Abstrak
Pendahuluan
1
Orientalisme berasal dari kata orient (direction of rising star) dan isme. Secara
geografis, kata orient berarti dunia timur dan secara etnologis berarti dunia-dunia timur. Adapun
istilah isme berarti aliran, pendirian, paham, keyakinan dan sistem. Dengan demikian yang
dimaksud dengan orientalisme adalah ilmu tentang ketimuran atau studi tentang dunia timur. Lihat
Idri, Orientalisme, (Jakarta :Kencana, 2003), hlm. 305
scepticism) dan middle ground.2 Perbedaan tujuan agaknya membedakan para
orientalis ini, seperti apalogetik, kajian yang bernuansa imperialis dan akademis.
Dari pemetaan kajian orientalis di atas, terdapat banyak nama yang tercatat
sebagai orientalis, dari kalangan skeptis tercatat Ignaz Goldziher, Josepsh
Schacht, middle ground terdapat nama Harald Motzki, sedangkan Nabia Abott
dan Fuad Seizn tercatat sebagai orientalis yang tidak skeptis terhadap hadis.
Beberapa orientalis yang kita ketahui berangkat dari ke-skeptisannya dalam
memandang hadis, hal ini dapat dipahami karena kebanyakan dari mereka
awalnya mengkaji Islam dengan tujuan apologetis. Asumsi ini mungkin harus di
cross check kembali karena dalam mengungkapkan argumen ke-skeptisan-nya
kelompok ini menggunakan data-data sejarah. namun, jika berbincang mengenai
orientalis yang terlanjur mendapatkan stigma negatif dalam mengkaji Islam,
pandangan kita pun harus tertuju pada kelompok non-skeptis. Dengan notabene
non-muslim yang sering dianggap mengkaji Islam menggunakan pijakan
missonaris, dapatkah mereka membantah argumen skeptis para penadahulunya.
Melalui kritik dari buah pemikirannya dalam hal ini terhadap hadis. Hal ini tentu
menarik untuk digali kembali. Oleh karena itu, dalam makalah ini akan dibahas
mengenai pemikiran Nabia abott, khususnya tentang teori Explosive isnad yang
dipandang sebagai bantahan atau kritkan kembali terhadap kaum skeptis dalam
hal ini lebih condong kepada Ignaz Goldziher. Kemudian akan dibahas pula
seberapa kuat teori nabia abott dalam menangkis argumen dari pihak lawan.
Pembahasan
Sebelum membahas tentang pemikiran Nabia Abott, pada bagian ini akan
dibahas terlebih dahulu tentang pemikiran Ignaz Goldziher sebagai opposisinya.
Hadis menurut Goldziher tidak hanya dipandang sebagai refleksi yang muncul
2
Herbert Berg, The Development of Exegesis in Early Islam : The Aauthenticity of
Muslim Literature form the Formative Period, (Richmond: Crussen Press, 2000), hlm. 6
sebagai dokumen sejarah semata, melainkan juga sebagai refleksi yang muncul
dari berbagai kecenderungan, kemudian berkembang sesuatu yang terorganisir,
rapi dan memiliki kekuatan hukum. Bagi Goldziher, hadis tidak hanya berasal dari
ucapan nabi muhammad, akan tetapi juga gagasan-gagasan masyarakat muslim
yang memiliki kecenderungan tertetu.3 Ia juga berpendapat bahwasanya hadis
merupakan produk perkembangan agama, sejarah dan dimensi sosial Islam yang
muncul pada abad pertama dan kedua Hijriyah. Hadis sarat akan tendensius
individ maupun kelompok.
3
Ignaz Goldziher, Muslim Studies: Muhammeanische Studies, Vol. 2 (Chicago: State
University of New York Press, 1971), hlm. hlm. 19
4
Nur lathifah, Otentisitas Hadis Menurut Nabia Abott, Skripsi Fakultas Ushuluddin dan
Pemikiran Islam UIN Sunan Kaijaga Yogyakarta tahun , hlm. 19
Adapun mengenai tokoh yang berpengaruh atas titik awal pemikiran
beliau mengenai sanad adalah berpijak pada orientalis yang telah dahulu yakni
Ignatius Goldziher dan Joseph Schacht, melalui kedua pendahulunya tersebut
Abott menuangkan gagasannya dalam bentuk kritik dan pembuktian secara
filologis mengenai hadis khususnya tentang keotentisitasannya yang banyak di
kritik oleh orientalis skeptis. Abott mencoba memposisikan diri sebagai kelompok
objektif. Nabia Abott muali dikenal ketika mengkritik dua pendahulunya yang
menjadi kiblat pemikiran bagi oerintalis dalam mengkaji hadis.
5
Nabia Abott, Studies in Arabic Literary Papyri II: Qur’anic Commentary and
Tradition, (Chicago: The University of Chicagi Press, 1967), hlm. 1-2
berkembang secara paralel dan berlipat ganda.6 Hal yang demikian seperti yang ia
tuliskan dalam bukunya:
6
Nabia Abott, Studies in Arabic Literary Papyri II: Qur’anic Commentary and
Tradition, hlm. 2
periwayat lain boleh menggunakan periwayatan dengan bil ma’na.7 Sehingga
suatu redaksi matn hadis yang sekilas nampak berbeda, namun sebenarnya
memiliki substansi yang sama.
selain teori eksplosive isnad, dikenal juga teori isnad family an isnada non-
family. Term family dalam hal ini adalah mencakup hubungan antara keluarga
dan teman karib (mawali) yang biasanya disusun degan formula so-and-so
(periwayatan lain yang bersumber dari ayahnya dan dari kakeknya), formula ini
biasa terjadi dalam periwayatan isnad family. Hal ini bisa diartikan bahwa ahli
hadis menyampaikan hadisnya kepada orang tertentu yang memiliki hubungan
darah dengannya, atau kepada kerabat dekatnya, seperti Nafi’ yang merupakan
teman karib dari ibn umar.periwayatan isnad family dilakukan daimasa sahabat
yang kemudian dilanjutkan sampai tiga generasi berturut-turut, atau kadang
melompati satu generasi, atau kadang jalur tersebut bersebrangan dalam mata
rantai keluarga. Bisa disimpulkan bahwasanya yang dimaksud dengan isnad
family apabila periwayatan tersebut, pertama, ketika riwayat tersebut
diriwayatkan dari atas ke bawah, atau biasa juga melompati satu generasi. Kedua,
7
Nabia Abott, Studies in Arabic Literary Papyri II: Qur’anic Commentaryand Tradition,
hlm. 70
8
Nabia Abott, Studies in Arabic Literary Papyri II: Qur’anic Commentaryand Tradition,
hlm. 72.
hadis tersebut diriwayatkan menyamping yang menyimpang dari garis lurus
hubungan keluarga. Ketiga, hadis tersebut diriwayatkan oleh seorang periwayat
yang tidak memiliki hubungan kekeluargaan dengan periwayat lain. Biasanya
isnad non-family dimulai dari generasi para sahabat dan tiga generasi setelahnya,
bahkan kadang isnad family melompat satu generasi dibawahnya.9
Berikut merupakan redaksi Hadis No.8 dari Naskah Suhayl bin Abu
Shalih.
9
Nabia Abott, Sudies in Arabic Literay Papyri II, hlm. 72
orang dari Makkah, empat orang dari Kuffah, lima orang dari Bashrah, satu orang
dari Wasit, satu orang dari Hijaz dan satu oranglagi dari Khurasan.10
Dari rangkaian isnad tersebut, ciri yaang perlu diamati adalah bahwa tidak
semua periwayat dari Madinah, Kuffah da Bashrah merupakan dari periwayat
yang sama. Sembilan orang murid yang berasal dari Madinah itu memperoleh
hadis itu dari tujuh orang guru dari Madinah yang berbeda. Tiga dari lima orang
murid yang berasal dari Bashrah itu menerima hadis itu dari dari seorang guru dari
Bashrah, seorang dari mereka menerimanya dari seorang guru dari Madinah dan
seorang yang lain lagi menerimanya dari seorang guru yang lain juga yang berasal
dari madinah.11
Apabila hadis tersebut tersebar pada abad ketiga Hijriyyah, maka jelas
bahwasanya antar periwayat itu memiliki tempat tinggal yang berjauhan.selain
abu Hurayrah, setidaknya ada beberapa sahabat lain setidaknya tujuh sahabat yang
juga meriwayatkan hadis ini. Sehingga bertambahlah jumlah periwayat.
10
M.M. A’zami, Hadis Nabawi dan Sejarah Kodifikasinya, (Jakarta: Pustaka Firdaus,
1994), hlm. 669
11
M.M. A’zami, Hadis Nabawi dan Sejarah Kodifikasinya, hlm. 669
12
Ali Masrur, Nabia Abott (1897-1981) Tentang Pertumbuhan Isnaddan Periwayatan
Hadits Secara Tertulis, Jurnal Wawasan, Vol. 33 No. 1, Januari-Juni, 2010, hlm. 18
E. Kritik Terhadap Explossive Isnad
Sebuah teori tentu tidak lepas dari pro dan kontra, begitu juga dengan
explosive isnad. menurut Harald Motzki, kalangan Non-Skeptis belum mampu
menunjukkan literatur yang valid dari pengarangnya yang asli, literatur yang
digunakan merupakan copy-an. Nabia Abott hanya berpijak pada literatur yang
belum tentu jelas penulis asli atau bukan. Abott juga tidak menjelaskan tentang
hadis yang muncul belakangan yang memiliki jalur isnad berbeda. Sehingga, teori
Geometrical progression belum cukup meyakinkan kelompok skpetis karna lebih
menitik beratkan pada fakta historis.
13
Ismail Abu ‘Abdullah al-Bukhari, al-Jami’ al-Shahih, Vol. 12, (beirut: Dar Ibn Katsir,
1407), hlm. 74
14
Nabia Abott, Sudies in Arabic Literay Papyri II, hlm. 82
salah satu. Ketiga, dengan demikian menurut hemat penulis, Abott kurang tepat
jika diposisikan sebagai orientalis non-skeptis sebagaimana klasifikasi Herbert
berg, akan tetapi lebih tepat dalam posisi middle ground, denga beberapa alasan
yang telah dikemukakan di atas antara argumennya yang memihak namun di sisi
lain tidak memihak.
Kesimpulan
Nabia Abott merupakan salah satu orientalis penggiat hadis yang menitik
beratkan gagasannya pada literatur klassik arab. Ia mengkritik pendahulunya yang
menolak otentisitas hadis, yang menurut mereka hadis hanya buatan generasi
kedua dan ketiga, hal ini dibuktikan dengan tidak adanya literatur hadis. Atas
kritikan dari pendahulunya, Abott merespon dengan menyatakan bahawasanya
telah ada tradisi tulis menulis pada abad ke-II H, kemudian dilanjutkan dengan
pembukuan kitab hadis. Lebih jauh Nabia Abott kemudian menuangkan lewat
teori explosive isnad. Teori ini menyatakan bahwasanya perkembangan isnad
dimulai sejak masa sahabat dan tabi;in senior dimana mereka menyebarkan satu
hadis atau lebih kepada dua orang generasi selanjutnya dan berlanjut hingga
generasi ke delapan.
Menurut penulis, Nabia Abott kurang tepat jika diposisikan pada orientalis
non-skeptis, karena beberapa argumen yang di satu sisi terlihat memihak dan sisi
lain menolak. Maka menurut penulis, ia lebih tepat dikelompokkan dalam posisi
middle ground.
DAFTAR PUSTAKA
Afidah, Lathifah Nur. Otentisitas Hadis Menurut Nabia Abbott. Skripsi Fakultas
Ushuluddin dan Pemikiran Islam, UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, tahun
2008.