Oleh: Kelompok 3
sugianto
Penulis menyadari bahwa makalah ini jauh dari kata sempurna. Oleh karna
itu, penulis mengharapkan kritik dan saran dari pembaca demi kesempurnaan
makalah ini di kemudian hari. Akhir kata, semoga maklah ini dapat bermanfaat
khususnya bagi penulis dan pembaca bagi umumnya.
Kelompok 3
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ……………………………………………………… 1
KATA PENGANTAR…………………………………………….................. 2
DAFTAR ISI………………………………………………………………… 3
BAB I PENDAHULUAN
B. Rumusan masalah………………………………………………………... 6
C. Tujuan…………………………………………………………………… 6
BAB II PEMBAHASAN
A. Kesimpulan…………………………………………………….. ……….. 17
B. Saran………………………………………………….…………….…… 17
BAB I
PENDAHULUAN
A.Latar Belakang
Dalam diskursus pengetahuan Islam, Al-Quran dan hadis merupakan
sumber tekstual yang paling utama1.1 Pada mulanya kedua sumber ajaran tersebut
bukanlah berupa teks, melainkan hanya berupa “lisan” perkataan atau amalan saja,
yang selanjutnya secara bertahap dengan perjalanan sejarah yang cukup kompleks
dan alur yang sangat berliku, kemudian pada akhirnya menjadi sebuah korpus teks
yang tertulis dan disucikan. Hal ini sebagai konsekwensi dari tradisi Islam yang
dalam jangka waktu lama telah menciptakan pola pengkultusan dari sebuah tradisi
lisan dan kultus personal (nabi Muhammad) kepada bentuk tradisi tulis atau teks
yang selanjutnya teks tersebut menjadi pemangku sekaligus pengganti otoritas
(personal) dalam ajaran-ajaran Islam selanjutnya.
1
Hasyim Abbas, Kritik Matan Hadis (Yogyakarta: Teras, 2004), hlm. 1. Atau Lihat Juga Yasin Dutton,
“Sunna, Hadith and Madinan Amal”, Islamic Studies, Vol 4, Januari 1993. Hlm. 1
2
Syuhudi Ismail, Metodologi Penelitian Hadis Nabi (Jakarta: Bulan Bintang, 1992), hlm. 2
3
3 Kata ahad merupakan jamak dari kata wahid yang arti harfiahnya adalah satu. Secara istilah berarti
periwayatan yang tidak menjcapai derajat mutawatir. Lihat penjelasannya lebih lanjut dalam al-Ashqalani,
Nuzhatun Nazar ….hlm. 9
terlihat dari kondisi periwayatannya yang pada awalnya hanya berupa tradisi lisan
dengan sebaran yang sangat sedikit, kemudian setelah wafatnya nabi tradisi lisan
tersebut terkoodifikasi secara massif dalam bentuk korpus teks yang sangat
banyak. Di sisi yang lain proses koodifakasi tersebut juga menciptakan problem
mendasar dalam penggunaan istilah-istilah yang melingkupinya. Terdapat
beragam istilah yang ditemukan seperti “sunnah”, tradisi, “amal”, atsar, khabar
dan “hadis”, yang dalam khasanah perkembangan pengetahuan muslim sulit
membedakannya antara satu dengan yang lain, sebab kesemuanya berkalut
kelindan mewujud dalam satu korpus “teks” yang sama yakni “hadis” sebagai
sebuah teks.
C .TUJUAN
Pada abad pertama tampaknya ada sikap ambivalen pada sebagian shahabat dan
para tabiin senior tentang penulisan hadis. Di satu sisi, ada keinginan untuk
menulis hadis untuk tujuan-tujuan tertentu, tetapi di sisi lain ada kekhawatiran
bahwa hadis-hadis yang ditulis tersebut akan menyaingi Alquran pada masa
berikutnya. Meskipun demikian, berpuluh-puluh shahabat dan para tabiin senior
dilaporkan memiliki naskah-naskah, yang kemudian dinamakan suhuf (bentuk
tunggalnya shahîfah).
Pada akhir abad pertama/ketujuh, ada faktor-faktor tertentu yang ikut mendorong
penghimpunan hadis tanpa ragu-ragu. Kekhawatiran akan terdistorsinya Alquran
telah hilang. Teks Alquran sudah dihafal dan dibaca secara seragam oleh sebagian
besar orang muslim yang tak terhitung banyaknya dan salinan mushaf Alquran
sudah disebarkan secara luas ke berbagai wilayah.1 Lebih jauh lagi, para syaikh
hadis yang terkemuka secara bertahap telah wafat satu demi satu, sementara
gerakan korupsi dan pemalsuan hadis mulai mengancam integritas hadis. Perang
sipil yang berawal dari terbunuhnya Khalifah ketiga, Utsmân b. ‘Affân (w.
35/656) menyebabkan perselisihan dan pertentangan politik yang melibatkan
periwayatan yang salah atas hadis dalam rangka mendukung kepentingan dan
doktrin kelompok tertentu.2
Oleh karena itu, diperlukan suatu ukuran untuk membedakan materi-materi hadis
yang autentik dan yang palsu dan untuk mendukung dan menopang metode
periwayatan hadis secara lisan. Kebutuhan ini menyebabkan seorang Gubernur
Mesir dinasti Umaiyah, ‘Abd al-‘Azîz b. Marwan (65-85/684-704), dan anak laki-
lakinya Khalifah ‘Umar b. ‘Abd al-‘Azîz (97-101/715-19) untuk
menginstruksikan kepada para ulama untuk menghimpun hadis. Beberapa
pernyataan juga disandarkan kepada para ulama terkemuka yang memperingatkan
agar berhati-hati terhadap para periwayat hadis dan materi hadis yang tidak dapat
dipercaya. Pernyataan-pernyataan semacam itu merupakan benih-benih bagi ilmu
kritik hadis.
Sayangnya, suhuf yang orisinil dari zaman ini telah hilang, walaupun beberapa
salinan atas suhuf tersebut ada yang survive. Contoh suhuf dari zaman ini adalah
shahîfah Hammâm b. Munabbih (w. 110/719), seorang tabiin Yaman dan murid
seorang shahabat, Abu Hurayrah (w. 58/677), yang darinya Hammâm belajar dan
menulis shahîfah tersebut. Naskah milik Hammâm ini berisi 138 hadis dan
diyakini telah ditulis sekitar pertengahan abad pertama/ketujuh.3
/perkembangan-literatur-hadis-dari-abad-i-hingga-abad-iv-h/