Anda di halaman 1dari 41

MAKALAH

ASURANSI SYARIAH: EKSISTENSI,


ANALISIS SWOT, PROSPEK DAN
STRATEGI PENGEMBANGANNYA
DI INDONESIA
diajukan untuk memenuhi salah satu tugas mata kuliah ASURANSI
SYARIAH Dosen pengampu:

Disusun oleh :
Irfan Afandi : 021.021.0129

PROGRAM STUDI HUKUM EKONOMI SYARIAH

SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM SILIWANGI

TAHUN 2022
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Asuransi merupakan bisnis yang unik, dalam kitab Undang-Undang Hukum Dagang
(KUHD) pasal 246 dijelaskan bahwa yang dimaksud dengan asuransi atau pertanggungan
adalah suatu perjanjian (timbal balik) yang mana seorang penanggung mengikatkan diri
kepada seorang tertanggung, dengan menerima suatu premi, untuk memberikan penggantian
kepadanya, karena
suatu kerugian, kerusakan, atau kehilangan keuntungan yang diharapkan, yang mungkin akan
dideritanya karena suatu peristiwa yang tidak tentu (onzeker woral), sedangkan menurut
Undang Undang Republik Indonesia Nomor 2 tahun 1992 menyebutkan bahwa asuransi atau
pertanggungan adalah perjanjian antara dua orang atau lebih yang mana pihak penanggung
mengikatkan diri pada tertanggung dengan menerima premi asuransi, untuk memberikan
penggantian kepada tertanggung karena kerugian, kerusakan atau kehilangan keuntungan
yang diharapkan atau tanggung jawab hukum kepada pihak ketiga yang mungkin akan
diderita tertanggung yang timbul dari sebuah peristiwa yang tidak pasti atau untuk
memberikan suatu pembayaran yang didasarkan atas meninggal atau hidupnya seseorang
yang dipertanggungkan. Dari kedua pengertian asuransi tersebut diketahui adanya tiga unsur
pokok dalam asuransi yang dipandang bertentangan dengan nilainilai syari‟ah yaitu bahaya
yang dipertanggung jawabkan, premi pertanggungan dan sejumlah uang ganti rugi
pertanggungan.
Indonesia sebagai negara dengan jumlah penduduk yang besar sekaligus merupakan
negara berpenduduk muslim yang terbesar ditambah lagi dengan meningkatnya kesadaran
masyarakat untuk semakin mengekspresikan identitas kemusliman mereka merupakan pasar
yang empuk dan berpotensi besar. Data menyatakan dalam beberapa kurun waktu terakhir
penjualan-penjualan produk Islami,mengalami kenaikan yang signifikan. Di lain sisi
kebutuhan kenyamanan bermuamalah dalam transaksi keuangan pun meningkat pesat,
sehingga diperlukan lebih banyak lembagalembaga keuangan ataupun lembaga pembiayaan
yang bernuansa
syariah.
BAB II
PEMBAHASAN

B. Sekilas Latar Belakang Berdiri Asuransi Syariah


Kemunculan usaha perasuransian syariah tidak dapat dilepaskan dari keberadaan usaha
perasuransian konvensional yang telah ada sejak lama.Sebelum terwujudnya usaha
perasuransian syariah,terdapat berbagai macam perusahaan asuransi konvensional yang telah
lama berkembang.Jika ditinjau dari segi hukum perikatan Islamasuransi konvensional
hukumnya haram.Hal ini dikarenakan dalam operasional asuransi konvensional mengandung
unsur gharar
(ketidakpastian), maysir (spekulasi/gambling) dan riba (bunga).Pendapat ini disepakati oleh
banyak ulama terkenal dunia seperti Yusuf al-Qaradhawi, Sayyid Sabiq, Abdullah al-Qalqili,
Muhammad Bakhil al-Muth‟i, Abdul Wahab Khalaf, Muhammad Yusuf Musa, Abdurrahman
Isa, Mustafa Ahmad Zarqa, dan Muhammad Nejatullah Siddiqi. Namun demikian, karena
alasan
kemaslahatan atau kepentingan umum sebagian dari mereka membolehkan untuk sementara
belum ada alternatif yang sesuai syariah beroperasinya asuransi konvensional.1
Di Malaysia, pernyataan bahwa asuransi konvensional hukumnya haram diumumkan pada
tanggal 15 Juni 1972 di mana Jawatan Kuasa Fatwa Malaysia mengeluarkan keputusan
bahwa praktik asuransi jiwa di Malaysia hukumnya menurut Islam adalah haram. Selain itu
Jawatan Kuasa Kecil Malaysia dalam kertas kerjanya yang berjudul ”Ke Arah Insurans
Secara Islami di Malaysia” menyatakan bahwa asuransi masa kini mengikuti cara
pengelolaan Barat dan sebagian operasinya tidak sesuai dengan ajaran Islam.2 Dalam rangka
pengembangan perekonomian umat jangka panjang, masyarakat muslim perlu konsisten
mengaplikasikan
prinsip-prinsip perniagaan syariah berdasarkan nash-nash (teks-teksdalil agama)yang jelas
atau pendapat para pakar ekonomi Islam. Untuk itu usaha perasuransian berlandaskan prinsip
syariah
merupakan lembaga ekonomi syariah yang dapat membawa umat Islam ke arah kemakmuran
patutdiwujudkan dan merupakan sebuah keniscayaan.
Berdasarkan pemikiran bahwa asuransi konvensional hukumnya adalah haram, maka
kemudian dirumuskan bentuk asuransi yang terhindar dari ketiga unsur yang diharamkan
Islam tersebut di atas yaitu gharar, maisir dan riba. Berdasarkan hasil analisis terhadap
hukum (syariat) Islam dapat disimpulkan bahwa di dalam ajaran Islam termuat substansi
perasuransian.Asuransi yang termuat dalam substansi hukum Islam tersebut ternyata dapat
menghindarkan
prinsip operasional asuransi dari unsur gharar, maisir dan riba.

Dengan adanya keyakinan umat Islam di dunia dan keuntungan vang diperoleh melalui
konsep asuransi syariah, lahirlah berbagai perusahaan asuransi yang menjalankan usaha
perasuransian berlandaskan prinsip syariah. Perusahaan yang mewujudkan asuransi
syariah ini bukan saja perusahaan yang dimiliki orang Islam, namun juga berbagai
perusahaan milik non-muslim serta ada yang secara induk perusahaan berbasis konvensional
ikut terjun usaha memberikan layanan asuransi syariah dengan membuka kantor cabang dan
divisi syariah.
Seiring dengan bergulirnya waktu dan ijtihad para pemerhati ekonomi Islam secara kontinyu,
akhirnya mereka sampai kepada sebuah konsep yang dapat disepakati bersama serta menjadi
acuan perasuransian syariah di dunia. Konsep tersebut populer dengan nama asuransi mutual,
kerja sama (ta‟awuni), atau takmin ta‟awuni. Konsep Asuransi Ta‟awuni merupakan
rekomendasi fatwa Muktamar Ekonomi Islam yang bersidang kali pertama tahun 1976 M di
Mekah.Peserta hampir 200 orang dari kalangan ulama.
Kemudian dikuatkan lagi dalam sidang Majma‟ Fiqh Islami „Alami (Lembaga Fiqih
Dunia) pada 21 Desember 1985 di Jeddah yang memutuskan pengharaman Asuransi Jenis
Perniagaan (Komersial). Majma‟ Fiqih juga secara ijma‟ mengharuskan dioperasikannya
usaha perasuransian jenis kerja sama(ta‟awuni) sebagai alternatif menggantikan jenis
asuransi konvensional serta menyerukan umat Islam dunia menggunakan asuransi ta‟awuni.3
Dalam rangka menindaklanjuti fatwa tersebut dan kebutuhan umat terhadap asuransi
berdasarkan hukum Islam, Pada dekade 70- an di beberapa negara Islam atau di negara-
negara yang mayoritas penduduknya muslim bermunculan asuransi yang prinsip
operasionalnya mengacu kepada nilai-nilai Islam dan terhindar dari ketiga unsur yang
diharamkan Islam. Pada tahun 1979 Faisal Islamic
Bank of Sudan memprakarsai berdirinya perusahaan asuransi syariah Islamic Insurance Co.
Ltd. di Sudan dan Islamic Insurance Co. Ltd. Di Arab Saudi. Keberhasilan asuransi syariah
ini kemudian diikuti oleh berdirinya Dar al-Mal al-Islami di Geneva, Swiss dan Takaful
Islami di Luxemburg, Takaful Islam Bahamas di Bahamas dan al-Takaful al- Islami di
Bahrain pada tahun 1983. Di Malaysia, Syarikat Takaful Sendirian Berhad berdiri pada tahun
1984. 4Selanjutnya diikuti oleh
negara-negara lain seperti Bahrain, UAE, Brunei, Singapura, dan Indonesia. Konsep Asuransi
Ta‟awuni merupakan rekomendasi fatwa Muktamar Ekonomi Islam yang bersidang kali
pertama tahun 1976 M di Mekah.Peserta hampir 200 orang dari kalangan ulama. Kemudian
dikuatkan lagi dalam sidang Majma‟ Fiqh Islami „Alami (Lembaga Fiqih Dunia) pada 21
Desember 1985 di Jeddah yang memutuskan pengharaman Asuransi Jenis Perniagaan
(Komersial). Majma‟ Fiqih juga secara ijma‟ mengharuskan dioperasikannya usaha
perasuransian jenis kerja sama (ta‟awuni) sebagai alternatif menggantikan jenis asuransi
konvensional serta menyerukan umat Islam dunia menggunakan asuransi ta‟awuni.

C. Pendirian Asuransi Syariah di Indonesia


Di Indonesia, Asuransi Takaful baru muncul pada tahun 1994 seiring dengan
diresmikannya PT Syarikat Takaful Indonesia yangkemudian mendirikan 2 anak perusahaan
yaitu PT Asuransi Takaful Keluarga pada tahun 1994 dan PT Asuransi Takaful Umum pada
tahun 1995. Gagasan dan pemikiran didirikannya asuransi berlandaskan syariah sebenarnya
sudah muncul tiga tahun sebelum berdirinya takaful dan makin kuat setelah diresmikannya
Bank Muamalat Indonesia pada tahun 1991. Dengan beroperasinya Bankbank Syariah
dirasakan kebutuhan akan kehadiran jasa asuransi yang berdasarkan syariah pula.
Berdasarkan pemikiran tersebut Ikatan Cendekiawan Muslim se-Indonesia (ICMI) pada
tanggal 27 Juli 1993 melalui Yayasan Abdi Bangsa bersama Bank Muamalat Indonesia
(BMI) dan perusahaan Asuransi Tugu Mandiri sepakat memprakarsai pendirian asuransi
takaful.5Adapun latar belakang lahirnya sistem asuransi syariah dan penerapan prinsip syariah
dalam kegiatan usaha asuransi di Indonesia adalah : 1) Dengan sistem konvensional, sistem
perekonomian akan rapuh dan tidak akan menyelesaikan problem 2) Prinsip syariah sesuai
dengan prinsip yang tertera dalam Al Qur‟an (pedoman bagi umat Islam dalam
bermuamalah) dan prinsip syariah banyak mengandung unsur-unsur keadilan dibandingkan
dengan sistem konvensional 3) adanya permintaan pasar 4) adanya kebijakan pemerintah
yang memberi kesempatan pada perusahaan untuk membuka divisi syariah dan Fatwa MUI
No. 21/DSN-MUI/2001 tentang Pedoman Asuransi Syariah 5) asuransi syariah di Indonesia
sebelum kurun waktu tahun 2001 hanya dijalankan oleh PT. Takaful sebagai pemain tunggal
bidang usaha asuransi syariah.
Dewasa ini dalam pertumbuhan asuransi syariah beberapa tahun ini sangatlah tinggi
karena banyak orang yang sadar akan pentingnya mempunyai asuransi. Asuransi syariah
sendiri juga
mempunyai banyak keunggulan dibandingkan dengan asuransi nonsyariah sehingga banyak
sekali peminat yang berminat untuk memiliki asuransi syariah. Asuransi dapat menjadi
investasi jangka
panjang dan juga proteksi diri akan hal hal yang tidak diinginkan. Produk keuangan sendiri
sudah menjadi kebutuhan manusia dan dewasa ini orang orang lebih selekif untuk
menggunakan produk keuangan tersebut dengan menghindari hal hal yang berunsur riba.
Bagi masyarakat muslim, menghindari hal-hal yang bersifat riba itu wajib sehingga hal ini
juga mendorong pertumbuhan berbagai macam produk keuangan syariah termasuk asuransi
syariah. Sekarang ini perusahaan asuransi syariah sudah berkembang dengan pesat meskipun
tidak terlalu banyak dikenal seperti perbankan syariah.Perbedaan dari asuransi syariah dan
asuransi konvensional sendiri mungkin tidak terlalu terlihat namun pada dasarnya perbedaan
tersebut teletak pada perjanjian transaksinya. Dalam asuransi syariah, nasabah akan
mengikatkan diri dalam suatu
komunitas dan mereka akan saling menanggung apabila terdapat musibah. Sedangkan pada
asuransi konvensional, nasabah membeli perlindungan dari perusahaan asuransi untuk
mendapat
perlindungan ketika ada musibah. Bisnis asuransi masuk ke Indonesia pada waktu penjajahan
Belanda dan negara kita pada waktu itu disebut Nederlands Indie. Keberadaan asuransi di
negeri kita ini sebagai akibat berhasilnya Bangsa Belanda dalam sektor perkebunan dan
perdagangan di
negeri jajahannya. Untuk menjamin kelangsungan usahanya, maka adanya asuransi mutlak
diperlukan. Dengan demikian usaha perasuransian di Indonesia dapat dibagi dalam dua kurun
waktu, yakni zaman penjajahan sampai tahun 1942 dan zaman sesudah Perang Dunia II atau
zaman kemerdekaan. Pada waktu pendudukan bala tentara Jepang selama kurang lebih tiga
setengah tahun, hampir tidak mencatat sejarah perkembangan. Perusahaan-perusahaan
asuransi yang ada di Hindia Belanda
pada zaman penjajahan itu adalah :
 Perusahaan-perusahaan yang didirikan oleh orang Belanda.
 Perusahaan-perusahaan yang merupakan Kantor Cabang dari Perusahaan Asuransi yang
berkantor pusat di Belanda, Inggris dan di negeri lainnya. Dengan sistem monopoli yang
dijalankan di Hindia Belanda, perkembangan asuransi kerugian di Hindia Belanda terbatas
pada kegiatan dagang dan kepentingan bangsa Belanda, Inggris, dan bangsa Eropa lainnya.
Manfaat dan peranan asuransi belum dikenal oleh masyarakat, lebih-lebih oleh masyarakat
pribumi. Jenis asuransi yang telah diperkenalkan di Hindia Belanda pada waktu itu masih
sangat terbatas dan sebagian besar terdiri dari asuransi kebakaran dan pengangkutan.
Asuransi kendaraan bermotor masih belum memegang peran, karena jumlah kendaraan
bermotor masih sangat sedikit dan hanya dimiliki oleh Bangsa Belanda dan Bangsa Asing
lainnya. Pada zaman penjajahan tidak tercatat adanya perusahaan asuransi kerugian satupun.
Selama terjadinya Perang Dunia II kegiatan perasuransian di Indonesia praktis terhenti,
terutama karena ditutupnya pemsahaan- perusahaan asuransi milik Belanda dan Inggris.
Setelah Perang Dunia usai, perusahaan-perusahaan Belanda dan Inggris kembali beroperasi di
negara yang sudah merdeka ini. Sampai tahun 1964 pasar industri asuransi di Indonesia
masih dikuasai oleh Perusahaan Asing, terutama Belanda dan Inggris. Pada awal mulanya
beroperasi di Indonesia mereka mendirikan sebuah
badan yang disebut “Bataviasche Verzekerings Unie” (BVU) pada tahun 1946, yang
melakukan kegiatan asuransi secara kolektif. Dengan demikian dari setiap penutupan,
masing-masing anggota BVU memperoleh share tertentu. Cara ini dilakukan mengingat
keadaan
pada waktu itu belum teratur dan tenaga asuransi masih kurang sekali. Pada tahun 1950
berdiri sebuah perusahaan asuransi kerugian yang pertama, yakni NV. Maskapai Asuransi
Indonesia yang kemudian pada awal 2004 sudah menjadi PT MAI PARK. Pada saat itu,
sebagai perintis perusahaan asuransi kerugian nasional yang pertama, maka perusahaan ini
harus bersaing dengan perusahaan asuransi asing yang unggul baik dalam faktor permodalan
maupun pengetahuan teknis. Dengan berdirinya perusahaan asuransi kerugian nasional
tersebut, keberanian pengusaha nasional dipacu untuk mendirikan perusahaan-perusahaan
asuransi kerugian.
Keberanian ini didukung pula oleh Peraturan Pemerintah bahwa semua barang impor
harus diasuransikan di Indonesia. Pengaturan ini dimaksudkan untuk menanggulangi
pemakaian devisa untuk membayar premi asuransi di luar negeri.
Pada tahun 1953 berdiri pula perusahaan swasta nasional yang bergerak dalam bidang
reasuransi Belanda dan Inggris di Indonesia, pemakaian devisa untuk membayar premi
reasuransi ke luar negeri juga masih tetap besar. Untuk menanggulangi hal ini, didirikanlah
pada tahun 1954 sebuah perusahaan reasuransi profesional, yakni “PT. REASURANSI
UMUM INDONESIA” yang mendapat dukungan dari bank-bank pemerintah.
Lembaga yang tersebut terakhir ini mengeluarkan peraturanperaturan yang mengikat
untuk perusahaan-perusahaan asuransi asing untuk menggunakanjasa perusahaan reasuransi
nasional.
Langkah-langkah yang diambil pemerintah dalam hal ini memberikan hasil yang diharapkan.
Kegiatan PT. Reasuransi Umum Indonesia pada tahun 1963 diperluas dengan kegiatan
reasuransi
jiwa. Pada saat PT. Reasuransi Umum Indonesia didirikan, banyak perusahaan-perusahaan
asuransi kerugian nasional bermunculan, tetapi perkembangannya masih terhambat oleh
persaingan yang berat dari perusahaan-perusahaan asuransi swasta asing. Pada waktu
perjuangan mengembalikan Irian Barat ke pangkuan Republik Indonesia, pemerintah
melakukan nasionalisasi perusahaan milik Belanda. Perusahaan-perusahaan Inggris
dinasionalisasi dalam peristiwa konfrontasi.
Seiring waktu lahirlah kemudian berbagai perusahaan asuransi yang menjalankan usaha
perasuransian berlandaskan prinsip syariah. Perusahaan yang mewujudkan asuransi syariah
ini bukan saja perusahaan yang dimiliki orang Islam, namun juga berbagai perusahaan milik
non-muslim serta ada yang secara induk perusahaan berbasis konvensional ikut terjun usaha
memberikan layanan asuransi syariah dengan membuka kantor cabang dan divisi syariah.
Seiring dengan bergulirnya waktu dan ijtihad para pemerhati ekonomi Islam secara kontinyu,
akhirnya mereka sampai kepada sebuah konsep yang dapat disepakati bersama serta menjadi
acuan perasuransian syariah di dunia. Konsep tersebut populer dengan Di negara Republik
Indonesia yang penduduknya mayoritas muslim, berdirinya Bank Muamalat Indonesia pada
tahun 1992
(tepatnya Bulan Juli) memunculkan pemikiran baru di kalangan ulama dan praktisi ekonomi
syariah ketika itu untuk membuat asuransi Islam. Hal ini dikarenakan operasional bank Islam
tidak bisa lepas dari praktik asuransi yang sesuai yang sudah barang tentu harus sesuai pula
dengan prinsip-prinsip syariah pula. Maka pada tanggal 27 Juli 1993 dibentuk tim TEPATI
(Tim
Pembentukan Takaful Indonesia) yang disponsori oleh Yayasan Abadi Bangsa (ICMI), Bank
Muamalat, Asuransi Tugu Mandiri dan Departemen Keuangan (yang pada saat itu diwakili
oleh Pejabat Depkeu Firdaus Djaelani dan Karnaen A Perwataadmaja). Selanjunya beberapa
orang anggota tim Tepati berangkat ke Malaysia untuk mempelajari operasional asuransi
Islam yang sejak tahun 1984 telah beroperasi dan telah didukung penuh oleh Kerajaan
Malaysia. Tim TEPATI ini kemudian memulai kerja mereka di bidang perekenomian syariah
dengan modal 30 juta (masing-masing 10 juta dari ICMI, BMI dan Tugu Mandiri). Modal
inilah yang digunakan untuk membiayai tim ke Malaysia untuk mengadakan Seminar dan
persiapan-persiapan lain yang bersifat asuransi ke Depkeu. Setelah melakukan beberapa
persiapan, akhirnya pada tanggal 24 Februari 1994 berdirilah PT Syarikat Takaful Indonesia
sebagai holding company dengan Direktur Utama Rahmat Husen yang selanjutnya
mendirikan dua anak perusahaan yatu PT Asuransi Takaful Keluarga (berdiri tanggal 25
Agustus 1994, dan diresmikan oleh Menteri Keuangan Mar`ie Muhammad) dan PT Asuransi
Takaful Umum (berdiri pada tanggal 2 Juni 1995, dan diresmikan oleh Menristek/Ketua
BPPT BJ Habibie di Hotel Shangri La).
TEPATI ini mengadakan studi banding ke Malaysia pada tanggal 7-10 Agustus 1993 sebagai
langkah awal pendirian,untuk melihat perkembangan dan sistem asuransi syariah di Malaysia
yang dikelola oleh perusahaan atau syarikat Takaful Malaysia SDN, Bhd. Setelah melakukan
studi banding TEPATI mendirikan PT. Syarikat Takaful Indonesia pada tanggal 24 Februari
1994, dengan nomor ijin usaha dan operasional berdasarkan SK. Menteri Kehakiman RI No.
C2-6712.HT.01.01. Th. 1994 dan SIUP Departemen Perindustrian dan Perdagangan RI No.
533/09 01/PB/VII/2000. Sebagai pelopor asuransi syariah di Nusantara, PT. Syarikat Takaful
Indonesia telah melayani masyarakat dengan jasa perlindungan asuransi yang sesuai dengan
prinsip syariah dan menerapkan prinsip-prinsip murni syariah pertama di Indonesia, selama
lebih dari satu dasawarsa, melalui dua perusahaan operasionalnya: PT Asuransi Takaful
Keluarga (Asuransi Jiwa Syariah) dan PT Asuransi Takaful Umum (Asuransi Umum
Syariah), sebagai anak perusahaan dari PT. Takaful Indonesia sebagai perusahaan induk
(Holding Company). Keberadaan PT. Syarikat Takaful Indonesia secara de jure baru diakui
dengan didirikan PT. Asuransi Takaful Keluarga yang bergerak di bidang asuransi jiwa
syariah (Islamic Life Insurance Company) pada 4 Agustus 1994, dengan nomor ijin usaha
dan operasional berdasarkan pada SK. Menteri Kehakiman RI No. C2- 9583.HT.01.01. Th.
1994 dan SK. Menteri Keuangan RI No. 385/KMK.017/1994 dan mulai beroperasi pada 25
Agustus 1994 ditandai dengan peresmian oleh Menteri Keuangan Mar‟I Muhammad dan
diikuti dengan pendirian anak perusahaan yang bergerak di bidang asuransi umum syariah
(Islamic General Insurance Company) yaitu PT Asuransi Takaful Umum, dengan nomor ijin
usaha dan operasional berdasarkan pada SK. Menteri Kehakiman RI No. C2-
18.286.HT.01.01. Th. 1994 dan SK. Menteri Keuangan RI No. 247/KMK.017/1995 pada
tanggal 31 Mei 1995, yang diresmikan oleh Menristek/Ketua BPPT Prof. Dr. B.J. Habibie
pada 1 Juni
1995. Cukup panjang juga perjalanan takaful, yang hanya bermodal 2,5 milyar sebagaimana
persyaratan minimal dalam undang-undang asuransi. Suka-duka dan tantangan sebagai
pionir, telah dilalui dengan perangkat peraturan yang sangat minim, modal yang kecil, SDM
yang sangat terbatas, dan pemahaman masyarakat akan asuransi syariah masih sangat kecil.
Bahkan untuk menyebut kata takaful pun begitu susah, ada yang menyebut, taiful, takafur,
takabur, tapakul, dan sebagainya. Memasuki tahun ke-8 (delapan) pada 2001, barulah
muncul asuransi syariah lainnya yaitu Mubarokah syariah, Tripakarta Cabang Syariah, Great
Estern Cabang Syariah, Jasindo Cabang Syariah, BSAM Cabang syariah, Bringin Cabang
syariah dan sebagainya. Perkembangan asuransi syariah dalam decade 2001 ke sini sungguh
sangat mengembirakan, terutama karena bersamaan dengan tumbuh dan berkembangnya
bank-bank syariah serta lembaga keuangan syariah lainnya seperti reksadana syariah, leasing
syariah, obligasi syariah, penggadaian syariah, pasar modal syariah, koperasi syariah, selain
BMT dan BPRS yang jauh sebelumnya sudah berkembang ke daerah-daerah. Dan, semakin
lengkap dengan munculnya KMK baru dari Menteri Keuangan, yang secara resmi mengatur
keberadaan asuransi yang dijalankan dengan prinsip-prinsip syariah.
Perusahaan asuransi Takaful sampai dengan tahun 2001 awal merupakan pemain tunggal
dalam asuransi syariah di Indonesia, namun peluang terbuka untuk usaha asuransi syariah
dengan adanya
kebijakan pemerintah melalui SK. Menkeu No. 268/KMK.06/2002tanggal 7 November 2002,
yang memberi peluang bagi perusahaan asuransi konvensional untuk menjalankan usahanya
berbasis syariah melalui 3 (tiga) alternatif pendirian yaitu:
 konversi langsung secara penuh dari asuransi konvensional ke
asuransi syariah dengan mengubah akad dan menghilangkan
unsur maisir, gharar, dan riba.
 Membentuk langsung lembaga asuransi syariah.
 Membuka kantor cabang asuransi syariah atau devisi asuransi
syariah.
Sejak pertama kali didirikannya Asuransi Takaful Indonesiayaitu pada tahun 1994 dengan
diresmikannya PT. Asuransi Takaful
Keluarga hingga sekarang sudah ada 37 (tiga puluh tujuh) perusahaan asuransi syariah
termasuk perusahaan reasuransi syariah
di Indonesia, dengan rincian sebagai berikut :
1. Perusahaan asuransi jiwa syariah :
a) Asuransi Takaful Keluarga, didirikan tahun 1994
b) Asuransi Syariah Mubarakah, didirikan tahun 2001
c) MAA Life Assurance, didirikan tahun 2000
d) AJB Bumiputera 1912 Syariah, didirikan tahun 2002
e) BRIngin Life Syariah, didirikan tahun 2002
f) Jiwa Asih Great Eastern Syariah, didirikan tahun 2002
g) BNI Life Syariah, didiikan tahun 2002
h) Simas Life Syariah, didirikan tahun 2005
2. Perusahaan asuransi jiwa yang mempunyai usaha syariah :
a) Panin Life Tbk Syariah, didirkan tahun 2005
b) Allianz Life Syariah, didirikan tahun 2006
c) AIA Indonesia Syariah, didirikan tahun 2006
d) CAR Syariah, didirikan tahun 2007
e) Equity Life Syariah, didirikan tahun 2007
f) Mega Life Syariah, didirikan tahun 2007
g) Prudential Syariah, didirikan tahun 2007
h) Asuransi Takaful Umum, didirikan tahun 1995
i) Asuransi Tripakarta Syariah, didirikan tahun 2002
j) Asuransi Bringin Sejahtera Syariah, didirikan tahun 2003
k) MAA General Insurance, didirikan tahun 2003
l) Asuransi Binagriya Upakara Syariah, didirikan tahun 2003
m) Asuransi Jasindo Takaful, didirikan tahun 2004
n) Asuransi Central Asia Raya, didirikan tahun 2004
o) Adira Dinamika Insurance Syariah, didirikan tahun 2004
p) Asuransi Umum Bumida 1967 Syariah, didirikan tahun 2004
q) Staco Jasa Pratama Indonesia Syariah, didirikan tahun 2004
r) Asuransi Sinar Mas Syariah, didirikan tahun 2004
s) Asuransi Tokio Marine Syariah, didirikan tahun 2004
t) Asuransi Astra Buana Syariah, didirkan tahun 2005
3. Perusahaan asuransi kerugian syariah :
a) Asuransi Tugu Pratama Indonesia Syariah, didirikan tahun 2005
b) Allianz Utama Syariah, didirikan tahun 2006
c) Asuransi Ramayana Syariah, didirikan tahun 2007
d) Bintang Syariah, didirikan tahun 2007
e) Parolamas Syariah, didirikan tahun 2007
f) Mega Utama Syariah, didirikan tahun 2007
g) Reasuransi Internasional Indonesia, didirikan tahun 2005
h) Reasuransi Nasional Indonesia, didirikan tahun 2005
i) Maskapai Reasuransi Indonesia, didirikan tahun 2006.
Sedangkan pada tahun 2012 kurang lebih terdapat 37 perusahaan yang berbasis syariah.
Beriringan dengan perkembangan tersebut, perusahaan asuransi syariah yang telah ada pada
tanggal 14 agustus 2003 kemudian membentuk suatu wadah perkumpulan atau asosiasi yaitu
Asosiasi Asuransi Syariah Indonesia (AASI). AASI dibentuk selain wadah media komunikasi
sesama anggota, juga secara eksternal sebagai wadah resmi untuk mewakili asuransi
syariah, baik kepada pemerintah, legislative, maupun ke luar negeri. Terutama dalam rangka
membangun kerja sama dengan lembaga– lembaga serupa diluar negeri yang menggunakan
prinsip-prinsip syariah. AASI sebagai wadah tunggal asuransi syariah telah menyiapkan
sertifikasi ahli asuransi syariah sebagaimana telah diatur dalam Keputusan Menteri Keuangan
(KMK)6, bekerja sama dengan BPPK DepKeu, LPKG Yayasan Artha Bhakti Depkeu,
menyiapkan edukasi program yaitu Certified Islamic Insurance Specialist (CIIS). Saat itu
AASI telah memberikan Fertifkasi Ahli Asuransi Syariah kepada tujuh orang dengan gelar
professional FIIS (Fellow Islamic Insurance Society), dan sekitar 20 Ajun Ahli Asuransi
Syariah dengan gelar professional AIIS ( Ajunt Islamic Asurance Society). Perkembangan
asuransi syariah di Indonesia berkembang dengan baik sejak didirikan tahun 1994 lalu.
Perkembangan asuransi syariah di Indonesia tidak lepas dari tumbuh dan berkembang nya
maka pemerintah mengeluarkan kebijakan melalui SK. Menkeu No. 268/KMK.06/2002
tanggal 7 November 2002, yang memberi peluang bagi perusahaan asuransi konvensional
untuk menjalankan usahanya menjadi berbasis syariah. Dewasa ini dalam pertumbuhan
asuransi syariah beberapa tahun ini sangatlah tinggi karena banyak orang yang sadar akan
pentingnya mempunyai asuransi. Asuransi syariah sendiri juga mempunyai banyak
keunggulan dibandingkan dengan asuransi nonsyariah sehingga banyak sekali peminat yang
berminat untuk memiliki asuransi syariah. Asuransi dapat menjadi investasi jangka panjang
dan juga proteksi diri akan hal hal yang tidak diinginkan.
Produk keuangan sendiri sudah menjadi kebutuhan manusia dan dewasa ini orang orang lebih
selekif untuk menggunakan produk keuangan tersebut dengan menghindari hal hal yang
berunsur riba Perkembangan dan pelaksanaan asuransi syariah di Indonesia masih mengalami
kesulitan ataupun kendala sebagai suatu hambatan
D. Analisis SWOT
1. Pengertian dan Konsep Analisis SWOT Analisa SWOT (SWOT Analysis) adalah suatu
metode perencanaan strategis yang digunakan untuk mengevaluasi faktor-faktor yang
menjadi kekuatan (Strengths), Kelemahan (Weaknesses), Peluang (Opportunities), dan
Ancaman (Threats) yang mungkin terjadi dalam mencapai suatu tujuan dari kegiatan
proyek/kegiatan usaha atau institusi/lembaga dalam skala yang lebih luas. Untuk keperluan
tersebut diperlukan kajian dari aspek lingkungan baik yang berasal dari lingkungan internal
maupun eskternal yang mempengaruhi pola strategi institusi/lembaga dalam mencapai tujuan.
Dilihat dari sejarahnya dan penggunaannya saat ini, metode SWOT banyak dipakai di dunia
bisnis dalam menetapkan suatu perencanaan strategi perusahaan (strategic planning)
sehingga literatur mengenai metode ini banyak berkaitan dengan aspek penerapan di dunia
bisnis meskipun pada beberapa analisa ditemukan pula penggunaan SWOT untuk
kepentingan public policy. Metode SWOT pertama kali digunakan oleh Albert Humphrey
yang melakukan penelitian di Stamford University pada tahun 1960-1970 dengan analisa
perusahaan yang bersumber dalam Fortune 500. Meskipun demikian, jika ditarik lebih ke
belakang analisa ini telah ada sejak tahun 1920-an sebagai bagian dari Harvard Policy Model
yang dikembangkan di Harvard Business School. Namun pada saat pertama kali digunakan
terdapat beberapa kelemahan utama di antaranya analisa yang dibuat masih bersifat
deskripstif dan belum/tidak menghubungkan dengan strategi-strategi yang mungkin bisa
dikembangkan dari analisa kekuatan-kelemahan yang telah dilakukan. Analisis SWOT
merupakan bagian dari proses
perencanaan. Hal utama yang ditekankan adalah bahwa dalam proses perencanaan tersebut,
suatu institusi membutuhkan penilaian mengenai kondisi saat ini dan gambaran ke depan
yang mempengaruhi proses pencapaian tujuan institusi. Dengan analisa SWOT akan
didapatkan karakteristik dari kekuatan utama, kekuatan tambahan, faktor netral, kelemahan
utama dan kelemahan tambahan berdasarkan analisa lingkungan internal dan eksternal yang
dilakukan. Walaupun terdapat beberapa metode penentuan faktor SWOT, secara umum
terdapat keseragaman bahwa penentuan tersebut akan tergantung dari faktor lingkungan yang
berada di luar institusi. Faktor lingkungan eksternal mendapatkan prioritas lebih dalam
penentuan strategi karena pada umumnya faktor-faktor ini berada di luar kendali institusi
(exogen) sementara faktor internal merupakan faktor-faktor yang lebih bisa dikendalikan.
Kekuatan adalah faktor internal yang ada di dalam institusi yang bisa digunakan untuk
menggerakkan institusi ke depan. Suatu kekuatan/strenghth (distinctive competence) hanya
akan menjadi competitive advantage bagi suatu institusi apabila kekuatan tersebut terkait
dengan lingkungan sekitarnya, misalnya apakah kekuatan itu dibutuhkan atau bisa
mempengaruhi lingkungan di sekitarnya. Jika pada instutusi lain juga terdapat kekuatan yang
dan institusi tersebut memiliki core competence yang sama, maka kekuatan harus diukur
daribagaimana kekuatan relatif suatu institusi dibandingkan dengan institusi yang lain.
Sehingga dapat disimpulkan bahwa tidak semua kekuatan yang dimiliki institusi harus
dipaksa untuk dikembangkan karena adakalanya kekuatan itu tidak terlalu penting jika dilihat
dari lingkungan yang lebih luas. Halhal yang menjadi opposite dari kekuatan adalah
kelemahan. Sehingga sama dengan kekuatan, tidak semua kelemahan dari institusi harus
dipaksa untuk diperbaiki terutama untuk hal-hal yang tidak berpengaruh pada lingkungan
sekitar. Peluang adalah faktor yang di dapatkan dengan membandingkan analisa internal yang
dilakukan di suatu institusi (strenghth dan weakness) dengan analisa internal dari kompetitor
lain. Sebagaimana kekuatan peluang juga harus
diranking berdasarkan success probbility, sehingga tidak semua peluang harus dicapai dalam
target dan strategi institusi. Peluang dapat dikatagorikan dalam tiga tingkatan :
a) Low, jika memiliki daya tarik dan manfaat yang kecil dan peluangpencapaiannya juga
kecil.
b) Moderate : jika memiliki daya tarik dan manfaat yang besar namunpeluang pencapaian
kecil atau sebaliknya.
c) Best, jika memiliki daya tarik dan manfaat yang tinggi serta peluangtercapaianya besar.
Ancaman adalah segala sesuatu yang terjadi akibat trend erkembangan (persaingan) dan tidak
bisa dihindari. Ancaman juga bisa dilihat dari tingkat keparahan pengaruhnya (serousness)
dan kemungkinan terjadinya (probability of occurance). Sehingga dapat dikatagorikan :
a. Ancaman utama (major threats), adalah ancaman yang kemungkinan terjadinya tinggi dan
dampaknya besar. Untuk ancaman utama ini,diperlukan beberapa contingency planning yang
harus dilakukan institusiuntuk mengantisipasi.
b. Ancaman tidak utama (minor threats), adalah ancaman yang
dampaknya kecil dan kemungkinan terjadinya kecil c. Ancaman moderate, berupa kombinasi
tingkat keparahan yang tinggi namun kemungkinan terjadinya rendah dan sebaliknya.
Sehingga dari kacamata analisa lingkungan eksternal dapat dijelaskan bahwa :
a. Suatu institusi dikatakan memiliki keunggulan jika memiliki major opportunity yang besar
dan major threats yang kecil
b. Suatu institusi dikatakan spekulatif jika memiliki high opportunity dan threats pada saat
yang sama
c. Suatu institusi dikatakan mature jika memiliki low opportunity dan threat
d. Suatu institusi dikatakan in trouble jika memiliki low opportinity dan high threats.
2. Analisis SWOT Pada Asuransi Syariah di Indonesia
Pengertian analisis SWOT adalah salah satu bentuk analisis dalam manajemen dengan
menggunakan prinsip SWOT (Strength, Weaknesses, Opportunities, and Threats). Analsis
SWOT
digunakan untuk melihat kekuatan, kelemahan, peluang dan ancaman yang akan dihadapi
oleh perusahaan. Dengan melihat kekuatan yang dimiliki serta mengembangkan kekuatan
tersebut
dapat dipastikan bahwa perusahaan akan lebih maju dibanding pesaing yang ada. Demikian
juga dengan kelemahan yang dimiliki harus diperbaiki agar perusahaan bisa tetap eksis.
Peluang yang ada harus dimanfaatkan sebaik-baiknya oleh perusahaan agar volume penjualan
dapat meningkat. Dan ancaman yang akan dihadapi oleh perusahaan haruslah dihadapi
dengan mengembangkan strategi pemasaran yang baik. Apabila teknik swot analisis tersebut
diterapkan dalam kasus menentukan tujuan strategi manajemen pemasaran dapat diutarakan
sebelum menentukan tujuan-tujuan pemasaran yang ingin dicapai hendaknya perusahaan
menganalisis : kekuatan dan kelemahan, peluang bisnis yang ada, berbagai macam hambatan
yang mungkin timbul. Kinerja perusahaan dapat ditentukan oleh kombinasi faktor internal
dan eksternal. Kedua faktor tersebut harus dipertimbangkan dalam analisis SWOT. SWOT
adalah
singkatan dari lingkungan Internal Strengths dan Weaknesses serta lingkungan eksternal
Opportunities dan Thearts yang dihadapi dunia bisnis. Analisis SWOT membandingkan
antara
faktor eksternal Peluang dan Ancaman dan faktor internal Kekuatan dan Kelemahan.
Asuransi syariah sudah mulai dikenal semenjak berdirinya Syarikat Takaful Indonesia pada
tahun 1994. Pada tahun 2015 diperkirakan bahwa potensi penerimaan premi syariah di
Indonesia akan mencapai US$ 1,20 miliar. Pencapaian posisi ini menempatkan pada posisi
terbesar kedua setelah Malaysia yang diperkirakan oleh penelitian Institute of Islamic
Banking and Insurance di London sebesar US$ 1,22 miliar. Tetapi jika dibandingkan dengan
asuransi konvensional jumlah premi ini sangatlah kecil.7 Beberapa hal yang menjadi
penyebab relatif rendahnya penetrasi pasar asuransi syariah dalam sepuluh tahun terakhir
adalah rendahnya dana yang memback up perusahaan asuransi syariah, promosi dan edukasi
pasar yang relatif belum dilakukan secara efektif (terkait dengan lemahnya dana), belum
timbulnya industri penunjang asuransi syariah seperti broker broker asuransi syariah, agen,
adjuster, dan lain sebagainya, produk dan layanan belum diunggulkan diatas produk
konvensional, posisi pasar yang masih ragu antara penerapan konsep syariah yang
menyeluruh dengan kenyataan bisnis di lapangan yang terkadang sangat jauh dari prinsip
syariah, dukungan kapasitas reasuransi yang masih terbatas (terkait jua dengan dana) dan
belum adanya inovasi produk dan layanan yang benar-benar digali dari konsep dasar syariah.
Negara-negara dengan penduduk mayoritas muslim seperti Indonesia, pada umumnya
memiliki tingkat penetrasi dan tingkat density asuransi yang relatif lebih rendah dibandingkan
dengan negara-negara lain. Hal ini disebabkan oleh apa yang disebut sebagai halangan agama
yaitu keyakinan agama yang tidak memperkenankan praktek asuransi konvensional.
Selain dapat mengatasi hambatan agama tersebut, sifat alami asuransi syariah akan berpotensi
untuk berkembang di Indonesia karena beberapa alasan antara lain mayoritas
penduduknya beragama Islam akan cenderung menghormati solusi yang berasal dari
agamanya sendiri, ekonomi Indonesia yang secara signifikan bergantung pada sektor usaha
mikro,
kecil dan menengah (UMKM) akan cocok dengan pendekatan pengelolaan risiko melalui
konsep tolong menolong dalam asuransi syariah, sifat alami asuransi syariah yang
memungkinkan peserta mendapatkan bagian hasil akan lebih adil diterapkan pada masyarakat
karena tidak secara berlebihan menguntungkan satu pihak dan merugikan pihak lain, era
penerapan Good Corporate Governance (GCG) akan mendorong proses bisnis yang bersih
sehingga berdampak kondusif bagi timbulnya asuransi syariah dan sifat asuransi syariah
antara lain menghindarkan praktik-praktik yang mengandung unsur-unsur ketidakpastian dan
judi akan sejalan dengan praktik usaha yang penuh kehati-hatian di lingkungan ekonomi
global.
Asuransi syariah yang menggunakan Al-Quran dan sunnah nabi sebagai rujukannya
memiliki sumber inspirasi dan inovasi
yang tidak habis-habisnya dalam memberi kemaslahatan pada
umat. Konsep dasar asuransi syariah terutama yang
menggunakan sistem wakalah merupakan konsep asuransi yang akan terbebas dari
ketidakpastian usaha di sektor asuransi, prinsip dasar asuransi syariah yang mendorong orang
atau badan untuk saling tolong menolong sesama dengan bantuan operator asuransi syariah
sangat berbeda dengan prinsip dasar asuransi konvensional yang memposisikan nasabah
sebagai tertanggung dan perusahaan asuransi sebagai penanggung dan asuransi syariah
memberikan kepastian kehalalan bagi para pesertanya.8 Sistem asuransi Islam takaful
memiliki dua mekanisme utama yang merupakan prinsip dasar operasional perusahaan
takaful yaitu asas al mudharabah dan asas tabarrru‟. Dengan adanya kedua prinisip dasar
menjadikan sistem asuransi takaful ini selaras dengan hukum syariat. Selain dari itu,
perusahaan takaful juga mempunyai konsep wakalah dan wadiah dalam menljalankan
perniagaannya.9
a) Kekuatan
Dalam upaya pengembangan operator asuransi syariah baru di Indonesia, yang dapat menjadi
kekuatan positif adalah sebagai berikut :
1. Tenaga kerja profesional/ sumber daya manusia inti yang kompeten dan memilki integritas
moral dan ghirah Islam, yang berada dalam sebuah teamwork yang solid.
2. Pemegang saham yang memiliki visi dan misi syariah yang jelas.
3. Kelompok pemegang saham mampu mengusahakan ”captive market” awal.
4. Kelompok pemegang saham diharapkan memiliki infrastruktur teknologi dan potensi
tenaga ahli (mislanya: Fund manager).
5. Dalam aspek legal, sifat perjanjian yang memenuhi syarat syariah mampu memberi rasa
aman kepaa peserta asuransi syariah, selain unsur duniawi semata.
6. Adanya unsur dakwah.
7. Produk asuransi bersifat transparan.
Sebagai fakta dari kekuatan asuransi syariah adalah jika pada tahun 2000 jumlah asuransi
yang berbisnis dengan berdasarkan prinsip syariah adalah sebanyak 4 buah. Sebagai
perbandingan adalah pada tanggal 21 Agustus 2007 asuransi syariah yang sudah
mendapatkan rekomendasi dari DSN MUI sebanyak 37 asuransi syariah, 3 reasuransi syariah
dan 5 broker asuransi dan reasuransi yang beroperasi berdasarkan prinsip syariah.
b) Kelemahan
Sistem asuransi syariah dan “core team” asuransi syariah baru ini memiliki kelemahan yang
masih dalam tahap peningkatan
yaitu:
1. SDM pendukung (lapisan kedua,dst) belum banyak memahami bisnis syariah.
2. Dalam hal pemasaran, alternatif distributif relatif masih terbatas dibandingkan pola
konvensional.
3. Kompleksitas dalam sistem administrasi syariah (misalnya perhitungan bagi hasil dan
tingkat hasil investasi).
4. Permodalan yang terbatas akan mempengaruhi
5. Sistem/teknologi pendukung manajemen
6. Strategi bisnis
7. Ketersediaan infrasturktur (internal, eksternal, customer support,dll) Kekuatan dan
kelemahan dalam memperluas jaringan bisnis asuransi syariah terutama di Indonesia,
penjelasannya
adalah sebagai berikut : SDM pendukung (lapisan kedua, dst.) belum banyak memahami
bisnis syariah, dalam hal pemasaran, alternatif distribusi relatif masih terbatas dibanding pola
konvensional, kompleksitas dalam administrasi syariah (misalnya: perhitungan bagi hasil dan
tingkat hasil investasi) memerlukan dukungan sistem yang andal, permodalan yang terbatas
akan mempengaruhi:
1. Sistem/teknologi pendukung manajemen.
2. Strategi bisnis
3. Ketersediaan infrastruktiur (internal, external, customer support, etc.) Apabila pemegang
saham kurang mengharagi pentingnya investasi di bidang IT sebagai “modelling tools” dan
“administration tools”, pengalaman langsung/penerapan model terhadap bisnis riil belum
cukup (baru pada tahap teoritis), lemahnya”public relations” untuk mengkomunikasikan
keunggulan LKS
(ideloanya beralih dari “short term/hit and run marketing” menjadi “long term
marketing/customer relationship”).
c) Peluang Asuransi syariah di Indonesia sudah berjalan selama 14 (empat belas) tahun
semenjak pertama kali didirikan pada tahun
1994 yaitu dengan diresmikannya PT. Takaful Keluarga. Dibandingkan dengan asuransi
konvensional yang sudah beroperasi sejak tahun 1912 dengan berdirinya asuransi Bumiputera
maka usia asuransi syariah masih tergolong relative] muda. Namun dilihat dari jumlah
pertumbuhan perusahaan, asuransi syariah sangatlah menggembirakan yaitu 40 % setiap
tahun sementara yang konvensional hanya 25 %.10 Melihat pertumbuhan yang pesat ini
menunjukkan betapa besar peluang asuransi syariah untuk lebih berkembang lagi. Setidaknya
ada dua faktor penting yang bisa menjadi momentum berharga bagi berkembangnya asuransi
syariah di Indonesia, yaitu :
1. Ruang penetrasi produk asuransi di Indonesia masih sangat luas mengingat persentase
pemegang polis individual di Indonesia baru mencapai kisaran tiga persen (6,6 juta) dari total
penduduk sebesar 220 juta jiwa
2. Mayoritas penduduk Indonesia merupakan umat Islam, dan kehadiran produk yang sejalan
dengan konsep serta nilai-nilai beragama berpeluang besar untuk bisa diterima oleh
masyarakat luas.11 Sedikitnya masyarakat Indonesia yang ikut berasuransi menjadi peluang
bagi asuransi syariah untuk meningkatkan pangsa pasar, sejalan dengan meningkatnya
kebutuhan
masyarakat akan jasa asuransi misalnya untuk kebutuhan meningkatkan pendidikan anak,
meningkatnya biaya kesehatan dan lain-lainnya. Di samping itu besarnya penduduk Indonesia
yang beragama Islam menjadikan asuransi syariah berpeluang besar untuk lebih berkembang
lagi. Hal ini karena bagi orang muslim menjalankan aktifitas yang sesuai dengan tuntunan
Islam
tentunya akan menjadi pilihan utama, demikian juga dalam hal pilihan berasuransi tentunya
seorang muslim akan lebih memilih yang sesuai dengan ajaran Islam yaitu asuransi syariah
dari pada asuransi konvensional yang selama ini masih diragukan kehalalannya. Keunggulan
konsep asuransi syariah yang dapat memenuhi rasa keadilan juga menjadi peluang bagi
berkembangnya
asuransi syariah, misalnya konsep bagi hasil dalam asuransi syariah dimana jumlah yang
dibagi tergantung hasil yang didapat sehingga tidak ada yang dirugikan. Konsep bagi hasil ini
pula yang membuat perusahaan asuransi syariah dapat bertahan terhadap krisis ekonomi
tahun 1997, sehingga banyak perusahaan asuransi konvensional mulai melirik produk
asuransi syariah.
Konsep yang sesuai dengan syariah ini pula yang menjadikan asuransi syariah tidak hanya
hadir di negara yang berpenduduk mayoritas muslim melainkan juga di negaranegara yang
berpenduduk non muslim. Hingga kini di seluruh dunia sudah ada sekitar 45 (empat puluh
lima) asuransi syariah, misalnya di Singapura, Swiss, Amerika Serikat, Jeneva, Bahamas dan
lain-lain.12
Peluang dari bisnis asuransi syariah di Indonesia adalah keunggulan konsep asuransi syariah
dapat memenuhi peningkatan tuntutan fairness/rasa keadilan dari masyarakat, jumlah
penduduk beragama Islam di Indonesia lebih dari 180 juta orang, meningkatnya kesadaran
bermuamalah sesuai syariah, tumbuh subur khususnya pada masyarakat golongan menengah,
meningkatnya kebutuhan jasa suransi karena perkembangan ekonomi umat, tumbuhnya
lembaga keuangan syariah (LKS) lainnya seperti bank dan reksadana, kompetitor dalam
bisnis asuransi syariah ini masih sedikit, berlakunya undang-undang ototnomi daerah yang
kan memacu perkembangan ekonomi daerah, kebutuhan meningkatkan pendidikan anak,
meningkatnya risiko kehidupan, meningkatnya bea-bea kesehatan (harga obat,dll),
menurunnya rasa tolong menolong di masyarakat (tidak membudaya lagi), globalisasi
(teknologi internet sebagai penunjang bisnis), adanya UU Dana Pensiun, dan “Employee
Benefits” sebagai bagian dari paket perusahaan dalam rekrutmen karyawan. Sedikitnya
masyarakat Indonesia yang ikut berasuransi
menjadi peluang bagi asuransi syariah untuk meningkatkan pangsa pasar, sejalan dengan
meningkatnya kebutuhan masyarakat akan jasa asuransi misalnya untuk kebutuhan
eningkatkan pendidikan anak, meningkatnya biaya kesehatan dan lain-lainnya. Di samping
itu besarnya penduduk Indonesia yang beragama Islam menjadikan asuransi syariah
berpeluang besar untuk lebih berkembang lagi. Hal ini karena bagi orang muslim
menjalankan aktifitas yang sesuai dengan tuntunan Islam tentunya akan menjadi pilihan
utama, demikian juga dalam hal pilihan berasuransi tentunya seorang muslim akan lebih
memilih yang sesuai dengan ajaran Islam yaitu asuransi syariah dari pada asuransi
konvensional yang selama ini masih diragukan kehalalannya.
Sebagaimana disebut di atas, ada lebih dari 180 juta Muslim di Indonesia dan kesadaran akan
keislamannya terus meningkat, merupakan peluang pasar yang lebar. Permintaan terhadap
kehadiran lembaga keauangan syariah di berbagai tempat terus meningkat. Krisis ekonomi
dalam dua setengah tahun terakhir ini memperlihatkan bahwa Indonesia memerlukan konsep
lain
dalam menata perekonomiannya. Lembaga ekonomi syariah adalah pilihan yang paling
sesuai. Oleh karena itu, untuk memenuhi kebutuhan pasar, di samping juga mendidik
masyarakat, diperlukan lebih banyak bank syariah, – dan kini telah mulai bermunculan-, serta
asuransi syariah sebagai „counterpart‟nya. Kehadiran lembaga keuangan syariah baru akan
memacu persaingan yang sehat untuk pengembangan kualitas yang pada akhirnya akan
menguintungkan bangsa dan
negara. Asuransi Syariah di Indonesia merupakan peluang bisnis yang prospektif karena
seiring dengan perkembangan ke arah stabilitas politik dan ekonomi, dengan jumlah
penduduk lebih dari 180 juta jiwa, Indonesia merupakan salah satu portofolio investasi yang
mulai kembali dilirik para investor manca negara. Kenyataan bahwa sekitar 90% penduduk
beragama Islam dan bahwa kesadaran untuk mengekspresikan identitas kemuslimannya
semakin meningkat, telah menjadi potensi pasar yang besar. Sebagai contoh, usaha di bidang
makanan dan minuman berlabel halal, pakaian dan asesori muslim dan muslimah, perjananan
haji dan umroh, pendidikan dan publikasi Islami, meningkat dengan pesat dalam kurun waktu
15 tahun terakhir ini. Di lain pihak, sebagian ummat Islam memerlukan jaminan bahwa
segala interaksi muamalah yang dilakukannya dalam
upaya mencapai kesejahteraannya, sesuai dengan syariah. Kebutuhan akan lembaga keuangan
Islami bertambah kuat seiring dengan berkembangnya sektor industri jasa keuangan secara
umum. Untuk memenuhi permintaan ummat tersebut, diperlukan lebih banyak bank dan
asuransi syariah. Kehadiran lembaga-lembaga keuangan syariah lainnya dapat memacu
persaingan yang sehat, yang akan meningkatkan kualitas produk dan pelayanan. Beberapa
faktor lain yang merupakan peluang dan mendukung prospek asuransi syariah adalah:
1. Keunggulan konsep asuransi syariah dapat memenuhi peningkatan tuntutan rasa keadilan
dari masyarakat.
2. Jumlah penduduk beragama Islam di Indonesia lebih dari 180 Juta orang
3. Meningkatnya kesadaran bermuamalah sesuai syariah, tumbuh subur khususnya pada
masyarakat golongan menengah.
4. Meningkatnya kebutuhan jasa asuransi karena perkembangan ekonomi umat.
5. Tumbuhya lembaga keuangan syraiah (LKS) lainnya seperti perbankan dan reksadana.
6. Kompetitor dalam bisnis asuransi syariah masih sedikit.
7. Berlakunya undang-undang otonomi daerah yang akan memacu perkembangan ekonomi
daerah.
8. Kebutuhan meningkatkan pendidikan (anak).
9. Meningkatnya resiko kehidupan
10. Meningkatnya bea-bea kesehatan (harga dolar, dll)
11. Menurunnya rasa ”tolong menolong” di masyarakat (tidak membudaya lagi)
12. Globalisasi (teknologi internet sebagai penunjang bisnis)
13. Adanya UU Dana Pensiun.
14. ”Employee Benefits” sebagai bagian dari paket perusahaan
dalam rekrutmen karyawan.13

Sebagaimana disebut di atas, ada lebih dari 180 juta Muslim di Indonesia dan kesadaran
akan keislamannya terus meningkat, merupakan peluang pasar yang lebar. Permintaan
terhadap
kehadiran lembaga keauangan syariah di berbagai tempat terus meningkat. Krisis ekonomi
dalam dua setengah tahun terakhir ini memperlihatkan bahwa Indonesia memerlukan konsep
lain dalam menata perekonomiannya. Lembaga ekonomi syariah adalah pilihan yang paling
sesuai. Oleh karena itu, untuk memenuhi kebutuhan pasar, di samping juga mendidik
masyarakat, diperlukan lebih banyak bank syariah, – dan kini telah mulai bermunculan-, serta
asuransi syariah sebagai
„counterpart‟nya. Kehadiran lembaga keuangan syariah baru akan memacu persaingan yang
sehat untuk pengembangan kualitas yang pada akhirnya akan menguintungkan bangsa dan
negara. Persaingan. Pada saat ini, jumlah perusahaan asuransi jiwa di Indonesia ada 53. Salah
satunya adalah PT Asuransi Takaful Keluarga yang merupakan satu-satunya perusahaan
asuransi jiwa syariah di Indonesia sampai saat ini. Tabel 1 menunjukkan daftar perusahaan
asuransi jiwa secara alfabet. Tiga dari empat perusahaan terbesar adalah milik negara, yang
keempat masih berhubungan dengan program pemerintah. Mereka memiliki „captive market‟
atau pangsa pasar yang berkaitan dengan pemerintah. Dua diantaranya adalah perusahaan
kawakan yang telah ada sejak jaman kolonial Belanda. Yang menarik dalah bahwa PT
Asuransi Takaful Keluarga ternyata mampu menyisihkan 42 perusahaan lain yang sudah jauh
lebih lama beroperasi.
d) Ancaman, Tantangan dan Hambatan
Adapun ancaman yang akan dihadapi oleh asuransi Islam di Indonesia adalah:
1. Globalisasi, masuknya asuransi luar negeri yang memilki nilai kapital yang lebih besar dan
teknologi yang lebig canggih sehingga membuat premi asuransi menjadi lebih murah.
2. Asuransi konvensional dan lembaga keuangan lainnya yang lebih efisien.
3. Langkanya ketersediaan SDM yang qualified dan memilki semangat syari‟ah.
4. Citra lembaga keuangan syariah yang belum mapan di kalangan masyarakat padahal
ekspektasi masyarakat terhadap LKS sangat tinggi.
5. Sarana investasi syariah yang yang ada sekarang belum mendukung secara optimal utuk
perkembangan asuransi Islam.
6. Belum ada UU dan PP yang secara khusus mengatur asuransi Islam.
7. Budaya suap dan kolusi dalam asuransi kumpulan (group insurance) masih kental.
8. Alokasi pengeluaran masyarakat untuk asuransi masih sangat terbatas, hal ini tampaknya
berkaitan dengan masalah sosialisasi asuransi dan pengalaman berasuransi.
Prospek asuransi Islam di Indonesia akan cerah dan semakin prospektif jika umat Islam
dapat membaca dan memberdayakan peluang dan kekuatan yang dimiliki. Di
samping itu, asuransi Islam juga harus bisa meminimalisir ancaman atau tantangan yang
sudah dan akan muncul sekaligus memperbaiki kelemahan atau kekurangan yang ada.
Sebagai
sebuah lembaga keuangan syariah, asuransi Islam tidak boleh berkutat pada dataran simbol
simbol keagamaan. Konsekuensi ebagai bagian dari lembaga keuangan syariah sangat tinggi.
Oleh karena itu, konsistensi menjalankan usaha sesuai dengan syariah baik dalam
manajemen, produk, investasi, promosi dan lain-lainjuga harus diperhatikan dan
diaplikaskan. Sebagai
lembaga keuangan yang tentunya juga berorientasi keutungan (profit oriented), asuransi
Islam tidak boleh melupakan tujuan awal berdirinya asuransi Islam yang menggusung
semboyan sosial oriented sebagai wujud ta‟awun „ala al birr wa at taqwa. Tantangan terbesar
yang dihadapi oleh industri asuransi syariah bersumber pada dua hal utama yaitu permodalan
dan sumber daya manusia. Tantangan-tantangan lain seperti masalah ketidaktahuan
masyarakat terhadap produk asuransi syariah, image dan lain sebagainya merupakan akibat
dari dua masalah utama tersebut.14
1. Minimnya Modal
Beberapa hal yang menjadi penyebab relative rendahnya penetrasi pasar asuransi syariah
dalam sepuluh tahun terakhir adalah rendahnya dana yang memback up perusahaan asuransi
syariah, promosi dan edukasi pasar yang relative belum dilakukan secara efektif (terkait
dengan lemahnya dana), belum imbulnya industri penunjang asuransi syariah seperti
brokerbroker
asuransi syariah, agen, adjuster, dan lain sebagainya, produk dan layanan belum diunggulkan
diatas produk konvensional, posisi pasar yang masih ragu antara penerapan konsep syariah
yang menyeluruh dengan kenyataan bisnis di lapangan yang terkadang sangat jauh dari
prinsip syariah,
dukungan kapasitas reasuransi yang masih terbatas (terkait jua
14 http://irfan-kurniadi.blogspot.com/2010/05/asuransi-syariah-prospektantangan- dan.html dengan dana) dan
belum adanya inovasi produk dan layanan yang benar-benar digali dari konsep dasar syariah.
2. Kurangnya SDM yang Profesional Terus bertambahnya perusahaan asuransi syariah
merupakan kabar baik bagi perkembangan industri tersebut. Namun, sayangnya hal itu tidak
diimbangi dengan ketersediaan Sumber Daya Manusia (SDM) asuransi syariah yang
berkualitas.
Seringkali, pembukaan cabang atau divisi asuransi syariah baru hanya didukung jumlah SDM
terbatas. Berdasarkan data Islamic Insurance Society (IIS) per Maret lalu, sekitar 80 persen
dari seluruh cabang atau divisi asuransi syariah belum memiliki ajun ahli syariah. IIS
mengestimasi asuransi syariah Indonesia per Maret lalu memiliki sekitar 200 cabang dan
hanya didukung 30 ajun ahli syariah. Jumlah yang cukup sedikit bila dibandingkan kondisi
SDM di asuransi konvensional. Per Maret lalu, sebagian besar cabang asuransi konvensional
telah
memiliki sedikitnya seorang ajun ahli asuransi syariah. Jumlah tersebut sesuai dengan
ketentuan departemen keuangan Depkeu). Padahal, keahlian ajun ahli syariah sangat
dibutuhkan
dalam mendorong perkembangan inovasi produk asuransi syariah. Hal tersebut berdampak
pada kurang berkembangnya produk inovatif di industri asuransi syariah. Saat ini, sebagian
besar cabang atau divisi asuransi syariah lebih memilih untuk meniru produk asuransi
konvensional lalu dikonversi menjadi syariah (mirroring).
3. Ketidaktahuan Masyarakat Terhadap Produk Asuransi Syariah
Ketidaktahuan mengenai produk asuransi syariah (takaful) dan mekanisme kerja merupakan
kendala terbesar pertumbuhan asuransi jiwa ini. Akibatnya, masyarakat tidak tertarik
menggunakan asuransi syariah, dan lebih memilih jasa asuransi konvensional. Itulah hasil
riset Synovate mengenai alasan pemilihan asuransi syariah. Ketua Umum Asuransi
Syariah Indonesia Mohammad Shaifie Zein mengatakan, dari hasil survei Synovate, sebagian
besar responden tidak tertarik kepada asuransi jiwa syariah.
4. Dukungan Pemerintah Belum Memadai Meski sudah menunjukkan eksistensinya, masih
banyak kendala yang dihadapi bagi pengembangan ekonomi syariah di Indonesia. Soal
pemahaman masyarakat hanya salah satunya. Kendala lainnya yang cukup berpengaruh
adalah dukungan penuh dari para pengambil kebijakan di negeri ini, terutama menteri-
menteri dan lembaga pemerintahan yang memiliki wewenang dalam menentukan kebijakan
ekonomi. Pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono yang pada masa kampanye
pemilu kemarin menyatakan mendukung ekonomi syariah, belum sepenuhnya mewujudkan
dukungannya
itu dalam bentuk program kerja tim ekonomi kabinetnya. Kendala lainnya adalah masalah
egulasi. Penerapan syariah yang makin meluas dari industri keuangan dan permodalan
membutuhkan regulasi yang tidak saling bertentangan atau umpang tindih dengan aturan
sistem ekonomi konvensional.
Para pelaku ekonomi syariah sangat mengharapkan regulasi untuk sistem ekonomi
syariah ini bisa memudahkan mereka untuk berekspansi bukan malah membatasi. Saat ini,
peraturan tentang permodalan masih menjadi kendala perbankan syariah untuk melakukan
penetrasi dan ekpansi pasar.
5. Image.
Salah satu tantangan besar bisnis asuransi syariah di Indonesia dan negara lainnya,
menurut Zein, adalah meyakinkan masyarakat akan keuntungan menggunakan asuransi
syariah. “Perlu sekali mensosialisasikan asuransi syariah bukan saja berasal dari agama,
tetapi memperlihatkan
keuntungan.” Kenyataan di lapangan menunjukkan, bahwa para pelaku ekonomi syariah
masih menghadapi tantangan berat untuk menanamkan prinsip syariah sehingga mengakar
kuat dalam perekonomian nasional dan umat Islamnya itu sendiri. Perkembangan asuransi
syariah di Malaysia bisa disimak sebagai contoh yang bagus. Asuransi syariah di Malaysia
mulai muncul pada tahun 1984, dimana Pemerintah Malaysia ketika menumbuhkan asuransi
syariah terlebih dahulu membuat Takaful Act atau Islamic Banking Act baru kemudian
dikeluarkan license pembukaan perusahaan. Berbeda dengan Malaysia, di Indonesia asuransi
syariah berkembang dengan cepatnya sedangkan perundang-undangan khusus asuransi
syariah belum ada hingga sekarang.
Keadaan ini merupakan tantangan bagi berkembangnya asuransi syariah karena
dikhawatirkan akan menimbulkan kesemrawutan. Menurut Agus Edi Sumanto, Sekretaris
Jenderal Asosiasi Asuransi Syariah Indonesia, payung hukum asuransi syariah masih sangat
minim idealnya mesti ada undang-undang yang secara khusus mengatur asuransi syariah.15
Izin pendirian perusahaan asuransi syariah yang mudah menjadikan banyaknya perusahaan
asuransi syariah yang apabila tanpa dukungan aturan yang lengkap justru dikhawatirkan
membawa dampak negatif. Pasar menjadi sesak dalam waktu singkat, iklim kompetisipun
meningkat sehingga dikhawatirkan dalam kondisi ini para pemain mulai permisif terhadap
praktekpraktek yang sesungguhnya tidak sesuai dengan syariah. Secara stuktural, landasan
operasional asuransi yariah di Indonesia masih menginduk pada peraturan yang mengatur
usaha perasuransian secara umum (konvensional). Peraturan asuransi syariah yang masih
menginduk kepada peraturan asuransi konvensional ini menyebabkan asuransi syariah
terbentur ketentuan perpajakan yaitu tentang premi sesuai dengan Undang-undang Nomor 17
Tahun 2000 Tentang Perpajakan, penerimaan premi harus dicatat sebagai pendapatan
perusahaan dengan demikian premi merupakan objek pajak. Perlakuan ini tidak sejalan
dengan fatwa Dewan Syariah Nasional yang menempatkan premi pada asuransi syariah
bukan milik atau pendapatan perusahaan, melainkan tetap milik nasabah. Perusahaan hanya
pemegang amanah untuk mengelola premi itu sehingga tidak bisa dijadikan objek pajak.
Begitu juga dengan pembayaran bagi hasil kepada nasabah oleh Undangundang Nomor 17
Tahun 2000 disetarakan dengan dividen perusahaan kepada pemegang polis, sehingga
terkena ketentuanpajak sebesar 15 %. Padahal bila Dewan Syariah menetapkan premi
asuransi syariah bukan objek pajak maka bagi hasilpun bukan objek pajak, karena bagi hasil
akan menjadi biaya underwriting perusahaan yang bukan merupakan dividen.
Juga menjadi tantangan bagi asuransi syariah adalah dalam hal mengembangkan produk
asuransi yang memang beda dengan asuransi konvensional, sehingga adanya anggapan
bahwa asuransi syariah hanya mensyariahkan produk asuransi konvensional dapat
dieliminasi.
Menurut Muhaimin Iqbal, Ketua Asosiasi Asuransi Syariah dan Agus Edi Sumanto,
Direktur Utama Asuransi Takaful Keluarga, bahwa asuransi syariah hanya sekedar
memodifikasi
produk asuransi konvensional.16 Dalam hal PSAK (Pernyataan Standar Akuntansi Keuangan)
asuransi syariah kebanyakan juga masih memodifikasi dari PSAK asuransi konvensional,
karenanya perbedaan hakiki dari asuransi konvensional dengan syariah menjadi tidak terlihat
misalnya dana tabarru‟ tidak bisa disajikan dalam laporan keuangan resmi yang ada hanya
total
premi demikian juga dengan entry bagi hasil tidak terlihat. Padahal PSAK ini penting untuk
dimiliki asuransi syariah untuk membuat pengukuran kinerja asuransi syariah menjadi lebih
valid.17 Modal yang kecil juga menjadi tantangan bagi perkembangan asuransi syariah di
Indonesia. Di dalam Keputusan Nomor 426 Tahun 2003, Menteri Keuangan hanya
mensyaratkan modal kerja perusahaan 2 milyar sehingga menurut Muhammad Syakir Sula,
Ketua Islamic Insurance Society banyak yang asal membuka cabang s yariah, padahal dengan
dana sekecil itu perhitungan bisnis nya menjadi kurang masuk akal. Karena itulah Asosiasi
Asuransi Syariah Indonesia (AASI) mendorong pelaku industri asuransi syariah untuk
meningkatkan modal.18
Sumber Daya Manusia (SDM) yang handal di bidang asuransi dan syariah sangat diperlukan
untuk mendukung perkembangan asuransi syariah di Indonesia, sayangnya menurut Walter L.
Gaol, Direktur Asuransi Jiwa Great Eastern bahwa salah satu kendala penting yang dihadapi
adalah kurangnya SDM syariah. 19 Demikian juga Agus Haryadi menyebutkan bahwa salah
satu tantangan bagi perkembangan asuransi syariah di Indonesia adalah langkanya
ketersediaan
SDM yang “qualified” dan memiliki semangat syariah. Kesadaran masyarakat untuk ikut
berasuransi juga menjadi kendala bagi perkembangan asuransi syariah di Indonesia, ini
terbukti dari jumlah total penduduk Indonesia, pemegang polis individual baru mencapai
kisaran 3 %. Perkembangan asuransi konvensional yang kurang begitu menggembirakan
dibandingkan dengan kemajunan yang dicapai oleh negara lain walaupun telah dibuat
Undang-undang Nomor 2 Tahun 1992 Tentang Perasuransian dengan maksud untuk
meningkatkan gairah masyarakat untuk memanfaatkan jasa asuransi yang sekaligus juga
sebagai sarana mobilisasi dana untuk pembangunan. Hal ini karena dipengaruhi adanya
keraguan tentang kehalalan jasa asuransi konvensional.20 Kesadaran masyarakat yang masih
rendah ini menjadi
tantangan bagi asuransi syariah untuk memberikan pemahaman tentang asuransi syariah yang
terlepas dari unsur maisir, gharar dan riba. 21 Tak dapat dipungkiri bahwa masyarakat umum
sampai saat ini masih sulit menerima keberadaan lembaga asuransi dengan melihat kenyataan
bahwa selain faktor ekonomi, faktor transparansi dan banyaknya penyimpangan
bisnis juga ikut berperan dalam memberikan citra buruk bagi institusi keuangan ini. Data
pengaduan terhadap perkara ndonesia) maupun YLKAI (Yayasan Lembaga Konsumen
Asuransi Indonesia) menunjukkan angka-angka yang relatif masih tinggi. Jenis pengaduan
yang muncul biasanya berkisar pada masalah klaim yang ditolak, prosedur klaim dipersulit,
masalah nilai tunai, dan-lain-lain. Praktek-praktek seperti inilah yang menurut kacamata
konsumen dipandang sangat merugikan mereka.
Kendala-kendala lain dalam pengembangan asuransi
syariah diantaranya:
a) Kurangnya kesadaran masyarakat akan pentingnya keberadaan Asuransi syariah.
b) Masih terbatasnya produk-produk yang ditawarkan oleh asuransi syariah.
c) Kurangnya sosialisasi dan edukasi masyarakat mengenai asuransi syariah.
Sumber Daya Manusia dalam bidang Asuransi Syariah masih sangat rendah. Perkembangan
dan pelaksanaan asuransi yariah di Indonesia masih mengalami kesulitan ataupu kendala
sebagai suatu hambatan dalam asuransi syariah. Adapun kendala ataupun kesulitan yang
dihadapi perusahaan asuransi dalam mengembangkan asuransi syariah adalah :
a. Belum adanya payung hukum mengenai asuransi syariah. Belum ada payung hukum yang
secara khusus mengatur mengenai asuransi syariah di Indonesia.Selama ini, asuransi syariah
masih mendasarkan legalitasnya pada UU No. 2 tahun 1992 tentang Usaha Perasuransian.
Secara operasional asuransi syariah masih mengacu pada regulasi yang dikeluarkan oleh
pemerintah baik berupa peraturan pemerintah melalui PP No. 73 Tahun 1992 jo PP No. 63
Tahun 1999 jo PP No. 39 Tahun 2008 tentang Penyelenggaraan usaha perasuransian, maupun
regulasi menteri keuangan yang berkaitan dengan asuransi syariah dan juga fatwa yang
dikeluarkan oleh MUI melalui Fatwa DSN-MUI yang berkaitan dengan asuransi syariah.
Regulasi yang ada tersebut sudah lebih baik dan mendukung pertumbuhan dan perkembangan
asuransi
syariah karena regulasi tersebut dikeluarkan pemerintah melalui menteri keuangan berkaitan
dengan asuransi syariah, namun regulasi yang ada dan Fatwa DSN-MUI
belum bisa mengakomodasi asuransi syariah karena Fatwa DSN-MUI tidak mempunyai
kekuatan hukum, sehingga diperlukan peraturan perundang-undangan yang secara khusu
mengatur asuransi syariah. Namun, sampai saat ini belum ada payung hukum bagi asuransi
syariah, meskipun RUU Asuransi Syariah sudah lama diajukan ke DPR dan diharapkan RUU
ini akan segera disetujui DPR sebagaimana RUU Perbankan Syariah yang telah lebih dulu
disetujui belum lama ini.
b. Faktor sumber daya manusia. Masih terbatasnya sumber daya manusia yang benar-benar
mempunyai kualifikasi, mengerti mengenai syariah dan asuransi syariah, serta mempunyai
semangat perjuangan dan pengembangan ekonomi syariah khususnya asuransi syariah.
Minimnya sumber daya manusia ini disebabkan karena sebagian besar dari sumber daya
manusia yang ada merupakan lulusan dari program studi konvensional dan kurang paham
mengenai syariah
sehingga menyebabkan ketidakcocokan antara pengetahuan yang dipelajari saat di perguruan
tinggi dengan bidang kerja yang dijalaninya dan kondisi ini dapat menghambat
perkembangan ekonomi syariah. Selain jumlah sumber daya manusia yang minim, kendala
dari segi sumber daya manusia yaitu masih rendahnya motivasi diri dan belum ada
pemahaman yang matang mengenai
segmentasi pasar dari team marketing perusahaan sehingga masih ada kekacauan pasar.
c. Manajemen kantor cabang. Berdasarkan hasil observasi lapangan ditemukan fakta bahwa
manajemen kantor cabang masih tumpang tindih. Kantor cabang belum mempunyai
pemisahan fungsi manajemen layaknya di kantor pusat sehingga dimungkinkan terjadi
tumpang tindih diantara fungsi manajemen tersebut.
d. Kendala operasional. Kendala operasional ini berkaitan dengan prosedur akseptasi lebih
ketat, misalnya untuk dapat mengcover asuransi personal accident diperlukan list peserta dan
jika tidak ada maka berakibat jatuh ke gharar, sedangkan di asuransi konvensional tanpa list
peserta (no name) sudah bisa di cover.Selain dalam hal prosedur akseptasi, kendala
operasional ini juga dapat terjadi dalam hal pembayaran yang tidak lancar (macet) karena
suatu hal peserta tidak dapat menyetorkan premi pada waktunya bahkan dapat mengakibatkan
terjadinya kemacetan dalam
pembayaran. Jika terjadi demikian perusahaan memberikan toleransi kepada peserta sehingga
hubungan antara peserta dengan perusahaan tidak terputus dan tetap dapat proteksi
dengan dana tabarru‟ dicover dengan jumlah nilai tunai yang ada dan apabila pembayaran
sudah kembali lancar,nilai tunai yang dipinjam akan dikembalikan. Namun apabila peserta
memutuskan untuk berhenti sebelum masa asuransi berakhir maka akan diberikan seluruh
nilai tunai yang sudah terkumpul. Selain itu kendala operasional ini proses penyelesaian polis
yang cenderung lama bisa lebih dari 14 (empat belas) hari sejak surat permintaan diajukan
oleh calon peserta bahkan bisa mencapai 30 (tiga puluh) hari atau lebih, terutama bagi Kantor
Cabang yang belum
menggunakan sistem online, belum diberi kewenangan underwriting oleh Kantor Pusat serta
harus melewati prosedur seleksi field underwriting dan underwriting dimulai dari kantor
cabang ke kantor wilayah baru kemudian diteruskan ke kantor pusat untuk diproses
underwriting
e. Kurangnya kesadaran berasuransi. Kesadaran masyarakat Indonesia untuk berasuransi
masih sangat kurang (rendah), untuk jumlah pastinya secara normatif tidak bisa disebutkan,
namun partisipasi ekonomi syariah saat ini baru 2%. Kurangnya kesadaran ini terbukti
dengan ratio
asuransi nasional yang hanya mencapai 12% dari jumlah penduduk Indonesia dan untuk
asuransi syariah sekitar 1,2%.
f. ketidaktahuan masyarakat. Pada dasarnya masyarakat belum banyak yang mengetahui
mengenai asuransi syariah, operasional maupun produk asuransi syariah serta keberadaan
divisi atau kantor cabang syariah pada perusahaan asuransi konvensional disebabkan karena
sosialisasi yang dilakukan masih kurang intens dan belum ke semua customer. Akibat
ketidaktahuan akan asuransi syariah ini, bagi masyarakat yang mempunyai pengalaman
traumatik dengan asuransi konvensional berpendapat bahwa asuransi ini tidak jauh berbeda
dengan asuransi yangpernah mereka ikuti dimana uang mereka akan hilang dan sulit dalam
prosedural sehingga mereka merasa enggan, cenderung tidak simpatik dan non kooperatif
ketika disinggung mengenai asuransi syariah. Sedangkan bagi masyarakat yang masih netral,
beranggapan bahwa asuransi itu mahal sehingga diperlukan anggaran khusus dan ada dana
lebih untuk berasuransi, prosedur yang rumit dan masih binggung dengan produk dalam
asuransi syariah yang sekiranya sesuai dengan kondisi dirinya. Dua kelompok masyarakat ini,
setelah diberi penjelasan singkat mengenai asuransi syariah mulai terbuka cakrawala
pemikirannya.
g. adanya perasaan traumatik pada asuransi konvensional. Perasaan traumatik ini lahir
karena mempunyai pengalaman dengan asuransi konvensional yaitu ketika mereka sebagai
nasabah asuransi konvensional dan karena suatu hal tidak dapat menunaikan kewajibannya
membayar premi maka ketika mereka akan mengurus asuransi tersebut mengalami kesulitan
prosedural dan bahkan dalam polis secara jelas dan terang terdapat klausa bahwa apabila
tidak sanggup melakukan pembayaran maka uang yang sudah dibayar tidak bisa
dikembalikan.
E. Prospek Asuransi Syariah
Berasuransi secara Islam merupakan bagian dari prinsip hidupm yang berdasarkan
tauhid. Setiap manusia menyadari bahwa sesungguhnya setiap diri tidak memiliki daya
apapun ketika datang musibah dari Allah SWT, apakah itu berupa kecelakaan, kematian, atau
terbakarnya toko yang kita miliki. Ada berbagai cara bagaimana manusia menangani risiko
terjadinya musibah. Cara pertama adalah dengan menanggungnya sendiri (risk retention),
yang kedua, mengalihkan risiko ke pihak lain (risk transfer), dan yang ketiga, mengelolanya
bersama-sama (risk sharing). Menarik untuk direnungi bahwa sejak dari awal keberadaannya,
mekanisme asuransi Islam senantiasa terkait dengan kelompok. Ini berarti, musibah bukanlah
permasalahan individual, melainkan
kelompok.Sekalipun, misalnya, musibah itu hanya menimpa individu ertentu (particular
risks). Apalagi apabila musibah itu mengenai masyarakat luas (fundamental risks) seperti
gempa bumi dan banjir. Sehingga esensi keberadaan asuransi dalam kehidupan dinilai
penting. Tidak dapat dipungkiri bahwa masyarakat umum sampai saat ini masih sulit
menerima keberadaan lembaga asuransi dengan melihat kenyataan bahwa selain faktor
ekonomi, faktor transparansidan banyaknya penyimpangan bisnis juga ikut berperan dalam
memberikan citra buruk bagi institusi keuangan ini. Data pengaduan terhadap perkara
asuransi yang masuk ke YLKI (Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia) maupun YLKAI
(Yayasan Lembaga Konsumen Asuransi Indonesia) menunjukkan angka-angka yang relatif
masih tinggi. Jenis pengaduan yang muncul biasanya berkisar pada masalah klaim yang
ditolak, prosedur klaim dipersulit, masalah nilai tunai, dan-lain-lain. Praktik-praktik seperti
inilah yang menurut kacamata konsumen dipandang sangat merugikan mereka. Asuransi
syariah berpeluang sangat besar untuk lebih berkembang lagi karena Masyarakat Indonesia
baru sedikit (3 %) yang ikut berasuransi, Mayoritas penduduk Indonesia beragama Islam
yang tentunya akan memilih asuransi syariah dari pada asuransi konvensional Karena konsep
asuransi syariah dapat memenuhi rasa keadilan. Keberhasilan sistem asuransi tidak
sepantasnya diukur berdasarkan total uang yang dapat dikumpulkan atau keuntungan yang
diraih melalui lembaga dan badan yang telah dibentuknya. Sebaliknya, keberhasilannya harus
diukur dari sudut seberapa besar sumbangan yang telah diberikannya untuk keselamatan
hidup anggota masyarakat dan baktinya untuk meringankan beban bencana dan malapetaka
yang dihadapi oleh mereka. Indonesia diyakini akan menjadi tren perkembangan asuransi
yariah global dalam beberapa tahun kedepan. Dengan adanya ketentuan pemenuhan modal
minimum yang semakin besar dan pertumbuhan industri keuangan syariah lainnya seperti
perbankan, membuat Indonesia akan menjadi pemain asuransi syariah terkemuka di Asia
Tenggara. Landasannya, perkembangan perbankan syariah syariah yang saat ini telah
diramaikan oleh sembilan bank umum syariah , akan diikuti oleh asuransi syariah. Premi
industri asuransi syariah global pada tahun 2010 mencapai AS$ 8,9 miliar. 22 Perkembangan
signifikan ini tidak terlepas dari faktor Indonesia dan Uni Emirat Arab. Indonesia sendiri
mencatat pertumbuhan rata-rata asuransi syariah masing-masing sebesar 35% dan 135%.
Menurut Kepala Perasuransian Syariah Biro Perasuransian Bapepam-LK kementrian
keuangan, pangsa industri asuransi syariah bisa jadi melebihi pangsa perbankan syariah. Pada
akhir 2009 lalu, total premi asuransi syariah tumbuh hingga 78% dibandingkan tahun
sebelumnya dengan pencapaian pangsa pasar sebesar 2,9%.
Premi bruto asuransi syariah di tahun 2009 tercatat mencapai Rp 2,053 triliun, naik dari 2008
yang membukukan angka sekitar Rp 1,4 triliun. Saat ini pelaku usaha asuransi syariah
terdapat 43 buah yang terdiri dari empat perusahaan asuransi syariah dan 39 unit asuransian
reasuransi syariah. Ketua Umum Asosiasi Syariah Indonesia Muhaimin Iqbal menyatakan
hingga Januari 2008, di Indonesia sudah ada 3 perusahaan yang full asuransi syariah, 32
cabang asuransi syariah,
dan 3 cabang reasuransi syariah. Menurut beliau pertumbuhan premi industri bisa menembus
Rp 1 triliun tahun ini. Rencana masuknya asuransi raksasa di pasar asuransi syariah
diharapkan mendukung pencapaian target itu. Ia mengatakan perolehan premi industri
asuransi syariah tanah air diperkirakan kembali mengulang prestasi tahun lalu dengan tumbuh
sebesar 60%-70%. pada 2006, industri asuransi syariah membukukan pertumbuhan premi
sebesar 73% dengan nilai total Rp 475 miliar. Predikisnya hingga akhir 2007 bisa mencapai
Rp 700 miliar kalau tahun depan tumbuh 50% saja, sampai melebihi Rp 1 triliun. Kendati
asuransi syariah mengalami pertumbuhan yang pesat, kontribusi terhadap total industri baru
mencapai 1,11% per 2006
dan diperkirakan meningkat ke posisi 1.33% tahun ini. Hal itu tidak terlepas dari jumlah
pelaku industri asuransi syariah yang masih terbatas dan baru menunjukkan peningkatan
dalam dua tahun terakhir. Ada sejumlah alasan mengapa institusi keuangan konvensional
yang ada sekarang ini mulai melirik sistem syariah, antara lain pasar yang potensial karena
mayoritas penduduk Indonesia beragama Islam dan kesadaran mereka untuk berperilaku
bisnis secara Islami. Potensi ini menjadi modal bagi perkembangan ekonomi umat di masa
datang. Selain itu, terbukti bahwa institusi ekonomi yang menerapkan prinsip syariah, mampu
bertahan di tengah krisis ekonomi yang melanda Indonesia. Selain perbankan, sektor
ekonomi syariah lainnya yang mulai berkembang adalah asuransi syariah. Prinsip asuransi
syariah pada intinya adalah kejelasan dana, tidak mengadung judi dan riba atau bunga. Sama
halnya dengan perbankan syariah, melihat potensi umat Islam yang ada di Indonesia, prospek
asuransi syariah sangat menjanjikan. Dalam sepuluh tahun ke depan diperkirakan Indonesia
bisa menjadi negara yang pasar asuransinya paling besar di dunia. Seorang CEO perusahaan
asuransi syariah asal Malaysia, Syed Moheeb memperkirakan, tahun 2008 mendatang
asuransi syariah bisa mencapai 10 persen > market share asuransi konvensional.
Data dari Asosiasi Asuransi Syariah di Indonesia menyebutkan, tingkat pertumbuhan
ekonomi syariah selama 5 tahun terakhir mencapai 40 persen, sementara asuransi
konvensional hanya 22,7 persen. Perbankan dan asuransi, hanya salah satu dari industri
keuangan syariah yang kini sedang berkembang pesat. Pada akhirnya, sistem ekonomi
syariah akan membawa dampak lahirnya pelaku-pelaku bisnis yang bukan hanya berjiwa
wirausaha tapi juga berperilaku Islami, bersikap jujur, menetapkan upah yang adil dan
menjaga keharmonisan hubungan antara atasan dan bawahan. Bisa dibayangkan
kesejahteraan yang bisa dinikmati umat jika penerapan ekonomi syariah ini sudah mencakup
segala aktivitas ekonomi di Indonesia. Peluang penerapan ekonomi syariah masih terbuka
luas.23 Prospek asuransi Islam di Indonesia akan cerah dan semakin prospektif jika umat
Islam dapat membaca dan memberdayakan peluang dan kekuatan yang dimiliki. Di samping
itu, asuransi Islam juga harus bisa meminimalisir ancaman atau tantangan yang sudah dan
akan muncul sekaligus memperbaiki kelemahan atau kekurangan yang ada. Sebagai sebuah
lembaga keuangansyariah, asuransi Islam tidak boleh berkutat pada dataran simbol-simbol
keagamaan. Konsekuensi sebagai bagian dari lembaga keuangan syariah sangat tinggi. Oleh
karena itu, konsistensi menjalankan usaha sesuai dengan syariah baik dalam manajemen,
produk, investasi, promosi dan lain-lainjuga harus diperhatikan dan diaplikaskan. Sebagai
lembaga keuangan yang tentunya juga berorientasi keutungan (profit oriented), asuransi
Islam tidak boleh melupakan tujuan awal berdirinya asuransi Islam yang menggusung
semboyan sosial oriented sebagai wujud ta‟awun „ala al birr wa attaqwa.
Syariah di Indonesia Merupakan Peluang Bisnis yang Prospektif, karena seiring dengan
perkembangan ke arah stabilitas politik dan ekonomi, dengan jumlah penduduk lebih dari 180
juta jiwa, Indonesia merupakan salah satu portofolio investasi yang mulai kembali dilirik para
investor manca negara. Kenyataan bahwa sekitar 90% penduduk beragama Islam dan bahwa
kesadaran untuk mengekspresikan identitas kemuslimannya semakin meningkat,
telahmenjadi potensi pasar yang besar. Sebagai contoh, usaha di bidang makanan dan
minuman berlabel halal, pakaian dan asesori muslim dan muslimah, perjananan haji dan
umroh, pendidikan dan publikasi
Islami, meningkat dengan pesat dalam kurun waktu 15 tahun terakhir ini. Selain itu, sebagian
ummat Islam memerlukan jaminan bahwa segala interaksi muamalah yang dilakukannya
dalam upaya mencapai kesejahteraannya, sesuai dengan syariah. Kebutuhan akan lembaga
keuangan Islami bertambah kuat seiring dengan berkembangnya sektor industri jasa
keuangan secara umum. Untuk memenuhi permintaan ummat tersebut, diperlukan lebih
banyak
bank dan asuransi syariah. Kehadiran lembaga-lembaga keuangan syariah lainnya dapat
memacu persaingan yang sehat, yang akan meningkatkan kualitas produk dan pelayanan. 24
F. Strategi Pengembangan Asuransi Syariah
Berasuransi secara Islam merupakan bagian dari prinsip hidup yang berdasarkan tauhid.
Setiap manusia menyadari bahwa sesungguhnya setiap diri tidak memiliki daya apapun
ketika datang musibah dari Allah SWT, apakah itu berupa kecelakaan, kematian, atau
terbakarnya toko yang kita miliki. Ada berbagai cara bagaimana manusia menangani risiko
terjadinya musibah. Cara pertama adalah dengan menanggungnya sendiri (risk retention),
yang kedua, mengalihkan risiko ke pihak lain (risk transfer), dan yang ketiga, mengelolanya
bersama-sama (risk sharing). Menarik untuk direnungi bahwa sejak dari awal keberadaannya,
mekanisme asuransi Islam senantiasa terkait dengan kelompok. Ini berarti, musibah bukanlah
permasalahan individual, melainkan kelompok. Sekalipun, misalnya, musibah itu hanya
menimpa individu tertentu (particular risks). Apalagi apabila musibah itu mengenai
masyarakat luas (fundamental risks) seperti gempa bumi dan banjir. Sehingga esensi
keberadaan asuransi dalam kehidupan dinilai penting. Berdasarkan konsep Risk Based
Capital (RBC) perusahaan asuransi di Indonesia sebenarnya dapat beroperasi dengan modal
yang sangat rendah (diatas Rp 3 milyar) asal sehat dan memenuhi Risk Based Capital diatas
120%. Asuransi syariah dalam bentuk cabang atau divisi dari perusahaan asuransi
konvensional dapat beroperasi dengan penyisihan modal minimal Rp 2 milyar.
Kemudahan-kemudahan permodalan ini disatu sisi baik untuk mendorong timbulnya
perusahaan asuransi/cabang/divisi syariah. Di sisi lain sebenarnya harus disadari bahwa
ketentuan minimum
tersebut kurang mendorong timbulnya perusahaan asuransi yang sehat. Struktur permodalan
yang kuat sangat dibutuhkan untuk mengangkat industri asuransi syariah. Dengan modal
yang kuat perusahaan asuransi syariah akan dapat melaksanakan fungsi-fungsi yang
semestinya, antara lain edukasi pasar melalui berbagai media komunikasi untuk menjelaskan
keberadaan asuransi syariah, keunggulannya, manfaatnya serta kebersihan dari keraguan,
pengembangan produk secara berkelanjutan, back-uo keuangan yang kokoh untuk
membangkitkan kepercayaan publik.
Untuk Mengatasi kekurangan SDM yang Profesional dapat diatasi dengan akan mendorong
peningkatan kuantitas dan kualitas SDM asuransi syariah melalui beberapa program
sertifikasi agar perkembangan industri didukung ketersediaan fellow dan associate
berkualitas.Untuk Memasyarakatkan dan Meningkatkan Asuransi syariah maka LKS harus
mengembangkan teknologi informasi yang terdepan, serta meningkatkan promosi dan
sosialisasi di segala lapisan masyarakat. Menurutnya, semua pihak harus bekerja keras untuk
memperkenalkan sistem asuransi syariah di Indonesia agar masyarakat mengetahui ada solusi
dalam pengelolaan risiko secara Islami Pemerintah Juga harus lebih mendukung Asuransi
Syariah, para ekonom yang ada di kabinet saat ini sebaiknya meninggalkan sistem ekonomi
kapitalis dan mengikuti aturan main kapitalis, sehingga bisa keluar dari krisis. Penerapan
syariah yang makin meluas dari industri keuangan dan permodalan membutuhkan regulasi
yang tidak saling bertentangan atau tumpang tindih dengan aturan sistem ekonomi
konvensional. Para pelaku ekonomi syariah sangat mengharapkan regulasi untuk sistem
ekonomi syariah ini bisa memudahkan mereka untuk berekspansi bukan malah membatasi.
Saat ini, peraturan tentang permodalan masih menjadi kendala perbankan syariah untuk
melakukan penetrasi dan ekpansi pasar. Pemerintah sebagai regulator belum mengeluarkan
kebijakan di bidang asuransi syariah sebagaimana halnya pada perbankan syariah yang
memiliki UU Perbankan Syariah. Sekarang ini sudah ada regulasi yang memadai, tapi
rasanya belum cukup. Bahkan kalau memungkinkan asuransi juga diberikan insentif, Insentif
yang diharapkan misalnya dalam bentuk perpajakan atau bentuk lainnya. Dengan adanya
insentif dan regulasi yang memadai, diberharapkan hal tersebut dapat merangsang industri
syariah agar bisa berkembang lebih cepat. Selain pihak regulator, DSN dapat
mengeluarkan fatwa yang dapat mengakselerasi industri asuransi syariah. Asuransi syariah
juga masih menemukan kendala dari masyarakat yang memiliki kesalahpahaman atas
asuransi syariah.
Asuransi syariah dipandang harus murah, mudah dan untung. Padahal asuransi juga
menghitung bisnis dan laba, Sementara itu lingkungan bisnis ekonomi saat ini yang rentan
terhadap penyogokan membuat asuransi syariah tak bisa masuk ke dalam bisnis tersebut.
keberhasilan sistem asuransi tidak sepantasnya diukur berdasarkan total uang yang dapat
dikumpulkan atau keuntungan yang diraih melalui lembaga dan badan yang telah
dibentuknya. Sebaliknya, keberhasilannya harus diukur dari sudut seberapa besar sumbangan
yang telah diberikannya untuk keselamatan hidup anggota masyarakat dan baktinya untuk
meringankan beban bencana dan malapetaka yang dihadapi oleh mereka. Inilah sebenarnya
esensi dari tujuan Asuransi Syariah.
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Munculnya asuransi syariah pertama kali di Indonesia tak lepas dari nama Asuransi
Takaful, yang dibentuk oleh holding company PT Syarikat Takaful Indonesia (STI) pada
tahun 1994. Terbentuknya Asuransi Takaful saat itu memperkuat keberadaan lembaga
perbankan syariah yang sudah ada terlebih dahulu, yakni Bank Muamalat karena asumsinya
Bank Muamalat juga membutuhkan lembaga asuransi yang dijalankan dengan prinsip yang
sama.
Pembentukan awal Takaful disponsori oleh, Yayasan Abdi Bangsa, Bank Muamalat
Indonesia, dan Asuransi Jiwa Tugu Mandiri. Saat itu para wakil dari tiga lembaga ini
membentuk Tim Pembentukan Asuransi Takaful Indonesia atau TEPATI. Perkembangan
asuransi syariah di Indonesia berkembang dengan baik sejak didirikan tahun 1994 lalu.
Perkembangan asuransi
syariah di Indonesia tidak lepas dari tumbuh dan berkembangnya bank syariah. Pertumbuhan
asuransi syariah beberapa tahun ini sangatlah tinggi karena banyak orang yang sadar akan
pentingnya mempunyai asuransi. Asuransi syariah sendiri juga mempunyai banyak
keunggulan dibandingkan dengan asuransi non-syariah sehingga banyak sekali peminat yang
berminat untuk memiliki asuransi syariah. Asuransi dapat menjadi investasi jangka panjang
dan juga proteksi diri akan hal hal yang tidak diinginkan. Produk keuangan sendiri sudah
menjadi kebutuhan manusia dan dewasa ini orang orang lebih selekif untuk menggunakan
produk keuangan tersebut dengan menghindari hal hal yang berunsur riba. Analisis Swot
adalah sebuah bentuk analisis situasi dan kondisi yang bersifat deskriptif (memberi
gambaran). Analisis ini menempatkan situasi dan kondisi sebagai faktor masukan, yang
kemudian dikelompokkan menurut kontribusinya masing-masing. Analisis Swot sangat
penting perannya dalam meningkatkan mutu
pendidikan karena analisis dan gambaran yang diberikan merupakan tolok ukur dalam
mengembangkan lembaga/satuan pendidikan lebih lanjut.Setelah analisis, perlu dirumuskan
visi,misi, tujuan, dan program kerja yang lebih konkrit. Indonesia sebagai negara dengan
jumlah penduduk yang besar sekaligus merupakan negara berpenduduk muslim yang terbesar
ditambah lagi dengan meningkatnya kesadaran masyarakat untuk semakin mengekspresikan
identitas kemusliman mereka merupakan pasar yang empuk dan berpotensi besar. Data
menyatakan dalam beberapa kurun waktu terakhir penjualan produk-produk islami(busana
muslim dan muslimah, makanan dan minuman yang berlabelkan „halal‟, perjalanan haji dan
umroh, dll.) mengalami kenaikan yang signifikan. Di lain sisi kebutuhan kenyamanan
bermuamalah dalam transaksi keuangan pun meningkat pesat, sehingga diperlukan lebih
banyak lembaga-lembaga keuangan ataupun lembaga pembiayaan yang bernuansa syariah.
Demikianlah gambaran mengenai analisis SWOT bisnis asuransi syariah di Indonesia.
DAFTAR PUSTAKA

Al Quran. Ab Mumin Ab Ghani.1999. Sistem kewangan Islam dan pelaksanaannya di


Malaysia. Kuala Lumpur: JAKIM.
Abd. Basir Bin Mohamad & Jafril Kholil (pnyt.).1998. Isu syariah dan undang-undang. Siri
7. Bangi: Pusat Teknologi Pendidikan UKM.
Abd. Jalil Borham (pnyt.). 1999. Sains mu’amalah Islam di Malaysia. Skudai : UTM.
Abdul Manan, Muhammad.1995. Teori dan Praktek Ekonomi Islam. Dana Bhakti Wakaf,
Yogyakarta
Abdullah, Daud Vicary Dan Keon Chee, 2012. Buku Pintar Keuangan Syariah. Jakarta:
Zaman
Abi Jaib, Sa’di. 1403H/1983. al-Ta’min baina al-hazri wa alibahah. Damaskus : Dar al-Fikri.
Abu Zahrah, Muhammad. t.th. Fi al-mujtama’ al-Islamiy. Qahirah: Dar al-Fikr al-‘Arabiy.
AESEC & PLIM (pngr.). 1983. System of takaful for Malaysia. Kertas Kerja Seminar On
Insurance. Universiti Kebangsaan Malaysia, Bangi, 18 Oktober.
Afzal al-Rahman. 1982. Economic doctrines of Islam. Lahor: Islamic Publication Ltd.
Aidit Ghazali & Sarimah Radzi (pnyt.).1997. Bangsa Melayu dan kejayaan ekonomi Islam
serantau. Kuala Lumpur: INMID. al-‘Ajlani, Abdullah bin Yusuf. 1417H/1997. al-Lu’lu al-
makin min
fatawa Abdullah bin Abd al-Rahman al-Jibrin. Riyad: Dar al- Furqan.
al-Asqalani, Ahmad bin Ali bin Hajar. 1416H/1996. Fath al-bariy bi
al-sharh al-sahih al-Bukhari. Beirut: Dar al-Fikr.
al-Bahi, Muhammad. 1990. Nizam al-ta’min fi huda ahkam al-Islam wa dharurat al-
mujtama’ al-mahadir. al-Jazair: al-Maktabah al- Shirkah al-Jaza’iriyah.
al-Bukhari, Abu Abdillah Muhammad bin Ismacil bin Ibrahim bin Mughirah bin Bardizbah.
t.th. al-sahih al-Bukhari, Beirut: Dar al-Jail.
al-Hazliyah, Muhammad Awad. 1996. Fiqh al-mu’amalat wa nizam al- ‘uqubat fi al-Islam.
Amman: Dar Ammar.
Ali Mahmud, Abd al-Latif Mahmud. 1414H/1993. al-Ta’min alijtima ’i fi dhau’i al-shari’ah
al-Islami. Beirut: Dar al-Nafais.
Ali Mahmud, Abdullah bin Zaid. 1402H/1982. Ahkam ‘uqud alta’min wa makanuha min
shari’ah al-din. Beirut: Dar al-Fikr.
al-Jamal, Muhammad Abd al-Mun’im.1992. Ensiklopedia ekonomi Islam. Terj. Salahuddin
Abdullah. Jil. 2. Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka.
al-Jumhur al-Arabiyah al-Muttahidah. 1382H/1963. Usbu’ al-fiqh al- Islamiyah wa mahrajan
al-Imam Ibn Taimiyah. al-Majlis al-A’la liri’ayah al-Qanun wa al-Adab wa al-‘ulum al-
Ijtima’iyah. Damaskus, 16-21 Syawal 1380H (1-6 April 1961). Kairo: Kausta Tasaumas wa
Shirkah.
al-Misri, Abdullah al-Sami’. 1993. Perniagaan dalam Islam. Terj.
Ahmad Haji Hasbullah. Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka.
al-Misri, Abdullah al-Sami’.1980. al-Ta’min al-Islami baina an-nazriyah wa tatbiqi.
Qahirah: Maktabah Wahbah.
al-Munjid fi al-Lughah wa al-A’lam. 1987. Beirut: Dar al-Mashriq.
al-Qardawi, Yusuf. 1413H/1993M. al-Halal wa al-haram fi al- Islam.Qahirah: Maktabah
Wahbah.
al-Zain, Samih Atif. 1968. al-Islam wa thaqafah al-insan. Beirut: Dar al- Banani.
al-Zuhaily Wahbah. 1409H/1989. al-Fiqh al-Islam wa adillatuhu. Damshiq: Dar al-Fikr.
AM. Saefuddin, 2005. Membumikan Ekonomi Islam, Jakarta: Ppa Consultants
Astiwara, Endy M. 2001.Perbedaan Secara Syariah Asuransi Takaful Dengan Asuransi
Konvensional, Muamalatuna Vol. I/Edisi I/Th. I/25 Mei 2004.
Ba’albaki, Munir. 1999. al-Maurid. Beirut: Dar al-Ilmi li al-Malayyin.
BIRT. 1417H/1996. Takaful (islamic insurance) concept and operational sistem from the
practitioner’s perspektive. Kuala Lumpur: BIMB Institut of Research and Training Sdn. Bhd.
Doorfman, M. S. 1993. Introduction to insurance. Ohio: Prentice-HallInc.
Encyclopedia britannica. 1969. Ed. Ke 14. Jil.12. Chicago: Encyclopedia Britannica Inc.
Encyclopedia britannica. 1974. Ed. ke15. Jil. 9. Chicago: Encyclopedia Britannica Inc.
Ensiklopedi hukum Islam. 1994. Jakarta: PT. Ichtiar Baru Van Hoeve.
Ensiklopedi Islam. 1994. Jakarta: PT. Ichtiar Baru Van Hoeve.
Ensiklopedia Islam. 1998. Jil. 10. Kuala Lumpur: Malaysia
Encyclopedia Research.
Ghafarullahuddin bin Din, Habibah Lehar, Muhamad Rohimi Osman, Raskinah Mohd Nor
(pnyt.). 2000. Ekonomi Islam.
Kuala Lumpur: BIROTEKS UiTM.
Hailani Muji Tahir. 1979. Insurans dan masyarakat Islam. Dewan Masyarakat, Ogos: 45-60.
Hailani Muji Tahir. 1999. Redistribution of revenue in a islamic state. Kajang: Fatha.
Hailani Muji Tahir.1984. Islam dan kedudukan insurans nyawa.
Kertas kerja seminar sistem kewangan Islam Persatuan
Mahasiswa Fakulti Ekonomi. Universiti Kebangsaan Malaysia, Bangi, 14-15 Januari.
Hailani Muji Tahir, 1987. al-mudharabah hukum dan perlaksanaannya dalam syarikat al
takaful dalam Isu syariah
dan undang-undang. Siri 3. Bangi: Pusat Teknologi Pendidikan UKM.
Hailani Muji Tahir.1995. Agensi dalam syarikat takaful. Dewan Ekonomi, Julai: 14-15.
Hasan Ali, AM .2004. Asuransi dalam Perspektif Hukum Islam, Jakarta: Prenada Media
Hasanuddin Rahman, 1995. Aspek–Aspek Hukum Pemberian Kredit
Perbankan di Indonesia, Bandung : Penerbit PT. Citra Aditya Bakti,
Herman Darmawi. 2000. Manajemen Asuransi, Jakarta: Bumi Aksara,. Hisan, Husain Hamid.
1996. Asuransi dalam hukum Islam. Terj.
Aisyul Muzakki Ishak. Jakarta: CV. Firdaus.
Ibn Hisham, Abu Muhammad ibnu Hisham Abd al-Malik bin Hisham al-Mu’arif.
1415H/1994. Al-Sirah al-nabawiyah. Juz
2. Beirut: Dar al-Fikr.
Ibn Manzur, Jamal al-Din Muhammad bin Mukarram al-Ansari.1488H/1997. Lisan al-Arab.
Juz 12. Beirut: Dar al-Ihya al-Turath al-Arabi.
Ibn Rushd, Imam Abu al-Walid Muhammad bin Ahmad al- Qurtubiy al-Andalusiy.
1333H/1914. Bidayah al-mujtahid wa
al-nihayah al-muqtasid. Juz 2. Qahirah: Misri Matba’ah Ahmad Kamal.
Ibrahim, Abd al-Rahman Zaki. 1998. Petunjuk amalan ekonomi Islam.
Terj. Mujaini Bin Tarimin. Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka.
Izzuddin, Musa. 1979. al-Islam wa qadaya al-sa’ah. t.tp: Dar al- Andalus.
Jafril Khalil, Asuransi Syariah dalam Perspektif Ekonomi: Sebuah
Tinjauan, Jurnal Hukum Bisnis Volume 22, Nomor 2 Tahun 2003.
Jafril Kholil (pnyt.). 1997. Isu syariah dan undang-undang. Siri 3. Bangi: Pusat Teknologi
Pendidikan UKM.
Junaidi B. S. M .1993. Islam dan enterpreneuraliasme. Jakarta: Kalam Mulia.
Kamus Dewan. 2000. Ed. Ke 3. Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka.
Kamus Inggeris Melayu Dewan. 1992. Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka.
Kasmir. 2004. Bank dan Lembaga Keuangan Lainnya, edisi Keenam, ctk. Kedelapan, Jakarta
RajaGrafindo Persada, ,
Khan, M. Arif. 1983. Theory and practice of insurance. Aligarh:
Educational Books House. Lane, E.W. 1968. An Arabic-english lexicon. Beirut: Librarie
Duliban.
M. Abdul Mujib, Mabruri Tholhah, Syafi’ah Am. 1997. Kamus istilah fiqh. Selangor:
Advance Publication.
Magee, J.H. & Bickelhaupt, D.L. 1964.General insurance. Illinois: Richard D. Irwin Inc.
Mahayuddin Haji Yahya (pnyt.). 1986. Islam dan pembangunan negara. Bangi : Penerbit
UKM.
Mannan, Muhammad Abdullah. 1993. Teori dan praktek ekonomi Islam. Terj. Nastangin.
Yogyakarta: PT. Dana Bakti Wakaf.
Mashudi, dan Moch. Chidir Ali, 1995. Hukum Asuransi, Jakarta: CV. Mandar Maju,
Mehr, K.I. 1986. Fundamentals of insurance. Illinois: Richard D. Irwin Inc.
Mohammad Fadzli Yusof. 1985. The principle of islamic insurance. Seminar issues in islamic
economi: Islamic banking and
insurance. Economic Society International Islamic Universiti Malaysia, Petaling Jaya, 27-29
Disember.
Mohammad Fadzli Yusof. 1996. Takaful: sistem insurans Islam. Kuala Lumpur: Publications
& Distributors Sdn. Bhd.
Muhammad Muslehuddin.1982. Insurance and islamic law. New Delhi: Adam Publishers &
Distributors.
Muhammad, Abdulkadir. 1999. Hukum Asuransi Indonesia, Bandung: PT. Citra Aditya
Bakti,
Muslim, Imam abu al-Husain Muslim bin al-Hujjaj al-Qusairiy al-
Naisanburiy. t.th. al-sahih Muslim. Istambul: Maktabah al- Islamiyyah.
Mustafa Haji Daud. 1991. Tamadun Islam. Kuala Lumpur: Utusan Publication & Dsitributors
Sdn Bhd.
Mustafa, Ibrahim., Abd al-Qadir, Hamid., al-Zayyat, Ahmad Hasan.,
al-Najjar, Muhammad Ali. t.th. al-Mu’jam al-wasith. Istambul: al-Maktabah al-Islamiyah.
Mutahhari, Murtada. 1995. Pandangan Islam tentang asuransi dan riba. Terj. Irwan.K.
Bandung: Pustaka Hidayah.
Nor Mohamed Yackop. 1996. Teori amalan dan prospek sistem
kewangan Islam di Malaysia. Kuala Lumpur: Utusan Publication & Distributors Sdn Bhd.
Nurul Ichsan, Jurnal Kordinat, 2007, Vol.8.no.2, KOPERTAIS Wil.1 DKI
Othman Yong. 1993. Pasaran dan institusi kewangan di Malaysia: teori dan amalan. Kuala
Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka.
Qureishi, Anwar Iqbal.1991. Islam and the theori of interest. Lahore: SH Muhammad Ashraf.
Sastrawidjaja, Man Suparman. 1997.Hukum Asuransi. Bandung: Alumni.
Siddiiqi, Muhammad Nejatullah. 1987. Insurance in a islamic ekonomi. Landon: The Islamic
Foundation.
Sidiiqi, Muhammad Nejatullah. 1401H/1981. Muslim economic
thingking, a survey of contemporary literature. United Kingdom: The Islamic Faundation.
Solahudin, M, 2006, Lembaga Ekonomi dan Keuangan Islam, Muhammadiyah University
Press, Surakarta.
Sri Susilo,Y, dkk, , 2000.Bank & Lembaga Keuangan Lain, Jakarta: Salemba Empat
Sudarsono, Heri. 2007. Bank dan lembaga keuangan Syari’ah, Deskripsi dan Ilustrasi,
Yogyakarta: Ekonisia
Sumitro, Warkum, 1996, Asas – Asas Perbankan Islam dan Lembaga –
Lembaga Terkait ( BMUI dan Takaful) di Indonesia, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta
Syakir Sula, Muhammad dan Hermawan Kartajaya. 2006. Syariah marketing, Bandung:
Pustaka Mizan
Syakir Sula, Muhammad. 2004. Asuransi Syariah: (life ang general) Konsep dan system
Operasional. Jakarta: Gema Insani Press.
Syed Othman al-Habshi. 1994. Insurans pos melindungi diri cara mudah. Dewan Ekonomi,
Ogos: 32-33.
Ulwan, Abdullah Nasih. 1400H/1980. Hukm al-Islam fi al-ta’min (assaukarah) Beirut: Dar
al-Salam.
Ulwan, Abdullah Nasih. t.th. al-Takaful al-ijtima’i fi Islam. Jeddah: al- Dar al-Saudiyah wa
al-Tauzic.
Wehr, H. & Cowan, J. M. 1976. A dictionary of modern written arabic. edisi. 3. New York:
Spoken Language Service Inc.
Wilson, R.1988. Bisnis menurut Islam. Terj. J.T. Salim. Jakarta: Penerbit Internusa.
Wirdyaningsih, SH. MH, Karnaen Perwataatmadja, SE. MPA. FIIS, dkk. 2007. Bank dan
Asuransi Islam di Indonesia, cet. 3. Jakarta.Kencana Prenada Media,
Wirjono Prodjodikoro, 1986. Hukum Asuransi di Indonesia, Jakarta: PT Intermasa,
Wizarah al-Awqaf wa al-Su’un al-Islamiyyah.1407H/1986. al- Mausu’ah al-fiqhiyyah. Juz
10. Kuwait: Zat al-Salasil.
Zainuddin Ali. 2008., Hukum Asuransi Syariah, Jakarta: Sinar Grafika.
Zarqa, Mustafa Ahmad. 1410H/1994. Nizam al-ta’min haqiqatuha wara’yu syar'i fihi. Beirut:
Mu’assasah al-Risalah.

Anda mungkin juga menyukai