Kajian tentang orientalis tidak dapat dipisahkan darí studi tentang orientalisme.
Orientalisme berasal dari kata orient dan isme. Dalam bahasa Inggris, kata orient berarti
direction of rising sun (arah terbitya matahari). Secara geografis, kata orient berarti dunía
timur dan secara etnologis berarti bangsa-bangsa timur. Secara luas, kata orient Juga berarti
wilayah yang membentang darti kawasan Timur Dekat (Turki dan sekitarnya) hingga Timur
Jauh (Jepang, Korea, Cina) dan Asia Selatan hingga republik-republik muslim bekas Uni
Soviet, serta kawasan Timur Tengah hingga Afrika Utara. Adapun istilah isme berarti aliran,
pendirian, ilmu, paham, keyakinan, dan sistem. Dengan demikian, secara etimologis,
orientalisme dapat diartikan sebagai ilmu.tentang ketimuran atau studi tentang dunia timur.
Berdasar analisis terhadap pendapat Edward Said dapat dikatakan bahwa untuk
menentukan seseorang itu orientalis atau bukan terletak pada cara berpikirnya dalam
mengkaji dunia Timur, bukan terletak pada aspek geografis pengkajiannya. Oleh karena itu,
dapat diartikan bahwa orientalis adalah orang yang mengkaji dunia Timur (Islam)
berdasarkan logika ontologis dan epistemologis Barat, tidak masalah ia orang Barat atau
bukan, muslim atau nonmuslim. Sebaliknya, orang yang mengkaji dunia Barat dengan
menggunakan sudut pandang ketimuran dinamakan dengan oksidentalis. Sungguhpun
demikian, lazimnya predikat orientalis itu disandangkan kepada orang-orang Barat yang
mempunyai minat mengkaji Islam khususnya dan dunia ketimuran umumnya.
Pada awal pertumbuhannya, kajian orientalis terhadap Islam bersifat umum. Namun,
dalam perkembangannya kajian itu mengalami spesifikasi sehingga lahir berbagai kajian
tentang Islam seperti al-Qur'an,hadis, hukum, dan sejarah. Dalam frame kajian orientalis yang
sudah terspesikasi menjadi beberapa bidang itu, maka bab ini mengetengahkan bagaimana
kajian orientalis di bidang hadis.
Dari sekian banyak bidang kajian yang menjadi garapan para orientalis, salah satunya
adalah hadis Nabi. Tentang siapa orientalis yang pertama kali mengadakan kajian di bidang
ini, belum ditemukan kepastian sejarah. Para ahli berbeda pendapat dalam hal ini. Menurut
Barat yang pertama kali melakukan kajian skeptik terhadap hadis adalah G. H. A. Joynboll
sebagaimana dikutip oleh Daniel W. Brown, sarjana Alois Sprenger kemudian diikuti oleh Sir
Willian Muir dalam karyanya Life of Muhamet dan mencapai puncaknya pada karya Ignaz
Goldziher.
Menurut M. Musthafa Azami, orientalis yang pertama kali melakukan kajian hadis
adalah Ignaz Goldziher, seorang Yahudi kelahiran Hongaria (1850-1920 M) melalui
karyanya berjudul: Muhamedanische Studien pada tahun 1980 yang berisi pendangannya
tentang hadis. Pendapat ini dibantah oleh A. J. Wensinck bahwa.orientalis pertama yang
mengkaji hadis adalah Snouck Hurgronje yang.menerbitkan bukunya: Revre Coloniale
Internationale tahun 1886. Jika pendapat ini benar, maka karya Hurgronje terbit empat tahun
lebih dahulu dari karya Goldziher.
Terlepas dari kontroversi di ataş, hal yang perlu diketahui adalah.bahwa ternyata
Goldziher telah berhasil menanamkan keraguan terhadap autentisitas hadis yang dilengkapi
dengan studi-studi ilmiah yang dilakukannya, sehingga karyanya dianggap sebagai 'kitab suci'
oleh para orientalis sendiri. Di samping itu, kehadiran Joseph Schacht melalui bukunya: The
Origin of Muhammadan Jurisprudence, terbit pertama kali tahun 1950, yang kemudian
dianggap sebagai 'kitab suci kedua' oleh para orientalis berikutnya, juga telah membawa
dampak yang kuat terhadap sejumlah penelitian dan kajian hadis di kalangan orientalis.
Kedua orang inilah yang mempunyai peranan besar dalam pengkajian hadis di kalangan
orientalis. Bahkan, menurut Ali Musthafa Ya'qub, untuk mengetahui kajian hadis di kalangan
orientalis cukup dengan hanya menelusuri pendapat kedua tokoh ini, karena para orientalis
sesudah mereka pada umumnya hanya mengikuti pendapat keduanya.
Namun demikian, ada pula orientalis yang memiliki pandangan yang lebih jernih dan
bertentangan dengan kedua ilmuwan di atas. Freeland Abbott, misalnya, dalam bukunya
Islam and Pakistan (1908) membagi substansi hadis menjadi tiga kelompok besar: (1) hadis
yang menggambarkan kehidupan Nabi secara umum; (2) hadis yang dipermasalahkan karena
hadis-hadis itu tidak konsisten dengan ucapan Nabi; dan (3) hadis yang menceritakan wahyu
yang diterima oleh Nabi. Meskipun klasifikasi oleh Freeland Abbott ini jauh berbeda dengan
klasifikasi oleh kalangan ulama hadis, secara tidak langsung.menunjukkan bahwa ia
mengakui bahwa hadis benar-benar bersumber dari Nabi. Pengakuan yang lebih tegas
diungkapkan oleh Nabila Abbott dalam bukunya Studies in Literary Papiry: Qur'anic
Commentary and Tradition (1957), menegaskan bahwa hadis-hadis Nabi dapat ditelusuri
keberadaannya hingga masa Nabi dan bukan buatan umat Islam setelah abad pertama
Hijriyah. Pandangan ini didasarkan atas manuskrip manuskrip yang berhubungan dengan
hadis Nabi.
B. Sikap Para Orientalis Terhadap Islam Umumnya dan Khususnya Kajian Hadis
Dalam bidang hadis, sikap para orientalis tersebut tidak terlepas.dari sikap dan
pencitraan mereka terhadap Nabi Muhammad. Sebab, bagaimanapun pembicaraan tentang
hadis akan selalu berhubungan dengan Muhammad yang perkataan, perbuatan, dan
persetujuannya melahirkan hadis.
Dalam konteks ini, pencitraan Muhammad di mata orientalis dapat dipandang dari dua
sisi. Satu sisi Muhammad dipandang sebagai Nabi dan rasul yang telah membebaskan
manusia dari kezaliman. Pandangan ini dikemukakan oleh antara lain De Boulavilliers dan
Savary. Di sisi lain, Muhammad dipandang sebagai paganis, penganut Kristen dan Yahudi
yang murtad yang akan menghancurkan ajaran Kristen dan Yahudi, intelektual pintar yang
memiliki imajinasi yang kuat dan pembohong, serta seorang tukang sihir yang berpenyakit
ayan. Pandangan ini dikemukakan antara lain oleh D'Herbelot, Dante Alighieri, Washington
Irving, Hamilton Gibb, Goldziher, dan Joseph Schacht.
Sikap mendua di atas telah membentuk citra yang sama terhadap hadis. Dalam
pengertian bahwa mereka yang berpandangan negatif terhadap Nabi Muhammad akan
berpandangan negatif pula terhadap hadis, demikian pula sebaliknya. Meskipun hal ini tidak
menunjukkan keharusan. Demikian halnya, jika diklasifikasi secara keseluruhan ternyata
kelompok orientalis yang mencela hadis lebih banyak dibanding kelompok yang mengakui
eksistensi hadis.
Dalam pandangan kebanyakan orientalis, hadis hanya merupakan hasil karya ulama
dan ahli fiqh yang ingin menjadikan Islam sebagai agama yang multidimensional, mereka
menganggap bahwa hadis tidak lebih dari sekadar ungkapan manusia atau jiblakan dari ajaran
Yahudi dan Kristen. Hamilton Gibb menyatakan bahwa hadis hanya merupakan jiblakan
Muhammad dan pengikutnya dari ajaran Yahudi dan Kristen. Sementara Ignaz Goldziher dan
Joseph Schatch, dua pemuka orientalis, menyatakan bahwa hadis tidak bersumber dari Nabi
Muhammad, melainkan sesuatu yang lahir pada abad pertama dan kedua Hijriah sebagai
akibat dari perkembangan Islam.
Dalam kajian ilmu hadis, istilah hadis sering disejajarkan dengan istilah sunnah,
walaupun kedua istilah itu tidak selalu identik karena keduanya juga memiliki perbedaan. Di
kalangan ulama hadis, hadis merupakan sinonim sunnah, namun hadis pada umumnya
digunakan untuk istilah segala sesuatu yang diriwayatkan dari Rasulullah setelah diutus jadi
Nabi (bi'tsah). Sebagian ulama berpendapat bahwa hadis hanya terbatas ucapan dan perbuatan
Nabi saja, sedang persetujuan dan sifat-sifatnya tidak termasuk hadis karena keduanya
merupakan ucapan dan perbuatan sahabat.18 Berbeda dengan ulama hadis, ulama Ushul Fiqh
berpendapat bahwa hadis lebih khusus daripada sunnah sebab hadis, menurut mereka, adalah
sunnah qawliyah.
Pada kesempatan lain, Ignaz Goldziher menyatakan bahwa perbedaan antara sunnah
dan hadis bukan saja dari maknanya, tetapi melebar pada adanya pertentangan dalam materi
hadis dan sunnah. Menurutnya, hadis bercirikan berita lisan yang dinilai bersumber dari.Nabi,
sedangkan sunnah berdasar kebiasaan yang lazim digunakan di kalangan umat Islam awal
yang menunjuk pada permasalahan hukum dan keagamaan, baik ada atau tidak ada berita
lisan tentang kebiasaan.itu. Suatu kaidah yang terkandung di dalam hadis biasanya
dipandang.sebagai sunnah, tetapi tidak berarti sunnah harus mempunyai hadis yang relevan
dan mengukuhkannya. Lebih lanjut Goldziher menyatakan bahwa sunnah sebenarnya
hanyalah sebuah revisi atas adat istiadat bangsa Arab yang sudah ada. 23 Dengan demikian,
menurut Goldziher, sunnah bukanlah suatu yang berasal dari Nabi tetapi
merupakan.kebiasaan yang sudah berkembang di kalangan bangsa Arab yang direvisi dan
kemudian dilanjutkah oleh umat Islam sebagi suatu tradisi.
Pendapat senada dikemukakan oleh Joseph Schacht bahwa sunnah merupakan konsep
bangsa Arab kuno yang berlaku kembali sebagai salah satu pusat pemikiran Islam.
Menurutnya, sunnah lebih merupakan tradisi Arab kuno yang kembali mengemuka dalam
ajaran Islam. Dalam konteks ini, Fazlur Rahman menyimpulkan makna sunnah menurut
Schacht sebagai tradisi dari Nabi yang tidak ada sama sekali sampai Abad Kedua Hijriah atau
Kedelapan Masehi. Kebiasaan sebelum waktu itu tidak dipandang sebagai sunnah Nabi,
tetapi sebagai sunnah masyarakat karena sunnah tersebut terutama sekali adalah hasil
penalaran bebas orang-orang.
Dapat dikatakan bahwa pandangan Goldziher dan Schacht tentang sunnah relatif
sama. Keduanya menganggap sunnah bukan sesuatu yang berasal dari Nabi, tetapi hanya
kelanjutan dari tradisi bangsa Arab yang kemudian direvisi dan diteruskan oleh Islam serta
kemudian disandarkan kepada Nabi.
Dalam melakukan kajian sanad, para orientalis tampaknya lebih banyak menyoroti
tentang kapan sanad itu dimulai dalam periwayatan hadis. Menurut Caetani, 'Urwah (w. 94
H) adalah orang pertama yang menghimpun hadis tetapi ia tidak menggunakan sanad.
Selanjutnya ia menyatakan bahwa pada masa 'Abd al-Malik (w. antara 70-80 H), penggunaan
sanad dalam periwayatan hadis juga belum dikenal. Caetani berpendapat bahwa penggunaan
sanad baru dimulai pada masa antara 'Urwah dengan Ibn Ishaq (w. 151 H). Berdasar pada
pendangannya itu, ia berkesimpulan bahwa sebagian besar sanad yang terdapat dalam kitab-
kitab hadis merupakan rekayasa para ahli hadis abad kedua, bahkan abad ketiga Hijriah.
Pendapat ini didukung oleh Sprenger.
Pendapat yang lebih lunak dikemukakan oleh Horovits bahwa.pemakaian sanad sudah
dimulai sejak sepertiga akhir abad pertama.Hijriah. R. Jobson mengatakan bahwa pada
pertengahan abad pertama Hijriah mungkin sudah ada metode semacam sanad. Sebab, pada
masa itu sejumlah sahabat sudah wafat sedangkan orang-orang yang tidak pernah bertemu
dengan Nabi mulai meriwayatkan hadis- hadisnya, dengan sendirinya mereka akan ditanya
oleh orang-orang yang mendengarnya, dari siapa mereka mendapatkan hadis itu. Hanya saja,
metode sanad secara detail tentulah berkembang setelah itu secara bertahap.
Teori ini berawal dari pemahaman Schacht terhadap perkembangan hadis sejalan
dengan perkembangan hukum Islam. Menurutnya, hukum Islam baru dikenal sejak
pengangkatan para qadhi pada masa Dinasti Umayyah. Sekitar akhir abad pertama Hijriah,
pengangkatan para qadhi ditujukan kepada para fuqaha' yang jumlahnya kian bertambah
sehingga akhirnya menjadi aliran fiqh klasik (madzhab). Untuk memperoleh legitimasi yang
kuat terhadap putusan hukum yang diambil, maka para qadhi menyandarkan putusan-putusan
itu kepada tokoh-tokoh yang sebelumnya dipandang mempunyai otoritas. Penyandaran ini
tidak haya sampai kepada generasi di atas mereka, tetapi sampai kepada para sahabat dan
akhirnya sampai kepada Nabi. Tindakan ini melahirkan kelompok oposisi yang terdiri dari
para ahli hadis. Pokok pikiran para ahli hadis ini adalah bahwa hadis-hadis yang disertai
dengan sanad yang mereka sandarkan kepada tokoh-tokoh sebelum mereka hingga akhirnya
juga bermuara kepada Nabi. Proses penyandaran ke belakang seperti