Anda di halaman 1dari 15

PANDANGAN ORIENTALIS TERHADAP AL-QUR'AN DAN HADITS

Makalah ini dibuat untuk memenuhi tugas mata kuliah :

Filsafat Agama

Dosen Pengampu :

Ustd. Harda Armayanto, M.A.

Disusun Oleh:

Rahmat Hidayat

FAKULTAS USHULUDDIN

UNIVERSITAS DARUSSALAM GONTOR PONOROGO

SIMAN-PONOROGO

1440/2018
Pendahuluan
Al-Qur’an dan Hadits merupakan dua sumber pokok yang sangat fenomental
dalam agama Islam, kedudukan keduanya berada diurutan paling atas  dibandingkan
dengan sumber hukum yang lainnya. Bahkan dapat kita katakan bahwa pengaruh Al-
Qur’an dan Hadits sangatlah tinggi terhadap perkembangan sejarah peradaban
manusia.
Al-Qur’an dari abad-keabad, telah menjadi sumber inspirasi para penuntut ilmu,
pemburu hikmah dan pencari hidayah. Para pujangga bertekuk lutut dihadapannya,
para ulama’ tak habis-habis membahasnya. Dialah satu-satunya kitab suci yang
menyatakan dirinya bersih dari keragu-raguan (la raiba fih), dijamin keseluruhan
isinya (wa inna lahu la-hafidzun), dan tiada mungkin dibuat tandingannya (la ya’tuna
bi mitslihi). Ia ibarat kompas pedoman arah penunjuk jalan, laksana obor penerang
dikegelapan.1 masih saja mendaptkan cercaan dari berbagai pihak. Sama halnya
dengan Hadits Rasulullah saw dari dahulu higga sekarang tidak ada satu orangpun
yang mengatakan bahwa seluruh Hadits yang ada itu asli dan shahih semuanya,
begitupun sebaliknya tidak ada seorangpun yang menytakan bahwa Hadits yang ada
itu merupakan Hadits palsu. Hanya orang yang tidak berilmu saja yang mengatakan
bahwa Hadits Rasulullah SAW itu palsu dan tidak otentik dari sumbernya langsung
yaitu Nabi Muhammad SAW.
Mungkin dengan alasan inilah para penganut agama Non-Islam  khususnya para
Orientalis-missionaris Yahudi dan Kristen iri terhadap kitab suci ummat Islam
sehingga mereka membuat makar terhadap kandungan Al-Qur’an dan Hadits Nabi.
Atau, sebaliknya mereka tidak puas dengan kitab suci agama mereka sendiri.
Oleh karena itu, penulis akan mencoba mengulas secara mendetail dalam makalah
ini bagaimana pandangan orientalis sebeneranya terhadap Al-Qur’an dan Hadits Nabi
SAW.

1
Syamsuddin Arif, Orientalis dan Diabolisme Pemikiran, (Jakarta : Gema Insani, 2008), hal.2.
A. Pandangan Orientalis terhadap Al-Qur’an 
Al-Qur’an adalah kitab suci umat Islam yang menjadi dasar bagi segala segi
kehidupan manusia. Ia diyakini sebagai sumber kebenaran yang mutlak kaena
datangnya dari Allah SWT. Karena itulah umat Islam perlu mempelajarinya sungguh
dan akan selalu memperjuangkan agar ajaran-ajarannya dapat diterapkan di muka
bumi sebagai rahmatan lil ‘alamin.2 Seorang Orientalis asal negeri Matahari
Toshihiko Izutsu menyatakan bahwa ditilik dari sudut fakta, ayat al-Qur’an itu
ditakdirkan tidak hanya sebagai suatu agama belaka tetapi sebagai kebudayaan dan
peradaban. Oleh karena itu, kandungan al-Qur’an diakui sebagai suatu yang teramat
agung dalam lapangan etika sosial yang berisikan konsep-konsep yang berkaitan
dengan kehidupan sehari-hari bagi orang banyak didalam masyarakat.3

     Asal mula Orientalis mengkaji Al-Qur’an


Awal mula orientalis barat mengkaji Al-Qur’an berawal sejak tahun 1927
ketika salah seorang pendeta Kristen asal Irak dan mantan guru besar Universitas
Birmigham, Inggris yaitu Alphonse Mingana. Ia menyatakan bahwa “sudah tiba
saatnya sekarang untuk melakukan studi kritis terhadap teks Al-Qur’an sebagaimana
telah kita lakukan terhadap kitab suci Yahudi yang berbahsa ibrani-Arami dan kitab
suci Kristen yang berbahasa Yunani (The Time has surely come to subject the tex of
the Qur’an to the same criticism as that to wich we subject the Hebrew anda Aramic
of the jewish bible, and the greek of the Christian scriptures)”.
Mengapa orientalis satu ini menyeru demikian? Seruan ini dilatar belakangi
oleh kekecewaan sarjana Kristen dan Yahudi terhadap kitab suci mereka dan juga
disebabkan oleh kecemburuan mereka terhadap umat Islam dan kitab suci Al-Qur’an.
Perlu diketahui bahwa mayoritas ilmuwan dan cendikiawan Kristen sudah lama
meragukan otentitas Bile. Mereka terpaksa menerima kenyataan pahit bahwa bible
yang ada di tangan mereka sekarang ini terbukti bukan asli alias palsu. 4 Hal itu terjadi
2
Ahmad Zuhdi, pandangan orientalis barat tehadap Islam, (Surabaya: Karya Pembina Swajaya,
2004), hal. 62.
3
Joesoef Sou’yb, Orientalisme dan Islam,(Jakarta: Bulan Bintang, 1985), hal. 146.
4
Syamsudin Arif, hal. 3
karena banyaknya campur tangan manusia didalamnya sehingga sulit untuk
dibedakan mana yang benar-benar wahyu tuhan dan mana yang bukan. Seperti yang
disampaikan oleh salah seorang muallaf yang mempunyai latar belakang sebagai
pendeta yaitu Yahya Waloni beliau menyatakan dalam ceramahnya, ketika beliau
membandingkan cetakan kitab injil dari tahun ketahuan, ternyata banyak perubahan.
Beda halnya dengan Al-Qur’an yang merupakan kitab suci agama Islam kapan, dan
dimanapun Teks Al-Qur’an semuanya sama, dengan bukti inilah pendeta waloni
mendapatkan hidayah dari Allah SWT sehingga pada akhiryna ia memantabkan
hatinya untuk mengucapkan syahadatain.

Kritik sejarah terhadap Teks Al-Qur’an


Tidak dapat dipungkiri bahwa keagamaan memegang peran penting dalam
mewarnai sejarah perkembangan gerakan orientalisme masa-masa awal. Salah satu
metode yang dapat digunakan untuk mendukung tujuan keagamaan tersebut melalui
metode kritik historis.
Menelusuri kemunculan pemakaian metode kritik historis dalam kajian
orientalisme masa awal terhadap Al-Qur’an, maka kali ini penulis akan mencoba
mengulas pemikiran Abraham Geiger (1810-1874) ia merupakan pelopor kajian
Historis-Kritis terhadap Al- Qur’an yang cukup berpengaruh dan menjadi sumber
aspirasi bagi orientalisme setelahnya, seperti Sigmund Freankel, Hartwing Hirschfeld,
Theodor Noldeke dan lain sebagainya.

 Abraham Geiger
Terlebih dahulu sebelum membahas pemikiran Abraham Geiger, sebaiknya
dimulai dari auto biografinya. Abraham Geiger, lahir pada tanggal 24 Mei 1810 di
Frankfurt dan meninggal pada tanggal 23 oktober 1874 di Berlin. Pada usia belia, ia
telah banyak mempelajari isi Bible, Mishnah, dan Talmud dari ayahnya. Semasa
remaja ia telah mempelajari sejarah klasik dan melahirkan keraguan atas paham
tradisional Yudaisme. Ia menemukan pertentangan antara sejarah klasik dan bible
mengenai otoritas ilahi (divone otority). Dilatar belakangi oleh keraguannya, serta
analisis-kritisnya terhadap tradisi Yahudi, ia mengidentifikasikan dirinya sebagai
tokoh sekaligus pendiri Yahudi liberal di jerman yang cukup berpengaruh.
Abraham Geiger memliki peran sentral diantara pemikir Yahudi-jerman
dalam melawan resistensi colonial. Wissenchalf Des Judentums5 telah memberi peran
besar di dalam mengembangkan dan memperluas ide-idenya serta membentuk suatu
pandangandunia didalam dirinya (weltanschauung). Dan pada akhirnya,
weltanschauung inilah yang menggiringnya kepada formulasi metodologi dalam
mengkaji teks-teks agama. Termasuk idenya mengenai reformasi (liberalisasi) agama
Yahudi.
Didalam essainya yang berjudul “Was hat Mohammed aus dem Judentume
aufgenomen?” (apa yang telah Muhammad pinjam dari Yahudi) ia berkesimpulan
bahwa hukum fiqih Islam merupakan hasil derivasi dari agama Yahudi. lebih jauh
lagi ia berkesimpulan bahwa Islam dan Kristen merupakan penjelmaan dari agama
Yahudi tanpa menegasikan dirinya menjadi agama baru (Christianity and Islam
posses the manifestation of Judaism… without establishing a new religion). Dari sini
dapat disaksikan pengaruh yang sangat besar dari Wissenchaft des
Judentums Abraham Geiger terhadap kesimpulan-kesimpulan akhir yang dihasilkan
ketika ia mengkaji teks-teks keagamaan. Dan dari sini juga dapat kita saksikan secara
jelas motivasi keagamaan Yahudi yang muncul dari kepercayaan Abraham Geiger
ketika mengkaji Islam, dan menegaskan pengaruh dominan semitik terhadap agama
yang datang sesudahnya.

Metode Historis-Kritis terhadap al-Qur’an


Didalam esseinya ia menyimpulkan bahwa kosa kata seperti Tabut,
Taurat, Jannatu ‘And, Jahannam, Ahbar, darsa, Rabani, Sabt, Taghut, Furqan,
Ma’un, Mathani, Malakut  berasal dari bahasa Ibrani. Selain itu, Geiger juga

5
Wissenchalf Des Judentums Merupakan sebuah gerakan intelektual pada abad ke-19 yang mengkaji
secara kritis agama, sastra dan budaya Yahudi
berpendapat al-Qur’an juga terpengaruh dengan Agama Yahudi ketika
mengemukakan : (a) hal yang menyagkut keimanan dan doktrin agama, (b) peraturan-
peraturan hukum dan moral, (c) pandangan tentang kehidupan. Selain itu, Geiger juga
berpendapat cerita-cerita di dalam al-Qur’an pun tidak terlepas dari pengaruh Agama
Yahudi.
Adapun mengenai ayat-ayat al-Qur’an yang mengecam Yahudi, Geiger
berpendapat bahwa Nabi Muhammad SAW telah menyimpang salah mengerti
terhadap doktrin-doktrin Yahudi. Geiger mendapatkan kesimpulan diatas setelah ia
melakukan kajian Historis-Kritis terhadap al-Qur’an dengan analisis-kompratif antara
Yahudi dan Islam. Dalam analisisnya ini, Geiger memposisikan Yahudi sebagai
otoritas yang lebih tinggi untuk menilai Islam, sehingga tidak mengherankan jika
setiap doktrin Islam mengenai Yahudi dianggap sebagai penyimpangan dikarenakan
salah paham Nabi Muhammad SAW terhadap doktrin Agama Yahudi.
Lain halnya dengan Sadrasky Ia mengatakan bahwa cerita-cerita atau sejarah
dan berita–berita yang dikemukakan dalam al-Qur’an atau kitab-kitab tafsir itu
mengacu pada karya-karya Yahudi. 6

 Theodor Noldoke
Noldoke merupakan dedengkot Orientalis asal Jerman yang tidak ada
bandingannya, sebab dia mencurahkan segala kemampuan intlektualitasnya untuk
mengkaji al-Qur’an. Dia juga termasuk salah seorang orintalis yang menggugat
Orisinilitas dan Otentisitas al-Qur’an tidak lain tujuannya untuk mengurangi
pengaruhnya didalam masyarakat Islam.
T. Noldoke menggambarkan al-Qur’an sebagai duplikasi dari kitab-kitab yang
sudah ada sebelumnya dengan melacak hubungan dan analisis semantic mufradat al-
Qur’an dan kitab-kitab sebelumnya.7 Baginya Muhammad itu sebagai impostor bukan

6
Mannan Bukhari, Menyingkap Tabir Orientalis, (Jakarta : Amzah,2006). Hal.27.
7
Nasrudin Umar, Al-Qur’an di Mata Mantan Intelektual Muslim: Ibn Warq dan Mark A. Gabriel. H.
91-93.
sebagai Nabi, al-Qur’an itu hasil karangan Muhammad serta tim redaksi
sesudahnya.8 Noldeke pernah mengemukakan pendapatnya mengenai al-Qur’an
sebagai berikut:
“Ketika tidak hanya mempunyai tanggapan-tanggapan yang penuh keseluruhan
dari watak Muhammad itu, bahkan ia mempunyai karya yang otentik yaitu al-Qur’an,
yang disampaikan atas nama Allah. Sekalipun demikian tokoh yang luar biasa dan
menarik dan mengerikan itu dalam banyak hal tetap merupakan teka-teki. Ia banyak
sekali mendalami agama Yahudi dan agama Kristen, tetapi hanya melalui laporan lisan
belaka dan pasti kita tidak akan puas dengan banyaknya hayalan (the grossness of
imagination), kekurangnan logika (the undenibable proverty of thought) dan lain
sebagainya”

 Arthur Jeffery
Dalam mengkaji Al-Qur’an Jeffery menggunakan metode kritik sejarah Al-
Qur’an dengan mengeksplorasi naskah-naskah yang ada. Dengan kata lain, ia
memakai pendekatan filologis.9 Jeffery mulai menggeluti gagasan kritis–historis Al-
Qur’an sejak tahu 1926. Dalam usahanya Jeffery mencurahkan segala
kemampuannya untuk mengumpulkan manunskrip ke Islaman baik itu kitab, kamus ,
kitab Qira’ah dan lain sebagainya, hal ini dilakukan utnuk merealisasikan gagasan
ambisiusnya yaitu membuat Al-Qur’an edisi kritik (a critical edition of the
koran). Dalam fikiran Jeffery, gagasan ambisius ini bisa direalisasikan dengan dua
hal; pertama, menampilkan Hadits-Hadits mengenai teks Al-Qur’an; kedua,
menghimpun dan menyususun segala iformasi yang tersebar disalam seluruh
kesustraan Arab, yang berkaitan dengan varian bacaan (varratio lection) yang resmi
dan tidak resmi tentang kritik-historis Al-Qur’an.

8
Syamsudin Arif, Orientalis dan Diabolisme Pemikiran,( Jakarta : Gema Insani, 2008), hal. 24.
9
Metode filologi, sebagaimana yang paling sering diterapkan oleh orientalis, mencakup beberapa
fase : penelitian dan pengkriktikan nilai naskah (textual criticism), bentuk karya tulis (form criticism)
dan penelusuran sumber karya (source criticism)
Dalam pemikiraannya Jeffery ia mengatakan “Kita membutuhkan tafsir kritis
yang mencontoh karya yang telah dilakukan oleh orientalis modern sekaligus
menggunakan metode-metode penelitian kritis modern untuk tafsir Al-Qur’an”. Ia
juga menganggap bahwa Al-Qur’an yang ada sekarang ini sebenarnya telah
mengalami berbagai ta’rif yang dibuat ‘Utsman bin Affan, al-Hajjaj ibn Yusuf al-
Thaqafi dan ibn Mujahid. Menurut Jeffery, Utsman ra. tidak sepatutnya
menyeragamkan berbagai mushhaf yang sudah beredar diberbagai wilayah kekuasaan
Islam. Ia beranggapan bahwa utsman telah melakukan tahrif pertama Al-Qur’an
dengan melakukan kononisasi.

 Al-Qur’an Terjemahan Orientalis


Ternyata bukan hanya orang Islam saja yang menerjemahkan Al-Qur’an. para
orientalis yag notabenenya Yahudi dan Kristen juga mempunyai terjemahan Al-
Qur’an. Tentunya dengan metode yang berbeda dengan yang digunakan oleh ulama
Islam. Sebut saja George Sale yang terjemahannya disebarluaskan sejak abad XVIII
dengan nama The Kuran or The Kuran of Muhammad. Dalam muqaddimahnya
banyak sekali menyebutkan dakwaan dan tuduhan. Pengantarnya tersebut diberi
judul Preliminary Discours, disebutkan bahwa Al-Qur’an bukan wahyu dan bukan
mu’jizat. Didalam Al-Qur’an banyak sekali kekeliruan dan satu sama lain saling
kontradiksi. Kebanyakan isinya dicukil dari ajaran Yahudi, tidak hanya dalam pokok-
pokok masalahnya saja, tetapi dalam pembagian dan pengaturan serta susunan surah
dan ayat-ayatnya. Lebih dari itu ia mengatakan bahwa dalam Al-Qur’an banyak
sekali penglangan dan cerita dongeng kuno.
Muhammad tidak lain adalah pengarang Qur’an itu sendiri, rancangannya dibantu
oleh orang lain, ini adalah masalah yang tidak diragukan lagi dan telah disepakati
oleh semua orang, karenanya ridak ada protes atau usulan dari para sahabatnya.
George Sale menukil ayat 103 surah an-Nahl dan ayat 4 dari surah al-Furqan, sebagai
kesaksiannya. Gorge mengungkapkan maksud dan tujuan terjemahannya, yaitu
memberikan senjata kepada para misionaris dan penganut masehi dalam usaha
memerangi Islam dan umat Islam. Dikatakannya: “Saya sangat yakin bahwa kita
sendiri saja sudah cukup menyerang Al-Qur’an dan akan berhasil. Saya sudah cukup
yakin dengan pertolongan dan petunjuk tuhan untuk dapat menaklukkannya.”10
Terjemahan yang dilakukan George sale merupakan salah satu terjemahan yang
paling populer dari sekian banyak terjemahan Al-Qur’an yang dilakukan oleh kaum
orientalis. Cetak ulang lebih dari tiga puluh kali sejak diterbitkannya hingga sekarang.
Disamping itu, telah mendapatkan pujian para tokoh orientalis dan missionaris.
Samuel Zwener mengatakan bahwa dengan adanya muqaddimah itu akan semakin
memantapkan dalam mengkaji dan menditeksi Islam bagi kalangan kaum orientalis
tentunya.
Ibrahim Khalid Ahmad, mantan anggota missionaris yang diutus untuk
memurtadkan bangsa Qibthi di Mesir, mengatakan bahwa sesungguhnya buku tadi
merupakan buku panduan utama bagi missionaris dalam gerakannya memusuhi Islam
dan muslimin, Al-Qur’an dan Rasulullah saw

    B. Pandangan Orientalis terhadap Hadits Nabi Muhammad SAW


Diawal pembahasan ini penulis terlebih dahulu ingin mengingatkan dan
memberitahukan. Sejak dahulu kala kaum berilmu tidak pernah ada yang
menganggap dan mayakini bahwa Hadits-hadits yang tersebar dikalangan umat Islam
shahih semua ataupun sebaliknya, tidak ada pula yang meyakini bahwa Hadits-hadits
yang ada itu palsu semua. Nah keyakinan yang seperti inilah yang mulai dikaburkan
oleh para orientalis-misionaris Yahudi dan kristiani, mereka beranggapan
bahwa  Hadits-hadits itu palsu semua, tidak otentik karena bukan berasal dari Nabi
Muhammad SAW.11

     Historitas kajian orientalis seputar Hadits

10
Mannan Bukhari, hal.56
11
Washington Irving, Life of Muhammad and his Successors, (London: JM. Dent 1949), hal. 230-232.
Gugatan orientalis terhadap Hadits bermula pada pertengahan abad ke-19 Masehi,
tatkala hampir seluruh bagian dunia Islam telah masuk dalam cengkraman
kolonialisme bangsa-bangsa Eropa. Adalah Alois Sprenger, yang pertama kali
mempersoalkan status Hadits dalam Islam. Dalam pendahuluan bukunya mengenai
riwayat hidup dan ajaran Nabi Muhammad SAW., misionaris asal jerman yang
pernah tinggal lama di India ini mengklaim bahwa Hadits merupakan kumpulan
anekdot (kumpulan cerita-cerita bohong tapi menarik).12 Klaim ini  juga di amini oleh
William Muir ia merupakan rekan yang mempunyai misi yang sama, Muir
beranggapan dalam literartur Hadits, nama Nabi Muhammad saw. Sengaja dicatut
untuk menutupi bermacam-macam kebohongan dan keganjilan (“…. The name of
mohamet was abused to support all possible lies and absurdities…”). Oleh  sebab itu
katanya lebih lanjut, dari 4.000 Hadits yang dianggap shahih oleh Imam Bukhari,
paling tidak separuhnya harus ditolak dari sudut sumber isnadnya. 
Selang beberapa lama setelah itu muncul Ignaz Goldziher. Salah seorang
orientalis yang pernah nyantri di Universitas al-Azhar Kairo Mesir selama kurang
lebih setahun. Sekembalinya ke eropa Ignaz oleh rekan-rekannya sempat dinobatkan
sebagai orientalis yang paling banyak memahami Islam, sebab karena tulisan-
tulisannya mengenai Islam jauh lebih negatif dan distortif, mengelirukan, dan
menyesatkan jika dibandingkan para pendahulunya.
Ignaz berpendapat bahwa dari sekian banyak Hadits yang ada tidak dapat dijamin
keasliannya alias palsu, karena itula menurutnya Hadits tidak dapat digunakan
sebagai sumber sejarah mengenai Islam dimasa-masa awal. Lebih lanjut ia
beranggapan bahwa Hadits lebih merupakan refleksi interaksi dan konflik Berbagai
aliran dan kecenderungan yang muncul kemudian dikalangan masyarakat muslim
pada era kematangannya, ketimbang sebagai dokumen sejarah awal perkembangan
awal Islam. Ini berarti bahwa Hadits merupakan produk bikinan masyarakat Islam
beberapa abad setelah Nabi Muhammad saw. Wafat bukan berasal dari
beliau. Pendapat yang seperti ini ternyata bukan hanya digaungkan oleh satu
orientalis saja melainkan antara yang satu dengan yang lainnya saling menguatkan.

12
Samsudin Arif, hal. 28
David Samuel Margoliouth, misalnya turut meragukan otentisitas Hadits. Alasannya,
pertama, karena tidak ada bukti yang menunjukkan bahwa Hadits telah dicatat sejak
zaman Nabi saw., kedua, karena alasan lemahnya ingatan para perawinya.
Ada salah seorang orientalis yang mengatakan bahwa isnad itu muncul jauh
setelah matan Hadits ada dan ini merupakan fenomina internal yang terjadi dalam
sejarah perkembangan umat Islam, ada juga yang menyatakan bahwa periwayatan
Hadits secara berantai baru diperkenalkan dan diterapkan pada akhir abad pertama
hijriah. Bahkan orientalis asal jerman berdarah Yahudi (Josev Horovits) mengatakan
bahwa besar kemungkinan praktik isnad berasal dari dan dipengaruhi oleh tradisi
lisan sebagaimana dikenal dalam literatur Yahudi.
Dari banyaknya spekulasi para orientalis diatas dapat kita simpulkan bahwa
tujuan mereka mempublikasikan pemikiran sesat mereka tidak lain dan tidak bukan
untuk mengkaburkan keyakinan umat Islam terhadap Hadits sebagai sumber kedua
hukum Islam. Baik itu dari otentisitasnya maupun otoritasnya sebagai hukum Islam.
Mengkaburkan otentisitsnya maksudnya mereka berupaya meyakinkan umat
Islam dengan pemikiran sesat mereka (orientalis.red) bahwa apa yang masyarakat
Islam yakini dan mereka jadikan sebagai pedoman hidup itu adalah palsu atau bukan
asli dari Nabi saw. Sehingga tidak dapat digunakan sebagai pendangan dan pedoman
hidup kedepannya. Mengkaburan otoritasnya maksudnya para orientalis berupaya
untuk meruntuhkan otoritas Hadits sebagai sumber hukum Islam. 

Pengaruh Orientalis dibalik Gerakan Anti-Hadits


Gugatan Orientalis dan misionaris Yahudi dan Kristen itu telah banyak
menimbulkan dampak yang cukup besar. Melalui tulisan –tulisan yang diterbitkan
dan dibaca luas, mereka telah berhasil memengaruhi dan meracuni pemikiran
sebagian kalangan umat Islam. Maka muncullah gerakan anti Hadits di India,
Pakistan, Mesir dan di Asia Tenggara. Pada 1906 sebuah gerakan yang menamakan
dirinya ahli Qur’an muncul dibagian barat Punjab, Lahore, dan Amritsar.
Pimpinannya, Abdullah Chakrawali dan Khwajad din, menolak Hadits secara
keseluruhan.
Dalam gerakannya, kelompok ini mengklaim bahwa al-Qur’an saja sudah cukup
untuk menjelaskan semua perkara agama. akibatnya mereka menyimpulkan bahwa
shalat hanya empat kali sehari, tanpa adzan dan iqamah, tanpa takbiratul ihram, tidak
ada shalat ‘id (hari lebaran) dan shalat janazah. Chakrawawli bahkan membuat aturan
shalat sendiri, mengurangi jumlah rakaat-rakaatnya dan membuang apa-apa yang
menurutnya tidak ada dalinya dalam al-Qur’an.
Propaganda anti-Hadits ini belakangan diteruskan oleh Ghulam Ahmad Parwes
dan Sayyid Rafi’uddin Multan, akan tetapi mendapat serangan balik dari para ulama’
setempat seperti Muhammad Isma’il as-Salafi, Abu l-A’la al-Mawdudi, dan
Muhammad Ayyub Dihlawi. Meskipun cukup gencar awalnya gerakan ini tidak
bertahan lama, pengikutnya kian lama kian berkurang dan pengaruhnya perlahan-
lahan surut dan hilang ditelan zaman.
Wabah anti Hadits juga sempat merebak di Timur Tengah. Pemicunya adalah
artikel Muhammad Tawfiq Shiddiqi yang dimuat dalam majalah al-manar Kairo,
Mesir. Menurut shiddiqi, perilaku Nabi Muhammad saw. Tidak dimaksudkan untuk
ditiru seratus persen; umat Islam semestinya berpegang pada dan cukup mengikuti
Al-Qur’an saja. Namun pemikiran shiddiqi tidak bertahan lama ia mencabut semua
pendapat-pendapatnya setelah menuai kritikan dan bantahan dari para ulama mesir
dan India, dan atas saran Muhammad Rasyid Ridha.
Jika kita melihat pada akhir ini, sebenarnya yang meragukan dan memburamkan
otentisitas Hadits bukan hanya para orientalis missionaries Yahudi dan Kristen,
melainkan juga muncul dari para pemikir Islam yang terpengaruh oleh produk
pemikiran orientalis barat. Sebut saja Muhammad Abu Rayyah yang tidak hanya
menolak otentisitas sekaligus otoritas Hadits maupun sunnah, tetapi juga
mempersoalkan integritas (‘adalah) para sahabat umumnya dan Abu Hurayrah r.a
khususnya. Namun lagi-lagi pendapat ini langsung dibantah oleh para ulama’
kita.  Kritik yang dilakukan oleh Rayyah ini, sebenarnya telah menggaungkan kritik
oleh orientalis, meskipun pada dasarnya dia tidak mengakui bahwa pemikirannya
terpengaruh oleh pemikiran Orientalis.
Ternyata gaung inkarus sunnah bukan hanya digaungkan di barat dan timur
tengah saja melainkan sudah merasuk sampai ke Nusantara. Kita perlu bersyukur di
Indonesia masih mempunyai lembaga keIslaman yang mempunyai otoritas untuk
memfatwakan hukum yang berkaitan dengan keagamaan sebut saja “Majlis Ulama
Indonesia (MUI)” dalam fatwanya bahwa inkarus sunnah dilarang keras di Indonesia
oleh ulama dan pemerintahan, sebagaimana tertera dalam fatwa hasil keputusan Jaksa
Agung Republik Indonesia, Nomor 169/J.A/9/1983. Adapun di Malaysia gerakan anti
Hadits dipelopori oleh Kassim Ahmad. Orang ini menulis buku kecil yang intinya
meragukan otentisitas hadits dan sekaligus menolak otoritasnya. Tidak hanya isinya
yang membeo dan memproduksi argumen orientalis, bahkan judul bukunya pun,
“Hadits- suatu penilaian semula” mengingatkan kita pada judul artikel joseph
schalcht beberapa decade yang lalu: “A revaluation of Islamic tradition”. Pada 8 juli
1996, buku tersebut dilarang peredarannya oleh Kementrian Dalam Negeri Malaysia
pun akhirnya mengeluarkan fatwa yang melarang masyarakat mengikuti gerakan
sesat ini (fatwa kebangsaan tentang Anti Hadits).

Kesimpulan
Al-Qur’an dan Hadits merupakan dua sumber hukum agama Islam yang
menduduki kedudukan paling atas, jika dibandingkan hukum-hukum islam lainnya.
Disamping itu juga Al-Qur’an dan Hadits merupakan warisan Rasulullah saw. untuk
ummatnya dimuka bumi agar dipergunakan sebagai pandangan hidup, sebagaimana
tertuang dalam sabda Rasulullah saw.
‫لن تضلوا أبدا إذا تمسكتم بهما كتاب هللا وسنة رسوله‬  ‫تركت فيكم أمرين‬
“Saya tinggalkan dua perkara untuk kalian, kalian tidak akan sesat jika kalian
berpegang teguh kepada keduanya, yaitu Al-Qur’an dan as-Sunnah”
Al-Qur’an yang telah terjamin ke otentikannya dan mendapatkan penjagaan
langsung dari Allah swt dikritik habis-habisan oleh para musuh Islam (Orientalis-
Missionaris), meskipun kritik yang mereka bangun tidak didasarkan pada data dan
sumber yang jelas. Begitupun juga Hadits yang disabdakan langsung oleh Nabi
Muhammad saw.  Terus mendapatkan kritikan dari para orientalis Yahudi Nasrani,
ada yang mengatakan bahwa Hadits yang ada merupakan anekdot belaka tanpa bisa
dijadikan sebagai landasan hukum dan sumber sejarah perkembangan islam  pada
masa-masa awal.Para orientalis mengkritik sumber hukum islam itu tidak lain
hanyalah untuk mengkaburkan keyakinan umat islam terhadap agamanya. Wallahu
a’lam

  

DAFTAR PUSTAKA
Zuhdi, Ahmad. 2004. Pandangan Orientalis Barat Tehadap Islam, Surabaya:
Karya  Pembina Swajaya.

Arif, Syamsuddin. 2008. Orientalis dan Diabolisme Pemikiran. Jakarta : Gema


Insani.

Bukhari, Mannan. 2006. Menyingkap Tabir Orientalis. Jakarta : Amzah.

Umar, Nasruddin. Al-Qur’an di Mata Mantan Intelektual Muslim: Ibn Warq dan
Mark A. Gabriel.

Irving, 1949. Life of Muhammad and his Successors. London: JM. Dent.

Sou’yb, Joesoef. 1985. Orientalisme dan Islam. Jakarta: Bulan Bintang, 1985.

Anda mungkin juga menyukai