Anda di halaman 1dari 16

MAKALAH

PENGENALAN TOKOH AWAL PEMBUKUAN HADITS


Malik Bin Annas & Ahmad Bin Hanbal

Disusun Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Ulumul Hadits

Dosen Pembimbing : Nuraini, S.Ag, M.Ag

Disusun Oleh Kelompok XI :


Jabal Thoriq Rizfa (220306009)
Miftahul Ihyaiddin Hasibuan (220303017)

PROGRAM STUDI ILMU HADITS


FAKULTAS USHULUDDIN DAN FILSAFAT
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI AR-RANIRY BANDA ACEH
TAHUN 2022
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan
hidayah-Nya sehingga kami dapat menyelesaikan tugas makalah yang berjudul
“Tokoh Awal Pembukuan Hadist, Malik Bin Annas & Ahmad Bin Hanbal” ini
tepat pada waktunya.

Tujuan dari penulisan makalah ini adalah untuk memenuhi tugas dosen
Nuraini, S.Ag, M.Ag pada mata kuliah ulumul hadist. Selain itu, makalah ini juga
bertujuan untuk menambah wawasan tentang tokoh awal pembukuan hadist bagi
para pembaca dan juga bagi penulis.

Kami mengucapkan terima kasih pada ibu Nuraini, S.Ag, M.Ag selaku
dosen mata kuliah ulumul hadist yang telah memberikan tugas ini sehingga dapat
menambah pengetahuan dan wawasan sesuai dengan bidang studi yang kami
tekuni. Kami juga mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah
membagi Sebagian pengetahuannya sehingga kami dapat menyelesaikan makalah
ini. Kami menyadari, makalah yang kami tulis ini masih jauh dari kata sempurna.
Oleh karena itu, kritik dan saran yang membangun akan kami nantikan demi
kesempurnaan makalah ini.

Banda Aceh, 8 September 2022

Tim Penyusun

i
DAFTAR ISI

HALAMAN SAMPUL............................................................................................i

KATA PENGANTAR.............................................................................................i

DAFTAR ISI..........................................................................................................ii

BAB I.......................................................................................................................1

PENDAHULUAN...................................................................................................1
A. Latar Belakang..............................................................................................1

B. Rumusan Masalah.........................................................................................3

C. Tujuan............................................................................................................3

BAB II.....................................................................................................................3

PEMBAHASAN.....................................................................................................3
A. Malik Bin Annas............................................................................................3

B. Ahmad Bin Hanbal........................................................................................6

BAB III..................................................................................................................11

PENUTUP.............................................................................................................11

DAFTAR PUSTAKA...........................................................................................12

ii
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Ilmu hadis merupakan bagian khazanah keilmuan Islam yang senantiasa


terus digali dan dikaji oleh para penuntut ilmu. Ia bagai berlian dari untaian
berlian yang berharga. Ilmu ini termasuk salah satu ilmu penting yang disusun dan
dibangun dalam sejarah keilmuan Islam guna memilah dan memilih suatu
informasi yang disandarkan ke Nabi ‫ صلى هللا عليه وسلم‬hingga dikenal mana hadis-
hadis yang sahih dan mana hadis-hadis yang daif di saat perkara ini pada umat
yang lain tidak diperhatikan hingga mereka menerima segala informasi dari apa
saja yang mereka suka dan menolak apa saja yang tidak disuka tanpa alat yang
bisa mereka jadikan ukuran untuk menyerap informasi tersebut. Terlebih
bagaimana jika informasi itu berhubungan dengan agama atau aqidah. Namun
dalam memilah dan memilih suatu informasi yang disandarkan ke Nabi ‫صلى هللا‬
‫ عليه وسلم‬bukanlah perkara yang mudah dilakukan, terlebih jika belum menguasai
ilmu hadis secara komprehensif. Oleh karena itu para ulama dahulu benar-benar
sangat selektif dalam merumuskan persyaratan kevalidan suatu hadis terutama
sahihnya suatu sanad. Salah satu contoh ulama yang termasuk peduli dalam hal ini
adalah Imam Abû Hanîfah. Walaupun ia dikenal sebagai ulama fikih dengan
corak rasionalnya yang kental, namun dalam hal perumusan diterimanya suatu
hadis juga tidak kalah selektif dengan para ulama hadis yang lain khususnya
dalam menakar kualitas khabar âhâd. Sikapnya ini, menurutnya dimaksudkan
untuk berhati-hati dalam menerima hadis yang diriwayatkan secara individual.
Jika tidak memenuhi yang ditetapkannya maka hadis âhâd tersebut tidak dapat
menjadi landasan hukum.1 Setelahnya diikuti oleh Imam Mâlik, Imam al-Syâfi‘î
dan Imam Ahmad bin Hanbal.

Selain keempat ulama tersebut, masih banyak para ulama yang berdiri dalam
memperjuangkan keorsinilan suatu riwayat demi terjaganya sunah Nabi
Muhammad ‫ صلى هللا عليه وسلم‬. Para ulama pakar hadis adalah kelompok terbaik
yang memiliki banyak keutamaan.

1
M Dede Rodliyana, ‘Hegemoni Fiqh Terhadap Penulisan Kitab Hadith’, Journal of Qur’an and
Hadith Studies, 1 (2012). Hal. 136.

1
Karakter mereka adalah menjaga atsar dan sunnah-sunnah Nabi ‫صلى هللا عليه وسلم‬
,menempuh padang pasir, menjelajah bumi dan mengarungi lautan guna menimba
apa yang telah disyariatkan oleh Rasul pilihan. Mereka tidak pernah berpaling
darinya menuju satu pendapat atau hawa nafsu. Mereka menerima syariatnya baik
ucapan maupun perbuatan, menjaga sunnahnya, baik hafalan maupun periwayatan
hingga dengan demikian mereka lebih teliti dan akurat dalam kajiannya dan
mereka adalah ahlinya. Mempelajari manhaj mereka dalam penilaian hadis adalah
keniscayaan sebagai penghormatan dari ilmu yang telah dirintisnya. Jerih payah
mereka dalam membuat dasar-dasar ilmu agama khususnya ilmu hadis berbuah
manis hingga tersebar ke seluruh pelosok alam tidak terkecuali ke barat dan ke
timur khususnya di Indonesia. Pada abad ke XX perkembangan hadis di Indonesia
sudah terdapat dua gelombang besar yang menyertai perkembangan hadis, yaitu
kurun penyebaran yang masih mempertahankan corak tradisional kitab kuning
dan kurun perubahan terjemahan kitab-kitab berbahasa.

Jerih payah mereka dalam membuat dasar-dasar ilmu agama khususnya ilmu
hadis berbuah manis hingga tersebar ke seluruh pelosok alam tidak terkecuali ke
barat dan ke timur khususnya di Indonesia. Pada abad ke XX perkembangan hadis
di Indonesia sudah terdapat dua gelombang besar yang menyertai perkembangan
hadis, yaitu kurun penyebaran yang masih mempertahankan corak tradisional
kitab kuning dan kurun perubahan terjemahan kitab-kitab berbahasa Arab ke
bahasa Indonesia.2 Di barat, perkembangan hadis pun giat dilestarikan hingga
tercipta dua pendekatan yang berbeda. Pendekatan pertama yang dinamakan
pendekatan “tradisional” dan pendekatan kedua dinamakan pendekatan
“revisionist”.3

Dari generasi ke generasi kajian hadis khususnya ilmu hadis terus berkembang
dan menjadi bahan kajian ilmiah. Di antara tema krusial dalam kajian keilmuan ini
adalah menentukan kedudukan hadis antara diterima dan ditolaknya menjadi
sumber hukum. Dalam perjalanan istinbâṭ ini pokok utamanya adalah kevalidan
sumber hadis yang disandarkan ke Nabi ‫لم‬EE‫ه وس‬EE‫لى هللا علي‬EE‫ ص‬.Sumber ini dapat
ditelusuri
dengan penelusuran sanad, apakah derajat sanad yang dihubungkan ke Nabi
tersebut sahih atau daif?.

2
Badri Khaeruman,’Perkembangan Hadis Di Indonesia Pada Abad XX’, Diroyah: Jurnal Studi Ilmu
Hadis, 1 (2017).
3
Ali Masrur, ‘Diskursus Metodologi Studi Hadis Kontemporer Analisa Komparatif Antara
Pendekatan Tradisional Dan Pendekatan Revisionis’, Journal of Qur,an and Hadits Studies, 1
(2012)

2
Oleh karena itu untuk lebih memahaminya, diperlukan kajian manhaj atau
metodologi masing-masing ulama pakar hadis terhadap rawi tafarrud. Para imam
pakar hadis seperti Ahmad, al-Bukhârî, Muslim, Abû Dâud, al-Dâraquṭnî dan
yang lainnya dalam menyikapi rawi yang tafarrud masing-masing memiliki
metodologitersendiri sehingga sampailah kepada kita hasil penilaian mereka.

B. Rumusan Masalah

1. Bagaimana biografi Malik Bin Annas?


2. Bagaimana biografi Ahmad Bin Hanbal?

C. Tujuan

1. Mengenal sosok Malik Bin Annas melalui biografinya.


2. Mengenal sosok Ahmad Bin Hanbal melalui biografinya.

BAB II

PEMBAHASAN

A. Malik Bin Annas

Abu Abdullah Malik bin Anas bin Malik bin Abi Amir bin Amr bin al-
Haris bin Ghaiman bin Jutsail bin Amr bin al-Haris Dzi Ashbah. Imam Malik
dilahirkan di kota Madinah. sedangkan mengenai masalah tahun kelahirannya
terdapat perbedaaan riwayat. Al-Yafii dalam kitabnya Thabaqat fuqoha
meriwayatkan bahwa Imam Malik dilahirkan pada 94 H. Ibn Khalikan dan yang
lain berpendapat bahwa Imam Malik dilahirkan pada 95 H. Sedangkan Imam
Adz-Dzahabi meriwayatkan Imam Malik dilahirkan 90 H. Imam Yahya bin Bakir
meriwayatkan bahwa ia mendengar Malik berkata, "Aku dilahirkan pada 93 H,"

3
dan inilah riwayat yang paling benar (menurut al-Sam'ani dan ibn farhun). 4 Ayah
imam Malik bukan

Anas bin Malik sahabat Nabi, tetapi seorang tabi'in yang sangat minim sekali
informasinya. Buku sejarah hanya mencatat, bahwa ayah Imam Malik tinggal di
suatu tempat bernama Zulmarwah, suatu tempat di padang pasir sebelah utara
Madinah dan bekerja sebagai pembuat panah. Kakek Malik, Abu Umar, datang ke
Madinah dan bermukim di sana sesudah Nabi wafat. Karenanya kakek Malik ini
tidak termasuk golongan sahabat, tetapi masuk golongan tabi’in

Imam Malik bin Anas dikenal luas akan kecerdasannya. Suatu waktu ia pernah
dibacakan 31 buah Hadis Rasulullah dan mampu mengulanginya dengan baik dan
benar tanpa harus menuliskannya terlebih dahulu. Ia menyusun kitab Al
Muwaththa', dan dalam penyusunannya ia menghabiskan waktu 40 tahun, selama
waktu itu, ia menunjukan kepada 70 ahli fiqh Madinah. Kitab tersebut
menghimpun 100.000 hadis, dan yang meriwayatkan Al Muwaththa’ lebih dari
seribu orang, karena itu naskahnya berbeda beda dan seluruhnya berjumlah 30
naskah, tetapi yang terkenal hanya 20 buah. Dan yang paling masyur adalah
riwayat dari Yahya bin Yahyah al-Laitsi al-Andalusi al-Mashmudi. Sejumlah
ulama berpendapat bahwa sumber-sumber hadits itu ada tujuh, yaitu al-Kutub as-
Sittah ditambah Al Muwaththa’. Ada pula ulama yang menetapkan Sunan ad-
Darimi sebagai ganti Al Muwaththa’. Ketika melukiskan kitab besar ini, Ibnu
Hazm berkata,” Al-Muwaththa’ adalah kitab tentang fiqh dan hadis, aku belum
mengetahui bandingannya. Hadis-hadis yang terdapat dalam Al Muwaththa’ tidak
semuanya Musnad, ada yang Mursal, mu’dlal dan munqathi.

Sebagian ulama menghitungnya berjumlah 600 hadis musnad, 222 hadis mursal,
613 hadis mauquf, 285 perkataan tabi’in, disamping itu ada 61 hadis tanpa
penyandara, hanya dikatakan "telah sampai kepadaku” dan “dari orang
kepercayaan," tetapi hadits-hadits tersebut bersanad dari jalur-jalur lain yang
bukan jalur dari Imam Malik sendiri, karena itu Ibn Abdil Bar an Namiri
menentang penyusunan kitab yang berusaha memuttashilkan hadits-Nadifa
mursal, munqathi’ dan mu’dhal yang terdapat dalam Al Muwaththa’ Malik.

Imam Malik menerima hadits dari 900 orang (guru), 300 dari golongan tabi’in dan
600 dari tabi’in-tabi’in. Imam Malik meriwayatkan hadits bersumber dari
Nu’main al-Mujmir, Zaib bin Aslam, Nafi’, Syarik bin Abdullah, Az-Zuhri, Abi
4
Malik bin Anas, "Al Muwaththa", (Mesir:Dar al-Ghad al-gadeed) halaman 7-9.

4
az Ziyad, Sa’id al Maqburi dan Humaid ath Thawil, muridnya yang paling akhir
adalah Hudzafah as Sahmi al Anshari. Adapun yang meriwayatkan darinya
banyak sekali

di antaranya ada yang lebih tua darinya seperti az-Zuhri dan Yahya bin Sa’id. Ada
yang sebaya seperti Al-Auza’i, Sufyan Ats-Tsauri, Sufyan bin Uyainah, Al-Laits
bin Sa’ad, Ibnu Juraij dan Syu’bah bin Hajjaj. Adapula yang belajar darinya
seperti Asy Safi’i, Ibnu Wahb, Ibnu Mahdi, al-Qaththan dan Abi Ishaq. Malik bin
Anas menyusun kompilasi hadis dan ucapan para sahabat dalam buku yang
terkenal hingga kini, Al Muwatta'.

Imam Malik diketahui sangat jarang keluar dari kota Madinah. Ia memilih
menyibukkan diri dengan mengajar dan berdakwah di kota tempat Rasulullah Saw
wafat tersebut. Beliau sesekali keluar dari kota Madinah untuk melakukan ibadah
haji di kota Mekkah. Di antara guru dia adalah Nafi’ bin Abi Nu’aim, Nafi’ al
Muqbiri, Na’imul Majmar, Az-Zuhri, Amir bin Abdullah bin Az-Zubair, Ibnul
Munkadir, Abdullah bin Dinar, dan lain-lain. Di antara murid dia adalah Ibnul
Mubarak, Al Qaththan, Ibnu Mahdi, Ibnu Wahb, Ibnu Qasim, Al Qa’nabi,
Abdullah bin Yusuf, Sa’id bin Manshur, Yahya bin Yahya al-Andalusi, Yahya bin
Bakir, Qutaibah Abu Mush’ab, Al-Auza’i, Sufyan ats-Tsauri, Sufyan bin Uyainah,
Imam Syafi’i, Abu Hudzafah as Sahmi, Az Zubairi, dan lain-lain.

Al-Muwaththa berarti ‘yang disepakati’ atau ‘tunjang’ atau ‘panduan’ yang


membahas tentang ilmu dan hukum-hukum agama Islam. Al-Muwaththa
merupakan sebuah kitab yang berisikan hadis-hadis yang dikumpulkan oleh Imam
Malik serta pendapat para sahabat dan ulama-ulama tabiin. Kitab ini lengkap
dengan berbagai problem agama yang merangkum ilmu hadis, ilmu fiqh dan
sebagainya. Semua hadis yang ditulis adalah sahih kerana Imam Malik terkenal
dengan sifatnya yang tegas dalam penerimaan sebuah hadis. Dia sangat berhati-
hati ketika menapis, mengasingkan, dan membahas serta menolak riwayat yang
meragukan. Dari 100.000 hadis yang dihafal dia, hanya 10.000 saja diakui sah dan
dari 10.000 hadis itu, hanya 5.000 saja yang disahkan sahih olehnya setelah
diteliti dan dibandingkan dengan al-Quran. Menurut sebuah riwayat, Imam Malik
menghabiskan 40 tahun untuk mengumpul dan menapis hadis-hadis yang diterima
dari guru-gurunya. Imam Syafii pernah berkata, “Tiada sebuah kitab di muka
bumi ini setelah al qur`an yang lebih banyak mengandungi kebenaran selain dari
kitab Al-Muwaththa karangan Imam Malik, inilah karangan para ulama
muaqoddimin.”

5
Menjelang wafat, Imam Malik ditanya kenapa ia tak pergi lagi ke Masjid Nabawi
selama tujuh tahun, ia menjawab, "Seandainya bukan karena akhir dari kehidupan
saya di dunia, dan awal kehidupan di akhirat, aku tidak akan memberitahukan hal
ini kepada kalian. Yang menghalangiku untuk melakukan semua itu adalah

penyakit sering buang air kecil, karena sebab ini aku tak sanggup untuk
mendatangi Masjid Rasulullah. Dan, aku tak suka menyebutkan penyakitku,
karena khawatir aku akan selalu mengadu kepada Allah." Imam Malik mulai jatuh
sakit pada hari Ahad sampai 22 hari lalu wafat pada hari Ahad, tanggal 10 Rabi'ul
Awwal 179 Hijriyah atau 800 Miladiyyah.

Masyarakat Madinah menjalankan wasiat yang ia sampaikan, yakni dikafani


dengan kain putih, dan dishalati diatas keranda. Imam shalat jenazahnya adalah
Abdullah bin Muhammad bin Ibrahim al-Hasyimi yang merupakan gubernur
Madinah. Gubernur Madinah datang melayat dengan jalan kaki, bahkan termasuk
salah satu yang ikut serta dalam mengangkat jenazah hingga ke makamnya. Dia
dimakamkan di Pemakaman Baqi', seluruh murid-murid dia turut mengebumikan
dia.

Informasi tentang kematitan dia tersebar di seantero negeri Islam, mereka sungguh
sangat bersedih dan merasa sangat kehilangan, seraya mendoakan dia agar selalu
dilimpahi rahmat dan pahala yang belipat ganda berkat ilmu dan amal yang dia
persembahkan untuk Islam.

B. Ahmad Bin Hanbal

Ahmad bin Hanbal (lahir 20 Rabiul awal 164 H - wafat 12 Rabiul Awal 241 H) 5
adalah seorang ahli hadits dan teologi Islam. Ia lahir di Mary, Turkmenistan, utara
Afganistan. Serta ia dikenal dengan nama Imam Hanbali.

Ilmu yang pertama kali dikuasai adalah Al Qur'an hingga ia hafal pada usia 15
tahun, ia juga mahir baca-tulis dengan sempurna hingga dikenal sebagai orang
yang terindah tulisannya. Lalu, ia mulai konsentrasi belajar ilmu hadits di awal
umur 15 tahun itu pula. Ia telah mempelajari Hadits sejak kecil dan untuk
mempelajari Hadits ini, ia pernah pindah atau merantau ke Syam (Syiria), Hijaz,
Yaman dan negara-negara lainnya sehingga ia akhirnya menjadi tokoh ulama
5
http://muslim-canada.org/hanbalschool.html

6
yang bertakwa, saleh, dan zuhud. Abu Zur'ah mengatakan bahwa kitabnya yang
sebanyak 12 buah sudah dihafalnya di luar kepala. Ia menghafal sampai sejuta
hadits. Imam Syafi'i mengatakan tentang diri Imam Ahmad, "Setelah saya keluar
dari Baghdad, tidak

ada orang yang saya tinggalkan di sana yang lebih terpuji, lebih shaleh dan yang
lebih berilmu daripada Ahmad bin Hambal". Abdur Rozzaq Bin Hammam yang
juga salah seorang guru dia pernah berkata, "Saya tidak pernah melihat orang se-
faqih dan se-wara' Ahmad Bin Hanbal"6

Muhammad bin ‘Abbas An-Nahwi bercerita, Saya pernah melihat Imam Ahmad
bin Hambal, ternyata Badan dia tidak terlalu tinggi juga tidak terlalu pendek,
wajahnya tampan, di jenggotnya masih ada yang hitam. Ia senang berpakaian
tebal, berwarna putih dan bersorban serta memakai kain. Yang lain mengatakan,
“Kulitnya berwarna coklat (sawo matang)”. Dia menikah pada umur 40 tahun dan
mendapatkan keberkahan yang melimpah. Ia memiliki anak-anak yang shalih dari
istri-istrinya, yang mewarisi ilmunya, seperti Abdullah dan Shalih. Bahkan
keduanya sangat banyak meriwayatkan ilmu dari bapaknya. Putranya yang
bernama Shalih mengatakan, ayahku pernah bercerita, “Husyaim meninggal dunia
saat saya berusia dua puluh tahun, kala itu saya telah hafal apa yang kudengar
darinya”.

Abdullah, putranya yang lain mengatakan, Ayahku pernah menyuruhku,


“Ambillah kitab mushannaf Waki’ mana saja yang kamu kehendaki, lalu
tanyakanlah yang kamu mau tentang matan nanti kuberitahu sanadnya, atau
sebaliknya, kamu tanya tentang sanadnya nanti kuberitahu matannya”.

Abu Zur’ah pernah ditanya, “Wahai Abu Zur’ah, siapakah yang lebih kuat
hafalannya? Anda atau Imam Ahmad bin Hambal?” Dia menjawab, “Ahmad”. Ia
masih ditanya, “Bagaimana Anda tahu?” dia menjawab, “Saya mendapati di
bagian depan kitabnya tidak tercantum nama-nama perawi, karena dia hafal nama-
nama perawi tersebut, sedangkan saya tidak mampu melakukannya”. Abu Zur’ah
mengatakan, “Imam Ahmad bin Hambal hafal satu juta hadits”.

Abu Ja’far berkata, “Ahmad bin Hambal manusia yang sangat pemalu, sangat
mulia dan sangat baik pergaulannya serta adabnya, banyak berfikir, tidak
terdengar darinya kecuali mudzakarah hadits dan menyebut orang-orang shalih
6
Manaqib Imam Ahmad bin Hanbal, oleh Ibnul Jawzy, diteliti oleh Dr.'Abdullah Bin 'Abdul Muhsin
At Turky, Rektor Universitas Muhammad Bin Su'ud Al Islamiyyah di Arab Saudi

7
dengan penuh hormat dan tenang serta dengan ungkapan yang indah. Bila
berjumpa dengan manusia, maka ia sangat ceria dan menghadapkan wajahnya
kepadanya. Ia sangat rendah hati terhadap guru-gurunya serta menghormatinya.”

Imam Asy-Syafi’i berkata, “Ahmad bin Hambal imam dalam delapan hal, Imam
dalam hadits, Imam dalam Fiqih, Imam dalam bahasa, Imam dalam Al Qur’an,
Imam dalam kefaqiran, Imam dalam kezuhudan, Imam dalam wara’ dan Imam
dalam Sunnah”.
Ibrahim Al Harbi berkata, “Saya melihat Abu Abdillah Ahmad bin Hambal seolah
Allah gabungkan padanya ilmu orang-orang terdahulu dan orang-orang
belakangan dari berbagai disiplin ilmu”.
Abdullah bin al-Maimuni berkata, "Tidak ada yang lebih mulia yang pernah
dilihat oleh mataku, selain Imam Ahmad bin Hambal. Tidak ada seorangpun dari
ahli hadits yang paling mengagungkan larangan-larangan Allah dan Sunnah Nabi
Shalallahu 'alaihi wassalam jika benar menurutnya, dan tidak ada seseorangpun
yang lebih kuat dalam mengikutinya selain dari Ahmad."
Abu Bakar as-Sijistani berkata, "Aku pernah bertemu dengan 200 guru-guru ilmu,
tidak ada satupun yang menyerupai Imam Ahmad bin Hambal. Dia betul-betul
menyelami ilmu, dan jika disebutkan suatu ilmu, dia ahlinya."
Abdul Wahhab Al-Warraq berkata, "Abu Abdullah adalah pemimpin kami, dia
adalah orang yang matang dalam ilmu. Jika aku berada dihadapan Allah kelak,
dan aku ditanya, "Siapa orang yang kamu ikuti?" aku akan katakan, "Aku
mengikuti Ahmad bin Hambal." Sungguh Imam Ahmad bin Hambal telah teruji
keilmuannya selama 10 tahun tentang Islam."
Dia memakai peci yang dijahit sendiri. Dan kadang dia keluar ke tempat kerja
membawa kampak untuk bekerja dengan tangannya. Kadang juga dia pergi ke
warung membeli seikat kayu bakar dan barang lainnya lalu membawa dengan
tangannya sendiri. Al Maimuni pernah berujar, “Rumah Abu Abdillah Ahmad bin
Hambal sempit dan kecil”.
Abu Isma’il At-Tirmidzi mengatakan, “Datang seorang lelaki membawa uang
sebanyak sepuluh ribu (dirham) untuk dia, tetapi dia menolaknya”. Ada juga yang
mengatakan, “Ada seseorang memberikan lima ratus dinar kepada Imam Ahmad
namun dia tidak mau menerimanya”. Juga pernah ada yang memberi tiga ribu
dinar, tetapi dia juga tidak mau menerimanya.

8
Yahya bin Ma’in berkata, “Saya tidak pernah melihat orang yang seperti Imam
Ahmad bin Hambal, saya berteman dengannya selama lima puluh tahun dan tidak
pernah menjumpai dia membanggakan sedikitpun kebaikan yang ada padanya

kepada kami”. Dia (Imam Ahmad) mengatakan, “Saya ingin bersembunyi di


lembah Makkah hingga saya tidak dikenal, saya diuji dengan popularitas”.

Al Marrudzi berkata, “Saya belum pernah melihat orang fakir di suatu majlis yang
lebih mulia kecuali di majlis Imam Ahmad, dia perhatian terhadap orang fakir dan
agak kurang perhatiannya terhadap ahli dunia (orang kaya), dia bijak dan tidak
tergesa-gesa terhadap orang fakir. Ia sangat rendah hati, begitu tinggi
ketenangannya dan sangat memuka kharismanya”.

Dia pernah bermuka masam karena ada seseorang yang memujinya dengan
mengatakan, “Semoga Allah membalasmu dengan kebaikan atas jasamu kepada
Islam?” dia mengatakan, “Jangan begitu tetapi katakanlah, semoga Allah
membalas kebaikan terhadap Islam atas jasanya kepadaku, siapa saya dan apa
(jasa) saya?!”

Tatkala dia pulang dari tempat Abdurrazzaq yang berada di Yaman, ada seseorang
yang melihatnya di Makkah dalam keadaan sangat letih dan capai. Lalu ia
mengajak bicara, maka Imam Ahmad mengatakan, “Ini lebih ringan dibandingkan
faidah yang saya dapatkan dari Abdurrazzaq”. Zakariya bin Yahya pernah
bertanya kepada dia, “Berapa hadits yang harus dikuasai oleh seseorang hingga
bisa menjadi mufti? Apakah cukup seratus ribu hadits? Dia menjawab, “Tidak
cukup”. Hingga akhirnya ia berkata, “Apakah cukup lima ratus ribu hadits?” dia
menjawab. “Saya harap demikian”. Ahmad bin Ibrahim Ad-Dauruqi mengatakan,
“Siapa saja yang kamu ketahui mencela Imam Ahmad maka ragukanlah
agamanya”. Sufyan bin Waki’ juga berkata, “Ahmad di sisi kami adalah cobaan,
barangsiapa mencela dia maka dia adalah orang fasik”.

Ibnu ‘Aqil berkata, “Saya pernah mendengar hal yang sangat aneh dari orang-
orang bodoh yang mengatakan, “Ahmad bukan ahli fiqih, tetapi hanya ahli hadits
saja. Ini adalah puncaknya kebodohan, karena Imam Ahmad memiliki pendapat-
pendapat yang didasarkan pada hadits yang tidak diketahui oleh kebanyakan
manusia, bahkan dia lebih unggul dari seniornya”. Bahkan Imam Adz-Dzahabi
berkata, “Demi Allah, dia dalam fiqih sampai derajat Laits, Malik dan Asy-Syafi’i

9
serta Abu Yusuf. Dalam zuhud dan wara’ dia menyamai Fudhail dan Ibrahim bin
Adham, dalam
hafalan dia setara dengan Syu’bah, Yahya Al Qaththan dan Ibnul Madini. Tetapi
orang bodoh tidak mengetahui kadar dirinya, bagaimana mungkin dia mengetahui
kadar orang lain!!

Ahmad bin Hanbal menulis kitab al-Musnad al-Kabir yang termasuk sebesar-
besarnya kitab "Musnad" dan sebaik baik karangan dia dan sebaik baik penelitian
Hadits. Ia tidak memasukkan dalam kitabnya selain yang dibutuhkan sebagai
hujjah. Kitab Musnad ini berisi lebih dari 25.000 hadits. Di antara karya Imam
Ahmad adalah ensiklopedia hadits atau musnad, disusun oleh anaknya dari
ceramah (kajian-kajian) - kumpulan lebih dari 40 ribu hadits juga Kitab ash-Salat
dan Kitab as-Sunnah.

Imam Ahmad bin Hambal mulai sakit pada malam Rabu, dua hari dari bulan
Rabi'ul Awwal tahun 241 Hijriyyah, ia sakit selama sembilan hari. Tatkala
penyakitnya mulai parah dan warga sekitar mulai mengetahuinya, maka mereka
menjenguknya siang dan malam. Penyakitnya kian hari kian parah, pada hari
Kamis dan sebelum wafat ia memberikan isyarat pada keluarganya agar ia
diwudhukan, kemudian mereka pun mewudhukannya. Ketika berwudhu, Imam
Ahmad sambil berzikir dan memberikan isyarat kepada mereka agar menyela-
nyela jarinya. Dia menghembuskan napas terakhirnya di pagi hari Jum’at
bertepatan dengan tanggal 12 Rabi’ul Awwal 241 H pada umur 77 tahun di kota
Baghdad. Ia dimakamkan di pemakaman al-Harb, orang yang bertakziah tidak
bisa dihitung jumlahnya saking banyaknya ada yang mengatakan jumlahnya
mencapai 1.7 juta pelayat. Hal ini merupakan bukti dari perkataan beliau ke para
dedengkot bid’ah: “Antara kami dan kalian adalah hari ketika menjadi jenazah.”
Sampai-sampai Abdul Wahhab Al-Warraq berkata: “Kami tidak pernah
mendengar ada rombongan pada masa jahiliyah, tidak juga pada masa Islam
berkumpul ke satu jenazah yang jumlahnya melebihi berkumpulnya orang-orang
ke jenazah Ahmad.”7

7
https://www.zaad.my.id/biografi-singkat-imam-ahmad/

10
BAB III

PENUTUP

Dengan memperhatikan apa yang telah diusahakan para ulama dapatlah kita
memantapkan, bahwa merekalah ulama yang mula-mula menciptakan undang-
undang (qawaid) untuk membedakan yang baik dari yang buruk mengenai khabar-
khabar dan riwayat-riwayat yang diterima dari antara seluruh umat, karena
memang ulama-ulama Islam sangat berhati-hati benar dalam soal menerima berita
yang disampaikan kepadanya. Semua itu mereka lakukan untuk memelihara sunah
rasul dan untuk menetapkan garis pemisah antara shahih dan dha’if, istimewa
antara hadits-hadits yang ada asal usulnya dengan hadits-hadits yang semata-mata
maudhu’.

11
DAFTAR PUSTAKA

12
13

Anda mungkin juga menyukai