Anda di halaman 1dari 21

KATA PENGANTAR

Puji syukur dengan mengucap Alhamdulilah senantiasa kami panjatkan atas kehadirat
Allah SWT,yang telah melimpahkan rahmat dan karunia-Nya,sehingga kami dapat
menyelesaikan makalah ini guna memenuhi tugas kelompok untuk mata kuliah Ulumul
Hadist dengan judul Orientalisme Hadis Shalawat dan salam semoga terlimpah curahkan
kepada baginda Nabi Muhammad ‫ ﷺ‬semoga kita mendapat syafaat beliau di hari akhirat
kelak.

Makalah ini telah kami susun dengan maksimal dan mandapatkan bantuan dari
beberapa referensi sehingga dapat memperlancar pembuatan makalah ini.

Kami menyadari bahwa dalam penulisan makalah ini jauh dari kata sempurna
dikarenakan keterbatasan pengalaman dan pengetahuan kami. Maka dari itu, kami
mengharapkan segala bentuk saran masukan kritik dari berbagai pihak. Akhirnya, kami
berharap semoga makalah ini dapat memberikan manfaat bagi perkembangan dunia
pendidikan islam.

Langsa, 26 Desember 2022

Penulis

1
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR.......................................................................................................1

DAFTAR ISI......................................................................................................................2

BAB I PENDAHULUAN..................................................................................................3

A. Latar Belakang.........................................................................................................3
B. Rumusan Masalah....................................................................................................4
C. Tujuan......................................................................................................................4

BAB II PEMBAHASAN...................................................................................................5
Kajian Hadis Di Kalangan Orientalis……………….…………………………………5
A. Sejarah Kajian Hadis Dikalangan Orientalis...........................................................6
B. Sikap Para Orientalis Terhadap Islam Umumnya dan Khususnya Kajian Hadis....7
C. Pandangan Orientalis tentang Pengertian Sunnah………………………………... 9
D. Pandangan Orientalis tentang Sanad dan Matan Hadis………………………….. 11
E. Pandangan Orientalis tentang Hadis Palsu……………………………………......14
F. Pandangan Orientalis tentang Hadis sebagai Sumber Hukum……………………15
G. Kritik dan Koreksi Terhadap Pandangan Orientalis………………………………16

BAB III PENUTUP...........................................................................................................19


A. Kesimpulan..............................................................................................................19
B. Saran........................................................................................................................19

DAFTAR PUSTAKA........................................................................................................20

2
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Respons umat Islam terhadap eksistensi orientalisme menunjukkan pandangan yang be-
ragam. Sebagian mereka berpandangan bahwa orientalis merupakan momok yang harus
disingkirkan jauh-jauh, tetapi bagi sebagian kalangan tidaklah demikian. Bagi kalangan
akademisi, tentu hal ini tidak menjadi persoalan, selama pemikiran yang dikemukakan
kalangan orientalis ditunjang oleh data-data yang dapat dipertanggungjawabkan. Harus
diakui bahwa persoalan orientalis memiliki dua sisi yang saling bertentangan secara
diametral, negative dan positif. Diantara orientalis ada yang memiliki pandangan yang
subyektif, dan sebagian lainnya, ada yang bersifat obyektif.
Kajian-kajian yang obyektif dari kalangan orientalis sangat membantu bagi umat Islam
dalam menyediakan informasi yang detail dan akurat tentang Islam dan problematikanya.
Sejumlah pemikir besar Barat seperti Reynold Nicholson dan Arthur Arberry, menghabiskan
umurnya hanya karena ketertarikan terhadap kajian-kajian keislaman. Kedua orientalis
Inggris ini telah mampu menyelamatkan sejumlah karya klasik Islam melalui penerjemahan
yang dilakukannya sehingga dapat dibaca dan diakses oleh kalangan akademisi, baik di
belahan dunia Barat maupun di Timur. Kajian yang dilakukan orientalis tentang ketimuran,
terutama Islam dan peradabannya antara lain meliputi: Alquran, hadis, sejarah Islam, fiqh,
ushul fiqh, teologi, filsafat, bahasa dan sastra. Terlepas dari tujuan awalnya, mereka secara
umum melakukan kajian-kajian tersebut secara serius dan sungguh-sungguh. Selain kajian
yang sifatnya tendensius, tidak sedikit kajian-kajian orientalis tentang keislaman memberikan
apresiasi positif, dengan argumentasi-argumentasi yang dapat dipertanggungjawabkan. Dapat
disebutkan bahwa kajian yang dilakukan Orentalis tentanng studi ke-Islaman tidak terlepas
dari pro-kontra baik dari kalangan umat Islam (insider) maupun dari kalangan Orientalis
sendiri (outsider). Salah studi dalam bidang hadis. Diantara tokoh-tokoh Orientalis yang
cukup concern dalam melakukan studi terhadap hadis adalah Ignaz Goldziher dan
Joseph Schacht. .

Artikel ini akan diarahkan kepada pandangan kedua tokoh Orientalis di atas, namun

3
sebelumnya akan dikemukakan terlebih dahulu seputar pengertian, faktor yang melatari
Munculnya orientalisme dan apa motivasi dan kegiatan orientalisme

B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana Sejarah Kajian Hadis Dikalangan Orientalis ?
2. Bagaimana Sikap Para Orientalis Terhadap Islam Umumnya dan Khususnya Kajian
Hadis ?
3. Bagaimana Pandangan Orientalis tentang Pengertian Sunnah ?
4. Bagaimana Pandangan Orientalis tentang Sanad dan Matan Hadis ?
5. Bagaimana Pandangan Orientalis tentang Hadis Palsu ?
6. Bagaimana Pandangan Orientalis tentang Hadis sebagai Sumber Hukum ?
7. Bagaimana Kritik dan Koreksi Terhadap Pandangan Orientalis ?

C. Tujuan
1. Untuk mengetahui Sejarah Kajian Hadis Dikalangan Orientalis.
2. Untuk mengetahui Sikap Para Orientalis Terhadap Islam Umumnya dan Khususnya
Kajian Hadis.
3. Untuk mengetahui Pandangan Orientalis tentang Pengertian Sunnah.
4. Untuk mengetahui Pandangan Orientalis tentang Sanad dan Matan Hadis.
5. Untuk mengetahui Pandangan Orientalis tentang Hadis Palsu.
6. Untuk mengetahui Pandangan Orientalis tentang Hadis sebagai Sumber Hukum.
7. Untuk mengetahui Kritik dan Koreksi Terhadap Pandangan Orientalis.

4
BAB II

PEMBAHASAN

KAJIAN HADIS DI KALANGAN ORIENTALIS

Kajian tentang orientalis tidak dapat dipisahkan darí studi tentang orientalisme.
Orientalisme berasal dari kata orient dan isme. Dalam bahasa Inggris, kata orient berarti
direction of rising sun (arah terbitya matahari). Secara geografis, kata orient berarti dunía
timur dan secara etnologis berarti bangsa-bangsa timur. Secara luas, kata orient Juga berarti
wilayah yang membentang darti kawasan Timur Dekat (Turki dan sekitarnya) hingga Timur
Jauh (Jepang, Korea, Cina) dan Asia Selatan hingga republik-republik muslim bekas Uni
Soviet, serta kawasan Timur Tengah hingga Afrika Utara. Adapun istilah isme berarti aliran,
pendirian, ilmu, paham, keyakinan, dan sistem. Dengan demikian, secara etimologis,
orientalisme dapat diartikan sebagai ilmu.tentang ketimuran atau studi tentang dunia timur.

Secara terminologis, Edward Said memberikan tiga pengertian dasar orientalisme,


yaitu: (1) sebuah cara kedatangan yang berhubungan dengan bangsa-bangsa Timur
berdasarkan tempat khusus Timur dan pengalaman Barat Eropa; (2) sebuah gaya pemikiran
berdasarkan ontologi dan epistemologi Barat pada umumnya; dan (3) sebuah gaya Barat
untuk mendominasi, membangun kembali, dan mempunyai kekuasaan terhadap Timur. Dari
beberapa pengertian ini agaknya pengertian orientalisme dapat disederhanakan menjadi
kajian tentang dunia Timur. Dengan pengertian ini, maka orientalis berarti orang yang
mengkaji dunia ketimuran, yang dalam perkembangannya mengalami penyempitan menjadi
dunia Islam. Dalam hal ini, ada pendapat yang membatasi pengertian orientalis itu pada
orang-orang.Barat saja, di samping pendapat lain yang tidak membatasinya padakelompok
tertentu.

Berdasar analisis terhadap pendapat Edward Said dapat dikatakan bahwa untuk
menentukan seseorang itu orientalis atau bukan terletak pada cara berpikirnya dalam
mengkaji dunia Timur, bukan terletak pada aspek geografis pengkajiannya. Oleh karena itu,
dapat diartikan bahwa orientalis adalah orang yang mengkaji dunia Timur (Islam)

5
berdasarkan logika ontologis dan epistemologis Barat, tidak masalah ia orang Barat atau
bukan, muslim atau nonmuslim. Sebaliknya, orang yang mengkaji dunia Barat dengan
menggunakan sudut pandang ketimuran dinamakan dengan oksidentalis. Sungguhpun
demikian, lazimnya predikat orientalis itu disandangkan kepada orang-orang Barat yang
mempunyai minat mengkaji Islam khususnya dan dunia ketimuran umumnya.

Pada awal pertumbuhannya, kajian orientalis terhadap Islam bersifat umum. Namun,
dalam perkembangannya kajian itu mengalami spesifikasi sehingga lahir berbagai kajian
tentang Islam seperti al-Qur'an,hadis, hukum, dan sejarah. Dalam frame kajian orientalis yang
sudah terspesikasi menjadi beberapa bidang itu, maka bab ini mengetengahkan bagaimana
kajian orientalis di bidang hadis.

A. Sejarah Kajian Hadis di Kalangan Orientalis

Dari sekian banyak bidang kajian yang menjadi garapan para orientalis, salah satunya
adalah hadis Nabi. Tentang siapa orientalis yang pertama kali mengadakan kajian di bidang
ini, belum ditemukan kepastian sejarah. Para ahli berbeda pendapat dalam hal ini. Menurut
Barat yang pertama kali melakukan kajian skeptik terhadap hadis adalah G. H. A. Joynboll
sebagaimana dikutip oleh Daniel W. Brown, sarjana Alois Sprenger kemudian diikuti oleh Sir
Willian Muir dalam karyanya Life of Muhamet dan mencapai puncaknya pada karya Ignaz
Goldziher.

Menurut M. Musthafa Azami, orientalis yang pertama kali melakukan kajian hadis
adalah Ignaz Goldziher, seorang Yahudi kelahiran Hongaria (1850-1920 M) melalui
karyanya berjudul: Muhamedanische Studien pada tahun 1980 yang berisi pendangannya
tentang hadis. Pendapat ini dibantah oleh A. J. Wensinck bahwa.orientalis pertama yang
mengkaji hadis adalah Snouck Hurgronje yang.menerbitkan bukunya: Revre Coloniale
Internationale tahun 1886. Jika pendapat ini benar, maka karya Hurgronje terbit empat tahun
lebih dahulu dari karya Goldziher.

Kalangan Orientalis Selanjutnya, kajian di bidang hadis dilanjutkan oleh Hamilton


Alexander Roskeen Gibb, seorang orientalis asal Inggris (1895-1971) melalui karyanya
Mohammedanism dan Shorter Encyclopaedia of Islam, dilanjutkan oleh Joseph Schacht
seorang orientalis berkebangsaan Polandia (1902-1969) melalui karyanya The Origin of
Muhammadan Jurisprudence, GHA: Joynboll dengan bukunya Muslim Tradition, Studies in

6
Chronology, Provenance, and Authorship of Early Hadith,.Bernard G. Weiss, dengan
bukunya The Search for God's Law, serta masih banyak nama-nama lain seperti W.
Montgomery Watt, Von Guerboum, Arberry, Jeffre, Ira Lapidus, dan John L. Esposito.

Terlepas dari kontroversi di ataş, hal yang perlu diketahui adalah.bahwa ternyata
Goldziher telah berhasil menanamkan keraguan terhadap autentisitas hadis yang dilengkapi
dengan studi-studi ilmiah yang dilakukannya, sehingga karyanya dianggap sebagai 'kitab suci'
oleh para orientalis sendiri. Di samping itu, kehadiran Joseph Schacht melalui bukunya: The
Origin of Muhammadan Jurisprudence, terbit pertama kali tahun 1950, yang kemudian
dianggap sebagai 'kitab suci kedua' oleh para orientalis berikutnya, juga telah membawa
dampak yang kuat terhadap sejumlah penelitian dan kajian hadis di kalangan orientalis.
Kedua orang inilah yang mempunyai peranan besar dalam pengkajian hadis di kalangan
orientalis. Bahkan, menurut Ali Musthafa Ya'qub, untuk mengetahui kajian hadis di kalangan
orientalis cukup dengan hanya menelusuri pendapat kedua tokoh ini, karena para orientalis
sesudah mereka pada umumnya hanya mengikuti pendapat keduanya.

Namun demikian, ada pula orientalis yang memiliki pandangan yang lebih jernih dan
bertentangan dengan kedua ilmuwan di atas. Freeland Abbott, misalnya, dalam bukunya
Islam and Pakistan (1908) membagi substansi hadis menjadi tiga kelompok besar: (1) hadis
yang menggambarkan kehidupan Nabi secara umum; (2) hadis yang dipermasalahkan karena
hadis-hadis itu tidak konsisten dengan ucapan Nabi; dan (3) hadis yang menceritakan wahyu
yang diterima oleh Nabi. Meskipun klasifikasi oleh Freeland Abbott ini jauh berbeda dengan
klasifikasi oleh kalangan ulama hadis, secara tidak langsung.menunjukkan bahwa ia
mengakui bahwa hadis benar-benar bersumber dari Nabi. Pengakuan yang lebih tegas
diungkapkan oleh Nabila Abbott dalam bukunya Studies in Literary Papiry: Qur'anic
Commentary and Tradition (1957), menegaskan bahwa hadis-hadis Nabi dapat ditelusuri
keberadaannya hingga masa Nabi dan bukan buatan umat Islam setelah abad pertama
Hijriyah. Pandangan ini didasarkan atas manuskrip manuskrip yang berhubungan dengan
hadis Nabi.

Dapat dikatakan bahwa di kalangan orientalis telah terjadi pergeseran pendapat


tentang hadis. Sebagian mereka sependapat dengan Hurgronje, Goldziher, dan Schacht,
namun ada pula yang.bertentangan dengan mereka dalam memandang Islam umumnya dan
hadis khususnya.

B. Sikap Para Orientalis Terhadap Islam Umumnya dan Khususnya Kajian Hadis

7
Perbedaan orientalis dalam memandang Islam, termasuk didalamnya hadis, tidak
terlepas dari motivasi dan sikap mereka dalam mengkaji Islam. Setidaknya sikap mereka itu
dapat dibedakan menjadi tiga. Pertama, sikap netral terjadi pada awal persentuhan antara
Timur dengan Barat pada masa sebelum Perang Salib. Kedua, pasca-Perang Salib sikap
tersebut bergeser ke arah pendistorsian.Islam yang dilatarbelakangi oleh sentimen keagamaan
yang semakin menguat. Ketiga, sikap mulai mengapresiasi Islam yang terjadi
pada.perkembangan orientalisme kontemporer yang didorong oleh semangat.pengembangan
intelektual yang rasional. Meskipun belum seratus persen objektif, pada masa ini
penghargaan dan penghormatan terhadap Islam mulai terlihat.

Dalam bidang hadis, sikap para orientalis tersebut tidak terlepas.dari sikap dan
pencitraan mereka terhadap Nabi Muhammad. Sebab, bagaimanapun pembicaraan tentang
hadis akan selalu berhubungan dengan Muhammad yang perkataan, perbuatan, dan
persetujuannya melahirkan hadis.

Dalam konteks ini, pencitraan Muhammad di mata orientalis dapat dipandang dari dua
sisi. Satu sisi Muhammad dipandang sebagai Nabi dan rasul yang telah membebaskan
manusia dari kezaliman. Pandangan ini dikemukakan oleh antara lain De Boulavilliers dan
Savary. Di sisi lain, Muhammad dipandang sebagai paganis, penganut Kristen dan Yahudi
yang murtad yang akan menghancurkan ajaran Kristen dan Yahudi, intelektual pintar yang
memiliki imajinasi yang kuat dan pembohong, serta seorang tukang sihir yang berpenyakit
ayan. Pandangan ini dikemukakan antara lain oleh D'Herbelot, Dante Alighieri, Washington
Irving, Hamilton Gibb, Goldziher, dan Joseph Schacht.

Sikap mendua di atas telah membentuk citra yang sama terhadap hadis. Dalam
pengertian bahwa mereka yang berpandangan negatif terhadap Nabi Muhammad akan
berpandangan negatif pula terhadap hadis, demikian pula sebaliknya. Meskipun hal ini tidak
menunjukkan keharusan. Demikian halnya, jika diklasifikasi secara keseluruhan ternyata
kelompok orientalis yang mencela hadis lebih banyak dibanding kelompok yang mengakui
eksistensi hadis.

Menurut Sa'd al-Marshafi, sebagian orientalis berpandangan skeptis terhadap


keberadaan dan autentisitas hadis Nabi, sebab menurut mereka, pada masa-masa awal
pertumbuhan Islam, hadis tidak tercatat sebagaimana al-Qur'an karena tradisi yang
berkembang saat itu terutama pada masa Nabi dan sahabat adalah tradisi lisan bukan tradisi
tulisan dan sekaligus ada larangan secara umum untuk menulis. meskipun ada juga hadis

8
yang sesuatu dari Nabi selain al-Qur'an menyatakan sebaliknya secara khusus —, maka
dimungkinkan banyak hadis yang dipertanyakan autentisitasnya atau sama sekali diragukan
keberadaannya, bahkan semua hadis, terutama yang berkaitan dengan hukum dikatakan
sebagai hasil karya sahabat, tabi'in, atau para ulama dan fuqaha' pada abad pertama Hijriah
dan permulaan abad kedua Hijriah, dan menjadi suatu sistem yang matang sejak munculnya
kompilasi hadis pada abad ketiga Hijriah yang ingin menjadikan Islam sebagai agama yang
multidimensional, komprehensif yang mencakup seluruh aspek kehidupan.

Dalam pandangan kebanyakan orientalis, hadis hanya merupakan hasil karya ulama
dan ahli fiqh yang ingin menjadikan Islam sebagai agama yang multidimensional, mereka
menganggap bahwa hadis tidak lebih dari sekadar ungkapan manusia atau jiblakan dari ajaran
Yahudi dan Kristen. Hamilton Gibb menyatakan bahwa hadis hanya merupakan jiblakan
Muhammad dan pengikutnya dari ajaran Yahudi dan Kristen. Sementara Ignaz Goldziher dan
Joseph Schatch, dua pemuka orientalis, menyatakan bahwa hadis tidak bersumber dari Nabi
Muhammad, melainkan sesuatu yang lahir pada abad pertama dan kedua Hijriah sebagai
akibat dari perkembangan Islam.

C. Pandangan Orientalis tentang Pengertian Sunnah

Dalam kajian ilmu hadis, istilah hadis sering disejajarkan dengan istilah sunnah,
walaupun kedua istilah itu tidak selalu identik karena keduanya juga memiliki perbedaan. Di
kalangan ulama hadis, hadis merupakan sinonim sunnah, namun hadis pada umumnya
digunakan untuk istilah segala sesuatu yang diriwayatkan dari Rasulullah setelah diutus jadi
Nabi (bi'tsah). Sebagian ulama berpendapat bahwa hadis hanya terbatas ucapan dan perbuatan
Nabi saja, sedang persetujuan dan sifat-sifatnya tidak termasuk hadis karena keduanya
merupakan ucapan dan perbuatan sahabat.18 Berbeda dengan ulama hadis, ulama Ushul Fiqh
berpendapat bahwa hadis lebih khusus daripada sunnah sebab hadis, menurut mereka, adalah
sunnah qawliyah.

Dalam pandangan kaum orientalis, hadis juga dipandang berbeda.dengan sunnah.


Perbedaan ini antara lain terlihat pada pendapat.Goldziher yang menyatakan bahwa hadis
bermakna suatu disiplin ilmu yang bersifat teoretis, sedang sunnah berisi aturan-aturan
praktis. Menurutnya, kebiasaan-kebiasaan yang muncul dalam ibadah dan hukum yang diakui
sebagai tata cara kaum muslimin periode awal yang dipandang autoritatif dan telah
dipraktikkan dinamakan sunnah, sedangkan pernyataan tentang tata cara itu disebut hadis. Ia

9
juga menyatakan bahwa hadis bercirikan berita lisan yang diklaim bersumber dari Nabi,
sedangkan sunnah merupakan segala hal yang menjadi adat kebiasaan yang muncul pada
abad kedua di awal pertumbuhan dan perkembangan Islam, terlepas dari apakah kebiasaan itu
ada hadisnya atau tidak.

Jika dikomparasi, baik pendapat ulama hadis maupun ulama Ushul Fiqh dengan
pendapat orientalis di atas sangat berbeda dalam menanggapi pengertian hadis dan sunnah.
Bagi ulama hadis dan ulama Ushul, hadis dan sunnah sama-sama berasal dari Nabi meskipun
untuk hal-hal tertentu terjadi perbedaan, misalnya dari segi kapan sesuatu disebut hadis
apakah sebelum atau sesudah Nabi diutus menjadi rasul, cakupan hadis dan sunnah pada
wilayah perbuatan, perbuatan, dan ketetapannya, dan sebagainya. Sementara para orientalis
tidak memahami dua istilah ini sebagai sesuatu yang berasal dari Nabi, tetapi dipandang
sebagai ilmu pengetahuan yang bersifat teoritis (hadis) dan peraturan-peraturan praktis
(sunnah) yang berasal dari kebiasaan-kebiasaan umat Islam awal dalam bidang ibadah dan
hukum.

Pada kesempatan lain, Ignaz Goldziher menyatakan bahwa perbedaan antara sunnah
dan hadis bukan saja dari maknanya, tetapi melebar pada adanya pertentangan dalam materi
hadis dan sunnah. Menurutnya, hadis bercirikan berita lisan yang dinilai bersumber dari.Nabi,
sedangkan sunnah berdasar kebiasaan yang lazim digunakan di kalangan umat Islam awal
yang menunjuk pada permasalahan hukum dan keagamaan, baik ada atau tidak ada berita
lisan tentang kebiasaan.itu. Suatu kaidah yang terkandung di dalam hadis biasanya
dipandang.sebagai sunnah, tetapi tidak berarti sunnah harus mempunyai hadis yang relevan
dan mengukuhkannya. Lebih lanjut Goldziher menyatakan bahwa sunnah sebenarnya
hanyalah sebuah revisi atas adat istiadat bangsa Arab yang sudah ada. Dengan demikian,
menurut Goldziher, sunnah bukanlah suatu yang berasal dari Nabi tetapi
merupakan.kebiasaan yang sudah berkembang di kalangan bangsa Arab yang direvisi dan
kemudian dilanjutkah oleh umat Islam sebagi suatu tradisi.

Pendapat senada dikemukakan oleh Joseph Schacht bahwa sunnah merupakan konsep
bangsa Arab kuno yang berlaku kembali sebagai salah satu pusat pemikiran Islam.
Menurutnya, sunnah lebih merupakan tradisi Arab kuno yang kembali mengemuka dalam
ajaran Islam. Dalam konteks ini, Fazlur Rahman menyimpulkan makna sunnah menurut
Schacht sebagai tradisi dari Nabi yang tidak ada sama sekali sampai Abad Kedua Hijriah atau
Kedelapan Masehi. Kebiasaan sebelum waktu itu tidak dipandang sebagai sunnah Nabi,

10
tetapi sebagai sunnah masyarakat karena sunnah tersebut terutama sekali adalah hasil
penalaran bebas orang-orang.

Dapat dikatakan bahwa pandangan Goldziher dan Schacht tentang sunnah relatif
sama. Keduanya menganggap sunnah bukan sesuatu yang berasal dari Nabi, tetapi hanya
kelanjutan dari tradisi bangsa Arab yang kemudian direvisi dan diteruskan oleh Islam serta
kemudian disandarkan kepada Nabi.

D. Pandangan Orientalis tentang Sanad dan Matan Hadis

Dalam melakukan kajian sanad, para orientalis tampaknya lebih banyak menyoroti
tentang kapan sanad itu dimulai dalam periwayatan hadis. Menurut Caetani, 'Urwah (w. 94
H) adalah orang pertama yang menghimpun hadis tetapi ia tidak menggunakan sanad.
Selanjutnya ia menyatakan bahwa pada masa 'Abd al-Malik (w. antara 70-80 H), penggunaan
sanad dalam periwayatan hadis juga belum dikenal. Caetani berpendapat bahwa penggunaan
sanad baru dimulai pada masa antara 'Urwah dengan Ibn Ishaq (w. 151 H). Berdasar pada
pendangannya itu, ia berkesimpulan bahwa sebagian besar sanad yang terdapat dalam kitab-
kitab hadis merupakan rekayasa para ahli hadis abad kedua, bahkan abad ketiga Hijriah.
Pendapat ini didukung oleh Sprenger.

Pendapat yang lebih lunak dikemukakan oleh Horovits bahwa.pemakaian sanad sudah
dimulai sejak sepertiga akhir abad pertama.Hijriah. R. Jobson mengatakan bahwa pada
pertengahan abad pertama Hijriah mungkin sudah ada metode semacam sanad. Sebab, pada
masa itu sejumlah sahabat sudah wafat sedangkan orang-orang yang tidak pernah bertemu
dengan Nabi mulai meriwayatkan hadis- hadisnya, dengan sendirinya mereka akan ditanya
oleh orang-orang yang mendengarnya, dari siapa mereka mendapatkan hadis itu. Hanya saja,
metode sanad secara detail tentulah berkembang setelah itu secara bertahap.

Sementara itu, Joseph Schacht dalam The Origins of Muhammadan Jurisprudence,


berpendapat bahwa bagian terbesar dari sanad hadis adalah palsu. Menurutnya, semua orang
mengetahui bahwa sanad pada mulanya muncul dalam bentuk yang sangat sederhana,
kemudian.mencapai tingkat kesempurnaannya pada paruh kedua abad ketiga Hijriah. 508 Dia
menyatakan bahwa sanad merupakan hasil rekayasa para ulama abad kedua Hijriah dalam
menyandarkan sebuah hadis kepada tokoh-tokoh terdahulu hingga akhirnya sampai kepada
Nabi untuk mencari legitimasi yang kuat terhadap hadis tersebut.

11
Teori ini berawal dari pemahaman Schacht terhadap perkembangan hadis sejalan
dengan perkembangan hukum Islam. Menurutnya, hukum Islam baru dikenal sejak
pengangkatan para qadhi pada masa Dinasti Umayyah. Sekitar akhir abad pertama Hijriah,
pengangkatan para qadhi ditujukan kepada para fuqaha' yang jumlahnya kian bertambah
sehingga akhirnya menjadi aliran fiqh klasik (madzhab). Untuk memperoleh legitimasi yang
kuat terhadap putusan hukum yang diambil, maka para qadhi menyandarkan putusan-putusan
itu kepada tokoh-tokoh yang sebelumnya dipandang mempunyai otoritas. Penyandaran ini
tidak haya sampai kepada generasi di atas mereka, tetapi sampai kepada para sahabat dan
akhirnya sampai kepada Nabi. Tindakan ini melahirkan kelompok oposisi yang terdiri dari
para ahli hadis. Pokok pikiran para ahli hadis ini adalah bahwa hadis-hadis yang disertai
dengan sanad yang mereka sandarkan kepada tokoh-tokoh sebelum mereka hingga akhirnya
juga bermuara kepada Nabi. Proses penyandaran ke belakang seperti inilah yang kemudian
dikenal dengan istilah projecting back (proyeksi ke belakang). Berdasar pemahaman seperti
inilah, maka Schacht berkesimpulan bahwa baik kelompok fiqh klasik maupun kelompok ahli
hadis sama-sama memalsukan hadis, oleh karenanya tidak ada hadis benar-benar berasal dari
Nabi tetapi merupakan produk yang lahir yang dari persaingan antara para ulama.

Secara umum, menurut Musthafa Azami, teori ini dapat dijawab bahwa fiqh sudah
berkembang sejak masa Nabi. Sebab, fiqh merupakan produk ijtihad para mujtahid,
sementara sahabat pada masa mereka, bahkan pada masa Nabi telah melakukan ijtihad ini.
Oleh karena itu, sulit untuk diterima tuduhan Schacht bahwa fiqh baru berkembang saat
pengangkatan qadhi pada masa Dinasti Umayah.

Lebih lanjut, untuk mengklarifikasi teori tersebut, Azami melakukan penelitian


khusus tentang hadis-hadis Nabi yang terdapat dalam naskah-naskah klasik. Di antaranya
adalah naskah karya Suhayl ibn Abi Shalih(w. 138 H). Abu Shalih adalah murid Abu
Hurayrah, sahabat Nabi. Karenanya, sanad hadis dalam naskah itu berbentuk: Nabi SAW. –
Abu Hurayrah Suhayl. Naskah ini berisi 49 hadis yang para periwayatnya diteliti oleh Azami
sampai kepada generasi Suhayl (generasi ketiga), termasuk tentang jumlah dan generasi
mereka. Dari penelitian itu, Azami menemukan bahwa pada generasi ketiga periwayat
berjumlah sekitar 20-30 orang yang berdomisili secara terpencar seperti India, Turki,
Maroko, dan Yaman, sementara teks hadis yang mereka riwayatkan redaksinya sama. Dengan
demikian, menurutnya, sangat mustahil menurut ukuran situasi dan kondisi saat itu mereka
pernah berkumpul untuk membuat hadis sehingga menghasilkan redaksi yang sama. Sangat
mustahil pula bila masing-masing mereka membuat hadis kemudian oleh generasi berikutnya

12
diketahui bahwa redaksi hadis yang mereka buat sama. Kesimpulan ini bertolak belakang
dengan kesimpulan Schacht baik tentang rekonstruksi terbentuknya sanad maupun matan
hadis.

Di antara orientalis yang melakukan kritik hadis dari segi matan adalah Ignaz
Goldziher dan A. J. Wensinck. Keduanya menganggap lemah metode kritik sanad yang
dipakai para ulama sehingga produk yang dihasilkannya otomatis tidak bisa
dipertanggungjawabkan secara ilmiah. Goldziher meyangsikan seluruh matan dan menilainya
sebagai buatan ulama ahli hadis dan ulama ahli ra'yi. Goldziher mencontoh kan sebuah hadis
yang berbunyi: ‫( مساجد ثالثة لـىإال لرحال تشد ال‬Janganlah melakukan perjalanan kecuali pada tiga
masjid), menurutnya, Malik ibn Marwan, seorang khalifah Dinasti Bani Umayah di
Damaskus, merasa khawatir kalau 'Abd Allah ibn Zubayr, gubernur yang memproklamasikan
diri sebagai khalifah di Mekkah, mengambil kesempatan meminta bay'ah kepada orang-orang
Syam yang akan beribadah haji. Karenanya, ia berusaha agar mereka tidak menunaikan haji
ke Mekkah dan sebagai gantinya cukup menunaikan haji ke Qubbah al-Sakhrah di al-Quds,
dengan menyuruh Muhammad ibn Syihab al-Zuhri membuat hadis marfu' di atas.

A. J. Wensink menyatakan bahwa perkembangan dan aktivitas pemikiran di kalangan


umat Islam pasca-wafatnya Nabi membuka peluang bagi para ulama untuk menjelaskan roh
agama Islam itu melalui hadis. Ucapan-ucapan para ulama inilah yang kemudian dikenal
sebagai matan. Pandangan Wensinck ini sejalan dengan keterangan- keterangan para
orientalis di atas yang bermuara pada pandangan bahwa matan itu bukanlah ucapan Nabi,
melainkan ucapan para ulama yang kemudian disandarkan pada Nabi. Wensinck menuduh
matan hadis tentang akidah dan syari'ah sebagai hadis palsu. Misalnya, hadis yang
diriwayatkan dari Ibn 'Umar bahwa Rasulullah bersabda: ‫اللهرسول محمدا وأن هللا إال إله ال أن شهادة‬
‫ خمس على اإلســالم بــني‬Islam didirikan atas lima rukun; mengucapkan kesaksian bahwa tiada
Tuhan selain Allah dan Muhammad adalah rasul Allah ....). Menurutnya, hadis yang berisi
syahadat ini merupakan buatan sahabat, bukan perkatan Nabi, karena Nabi tidak pernah
mewajibkan melafalkan dua kalimat syahadat bagi orang yang baru masuk Islam, baru ketika
kaum muslimin berdebat dengan orang-orang Kristen di Syam, mereka mendapatkan
pertanyaan yang memerlukan jawaban dengan dua kalimat tersebut.

Keterangan di atas juga menunjukkan bahwa pandangan para orientalis terhadap sanad
sebenarnya berangkat dari pemahaman mereka tentang sunnah itu sendiri yang mereka yakini
sebagai sesuatu yang bukan berasal dari Nabi. Mereka beranggapan bahwa sanad dan

13
sekaligus matan yang ada dalam kitab-kitab hadis adalah buatan ulama dan umat Islam pada
abad kedua dan ketiga Hijriah. Untuk mendukung keyakinan ini, mereka mencari-cari
argumentasi sehingga dipahami sebagai hasil rekayasa oleh para ulama, demikian pula matan
merupakan perkataan mereka.

E. Pandangan Orientalis tentang Hadis Palsu

Sebagaimana dijelaskan di atas, baik Ignaz Goldziher maupun Joseph Schacht


berpendapat bahwa hadis tidaklah berasal dari Nabi melainkan sesuatu yang lahir pada abad
pertama dan kedua Hijriah. Sebagaimana dikutip oleh Ali Hasan 'Abd al-Qadir, Goldziher
menyatakan bahwa bagian terbesar dari hadis tidak lain merupakan hasil perkembangan
Islam pada abad pertama dan kedua baik dalam bidang keagamaan, politik maupun sosial.
Menurutnya, tidaklah benar pendapat bahwa hadis merupakan dokumen Islam yang sudah
ada semenjak masa pertumbuhan melainkan sebagai pengaruh perkembangan Islam pada
masa kematangan. Dalam bukunya, Muhammedanische Studien, Goldziher menyatakan:

"When the rapid succession of conquest let them to distant countries, they handed on these
hadiths of the Prophet to those who had not heard them with their own ears, and after his
death, they added many salutary sayings which were thought to be accord with his sentiments
and could, therefore, in their view, legitimately be ascribed to him, or of whose soundness
they were in general convinced".

Pernyataan Goldziher di atas, meskipun tidak secara langsung menyatakan bahwa


semua hadis palsu, telah meragukan keautentikan hadis sebagai sesuatu yang berasal dari
Nabi. Pernyataan lebih tegas datang dari Joseph Schacht bahwa tidak dapat ditemukan
satupun hadis Nabi, terutama yang berkaitan dengan hukum, yang dapat dianggap sebagai
hadis yang asli dari Nabi.

Dari pernyataan di atas diketahui bahwa dalam pandangan orientalis, hadis bukanlah
suatu yang berasal dari Nabi, tetapi merupakan hasil rekayasa ulama dan umat Islam generasi
abad pertama dan kedua Hijriah dengan dibuatkan sanad (mata rantai periwayat) hingga
Nabi. Karena itu, dalam pandangan mereka, semua hadis yang disandarkan kepada Nabi itu
berkualitas palsu (mawdhu'). Dalam bukunya An Introduction to Islamic Law, Joseph
Schacht menyatakan hal senada:

"At an early period the ancient Arab idea of sunna, precedent or normative custom,
reasserted itself in Islam. The Arabs were and are bounded by tradition and precedent.

14
Whatever was customary was right and proper, whatever the forefather had done deserved to
be imitated. This was the golden rule of the Arabs whose existence on a narrow margin in an
unpropitious environment did not leave the much room for experiment and innovation which
might upset the precarious balance of heir lives. In this idea of precedent or sunna whole
conservatism of the Arabs found expression".

Dengan demikian, baik menurut Goldziher maupun Schacht, sun- nah atau hadis
bukanlah sesuatu yang berasal dari Nabi, melainkan hasil rekayasa, umat Islam awal, atau
suatu tradisi yang terjadi di kalangan umat Islam yang kemudian disandarkan kepada Nabi.
Pendapat ini telah disanggah oleh ulama hadis sebagaimana akan dijelaskan berikutnya.

F. Pandangan Orientalis tentang Hadis sebagai Sumber Hukum

Pandangan orientalis terhadap hadis sebagai sumber hukum dapat ditelusuri dari
pandangan mereka tentang peranan Nabi Muhammad dalam pembentukan hukum.
Sebagaimana terlihat pada pandangan Joseph Schacht, Anderson, Snouck Hurgronje, dan E.
Tyan. Menurut Schacht, tujuan Muhammad selaku Nabi bukanlah untuk membuat sistem
hukum yang baru, tetapi sekadar mengajarkan manusia bagaimana harus bertindak agar
selamat menghadapi perhitungan pada hari pembalasan dan agar masuk surga. Pendapat
senada dikemukakan oleh Anderson bahwa Muhammad tidak berusaha menyelesaikan sistem
hukum yang komprehensif, tetapi hanya melakukan sedikit amendemen terhadap hukum adat
yang sudah ada.

Snouck Hurgronje juga menyatakan bahwa Muhammad sangat menyadari betapa


kurang memenuhi syaratnya untuk menyelesaikan urusan di bidang hukum kecuali kalau
benar-benar mendesak. Pandangan yang sama dikemukakan oleh E. Tyan bahwa jika
seseorang melihat sepintas karya Muhammad, maka akan dengan mudah me- yakini bahwa
Muhammad tidak bermaksud untuk mengadakan sistem hukum baru.

Beberapa pandangan di atas menunjukkan bahwa di mata para orientalis, Nabi


Muhammad tidak memiliki kapasitas dan otoritas dalam menetapkan hukum. Mereka
menolak adanya penetapan hukum yang sistematis dari Nabi, yang konsekuensinya mengarah
pada penolakan sunnah sebagai sumber hukum Islam. Kalaupun ada sunnah yang menjadi
sumber hukum Islam, maka hal itu bukan sesuatu yang berasal dari Nabi, tetapi berasal dari

15
tradisi yang sudah ada dan berkembang dalam masyarakat baik masa Jahiliah yang kemudian
direvisi maupun pada masa awal generasi Islam, dan seterusnya.

Lebih dari itu, berangkat dari tuduhan dan anggapan para orientalis terhadap al-Qur'an
sebagai perkataan Nabi Muhammad dan sunnah/hadis sebagai buatan para sahabat, tabi'in,
dan para ulama atau fuqaha', maka bukan saja hukum Islam atau fiqh tidak menemukan
watak orisinalitasnya bahkan mereka menuduh hukum Islam sebagai jiblakan atau mengacu
kepada hukum dan perundang-undangan Romawi. Di samping itu, mereka juga berpendapat
bahwa hukum Islam diambil dari hukum-hukum agama gereja timur, hukum Talmut dan
Rabi' serta hukum Sasania, bukan mengacu kepada al-Qur'an dan hadis sebagai sumber utama
dalam ajaran Islam.

Anggapan dasar para orientalis yang keliru tersebut bahwa al-Qur'an bukan wahyu
dan firman Allah tetapi perkataan Nabi Muhammad dan hadis atau sunnah merupakan
perkataan atau perbuatan sahabat, tabi’in, dan para ulama sangat jauh berbeda dengan
pandangan dan keyakinan umat Islam bahwa al-Qur'an adalah wahyu dan firman Allah
sedangkan hadis atau sunnah merupakan perkataan, perbuatan, atau persetujuan Nabi. Karena
itu, pandangan orientalis bahwa hukum Islam merupakan jiblakan atau mengacu kepada
hukum dan perundang-undangan Romawi atau diambil dari hukum-hukum agama gereja
timur, hukum Talmut dan Rabi' serta hukum Sasania, juga sangat bertentangan dengan
pendapat seluruh ulama dan umat Islam bahwa hukum Islam bersumber dari al-Qur'an, hadis,
ijma' dan, qiyas.

G. Kritik dan Koreksi Terhadap Pandangan Orientalis

Kritik dan tuduhan yang dilontarkan oleh orientalis tentang keabsahan dan autentisitas
hadis di atas banyak mendapatkan jawaban dari para ulama hadis, sebagai upaya meluruskan
kritik dan tuduhan tersebut. Di antara ulama yang melakukan kritik dan koreksi terhadap
pendapat para orientalis tersebut adalah Musthafa al-Siba'i, Muhammad 'Ajjaj al-Khathib,
Shubhi al-Shalih, dan Muhammad Musthafa Azami.

Berikut dikemukakan sebagian jawaban ulama hadis terhadap tuduhan para orientalis
tersebut. Mengenai tuduhan mereka tentang adanya larangan penulisan hadis oleh Nabi dan
tidak adanya peninggalan tertulis, Shubhi al-Shalih mengatakan bahwa larangan penulisan
tersebut disampaikan secara umum pada masa awal turunnya wahyu al-Qur'an karena Nabi

16
khawatir hadis tercampur dengan al-Qur'an, tetapi setelah sebagian besar al-Qur'an telah
diturunkan, maka Nabi memberikan izin penulisan hadis secara umum kepada para sahabat.
Kenyataan ini diperkuat dengan ditemukannya catatan-catatan hadis pada masa Nabi seperti
catatan Sa'd ibn 'Ubbadah, Samrah ibn Jundub (w. 60 H), Jabir ibn 'Abd Allah (w. 78 H),
'Abd Allah ibn 'Umar ibn al-'Ash (w. 65 H), dan 'Abd Allah ibn al-'Abbas (w. 69 H).48

Tuduhan orientalis bahwa sanad dan matan hadis merupakan rekayasa umat Islam
pada abad pertama, kedua, dan ketiga Hijriah, oleh Musthafa Azami dibantah sebagai berikut.
Pertama, kenyataan sejarah membuktikan bahwa permulaan pemakaian sanad adalah sejak
masa Nabi, seperti anjurannya kepada para sahabat majelis Nabi untuk menyampaikan hadis
kepada yang tidak hadir. yang menghadiri. Kedua, mayoritas pemalsuan hadis terjadi pada
tahun keempat puluh tahun Hijriah yang dipicu oleh persoalan politik, karena di antara umat
Islam saat itu ada yang lemah keimanannya sehingga membuat hadis untuk kepentingan faksi
politik atau golongan mereka. Ketiga, objek penelitian para orientalis di bidang sanad tidak
dapat diterima karena yang mereka teliti bukan kitab-kitab hadis melainkan kitab-kitab fiqh
dan sirah. Keempat, teori projecting back (al-qadhf al-khalfi) yang dijadikan dasar
argumentasi beserta contoh-contoh hadis yang dijadikan sampel, karenanya menjadi gugur
dengan banyaknya jalan periwayatan suatu hadis. Kelima, tidak pernah terjadi perkembangan
dan perbaikan terhadap sanad seperti membuat marfu' hadis yang mawqaf atau menjadikan
muttashil hadis yang mursal. Demikian pula, tuduhan bahwa sanad hanya dipakai untuk
menguatkan suatu pendapat atau suatu madzhab merupakan tuduhan yang tidak mempunyai
bukti dan melawan realitas sejarah. Keenam, penelitian dan kritik ulama hadis atas sanad dan
matan hadis, dengan segala kemampuan mereka, dilakukan atas dasar keikhlasan dan tanpa
tendensi duniawi.

Dalam kaitannya dengan tuduhan Ignaz Goldziher tentang pemalsuan al-Zuhri


terhadap hadis: ‫( مساجد ثـالثـة إال لرحالتشد ال‬Janganlah melakukan perjalanan kecuali pada tiga
masjid), menurut Azami, tidak ada bukti historis yang memperkuat tuduhan tersebut, karena
pada satu sisi hadis tersebut diriwayatkan dengan 19 sanad termasuk al-Zuhri dan kelahiran
al-Zuhri sendiri masih diperselisihkan oleh ahli sejarah antara tahun 50 H dan 58 H, dan ia
tidak pernah bertemu dengan 'Abd Malik ibn Marwan sebelum tahun 81 H. Di sisi lain, pada
tahun 68 H, orang-orang Dinasti Umayah berada di Mekkah menunaikan ibadah haji,
Palestina pada tahun tersebut belum berada di bawah kekuasaan Bani Umayah (Malik ibn
Marwan), dan pembangunan Qubbah al-Sakhrah dimulai tahun 69 H (saat itu al-Zuhri
berumur antara 10 sampai 18 tahun) dan baru selesai tahun 72 H. Karena itu, tidak mungkin

17
'Abd Malik ibn Marwan bermaksud mengalihkan umat Islam berhaji dari Mekkah ke
Palestina dan tidak mungkin al-Zuhri membuat hadis palsu dalam usia antara 10 sampai 18
tahun.

Terhadap tuduhan A. J. Wensinck tentang kepalsuan hadis mengenai syahadat sebagai


salah satu rukun Islam: ‫اللهرسول محمدا وأن هللا إال إله ال أن شهادة خمس على اإلسالم بني‬

(Islam didirikan atas lima rukun mengucapkan kesaksian bahwa tiada Tuhan selain Allah dan
Muhammad adalah rasul Allah....), menurut Azami terlalu mengada-ada, karena Wensinck
tahu persis bahwa dua kalimat syahadat menjadi bagian dari shalat yang dilakukan berjemaah
oleh umat Islam semenjak masa Nabi di samping shalat-shalat sunnah, dan kalimat tersebut
termasuk dalam adzan yang dikumandangkan sejak masa Nabi. Dengan demikian, tuduhan
dan pendapat para orientalis tentang Islam dan aspek-aspeknya termasuk hadis Nabi tidak
mesti didasari oleh ketidaktahuan mereka tentang Islam yang sebenarnya, tetapi didasari oleh
pretensi dan faktor-faktor tertentu yang menyebabkan mereka berpendapat demikian.

18
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

pada awalnya orientalisme dipahami sebagai suatu paham atau alliran pemikiran yang
dilakukan oleh sarjana-sarjana Barat terhadap perkembangan dan kemajuan negara-negara
Timur, baik dari aspek agama, bahasa, budaya, sejarah maupun aspek lainnya. Belakangan,
sebagian ahli menyebutkan bahwa kajian yang dilakukan oleh sarjana Barat tentang dunia
Timur, terutama terkait dengan dunia Arab dan Islam.
awal kemunculan orientalisme, berikut faktor yang melatar-belakanginya ditemukan
pendapat yang beragam. Awal kemunculan orietalisme sebagian pendapat menyebutkan
bahwa orientalisme telah lahir sejak tahun 1000-an Masehi. Hal ini didasarkan pada minat
Barat terhadap masalah ketimuran sudah berlangsung sejak awal abad pertengahan. Kelahiran
orientalisme menemukan momentumnya sejak terjadinya Perang Salib. Peristiwa ini,
sekaligus menjadi faktor yang kuat terhadap kemunculan orientalisme.
Diantara pandangan Goldziher tentang hadis adalah bahwa sebagian besar hadis tidak
bisa dipercaya secara keseluruhan sebagai sumber ajaran yang bersumber dari Nabi. Sebagian
besar materi hadis yang ada dalam koleksi kitab hadis bersumber dari hasil perkembangan
keagamaan, historis dan sosial Islam yang bersumber dari tokoh-tokoh hadis pada dua abad
pertama (abad I dan II H).
Joseph Schacht berpendapat bahwa hadis yang dikoleksi dalam kitab hadis pada
dasarnya bersumber dari tabiin (rumusan ulama abad II dan III H), yang pada awalnya dalam
bentuk yang sederhana, dan diperbaiki sedemikian rupa dan dikaitkan materinya tersebut
kepada tokoh-tokoh lebih awal, seperti sahabat dan akhirnya sampai Nabi. Menurut Schacht,
tidak ada satu hadispun yang otentik bersumber dari Nabi saw, khususnya hadis-hadis tetnang
masalah hukum.

19
B. Saran

Dengan makalah ini dibuat, semoga membuat kita lebih mengetahui kajian tentang
orientalisme hadis, Sekian penutup dari penulis semoga dapat diterima, dan terimakasih.

DAFTAR PUSTAKA

abd al Rahman ibn 'Ali ibn al-Jawzi Kitab al-Mawdha'ât. Beirut, Daral-Fikr, 1983
M/1403 H.

Abd al-Fatah al-Qadhi. Asbab al-Nuzul 'an al-Shahabah wa al- Mufassirin. Beirut,
Dar al-Nahdhah al-Jadidah, 1987.

abd al-Fattah Mahmud Idris. Al-Mawsû'ah al-Islamiyah. Kairo: Majelis al-A'la, 2001.

Abd al-Hayy ibn Muhammad 'Abd al-Halim al-Laknawi. Al-Atsâr al- Marfu'ah fi al-
Akhbâr al-Mawdhû'ah. Yeddah, al-Haramayn, tth.

Al-Ajwibah al-Fâdhilah li al-As-ilah al-'Asyarah al-Kâmilah. Beirut: Maktabah al-


Mathbu'ah al-Islamiyyah, 1993 M.

Al-Raf'u wa al-Takmil fî al-Jarh wa al-Ta'dîl. Halb, Maktab al-Mathbu'at al-


Islamiyah, 1985 M.

abd al-Karim al-Jundi. al-Imâm al-Syafi'î. Kairo: Dar al-Kutub al- Arabi, 1967 M.

abd al-Nashr Tawfiq al-'Aththar. Dustûr al-Lammah wa 'Ulûm al- Sunnah. Kairo:
Maktabah Wahhab, tth.

abd al-Rahman ibn al-Husayn al-'Iraqi: Al-Taqyîd wa al-Idhah. Madinah, al-Maktabah


al-Salafiyah, 1969 M.

Abd al-Rahman ibn Muhammad ibn Khaldun. Muqaddimah ibn Khaldun. ttp., Dar al-
Fikr, tth.

Abd al-Wahhab Khallaf. Ilm Ushûl al-Fiqh. Mesir, Dar al-Qalam, 1978.

20
Alibin 'Amr Abu al-Hasan al-Daruquthni al-Baghdadi. Sunan al-Daruquthnî. Beirut:
Dar al-Ma'rifah, 1966 M/1386 H.
Supian,Aan.(2016).Studi Hadis di kalangan Orientalis. Bengkulu: Institut Agama
Islam Negeri (IAIN) Bengkulu.

21

Anda mungkin juga menyukai