Anda di halaman 1dari 35

Makalah

Diajukan untuk memenuhi salah satu tugas perkuliahan

Orientalisme

Oleh:

Kelompok 2 Kelas B

Dosen Pengampu:

PROF. Dr. H. ZAINUL ARIFIN, MA

NIP. 195503211989031001

JURUSAN TAFSIR HADITS

FAKULTAS USHULUDDIN

INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI SUNAN AMPEL


SURABAYA

2012

NAMA KELOMPOK :

1.      AIMMATUL FITRIYAH                           E33209011

2.      ISTIANAH YUNIARTI                              E33210061

3.      ZAINIYAH                                                    E53210068

4.      SURYADI                                                     E53210070

5.      MUSOLLI                                                     E53210071

6.      SU’UDI                                                          E53210072

7.      NIDA’UL FAJRIYYAH                              E53210073

8.      SITI LAILATUL QAMARIYAH              E53210074

9.      RIFQY MUCHANIF                                   E83210075

10.  ABDULLAH IZZIN                                     E83210081

11.  LUTFIYAH HANUM FARIDAH              E83210083

12.  MUHAMMAD DIMYATI                          E83210084

13.  MUSLIMATUL AINI AZIZ                       E83210085


KATA PENGANTAR

Segala puji serta keagungan hanya tertuju pada Allah, Tuhan Pemberi rahmat kepada kita semua.
Shalawat serta salam semoga tetap terlimpahkan kepada nabi kebanggaan kita yang telah membawa
kita menjadi insan bertakwa.

Dengan pertolongan dan hidayahNyalah, penulis dapat merampungkan tugas makalah “Orientalisme”.
Makalah ini disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Orientalisme.

Penulis mengucapkan banyak terimakasih kepada pihak-pihak yang telah ikut membantu dalam
penyusunan makalah ini, terutama kepada dosen pengampu,.Prof. Dr. H. Zainul Arifin, MA.

Penulis memahami bahwa makalah ini jauh dari kata sempurna, oleh karena itu, penulis mengharap
kritik dan saran demi kesempurnaan makalah ini. Dan penulis juga berharap semoga makalah ini dapat
memberi manfaat bagi kita semua dan menambah khazanah keislaman kita. Amin

Surabaya, November 2012

                                                           

Penulis

DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL   ……………………………………….…………………i

KATA PENGANTAR ……………………………………….…………………iii

DAFTAR ISI             

BAB I  PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah ................................................................................ 1

C. Rumusan Masalah ......................................................................................... 3

D. Tujuan Penelitian ........................................................................................... 3

BAB II: PEMBAHASAN

A. Pengertian Orientalisme................................................................................. 4

B. Pengertian Orientalis...................................................................................... 5

C. Imperialisme................................................................................................... 6

D.Misionarisme................................................................................................... 10

E. Sejarah Orientalisme....................................................................................... 19

F. Tujuan Orientalisme........................................................................................ 21

G. Karya-Karya Orientalisme............................................................................. 22

H. Proyek Orientalisme....................................................................................... 26

I. Tokoh-Tokoh Orientalis................................................................................... 43

J. Pandangan Orientalis Terhadap Alquran dan Hadis....................................... 111

K. Pandangan Orientalis Terhadap Nabi Muhammad........................................ 131

L. Pandangan Orientalis Terhadap Hukum Islam............................................... 135

M. Pandangan Orientalis Terhadap Agama Islam.............................................. 140

BAB III: PENUTUP

A. Kesimpulan.................................................................................................... 142
B. Saran............................................................................................................... 143

BAB IV : DAFTAR PUSTAKA

BAB I

PENDAHULUAN

A.  Latar Belakang Masalah

Orientalisme adalah salah satu kajian yang memfokuskan studinya pada hal-hal yang terkait dengan
dunia ketimuran dan kajian ini telah lama berlangsung hingga sekarang. Banyak pemikiran dan
penemuan yang telah didapat para orientalis dalam upayanya untuk melemahkan dan menguasai dunia
Timur khususnya Islam.

Motif para orientalis yang mengkaji dunia ketimuran memanglah sangat beragam. Ada yang bertujuan
imperialis, misionaris, dan ada pula yang bertujuan akademis. Oleh sebab itu, tanggapan umat Islam
terhadap orientalisme ini juga terbagi pada beberapa kelompok, yakni kelompok yang menolak dengan
keras dan kelompok yang bersikap toleran. 

Kelompok yang menganggap seluruh orientalis sebagai musuh Islam, mereka bersikap ekstrim dan
menolak seluruh karya orientalis. Bahkan di antara mereka ada yang secara emosional menyatakan
bahwa orang Islam yang mempelajari tulisan orientalis termasuk antek Zionis.[1] Mereka mempunyai
argumen bahwa orientalisme bersumber pada ide-ide Kristenisasi yang menurut Islam sangat merusak
dan bertujuan menyerang banteng pertahanan Islam dari dalam. Karena pada faktanya,  banyak
dijumpai karya-karya orientalis yang bertolak belakang dengan kajian Islam, sebagaimana yang
diungkapkan oleh H.A.R.Gibb misalnya, dalam karyanya yang berjudul Mohammedanism, Gibb
berpendapat bahwa Alquran hanyalah karangan Nabi Muhammad. Selain itu, Gibb juga mencoba
menurunkan derajat kesucian agama wahyu ini dengan mengatakan bahwa Islam adalah buatan Nabi
Muhammad dengan istilahnya “Mohammedanism”.[2]

Ahmad Abdul Hamid Ghurab menyebutkan  bahwa orientalisme adalah suatu kajian yang mempunyai
ikatan erat dengan kolonialisme Barat, kristeniasi sehingga validitas ilmiah dan obyektivitasnya tidak
dapat dipertanggung jawabkan secara mutlak khususnya dalam mengutarakan kajian tentang islam.
selain itu, menurut Hamid Ghurab, orientalisme adalah kajian paling potensial bagi Barat untuk malawan
islam dalam kancah politik.[3]

Kelompok berikutnya adalah kelompok yang bersikap lebih toleran. Kelompok ini terbagi menjadi dua


kelompok lagi, yakni kelompok yang bersikap sangat berlebihan dengan menganggap bahwa semua
karya tulis kaum orientalis samgat obyektif dan dapat dipercaya dan kelompok lainnya yang
bersikap hati-hati dan kritis.. Menurut kelompok kedua ini, karya tulis kaum orientalis cukup banyak
yang obyektif tentang Islam dan umatnya. Sejumlah pemikir besar di barattelah menghabiskan umurnya
untuk mengkaji Islam lantaran mereka secara jujur tertarik terhadap kajian-kajian itu. Tanpa usaha
mereka, banyak diantara pengetahuan berharga dalam buku-buku Islam kuno akan hilang tanpa bekas.
[4]

Akan tetapi, kelompok kedua ini juga bersikap hati-hati terhadap para orientalis, karena menurut Said,
orientalisme bukanlah sekedar wacana akademis tetapi juga memiliki akar-akarpolitis, ekonomis, dan
bahkan relijius.

Oleh  karena itu, pemahaman tentang pengertian, akar sejarah serta berbagai hal yang terkait
dengannya sangatlah diperlukan. Orientalis mampu mewarnai faham ke-Islaman dari sudut pandang
Barat, namun pembahasan tentang kajian tentang orientalisme juga memerlukan pemahaman dari
sudut pandang ke-Timuran itu sendiri. Karena banyak faham yang akhirnya menyesatkan dan merugikan
umat Islam. Penulis melihat hal ini sebagai sebuah entitas Islam yang sudah perlu untuk dimurnikan lagi.
Fakta telah menunjukkan bahwa penelitian tentang dunia Timur sudah menyebar secara meluas, namun
upaya sebaliknya untuk meneliti dunia Barat belum cukup signifikan. Begitu pula, upaya membangkitkan
semangat ketimuran khususnya dari dunia Islam sangatlah disayangkan. Oleh sebab itu, hal inilah yang
menjadi titik balik dari perlunya mahasiswa Islam untuk mengkaji dan meneliti orientalisme.

B.  Rumusan Masalah

1.      Apakah yang dimaksud dengan orientalisme?

2.      Bagaimana sejarah orientalisme?

3.      Apakah tujuan dari orientalisme?

4.      Apakah proyek-proyek orientalisme?

5.      Siapakah sajakah yang termasuk tokoh-tokoh orientalis?

6.      Bagaimana pandangan orientalis terhadap Alquran, Hadis, Nabi Muhammad, hukum Islam dan
agama Islam?

C.  Tujuan

1.      Untuk mengetahui pengertian orientalisme

2.      Untuk mengetahui sejarah orientalisme

3.      Untuk mengetahui tujuan dari orientalisme

4.      Untuk mengetahui proyek-proyek orientalisme

5.      Untuk mengetahui tokoh-tokoh orientalis

6.      Untuk mengetahui pandangan orientalis terhadap Alquran, Hadis, Nabi Muhammad, hukum Islam
dan agama Islam

BAB II

ORIENTALISME
A. Pengertian Orientalisme

Dalam Longman Dictionary, disebutkan bahwa Orientalisme berasal dari kata orient yang  adalah hal-hal
yang berhubungan dengan masalah ketimuran, dan secara khusus, orientalisme adalah scholarship or
learning in oriental subject (kesarjanaan atau pengkajian dalam bidang-bidang kajian ketimuran). Berikut
adalah paparan dari pakar keilmuwan tentang definisi orientalisme:[5]

1.      H.M. Joesoef Sou’yb : Orientalisme berasal dari kata orient (Prancis), yang secara harfiah berarti
timur, dan secara geografis berarti dunia belahan timur, dan secara ethnologis berarti bangsa-bangsa di
timur. Oriental adalah sebuah kata sifat yang berarti hal-hal yang bersifat Timur dan memiliki ruang
lingkup yang sangat besar. Suku kata isme (Belanda) atau ism  (Inggris) menunjukkan pengertian tentang
suatu paham. Jadi, orientalisme berarti suatu paham atau aliran yang berkeinginan menyelidiki hal-al
yang berkaian dengan bangsa-bangsa di Timur beserta lingkungannya.

2.      Ali Husni al-Khabaouly : Kata orientalisme diambil dari akar kata Syarq (timur), yang artinya
tempat terbitnya matahari. Jadi, kata orientalisme adalah ilmu tentang timur atau ilmu pengetahuan
tentang dunia timur.

3.      A. Muin Umar : Di dalam orientalisme, apabila disebutkan tentang orient, maka itu berarti semua
wilayah yang terbentang dari Timur Dekat hingga Timur Jauh dan juga negara-negara yang terdapat di
Afrika Utara dan Afrika Tengah.

4.      Abdul Haq Adnan Adivar : Orientalism is an orgnic whole which is composed of the knowledge
derived from the original source concerning the language, religion, culture, history, geography,
literatures, and arts of the orient. (Orientalisme adalah suatu pengertian lengkap yang mengumpulkan
pengetahuan yang berasal dari sumber aslinya yang berkenaan dengan bahasa, agama, kebudayaan,
sejarah, geografi, kesusasteraan, dan kesenian yang berada di Timur)

5.      Abdul Mun’im Muhammad Hasanin : Orientalisme dalam bahasa Arab adalah al-Isytiraq yang


berarti mengarah ke Timur dan memakai pakaian masyarakatnya.

B. Pengertian Orientalis

Jika orientalisme adalah ilmu yang berhubungan dengan dunia Timur, maka orang-orang yang
mendalami ilmu tersebut disebut dengan orientalis atau ahli ketimuran. Berikut juga berbagai definisi
orientalis dari beberapa pakar:[6]

1.      H.M. Joesoef Sou’yb : Orientalis adalah kata nama pelaku yang menunjukkan seseorang yang ahli
dalam hal-hal yang berkaitan dengan dunia Timur, biasanya disingkat dengan sebutan ahli ketimuran.

2.      A. Hanafi : Orientalis adalah segolongan sarjana Barat yang mendalami bahasa dunia Timur dan
kesusasteraannya, serta menaruh perhatian yang cukup besar pada agama-agama dunia Timur, sejarah,
adat istiadat, dan ilmu-ilmunya. Hubungan  dunia Barat dengan dunia Timur telah dimulai sejak masa
kejayaan dunia Timur, yakni saat dunia Timur menjadi pusat ilmu pengetahuan dengan koleksi buku-
bukunya yang berharga. Dan saat itu, orang-orang Barat belajar dari sejumlah pakar keilmuwan dari
dunia Timur untuk membangkitkan mereka dari masa kegelapan.

3.      Mustasyar Muhammad Izzat al-Thahawy :  Orientalis adalah sekelompok orang yang terdiri dari
bebarapa bangsa dan negara yang berbeda, belajar pada lapangan studi tentang ke-Timuran, baik
tentang ilmu pengetahuan, ataupun kesusasteraannya, khususnya tentang ilmu pengetahuan dunia
Arab, Cina, Parsi, dan India.

Pada umumnya pengetian ini diberikan pada orang-orang Kristen atau


Yahudi yang berkecimpung pada  bidang studi keislaman dan bahasa Arab.

4.      Ali Husni al-Khabaouly : Orientalis adalah sarjana-sarjana Barat yang mementingkan studi tentang
soal-soal ketimuran.

5.      A. Muin Umar : Jika orientalis hanya ditekankan pada orang Barat yang  mendalami dunia ke-
Timuran, hal itu sukar dipertahankan, karena saat ini telah banyak orang Timur yang ingin dimasukkan
dalam kategori orientalis, seperti sarjana Turki  dan Filipina.

C. Imperialisme

Imperialisme ialah politik untuk menguasai (dengan paksaan) seluruh dunia untuk kepentingan diri
sendiri yang dibentuk sebagai imperiumnya. "Menguasai" disini tidak perlu berarti merebut dengan
kekuatan senjata, tetapi dapat dijalankan dengan kekuatan ekonomi, kultur, agama dan ideologi, asal
saja dengan paksaan. Imperium disini tidak perlu berarti suatu gabungan dari jajahan-jajahan, tetapi
dapat berupa daerah-daerah pengaruh, asal saja untuk kepentingan diri sendiri. Apakah beda antara
imperialisme dan kolonialisme ? Imperialisme ialah politik yang dijalankan mengenai seluruh imperium.
Kolonialisme ialah politik yang dijalankan mengenai suatu koloni, sesuatu bagian
dari imperium jika imperium itu merupakan gabungan jajahan-jajahan.

Lazimnya imperialisme dibagi menjadi dua:

1.    Imperialisme Kuno (Ancient Imperialism). Inti dari imperialisme kuno adalah semboyan gold, gospel,
and glory (kekayaan, penyebaran agama dan kejayaan). Suatu negara merebut negara lain untuk
menyebarkan agama, mendapatkan kekayaan dan menambah kejayaannya. Imperialisme ini
berlangsung sebelum revolusi industri dan dipelopori oleh negara-negara yang berhasil menaklukan
atau menguasai negara-negara lain, atau yang mempunyai suatu imperium seperti imperium Romawi,
Turki Usmani, dan China, termasuk spanyol, Portugis, Belanda, Inggris dan Perancis yang memperoleh
jajahan di Asia, Amerika dan Afrika sebelum 1870.

2.    Imperialisme Modern (Modern Imperialism). Inti dari imperialisme modern ialah kemajuan ekonomi.


Imperialisme modern timbul sesudah revolusi industri di Inggris tahun 1870-an. Selepas tahun 1870-an,
negara-negara Eropa berlomba-lomba mencari daerah jajahan di wilayah Asia, Amerika dan Afrika.
Industri besar-besaran (akibat revolusi industri) membutuhkan bahan mentah yang banyak dan pasar
yang luas. Mereka mencari jajahan untuk dijadikan sumber bahan mentah dan pasar bagi hasil-hasil
industri, kemudian juga sebgai tempat penanaman modal bagi kapital surplus. Imperialisme ini
diprlopori oleh Inggris, Perancis, belanda, Jerman, dan Italia.

Sifat dari kedua imperialisme di atas adalah sama, hanya sistemnya yang berbeda. Sifat hakikinya berupa
nafsu serakah untuk mendapatkan kekayaan. Kekayaan yang dikejar pada masa imperialisme kuno
biasanya berwujud emas atau logam mulia lainnya misalnya perak. Sistem yang mendukungnya adalah
merkhantilisme di mana dalam prakteknya melakukan monopoli, kerja paksa dan sebagainya.
Sedangkan pada imperialisme modern didukung oleh industrialisme serta perdagangan bebas, serta
upah buruh yang sangat minim, tanpa memilik hak dalam produksi.

Pembagian imperialisme dalam imperialisme kuno dan imperialisme modern ini didasakan pada soal
untuk apa si imperialis merebut orang lain.

Jika mendasarkan pendangan kita pada sektor apa yang ingin direbut si imperialis, maka kita akan
mendapatkan pembagian macam imperialisme yang lain, yaitu:

1.    Imperialisme politik. Si imperialis hendak mengusai segala-galnya dari suatu negara lain. Negara
yang direbutnya itu merupakan jajahan dalam arti yang sesungguhnya. Bentuk imperialisme politik ini
tidak umum ditemui di zaman modern karena pada zaman modern paham nasionalisme sudah
berkembang. Imperialisme politik ini biasanya bersembunyi dalam bentuk protectorate dan mandate.

2.    Imperialisme Ekonomi. Si imperialis hendak menguasai hanya ekonominya saja dari suatu negara
lain. Jika sesuatu negara tidak mungkin dapat dikuasai dengan jalan imperialisme politik, maka negara
itu masih dapat dikuasai juga jika ekonomi negara itu dapat dikuasai si imperialis. Imperialisme ekonomi
inilah yang sekarang sangat disukai oleh negara-negara imperialis untuk menggantikan imperialisme
politik.

3.    Imperialisme Kebudayaan. Si imperialis hendak menguasai jiwa (de geest, the mind) dari suatu


negara lain. Dalam kebudayaan terletak jiwa dari suatu bangsa. Jika kebudayaannya dapat diubah,
berubahlah jiwa dari bangsa itu. Si imperialis hendak melenyapkan kebudayaan dari suatu bangsa dan
menggantikannya dengan kebudayaan si imperialis, hingga jiwa bangsa jajahan itu menjadi sama atau
menjadi satu dengan jiwa si penjajah. Menguasai jiwa suatu bangsa berarti mengusai segala-galnya dari
bangsa itu. Imperialisme kebudayaan ini adalah imperialisme yang sangat berbahaya, karena masuknya
gampang, tidak terasa oleh yang akan dijajah dan jika berhasil sukar sekali bangsa yang dijajah dapat
membebaskan diri kembali, bahkan mungkin tidak sanggup lagi membebaskan diri.

4.    Imperialisme Militer (Military Imperialism). Si imperialis hendak menguasai kedudukan militer dari


suatu negara. Ini dijalankan untuk menjamin keselamatan si imperialis untuk kepentingan agresif atau
ekonomi. Tidak perlu seluruh negara diduduki sebagai jajahan, cukup jika tempat-tempat yang strategis
dari suatu negara berarti menguasai pula seluruh negara dengan ancaman militer.

a.      Sebab-sebab Imperialisme

1.    Keinginan untuk menjadi jaya, menjadi bangsa yang terbesar di seluruh dunia (ambition, eerzucht).
Tiap bangsa ingin menjadi jaya. Tetapi sampai dimanakah batas-batas kejayaan itu ? Jika suatu bangsa
tidak dapat mengendalikan keinginan ini, mudah bangsa itu menjadi bangsa imperialis. Karena itu dapat
dikatakan, bahwa tiap bangsa itu mengandung benih imperialisme.

2.    Perasaan sesuatu bangsa, bahwa bangsa itu adalah bangsa istimewa di dunia ini (racial superiority).
Tiap bangsa mempunyai harga diri. Jika harga diri ini menebal, mudah menjadi kecongkakan untuk
kemudian menimbulakan anggapan, bahwa merekalah bangsa teristimewa di dunia ini, dan berhak
menguasai, atau mengatur atau memimpin bangsa-bangsa lainnya.

3.    Hasrat untuk menyebarkan agama atau ideologi dapat menimbulkan imperialisme. Tujuannya bukan
imperialisme, tetapi agama atau ideologi. Imperialisme di sini dapat timbul sebagai "bij-product" saja.
Tetapi jika penyebaran agama itu didukung oleh pemerintah negara, maka sering tujuan pertama
terdesak dan merosot menjadi alasan untuk membenarkan tindakan imperialisme.

4.    Letak suatu negara yang diangap geografis tidak menguntungkan. Perbatasan suatu negara
mempunyai arti yang sangat penting bagi politik negara.

5.    Sebab-sebab ekonomi. Sebab-sebab ekonomi inilah yang merupakan sebab yang terpenting dari
timbulnya imperialisme, teistimewa imperialisme modern.

·         Keinginan untuk mendapatkan kekayaan dari suatu negara

·         Ingin ikut dalam perdagangan dunia

·         Ingin menguasai perdagangan

·         Keinginan untuk menjamin suburnya industri

b.      Dampak Imperialisme

1)   Dampak politik

·         Terciptanya tanah-tanah jajahan

·         Politik pemerasan

·         Berkorbarnya perang kolonial

·         Timbulnya politik dunia (wereldpolitiek)

·         Timbulnya nasionalisme

2)   Dampak Ekonomis
·         Negara imperislis merupakan pusat kekayaan, negara jajahan lembah kemiskinan

·         Industri si imperialis menjadi besar, perniagaan bangsa jajahan lenyap

·         Perdagangan dunia meluas

·         Adanya lalu-lintas dunia (wereldverkeer)

·         Kapital surplus dan penanamna modal di tanah jajahan

·         Kekuatan ekonomi penduduk asli tanah jajahan lenyap

3)   Dampak sosial

·         Si imperialis hidup mewah sementara yang dijajah serba kekurangan

·         Si imperialis maju, yang dijajah mundur

·         Rasa harga diri lebih pada bangsa penjajah, rasa harga diri kurang pada bangsa yang dijajah

·         Segala hak ada pada si imperialis, orang yang dijajah tidak memiliki hak apa-apa

·         Munculnya gerakan Eropa-isasi.

D. Misionarisme

Ketika Barat masuk ke negara-negara Islam ia membawa serta misi agama, politik, ekonomi dan
kebudayaan. Namun tidak banyak yang melihat bahwa Barat itu sendiri telah membawa seperangkat
doktrin pemikiran yang berdasarkan pandangan hidup mereka. Hal ini dapat dicermati dari fakta sejarah
bahwa gerakan kolonialisme selalu disertai atau bahkan didahului oleh kegiatan misionaris Kristen yang
berkaitan dengan orientalisme. Keduanya tidak lain dari serangan pemikiran. Kerja sama misionaris,
orientalis dan kolonialis ini telah lama terjadi dan dapat dibuktikan melalui pengakuan Alb C. Kruyt
(tokoh Nederlands bijbelgenootschap ) dan OJH Graaf van Limburg Stirum, seperti yang dikutip oleh Dr.
Aqib Suminto berikut ini:

"...... Kristenisasi merupakan faktor penting dalam proses penjajahan dan Zending Kristen merupakan
rekan se federal untuk pemerintah kolonial, sehingga pemerintah akan membantu menghadapi setiap
rintangan yang menghambat perluasan Zending . "[7]

Di dalam mata rantai kebudayaan Barat, gerakan misi punya dua tugas: menghancurkan peradaban
lawan (baca: peradaban Islam) dan membangun kembali dalam bentuk peradaban Barat. Ini perlu
dilakukan agar Muslim dapat berdiri pada barisan budaya Barat akhirnya muncul generasi Muslim yang
memusuhi agamanya sendiri.[8]

Harry Dorman, dalam bukunya Towards Understanding Islam , mengungkapkan pernyataan seorang
misonaris Kristen: "Bisa jadi, dalam beberapa tahun mendatang, sumbangan besar misionaris di wilayah-
wilayah Muslim akan tidak begitu banyak memurtadkan orang muslim, melainkan lebih banyak
menyelewengkan Islam itu sendiri. Inilah bidang tugas yang tidak bisa diabaikan. "Dr. Cragg, seorang
misionaris terkenal asal Inggris, menyatakan: "Tidak perlu diragukan bahwa harapan terakhir misi
Kristen hanyalah melakukan perubahan sikap umat Muslim, sedemikian rupa sehingga mereka mau
bertoleransi."[9]

Apa yang disampaikan Zwemmer 70 tahun yang lalu itu kini yang diterapkan Barat untuk strategi perang
pemikiran terhadap umat Islam. Karena itu gerakan Kristenisasi berkembang dari konversi kepada
gerakan distorsi dan perang pemikiran.

Orientalisme memainkan peranan penting sebagai pembuka pintu gerbang bagi para misionaris untuk
memerangi masyarakat Islam karena ada ikatan yang sangat kuat antara kedua paham ini. (Mayoritas
kaum orientalis adalah misionaris sebaliknya mayoritas misionaris adalah orientalis karena standar
kelayakan misionaris Eropa di berbagai negara Islam adalah mereka mesti terlebih dahulu membaca
karangan para orientalis mengenai wilayah Islam).

Para misionaris dengan alasan kemanusiaan- sibuk mengurusi kemiskinan, kelaparan dan wabah
penyakit yang melanda sebagian negeri muslim, disela-sela itulah mereka menebar agama dan paham-
pahamnya secara transparan, hal ini sering terjadi di benua Afrika dan Asia Tenggara. Saat ini para
misionaris bebas melancarkan misi secara terang-terangan dengan aneka mediasi di negeri-negeri
muslim yang miskin khususnya. Dan yang lebih memprihatinkan ternyata gagasan buruk mereka telah
menjadi konsumsi publik yang sibuk dibicarakan dimana-mana .

a.      Metode-Metode yang Dipergunakan untuk Tujuan Kristenisasi

Misionarisasi/kristenisasi bukanlah sebuah misi serampangan yang tidak terkoordinir dan terorganisir,
tapi ia lebih merupakan misi yang tersistem dan berada dibawah pengawasan pihak gereja dan negara-
negara Eropa yang punya misi khusus terhadap negeri Islam. Diantara metode yang dipakai adalah:

a.    Institusi-institusi Pendidikan

Mereka mendirikan sekolah-sekolah di negara-negara Islam guna membuka kesempatan bagi anak-anak
muslim untuk bisa sekolah disana, ini siasat mereka guna meragu-ragukan keyakinan dan keimanan
generasi anak muslim terhadap Islam. Pihak misionaris telah untung besar dan mereka sangat
menyadari arti pentingnya keberadaan sekolah-sekolah ini guna memuluskan aksi mereka. Sehingga
Zweimmer mengatakan: (institusi-institusi pendidikan merupakan pagar pembatas pergesekan langsung
antara Islam dan Kristen).

Untuk merealisasikan rencana busuk mereka, para orientalis tidak serta merta langsung mendirikan
institusi pendidikan berlabel agama Kristen secara terbuka, namun mereka punya langkah-langkah
sendiri diawali dengan membuka sekolah-sekolah dan institusi-institusi pendidikan sekuler untuk
menjauhkan anak-anak muslim dari ajaran Islam. Samuel Zweimmer mengatakan: "selama umat Islam
masih menghalangi anak-anak mereka untuk sekolah di institusi Kristen makanya kita harus
menyikapinya dengan mendirikan sekolah-sekolah sekuler yang akan memudahkan jalan untuk
menghancurkan spirit keagamaan dari jiwa anak-anak Islam".

Diantara institusi pendidikan sekuler terkenal yang mereka bangun: Universitas Victoria di Iskandaria,
Universitas Amerika di Kairo dan Univeritas Amerika di Beirut.

Setelah situasi mulai stabil dan dampak westernisasi sudah mulai menggerogoti kurikulum pendidikan di
negara-negara Islam khususnya pasca imprealisme Barat terhadap negara-negara Timur, mulailah
mereka menampakkan rencana busuk mendirikan sekolah-sekolah Kristen yang diajarkan oleh para
Pastur dan Uskup untuk menanamkan doktrin dan dogma Kristen pada anak-anak didik.

Zweimmer mengatakan: "Misionarisme punya dua keistimewaan bagi Peradaban Barat: sebagai
kekuatan destruktif dan konstruktif, yang dimaksud dengan destruktif yaitu melepaskan seorang muslim
dari ikatan agamanya walaupun hanya dengan mengarahkan mereka pada kekufuran/atheisme,
sedangkan yang dimaksud dengan konstruktif adalah: mengkristenkan sosok muslim jika hal itu
memungkinkan agar menjadi kolega Barat untuk melawan kaumnya sendiri". Sekolah-sekolah Kristen
membekali siswanya dengan sebuah atmosfer kehidupan Kristen dan menggiring mereka untuk
mengamalkan dogma dan perilaku Kristen khususnya selama mereka masih anak-anak, dengan ini
mereka tumbuh dalam falsafah hidup Kristen.

b.    Kegiatan-Kegiatan Sosial

Program ini dilancarkan dengan mendirikan penampungan dan rumah-rumah singgah bagi orang jompo,
anak-anak yatim, gelandangan dan orang hilang, mendirikan asrama mahasiswa-mahasiswi,
mengunjungi mereka yang terbaring di rumah sakit, yang mendekam dalam penjara serta memberikan
hadiah cuma-cuma dan pelayanan-pelayanan pada mereka yang membutuhkan.

c.    Beasiswa Pendidikan

Membuka kesempatan seluas-luasnya kepada para mahasiswa ataupun sarjana muslim yang berprestasi
untuk mengenyam kuliah di luar negeri (Barat) sehingga pemikiran mereka terpengaruh dan kembali ke
tanah air dengan wajah dan karakter baru serta membawa spirit dan kultur Barat.

d.   Pelayanan Medis dan Kesehatan

Program ini terwujud dengan pembangunan rumah sakit dan klinik-klinik kesehatan, mengutus para
relawan dan perawat ke daerah-daerah terpencil guna perbaikan gizi masyarakat setempat. Media ini
sangat berpengaruh buruk terhadap masyarakat miskin di daerah terpencil tersebut. Morison berkata:
"Kita sangat setuju bahwa tujuan utama dari program-program kristenisasi dalam bentuk kunjungan
orang-orang yang sakit terbaring di rumah sakit adalah memahamkan mereka bahwa masih ada Yesus
Sang Penyelamat dan menjadikan mereka anggota-anggota baru gereja". Perkataan Paul Horisson: "Kita
telah menemukan cara untuk menjadikan pria-pria Arab dan wanitanya menjadi pemeluk agama
kristen".
e.    Penyelenggaraan ceramah umum, seminar, percetakan buku, penerbitan majalah, koran dan
selebaran secara periodik guna membeberkan ide-ide busuk mereka.

Para misionaris sengaja menebarkan buku dan majalah mereka di dua kota yaitu Kairo dan Beirut.
Ibukota Mesir, Kairo dijadikan oleh Protestan sebagai pusat penebaran brosur-brosur yang berisi
kampanye kristen di Mesir dan dunia Islam, mereka juga mendirikan penerbit Amerika di kota Beirut
yang akhirnya menjadi media paling penting kristenisasi di Timur. Sementara para pendeta dan pastur
memusatkan seluruh kegiatan jurnalistik mereka di penerbit Katolik di Beirut semenjak tahun 1887. Dan
upaya mereka berjalan sangat efektif.

f.     Melakukan diskusi dan evaluasi terhadap keberhasilan program-program kristenisasi dengan


menyelenggarakan kongres-kongres para misonaris secara periodik baik berskala nasional maupun
Internasional.

g.    Mengasuh lembaga-lembaga swadaya masyarakat, organisasi dan partai politik yang nyata-nyata
menyimpang dari prinsip Islam.

Tokoh-tokoh kristen telah mencetak rekor karena afiliasi mereka pada partai-partai dan lembaga-
lembaga swadaya masyarakat Arab guna memuluskan aksi mereka dalam proyek penjauhan umat Islam
dari agamanya. Diantara tokoh-tokoh Barat itu: Michael Aflaq anggota Partai Ba’ats Sosialis Arab,
George Habsy pada partai nasionalis Arab dan Front Kebangsaan untuk Kemerdekaan Palestina, Neif
pada Partai Demokrasi Kebangsaan, Anthon Pemimpin Partai Nasional Suriah. Tokoh-tokoh kristen
punyan peranan yang sangat penting sekali dalam membakar semangat Nasionalisme Arab.

b.      Misi-misi Kaum Orientalis dan Para Misionaris

Sebelumnya telah kita singgung bahwa terdapat korelasi erat antara kedua paham ini sehingga misi-misi
mereka juga tidak jauh berbeda satu sama lain. Misi-misi ini mencakup:

1.    Misi Agama (Gospel)

Merupakan misi utama, diantara agenda-agendanya adalah:

·         Pendistorsian dan pemberian citra negatif Islam dalam asumsi masyarakat Eropa untuk
memprovokasi mereka bahwa Islam tidak lagi relevan sebagai “way of life”. Usaha ini semakin gencar
dicanangkan pasca Perang Salib karena para tentara salibis yang selamat dan pulang ke tanah airnya
menggambarkan potret Islam yang indah, toleran, dan pantas dijadikan jalan hidup karena telah terbukti
melahirkan modernisasi dan peradaban Arab. Kaum Orientalis sibuk dalam perang yang berkepanjangan
melawan umat Islam pasca meluasnya kekuasaan Turki Usmani di benua Eropa untuk menanamkan rasa
benci dan kedengkian di hati masyarakat Eropa.

·         Memurtadkan umat Islam meski tidak memeluk agama Kristen, mereka mempersenjatai diri
dengan rekayasa palsu guna melemahkan aqidah umat seperti penghinaan Al-Quran dan kenabian,
menyerang Bahasa Arab dan propaganda bahwa fiqh Islam diadopsi dari hukum Romawi. Semuanya
mereka lakukan atas nama penelitian dan kritik ilmiah.
·         Pengkristenan umat, dengan membuka institusi-institusi pendidikan bagi anak-anak Islam, upaya
mengubah kurikulum pendidikan agar sejalan dengan misi mereka , mendominasi pelayanan medis dan
kesehatan untuk mengkristenkan negeri-negeri miskin yang dilanda kelaparan.

·         Pengkaderan para tokoh Islam dengan doktrin-doktrin menyimpang sehingga dengan mudah para
tokoh ini akan mengubah opini publik dan menggiring mereka murtad dari Islam tanpa sadar.

2.    Misi Imprealisme

Masyarakat Eropa tidak jera-jeranya ingin menjajah dan menguasai tanah Arab dan dunia Islam pasca
kekalahan mereka dalam Perang Salib, untuk itu orientasi mereka mempelajari dunia Islam sebagai studi
komprehensif yang menyelidiki semua segi mulai dari aspek teologi, budaya, etika, moral dan kekayaan
alam supaya mereka memahami sumber kekuatan dan titik-titik lemah umat, ketika penjajahan militer
berhasil dan mereka telah mendominasi dunia perpolitikan, yang menjadi program selanjutnya adalah
memadamkan spirit perlawanan dalam setiap jiwa dan menebar rasa pesimisme dan skeptisisme
terhadap peninggalan-peninggalan berharga umat terdahulu, meragukan aqidah dan nilai-nilai
humanitas yang dianut, sehingga kita kehilangan rasa percaya diri serta dengan mudah jatuh dalam
buaian Barat sambil mengemis-ngemis nilai-nilai keyakinan dan etika pada mereka. Dengan ini mereka
berhasil membuat umat tunduk pada peradaban dan kultur budaya Barat tanpa pernah lagi merasa
memiliki harga diri.

Perhatian kaum orientalis saat ini lebih banyak tertuju pada studi dan spionisasi gerakan-gerakan Islam
di seluruh penjuru dunia, mengawasi perkembangan dunia pemikiran dan perpolitikan Islam untuk
dijadikan bahan analisa dan evaluasi lantas kemudian hasil penelitian tersebut akan diserahkan pada
penguasa-penguasa Barat dengan melampirkan misi-misi dan program-program rahasia maupun
transparan guna menyikapi perkembangan pergerakan-pergerakan ini.

3.    Misi Politik

Program ini dilancarkan dengan penebaran rekayasa dan taktik adu domba antar negara Arab atau
antara negara Arab dengan negara Islam lainnya . Biasanya, upaya ini berkedok pemberian saran dan
nasihat politik ataupun keinginan sungguh-sungguh untuk membantu menyelesaikan masalah negara,
khususnya ketika mereka telah memahami betul sisi-sisi lemah pimpinan negara dan metode
stressingnya lewat media-media yang telah terbukti ampuh mempengaruhi opini masyarakat dunia dan
kerangka paradigma anak-anak bangsa tersebut.

4.    Misi Bisnis

Yayasan penyelenggara kegiatan orientalisme meraup keuntungan materi yang luar biasa dan fasilitas-
fasilitas yang sangat memadai dari pemerintah negara-negara Barat hingga mencapai jumlah yang
membuat para pakar dan ahli berbagai disiplin ilmu menelan ludah dan sangat berambisi untuk
bergabung dan ikut bekerjasama guna meraup keuntungan materi. Sehingga besarnya jumlah dana
untuk program ini menjadi daya tarik tersendiri tergabungnya sejumlah besar kaum orientalis .
Di sisi lain keberhasilan para orientalis melemahkan dan memaksa umat Islam mengakui peradaban
modern Barat mengakibatkan negara-negara Islam menjadi pasar-pasar terbuka bagi hasil-hasil industri
Barat. Keadaan ini semakin memajukan geliat industrialisasi di Barat bahkan mereka berhasil menjajah
aset-aset dan hasil-hasil industri dalam negeri.

5.    Misi Ilmu Pengetahuan

Ini merupakan misi sebagian kecil kaum orientalis yang tidak menyimpan bibit kebencian terhadap
Islam. Misi mereka benar-benar murni dilandasi keinginan memperdalam pengetahuan mengenai
sejarah kemajuan peradaban bangsa-bangsa, agama, kultur budaya dan bahasanya. Diantara mereka
terdapat beberapa tokoh yang akhirnya menyatakan diri masuk Islam, merekalah tokoh yang menilai
sesuatu secara proporsional dan didorong oleh motivasi tinggi dalam menyingkap kebenaran.
Sementara segolongan lain tidak menilai secara proporsional meskipun penentangan dan kebencian
mereka terhadap Islam dalam tulisan-tulisan tidak sebesar kebencian para orientalis fanatis. Diantara
tokoh-tokoh orientalis yang punya misi ilmu pengetahuan tersebut adalah:

·         Thomas Arnold (1864-1930). Karyanya berjudul: Ad-Dakwah Ila al-Islam.

·         Gustaff Lobon: Orientalis, failusuf materialistis atheis, dia memiliki banyak buku dan karangan yang
menyatakan dengan jelas ketertarikannya pada Peradaban Islam sehingga Barat tidak banyak
menggubris dan kurang menghormatinya.

·         Adrian Reland: meninggal tahun 1817, dia mengarang buku berjudul (ad-diyanah al-
muhammadiyyah) dalam dua jilid berbahasa Latin tahun 1705 dan pihak gereja melarang keras
peredaran buku tersebut.

·         Johan G. Rigth (1716-1774) seorang orientalis berkebangsaan Jerman, dituduh sebagai


pengkhianat karena sambutan positifnya terhadap Islam.

·         Goth: Seorang ahli sastra Jerman terkemuka.

·         Silvester De Sasi: berkonsentrasi pada kesusteraan dan tata bahasa Arab dan dia telah berjasa
menjadikan Paris sebagai pusat studi bahasa Arab di Eropa.

·         Zegreid: dia menjelaskan dampak positif peradaan Islam terhadap kemajuan Eropa dalam bukunya
yang terkenal (Syamsu al-Arab thusti’ ala al-gharb).

E. Sejarah Orintalisme

Orientalisme adalah gerakan yang berkecimpung dalam bidang penelitian ilmu, tradisi, perdaban dan
kebudayaan islam dengan tujuan menyelami rahasia , sifat, watak, pemikkiran, sebab kemajuan  dan
kekuatan masyarakat islam. Tujuan orientalisme secara ringkas adalah sebagai berikut; pertama,
melumpuhkan kekuatan islam; Kedua, memanfaatkan hasil penelitian dan ilmu-ilmu yang dimiliki oleh
orang islam; Ketiga, menyiapkaan jalan bagi orang kristen untuk menguasai dunia islam dan  
menempatkan dibawah pengaruh penjajah.

Sebagai organisasi yang teratur memiliki target dan metode yang disusun dengan rapi. Organisasi ini
muncul pada abad 18. Sebenarnya orgnisasi ini muncul jauh sebelum itu, dalam upayanya dalam
menghadapi islam, yaitu muncul sejak abad 1 Hijriyah. Kebangkitan dan kemajuan islam membuat para
musuhnya menaruh perhatian. Mereka telah berusaha  menghadapi islam ini baik dengan lisan maupun
dengan kekuatan fisik. Orientalis yang paling menonjol pada abad tersebut adalah Yohanna Al Dimasqi
(676-749 M/66 H) seorang kristen. Ia telah melakukan penelitian tentang islam dan menulis sebuah
buku yang berisikan dialog antara orang-orang islam dan kristen. Sesudah itu muncul seorang pendeta
bernama Caseys yang menaruh minat terhadap Al-Qur’an, kemudian menerjemahkan sebagai ayat-
ayatnya. Pada abad 11 M muncul seorang orientalis bernama Peter Phil menerjemahkan seluruh isi Al-
Qur’an. Upaya yang berkesinambungan ini mendorong hijrahnya pakar-pakar kristen secara teratur dari
Eropa Utara ke Andalusia (Spanyol) untuk mempelajari ilmu dan kebudayaan umat islam. Mereka
menyalin manuskrip-manuskrip dari bahasa arab ke bahasa latin. Manuskrip-manuskrip inilah yang
menyebabkan mereka memperoleh kemajuan  dan kebangkitan. Usaha-usaha mereka itu merupakan
rintisan awal dari gerakan orientalisme sekarang.

Saat meletusnya perang salib, orang-orang kristen berhasil merampas buku-buku dari perpustakaan
islam dan memboyongnya ke barat. Setelah perang salib mengalami kegagalan, barat kemudian beralih
kepada orientalisme sebagai usaha mengasai dunia islam. Orientalisme menjadi alat untuk  melayani
kepentingan dan rencana penjajah.

Lembaga-lembaga ilmiah yang didirikan untuk tujuan orientalaisme, pertama kali didirikan di Paris pada
tahun 1822 M. kemudian diikuti oleh pendirian lembaga serupa di Inggris setahun kemudian, dan di
Amerika pada tahun 1842 M, serta di Jerman pada tahun 1845 M.

Para orientalis pertama kali mengadakan konferensi internasional guna mengkoordinasikan kegiatan
mereka, diadakan pada tahun 1873 M di Paris. setelah itu disusul dengan konferensi–konferensi serupa
sampai 30 kali dan seterusnya sampai dewasa ini.

Orientalisme tidak hanya terdapat dilingkungan dunia kristen, tetapi juga di negara-negara komunis.
Sebuah lembaga orientalis dengan nama ikatan pembebasan timur telah didirikan pada tahun 1920 M. .
lembaga ini bertugas mendidik propagandis-propagandis komunis di dunia islam. Di lembaga ini para
pelajar melaksanakan program-program komunisme, dengan menggunakan bahasa-bahasa nasional
negara islam yang akan digarapnya. Tujuannya adalah menyebarkan paham atheis.

            Di Amerika sekarang terdapat 50 pusat lembaga orientalis yang mencurahkan segala aktifitasnya
untuk mempelajari dunia islam. Di lembaga ini dilakukan studi dan analisis dengan seksama dengan
berpijak kepada sejarah dan prinsip-prinsip islam. Hasil kajian mereka kemudian didiskusikan dengan
pakar-pakar politik. Dilembaga ini dibahas segala macam rencana dan strategi agar senaniasa aktual dan
dapat di selaraskan dengan perkembangan yang telah terjadi. Selain itu segala bentuk taktik yang sesuai
dengan rencana dan strategi dibahas dengan seksama guna menghancurkan islam secara global.[10]

F. Tujuan Orientalisme

Edward W Said menuturkan bahwa merupakan suatu kenyataan bila  para orientalis munyajikan karya
tulisnya didasarkan pada tujuan tertentu. Secara garis besar, tujuan itu terbagi tiga yaitu :

a.  kepentingan penjajahan (imperialisme)

b. kepentingan agama mereka

c. kepentingan ilmu pengetahuan.[11]

Terkait kepentingan penjajahan, hal itu jelas tergambar dari penelitian-penelitian yang serius yang
dilakukan para orientalis. Dalam kasus di Indonesia misalnya, peran Snouck Hurgronje tampak begitu
jelas. Snouck Hurgronje di beri kepercayaan oleh pemerintah Belanda untuk mengkaji Islam sedalam-
dalamnya sehingga sempat menetap di Mekkah bertahun-tahun. Namun tujuan pengkajiannya tidak lain
kecuali untuk melemahkan perlawanan umat islam terhadap Belanda serta mengobrak-abrik
pertahanan dan persatuan kaum muslim dengan politik belah bambunya. [12]

Dan tujuan untuk kepentingan agama juga nampak jelas karena semua penjajah yang menguasai negara-
negara muslim memiliki latar belakang agama Kristen. Meskipun ada teori yang menyatakan bahwa para
kolonialis tidak berambisi untuk mengkristenkan penduduk jajahannya, namun setidak-tidaknya para
penginjil telah menemukan momentum yang tepat untuk mempengaruhi pihak kolonialis guna
menyebarkan agama Kristen di tengah-tengah penduduk jajahannya.

Dalam tujuan akademisi,  para orientalis memang berawal dari para intelek dan sarjana yang serius
mengkaji masalah-masalah ketimuran. Hampir di tiap universitas di Amerika selalau ada pusat-pusat
kajian ketimuran separti pusat kajian timur Tengah, Asia Tenggara, Asia Tengah dan Asia Selatan. Dan
tujuan ini dapat menghasilkan sikap yang netral dan objektif mengenai islam, berbeda dengan tujuan
imperialis dan misionaris yang sudah tentu akan menghasilkan penelitian yang subjektif dan
menjelekkan citra Islam demi terwujudnya kepentingan kolonial dan ekspansi agama mereka.

G. Karya-karya Orientalisme

Karya-karya orientalis adalah hasil pemikiran yang berasal dari kaum orientalis yang berhasil ditulis
bahkan dapat dipublikasikan dan dinikmati banyak orang, baik isi karya tersebut bermanfaat bagi orang
Islam ataupun melecehkan umat Islam.
Berdasarkan isi karya para orientalis, maka dapat dibedakan menjadi dua bagian, yakni karya-karya
orientalis yang bermanfaat bagi umat Islam dan karya yang melecehkan bahkan merusak akidah umat
Islam.

Adapun karya-karya orientalis yang bermanfaat bagi umat Islam di antaranya adalah:

1)   Buku “Preaching of Islam” sebuah kitab yang sangat tinggi mutunya berisi tentang nasihat-nasihat
dalam ajaran Islam. Buku ini dikarang oleh Profesor Thomas W. Arnold, orientalis yang berasal dari
Eropa.

2)   Kitab “Saladin” (Salahuddin Al-Ayuuby) yang berisi tentang sejarah hidup salah satu pahlawan Islam
yakni Salahuddin Al-Ayuuby dan kitab “Moors In Spain”. Kedua karya besar ini dikarang oleh Stanley
Lane-Poole yang berasal dari Spanyol.

3)   Kitab berbahasa Inggris yang sangat penting dan bernilai sebagai pengantar (Muqaddimah) dari kitab
“Al- Ishaabah Fi Tamyiizi Al-Shahaabah”(Riwayat hidup para Sahabat Rasulullah) yang dikarang oleh
Ibnu al-Hajar Al-Asqallaany. Kitab ini dikarang oleh Dr. Aloys Spenger.

4)   Encyclopadea Besar yang lebih terkenal dengan nama “Arabic/ English Lexicon” yang membahas
semua kata bahasa Arab dengan bahasa Inggris dan Ilmu Nahwu (Tata bahasa Arab) dengan keterangan
yang sangat luas yang menjadi pegangan semua orang lebih-lebih para ahli bahasa Arab dan Tata Bahasa
Arab. Kitab ini dikarang oleh Edward William Lane.

5)   Encyclopadea yang sangat rapi menurut abjad yang memuat hadits-hadits Nabi yang terdapat dalam
Kitab-kitab Hadits Shahih Yang Empat Belas yang masyhur, juga dari kitab Sirah (Biografi) dan perang-
perang yang terkenal, karya A.W. J-Wensinck.

6)   Kitab “Lands Of The Eastern Caliphate”, yaitu ilmu bumi pengarang Encyclopadea Khalifah di Timur,
karya G.B. Stronge.

7)   Buku “De Atjehers” (Penduduk Aceh) dalam 2 jilid yang dikarang pada tahun 1893-1894
oleh Christian Snouck Hurgronje (1857-1936), orientalis yang berkebangsaan Belanda. Ia juga membuat
buku  disertasinya yang berjudul “Het Mekka anche Feest”. Dalam bukunya, dia menerangkan arti haji
dalam Islam, asal-usulnya, dan tradisi yang ada di dalamnya. Kemudian mengakhiri tulisannya dengan
kesimpulan bahwa haji dalam Islam merupakan sisa-sisa tradisi Arab jahiliyah.

8)   Arabian Days  terbitan tahun 1948 karya Harry St. John Philby (1885-1960), seorang orientalis
berkebangsaan Inggris.

9)   “Sejarah Spanyol Islam” yang ditulis pada tahun 1953 oleh Evariste Leri Provencal (1894-1956),
seorang orientalis berkebangsaan Prancis berdarah Yahudi.

10)    Fritz Krenkov (1872-1953), seorang orientalis berkebangsaan Inggris menulis beberapa karyanya,


diantaranya yaitu, Persatuan dalam Islam (1927), Sastra Rakyat Arab (1928), dan beberapa karya
terjemahan.
11)    Karya Blachere (1900-1973), banyak sekali jumlahnya, baik mengenai kesusastraan maupun ke-
Islaman, di antaranya, Biografi al-Walid Raja Dinasti Umayyah (1935), Perdana Menteri Penyair, Ibnu
Zamrah (1937), Tarikh al-Adab al-Arabi (Sejarah Kesusastraan Arab) di tulis dalam bahasa Perancis
terbitan tahun 1952.

12)    Buku berjudul La Passion d’ al-Hallaj, Martyr Mystique de I’Islam,  yang bercerita tentang aliran Sufi
al-Hallaj dikarang oleh Louis Massignon (1883-1963), selain itu ia juga mengarang buku berjudul Sejarah
Pengumpulan Rasari Ikhwan ash-Shafa (1913), Sejarah Ilmu Pengetahuan Kalangan Bangsa Arab
(1957), dan lain-lain.

13)    Buku Pengaruh Turki dalam Sejarah Islam (1932), Studi tentang Susunan Bahasa Arab (1954),
Syair Arab Pilihan (1962) karya Abdul Kareem Germanus.

14)    Kitab at-Tamhid li Tarikh al-Falsafah al-Islamiyah  (Pengantar Filsafat Islam), yang terbit di Kairo
tahun 1904 ini adalah karangan David Santillana (1855-1931), seorang orientalis yang berdarah Yahudi.

Orientalisme juga bertujuan membuat bingung kalangan non-muslim untuk menerima dan memeluk
agama Islam melalui imperialisme kolonialis dan kekuatan ekspedisi missionaris dalam rangka zionisme
dan kristenisasi seperti yang telah dicapai di wilayah Afrika dan Asia Timur.[13] Selain karya-karya yang
bermanfaat bagi umat Islam, ada juga karya dari mereka yang menentang bahkan merusak akidah umat
Islam, di antara karya-karya tersebut adalah:

1)   Gustave File dalam tulisannya mengatakan tentang kenabian Muhammad, bahwasannya apa yang
dialaminya tidak lain hanyalah seperti sedang terkena penyakit malaria. Apa yang didengarnya seperti
suara gemerincing bel adalah bukan wahyu. Akan tetapi merupakan adat kebiasaan yang biasa menimpa
orang yang terkena penyakit ayan dan tekanan jiwa atau syaraf.

2)   Lewis Spenger dalam bukunya “Kehidupan Muhammad dan Ajarannya” mengatakan sebenarnya


Muhammad adalah seorang yang mengidap penyakit ayan dan histeris yang sering kambuh.

3)   Theodo Ronuwel dalam bukunya tentang sejarah Qur’an mengatakan Muhammad adalah seorang
yang sering terjangkit penyakit ayan dan histeris yang menjadikan dirinya seolah merasa sedang
menerima wahyu.

4)   Samuel Margolion mengatakan dalam bukunya “Muhammad dan Munculnya Islam” bahwa
“Muhammad yang mengaku mendapat wahyu Ilahi, sungguh telah banyak sekali menyeret manusia
kepada kesesatan”.

5)   William Munir dalam bukunya berjudul “Kehidupan Muhammad” menyebutkan bahwasannya


Muhammad adalah pendusta yang mengaku sebagai Rasul. Ia adalah mantan pemberi nasehat di
Mekkah yang kemudian pindah ke Madinah sebagai seorang politikus yang ambisius. Ia mengaitkan
dirinya dengan setan demi untuk mendapatkan kesuksesan duniawi.
6)   Philip K. Hitti dalam bukunya yang berjudul Islam and the West yang isinya Dr. Hitti melancarkan
tuduhan bahwa Nabi Muhammad adalah seorang penipu yang lihai. Menurutnya Islam tidak lebih
daripada warisan orang Yahudi Kristen yang diarabisasikan dan dinasionalisasikan.

Selain daripada itu, ada juga karya-karya orientalis yang tidak berupa buku jilidan tetapi hanya berupa
majalah-majalah yang diterbitkan di Negara-negara Barat, di antaranya adalah Journal Asiatique (1822)
di Paris, Journal of the Royal Asiatic Society (1899) di London, Journal of the American Oriental
Society (1849) di Amerika Serikat, Revue du Monde Musulman (1907) di Perancis, Der Islam-Zeutschrift
fur Geschichte und Kultur des Islamischen (1910) di Jerman, The Muslim World (1917) di Amerika Serikat,
dan Bulletin of the School of Oriental and African Studies (1917) di London. Keberadaan majalah ini
sebagian besar masih terbit sampai sekarang[14].

Di antara para orientalis ada sebagian dari mereka yang tidak hanya mempunyai satu karya saja, satu
orang mempunyai karya lebih dari satu, di antaranya yaitu:

1.      G. Postel (1505-1581). Karya-karyanya : Kamus 12 bahasa (1538), Tata bahasa Arab (1538),
Persesuaian Al-Qur’an dan Injil (1543), Bahasa Arab dan Finisia (1553), Adat dan Syari’at Orang Muslim
(1560). Selain itu ia juga banyak menyimpan buku-buku lama tulisan tangan dan sebagian daripadanya
telah disalin ke dalam bahasa Barat.

2.      Baron de Sacy (1758-1838) lahir di Paris. Karya-karyanya: At-Tuhfah As-sunniyah tentang


pengetahuan bahasa Arab dua jilid, terjemahan Qashidah Al-Burdah karangan Al-Bushairi 1806, asal-
usul sastra Jahiliyah pada orang Arab 1808, Study tentang asal-usul cerita 1001 malam.

3.      Ed. Montet (1856-1927). Karya-karyanya : Pokok-Pokok Tata Bahasa Arab (Paris 1896-1903), Islam


Masa Sekarang dan Masa Depan (Paris 1910) dan sudah disalin ke dalam bahasa Itali , Ostenrik dan
Bahasa Arab, Study Tentang Timur dan Agama (1917).

4.      Baron Carra de Vaux (lahir tahun 1876). Karya-karyanya : pidato-pidato mengenai bahasa Arab
(1891), pendeta Buhaira dan Al-Qur’an (1898), ia menulis buku tentang Islam (1899), tentang Al-Ghazali
(1902), tentang Ibnu Sina (1900), tentang pemikir-pemikir Islam lima jilid (1921-1926)[15].

H. Proyek Orientalisme

Sepanjang sejarah peradaban manusia, tidak ada kitab atau bacaan yang mampu menandingi Al Qur’an
dalam memberikan pengaruh kepada umat manusia. Al Qur’an pun ditelusuri hingga asbabun nuzul-nya
(latar belakang diturunkannya sebuah ayat), meskipun tidak semua ayat diriwayatkan asbabun nuzul-
nya. Inilah kitab yang membuat para penyair terpukau dan para ilmuwan tercengang.[16] Hingga detik
ini, ilmu-ilmu Al Qur’an (ulumul Qur’an) masih terus digali dan masih saja menghasilkan temuan-temuan
yang menakjubkan.
Karakter Al Qur’an sebagai mukjizat mengimplikasikan bahwa kitab ini senantiasa menghadapi
perlawanan sejak pertama kali diturunkan. Sebab mukjizat dalam Al Qur’an memiliki makna “sesuatu
yang menetapkan kelemahan”. Keistimewaan Al Qur’an adalah karena ia masih ada bersama kita,
bahkan Allah sendiri yang menjamin kelestariannya.[17]

1.      Orientalisme

Menurut beberapa sumber, Kaisar Leo III dari Byzantium konon pernah berkorespondensi dengan
Khalifah Umar bin Abdul Aziz. Dalam korespondensinya, keduanya sering berdebat tentang agama.
Beberapa sumber menyebutkan bahwa Leo III menuduh Al Qur’an telah diubah oleh al Hajjaj. Meski
demikian, kevalidan berita tentang korespondensi ini juga diragukan oleh para ahli.

Abdul Masih al Kindi sering dijadikan rujukan oleh kalangan Kristen untuk menghujat Al Qur’an. Al Kindi,
seorang tokoh misterius yang konon merupakan penganut Kristen Nestorian, berpendapat bahwa
Muhammad SAW bukanlah seorang Nabi, dan cerita-cerita dalam Al Qur’an tentang kaum Ad, Tsamud,
unta dan gajah adalah cerita-cerita bodoh. Pendapat Al Kindi ini didasarkan pada fakta bahwa beberapa
kisah dalam Al Qur’an berbeda dengan yang ditemui di dalam Bibel, sedangkan versi Bibel dianggapnya
sebagai versi yang paling akurat.

Sekitar tahun 1141-1142, Pierre Maurice de Montboissier, yang dikenal sebagai Petrus Venerabilis (Peter
the Venerable) telah merintis sebuah Islamic studies di kalangan Kristen. Di Toledo, Spanyol, Petrus
Venerabilis menghimpun, membiayai dan menugaskan tim penerjemah untuk menghasilkan karya yang
akan dijadikan landasan untuk para misionaris Kristen untuk berinteraksi dengan kaum Muslim. Dalam
waktu singkat, usaha Petrus Venerabilis membuahkan hasil, dengan diterjemahkannya Al Qur’an dalam
bahasa Latin oleh Robest dari Ketton pada tahun 1143. Meskipun hasil terjemahan ini memiliki banyak
sekali kesalahan, namun ia tetap digunakan sebagai acuan oleh kalangan orientalis hingga berabad-abad
lamanya.

Pada abad ke-13, Ricoldo de Monte Croce, seorang biarawan Dominikus, menulis beberapa karya
mengenai Islam dalam bahasa Latin. Menurut Ricoldo, pengarang Al Qur’an bukanlah manusia, tetapi
setan yang berusaha membuat karya Anti-Kristus. Ricoldo juga mengklaim bahwa terdapat banyak
penyimpangan dalam sejarah Al Qur’an, juga menganggap Al Qur’an memuat kata-kata yang tidak
senonoh seperti “zina”, susunannya tidak sistematis, tidak ada periodisasi raja-raja, dan susunannya
tidak relevan, sehingga tidak layak disebut sebagai wahyu Tuhan. Karya Ricoldo kemudian didukung
penuh oleh Martin Luther dan diterjemahkannya pada tahun 1542. Pemimpin gerakan Protestanisme ini
sepenuhnya mendukung tuduhan-tuduhan Ricoldo dan mencela orang-orang Islam sebagai penjelmaan
setan.

Para teolog Kristen di masa lampau umumnya menjadikan Bibel sebagai acuan dalam menilai kualitas
dan validitas Al Qur’an. Al Qur’an dianggap menyimpang karena memuat kisah-kisah yang sama dengan
detil yang jelas berbeda dengan versi di dalam Bibel. Kesalahpahaman juga kerap terjadi akibat
kesalahan dalam penerjemahan Al Qur’an ke dalam bahasa-bahasa Eropa. Beberapa kesalahan lain (baik
yang terjadi akibat kesalahan penerjemahan atau pemalsuan yang disengaja) juga disebarluaskan,
antara lain tentang kehalalan menikah dengan seribu selir, kebolehan menceraikan istri seenaknya,
adanya kisah-kisah tidak senonoh dalam Al Qur’an dan sebagainya. Bagaimana pun, pandangan kaum
orientalis inilah yang dijadikan referensi selama berabad-abad lamanya di Eropa. Bisa dibayangkan,
betapa buruknya stigma yang melekat pada Islam di benak masyarakat Barat hingga kini.[18]

2.      Sekularisme                                                                                       

Sementara para teolog Kristen berjibaku menyerang Al Qur’an, peradaban Barat-Kristen juga mengalami
perkembangan tersendiri. Pada abad pertengahan, pusat pemerintahan Kepausan berhasil dipusatkan di
Roma. Meskipun pada saat itu Eropa terbagi ke dalam sejumlah negara, namun kekuasaan absolut
sebenarnya bukan di tangan raja-raja, melainkan di tangan Paus, sebab Paus itulah yang punya hak
untuk mengangkat raja-raja.

Kekuasaan absolut Gereja memicu lahirnya berbagai penyimpangan di tubuh Gereja, bahkan lembaga
Kepausan itu sendiri. Beberapa Paus terbukti mendapatkan kedudukannya dengan bersekongkol
bersama sejumlah Kardinal yang korup, bahkan ada Paus yang merebut posisi dengan membunuh Paus
pendahulunya. Sejumlah Paus memiliki catatan kelam, seperti memiliki anak di luar nikah, berhubungan
dengan pelacur, bahkan pada satu titik dalam sejarah, para pelacur itulah yang secara de
facto menguasai Kepausan..[19]

Pada masa-masa ketika hegemoni Gereja mencapai puncaknya, lahirlah institusi yang bernama Inkuisisi
(inquisition). Lembaga ini mendapat otoritas penuh dari Gereja untuk melakukan tindakan-tindakan
represif dalam memaksakan pertumbuhan agama Kristen. Saat itu, Inkuisisi dapat begitu saja
memerintahkan pembunuhan, bahkan penyiksaan, kepada orang-orang yang menolak untuk
dikristenkan. Pada perkembangannya, Inkuisisi juga menjadi semacam lembaga peradilan untuk segala
hal yang berkaitan dengan fatwa Gereja. Sekitar 85 persen dari korban Inkuisisi adalah kaum
perempuan, dan diperkirakan dalam kurun waktu 350 tahun (1450-1800 M) sudah terdapat sekitar dua
hingga empat juta perempuan yang dibakar hidup-hidup di seluruh Eropa. Inkuisisi juga diberi hak untuk
mengeksekusi masyarakat Kristen yang menolak untuk mengikuti fatwa Gereja. Inilah yang
menyebabkan pertentangan antara Gereja dan kaum cendekiawan, hingga mengakibatkan para
ilmuwan seperti Galileo mendapat tekanan kuat dari Gereja, semata-mata karena fakta-fakta sains yang
ia temukan berlawanan dengan pendapat Gereja. Dalam pekerjaannya, Inkuisisi menggunakan berbagai
peralatan dan metode yang diciptakan secara khusus untuk menyiksa manusia, misalnya pembakaran
hidup-hidup, pencungkilan mata, penggergajian tubuh, pemotongan lidah, peremukan kepala,
pengeboran vagina dan sebagainya.[20]

Protestanisme lahir sebagai respon dari tindakan-tindakan korup yang dilakukan oleh Gereja. Pada 31
Oktober 1517, Martin Luther menempelkan 95 poin pernyataannya pada pintu gerejanya di Jerman.
Dalam 95 poin tersebut, ia menentang berbagai penyimpangan di Gereja, terutama praktik penjualan
‘pengampunan dosa’ (indulgences) oleh para pemuka Gereja. Martin Luther bahkan sampai menyebut
Paus sebagai anti-Kristus itu sendiri.[21]

Aspek-aspek teologi Kristen memberikan kesulitan tersendiri bagi para pemuka Gereja. Selain karena
sebagian kandungan Bibel mengandung berbagai kontradiksi, baik antara ayat yang satu dengan ayat
lainnya maupun antara Bibel dengan fakta-fakta sains,[22] konsep-konsep yang diajarkan dalam agama
Kristen pun tak mudah untuk dijelaskan. Untuk memecahkan kebuntuan dalam menjelaskan konsep
ketuhanan Trinitas ini, St. Anselm menulis Cur Deus Homo, St. Augustine menulis de Trinitate dan
akhirnya mengumandangkan slogan “Credo ut intelligam!” (aku percaya supaya aku bisa mengerti). Pada
akhirnya, St. Jerome sendiri mengakui betapa sulitnya mengimani teologi Kristen, hingga ia menyatakan
“De mysterio Trinitatis recta confessio est ignoratio scientia” (misteri Trinitas hanya dapat diimani
dengan mengakui bahwa kita tidak bisa memahaminya).[23]

Dr. Adian Husaini dalam bukunya Wajah Peradaban Barat menyimpulkan bahwa peradaban Barat-
Kristen memilih jalan hidup sekuler paling tidak karena tiga faktor yang berkaitan sepenuhnya dengan
agama Kristen itu sendiri. Pertama, trauma sejarah, khususnya yang berhubungan dengan dominasi
agama (Kristen) di abad pertengahan. Kedua, problem teks Bibel. Ketiga, problem teologis Kristen.[24]

Pada akhirnya, Gereja Katolik dipaksa untuk menerima kehadiran Protestanisme, yang selanjutnya
berkembang luas menjadi berbagai aliran yang prosesnya tak bisa dicegah lagi. Baik Katolik maupun
Protestan bukan hanya mengaku kalah pada arus sekularisme yang mencabut otoritas agama dari
wilayah sosial dan politik, namun para pemuka agama Kristen pun dipaksa untuk mengikutinya dengan
mencari-cari dalil yang bisa digunakan untuk mengatakan bahwa sekularisme adalah bagian dari ajaran
Kristen itu sendiri.[25]

3.      Dari Biblical Criticism ke Studi Al-Qur’an

Hermeneutika adalah saudara kandung sekularisme, keduanya sama-sama lahir dari problem sejarah,
teks Bibel dan teologi Kristen. Hermeneutika lahir ketika masyarakat Barat-Kristen tidak lagi
mempercayai otentisitas Bibel pegangan mereka, hingga para ahli turun tangan dan menelitinya secara
langsung. Berbagai kajian kritis digelar, namun makin lama makin banyak kontradiksi yang terlihat dari
balik lembaran-lembaran Bibel.

Hermeneutika berkembang dari sekedar kajian kritis untuk mencari bacaan yang paling orisinil dari Bibel
menjadi studi historisitas atas teks demi memahami maksud sebenarnya dari kandungan Bibel tersebut,
bahkan kemudian ia digunakan untuk mengungkap motif-motif tersembunyi dari para penulis Bibel. Di
sini kita dapat melihat bahwa para ahli di Barat sudah sejak lama meyakini bahwa: (1) terdapat banyak
kontradiksi dalam Bibel, (2) Bibel yang kita jumpai kini memang karya tulis orang, bukan wahyu Ilahi, dan
(3) masing-masing penulis dipengaruhi oleh latar belakang dan kepentingannya sendiri.
Meskipun Islam tidak mengalami permasalahan yang sama sebagaimana yang dialami oleh Kristen di
Barat, namun gelombang sekularisme membawa serta pandangan yang skeptis terhadap seluruh agama.
Kita pun dapat dengan mudah melihat terjadinya perubahan strategi dari gerakan orientalisme.
Sebelumnya, Islam dianggap sebagai sekte yang menyimpang dari ajaran Yahudi dan Nasrani, sedangkan
Al Qur’an dianggap penuh kesalahan karena standar kebenarannya adalah Bibel. Kini, setelah Bibel pun
ramai-ramai mereka kritisi, mereka pun menyerukan agar umat Islam ikut meragukan dan mengkritisi Al
Qur’an. Mereka menuntut agar Al Qur’an ditafsirkan dengan metode hermeneutika, yaitu dengan
mengkritisinya sebagaimana kita mengkritisi karya-karya tulis buatan manusia. Padahal, Al Qur’an
sendiri telah menyatakan bahwa dirinya bebas dari keraguan, dan karenanya, ia tak mungkin dianggap
sebagai teks biasa. Jika ada yang meragukannya, maka keimanannya pun diragukan.[26]

Yahya al Dimasqi atau lebih dikenal sebagai John of Damascus, seorang pastor terkemuka Kristen yang
meninggal sekitar tahun 700 M, sudah meragukan keabsahan atau otentisitas Al Qur’an sebagai wahyu
Allah. Ini bisa dimengerti karena penolakan Al Qur’an terhadap penyaliban Nabi Isa as dan trinitas,
misalnya, sangat mengganggu dogma Kristen. Pemikiran John of Damascus tersebut merupakan
representasi dari pemikiran kalangan Kristen terhadap Al Qur’an.

Disebabkan Al Qur’an mencela prinsip yang sangat mendasar dari ajaran Kristen, maka bebagai polemik
muncul antar Islam dan Kristen. Pada abad 12 M, Al Qur’an pertama kali diterjemahkan ke dalam bahasa
Latin oleh Robert of Ketton.

Theodor Noldeke, (m. 1930) menulis sebuah monograf dalam bahasa Latin tentang asal mula
penyusunan Al Qur’an pada tahun 1856. Ketika Parisian Academie des Inscriptions et Belles-Lettres  pada
tahun 1857 menganjurkan kompetisi penulisan sejarah kritis tektualitas Al Qur’an (a critical history of
the text of the Quran), Theodor Noldeke menyerahkan tulisannya kepada penganjur kompetisi itu.
Hasilnya, Noldeke memenangi kompetisi tersebut dan kemudian karyanya yang telah direvisi diterbitkan
di Gottingen pada tahun 1860 dengan judul Geschichte des Qorans. Pada tahun 1898, penerbit buku
tersebut mengusulkan edisi kedua. Disebabkan Noldeke sendiri tidak sanggup melakukannya, maka
tugas ini dipercayakan kepada muridnya, Friedrich Schwally, yang kemudian mengedit dan merevisi
buku tersebut menjadi dua edisi. Edisi pertama tentang asal mula Al Qur’an (the origin of the Qur’an),
diselesaikan tahun 1909, dan edisi kedua tentang penyusunan Al Qur’an (the collection of the Quran)
diselesaikan tahun 1919. Setelah menyelesaikan manuskrip itu dan ketika sedang dicetak, Schwally
meninggal dunia, pada bulan Februari 1919. Schwally juga sudah merintis edisi ketiga tentang sejarah
text (the history of the text). Paling tidak, dia sudah menulis kata pengantar untuk edisi ketiga itu.
Sepeninggal Schwally, proyek edisi ketiga itu dilanjutkan oleh Gotthelf Bergstrasser di Konigsberg. Dua
bagian dari edisi ketiga ini (sekitar dua pertiga dari keseluruhan) telah diterbitkan pada tahun 1926 dan
1929. Bagian ketiga tertunda disebabkan munculnya banyak materi yang penting. Selanjutnya,
Bergstasser tanpa diduga, meninggal pada tahun 1933, dan karyanya dilanjutkan oleh orientalis lain,
yaitu Otto Pretzl yang menyempurnakannya pada tahun 1938.[27] Jadi, karya Geschicte des
Qorans  adalah karya yang ditulis secara beramai-ramai oleh beberapa orang orientalis terkemuka
Jerman dan dikerjakan selama 67 tahun sejak edisi pertama dan selama 40 tahun sejak diusulkannya
edisi kedua. Hasilnya, sampai saat ini, karya ini menjadi karya standar dalam masalah sejarah kritis
penyusunan Al Qur’an bagi para orientalis.
Selain itu, Arthur Jeffrey bersama Bergstrasser dan Pretzl juga berambisi membuat proyek Al Qur’an
edisi kritis. Mereka kemudian mengumpulkan berbagai varian tekstual yang bisa didapatkan dari
berbagai sumber seperti buku-buku tafsir, hadis, kamus, qiraah dan manuskrip. Namun, Perang Dunia
ke-2 yang menghancurkan Jerman, telah membuyarkan proyek ambisius mereka. Sejumlah besar bahan
yang telah mereka himpun, musnah terkena bom tentara bersekutu. Sampai meninggalnya Jeffrey dan
Pretzl, proyek ambisius Al Qur’an edisi kritis tidak pernah terlaksana.[28]

Bagaimana pun, para Orientalis itu terus menggugat kesepakatan para ulama Islam sepanjang masa.
Mereka melacak pemikiran pinggiran untuk menggerogoti ijma’ yang sudah resmi. Ibn Miqsam yang
tidak menjadikan otentisitas isnad sering dijadikan bemper untuk menyalahkan otentisitas mushaf
Utsmani. Padahal, para ulama yang sezaman dengan Ibn Miqsam telah menolak pendapat Ibn Miqsam.
Oleh sebab itu, Ibn Miqsam dilarang untuk menyebarkan pemikirannya, dan pada akhirnya disebutkan
bahwa Ibn Miqsam bertobat dan kemudian mengikuti kesepakatan para ulama.[29]

Para Orientalis juga sering menggunakan Ibn Shanabudh untuk menjustifikasi bahwa bacaan yang
berbeda dengan Mushaf Utsmani diperbolehkan. Bagaimana pun, para ulama yang sezaman dengan Ibn
Shanabudh telah menolak tegas bacaan Ibn Shanabudh. Para ulama bertemu di Baghdad pada tahun
323 H. Diketuai oleh Ibn Mujahid yang disokong Ibn Muqlah, wazir Abbasiah saat itu, Ibn Shanabudh
dihukum dan dilarang untuk melanjutkan bacaannya. Jadi, setiap bacaan yang tidak sesuai dengan
ortografi Mushaf Utsmani ditolak oleh para ulama karena tidak memiliki landasan yang kuat (syadh),
sekalipun isnadnya otentik dan bahasanya adalah bagus.[30]

4.      Arkoun dan al-Qur’an

Usaha orientalis yang terus-menerus menyerang kitab suci Al Qur’an akhirnya berhasil menjebol
pemikiran sejumlah pemikir dari kalangan Muslim. Salah satunya adalah Mohammed Arkoun.
Cendekiawan yang namanya sangat popular di kalangan kaum Liberal Islam ini membela pemikiran
marginal dan menggugat pemikiran dominan. Ia berpendapat bahwa sejarah Al Qur’an sehingga bisa
menjadi “kitab suci” dan “otentik” perlu dilacak kembali. Untuk tujuan tersebut, Arkoun kemudian
menawarkan dekonstruksi sebagai sebuah strategi terbaik karena strategi ini akan membongkar dan
menggerogoti sumber-sumber Muslim tradisional yang mensucikan “kitab suci.” Ia mengklaim, bahwa
strateginya itu merupakan sebuah ijtihad. Jadi, Arkoun dengan strategi yang diakuinya sebagai sebuah
strategi baru, mengkritik sebagian Orientalis modern yang terjebak dengan pendekatan filologis dan
historisisme dan juga para pemikir Muslim ortodoks yang hanya terbatas dengan dengan kajian klasik
dan tidak menggunakan ilmu-ilmu humaniora. Selain mengkritik, Arkoun juga memuji usaha para
Orientalis modern dan para pemikir Muslim ortodoks. Menurut Arkoun, para Orientalis sangat
menyumbang kepada kemajuan terhadap perkembangan pemikiran dan studi keislaman sebagaimana
juga pemikir Muslim ortodoks benar karena mempertahankan tradisi serta mitos. Strategi terbaik untuk
memahami historisitas keberadaan umat manusia, dalam pandangan Arkoun, ialah dengan melepaskan
pengaruh ideologis. Jadi, metodologi multidisiplin dari ilmu sejarah, sosiologi, antropologis, psikologis,
bahasa, semiotik harus digunakan untuk mempelajari sejarah dan budaya Islam. Jika strategi ini
digunakan, maka umat Islam bukan saja akan memahami secara lebih jelas masa lalu dan keadaan
mereka saat ini untuk kesuksesan mereka di masa yang akan datang, namun juga akan menyumbang
kepada ilmu pengetahuan modern.[31]

Konsep historisitas, menurut Arkoun, memiliki makna semua hasil semiotik manusia di dalam proses
kemunculan sosial dan budayanya terkena perubahan sejarah.[32] Jadi, konsepsi dan aksi manusia
berada di dalam ruang dan masa. Hasilnya, realitas semata-mata sebagai konstruksi akal manusia yang
bereaksi kepada waktu dan tempat yang khusus. Historisitas menunjukkan bahwa fondasi utama akal
manusia itu berakar di dalam bahasa, sejarah sosial dan lingkungan yang khusus. Dan untuk mengatasi
yang khusus, strategi yang pluralistik diperlukan. Strategi ini akan membongkar framework dualisme
tentang pengetahuan seperti akal melawan imaginasi, sejarah melawan mitos, benar melawan salah,
baik melawan buruk, akal melawan wahyu.[33] Dengan menggunakan strategi dekonstruksi dan
historisitas yang keduanya merupakan fungsi dari angan-angan sosial (the function of social imaginaire),
maka menurut Arkoun, gambaran bahwa kodifikasi Al Qur’an menjadi mushaf Utsmani dianggap Close
Official Corpus  adalah angan-angan sosial tradisionalis dan modernis. Hal ini sangat disayangkan Arkoun,
karena kaum Muslimin tetap mengabaikan usaha para orientalis yang sudah dan sedang mengkaji
sejarah Al Qur’an, yang dikodifikasikan di dalam kondisi politis yang bergelora. Arkoun menyayangkan
umat Islam yang tetap mengabaikan kritik-kritik filsafat tentang teks suci seperti yang telah digunakan
kepada Perjanjian Lama dan Baru, sekalipun tanpa menghancurkan konsekuensi ide wahyu. Karya-karya
para Orientalis Jerman dipinggirkan, walaupun sebenarnya penelitian mereka bisa mengokohkan fondasi
ilmiah dari sejarah mushaf dan wahyu itu sendiri. Masih menurut Arkoun, penolakan kepada
pendekatan ilmiah itu disebabkan tekanan politis dan psikologis. Politis karena mekanisme demokratis
masih belum berlaku, dan psikologis karena kegagalan pandangan mu’tazilah mengenai ke-makhluk-an
Al Qur’an di dalam waktu. Sebagai akibatnya, kaum Muslimin menganggap bahwa semua halaman yang
ada di dalam mushaf adalah Kalamullah. Al Qur’an yang ditulis dan yang dibaca adalah emanasi langsung
dari Lauh al-Mahfud.[34] Bagi Arkoun, mushaf Utsmani sebenarnya hanyalah hasil sosial dan budaya
masyarakat yang kemudiannya dijadikan Unthinkable  dan makin menjadi Unthinkable  dikarenakan
kekuatan dan pemaksaan penguasa resmi.[35]

Arkoun kemudian bukan saja mengkritik Al Qur’an yang difahami sebagai Close Official Corpus, tapi juga
menyalahkan metodologi para ulama dan fuqaha yang mengontrol kebenaran wahyu dengan
menggunakan analisa grammar dan yang berhubungan dengan bahasa kepada teks. Mereka salah
karena mengasumsikan bahwa bahasa adalah refleksi dunia dan fondasi Al Qur’an adalah seperangkat
fakta-fakta. Sebaliknya, bagi Arkoun, Islam dan Al Qur’an adalah fenomena yang berkembang dalam
sejarah untuk membentuk pemahaman kata-kata di samping usaha-usaha para ulama untuk menangkap
makna kitabullah. Mereka disalahkan Arkoun karena mempercayai bahwa pengetahuan mereka tentang
bahasa memberikan akses kepada teks, padahal mereka mengabaikan kebenaran yang lebih mendalam
tentang historisitas bahasa itu sendiri.[36]

Jadi, bagi Arkoun, dengan mengecualikan mu’tazilah, konsep tentang Al Qur’an beserta metodologinya
terbentuk berdasarkan angan-angan sosial tradisionalis dan modernis. Fondasi-fondasi sistem kognitif
berangsur-angsur berkembang menanggapi kondisi ekonomi-sosial-politik abad-abad pertama Islam.
Keberlangsungan sistem kognisi ini bukan karena keabsahan epistimologis atau tambatan ontologis yang
tak dapat dibandingkan, seperti yang dipercayai oleh akal agama (religious reasoning), yang dipaksa oleh
Orde idiologis. Namun, keberlangsungan sistem kognisi ini karena kesinambungan kondisi sosio-
ekonomik-politik yang mengatur perjalanan pemikiran masyarakat Islam-Arab.[37]

Pemikiran Arkoun terhadap Al Qur’an dipengaruhi juga oleh seorang sejarawan Perancis, Francois Furet,
yang menulis secara komprehensif tentang Revolusi Perancis. Metodologi Furet digunakan Arkoun untuk
“membaca” Al Qur’an. Hasilnya, Arkoun berpendapat bahwa Al Qur’an telah begitu banyak melahirkan
teks-teks yang merupakan interpretasi terhadapnya. Tumpukan interpretasi ini telah menyerupai lapisan
geologis bumi. Oleh sebab itu, untuk menembus peristiwa-pembentukan-pertama, ke peristiwa
pembangunan-awal dalam keadaan yang masih segar dan kaya, seluruh literatur tafsir yang
menghalangi pemandangan kita harus dibongkar.[38]

Arkoun juga berpendapat unthinkable  bisa berubah menjadi thinkable, jika pemikiran liberal (free
thinking) direalisasikan. Menurutnya, proyek pemikiran liberal ini merupakan tanggapan kepada dua
kebutuhan makro : (1) untuk pertama kalinya, kaum Muslimin perlu memikirkan permasalahan mereka
yang telah dibuat Unthinkable  oleh kejayaan pemikiran skolastik ortodoks, dan (2) pemikiran
kontemporer secara umum perlu membuka lapangan dan horizon pengetahuan baru, melalui
pendekatan sistematis lintas-budaya terhadap masalah-masalah fundamental dari eksistensi manusia.
Masalah-masalah ini muncul dan dijawab di dalam cara mereka mengikuti agama-agama
tradisional. [39]                                                                                                                                                                
                                                                                       

Jadi, tujuan dari strategi dekonstruksi Arkoun adalah : (1) pengayaan sejarah pemikiran dengan
menitikberatkan kognisi yang beresiko, aliran pemikiran yang beragam secara intelektual dan idiologis;
serta (2) mendinamisir pemikiran Islam kontemporer dengan mengambil perhatian kepada
permasalahan-permasalahan yang ditekan, tabu, dan batasannya ditetapkan, horizon yang telah
berhenti untuk dilihat dan dilarang untuk dilihat dengan mengatasnamakannya sebagai sebuah
kebenaran.[40]

Pemikiran para orientalis yang telah mendapat justifikasi dari beberapa pemikir dari kalangan Muslim
seperti Arkoun telah diungkapkan oleh beberapa individu yang mengikuti dialog dalam milis Islam
Liberal sebagaimana bisa dilihat pada bagian berikutnya. Tentu saja, pemikiran Arkoun yang
mendapatkan banyak pengikut ini perlu dikritisi dengan serius, sebab membawa dampak yang sangat
serius terhadap kedudukan kitab suci Al Qur’an. Proyek Arkoun terbukti sangat dipengaruhi oleh
pengalaman sejarah Kristen Barat. Ia menyatakan bahwa jika kaum Muslim ingin keluar dari stagnasi
intelektual maka mereka harus mengikuti masyarakat Barat yang telah membuat perubahan signifikan
sejak abad ke-16. Pemikiran Barat telah membuat revolusi besar dengan memberikan peranan besar
terhadap “reason”, bahkan berani menempatkannya di atas Kitab Suci. Sebaliknya, kata Arkoun, Islamic
reason  gagal membuat proses revolusi seperti itu, dan masih di bawah kontrol abad pertengahan Islam.
Karena itulah, Arkoun menyayangkan sarjana Muslim yang tidak mau mengikuti jejak kaum Kristen
tersebut.[41]
Arkoun berpendapat bahwa metode kritik sejarah sangat diperlukan dalam pemikiran Islam. Oleh sebab
itu, Arkoun menggunakan metode tersebut untuk melakukan ‘kritik nalar Islami”. Arkoun berangkat dari
masalah bacaan sejarah atau problem historisisme dan masalah penafsiran (hermeneutics). Dengan
historisisme, Arkoun bermaksud hendak melihat seluruh fenomena sosial-budaya lewat perspektif
historis. Masa lalu harus dilihat menurut strata historikalnya. Penelitian histories harus dibatasi menurut
runtutan kronologis dan fakta-fakta nyata. Artinya, historisisme berperan sebagai metode rekonstruksi
makna lewat penghapusan relevansi antara teks dan konteks. Metode historisisme perlu diaplikasikan
ke atas teks-teks agama karena akan memunculkan makna-makna baru yang bersemayam dalam teks-
teks tersebut.[42]

5.      Liberalisasi Pemikiran Islam

Liberalisme dalam bidang sosial dan politik serta pemikiran keagamaan, merupakan tren yang dominan
di Barat saat ini. Francis Fukuyama dalam bukunya Thr End of History bahkan mengemukakan thesisnya
bahwa, masyarakat-masyarakat liberal akan menjadikan dialektika sejarah berakhir. Pernyataan ini
mengindikasikan bahwa wajah peradaban Barat yang liberal itu merupakan bentuk final dan ideal dari
sistim sosial dan politik serta keagamaan Barat, tidak ada sistim lagi yang sebaik liberalisme.[43]

Karena liberalisme merupakan sistim, pandangan hidup atau ideologi Barat maka Islam bagi Barat
merupakan tantangan bagi liberalisme. Francis Fukuyama dalam bukunya The End of History, and the
Last Man jelas-jelas mensejajarkan Islam dengan ideologi Liberalisme dan Komunisme, tapi Islam
menurutnya memiliki nilai moralitas dan doktrin-doktrin politik dan keadilan sosialnya sendiri.
Menurutnya karena ajaran Islam bersifat universal, maka ia pernah menjadi tantangan bagi demokrasi
liberal dan praktek-praktek liberal. Tapi kini kekuatan Islam di luar negara Islam tidak demikian, bahkan
kondisi Islam kini semakin lemah.14 Fukuyama jelas-jelas meletakkan Islam, Liberalisme dan Komunisme
sebagai ideologi-ideologi atau pemikiran yang mempunyai doktrin masing-masing dan saling
bertentangan satu sama lain.

Sejatinya spektrum perbedaan antara liberalisme dan Islam sangat luas. Perbedaan itu lebih berupa
perbedaan cara memandang kehidupan atau perbedaan pandangan hidup (worldview). Dalam artikel
berjudul If Not Civilizations, What?  (Samuel Huntington Responds to His Critics),  Huntington
menyatakan bahwa substansi atau asas peradaban adalah prinsip-prinsip keagamaan dan filsafat.

Jika perbedaan cara berfikir dan memandang sesuatu antara satu peradaban/ worldview dengan yang
lain tidak dapat “dipertemukan” maka konflik peradaban atau perang pemikiran tidak dapat dielakkan.
Inilah yang disebut dengan Ghazwul fikri  yang oleh Huntington disebut “clash of civilization”. Benturan
ini menurutnya akan mengakibatkan ketegangan, benturan, konflik ataupun peperangan di masa depan.

Metode penyebaran liberalisme ke dunia Islam ditempuh Barat sejak lama atau bahkan seumur
kolonialisme Barat ke dunia Islam sejak abad ke 18 hingga 19. Kolonialisme ini seperti yang akan
dipaparkan di bawah ini bekerja sama atau sejalan dengan gerakan misionarisme dan orientalisme.
Langkah-langkah strategis untuk meyebarkan liberalisme, Cheryl memberi saran-saran praktis seperti
hal-hal dibawah ini:

1.    Dukunglah pertama-tama kelompok modernis dan sekularis dengan cara :

a) menerbitkan dan menyebarkan karya-karya mereka; b) mendorong mereka untuk menulis khusus
untuk orang awam dan anak muda; c) perkenalkan pandangan mereka ke dalam kurikulum pendidikan
Islam; d) berikan ruang publik untuk mereka; e) sebarkan pandangan dan pendapat mereka dalam
masalah-masalah yang fundamental dalam penafsiran agama kepada orang awam, agar bersaing dengan
pendapat dan pandangan fundamentalis dan tradisionalis, yang telah memilik website, penerbitan,
sekolah, institut dan media yang lain untuk menyebarkan pandangan mereka; f) posisikan modernisme
sebagai pilihan remaja Islam; g) memberi kemudahan dan mendukung kesadaran tentang sejarah dan
kultur sebelum Islam dan non-Islam, melalui media masa dan kurikulum sekolah dinegara-negara
tertentu; h) mendorong dan mendukung lembaga-lembaga sekuler dan sipil, serta program-programnya.

2.    Dukunglah kelompok tradisionalis melawan fundamentalis dengan cara:

a) mempublikasikan kritik-kritik tradisionalis terhadap kekerasan dan ekstrimisme fundamentalis dan


mendorong tumbuhnya perselisihan antara tradisionalis dan fundamentalis; b) cegahlah persatuan
antara tradisionalis dan fundamentalis; c) doronglah kerjasama antara modernis dengan tradisonalis
yang memiliki pandangan yang lebih dekat kepada modernis, perbanyak literatur tentang figur modernis
dalam lembaga-lembaga tradisionalis; d) bedakan sektor-sektor yang terdapat dalam tradisionalisme; e)
perkuat dukungan kepada mereka yang mempunyai apresiasi yang tinggi terhadap modernism—seperta
mazhab Fiqih Hanafi yang bertentangan dengan mazhab lain dalam masalah agama. Dengan
mempopulerkan mazhab ini maka kita dapat memperlemah otoritas penguasa agama Wahabi; f)
doronglah popularitas dan penerimaan sufisme.

3.    Hadapi dan tantang kelompok fundamentalis dengan cara-cara sbb:

a) menantang dan mengekspose ketidak akuratan pandangan mereka dalam soal penafsiran Islam; b)
bongkar hubungan mereka dengan kelompok dan aktifis illegal; c) publikasikan akibat dari perilaku
kejahatan mereka; d) tunjukkan ketidak mampuan mereka memerintah untuk kepentingan
pembangunan masyarakat mereka secara positif; e) arahkan misi ini khusunya untuk anak-anak muda,
masyarakat tradisionalis yang saleh, Muslim minoritas di Barat dan kepada wanita; f) hindarkan rasa
respek atau pemujaan terhadap tindak kejahatan kelompok fundamentalis, ekstrimis dan teroris,
ketimbang menuduh mereka sebagai pahlawan jahat, lebih baik menuduh mereka sebagai orang yang
bermasalah dan penakut; g) mendorong para wartawan untuk menyelidika isu korupsi, kemunafikan dan
tidak amoral kelompok fundamentalis dan terosis.

4.    Dukung sekularis dengan selektif, dengan cara sbb:


a) doronglah pengakuan bahwa fundamentalisme adalah musuh bersama; cegahlah persatuan sekularis
dengan gerakan anti-kekuatan Amerika, seperti nasionalisme dan ideologi kiri; b) dukunglah ide bahwa
agama dan negara itu dalam Islam dapat dipisahkan, dan bahwa hal ini tidak membahayakan keimanan.

Dari proyek gabungan Kristenisasi, Orientalisme dan Kolonialisme terdapat ide-ide dan pemikiran yang
sengaja disebarkan ketengah masyarkat Islam. Diantara ide-ide dan pemikiran tersebut adalah
liberalisme, pluralisme agama, kawin beda agama, relativisme, persamaan, feminisme (kesetaraan
gender), individualisme, demokrasi dan lain-lain. Untuk mengetahuai ide-ide tersebut akan dijelaskan
beberapa yang penting:

1.    Penyebaran paham Liberalisme Agama

Salah satu agenda pemerintahan George W Bush dalam menghadapi apa yang ia sebut terorisme adalah
liberalisasi dunia Islam. Sebab menjelang pemilihan Presiden Amerika Serikat majalah Times memuji
keberhasilan Bush dalam upaya liberalisasi masyarakat Negara-negara Timur Tengah dalam berbagai hal.
Yang dapat dirasakan di Indonesia saat ini adalah liberalisasi pemikiran keagamaan. Hal ini sejalan
dengan saran-saran Cheryl Benard, dari LSM Coorporation, kepada pemerintah Amerika, seperti yang
digambarkan diatas. Liberalisasi pemikiran kegamaan dalam Islam dimaksudkan agar umat Islam tidak
lagi terikat pada doktrin-doktrin keagamaan yang dapat bertentangan dengan pandangan hidup dan
kebudayaan Barat.

2.    Penyebaran paham Pluralisme Agama

Makna pluralisme agama paska fatwa MUI banyak diperdebatkan orang. Terkadang juga dipahami
sebagai doktrin yang berpandangan bahwa disana tidak ada pendapat yang benar atau semua pendapat
adalah sama benarnya. (no view is true, or that all view are equally true).[44] Dalam aplikasinya
terhadap agama maka pandangan ini berpendapat bahwa semua agama adalah sama benarnya dan
sama vailidnya. Inti doktrinnya adalah untuk menghilangkan sifat ekslusif umat beragama, khususnya
Islam.

3.    Penyebaran gagasan kawin antar agama

Dampak yang lebih konkrit dan berbahaya dari paham pluralisme adalah diplokamirkannya praktek
kawin beda agama. Untuk itu para cendekiawan Muslim mencoba merobah konsep ahlul kitab  dalam al-
Qur’an dan Hadis, dengan memasukkan semua agama sebagai ahlul kitab. Ini dimaksudkan untuk suatu
kesimpulan bahwa semua agama adalah sama benarnya. Karena semua agama sama maka muncullah
hukum baru yang membolehkan wanita Muslim kawin dengan laki-laki Kristen.

Sebenarnya hal ini telah ditolak oleh umat Islam melalui Memorandum Organisasi Konferensi
Islam  (OKI). Malangnya, gagasan ini mendapat sambutan yang positif dari sekolompok cendekiawan
Muslim yang didukung oleh universtias Paramadina. Buku yang berjudul Fiqih Lintas Agama  yang
diterbitkan oleh Yayasan Paramadina adalah hasil dari pemikiran pluralisme agama yang disebarkan
Barat. Islam mengakui adanya pluralitas agama (keberagaman agama) tapi menolak ide pluralisme
agama (kesatuan agama-agama).[45]
4.    Penyebaran doktrin relativisme

Doktrin relativisme mulanya berasal dari Protagoras, seorang Sofis yang berprinsip bahwa manusia
adalah ukuran segala sesuatu. (man is the measur of all things). Doktrin ini berpegang pada prinsip
bahwa kebenaran itu sendiri adalah relatif terhadap pendirian subyek yang memutuskan. Relativisme
juga dianggap sebagai doktrin global tentang semua ilmu pengetahuan.[46] Dengan tersebarnya doktrin
ini tidak sedikit cendekiawan Muslim yang lalu berkesimpulan bahwa manusia tidak ada yang tahu
kebenaran, yang tahu hanya Allah. Dengan berpegang pada doktrin ini maka umat Islam tidak lagi
masalah apakah mengikuti cara berfikir Islam atau Barat yang sekuler dan liberal.

6.    Disseminasi paham dan kepercayaan masyarakat Barat

Terdiri dari prinsip-prinsip kebebasan (liberalisme), persamaan, feminisme (kesetaraan gender),


individualisme, demokrasi dan lain-lain. Paham dan kepercayaan ini di adopsi secara amatiran  (baca
sesuka hati) tanpa proses epistemologi yang jelas kedalam alam pikiran keagamaan Islam. Hasil dari
usaha ini sudah tentu kerancuan pemikiran dan ketidakjelasan struktur konsepnya.

[1] Qasim al-Samurai, Bukti-Bukti  Kebohongan Orientalis, (Jakarta: Gema Insani Press, 1996), 1.

[2] M. Amien Rais, Cakrawala Islam, (Bandung: Mizan, 1986), 241

[3] Ahmad Abdul Hamid Ghurab, Menyingkap Tabur Orientalisme,(Jakarta: Pustaka al Kautsar,


1993),  21.

[4] Maryam Jamilah, Islam Dan Orientaisme,  Sebuah Kajian Analitik. Terj.,(Jakarta: Rajawalipers,


1994), 11.

[5] Mannan Buchari, Menyingkap Tabir Orientalisme, (Jakarta: Amzah, 2006), 7-8

[6] Ibid.,9-10

[7] Aqib Suminto,  Politik Islam Hindia Belanda (LP3ES, 1985) 26

[8] Ali Gharisah,  Wajah Dunia Islam Kontemporer   (Pustaka Al Kautsar, 1989) 91.

[9] Maryam Jameela,  Islam dan Orientalisme  1994. 51-52.

[10] Sa’duddin As-Sayyid Shaleh. Jaringan konspirasi Menentang Islam, (Yogyakarta: Wihdah Press,


1999), 117-119

[11] Edward W Said, Orientalisme, Terj. (Bandung: pustaka Slman,1996), 16


[12] Hamid Algadri, Snouck Hurgronye, (Jakarta: penerbit Sinar Harapan, 1984)

[13]Azim Nanji, Peta Studi Islam Orientalis dan Arah Baru Kajian Islam di Barat  (Yogyakarta:Fajar
Pustaka Baru,:2003), 25

[14]Nina A. Armando, Ensiklopedi Islam (Jakarta: Ichtiar Baru van Hoeve, 2005), 245

[15]Abdurrahman Badawi, dkk, Ensiklopedi Tokoh Orientalis (PT. LKiS Pelangi Aksara), 243

[16] Sayyid Quthb, Indahnya Al-Qur’an Berkisah. Maurice Bucaille, The Bible, The Qur’an and Science.

[17] Lih. QS. Al Hijr : 9

[18] Adnin Armas, Metodologi Bibel dalam Studi Al-Qur’an: Kajian Kritis, (Jakarta: Gema Insani Press,
2005)

[19] Nigel Cawthorne, Rahasia Kehidupan Seks Para Paus dan Rosemary & Darroll Pardoe, Paus Wanita.

[20] Adian Husaini, Wajah Peradaban Barat, (Jakarta: Gema Insani Press, 2005), 34-37

[21] Ibid, 37

[22] Adian Husaini, Wajah Peradaban Barat. Ahmad Deedat, The Choice, dan Maurice Bucaille, The
Bible, The Qur’an and Science.

[23] Syamsuddin Arif, Orientalis & Diabolisme Pemikiran, Jakarta: Gema Insani Press, 173.

[24] Adian Husaini, Wajah Peradaban Barat, 29

[25] M. Naquib al-Attas, Islam dan Sekularisme

[26] Lihat. QS. Al-Baqarah : 2

[27] R. Bell & W. M. Watt, Introduction to the Quran, 175-76

[28] Arthur Jeffrey, Materials for the History of the Text of the Quran  (Leiden: Brill, 1937), 3-4

[29] Ahmad Ali al-Imam, Variant Readings of the Quran: A Critical Study of Their Historical and Linguistic
Origins, 123

[30] Ibid., 124

[31] Issa J. Boullata, Trends and Issues in Contemporary Arab Thought,  80

[32] Mohammad Arkoun, Rethinking Islam Today, 231

[33] Mohammed Arkoun, Rethinking Islam: Common Questions, Uncommon Answers, pen. Robert D.


Lee, 35-36
[34] Mohammed Arkoun, Rethinking, 37

[35] Mohammad Arkoun, Islam, 237

[36] Leonard Binder, Islamic Liberalism: A Critique of Development Ideologies, 161.

[37] Issa J. Boullata, Trends, 81.

[38] Ruslani, Masyarakat Kitab dan dialog antaragama-Studi Atas Pemikiran Mohammed Arkoun,  50-51

[39] Mohammed Arkoun, Islam, 237

[40] Issa J. Boullata, Trends, 82

[41] Mohammed Arkoun, Rethinking, 35

[42] Ruslani, Masyarakat Kitab dan dialog antaragama-Studi atas Pemikiran Mohammed Arkoun, 49

[43] Francis Fukuyama, The End of History and The Last Man, Avon Book, (New York, 1992), 64

[44] Simon Blackburn, Oxford Dictionary of Philosophy,  (Oxford : Oxford  University Press)

[45] Majalah Islamia, edisi 3, September-November, 2004

[46] Simon Blackburn, Oxford Dictionary of Philosophy, (Oxford : Oxford University Press, 1996)

Kuhaku di 5:12 PM

Berbagi

Tidak ada komentar:

Anda mungkin juga menyukai