Anda di halaman 1dari 5

Landasan Asuransi syariah

Asuransi berdasarkan hukum asuransi syariah juga memiliki perbedaan dengan asuransi konvensional,
seperti dalam hal masa kontrak, pengelolaan dana asuransi, pengawasan, dan kepemilikan dana.

Asuransi konvensional biasanya cenderung memiliki peraturan yang menguntungkan perusahaan


mengingat dalam jenis asuransi ini tentu saja tujuan perusahaan adalah mencari profit.

Dalam asuransi jiwa syariah, perusahaan menjamin bahwa dana dari nasabah tidak akan digunakan
untuk membiayai atau berinvestasi di bidang yang bertentangan dengan syariat, seperti produk
tembakau untuk rokok dan minuman keras.

1. Akad dalam asuransi syariah

Akad dalam asuransi syariah adalah keterikatan antara nasabah asuransi dengan perusahaan asuransi.
Akad dalam asuransi syariah bahkan secara tegas menolak unsur perjudian (maysir), penipuan (gharar),
riba, penganiayaan (zhulm), dan suap (risywah), serta barang haram dan hal yang terkait maksiat.

Beberapa akad yang digunakan dalam asuransi berdasarkan hukum asuransi syariah meliputi:

Akad Tijarah yang bertujuan komersial, yaitu dengan melakukan investasi dari premi nasabah,

Akad Tabbaru’ yang dilakukan berdasarkan prinsip saling tolong-menolong.

Akad Wakalah bil Ujrah yang memberikan wewenang kepada penyedia asuransi dalam mengelola dana
proteksi atau investasi milik nasabah.

2. Prinsip dasar asuransi syariah

Prinsip penerapan pertanggungan menjadi faktor dasar sebagai pembeda asuransi syariah dengan
asuransi konvensional. Dalam asuransi syariah, nasabah akan tolong-menolong dalam berbagi risiko
melalui iuran Tabbaru’ yang dikumpulkan dan akan digunakan untuk membiayai nasabah yang memang
membutuhkan.

Prinsip asuransi syariah secara umum menaruh perhatian khusus pada para pelanggannya untuk bisa
bersatu dalam tolong-menolong. Prinsip ini juga sekaligus diharapkan akan membentuk rasa kasih
sayang dan kekeluargaan yang kuat berkat usaha saling bantu sesama nasabah asuransi.

Dasar Hukum Asuransi Syariah


Meski cukup banyak diminati dan didukung penuh oleh Majelis Ulama Indonesia (MUI) melalui
fatwanya, hukum dasar asuransi syariah tetap dipertanyakan. Bahkan, tidak sedikit yang menganggap
asuransi berdasarkan hukum asuransi syariah belum sepenuhnya halal.

Pemerintah bersama lembaga keuangan terkait, terutama yang berbasis syariah dan MUI terus
mengedukasi masyarakat tentang jenis dan manfaat asuransi ini.

Dasar hukum di dalam Al Quran

Asuransi syariah memiliki dasar-dasar yang juga ada dalam hadis dan ayat dalam Al Quran, yaitu:

Al Maidah 2: “Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan
tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran.”

An Nisaa 9: “Dan hendaklah takut kepada Allah orang-orang yang seandainya meninggalkan di belakang
mereka anak-anak yang lemah yang mereka khawatir terhadap mereka.”

HR Muslim dari Abu Hurairah: “Barang siapa melepaskan dari seorang muslim suatu kesulitan di dunia,
Allah akan melepaskan kesulitan darinya pada hari kiamat.”

Dasar hukum menurut fatwa MUI

Pada dasarnya, asuransi syariah justru hadir sebagai solusi dari anggapan bahwa esensi asuransi
bertentangan dengan syariat agama dan prinsip-prinsip di dalam agama itu sendiri. Itu sebabnya mulai
2001, Majelis Ulama Indonesia (MUI) mengeluarkan fatwa yang menyatakan bahwa asuransi syariah
secara sah diperbolehkan dalam ajaran Islam.

Beberapa fatwa MUI yang mempertegas kehalalan asuransi syariah adalah:

Fatwa No 21/DSN-MUI/X/2001 tentang Pedoman Umum Asuransi Syariah.

Fatwa No 51/DSN-MUI/III/2006 tentang Akad Mudharabah Musytarakah pada Asuransi Syariah

Fatwa No 52/DSN-MUI/III/2006 tentang Akad Wakalah Bil Ujrah pada Asuransi Syariah dan Reasuransi
Syariah

Fatwa No 53/DSN-MUI/III/2006 tentang Akad Tabarru pada Asuransi Syariah.

Dasar Hukum dari Peraturan Menteri Keuangan

Asuransi syariah juga sudah diatur operasional dan keberadaannya melalui Peraturan Menteri Keuangan
Nomor 18/PMK.010/2010 tentang Prinsip Dasar Penyelenggaraan Usaha Asuransi dan Usaha Reasuransi
dengan Prinsip Syariah.

Adapun beberapa ketegasan dasar hukum dari Pemerintah ini bisa dilihat di BAB I, Pasal I nomor 1
hingga 3, yaitu:
Pasal 1 Nomor 1

Asuransi berdasarkan prinsip Syariah adalah usaha saling tolong-menolong (ta’awuni) dan melindungi
(takafuli) di antara para nasabah melalui pembentukan kumpulan dana (tabbaru’) yang dikelola dengan
prinsip syariah untuk menghadapi risiko tertentu.

Pasal 1 Nomor 2

Perusahaan adalah perusahaan asuransi atau perusahaan reasuransi yang menyelenggarakan seluruh
atau sebagian usahanya berdasarkan prinsip syariah.

Pasal 1 Nomor 3

Nasabah adalah orang atau badan yang menjadi nasabah program asuransi dengan prinsip Syariah, atau
perusahaan asuransi yang menjadi nasabah reasuransi dengan prinsip syariah.

Perlindungan yang ditawarkan melalui asuransi syariah kini sudah jelas bahwa hukumnya halal sesuai
dengan fatwa yang dikeluarkan oleh MUI. Di samping itu, tiap perusahaan asuransi yang memiliki
produk berbasis syariah turut memiliki anggota Dewan Pengawas Syariah (DPS) yang bertugas
memastikan semua produk syariah dijalankan dengan mengikuti syariat.

Perbedaan antara asuransi syariah dan konvensional

Asuransi syariah dan konvensional memiliki perbedaan yang sangat signifikan. Satu hal yang
membedakan adalah soal prinsip dasarnya.

Asuransi konvensional merupakan kesepakatan dua pihak atau lebih untuk menyediakan jaminan akan
sesuatu yang dijanjikan. Sementara asuransi berdasarkan hukum asuransi syariah menjunjung tinggi
asas tolong-menolong dengan dana Tabarru. Nah, dana Tabarru sendiri merupakan dana yang didapat
dari peserta asuransi, bukan dari perusahaan penyedia asuransi.

Dana inilah yang nantinya digunakan untuk memberikan santunan kepada peserta yang mengalami
musibah, sakit, atau meninggal dunia.

Selain itu, asuransi syariah gak mengenal dana hangus seperti yang kamu temukan di asuransi
konvensional. Pada sistem asuransi syariah, perusahaan asuransi juga tidak diperkenankan berinvestasi
yang bertentangan dengan prinsip syariah atau investasi di tempat terlarang alias haram.

Landasan Asuransi syariah di Indonesia

Landasan Hukum Asuransi IslamPeraturan yang secara tegas menjelaskan tentang Asuransi Islam,
yaitupada Surat Keputusan Direktur Jenderal Lembaga Keuangan No. Kep.4499/LK/2000 tentang Jenis,
Penilaian, dan Pembatasan Investasi PerusahaanAsuransi dan Perusahaan Reasuransi dengan Sistem
Syariah. Dalam menjalankanusahanya, perusahaan asuransi dan perusahaan reasuransi Islam
masihmenggunakan pedoman yang dikeluarkan oleh Dewan Nasional Majelis UlamaIndonesia (DSN-
MUI), yaitu fatwa DSN-MUI No.21/DSN-MUI/X/2001 tentangPedoman Umum Asuransi Syariah.

Pedoman Umum Asuransi Syariah Fatwa Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia (DSN-MUI)
No.21 Tahun 2001 tentang Pedoman Umum Asuransi Syariah adalah sebagai berikut:

1. Ketentuan Umum

a)Asuransi Syariah (Ta’min, Takaful, dan Tadhamun) adalah usaha salingtolong-menolong diantara
sejumlah orang atau pihak melalui investasidalam bentuk aset dan atau tabarru’ yang memberikan
pola14pengembalian untuk menghadapi risiko tertentu melalui akad(perikatan) yang sesuai dengan
syariah.

b) Akad tijarah adalah semua bentuk akad yang dilakukan untuk tujuankomersial.

c) Akad tabarru’ adalah semua bentuk akad yang dilakukan untuk dengantujuan kebajikan dan tolong-
menolong, bukan semata untuk tujuankomersial.

d) Premi adalah kewajiban peserta asuransi untuk memberikan sejumlahdana kepada perusahaan
asuransi sesuai dengan kesepakatan dalamakad.

e) Klaim adalah hak peserta asuransi yang wajib diberikan olehperusahaan asuransi sesuai dengan
kesepakatan dalam akad.

2. Akad dalam Asuransi

a) Akad yang dilakukan antara peserta dengan perusahaan terdiri atas akadtijarah dan akad tabarru’.

b) Akad tijarah adalah mudharabah, sedangkan akad tabarru’ adalahhibah.

c) Dalam akad, sekurang-kurangnya harus disebutkan :

1) Hak dan kewajiban peserta dan perusahaan.

2) Cara dan waktu pembayaran premi.

3) Jenis akad tijarah dan akad tabarru’ serta syarat-syarat yangdisepakati, sesuai dengan jenis asuransi
yang diakadkan.

3. Kedudukan para pihak dalam akad tijarah dan tabarru’

a) Dalam akad tijarah (mudharabah), perusahaan bertindak sebagaimudharib (pengelola) dan peserta
bertindak sebagai shaibul mal(pemegang polis).
b) Dalam akad tabarru’ (hibah), peserta memberikan hibah yang akandigunakan untuk menolong
peserta lain yang terkena musibah.Sedangkan perusahaan bertindak sebagai pengelola dana hibah.

4.Ketentuan dalam akad tijarah dan tabarru’

a) Jenis akad tijarah dapat diubah menjadi akad tabarru’, bila pihak yangtertahan haknya, dengan rela
melepaskan haknya sehinggamenggugurkan kewajiban pihak yang belum menunaikankewajibannya.

b) Jenis akad tabarru’ tidak dapat diubah menjadi jenis akad tijarah.

5. Jenis asuransi dan akadnya

a) Dari segi jenis, asuransi terdiri dari asuransi kerugian dan asuransi jiwa.

b) Akad bagi kedua jenis asuransi tersebut adalah mudharabah dan hibah.

6. Premi

a) Pembayaran premi didasarkan atas jenis akad tijarah dan jenis akadtabarru’.

b) Premi yang berasal dari jenis akad mudharabah dapat diinvestasikandan hasil investasinya dibagi-
hasilkan kepada peserta.

c) Premi yang berasal dari jenis akad tabarru’ dapat diinvestasikan.

Premi pada asuransi syariah adalah sejumlah dana yang dibayarkan olehpeserta yang terdiri atas Dana
tabungan dan Tabarru’. Dana tabunganadalah titipan peserta asuransi syariah (Life Insurance) dan akan
mendapatalokasi bagi hasil (al-mudharabah) dari pendapatan investasi bersih yangdiperoleh setiap
tahun. Dana tabungan beserta alokasi bagi hasil akandikembalikan kepada peserta yang bersangkutan
yang mengajukan klaim,baik berupa klaim nilai tunai maupun klaim manfaat asuransi. Sedangkandana
tabarru’ adalah derma atau dana kebajikan yang diberikan dandiikhlaskan oleh peserta asuransi jika
sewaktu-waktu akan dipergunakanuntuk membayar klaim atau manfaat asuransi (Life maupun
generalinsurance).

Anda mungkin juga menyukai