Disusun oleh :
Irfan Afandi : 021.021.0129
TAHUN 2022
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Asuransi merupakan bisnis yang unik, dalam kitab Undang-Undang Hukum Dagang
(KUHD) pasal 246 dijelaskan bahwa yang dimaksud dengan asuransi atau pertanggungan
adalah suatu perjanjian (timbal balik) yang mana seorang penanggung mengikatkan diri
kepada seorang tertanggung, dengan menerima suatu premi, untuk memberikan penggantian
kepadanya, karena
suatu kerugian, kerusakan, atau kehilangan keuntungan yang diharapkan, yang mungkin akan
dideritanya karena suatu peristiwa yang tidak tentu (onzeker woral), sedangkan menurut
Undang Undang Republik Indonesia Nomor 2 tahun 1992 menyebutkan bahwa asuransi atau
pertanggungan adalah perjanjian antara dua orang atau lebih yang mana pihak penanggung
mengikatkan diri pada tertanggung dengan menerima premi asuransi, untuk memberikan
penggantian kepada tertanggung karena kerugian, kerusakan atau kehilangan keuntungan
yang diharapkan atau tanggung jawab hukum kepada pihak ketiga yang mungkin akan
diderita tertanggung yang timbul dari sebuah peristiwa yang tidak pasti atau untuk
memberikan suatu pembayaran yang didasarkan atas meninggal atau hidupnya seseorang
yang dipertanggungkan. Dari kedua pengertian asuransi tersebut diketahui adanya tiga unsur
pokok dalam asuransi yang dipandang bertentangan dengan nilainilai syari‟ah yaitu bahaya
yang dipertanggung jawabkan, premi pertanggungan dan sejumlah uang ganti rugi
pertanggungan.
Indonesia sebagai negara dengan jumlah penduduk yang besar sekaligus merupakan
negara berpenduduk muslim yang terbesar ditambah lagi dengan meningkatnya kesadaran
masyarakat untuk semakin mengekspresikan identitas kemusliman mereka merupakan pasar
yang empuk dan berpotensi besar. Data menyatakan dalam beberapa kurun waktu terakhir
penjualan-penjualan produk Islami,mengalami kenaikan yang signifikan. Di lain sisi
kebutuhan kenyamanan bermuamalah dalam transaksi keuangan pun meningkat pesat,
sehingga diperlukan lebih banyak lembagalembaga keuangan ataupun lembaga pembiayaan
yang bernuansa
syariah.
BAB II
PEMBAHASAN
Dengan adanya keyakinan umat Islam di dunia dan keuntungan vang diperoleh melalui
konsep asuransi syariah, lahirlah berbagai perusahaan asuransi yang menjalankan usaha
perasuransian berlandaskan prinsip syariah. Perusahaan yang mewujudkan asuransi
syariah ini bukan saja perusahaan yang dimiliki orang Islam, namun juga berbagai
perusahaan milik non-muslim serta ada yang secara induk perusahaan berbasis konvensional
ikut terjun usaha memberikan layanan asuransi syariah dengan membuka kantor cabang dan
divisi syariah.
Seiring dengan bergulirnya waktu dan ijtihad para pemerhati ekonomi Islam secara kontinyu,
akhirnya mereka sampai kepada sebuah konsep yang dapat disepakati bersama serta menjadi
acuan perasuransian syariah di dunia. Konsep tersebut populer dengan nama asuransi mutual,
kerja sama (ta‟awuni), atau takmin ta‟awuni. Konsep Asuransi Ta‟awuni merupakan
rekomendasi fatwa Muktamar Ekonomi Islam yang bersidang kali pertama tahun 1976 M di
Mekah.Peserta hampir 200 orang dari kalangan ulama.
Kemudian dikuatkan lagi dalam sidang Majma‟ Fiqh Islami „Alami (Lembaga Fiqih
Dunia) pada 21 Desember 1985 di Jeddah yang memutuskan pengharaman Asuransi Jenis
Perniagaan (Komersial). Majma‟ Fiqih juga secara ijma‟ mengharuskan dioperasikannya
usaha perasuransian jenis kerja sama(ta‟awuni) sebagai alternatif menggantikan jenis
asuransi konvensional serta menyerukan umat Islam dunia menggunakan asuransi ta‟awuni.3
Dalam rangka menindaklanjuti fatwa tersebut dan kebutuhan umat terhadap asuransi
berdasarkan hukum Islam, Pada dekade 70- an di beberapa negara Islam atau di negara-
negara yang mayoritas penduduknya muslim bermunculan asuransi yang prinsip
operasionalnya mengacu kepada nilai-nilai Islam dan terhindar dari ketiga unsur yang
diharamkan Islam. Pada tahun 1979 Faisal Islamic
Bank of Sudan memprakarsai berdirinya perusahaan asuransi syariah Islamic Insurance Co.
Ltd. di Sudan dan Islamic Insurance Co. Ltd. Di Arab Saudi. Keberhasilan asuransi syariah
ini kemudian diikuti oleh berdirinya Dar al-Mal al-Islami di Geneva, Swiss dan Takaful
Islami di Luxemburg, Takaful Islam Bahamas di Bahamas dan al-Takaful al- Islami di
Bahrain pada tahun 1983. Di Malaysia, Syarikat Takaful Sendirian Berhad berdiri pada tahun
1984. 4Selanjutnya diikuti oleh
negara-negara lain seperti Bahrain, UAE, Brunei, Singapura, dan Indonesia. Konsep Asuransi
Ta‟awuni merupakan rekomendasi fatwa Muktamar Ekonomi Islam yang bersidang kali
pertama tahun 1976 M di Mekah.Peserta hampir 200 orang dari kalangan ulama. Kemudian
dikuatkan lagi dalam sidang Majma‟ Fiqh Islami „Alami (Lembaga Fiqih Dunia) pada 21
Desember 1985 di Jeddah yang memutuskan pengharaman Asuransi Jenis Perniagaan
(Komersial). Majma‟ Fiqih juga secara ijma‟ mengharuskan dioperasikannya usaha
perasuransian jenis kerja sama (ta‟awuni) sebagai alternatif menggantikan jenis asuransi
konvensional serta menyerukan umat Islam dunia menggunakan asuransi ta‟awuni.
Sebagaimana disebut di atas, ada lebih dari 180 juta Muslim di Indonesia dan kesadaran
akan keislamannya terus meningkat, merupakan peluang pasar yang lebar. Permintaan
terhadap
kehadiran lembaga keauangan syariah di berbagai tempat terus meningkat. Krisis ekonomi
dalam dua setengah tahun terakhir ini memperlihatkan bahwa Indonesia memerlukan konsep
lain dalam menata perekonomiannya. Lembaga ekonomi syariah adalah pilihan yang paling
sesuai. Oleh karena itu, untuk memenuhi kebutuhan pasar, di samping juga mendidik
masyarakat, diperlukan lebih banyak bank syariah, – dan kini telah mulai bermunculan-, serta
asuransi syariah sebagai
„counterpart‟nya. Kehadiran lembaga keuangan syariah baru akan memacu persaingan yang
sehat untuk pengembangan kualitas yang pada akhirnya akan menguintungkan bangsa dan
negara. Persaingan. Pada saat ini, jumlah perusahaan asuransi jiwa di Indonesia ada 53. Salah
satunya adalah PT Asuransi Takaful Keluarga yang merupakan satu-satunya perusahaan
asuransi jiwa syariah di Indonesia sampai saat ini. Tabel 1 menunjukkan daftar perusahaan
asuransi jiwa secara alfabet. Tiga dari empat perusahaan terbesar adalah milik negara, yang
keempat masih berhubungan dengan program pemerintah. Mereka memiliki „captive market‟
atau pangsa pasar yang berkaitan dengan pemerintah. Dua diantaranya adalah perusahaan
kawakan yang telah ada sejak jaman kolonial Belanda. Yang menarik dalah bahwa PT
Asuransi Takaful Keluarga ternyata mampu menyisihkan 42 perusahaan lain yang sudah jauh
lebih lama beroperasi.
d) Ancaman, Tantangan dan Hambatan
Adapun ancaman yang akan dihadapi oleh asuransi Islam di Indonesia adalah:
1. Globalisasi, masuknya asuransi luar negeri yang memilki nilai kapital yang lebih besar dan
teknologi yang lebig canggih sehingga membuat premi asuransi menjadi lebih murah.
2. Asuransi konvensional dan lembaga keuangan lainnya yang lebih efisien.
3. Langkanya ketersediaan SDM yang qualified dan memilki semangat syari‟ah.
4. Citra lembaga keuangan syariah yang belum mapan di kalangan masyarakat padahal
ekspektasi masyarakat terhadap LKS sangat tinggi.
5. Sarana investasi syariah yang yang ada sekarang belum mendukung secara optimal utuk
perkembangan asuransi Islam.
6. Belum ada UU dan PP yang secara khusus mengatur asuransi Islam.
7. Budaya suap dan kolusi dalam asuransi kumpulan (group insurance) masih kental.
8. Alokasi pengeluaran masyarakat untuk asuransi masih sangat terbatas, hal ini tampaknya
berkaitan dengan masalah sosialisasi asuransi dan pengalaman berasuransi.
Prospek asuransi Islam di Indonesia akan cerah dan semakin prospektif jika umat Islam
dapat membaca dan memberdayakan peluang dan kekuatan yang dimiliki. Di
samping itu, asuransi Islam juga harus bisa meminimalisir ancaman atau tantangan yang
sudah dan akan muncul sekaligus memperbaiki kelemahan atau kekurangan yang ada.
Sebagai
sebuah lembaga keuangan syariah, asuransi Islam tidak boleh berkutat pada dataran simbol
simbol keagamaan. Konsekuensi ebagai bagian dari lembaga keuangan syariah sangat tinggi.
Oleh karena itu, konsistensi menjalankan usaha sesuai dengan syariah baik dalam
manajemen, produk, investasi, promosi dan lain-lainjuga harus diperhatikan dan
diaplikaskan. Sebagai
lembaga keuangan yang tentunya juga berorientasi keutungan (profit oriented), asuransi
Islam tidak boleh melupakan tujuan awal berdirinya asuransi Islam yang menggusung
semboyan sosial oriented sebagai wujud ta‟awun „ala al birr wa at taqwa. Tantangan terbesar
yang dihadapi oleh industri asuransi syariah bersumber pada dua hal utama yaitu permodalan
dan sumber daya manusia. Tantangan-tantangan lain seperti masalah ketidaktahuan
masyarakat terhadap produk asuransi syariah, image dan lain sebagainya merupakan akibat
dari dua masalah utama tersebut.14
1. Minimnya Modal
Beberapa hal yang menjadi penyebab relative rendahnya penetrasi pasar asuransi syariah
dalam sepuluh tahun terakhir adalah rendahnya dana yang memback up perusahaan asuransi
syariah, promosi dan edukasi pasar yang relative belum dilakukan secara efektif (terkait
dengan lemahnya dana), belum imbulnya industri penunjang asuransi syariah seperti
brokerbroker
asuransi syariah, agen, adjuster, dan lain sebagainya, produk dan layanan belum diunggulkan
diatas produk konvensional, posisi pasar yang masih ragu antara penerapan konsep syariah
yang menyeluruh dengan kenyataan bisnis di lapangan yang terkadang sangat jauh dari
prinsip syariah,
dukungan kapasitas reasuransi yang masih terbatas (terkait jua
14 http://irfan-kurniadi.blogspot.com/2010/05/asuransi-syariah-prospektantangan- dan.html dengan dana) dan
belum adanya inovasi produk dan layanan yang benar-benar digali dari konsep dasar syariah.
2. Kurangnya SDM yang Profesional Terus bertambahnya perusahaan asuransi syariah
merupakan kabar baik bagi perkembangan industri tersebut. Namun, sayangnya hal itu tidak
diimbangi dengan ketersediaan Sumber Daya Manusia (SDM) asuransi syariah yang
berkualitas.
Seringkali, pembukaan cabang atau divisi asuransi syariah baru hanya didukung jumlah SDM
terbatas. Berdasarkan data Islamic Insurance Society (IIS) per Maret lalu, sekitar 80 persen
dari seluruh cabang atau divisi asuransi syariah belum memiliki ajun ahli syariah. IIS
mengestimasi asuransi syariah Indonesia per Maret lalu memiliki sekitar 200 cabang dan
hanya didukung 30 ajun ahli syariah. Jumlah yang cukup sedikit bila dibandingkan kondisi
SDM di asuransi konvensional. Per Maret lalu, sebagian besar cabang asuransi konvensional
telah
memiliki sedikitnya seorang ajun ahli asuransi syariah. Jumlah tersebut sesuai dengan
ketentuan departemen keuangan Depkeu). Padahal, keahlian ajun ahli syariah sangat
dibutuhkan
dalam mendorong perkembangan inovasi produk asuransi syariah. Hal tersebut berdampak
pada kurang berkembangnya produk inovatif di industri asuransi syariah. Saat ini, sebagian
besar cabang atau divisi asuransi syariah lebih memilih untuk meniru produk asuransi
konvensional lalu dikonversi menjadi syariah (mirroring).
3. Ketidaktahuan Masyarakat Terhadap Produk Asuransi Syariah
Ketidaktahuan mengenai produk asuransi syariah (takaful) dan mekanisme kerja merupakan
kendala terbesar pertumbuhan asuransi jiwa ini. Akibatnya, masyarakat tidak tertarik
menggunakan asuransi syariah, dan lebih memilih jasa asuransi konvensional. Itulah hasil
riset Synovate mengenai alasan pemilihan asuransi syariah. Ketua Umum Asuransi
Syariah Indonesia Mohammad Shaifie Zein mengatakan, dari hasil survei Synovate, sebagian
besar responden tidak tertarik kepada asuransi jiwa syariah.
4. Dukungan Pemerintah Belum Memadai Meski sudah menunjukkan eksistensinya, masih
banyak kendala yang dihadapi bagi pengembangan ekonomi syariah di Indonesia. Soal
pemahaman masyarakat hanya salah satunya. Kendala lainnya yang cukup berpengaruh
adalah dukungan penuh dari para pengambil kebijakan di negeri ini, terutama menteri-
menteri dan lembaga pemerintahan yang memiliki wewenang dalam menentukan kebijakan
ekonomi. Pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono yang pada masa kampanye
pemilu kemarin menyatakan mendukung ekonomi syariah, belum sepenuhnya mewujudkan
dukungannya
itu dalam bentuk program kerja tim ekonomi kabinetnya. Kendala lainnya adalah masalah
egulasi. Penerapan syariah yang makin meluas dari industri keuangan dan permodalan
membutuhkan regulasi yang tidak saling bertentangan atau umpang tindih dengan aturan
sistem ekonomi konvensional.
Para pelaku ekonomi syariah sangat mengharapkan regulasi untuk sistem ekonomi
syariah ini bisa memudahkan mereka untuk berekspansi bukan malah membatasi. Saat ini,
peraturan tentang permodalan masih menjadi kendala perbankan syariah untuk melakukan
penetrasi dan ekpansi pasar.
5. Image.
Salah satu tantangan besar bisnis asuransi syariah di Indonesia dan negara lainnya,
menurut Zein, adalah meyakinkan masyarakat akan keuntungan menggunakan asuransi
syariah. “Perlu sekali mensosialisasikan asuransi syariah bukan saja berasal dari agama,
tetapi memperlihatkan
keuntungan.” Kenyataan di lapangan menunjukkan, bahwa para pelaku ekonomi syariah
masih menghadapi tantangan berat untuk menanamkan prinsip syariah sehingga mengakar
kuat dalam perekonomian nasional dan umat Islamnya itu sendiri. Perkembangan asuransi
syariah di Malaysia bisa disimak sebagai contoh yang bagus. Asuransi syariah di Malaysia
mulai muncul pada tahun 1984, dimana Pemerintah Malaysia ketika menumbuhkan asuransi
syariah terlebih dahulu membuat Takaful Act atau Islamic Banking Act baru kemudian
dikeluarkan license pembukaan perusahaan. Berbeda dengan Malaysia, di Indonesia asuransi
syariah berkembang dengan cepatnya sedangkan perundang-undangan khusus asuransi
syariah belum ada hingga sekarang.
Keadaan ini merupakan tantangan bagi berkembangnya asuransi syariah karena
dikhawatirkan akan menimbulkan kesemrawutan. Menurut Agus Edi Sumanto, Sekretaris
Jenderal Asosiasi Asuransi Syariah Indonesia, payung hukum asuransi syariah masih sangat
minim idealnya mesti ada undang-undang yang secara khusus mengatur asuransi syariah.15
Izin pendirian perusahaan asuransi syariah yang mudah menjadikan banyaknya perusahaan
asuransi syariah yang apabila tanpa dukungan aturan yang lengkap justru dikhawatirkan
membawa dampak negatif. Pasar menjadi sesak dalam waktu singkat, iklim kompetisipun
meningkat sehingga dikhawatirkan dalam kondisi ini para pemain mulai permisif terhadap
praktekpraktek yang sesungguhnya tidak sesuai dengan syariah. Secara stuktural, landasan
operasional asuransi yariah di Indonesia masih menginduk pada peraturan yang mengatur
usaha perasuransian secara umum (konvensional). Peraturan asuransi syariah yang masih
menginduk kepada peraturan asuransi konvensional ini menyebabkan asuransi syariah
terbentur ketentuan perpajakan yaitu tentang premi sesuai dengan Undang-undang Nomor 17
Tahun 2000 Tentang Perpajakan, penerimaan premi harus dicatat sebagai pendapatan
perusahaan dengan demikian premi merupakan objek pajak. Perlakuan ini tidak sejalan
dengan fatwa Dewan Syariah Nasional yang menempatkan premi pada asuransi syariah
bukan milik atau pendapatan perusahaan, melainkan tetap milik nasabah. Perusahaan hanya
pemegang amanah untuk mengelola premi itu sehingga tidak bisa dijadikan objek pajak.
Begitu juga dengan pembayaran bagi hasil kepada nasabah oleh Undangundang Nomor 17
Tahun 2000 disetarakan dengan dividen perusahaan kepada pemegang polis, sehingga
terkena ketentuanpajak sebesar 15 %. Padahal bila Dewan Syariah menetapkan premi
asuransi syariah bukan objek pajak maka bagi hasilpun bukan objek pajak, karena bagi hasil
akan menjadi biaya underwriting perusahaan yang bukan merupakan dividen.
Juga menjadi tantangan bagi asuransi syariah adalah dalam hal mengembangkan produk
asuransi yang memang beda dengan asuransi konvensional, sehingga adanya anggapan
bahwa asuransi syariah hanya mensyariahkan produk asuransi konvensional dapat
dieliminasi.
Menurut Muhaimin Iqbal, Ketua Asosiasi Asuransi Syariah dan Agus Edi Sumanto,
Direktur Utama Asuransi Takaful Keluarga, bahwa asuransi syariah hanya sekedar
memodifikasi
produk asuransi konvensional.16 Dalam hal PSAK (Pernyataan Standar Akuntansi Keuangan)
asuransi syariah kebanyakan juga masih memodifikasi dari PSAK asuransi konvensional,
karenanya perbedaan hakiki dari asuransi konvensional dengan syariah menjadi tidak terlihat
misalnya dana tabarru‟ tidak bisa disajikan dalam laporan keuangan resmi yang ada hanya
total
premi demikian juga dengan entry bagi hasil tidak terlihat. Padahal PSAK ini penting untuk
dimiliki asuransi syariah untuk membuat pengukuran kinerja asuransi syariah menjadi lebih
valid.17 Modal yang kecil juga menjadi tantangan bagi perkembangan asuransi syariah di
Indonesia. Di dalam Keputusan Nomor 426 Tahun 2003, Menteri Keuangan hanya
mensyaratkan modal kerja perusahaan 2 milyar sehingga menurut Muhammad Syakir Sula,
Ketua Islamic Insurance Society banyak yang asal membuka cabang s yariah, padahal dengan
dana sekecil itu perhitungan bisnis nya menjadi kurang masuk akal. Karena itulah Asosiasi
Asuransi Syariah Indonesia (AASI) mendorong pelaku industri asuransi syariah untuk
meningkatkan modal.18
Sumber Daya Manusia (SDM) yang handal di bidang asuransi dan syariah sangat diperlukan
untuk mendukung perkembangan asuransi syariah di Indonesia, sayangnya menurut Walter L.
Gaol, Direktur Asuransi Jiwa Great Eastern bahwa salah satu kendala penting yang dihadapi
adalah kurangnya SDM syariah. 19 Demikian juga Agus Haryadi menyebutkan bahwa salah
satu tantangan bagi perkembangan asuransi syariah di Indonesia adalah langkanya
ketersediaan
SDM yang “qualified” dan memiliki semangat syariah. Kesadaran masyarakat untuk ikut
berasuransi juga menjadi kendala bagi perkembangan asuransi syariah di Indonesia, ini
terbukti dari jumlah total penduduk Indonesia, pemegang polis individual baru mencapai
kisaran 3 %. Perkembangan asuransi konvensional yang kurang begitu menggembirakan
dibandingkan dengan kemajunan yang dicapai oleh negara lain walaupun telah dibuat
Undang-undang Nomor 2 Tahun 1992 Tentang Perasuransian dengan maksud untuk
meningkatkan gairah masyarakat untuk memanfaatkan jasa asuransi yang sekaligus juga
sebagai sarana mobilisasi dana untuk pembangunan. Hal ini karena dipengaruhi adanya
keraguan tentang kehalalan jasa asuransi konvensional.20 Kesadaran masyarakat yang masih
rendah ini menjadi
tantangan bagi asuransi syariah untuk memberikan pemahaman tentang asuransi syariah yang
terlepas dari unsur maisir, gharar dan riba. 21 Tak dapat dipungkiri bahwa masyarakat umum
sampai saat ini masih sulit menerima keberadaan lembaga asuransi dengan melihat kenyataan
bahwa selain faktor ekonomi, faktor transparansi dan banyaknya penyimpangan
bisnis juga ikut berperan dalam memberikan citra buruk bagi institusi keuangan ini. Data
pengaduan terhadap perkara ndonesia) maupun YLKAI (Yayasan Lembaga Konsumen
Asuransi Indonesia) menunjukkan angka-angka yang relatif masih tinggi. Jenis pengaduan
yang muncul biasanya berkisar pada masalah klaim yang ditolak, prosedur klaim dipersulit,
masalah nilai tunai, dan-lain-lain. Praktek-praktek seperti inilah yang menurut kacamata
konsumen dipandang sangat merugikan mereka.
Kendala-kendala lain dalam pengembangan asuransi
syariah diantaranya:
a) Kurangnya kesadaran masyarakat akan pentingnya keberadaan Asuransi syariah.
b) Masih terbatasnya produk-produk yang ditawarkan oleh asuransi syariah.
c) Kurangnya sosialisasi dan edukasi masyarakat mengenai asuransi syariah.
Sumber Daya Manusia dalam bidang Asuransi Syariah masih sangat rendah. Perkembangan
dan pelaksanaan asuransi yariah di Indonesia masih mengalami kesulitan ataupu kendala
sebagai suatu hambatan dalam asuransi syariah. Adapun kendala ataupun kesulitan yang
dihadapi perusahaan asuransi dalam mengembangkan asuransi syariah adalah :
a. Belum adanya payung hukum mengenai asuransi syariah. Belum ada payung hukum yang
secara khusus mengatur mengenai asuransi syariah di Indonesia.Selama ini, asuransi syariah
masih mendasarkan legalitasnya pada UU No. 2 tahun 1992 tentang Usaha Perasuransian.
Secara operasional asuransi syariah masih mengacu pada regulasi yang dikeluarkan oleh
pemerintah baik berupa peraturan pemerintah melalui PP No. 73 Tahun 1992 jo PP No. 63
Tahun 1999 jo PP No. 39 Tahun 2008 tentang Penyelenggaraan usaha perasuransian, maupun
regulasi menteri keuangan yang berkaitan dengan asuransi syariah dan juga fatwa yang
dikeluarkan oleh MUI melalui Fatwa DSN-MUI yang berkaitan dengan asuransi syariah.
Regulasi yang ada tersebut sudah lebih baik dan mendukung pertumbuhan dan perkembangan
asuransi
syariah karena regulasi tersebut dikeluarkan pemerintah melalui menteri keuangan berkaitan
dengan asuransi syariah, namun regulasi yang ada dan Fatwa DSN-MUI
belum bisa mengakomodasi asuransi syariah karena Fatwa DSN-MUI tidak mempunyai
kekuatan hukum, sehingga diperlukan peraturan perundang-undangan yang secara khusu
mengatur asuransi syariah. Namun, sampai saat ini belum ada payung hukum bagi asuransi
syariah, meskipun RUU Asuransi Syariah sudah lama diajukan ke DPR dan diharapkan RUU
ini akan segera disetujui DPR sebagaimana RUU Perbankan Syariah yang telah lebih dulu
disetujui belum lama ini.
b. Faktor sumber daya manusia. Masih terbatasnya sumber daya manusia yang benar-benar
mempunyai kualifikasi, mengerti mengenai syariah dan asuransi syariah, serta mempunyai
semangat perjuangan dan pengembangan ekonomi syariah khususnya asuransi syariah.
Minimnya sumber daya manusia ini disebabkan karena sebagian besar dari sumber daya
manusia yang ada merupakan lulusan dari program studi konvensional dan kurang paham
mengenai syariah
sehingga menyebabkan ketidakcocokan antara pengetahuan yang dipelajari saat di perguruan
tinggi dengan bidang kerja yang dijalaninya dan kondisi ini dapat menghambat
perkembangan ekonomi syariah. Selain jumlah sumber daya manusia yang minim, kendala
dari segi sumber daya manusia yaitu masih rendahnya motivasi diri dan belum ada
pemahaman yang matang mengenai
segmentasi pasar dari team marketing perusahaan sehingga masih ada kekacauan pasar.
c. Manajemen kantor cabang. Berdasarkan hasil observasi lapangan ditemukan fakta bahwa
manajemen kantor cabang masih tumpang tindih. Kantor cabang belum mempunyai
pemisahan fungsi manajemen layaknya di kantor pusat sehingga dimungkinkan terjadi
tumpang tindih diantara fungsi manajemen tersebut.
d. Kendala operasional. Kendala operasional ini berkaitan dengan prosedur akseptasi lebih
ketat, misalnya untuk dapat mengcover asuransi personal accident diperlukan list peserta dan
jika tidak ada maka berakibat jatuh ke gharar, sedangkan di asuransi konvensional tanpa list
peserta (no name) sudah bisa di cover.Selain dalam hal prosedur akseptasi, kendala
operasional ini juga dapat terjadi dalam hal pembayaran yang tidak lancar (macet) karena
suatu hal peserta tidak dapat menyetorkan premi pada waktunya bahkan dapat mengakibatkan
terjadinya kemacetan dalam
pembayaran. Jika terjadi demikian perusahaan memberikan toleransi kepada peserta sehingga
hubungan antara peserta dengan perusahaan tidak terputus dan tetap dapat proteksi
dengan dana tabarru‟ dicover dengan jumlah nilai tunai yang ada dan apabila pembayaran
sudah kembali lancar,nilai tunai yang dipinjam akan dikembalikan. Namun apabila peserta
memutuskan untuk berhenti sebelum masa asuransi berakhir maka akan diberikan seluruh
nilai tunai yang sudah terkumpul. Selain itu kendala operasional ini proses penyelesaian polis
yang cenderung lama bisa lebih dari 14 (empat belas) hari sejak surat permintaan diajukan
oleh calon peserta bahkan bisa mencapai 30 (tiga puluh) hari atau lebih, terutama bagi Kantor
Cabang yang belum
menggunakan sistem online, belum diberi kewenangan underwriting oleh Kantor Pusat serta
harus melewati prosedur seleksi field underwriting dan underwriting dimulai dari kantor
cabang ke kantor wilayah baru kemudian diteruskan ke kantor pusat untuk diproses
underwriting
e. Kurangnya kesadaran berasuransi. Kesadaran masyarakat Indonesia untuk berasuransi
masih sangat kurang (rendah), untuk jumlah pastinya secara normatif tidak bisa disebutkan,
namun partisipasi ekonomi syariah saat ini baru 2%. Kurangnya kesadaran ini terbukti
dengan ratio
asuransi nasional yang hanya mencapai 12% dari jumlah penduduk Indonesia dan untuk
asuransi syariah sekitar 1,2%.
f. ketidaktahuan masyarakat. Pada dasarnya masyarakat belum banyak yang mengetahui
mengenai asuransi syariah, operasional maupun produk asuransi syariah serta keberadaan
divisi atau kantor cabang syariah pada perusahaan asuransi konvensional disebabkan karena
sosialisasi yang dilakukan masih kurang intens dan belum ke semua customer. Akibat
ketidaktahuan akan asuransi syariah ini, bagi masyarakat yang mempunyai pengalaman
traumatik dengan asuransi konvensional berpendapat bahwa asuransi ini tidak jauh berbeda
dengan asuransi yangpernah mereka ikuti dimana uang mereka akan hilang dan sulit dalam
prosedural sehingga mereka merasa enggan, cenderung tidak simpatik dan non kooperatif
ketika disinggung mengenai asuransi syariah. Sedangkan bagi masyarakat yang masih netral,
beranggapan bahwa asuransi itu mahal sehingga diperlukan anggaran khusus dan ada dana
lebih untuk berasuransi, prosedur yang rumit dan masih binggung dengan produk dalam
asuransi syariah yang sekiranya sesuai dengan kondisi dirinya. Dua kelompok masyarakat ini,
setelah diberi penjelasan singkat mengenai asuransi syariah mulai terbuka cakrawala
pemikirannya.
g. adanya perasaan traumatik pada asuransi konvensional. Perasaan traumatik ini lahir
karena mempunyai pengalaman dengan asuransi konvensional yaitu ketika mereka sebagai
nasabah asuransi konvensional dan karena suatu hal tidak dapat menunaikan kewajibannya
membayar premi maka ketika mereka akan mengurus asuransi tersebut mengalami kesulitan
prosedural dan bahkan dalam polis secara jelas dan terang terdapat klausa bahwa apabila
tidak sanggup melakukan pembayaran maka uang yang sudah dibayar tidak bisa
dikembalikan.
E. Prospek Asuransi Syariah
Berasuransi secara Islam merupakan bagian dari prinsip hidupm yang berdasarkan
tauhid. Setiap manusia menyadari bahwa sesungguhnya setiap diri tidak memiliki daya
apapun ketika datang musibah dari Allah SWT, apakah itu berupa kecelakaan, kematian, atau
terbakarnya toko yang kita miliki. Ada berbagai cara bagaimana manusia menangani risiko
terjadinya musibah. Cara pertama adalah dengan menanggungnya sendiri (risk retention),
yang kedua, mengalihkan risiko ke pihak lain (risk transfer), dan yang ketiga, mengelolanya
bersama-sama (risk sharing). Menarik untuk direnungi bahwa sejak dari awal keberadaannya,
mekanisme asuransi Islam senantiasa terkait dengan kelompok. Ini berarti, musibah bukanlah
permasalahan individual, melainkan
kelompok.Sekalipun, misalnya, musibah itu hanya menimpa individu ertentu (particular
risks). Apalagi apabila musibah itu mengenai masyarakat luas (fundamental risks) seperti
gempa bumi dan banjir. Sehingga esensi keberadaan asuransi dalam kehidupan dinilai
penting. Tidak dapat dipungkiri bahwa masyarakat umum sampai saat ini masih sulit
menerima keberadaan lembaga asuransi dengan melihat kenyataan bahwa selain faktor
ekonomi, faktor transparansidan banyaknya penyimpangan bisnis juga ikut berperan dalam
memberikan citra buruk bagi institusi keuangan ini. Data pengaduan terhadap perkara
asuransi yang masuk ke YLKI (Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia) maupun YLKAI
(Yayasan Lembaga Konsumen Asuransi Indonesia) menunjukkan angka-angka yang relatif
masih tinggi. Jenis pengaduan yang muncul biasanya berkisar pada masalah klaim yang
ditolak, prosedur klaim dipersulit, masalah nilai tunai, dan-lain-lain. Praktik-praktik seperti
inilah yang menurut kacamata konsumen dipandang sangat merugikan mereka. Asuransi
syariah berpeluang sangat besar untuk lebih berkembang lagi karena Masyarakat Indonesia
baru sedikit (3 %) yang ikut berasuransi, Mayoritas penduduk Indonesia beragama Islam
yang tentunya akan memilih asuransi syariah dari pada asuransi konvensional Karena konsep
asuransi syariah dapat memenuhi rasa keadilan. Keberhasilan sistem asuransi tidak
sepantasnya diukur berdasarkan total uang yang dapat dikumpulkan atau keuntungan yang
diraih melalui lembaga dan badan yang telah dibentuknya. Sebaliknya, keberhasilannya harus
diukur dari sudut seberapa besar sumbangan yang telah diberikannya untuk keselamatan
hidup anggota masyarakat dan baktinya untuk meringankan beban bencana dan malapetaka
yang dihadapi oleh mereka. Indonesia diyakini akan menjadi tren perkembangan asuransi
yariah global dalam beberapa tahun kedepan. Dengan adanya ketentuan pemenuhan modal
minimum yang semakin besar dan pertumbuhan industri keuangan syariah lainnya seperti
perbankan, membuat Indonesia akan menjadi pemain asuransi syariah terkemuka di Asia
Tenggara. Landasannya, perkembangan perbankan syariah syariah yang saat ini telah
diramaikan oleh sembilan bank umum syariah , akan diikuti oleh asuransi syariah. Premi
industri asuransi syariah global pada tahun 2010 mencapai AS$ 8,9 miliar. 22 Perkembangan
signifikan ini tidak terlepas dari faktor Indonesia dan Uni Emirat Arab. Indonesia sendiri
mencatat pertumbuhan rata-rata asuransi syariah masing-masing sebesar 35% dan 135%.
Menurut Kepala Perasuransian Syariah Biro Perasuransian Bapepam-LK kementrian
keuangan, pangsa industri asuransi syariah bisa jadi melebihi pangsa perbankan syariah. Pada
akhir 2009 lalu, total premi asuransi syariah tumbuh hingga 78% dibandingkan tahun
sebelumnya dengan pencapaian pangsa pasar sebesar 2,9%.
Premi bruto asuransi syariah di tahun 2009 tercatat mencapai Rp 2,053 triliun, naik dari 2008
yang membukukan angka sekitar Rp 1,4 triliun. Saat ini pelaku usaha asuransi syariah
terdapat 43 buah yang terdiri dari empat perusahaan asuransi syariah dan 39 unit asuransian
reasuransi syariah. Ketua Umum Asosiasi Syariah Indonesia Muhaimin Iqbal menyatakan
hingga Januari 2008, di Indonesia sudah ada 3 perusahaan yang full asuransi syariah, 32
cabang asuransi syariah,
dan 3 cabang reasuransi syariah. Menurut beliau pertumbuhan premi industri bisa menembus
Rp 1 triliun tahun ini. Rencana masuknya asuransi raksasa di pasar asuransi syariah
diharapkan mendukung pencapaian target itu. Ia mengatakan perolehan premi industri
asuransi syariah tanah air diperkirakan kembali mengulang prestasi tahun lalu dengan tumbuh
sebesar 60%-70%. pada 2006, industri asuransi syariah membukukan pertumbuhan premi
sebesar 73% dengan nilai total Rp 475 miliar. Predikisnya hingga akhir 2007 bisa mencapai
Rp 700 miliar kalau tahun depan tumbuh 50% saja, sampai melebihi Rp 1 triliun. Kendati
asuransi syariah mengalami pertumbuhan yang pesat, kontribusi terhadap total industri baru
mencapai 1,11% per 2006
dan diperkirakan meningkat ke posisi 1.33% tahun ini. Hal itu tidak terlepas dari jumlah
pelaku industri asuransi syariah yang masih terbatas dan baru menunjukkan peningkatan
dalam dua tahun terakhir. Ada sejumlah alasan mengapa institusi keuangan konvensional
yang ada sekarang ini mulai melirik sistem syariah, antara lain pasar yang potensial karena
mayoritas penduduk Indonesia beragama Islam dan kesadaran mereka untuk berperilaku
bisnis secara Islami. Potensi ini menjadi modal bagi perkembangan ekonomi umat di masa
datang. Selain itu, terbukti bahwa institusi ekonomi yang menerapkan prinsip syariah, mampu
bertahan di tengah krisis ekonomi yang melanda Indonesia. Selain perbankan, sektor
ekonomi syariah lainnya yang mulai berkembang adalah asuransi syariah. Prinsip asuransi
syariah pada intinya adalah kejelasan dana, tidak mengadung judi dan riba atau bunga. Sama
halnya dengan perbankan syariah, melihat potensi umat Islam yang ada di Indonesia, prospek
asuransi syariah sangat menjanjikan. Dalam sepuluh tahun ke depan diperkirakan Indonesia
bisa menjadi negara yang pasar asuransinya paling besar di dunia. Seorang CEO perusahaan
asuransi syariah asal Malaysia, Syed Moheeb memperkirakan, tahun 2008 mendatang
asuransi syariah bisa mencapai 10 persen > market share asuransi konvensional.
Data dari Asosiasi Asuransi Syariah di Indonesia menyebutkan, tingkat pertumbuhan
ekonomi syariah selama 5 tahun terakhir mencapai 40 persen, sementara asuransi
konvensional hanya 22,7 persen. Perbankan dan asuransi, hanya salah satu dari industri
keuangan syariah yang kini sedang berkembang pesat. Pada akhirnya, sistem ekonomi
syariah akan membawa dampak lahirnya pelaku-pelaku bisnis yang bukan hanya berjiwa
wirausaha tapi juga berperilaku Islami, bersikap jujur, menetapkan upah yang adil dan
menjaga keharmonisan hubungan antara atasan dan bawahan. Bisa dibayangkan
kesejahteraan yang bisa dinikmati umat jika penerapan ekonomi syariah ini sudah mencakup
segala aktivitas ekonomi di Indonesia. Peluang penerapan ekonomi syariah masih terbuka
luas.23 Prospek asuransi Islam di Indonesia akan cerah dan semakin prospektif jika umat
Islam dapat membaca dan memberdayakan peluang dan kekuatan yang dimiliki. Di samping
itu, asuransi Islam juga harus bisa meminimalisir ancaman atau tantangan yang sudah dan
akan muncul sekaligus memperbaiki kelemahan atau kekurangan yang ada. Sebagai sebuah
lembaga keuangansyariah, asuransi Islam tidak boleh berkutat pada dataran simbol-simbol
keagamaan. Konsekuensi sebagai bagian dari lembaga keuangan syariah sangat tinggi. Oleh
karena itu, konsistensi menjalankan usaha sesuai dengan syariah baik dalam manajemen,
produk, investasi, promosi dan lain-lainjuga harus diperhatikan dan diaplikaskan. Sebagai
lembaga keuangan yang tentunya juga berorientasi keutungan (profit oriented), asuransi
Islam tidak boleh melupakan tujuan awal berdirinya asuransi Islam yang menggusung
semboyan sosial oriented sebagai wujud ta‟awun „ala al birr wa attaqwa.
Syariah di Indonesia Merupakan Peluang Bisnis yang Prospektif, karena seiring dengan
perkembangan ke arah stabilitas politik dan ekonomi, dengan jumlah penduduk lebih dari 180
juta jiwa, Indonesia merupakan salah satu portofolio investasi yang mulai kembali dilirik para
investor manca negara. Kenyataan bahwa sekitar 90% penduduk beragama Islam dan bahwa
kesadaran untuk mengekspresikan identitas kemuslimannya semakin meningkat,
telahmenjadi potensi pasar yang besar. Sebagai contoh, usaha di bidang makanan dan
minuman berlabel halal, pakaian dan asesori muslim dan muslimah, perjananan haji dan
umroh, pendidikan dan publikasi
Islami, meningkat dengan pesat dalam kurun waktu 15 tahun terakhir ini. Selain itu, sebagian
ummat Islam memerlukan jaminan bahwa segala interaksi muamalah yang dilakukannya
dalam upaya mencapai kesejahteraannya, sesuai dengan syariah. Kebutuhan akan lembaga
keuangan Islami bertambah kuat seiring dengan berkembangnya sektor industri jasa
keuangan secara umum. Untuk memenuhi permintaan ummat tersebut, diperlukan lebih
banyak
bank dan asuransi syariah. Kehadiran lembaga-lembaga keuangan syariah lainnya dapat
memacu persaingan yang sehat, yang akan meningkatkan kualitas produk dan pelayanan. 24
F. Strategi Pengembangan Asuransi Syariah
Berasuransi secara Islam merupakan bagian dari prinsip hidup yang berdasarkan tauhid.
Setiap manusia menyadari bahwa sesungguhnya setiap diri tidak memiliki daya apapun
ketika datang musibah dari Allah SWT, apakah itu berupa kecelakaan, kematian, atau
terbakarnya toko yang kita miliki. Ada berbagai cara bagaimana manusia menangani risiko
terjadinya musibah. Cara pertama adalah dengan menanggungnya sendiri (risk retention),
yang kedua, mengalihkan risiko ke pihak lain (risk transfer), dan yang ketiga, mengelolanya
bersama-sama (risk sharing). Menarik untuk direnungi bahwa sejak dari awal keberadaannya,
mekanisme asuransi Islam senantiasa terkait dengan kelompok. Ini berarti, musibah bukanlah
permasalahan individual, melainkan kelompok. Sekalipun, misalnya, musibah itu hanya
menimpa individu tertentu (particular risks). Apalagi apabila musibah itu mengenai
masyarakat luas (fundamental risks) seperti gempa bumi dan banjir. Sehingga esensi
keberadaan asuransi dalam kehidupan dinilai penting. Berdasarkan konsep Risk Based
Capital (RBC) perusahaan asuransi di Indonesia sebenarnya dapat beroperasi dengan modal
yang sangat rendah (diatas Rp 3 milyar) asal sehat dan memenuhi Risk Based Capital diatas
120%. Asuransi syariah dalam bentuk cabang atau divisi dari perusahaan asuransi
konvensional dapat beroperasi dengan penyisihan modal minimal Rp 2 milyar.
Kemudahan-kemudahan permodalan ini disatu sisi baik untuk mendorong timbulnya
perusahaan asuransi/cabang/divisi syariah. Di sisi lain sebenarnya harus disadari bahwa
ketentuan minimum
tersebut kurang mendorong timbulnya perusahaan asuransi yang sehat. Struktur permodalan
yang kuat sangat dibutuhkan untuk mengangkat industri asuransi syariah. Dengan modal
yang kuat perusahaan asuransi syariah akan dapat melaksanakan fungsi-fungsi yang
semestinya, antara lain edukasi pasar melalui berbagai media komunikasi untuk menjelaskan
keberadaan asuransi syariah, keunggulannya, manfaatnya serta kebersihan dari keraguan,
pengembangan produk secara berkelanjutan, back-uo keuangan yang kokoh untuk
membangkitkan kepercayaan publik.
Untuk Mengatasi kekurangan SDM yang Profesional dapat diatasi dengan akan mendorong
peningkatan kuantitas dan kualitas SDM asuransi syariah melalui beberapa program
sertifikasi agar perkembangan industri didukung ketersediaan fellow dan associate
berkualitas.Untuk Memasyarakatkan dan Meningkatkan Asuransi syariah maka LKS harus
mengembangkan teknologi informasi yang terdepan, serta meningkatkan promosi dan
sosialisasi di segala lapisan masyarakat. Menurutnya, semua pihak harus bekerja keras untuk
memperkenalkan sistem asuransi syariah di Indonesia agar masyarakat mengetahui ada solusi
dalam pengelolaan risiko secara Islami Pemerintah Juga harus lebih mendukung Asuransi
Syariah, para ekonom yang ada di kabinet saat ini sebaiknya meninggalkan sistem ekonomi
kapitalis dan mengikuti aturan main kapitalis, sehingga bisa keluar dari krisis. Penerapan
syariah yang makin meluas dari industri keuangan dan permodalan membutuhkan regulasi
yang tidak saling bertentangan atau tumpang tindih dengan aturan sistem ekonomi
konvensional. Para pelaku ekonomi syariah sangat mengharapkan regulasi untuk sistem
ekonomi syariah ini bisa memudahkan mereka untuk berekspansi bukan malah membatasi.
Saat ini, peraturan tentang permodalan masih menjadi kendala perbankan syariah untuk
melakukan penetrasi dan ekpansi pasar. Pemerintah sebagai regulator belum mengeluarkan
kebijakan di bidang asuransi syariah sebagaimana halnya pada perbankan syariah yang
memiliki UU Perbankan Syariah. Sekarang ini sudah ada regulasi yang memadai, tapi
rasanya belum cukup. Bahkan kalau memungkinkan asuransi juga diberikan insentif, Insentif
yang diharapkan misalnya dalam bentuk perpajakan atau bentuk lainnya. Dengan adanya
insentif dan regulasi yang memadai, diberharapkan hal tersebut dapat merangsang industri
syariah agar bisa berkembang lebih cepat. Selain pihak regulator, DSN dapat
mengeluarkan fatwa yang dapat mengakselerasi industri asuransi syariah. Asuransi syariah
juga masih menemukan kendala dari masyarakat yang memiliki kesalahpahaman atas
asuransi syariah.
Asuransi syariah dipandang harus murah, mudah dan untung. Padahal asuransi juga
menghitung bisnis dan laba, Sementara itu lingkungan bisnis ekonomi saat ini yang rentan
terhadap penyogokan membuat asuransi syariah tak bisa masuk ke dalam bisnis tersebut.
keberhasilan sistem asuransi tidak sepantasnya diukur berdasarkan total uang yang dapat
dikumpulkan atau keuntungan yang diraih melalui lembaga dan badan yang telah
dibentuknya. Sebaliknya, keberhasilannya harus diukur dari sudut seberapa besar sumbangan
yang telah diberikannya untuk keselamatan hidup anggota masyarakat dan baktinya untuk
meringankan beban bencana dan malapetaka yang dihadapi oleh mereka. Inilah sebenarnya
esensi dari tujuan Asuransi Syariah.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Munculnya asuransi syariah pertama kali di Indonesia tak lepas dari nama Asuransi
Takaful, yang dibentuk oleh holding company PT Syarikat Takaful Indonesia (STI) pada
tahun 1994. Terbentuknya Asuransi Takaful saat itu memperkuat keberadaan lembaga
perbankan syariah yang sudah ada terlebih dahulu, yakni Bank Muamalat karena asumsinya
Bank Muamalat juga membutuhkan lembaga asuransi yang dijalankan dengan prinsip yang
sama.
Pembentukan awal Takaful disponsori oleh, Yayasan Abdi Bangsa, Bank Muamalat
Indonesia, dan Asuransi Jiwa Tugu Mandiri. Saat itu para wakil dari tiga lembaga ini
membentuk Tim Pembentukan Asuransi Takaful Indonesia atau TEPATI. Perkembangan
asuransi syariah di Indonesia berkembang dengan baik sejak didirikan tahun 1994 lalu.
Perkembangan asuransi
syariah di Indonesia tidak lepas dari tumbuh dan berkembangnya bank syariah. Pertumbuhan
asuransi syariah beberapa tahun ini sangatlah tinggi karena banyak orang yang sadar akan
pentingnya mempunyai asuransi. Asuransi syariah sendiri juga mempunyai banyak
keunggulan dibandingkan dengan asuransi non-syariah sehingga banyak sekali peminat yang
berminat untuk memiliki asuransi syariah. Asuransi dapat menjadi investasi jangka panjang
dan juga proteksi diri akan hal hal yang tidak diinginkan. Produk keuangan sendiri sudah
menjadi kebutuhan manusia dan dewasa ini orang orang lebih selekif untuk menggunakan
produk keuangan tersebut dengan menghindari hal hal yang berunsur riba. Analisis Swot
adalah sebuah bentuk analisis situasi dan kondisi yang bersifat deskriptif (memberi
gambaran). Analisis ini menempatkan situasi dan kondisi sebagai faktor masukan, yang
kemudian dikelompokkan menurut kontribusinya masing-masing. Analisis Swot sangat
penting perannya dalam meningkatkan mutu
pendidikan karena analisis dan gambaran yang diberikan merupakan tolok ukur dalam
mengembangkan lembaga/satuan pendidikan lebih lanjut.Setelah analisis, perlu dirumuskan
visi,misi, tujuan, dan program kerja yang lebih konkrit. Indonesia sebagai negara dengan
jumlah penduduk yang besar sekaligus merupakan negara berpenduduk muslim yang terbesar
ditambah lagi dengan meningkatnya kesadaran masyarakat untuk semakin mengekspresikan
identitas kemusliman mereka merupakan pasar yang empuk dan berpotensi besar. Data
menyatakan dalam beberapa kurun waktu terakhir penjualan produk-produk islami(busana
muslim dan muslimah, makanan dan minuman yang berlabelkan „halal‟, perjalanan haji dan
umroh, dll.) mengalami kenaikan yang signifikan. Di lain sisi kebutuhan kenyamanan
bermuamalah dalam transaksi keuangan pun meningkat pesat, sehingga diperlukan lebih
banyak lembaga-lembaga keuangan ataupun lembaga pembiayaan yang bernuansa syariah.
Demikianlah gambaran mengenai analisis SWOT bisnis asuransi syariah di Indonesia.
DAFTAR PUSTAKA