Anda di halaman 1dari 12

Makalah

Perkembangan hadis pada periode


ketujuh dan perkembangan
pengumpulan dan penulisan hadis

Disusun oleh kelompok 4:


1.Resky
2.Nur asyirah
3.A.mu'ammar
4.A nur salsabilah ahmad
5.Reza Afriansyah
X.5
PENGANTAR
Dengan menyebut nama Allah SWT yang Maha
Pengasih lagi Maha Penyayang, kami panjatkan puja dan
puji syukur atas kehadirat-Nya, yang telah melimpahkan
rahmat, hidayah, dan inayah-Nya kepada kami, sehingga
kami dapat menyelesaikan makalah ini.

Makalah yang kami susun mungkin tidak mencapai


kesempurnaan, mohon maaf jika ada kesalahan penulisan
maupun susunan kalimatnya, adapun saran dan kritik dari
pembaca agar kami dapat memperbaiki kesalahan yang
ada pada makalah ini.

Akhir kata dari kami, semoga penulisan makalah


perkembangan hadis pada periode ketujuh dan
perkembangan pada masa pengumpulan dan penulisan
hadis dapat memberikan manfaat kepada pembaca.

Bone, 4 Maret 2024


Penyusun

Daftar Isi
Bab 1 Pendahuluan...........................................
1.1. Latar belakang....................................................
1.2. Rumusan masalah..............................................
1.3. Tujuan..................................................................
1.4. Manfaat................................................................

Bab 2 Pembahasan...........................................
 Perkembangan hadis pada periode ketujuh (656 H
– sekarang)..............................................
 Perkembangan pada masa pengumpulan dan
penulisan hadis..................................................

Bab 3 Penutup...........................................................
Daftar Pustaka...........................................................
Bab 1
Pendahuluan

1.1. Latar belakang


Sebagai utusan Allah SWT, Nabi Muhammad SAW
merupakan pemimpin masyarakat, panglima perang,
kepala rumah tangga, dan sebagainya. Sebab itu, segala
tingkah laku, ucapan, dan petunjuknya disebut sebagai
ajaran Islam atau hadits. Selain hadits, ada juga istilah
khabar, sunah, dan atsar dengan makna yang berbeda-
beda.

Melansir pada buku Al-Qur’an dan Hadis oleh H.


Aminudin dan Harjan Syuhada, hadits menurut bahasa
memiliki beberapa arti di antaranya:

1. Jadid, artinya baru;


2. Qarib, artinya dekat;
3. Khabar, artinya harta atau sesuatu Yang
diperbincangkan dan dipindahkan dari seseorang
kepada orang lain.

Secara istilahnya, hadits adalah segala ucapan,


perbuatan, dan keadaan Nabi Muhammad SAW. Kata
keadaan dalam istilah tersebut artinya adalah segala
sesuatu yang diriwayatkan dalam kitab sejarah, seperti
kelahiran Nabi Muhammad SAW, tempat lahirnya, dan
keterkaitan Nabi Muhammad SAW sebelum dan sesudah
diangkat menjadi Nabi atau Rasul.

1.2. Rumusan masalah


Sebagai sumber kedua ajaran agama Islam, hadits telah
melewati proses sejarah yang sangat panjang. Alfiah,
Fitriadi, dan Suja’l dalam bukunya yang berjudul Studi
Ilmu Hadis, menjelaskan bahwa para ahli menyebut hadits
telah melewati 7 periode perkembangan di antara salah
satunya adalah sebagai berikut:

 Perkembangan hadis pada periode ketujuh, Ahd Al-


Syarh wa al-Jamu' wa Takhrij (Periode pensyarahan,
penghimpunan, pentakhrijan, dan pembahasan).
 Perkembangan hadis pada masa pengumpulan dan
penulisan hadis

1.3. Tujuan
Berdasarkan perumusan masalah di atas, maka dapat
diketahui tujuan dari pembuatan makalah ini adalah
sebagai berikut:

 Untuk mengetahui bagaimana perkembangan hadis


pada periode ketujuh.
 Untuk mengetahui bagaimana proses pengumpulan
dan penulisan hadis

1.4. Manfaat
Berdasarkan tujuan di atas, manfaat yang dapat kita
ambil adalah memberikan pengetahuan tentang
perkembangan hadis pada periode ketujuh dan
perkembangan pengumpulan dan penulisan hadis, serta
pembaca dapat mengambil manfaat dari makalah ini.
Bab 2
Pembahasan

 Perkembangan hadis pada periode ketujuh


(656 H – sekarang)
disebut masa kebangkitan dimulai dari awal abad keempat belas hijriah sampai
sekarang, untuk pembahasan ini fokus pada perkembangan hadist pada periode terakhir
yaitu periode ketujuh.

Sejak penghancuran dan jatuhnya kota Baghdad, Irak, sebagai pusat pemerintahan
Khilafah Abbasiyah di tangan Tartar tahun 656 H menggeser kegiatan di bidang hadist
ke Mesir dan India . Sedangkan di Turki (Asia kecil) Daulah Utsmaniyah terus
berkembang wilayahnya, mereka dapat menaklukkan Konstantinopel dan
menjadikannya sebagai ibu kota. Daulah Utsmaniyah juga berhasil menaklukkan Mesir
dan menghilangkan Khilafah Abbasiyah.

Orang-orang Islam menjadi lengah dan tidak berdaya dikarenakan perselisihan di


antara mereka, hal ini membuat negara-negara Eropa memanfaatkan situasi ini dan
menggunakan kekuatan mereka untuk merampas kekuasaan Islam. Politik yang sedang
memanas ini juga mengakibatkan cara berfikir orang-orang tidak karuan dan himmah
(semangat) para ulama pun menurun yang mengakibatkan perjalanan ulama menjadi
terhenti dan komunikasi ilmiah terputus antara penduduk wilayah-wilayah yang
berbeda.

Budaya periwayatan hadist secara syafahi pun mulai memudar dan digantikan
dengan ijazah dan penulisan. Para ulama pada periode ini ketika proses mendapatkan
sanad (isnad) lebih mementingkan mendapat barokahnya saja tanpa mengajarkannya.
Akan tetapi terdapat beberapa tokoh yang melakukan perjalanan ke berbagai tempat
untuk duduk memberikan pengajaran yakni dengan imla’, dimana imla’-imla’ tersebut
akan ditulis oleh pengikut mereka.

Di antara ulama-ulama tersebut adalah seorang hafidz besar Abu al-Fadhl


Zaenuddin Abdurrahman bin al-Husain al-Iraqi al-Atsari beliau adalah guru dari Ibnu
Hajar, tokoh lain yaitu Syihabbuddin Abu al-Fadhl Ahmad bin Ali bin Muhammad bin
Muhammad bin Ali ibnu Hajar beliau adalah penghulunya para hafidz dan para ahli
hadist di wilayah-wilayah sekeliling beliau, juga ada murid Ibnu Hajar yakni al-Hafidz
as-Sakhawi.

Pada periode ketujuh ini masih meneruskan kegiatan masa sebelumnya, para ulama
hanya berkutat dengan kitab-kitab para pendahulu mereka. Kegiatan umum pada
periode ini ialah mempelajari kitab-kitab yang telah ada, kemudian melakukan
penyusunan ulang, merevisi, mensyarahinya, dan men-takhrij. Cara penyampaian hadist
pun berbeda-beda, sebagian besar metode-metode dan kitab-kitab hadist yang terkenal
berhasil dibukukan pada masa ini, antara lain :

(Pertama), Kutub az-Zawaid, semua karya dalam hadits tidak akan mencakup
semua hadits-hadits yang ada, karena hadits adalah lautan yang luas, oleh karena itu
kitab-kitab hadits berbeda-beda, ada yang panjang, singkat, sedikit, dan banyak.

Kemudian ulama mutaakhirin men-takhrij hadits-hadits tambahan dalam sebuah


kitab yang mereka namai dengan Kutub az-Zawa’id, kitab-kitab Zawa’id sangatlah
banyak diantaranya yang paling terkenal adalah: Kitab Zawa’id Sunan Ibnu Majah ‘ala
al-Kutin al-Khamsah dan kitab Zawa’id as-Sunan al-Kubra karya al-Baihaqi,
terhadap Kutub as-Sittah juga, dan dinamai dengan Fawa’id al-Muntaqa lizawa’id al-
Baehaqi.
(Kedua) Al-Jawami’ al-Amah, metode ini para ulama mengompilasikan sejumlah
kitab dalam satu karya, salah satunya adalah kitab Jam’i al-Jawami’ karya al-Hafidz
Abdurrahman bin Abu Bakar as-Suyuthi (w. 911H.) Ia mengompilasikan di dalamnya
antara Kutub as-Sittah dan yang lainnya. Ia bertujuan dalam kitabnya tersebut untuk
mengumpulkan semua hadits-hadits Nabi.

Akan tetapi beliau meninggal sebelum menyelesaikan karyanya ini. Di dalam kitab
ini banyak mencangkup hadits-hadits dha’if dan maudhu’, dan disusun ulang oleh
Ala’uddin Ali bin Husam al-Hindi (w. 975 H.), dalam satu kitab yang diberi
nama Muntakhab Kanz al-Ummal, dan dicetak bersama dengan Musnad Ahmad di
Mesir, sebagaimana juga dicetak di India.

As-Suyuthi meringkas kitabnya tersebut dan dinamai dengan Al-Jami’ as-Saghir fi


Hadits al-Basyir an-Nadzir. Adapun kitab-kitab Al-Jawami’ al-Amah yang memuat
hadits-hadits hukum antara lain : kitab al-Ilmah fi al-Ahadits al-Ahkam karya Ibnu
Daqiq al-Ied (w. 702 H.), kitab Taqrib al-Asanid wa Tartib al-Masanid karya Zaenuddin
Abu al-Fadhl Abdurrahim bin al-Husain al-Iraqi ( 725 H – 806 H.), kitab Bulugh al-
Maram min Ahadits al-Ahkam karya Ibnu Hajar al-Asqalani.

(Ketiga) adalah Takhrij terhadap hadits-hadits yang ada di dalam kitab-kitab ilmiah,
saat itu terdapat banyak hadits yang diposisikan sebagai istidlal atau istisyhad dan para
pengarang tersebut tidak memperhatikan takhrij hadits-hadits tersebut juga tidak
menjelaskan mana hadits yang shahih dan yang dha’if, maka sebagian ulama hafidz
hadits melakukan takhrij terhadap hadits-hadits tersebut lalu mengumpulkan dalam satu
kitab secara tersendiri.

Kitab-kitab tersebut adalah: Takhrij hadits-hadits Tafsir al-Kasyaf karya Jamaluddin


Abu Muhammad Abdullah bin Yusuf bin Muhammad az-Zaela’i, kitab al-Kafi as-Syafi
fi Takhrij Ahadits al-Kasyaf karya Ibnu Hajar al-Asqalani, kitab takhrij hadits-hadits al-
Adzkar dan al-Arba’in karya an-Nawawi dan hadits-hadits al-Mashabih dan al-
Misykat karya Ibnu Hajar dan masih banyak lagi.

(Keempat) adalah metode Kutub al-Athraf metode ini sudah diterapkan oleh ulama
periode sebelumnya, beberapa kitab al-Athraf antara lain:

1.) Athraf Musnad al-Imam Ahmad karya Ibnu Hajar al-‘Asqalani juga, yang ia
pisahkan dari kitab Ittihaf al-Muhroh, dan dinamai dengan Athraf al-Musnad al-
Mu’tali bi athraf al-Musnad al-Hambali sebanyak dua jilid.
2.) Athraf al-Ahadits al-Mukhtarah karya Ad-Dhiya al-Maqdisi yang ditulis oleh
Ibnu Hajar al-Asqalani sebanyak satu jilid besar.

3.) Athraf Musnad al-Firdaus karya Ibnu Hajar.

4.) Athraf Shahih Ibn Hibban karya Abu al-Fadhl al-Iraqi.

 Periode pengumpulan dan penulisan hadis


Fase Pengumpulan dan Penulisan Hadis
1) Pengumpulan Hadis
Pada abad pertama Hijriah, yakni masa Rasulullah saw., Khulafa
Rasyidin dan sebagian besar masa Bani Umayyah hingga akhir abad pertama
Hijrah, hadis-hadis itu berpindah-pindah dan disampaikan dari mulut ke mulut.
Masing-masing perawi pada waktu itu meriwayatkan hadis berdasarkan
kekuatan hafalannya. Hafalan mereka terkenal kuat sehingga mampu
mengeluarkan kembali hadis-hadis yang pernah direkam dalam ingatannya. Ide
penghimpunan hadis Nabi secara tertulis untuk pertama kalinya dikemukakan
oleh Khalifah Umar bin Khat}t}a>b (w. 23 H/644 M). Namun, ide tersebut tidak
dilaksanakan oleh Umar karena khawatir bila umat Islam terganggu
perhatiannya dalam mempelajari al-Qur’an.

Adapun pengumpulan hadits, dimulai dizaman tabiin, dimana sebagian tabiin


mengumpulkan hadits-hadits dari gurunya. Dan hadits-hadits tersebut dikumpulkan
dalam tulisan yang dikenal dengan shohifah atau kumpulan lembaran catatan-catatan
hadits. Seperti shohifah Said bin Jubair murid shahabat Anas bin Malik dan Basyir bin
Nuhaik murid dari Abu Hurairah.

Kemudian berlanjut dengan melakukan pengumpulan hadits dalam jumlah yang lebih
banyak dan lebih luas di zaman Khalifah Umar bin Abdul Aziz, beliau yang
memerintahkan para ulama di masanya untuk mencari hadits-hadits Nabi kemudian
dituliskan pada lembaran-lembaran lalu dikumpulkan. Dan inilah awal mula
pengumpulan hadits-hadits dalam jumlah yang lebih banyak dan dilakukan secara
massif. Pengumpulan hadits ini lebih dikenal dengan pengumpulan hadits yang
dilakukan oleh Imam Muhammad bin Syihab az Zuhri

2). Penulisan hadis


Penulisan hadits dimulai sejak zaman Nabi Shalallahu ‘alaihiwassalam pada masa
turun wahyu, namun penulisan Hadits di zaman Nabi hanya dalam jumlah yang terbatas,
agar tidak terjadi percampuran antara ayat-ayat al Quran dan hadist Nabawi. Sehingga
terpisah dengan jelas wahyu al Quran dan ucapan Nabi Shalallahu ‘alaihiwassalam yang
kita kenal dengan hadits-hadits.

Bab 3
Penutup
Sebagai penutup kesimpulan yang dapat kita ambil di
atas, kita dapat mengerti bahwa bagaimana proses
perkembangan hadis pada masa atau periode ke tujuh.

Terima kasih bagi para pembaca yang telah membaca


makalah ini, saran dan kritik anda sangat berarti bagi
kami.

Anda mungkin juga menyukai