Anda di halaman 1dari 8

PENDAHULUAN

Asuransi syariah atau Takaful sudah lama menjadi bagian industri keuangan Islam global.
Sebagai negara muslim terbesar di dunia, potensi pasar asuransi syariah di Indonesia sangat
besar. Namun pada 2016, kontribusi asuransi syariah baru 5,79% dan penetrasi pasar 0,095%.
Meski demikian, industri asuransi syariah terus berkembang. Jumlah perusahaan asuransi
syariah full fledge dan unit usaha syariah terus meningkat setiap tahun dari 2015 hingga 2017,
baik pada asuransi umum maupun jiwa. Hal ini menunjukkan asuransi syariah berpotensi
semakin populer di Indonesia. Prinsip syariah lembaga keuangan syariah, menurut [1], adalah
membantu sesama atau persaudaraan di muka hukum sehingga dapat memberikan manfaat bagi
umat (maslahat). Oleh karena itu, adanya kerja sama, tolong-menolong, dan saling menjamin di
antara manusia diperlukan untuk mewujudkan prinsip kekeluargaan dan kebersamaan tersebut.
Dengan demikian, seperti yang dinyatakan oleh [2], prinsip sebaik-baiknya manusia adalah
mereka yang bermanfaat bagi semua makhluk ciptaan Tuhan (manusia dan lingkungan).
Menjalin persaudaraan sesama manusia sangat penting karena manusia tidak dapat hidup sendiri
tanpa bantuan orang lain. Oleh karena itu, kerja sama antar manusia diperlukan untuk menjalani
kehidupan ini. Untuk memikirkan keselamatan dan keamanan di masa depan, pikiran terfokus
pada masalah kekhawatiran saat ini, keamanan, risiko jiwa dan harta, serta kebutuhan asuransi
[3].
Pangsa pasar yang besar menunjukkan minat yang besar masyarakat Indonesia terhadap
asuransi syariah. Industri asuransi syariah kadang-kadang tidak merespons minat yang besar
terhadap produk keuangan syariah ini. Mereka melihat industri asuransi syariah tidak berusaha
membedakan asuransi syariah dari asuransi konvensional. Dengan adanya asuransi syariah, akan
lebih mudah untuk berkembang. Saat ini terdapat dua puluh asuransi syariah, yang terdiri dari
tujuh belas asuransi jiwa syariah, dua puluh asuransi umum syariah, dan tiga reasuransi syariah.
Sementara itu, keuangan syariah masih sangat populer di pasar Indonesia, dan porsi pasarnya
terus meningkat. Indonesia masih memiliki peluang yang cukup besar untuk berkembang dalam
industri syariah [4]. Banyak pasar di Indonesia yang belum dieksplorasi. Sebenarnya, lembaga
syariah adalah alternatif terbaik untuk sistem keuangan dan pengaturan ekonomi Indonesia, dan
ini adalah pilihan terbaik. Jadi, untuk meningkatkan pangsa pasar asuransi syariah di Indonesia,
investor lokal dan asing harus aktif berkontribusi. Dengan dukungan pemerintah dalam
membantu perusahaan asuransi memperluas pangsa pasarnya, tentu saja.
PEMBAHASAN

A. Pengertian Asuransi Syariah


Menurut Dewan Syariah Nasional (DSN) dan Majelis Ulama Indonesia (MUI), asuransi
syariah adalah usaha untuk melindungi dan membantu sejumlah orang melalui investasi dalam
aset dan/atau tabarru’ yang memberikan pola pengembalian untuk menghadapi risiko tertentu
melalui akad yang sesuai dengan syariah [5]. Menurut Undang-Undang Nomor 40 tahun 2014,
asuransi syariah didefinisikan sebagai kumpulan perjanjian berdasarkan prinsip syariah untuk
mengelola kontribusi dengan cara yang saling menguntungkan dan melindungi dengan cara
berikut:
1. Memberikan penggantian kepada peserta atau pemegang polis karena kerugian, kerusakan,
biaya yang timbul, kehilangan keuntungan, atau tanggung jawab hukum kepada pihak ketiga
yang mungkin diderita oleh peserta atau pemegang polis sebagai akibat dari peristiwa yang
tidak pasti.
2. Memberikan pembayaran yang didasarkan pada meninggalnya peserta atau pembayaran yang
didasarkan pada hidupnya peserta dengan manfaat yang besarnya telah ditetapkan dan/atau
karena akibat dari peristiwa yang tidak pasti.

B. Perbedaan Asuransi Syarian dan Asuransi Konvensional


Menurut Abdul Ghofur Anshori dalam Effendi (2016), ada tujuh perbedaan utama antara
asuransi konvensional dan syariah, yaitu:
1. Berbeda dengan asuransi konvensional, asuransi syariah memiliki Dewan Pengawas Syariah
(DPS) yang bertanggung jawab untuk mengawasi produk yang diiklankan dan mengelola
investasi dana yang terkumpul dari premi yang dibayarkan oleh pelanggan.
2. Asuransi syariah didasarkan pada tolong-menolong (akad ta’awuni-yah), sedangkan asuransi
konvensional didasarkan pada jual beli.
3. Investasi dana pada asuransi syariah didasarkan pada akad bagi hasil (mudarabah),
sedangkan asuransi konvensional menggunakan sistem bunga sebagai dasar perhitungan
sehingga termasuk riba.
4. Peserta memiliki hak untuk memiliki dana pada asuransi syariah. Dibandingkan dengan
asuransi konvensional, perusahaan hanya sebagai pemegang amanah untuk mengelolanya.
Dana yang dikumpulkan oleh nasabah dalam bentuk premi menjadi milik perusahaan,
sehingga perusahaan bebas menentukan bagaimana investasi akan dilakukan.
5. Dalam prosesnya, asuransi syariah tidak mengenal dana hangus seperti yang dilakukan oleh
asuransi konvensional. Jika peserta tidak dapat melanjutkan pembayaran premi selama masa
kontrak dan ingin mengundurkan diri sebelum masa reversing period, dana yang telah
dimasukkan dapat diambil kembali, kecuali sebagian yang memang dimaksudkan untuk
tabarru’.
6. Pada asuransi syariah, pembayaran klaim dilakukan dari dana tabarru’ (dana kebajikan)
seluruh peserta, yang sejak awal telah diikhlaskan bahwa ada penyisihan dana yang akan
digunakan untuk membantu sesama peserta jika terjadi musibah. Pada asuransi konvensional,
pembayaran klaim dilakukan dari dana perusahaan.
7. Keuntungan dari asuransi syariah dibagi antara perusahaan dan peserta sesuai dengan prinsip
mudarabah.

C. Dasar Hukum Asuransi Syariah di Indonesia


Hukum perasuransian Indonesia diatur dalam KUH Perdata, KUHD (Kitab Undang
Undang Hukum Dagang), undang-undang, peraturan pemerintah, dan keputusan menteri. Untuk
mengatur dan mengawasi perusahaan asuransi di Indonesia, baik itu asuransi konvensional
maupun syariah. Secara teknis, perusahaan asuransi dan reasuransi yang mengikuti prinsip
syariah mengacu pada SK Dirjen Lembaga Keuangan No. 4499/LK/2000 tentang Jenis,
Penilaian, dan Pembatasan Investasi Perusahaan Asuransi dan Perusahaan Reasuransi dengan
Sistem Syariah, serta beberapa Keputusan Menteri Keuangan (KMK), PMK, dan beberapa fatwa
DSN-MUI. Adapun beberapa fatwa yang dikeluarkan oleh Dewan Syariah Nasional Majlis
Ulama Indonesia (DSN-MUI), yang mencakup:
1. Fatwa DSN-MUI No. 21/DSN-MUI/X/2001 tentang Pedoman Umum Asuransi Syariah
2. Fatwa DSN-MUI No. 51/DSN-MUI/III/2006 tentang akad Mudarabah Musyarakah pada
Asuransi Syariah
3. Fatwa DSN-MUI No. 52/DSN-MUI/III/2006 tentang Akad Wakalah Bil Ujrah Pada Asuransi
dan Reasuransi Syariah
4. Fatwa DSN-MUI No. 58/DSN-MUI/III/2006 tentang akad Tabarru’ pada Asuransi dan
Reasuransi Syariah.

D. Prinsip Asuransi Syariah


Didasarkan pada al-Qur'an dan al-Hadits, asuransi Islam Takaful didasarkan pada tiga
prinsip utama:
1. Saling Bertanggungjawab
Berdasarkan prinsip ini, peserta asuransi syariah setuju untuk bertanggung jawab satu sama
lain, memikul tanggung jawab dengan niat baik sebagai ibadah dan hal ini diharuskan dalam
agama Islam. Sifat bertanggung jawab dalam usaha dapat menguatkan, menyatukan, dan
mengharmoniskan masyarakat. Inilah alasan mengapa Takaful didirikan sebagai prinsip
utamanya untuk memastikan keselamatan dan keamanan masyarakat muslimin, khususnya
dalam bidang perlindungan [7].
2. Saling Bekerjasama atau Bantu-Membantu
Peserta rancangan asuransi setuju untuk bekerja sama dan membantu satu sama lain
berdasarkan prinsip ini. Islam mengajarkan umatnya untuk bekerja sama dalam hal-hal baik
karena ini dapat menumbuhkan perasaan taqwa. Selain itu, agama ini memerintahkan mereka
untuk selalu hidup saling membantu dan bekerja sama untuk menegakkan kebaikan dan
mencegah kemungkaran. Sangat jelas bahwa prinsip utama dalam pelaksanaan konsep
asuransi syariah adalah kolaborasi dalam melakukan perbuatan kebaikan dan menjauhkan
perbuatan mungkar.
3. Saling Melindungi
Peserta asuransi syariah juga setuju untuk melindungi satu sama lain dari masalah, bencana,
dan lainnya. Ini penting karena keselamatan atau keamanan adalah kebutuhan dasar manusia,
seperti halnya mencari rezeki. Saling melindungi yang dimaksud adalah orang yang kuat
melindungi yang lemah, orang kaya melindungi yang miskin dan yang membutuhkan, dan
pemerintah juga melindungi masyarakat untuk mensejahterakan dan menjaga keamanannya.

E. Jenis-Jenis Asuransi Syariah


Ada tiga jenis asuransi syariah (Takaful) yang serupa dan sebanding dengan tiga jenis
asuransi yang disebutkan dalam UU No. 2 Tahun 1992: Asuransi Syariah Keluarga (asuransi
jiwa), Asuransi Syariah Umum (asuransi kerugian), dan ReTakaful. Ketiganya akan dibahas
secara lebih rinci di bawah ini.
1. Asuransi Syariah Keluarga (Asuransi Jiwa)
Asuransi Takaful Keluarga adalah asuransi syariah yang memberikan perlindungan dan
bantuan terhadap asuransi jiwa dan keluarga berdasarkan Syariah Islam. Takaful Keluarga
menawarkan layanan bancassurance, asuransi kesehatan khusus, dan layanan individu atau
grup. Terdapat dua sistem pengelolaan dana Takaful: dengan dan tanpa unsur tabungan.
Kontribusi dapat diangsur bulanan, kuartalan, semesteran, atau tahunan. Akad yang
digunakan antara lain al-mudarabah, al-mudarabah musyarakah, dan wakalah bil ujrah.
Perusahaan menetapkan angsuran minimal berdasarkan jangka waktu, jadwal angsuran, dan
jumlah pertanggungan.
2. Asuransi Syariah Umum (Asuransi Kerugian)
Takaful Umum adalah asuransi syariah yang memberikan perlindungan finansial kepada
peserta dalam kasus bencana atau kecelakaan harta benda. Fokus utamanya adalah
menyediakan layanan dan bantuan asuransi kerugian seperti kebakaran, pengangkutan,
perdagangan, dan kendaraan bermotor. Tujuannya adalah mewujudkan masyarakat Indonesia
sejahtera dengan perlindungan asuransi sesuai Muamalah Syariah Islam. Premi Takaful yang
diterima dimasukkan ke rekening khusus tabarru untuk membayar klaim peserta jika terjadi
musibah pada properti atau diri peserta. Premi Takaful diinvestasikan dalam pembiayaan
proyek syariah. Peserta dan perusahaan Takaful mengikat kontrak sesuai syariah. Peserta
umum Takaful dapat berupa individu, perusahaan, yayasan, atau lembaga berbadan hukum
lainnya.
3. ReTakaful
Reasuransi syariah atau reTakaful adalah proses saling menanggung risiko antara pemberi
sesi dan reasurandur dengan berbagi resiko berdasarkan kontrak syariah. ReTakaful
merupakan evolusi dari asuransi syariah dengan tujuan serupa, yaitu memungkinkan kerja
sama yang saling menguntungkan antara penanggung dan tertanggung dalam menanggung
risiko kerugian. ReTakaful menggunakan prinsip syariah yang terbebas dari riba, gharar, dan
maisir.

F. Sistem Operasional Asuransi Syariah


Dalam sistem asuransi syariah, para peserta saling membantu dan melindungi satu sama
lain. Peserta memberi perusahaan tanggung jawab untuk mengelola dana yang terkumpul,
mengembangkannya dengan benar, dan menyalurkannya kepada peserta jika mereka mengalami
musibah [8]. Saat ini, operasi asuransi syariah menghilangkan gharar, maisir, dan riba sesuai
dengan fatwa yang dikeluarkan oleh DSN MUI. Dengan adanya fatwa DSN MUI mengenai akad
tabarru’, wakalah bil ujrah, akad mudarabah, musytarakah, dan akad wakaf, maka secara
otomatis menghilangkan gharar, maisir dan riba dari operasional asuransi syariah. Dengan kata
lain, operasi asuransi syariah sudah memenuhi persyaratan syariah [9].

G. Akad-Akad dalam Asuransi Syariah


Dalam asuransi syariah terdapat dua jenis akad, yaitu akad tijarah dan akad tabarru’. Akad
tijarah dilakukan untuk tujuan komersial, seperti akad mudarabah antara peserta dan
perusahaan. Akad tabarru’ dilakukan dengan tujuan tolong-menolong dan kebajikan, seperti
akad hibah. Akad-akad tersebut penting untuk menjaga kepatuhan terhadap prinsip syariah
dalam operasional asuransi syariah. Dalam setiap akad asuransi syariah, harus disebutkan:
1. Hak dan kewajiban peserta serta perusahaan
2. Cara dan waktu pembayaran premi
3. Jenis akad tijarah (mudarabah) dan/atau tabarru’ (hibah) beserta syarat-syaratnya, sesuai
dengan jenis asuransi yang diakadkan

H. Pengelolaan Dana dalam Asuransi Syariah


Wakalah bil ujrah dan mudarabah musytarakah adalah dua akad yang digunakan untuk
mengelola dana asuransi syariah. Wakalah bil ujrah memberikan wewenang kepada peserta
untuk mengelola dana dengan imbalan ujrah. Ini berlaku untuk produk tabungan dan non-
tabungan. Perusahaan bertindak sebagai wakil dan peserta bertindak sebagai pemberi kuasa
dalam akad ini. Di mana perusahaan dan peserta menjadi mitra usaha, mudarabah musytarakah
juga dapat diterapkan pada produk tabungan dan non-tabungan. Untuk memastikan kepatuhan
pada prinsip syariah, kedua perjanjian ini diatur oleh fatwa DSN-MUI.

I. Kendala dan Tantangan dalam Pengembangan Asuransi Syariah


Ada sejumlah masalah yang perlu diperhatikan saat meningkatkan ekonomi syariah
nasional, termasuk asuransi syariah. Pertama, ketersediaan sumber daya manusia yang dapat
diandalkan di industri ini. Industri ini diproyeksikan membutuhkan setidaknya 200.000 karyawan
dengan keahlian di bidang perbankan dan keuangan syariah. Bahkan di beberapa negara,
sertifikasi Islamic Finance Qualification (IFQ) yang diberikan oleh Inggris, Libanon, Bahrain,
Dubai, dan Malaysia telah diterapkan. Kedua, manfaat ekonomi syariah harus lebih dikenal oleh
masyarakat luas karena pemahaman mereka tentang instrumen perbankan dan keuangan syariah
relatif rendah. Ketiga, tidak banyak perguruan tinggi yang mengajar ekonomi Islam. Ini karena
tidak cukup ahli di bidang ini. Keempat, industri perbankan dan keuangan nasional masih kurang
koordinasi kelembagaan. Diharapkan kehadiran OJK akan membantu perkembangan ekonomi
syariah di Indonesia dan membenahi dan meningkatkan koordinasi kelembagaan. Kelima,
pengembangan ekonomi syariah membutuhkan kolaborasi dari semua stakeholder, pemerintah,
industri, dan masyarakat [10].
Di Indonesia, asuransi syariah, juga dikenal sebagai Takaful, masih baru diluncurkan. Pada
tahap ini, industri masih mengembangkan desain produk dasar, sehingga konsumen masih perlu
diyakinkan untuk membeli produk. Untuk sementara, biaya pemasaran untuk memperluas
pengetahuan konsumen masih tinggi. Dengan demikian, sangat diharapkan bahwa pemerintah,
industri asuransi, dan masyarakat akan bekerja sama.
J. Manfaat Asuransi Syariah dan Potensi Pengembangannya di Indonesia
Berkembangnya sektor jasa keuangan secara keseluruhan meningkatkan kebutuhan akan
lembaga keuangan yang bernuansakan Islami. Untuk melindungi umat Islam dari tindakan
maysir, gharar, dan riba dalam bidang ekonomi, diperlukan pengelolaan lembaga keuangan
syariah, salah satunya adalah asuransi syariah. Meskipun asuransi syariah belum sepopuler
lembaga keuangan syariah lainnya seperti perbankan syariah, dewasa ini kemajuannya mulai
terlihat. Mengingat bahwa lebih dari 180 juta orang di Indonesia beragama Islam, asuransi
syariah memiliki peluang yang menjanjikan. Kenyataannya, orang-orang yang beragama Islam
tersebut mulai menjadi lebih sadar untuk menunjukkan identitas kemuslimannya melalui
berbagai cara. Sebagai contoh, dalam dua dekade terakhir ini, perusahaan makanan dan minuman
telah mulai memasang label halal pada produknya, pakaian dan aksesori yang menggambarkan
Islam, perjalanan haji dan umroh, lembaga pendidikan, dan media Islami. Selain itu, ada
sebagian dari umat Islam yang menginginkan segala interaksi muamalah yang dia lakukan untuk
mencapai kesejahteraannya harus sesuai dengan syariah [11].
Indonesia memiliki banyak peluang untuk menjadi pemimpin industri keuangan syariah di
seluruh dunia karena beberapa alasan. Pertama, populasi muslimnya yang luas memungkinkan
negara untuk menjadi nasabah industri. Kedua, ada prospek ekonomi yang cerah, yang
ditunjukkan oleh pertumbuhan ekonomi yang relatif tinggi (6,0% hingga 6,5%) yang didukung
oleh fundamental ekonomi yang stabil. Ketiga, rating kredit nasional Indonesia telah meningkat
menjadi rating investasi, yang akan mendorong investor untuk berinvestasi di sektor keuangan
domestik, termasuk industri keuangan syariah. Keempat, memiliki sumber daya alam yang
melimpah dapat digunakan sebagai dasar untuk bisnis keuangan syariah [12]. Ada beberapa
faktor yang dapat memberikan peluang untuk memperluas jaringan bisnis asuransi Islam di
Indonesia, dan beberapa dari peluang tersebut adalah sebagai berikut:
1. Jumlah penduduk beragama Islam di Indonesia mencapai lebih dari 180 juta orang.
2. Keunggulan konsep asuransi Islam dapat memenuhi tuntutan rasa keadilan masyarakat.
3. Kesadaran bermuamalah sesuai syariah tumbuh subur di kalangan golongan menengah.
4. Perkembangan ekonomi umat telah meningkatkan kebutuhan akan asuransi.
5. Pembentukan LKS (Lembaga Keuangan Syariah) tambahan seperti bank dan reksadana.

Dengan semakin berkembangnya jenis dan variasi produk asuransi serta sosialisasi yang
dilakukan oleh perusahaan asuransi baik konvensional maupun syariah, masyarakat mulai
memahami dan menggunakan produk asuransi secara rutin [13]. Prinsip konvensional diterapkan
oleh perusahaan dan produk pertama yang dikenal masyarakat. Dengan perkembangan dunia
syariah, asuransi dengan prinsip syariah muncul dan menawarkan produk dan layanan yang
sesuai dengan syariah. Oleh karena itu, sebagai konsumen, mereka perlu memahami gambaran
dunia asuransi baik konvensional maupun syariah sebagai bahan pertimbangan saat memilih
produk dan layanan asuransi sesuai dengan kebutuhannya.
PENUTUP

Berdasarkan pembahasan mengenai asuransi syariah di atas, terdapat beberapa hal penting
yang perlu digarisbawahi. Meskipun mayoritas penduduk Indonesia beragama Islam, pangsa
pasar asuransi syariah masih sangat rendah, hanya sekitar 5,79% pada 2016. Ini menunjukkan
bahwa potensi pertumbuhan asuransi syariah di Indonesia masih sangat besar mengingat basis
konsumen Muslim yang luas. Untuk merealisasikan potensi tersebut, diperlukan kerja sama yang
erat antara berbagai pemangku kepentingan. Pemerintah perlu mendorong pertumbuhan industri
ini melalui regulasi dan koordinasi kelembagaan yang memadai. Sementara itu, perusahaan
asuransi syariah perlu meningkatkan sosialisasi dan edukasi secara masif kepada masyarakat
luas agar produk syariah dapat diterima dengan baik. Perguruan tinggi dan lembaga pelatihan
juga dituntut menyiapkan SDM yang kompeten di bidang perasuransian dan keuangan syariah.
Peningkatan literasi dan inklusi keuangan syariah menjadi kunci untuk mempercepat
adopsi produk asuransi syariah di Indonesia. Pemerintah perlu memfasilitasi akses mayoritas
Muslim ke produk dan layanan keuangan syariah melalui kebijakan yang inklusif dan afirmatif.
Sementara itu, industri juga perlu terus berinovasi untuk menghadirkan produk-produk yang
sesuai dengan kebutuhan masyarakat Muslim. Kolaborasi internasional dalam riset dan
pengembangan produk syariah global dapat memperkuat fondasi industri asuransi syariah
domestik. Pengembangan standar dan praktik terbaik internasional akan sangat berguna sebagai
acuan bagi pelaku industri di Indonesia. Demikian beberapa hal penting terkait asuransi syariah
dan prospek pengembangannya di Indonesia. Dengan kolaborasi yang baik antar pemangku
kepentingan serta dukungan pemerintah yang konsisten, asuransi syariah diprediksi dapat
memberikan kontribusi signifikan terhadap perekonomian nasional di masa mendatang.
DAFTAR PUSTAKA

[1] D. M. Jannah and L. Nugroho, “Strategi Meningkatkan Eksistensi Asuransi Syariah di Indonesia,” Jurnal
Maneksi, vol. 8, no. 1, Jun. 2019.
[2] W. Arafah and L. Nugroho, “Maqhashid Sharia in Clean Water Financing Business Model at
Islamic Bank,” International Journal of Business and Management Invention, vol. 5, no. 2, pp.
22–32, 2016.
[3] E. Octaviani, “Implementasi Polis Asuransi Syariah Perjalanan Implementasi Polis Asuransi
Syariah Perjalanan Umrah (ASPU) yang Diterbitkan Oleh Asosiasi Asuransi Syariah Indonesia
(Aasi) Bagi Jemaah Umrah di Masa Syariah Indonesia (AASI) Bagi Jemaah Umrah di Masa
Pandemi Covid-19,” Jurnal Administrasi Bisnis Terapan, vol. 5, no. 1, Dec. 2022, doi:
10.7454/jabt.v5i1.1038.
[4] L. Nugroho and N. Anisa, “Pengaruh Manajemen Bank Induk, Kualitas Aset, dan Efisiensi
terhadap Stabilitas Bank Syariah di Indonesia (Periode Tahun 2013-2017),” Inovbiz: Jurnal
Inovasi Bisnis, vol. 6, no. 2, pp. 114–122, 2018.
[5] U. Hasanah, “Asuransi dalam Perspektif Hukum Islam,” Asy-Syir’ah: Jurnal Ilmu Syari’ah dan
Hukum, vol. 47, no. 1, 2013.
[6] A. Effendi, “Asuransi Syariah di Indonesia (Studi Tentang Peluang ke Depan Industri Asuransi
Syariah),” Jurnal Wahana Akademika, vol. 3, no. 2, Oct. 2016.
[7] M. Md Husin, N. Ismail, and A. Ab Rahman, “The Roles of Mass Media, Word of Mouth and
Subjective Norm in Family Takaful Purchase Intention,” Journal of Islamic Marketing, vol. 7,
no. 1, pp. 59–73, 2016.
[8] W. Akhter and T. Hussain, “Takāful Standards and Customer Perceptions Affecting Takāful
Practices in Pakistan: A Survey,” International Journal of Islamic and middle eastern finance
and management, vol. 5, no. 3, pp. 229–240, 2012.
[9] B. Parsaulian, “Prinsip dan Sistem Operasional Asuransi Syariah (Ta’min, Takaful Atau
Tadhamun) di Indonesia,” Ekonomika Syariah: Journal of Economic Studies , vol. 2, no. 2, 2018.
[10] N. P. Swartz and P. Coetzer, “Takaful: An Islamic Insurance Instrument,” J Dev Agric Econ, vol.
2, no. 10, pp. 333–339, 2010.
[11] H. Ramadhani, “Prospek dan Tantangan Perkembangan Asuransi Syariah di Indonesia,” Al-
Tijary: Jurnal Ekonomi dan Bisnis Islam , vol. 1, no. 1, Dec. 2015.
[12] N. Ichsan, “Peluang dan Tantangan Inovasi Produk Asuransi Umum Syariah,” Jurnal Ekonomi
Islam, vol. 7, no. 2, pp. 131–156, 2016.
[13] Z. Abdul Rahman, “Takaful: Potential demand and growth,” Journal of King Abdulaziz
University: Islamic Economics, vol. 22, no. 1, 2009.

Anda mungkin juga menyukai