gugatan perceraian atas
permohonan penggugat atau tergugat, Pengadilan Agama
dapat:
a. Menentukan nafkah yang harus ditanggung oleh
suami.
b. Menentukan hal-hal yang perlu untuk menjamin
terpeliharanya barang-barang yang menjadi hak
bersama suami istri atau barang-barang yang menjadi
hak suami atau barang-barang yang menjadi hak istri.
Pasal 137
Gugatan perceraian gugur apabila suami atau istri
meninggal sebelum adanya putusan Pengadilan Agama
mengenai gugatan perceraian itu.20
Pasal 138
1. Setiap kali diadakan sidang Pengadilan Agama yang
memeriksa gugatan perceraian, baik penggugat maupun
tergugat, atau kuasa mereka akan dipanggil untuk
menghadiri sidang tersebut.
2. Panggilan untuk menghadiri sidang sebagaimana tersebut
dalam ayat (1) dilakukan oleh petugas yang ditunjuk oleh
Ketua Pengadilan Agama.
3. Panggilan disampaikan kepada pribadi yang
bersangkutan. Apabila yang bersangkutan tidak dapat
dijumpai, panggilan disampaikan melalui Lurah atau
yang sederajat.
20
Ibid, h. 258

19
4. Panggilan sebagai tersebut dalam ayat (1) dilakukan dan
disampaikan secara patut dan sudah diterima oleh
penggugat maupun tergugat atau kuasa mereka selambat-
lambatnya 3 (tiga) hari sebelum sidang dibuka.
5. Panggilan kepada tergugat dilampiri dengan salinan surat
gugatan.
Pasal 139
1. Apabila tempat kediaman tergugat tidak jelas atau
tergugat tidak mempunyai tempat kediaman yang tetap,
panggilan dilakukan dengan cara menempelkan gugatan
pada papan pengumuman di Pengadilan Agama dan
mengumumkannya melalui satu atau beberapa surat kabar
atau mass media lain yang ditetapkan oleh Pengadilan
Agama.21
2. Pengumuman melalui surat kabar atau surat-surat kabar
atau mass media tersebut dalam ayat (1) dilakukan
sebanyak 2 (dua) kali dengan tenggang waktu satu bulan
antara pengumuman pertama dan kedua.
3. Tenggang waktu antara panggilan terakhir sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) dengan persidangan ditetapkan
sekurang-kurangnya 3 (tiga) bulan.
4. Dalam hal sudah dilakukan sebagaimana dimaksud dalam
ayat (2) dan tergugat atau kuasanya tetap tidak hadir,
gugatan diterima tanpa hadirnya tergugat, kecuali apabila
gugatan itu tanpa hak atau tidak beralasan.
Pasal 140

21
Ibid, h. 259

20
Apabila tergugat berada dalam keadaan sebagaimana
dimaksud dalam pasal 132 ayat (2), panggilan disampaikan
melalui perwakilan Republik Indonesia setempat.
Pasal 141
1. Pemeriksaan gugatan perceraian dilakukan oleh Hakim
selambat-lambatnya 30 (tiga puluh) hari setelah
diterimanya berkas atau surat gugatan perceraian.
2. Dalam menetapkan waktu sidang gugatan perceraian
perlu diperhatikan tentang waktu pemanggilan dan
diterimanya panggilan tersebut oleh penggugat atau
tergugat atau kuasa mereka.
3. Apabila tergugat dalam keadaan seperti tersebut dalam
pasal 116 huruf b, sidang pemeriksaan gugatan perceraian
ditetapkan sekurang-kurangnya6 (enam) bulan terhitung
sejak dimasukkannya gugatan perceraian pada
Kepaniteraan Pengadilan Agama.22
Pasal 142
1. Pada sidang pemeriksaan gugatan perceraian, suami istri
datang sendiri atau mewakilkan kepada kuasanya.
2. Kepentingan pemeriksaan Hakim dapat memerintahkan
yang bersangkutan untuk hadir sendiri.

Pasal 143
1. Dalam pemeriksaan gugatan perceraian, Hakim berusaha
mendamaikan kedua belah pihak.

22
Ibid, h. 260

21
2. Selama perkara belum diputuskan, usaha mendamaikan
dapat dilakukan setiap sidang pemeriksaan.
Pasal 144
Apabila terjadi perdamaian maka tidak dapat diajukan
gugatan perceraian baru berdasarkan alasan atau alasan-alasan
yang ada sebelum perdamaian dan diketahui oleh penggugat
pada waktu dicapainya perdamaian.
Pasal 145
Apabila tidak dapat dicapai perdamaian, pemeriksaan
gugatan perceraian dilakukan dalam sidang tertutup.23
Pasal 146
1. Putusan mengenai gugatan perceraian dilakukan dalam
sidang terbuka.
2. Suatu perceraian dianggap terjadi beserta akibat-
akibatnya terhitung sejak jatuhnya putusan Pengadilan
Agama yang telah mempunyai kekuatan hukum yang
tetap.
Pasal 147
1. Setelah perkara perceraian itu diputuskan maka Panitera
Pengadilan Agama menyampaikan salinan surat putusan
tersebut kepada mantan suami istri atau kuasanya dengan
menarik Kutipan Akta Nikah dari masing-masing yang
bersangkutan.
2. Panitera Pengadilan Agama berkewajiban mengirimkan
satu helai salinan putusan Pengadilan Agama yang telah
mempunyai kekuatan hukum yang tetap tanpa bermaterai
kepada Pegawai Pencatat Nikah yang mewilayahi tempat
tinggal istri untuk diadakan pencatatan.
23
Ibid, h. 261

22
3. Panitera Pengadilan Agama mengirimkan Surat
Keterangan kepada masing-masing suami istri atau
kuasnya bahwa putusan tersebut ayat (1) telah
mempunyai kekuatan hukum yang tetap dan merupakan
bukti perceraian bagi suami dan bekas istri.
4. Panitera Pengadilan Agama membuat catatan dalam
ruang yang tersedia pada Kutipan Akta Nikah yang
bersangkutan bahwa mereka telah bercerai.
Catatan tersebut berisi tempat terjadinya perceraian,
tanggal perceraian, nomor dan tanggal surat putusan serta
tanda tangan Panitera.
5. Apabila Pegawai Pencatat Nikah yang mewilayahi tempat
tinggal istri berbeda dengan Pegawai Pencatat Nikah
tempat pernikahan mereka dilangsungkan, maka satu
helai salinan putusan Pengadilan Agama sebagaimana
dimaksud dalam ayat (2) dikirimkan pula kepada
Pegawai Pencatat Nikah yang mewilayahi tempat
perkawinan dilangsungkan, dan bagi perkawinan yang
dilangsungkan di luar negeri, salinan itu disampaikan
kepada Pegawai Pencatat Nikah di Jakarta.24
6. Kelalaian mengirimkan salinan putusan tersebut dalam
ayat (1) menjadi tanggung jawab Panitera yang
bersangkutan, apabila yang demikian itu mengakibatkan
kerugian bagi bekas suami atau istri atau keduanya.
Pasal 148
1. Seorang istri yang mengajukan gugatan perceraian
dengan jalan khulu’, menyampaikan permohonannya

24
Ibid, h. 262

23
kepada Pengadilan Agama yang mewilayahi tempat
tinggalnya disertai alasan atau alasan-alasannya.
2. Pengadilan Agama selambat-lambatnya satu bulan
memanggil istri dan suaminya untuk didengar
keterangannya masing-masing.
3. Dalam persidangan tersebut Pengadilan Agama
memberikan penjelasan tentang akibat khulu’, dan
memberikan nasihat-nasihatnya.
4. Setelah kedua belah pihak sepakat tentang besarnya
iwadh atau tebusan, maka Pengadilan Agama
memberikan penetapan tentang izin bagi suami untuk
mengikrarkan talaknya di depan sidang Pengadilan
Agama.
Terhadap penetapan itu tidak dapat dilakukan upaya
banding dan kasasi.
5. Penyelesaian selanjutnya ditempuh sebagaimana yang
diatur dalam pasal 131 ayat (5).
6. Dalam hal tidak tercapai kesepakatan tentang besarnya
tebusan atau ‘iwadh, Pengadilan Agama memeriksa dan
memutuskan sebagai pekara biasa.25

E. PENUTUP
1. Kesimpulan
Dari pembahasan diatas jelas sudah bahwasanya undang-undang
telah mengatur dan membahas secara rinci atas dapat putusnya suatu
perkawinan dengan adanya tiga hal yaitu kematian, perceraian, dan putusan
pengadilan. Pengaturan hal ini dalam undang-undang dimaksudkan tidak
25
Ibid, h. 263

24
lain demi terciptanya masyarakat yang tertib, harmonis serta keluarga yang
bahagia tanpa adanya saling merugikan satu sama lain antara suami istri,
sehingga terlaksananya hak-hak dan kewajiban masing-masing.
Dari pembahasan diatas pula kita dapat menganalisis betapa
berbelit-belitnya suatu perceraian, hal ini disebabkan agar terbentuknya
keluarga yang bahagia dan langgeng, maka perceraian sejauh mungkin
dihindarkan dan hanya dapat dilakukan dalam hal-hal yang dianggap
sangat terpaksa dengan alasan-alasan tertentu yang telah
diaturolehUndang-Undang.

2. Saran

Makalah ini membahas tentang pengertian putusnya perkawinan,


sebab-sebab putusnya perkawinan, alasan dan tata cara perceraian.
Makalah ini dapat dijadikan sebagai bahan bacaan dan bahan dalam
memberikan pembelajaran kepada peserta didik, tetapi dibalik itu semua
pemakalah menyadari bahwa makalah ini masih memiliki banyak
kekurangan, oleh karena itu pemakalah mengharapkan kritik dan saran
yang membangun dari pembaca.

25

Anda mungkin juga menyukai