Anda di halaman 1dari 21

Kritik Ignaz Goldziher dan Joseph Scacht terhadapa Otentisitas hadist;

Bantahan Azami

Disusun guna memenuhi tugas

Mata Kuliah : Studi Hadist: Teori dan Metodologi

Dosen Pengampu : Dr. Muhammad Amin, Lc, MA.

Disusun Oleh:

1. Siti Khadijah Zanuri NIM: 1620510060


2. Achmad Syukron Abidin NIM: 1620511005
3. M. Hafidh Widodo NIM: 1620510071

PROGRAM MAGISTER FILSAFAT ISLAM

FAKULTAS USHULUDDIN DAN PEMIKIRAN ISLAM

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN KALIJAGA

YOGYAKARTA

2017
A. Latar Belakang

Kajian tentang Timur (orient) termasuk juga tentang Islam,yang dilakukan


oleh orang Barat sejak beberapa abat yang lalu. Namun pada abad ke 18 kajian
ketimuran ini diberi namaorientalis. Meski telah banayak kajian tentang orientalisme,
tapi dalam perkembangan ahir-ahir initema orientalisme semakin relevan untuk
diangkat kembali.

Dalam perkembanganannya orientalis banyak yang mengecam karena


orientalis mempunyai tujuan untuk mengkonlonialisasi bangsa timur, orientalis pada
abad ke X (sejak dimulanya perang salib) tidak memiliki keselarasan langkah antara
orientalis satu dengan yang lainya, dan lebih cenderung untuk mencari-cari kesalahan
Islam untuk memelihara ajaran Kristen, dan pada masa itu karya-karya dari orientalis
lebih menunjukkan sisi negatif terhadap Islam. Namun terpisah dari abat dimana para
orientalis memusuhi Islam ada pula orientalis yang konsen dan secara obyektif dalam
mengkaji Islam serta memberikan sumbangan yang berguna untuk memperluas
khazanah kmeilmuan muslim dalam kajian agama Islaqm. Diantaranya adalah yang
tokoh yang dibahas dalam makalah iniyakni Ignaz Goldzier, Joseph Schacht, yang
merupakan tokoh orientalis yang sangat terkenal dalam kajian hadis dan yang
menjadi rujukan utama peneliti muslim untuk mengetahui pandangan orientalis
terhadap hadis. Walaupun pandangan dua tokoh ini di kritik oleh sarjana Islam salah
satunya adalah Mustofa Azami.

Terlepas dari itu semua, kajian orientalis menurut penulis membangkitkan lagi
gairah keilmuan dalam Islam, baik dari peneliti barat ataupun dari peneliti Islam
sendiri. Dengan kritik yang di ajukan barat para sarjana muslim kini kembali mau
meneliti kepercayaan mereka untuk meneguhkannya.

B. Rumusan Masalah
1. Apa pandangan Ignaz Goldziher dan Joseph Schacht dalam hadis?
2. Bagaimana Mustofa Azami mengkritik pandangan tentang hadis Ignaz
Goldziher dan Joseph Schacht?

C. Pembahasan

Hadis merupakan suatu yang sangat penting untuk dipelajari, diteliti


kebenarannya, karena hadis merupakan sumber kedua yang berfungsi sebagai bayan
yakni menjelaskan ayat-ayat al-Quran yang masih Global. Penelitiah tentang hadis
dewasa ini tidak hanya dilakukan oleh orang muslim saja tetapi para orientalis juga
banyak memfokuskan kajian mereka tentang hadis.

Diantara para orientalis yang memfokuskan kajiannya terhadap hadis adalah


Ignaz Goldziher dan Joseph Schacht, dengan mengkaji hadis dengan kritis. Mereka
meneliti hadis berangkat dari skeptisme. Pandangan orientalis ini mendapat
tanggapan yang serius pula dari orang Islam tokoh yang menaggapi pemikiran
orientlis salah satunya adalah Mustofa Azami.

1. Pemikiran Ignaz Goldziher

Ignaz Goldziher1, bukanlah orang yang pertama kali yang memberikan


kritik terhadap hadis, namun demikian dirinya dianggap sebagai orang yang
paling berpengaruh dalam mengembangkan kajian terhadap hadis di barat.2
Secara umum pemikiran Goldzier tentang sunnah dan hadis tersimpul dalam tiga
pokok yaitu, asal usul hadis, perkembangan dan pemalsuan hadis, dan keberadaan
literatur hadis. Ketiga topik tersebut mengarah kepada meragukan keotentikan
hadis dan menolak bahwa hadis layak dijadikan sumber pengetahuan dan hukum.

1
Nama lengkapnya adalah Ignaz Goldziher. Dia lahir pada tanggal 22 Juni 1850 di kota Szekesfehervar,Hongaria. Dia Berasal
dari keluarga Yahudi yang terpandang dan memiliki pengaruh yang sangat luas . Pendidikannya dimulai dari Budhaphes,
kemudian melanjutkan ke Berlin dan Liepziq pada tahun 1869. Pada tahun 1870 dia pergi ke Syria dan belajar pada Syeikh Tahir
al-Jazairi. Kemudian pindah ke Palestina, lalu melanjutkan studinya ke Mesir, dimana dia sempat belajar pada beberapa ulama
al-Azhar.
Sepulangnya dari Mesir, tahun 1873, dia diangkat menjadi guru besar di Universitas Budhapest. Di Universitas ini, dia
menekankan kajian peradaban Arab dan menjadi seorang kritikus Hadits paling penting di abad ke-19. Pada tanggal 13
Desember 1921, akhirnya dia menghembuskan nafas terakhirnya di Budhaphes. Wahyudin Darmalaksana, Hadis di Mata
Orientalis, (Bandung: Benang Merah Press), h. 90
2
Ali Musthafa Yaqub,Kritik Hadis(Jakarta: Pustaka Firdaus, 2004), 8
Dengan sistematis Goldzier menghadirkan pembahasan menarik atas presepsi dan
vonis terhadap setudi hadis. Hasil pemikiran Goldzier ini menjadi landasan dan
pondasi utama lahirnya kajian hasil lebih detail dikalangan sarjana barat.

Dalam pandangan Goldzier, hadis dan sunnah adalah dua hal yang
berbeda. Ia menaytakan bahwa hadis bermakna suatu disiplin ilmu teoritis dn
sunnah adalah kopendium aturan-aturan praktis. Satu satunya kesamaan sifat
antara keduanya adalah bahwa keduanya berakar secara turun temurun. Dia
menyatakan bahwa kebiasaan-kebiasaan yang muncul dalam ibadah dan hukum,
yang diakui sebagai tatacara kaum muslimin pertama yang dipandang berwenang
dan telah pula dipraktikkan dinamakan sunnah atau adat kebiasaan keagamaan.

Dalam kesempatan lain, Goldziher menyatakan perbedaan sunnah dan


hadis bukan saja dari makna itu sendiri, tapi juga melebar pada adanya
pertentangan dalam materi hadis dan sunnah. Dia mengatakan bahwa memang
betul pengertian sunnah dan hadis dibedakan satu dengan yang lainya. Hadis
berciri berita lisan yang bersumber dari nabi, sedangkan sunnah menurut
pengunaan yang lazim di kalangan umat Islam kuno, menunjuk pada
permasalahan hukum atau hal keagamaan; tidak masalah apakah ada atau tidak
berita lisan tentangnya. Suatu kaidah yang terkandung didalam hadis lazimnya
dipandang sebagai sunnah, tetapi tidak berarti bahwa sunnah harus mempunyai
hadis yang berkesesuaian dan memberikan pengukuhan kepadanya. Bahkan
mungkin justru sebaliknya, bahwa isu sebuah hadis justru bertentangan dengan
sunnah. Disinilah perbedaan yang paling fundementl antara sunnah dan hadis
yang disodorkan Goldzhier. Hal ini kemudian menjadi kerangka dasar pandangan
Goldziher tentang otentitas hadis.

Skeptisme Goldziher terhadap literatur hadis berangkat dari sejumlah


observasi, pertama bahan-bahan yang dihimpun dalam koleksi hadis dimasa
belakaqng tidak mengutip hadis yang berasal dari masa-masa sebelumnya.
Sebaliknya, bahan-bahan tersebut menunjukkan hadis di tranmisikan melalui
isnad atau jalur tranmisi yang bersifat lisan, bukan tulisan. Ini berakibat
manipulasi dan pemalsuan akan mudah masuk dalam literatur hadis. Kedua,
banyak hadis yang mengandung kontradiksi satu dengan yang lainya; atau baru
muncul dalam koleksi hadis dalam masa-masa belakangan namun tidak
dibuktikan benar-benar ada dimasa sebelumnya. Ketiga, banyak sahabat nabi
yang lebih muda tampaknya lebih mengenal nabi dari pada sahabat-sahabat yang
lebih senior. Fakta ini menurut Goldziher mengindikasikan bahwa ada pemalsuan
hadis dalam sekala luas pada masa-masa awal Islam. Menurutnya, ada empat
motif yang dapat mendorong pemalsuan hadis yaitu; kepentingan politik, hukum,
sekterian dan komunal historis. Diantara keempat faktor itu, politik adalah yang
paling utama dan menjadi motif-motif bagi yang lain.

Goldziher memandang bahwa secara faktual penelitian keabasahan hadis


yang dilakukan oleh ulama klasik tidak dapat dipertanggungjawabakan secara
ilmiah, karena kesalahan metode yang dipakainya. Hal itu karena para ulama
lebih banyak mengunakan metode kritik sanat, dan kurang mengunakan kritik
matan. Oleh karna itu, Goldziher kemudian menawarkan metode kritik matan.

Ia menyatakan bahwa untuk memahami dan menetapkan kesahihan hadis,


tidak hanya disandarkan pada analisa terhadap sanat hadis saja, lebih jauh hal
tersebut dilakukan guna menggambarkan sampai sejauh mana hubungan teks
hadis dengan kondisi ekternal atau latar belakang kondisi sosial politik dimana
hadis tersebut muncul. Kritik atas matan hadis sendiri dalam khazanah ilmu hadis
bukanlah merupakan hal yang baru. Sebenarnya para ulama klasik sudah
menggunakan kritik matan, hanya saja apa yang dimaksud metode kritik matan
oleh Goldziher itu berbeda dengan metode kritik matan yang dipakai oleh para
ulama. Menurutnya, kritik matan itu mencakup berbagai aspek, seperti politik,
sains, sosiokultural,dan lain-lain.
2. Pemikiran Joseph Schacht

Joseph Schacht3 adalah salah satu tokoh orientalis yang


mempermasalahkan ke otentisitas hadis Nabi Saw. Schacht adalah pengikut dari
para orientalis sebelumnya seperti Alois Sprenger, William Muir, dan Ignaz
Goldziher. Selanjutnya Schacht mengambil spekulasi Goldziher dan rekan-
rekannya tersebut dan kemudian ditelaah dan diolah.

Schacht dalam bukunya yang cukup kontroversial yaitu The Origins of


Muhammadan Jurisprudence, Schacht menyatakan bahwa tidak ada hadis yang
benar-benar asli dari Nabi saw., dan kalaupun ada dan bisa dibuktikan, maka
jumlahnya amat sangat sedikit sekali. Senada dengan Goldziher, ia mengklaim
bahwa hadis baru muncul pada abad kedua Hijriyah dan baru beredar luas setalah
zaman Imam Syafii (w. 204 H/ 820 M), yakni pada abad ketiga Hijriyah.
Kemudian lebih jauh lagi Schacht mengatakan bahwa bahkan hadis-hadis yang
terdapat dalam al-kutub as-sittah sekalipun tidak dapat dijamin keasliannya.4
Masih menurut Schacht sistem periwayatan berantai alias isnad merupakan alat
justifikasi dan otorisasi yang baru dipraktikkan pada abad kedua Hijriyah.5

a. Hukum Islam

3
Joseph Schacht lahir di Ratibor, Silesia ( sebuah kota yang dulunya termasuk wilayah
Jerman, namun sekarang menjadi Polandia) pada 15 Maret 1902 dan meninggal di New Jersey pada 1
Agustus 1969. Karirnya sebagai orientalis diawali dengan belajar filologi klasik, semitik, teologi, dan
bahasa-bahasa Timur di Universitas Berslaw dan Universitas Leipzig. Ia meraih gelar doktor (D. Phil.)
pada tahun 1923, ketika berumur 21 tahun. Sebagai seorang ilmuwan, ketajaman intelektualitasnya
terus diasah dengan masuk Pascasarjana Universitas Oxford hingga meraih gelar M.A pada tahun
1948, dan meraih gelar doktor (D. Litt.) pada tahun 1952. Adapun karya ilmiah yang pernah ditulisnya
adalah The Origin of Muhammad Jurisprudence, An Introduction to Islamic Law, Islamic Law dalam
The Encyclipedia of Social Science, Pre Islamic Background an Early Development dan karya
terakhirnya adalah Theology and Law in Islam.
4
Syamsuddin Arif, Orientalis dan Diabolisme Pemikiran (Jakarta: Gema Insani, 2008), hlm.
32.
5
Gugatan Schacht terhadap hadis berkisar pada masalah isnad dan persoalan umur atau
penanggalannya.
Dalam buku monumentalnya yang telah menjadi semacam buku suci
dikalangan perguruan tinggi di barat yakni The Origins of Muhammadan
Jurisprudence, buku yang pada dasarnya membahas sejarah hukum Islam
mencakup empat pokok bahasan. Bagian pertama (The Development of Legal
Theory) membahas pentingnya kontribuusi al-Syafii terhadap perkembangan
hukum Islam. Bagian kedua (The Growth of Legal Tradition) menejelaskan
secara panjang lebar tentang pertumbuhan dan perkembangan hadis-hadis
hukum. Bagian ketiga (The Transmission of Legal Doctrine) melacak
transmisi hadis dari masa akhir Bani Umayyah yang diyakini sebagai awal
munculnya hukum Islam hingga masa-masa kemudian. Pada bagian akhir
(The Development of The Technical Legal Thought), Schacht membahas
tentang kecendrungan umum yang terjadi dalam dalam bidang hukum dan
juga pokok-pokok pikiran para ulama di masa awal sejarah Islam.6

Untuk mengantarkan pada penjelasan pada penjelasan yang


komprehensif mengenai kritik otentisitas hadis Nabi Josep Schacht, namun
terlebih dahulu harus dijelaskan gagasan Schacht tentang pembentukan
hukum Islam. Hal ini karena pemikiran Schacht tentang hadis adalah bingkai
pemikirannya tentang pembentukan hukum Islam.

Dalam persepsi umat Islam tradisional, hukum Islam menyajikan


sebuah sistem yang ditakdirkan Tuhan, dan ada kaitannya sama seklai dengan
perkembangan (dimensi) historis. Dengan persepsi ini, hany ada satu sumber
yang darinya segala aturan hukum dapat dikembalikan, dan itulah wahyu
Tuhan. Dengan kata lain al-Quran dan hadis dianggap telah menjelaskan
secara rinci mengenai aturan dari segala sesuatu, karena keduanya merupakan
wahyu Tuhan. Pembentukan hukum Islam yang tidka memiliki dimensi
kedalaman historis inilah yang coba diruntuhkan oleh Joseph Schacht. Dengan

6
Wahyudin Darmalaksana, Hadis di Mata Orientalis: Telaah atas Pandangan Ignaz
Goldziher dan Joseph Schacht (Baandung: Benang Merah Press, 2004), hlm. 108.
menggunakan pendekatan historis-sosiologis, Schacht berkeimpulan bahwa
hukum Islam bukan sebagai seperangkat norma yang diwahyukan, melainkan
sebagai fenomena historis yang erat hubungannya dengan realitas sosial.7

Konsekuensi dari kesimpulannya tersebut, akhirnya mengantarkan


Schacht pada kesimpulan bahwa jika hukum Islam merupakan realitas
historis, maka demikian halnya dengan sumbernya (baca: hadis) juga
merupakan akibat dari sebuah proses perkembangan sejarah. Untuk
membuktikan tesisnya ini, Schacht menghadirkan diskusi yang relatif panjang
mengenai perkembangan historis istillah sunnah, sebagaimana telah dipakai
pada masa Arab pra-Islam, awal Islam, dan aliran fiqh klassik. 8

Kemudian Schacht mendefinisikan sunnah berarti kebiasaan


masyarakat sebagai prinsip pembimbing moralitas yang diriwayatkan oleh
periwayatan lisan telah digunakan pada masa Arab pra-Islam. Ide Arab pra-
Islam tentang sunnah (kebiasaa yang bisa dijaddikan teladan dan bersifat
normatif) tersebut, kemudian diadopsi (masih dipertahankan) dan
dikembangkan (bahkan dipertegas identitasnya) oleh Arab awal Islam. Oleh
karena itu, tidak aneh apabila persoalan hukum dalam Islam, didasarkan atas
(mereprensentasikan) kontinuitas tradisi (sunnah) Arab pra-Islam. Dalam hal
ini menurut Schacht, sunnah dalam Islam, baik secara konsepsional maupun
materil hanyalah merupakan pelestarian adat istiadat/tradisi mayarakat Arab
pra Islam, atau kalau tidak sebagai revisi Islam atas adat istiadat yang berlaku
sebelumnya. Schacht selanjutnya, meneruskan analisisnya tentang peggunaan
sunnah pasca waafatnya Nabi saw, khususnya selama era al-Khulafa al-
Rasyidin. Selama era ini, menurut Schacht, Islam telah menyebar di luar
Jazirah Arab. Dengan demikian, ada kontak-kontak nyata antara Islam dan

7
M. Nur Kholis Setiawan dan Sahiron Syamsuddin, dkk, Orientalisme Al-Quran dan Hadis (
Yogyakarta: Nawesea Press, 2007), hlm. 182.
8
M. Nur Kholis Setiawan dan Sahiron Syamsuddin, dkk, Orientalisme Al-Quran dan
Hadis..,hlm 182.
budaya dari wilayah-wilayah baru ditaklukka, dimana terdapat beberapa aspek
kehidupan yang belum dihadapi umat Islam di Jazirah Arab. Sebagai
konsekuensinya, terdapat akulturasi (penyerapan dan pengadopsian) terhadap
beberapa aspek kehidupan tersebut. Jika definis Schacht tentang sunnah
sebagai kebiasaan yang dapat dijadikan teladan (bimbingan moralitas
masyarakat) di atas dapat diterima, maka diterima pula jika umat Islam pasca
wafatna Nabi SAW (era al-Khlafa al-Rasyidin) juga menerapkan hal tersebut.

Rezim Bani Umayyah merupakan periode yang penting, di mana


sunnah mengalami tahap perkembangan yang signifikan. Hal ini karena para
khalifah Bani Umayyah mengangkat haikm-hakim Islam, sebuah kebijakan
yang tidak ada pada era sebelumnya. Pengangkatan hakim tersebut dalam
praktiknya ditujukan kepada orang-orang spesialis. Mereka inilah yang
akhirnya membidani munculnya aliran fiqh klasik (dekade pertama abad
kedua Hijriyah).

Dengan perkembanganya, aliran fiqh klasik ini mengajarkan konsep


sunnah yang ideal (tradisi yang hidup sebagai praktik ideal masyarakat) yang
diekspresikan dalam doktrin yang diterima aliran-aliran itu. dari sini, aliran
fiqh klasik mengidealkan adanya kesinambungan (kontinuitas) antara praktik
masyarakat yang ada dengan praktik masyarakat pendahulunya. Adanya
tuntutan kontinutas ini, telah mendorong aliran fiqh klasik untuk menjadikan
segala keputusan fiqhnya sebagai berasl dari masa lalu, dan untuk kepentingan
itu mereka sering menyandarkan pada tokoh-tokoh besar masa lampau. Proses
penyandaran pendapat kepada masa lampau untuk mendapatkan landasan
teori fiqh Islam ini, akhirnya tidak hanya berhenti pada tokoh-tokoh
belakangan, melainkan menerobos sampai ke masa-masa yang lebih awal.
(sahabat dan Nabi SAW).
Lebih lanjut menurut Schacht, sikaf aliran klasik ini semakin
mendapatkan legitimasiny dengan adanya gerakan ahl al-hadis. Sekalipun
semangat awal yang dibangun adalah tidak ingin hadis-hadis yang berawal
dari Nabi SAW itu dikalahkan oleh aturan-aturan aliran fiqh, namun untuk
mencapai tujuan tersebut justru ahli hadis terjebak pada sikaf justifikasi
terhadap aturan-aturan yang dibuat oleh aliran fiqh. Dari sinilah (studinya
terhadap evolusi sosial-historis konsep sunnah/hukum Islam), kemudian
mengantarkan Schacht pada kesimpulan kontroversialnya yang menantang
oemahaman muslim tradisional bahwa hadis-hadis Nabi SAW sejauh
berkaitan dengan persoaln-persolan hukum agama, hampir-hampir tidak dapat
dipertimbangkan sebagai hadis otentik, karena hadis-hadis tersebut
merupakan kreasi ahli fiqh dan ahli hadis yang sengaja ditarik ke belakang
agar memiliki kekuatan otoritatif. Di sini juga, rekontruksi sanad itu terjadi.
Dengan adanya proses penyadaran pendapat kepada masa lampau untuk
mendapatkan landasan teori fiqh Islam, otomatis terjadi pengadaan
periwayatan pada generasi yang lebih tua. Inilah yang dimaksud dengan
projekting back adapun orang yang melakukan usaha (rekontruksi sanad)
tersebut disebut common link.9

b. Sanad dan Teori Projecting Back10

Dalam mengkaji hadis nabawi, Schacht lebih banyak menyoroti aspek


sanad (ttansmisi, silsilah) dari aspek matan sebuah hadis-tentunya hal ini
berbeda dengan yang dilaukan oleh Goldziher, Schacht menilai bahwa sanad
hadis adalah bukti adanya kesewenangan dan kecerobohan yang dilakukan
para ulama waktu itu.

9
M. Nur Kholis Setiawan dan Sahiron Syamsuddin, dkk, Orientalisme Al-Quran dan
Hadis..,hlm 182-185.
10
Wahyudin Darmalaksana, Hadis di Mata Orientalis: Telaah atas Pandangan Ignaz
Goldziher dan Joseph Schacht..., hlm. 115-117.
Sanad (sandaran) atau isnad (penyangga) yang dalam ilmu hadis
dimaknai sebagai silsilah (rangkaian) dari para penyaksi mulai dari sumber
pertama sampai yang terakhir, yang atas mereka keaslian sebuah hadis
disandarkan menurut Schacht otentitasnya sangat diragukan. Sanad hadis
pada awalnya lahir dalam pemakaian yang sederhana, kemudian berkembang
dan mencapai bentuknya yang sempurna pada periode kedua dan ketiga
Hijriyah. Untuk membuktikan kepalsuan-kepalsuan itu ia lalu menyodorkan
teori projecting back.

Schacht menegaskan bahwa hukum Islan belum eksis pada masa al-
Syabii (w. 110 H.). penegasan ini memberikan pengertian apabila ditemukan
hadis-hadis yang berkenaan denga hukum Islam, maka hadis tersebut
dipastikan adalah buatan orang-orang yang hidup setelah itu. ia berpendapat
bahwa hukum Islam baru dikenal semenjak masa pengangkatan qadi (hakim
agama) yang dilakukan pada masa Dinasti Bani Umayyah.

Kira-kira pada abda kedua Hijriyah, pengangkata qadi itu ditunjukkan


kepada orang-orang spesialis yang berasal dari kalangan orang yang taat
beragama. Karena jumlah orang-orang spesialis itu kian bertambah, di
samping solidaritas yang semakin kuat, maka akhirnya mereka berkembang
menjadi kelompok fiqh klasik.

Dalam perkembangan selanjutnya, pendapat-pendapat tersenut tidak


hanya dinisbatkan pada tokoh-tokoh terdahulu yang jaraknya masih dekat,
melainkan pada tokoh-tokoh terdahulu sekali, bahkan sahabat dan pada
akhirnya pada Nabi Saw. Yang memiliki otoritas paling tinggi. Itulah
gambaran atau rekontruksi terjadinya sanad hadis menurut Schacht, yaitu
dengan memproyeksi pendapat kepada tokoh-tokoh di belakang (projecting
back). Ia menilai bahwa kebanyakan hadis pada dasarnya merupakan aplikasi
yang tidka berbeda dengan terori tersebut.
Kesimpulan diatas, baik kelompok aliran fiqh klasik maupun ahli
hadis-hadis sama- sama memalsukan hadis, dann oleh karena itu maka
keabsahan dan otentisitas hadis Nabi Saw. Tetap saja harus diragukan,
walaupun hadis tersebut, misalnya dilengkapi sanad.

3. Bantahan dan Respon Mustafa Azami Atas Kritik Orientalis


A. Biografi Singkat Azami

Beliau adalah Muhammad Mustafa Azami, lahir di kota Mano, India Utara
tahun 1932. Ayahnya seorang pencinta ilmu dan pembenci penjajahan, serta
tidak suka Bahasa Inggris. Watak ini mempengaruhi perjalanan studi Azami,
dimana ketika masih duduk di SMP beliau disuruh pindah oleh ayahnya ke
sekolah Islam yang menggunakan Bahasa Arab. Dari sinilah Azami mulai
belajar Hadist. Tamat dari sekolah Islam, Azami lalu melanjutkan studinya di
College of Science di Deoband, sebuah perguruan terbesar di India yang juga
mengajarkan studi Islam dan tamat tahun 1952. Kemudian Azami
melanjutkan studinya di fakultas bahasa Arab jurusan tadris di Cairo.

Tahun 1956, Azami diangkat sebagai dosen Bahasa Arab untuk orang-
orang non-arab di Qatar. Lalu pada tahun 1957 beliau diangkat sebagai
sekretaris perpustakaan nasional di Qatar (Dar al Kutub al Qatariyah) tahun
1964 Azami melanjutkan studinya di Universitas Cambridge, Inggris dan
memperoleh gelar Ph.D tahun 1966 dengan disertasinya berjudul Studies in
Early Hadist Literature. Lalu pada tahun 1968 beliau pindah ke Makkah untuk
mengajar di Fakultas Pasca Sarjana, jurusan Syariah dan Studi Islam,
Universitas King Abd Aziz ( kini bernama Universitas Umm al Qura). Beliau
abersama almarhum Dr. Amin al Mishri termasuk yang ikut andil mendirikan
fakultas tersebut.

Tahun 1973 beliau pindah ke Riyadh untuk mengajar di Departemen


Studi Islam, Fakultas Tarbiyah, Universitas King Saud. Beliau memenangkan
hadiah internasional rasa faisal untuk studi Islam dari lembaga hadiah yayasn
raja Faisal di Riyadh11.

B. Otentisitas Hadist Menurut Azami


1. Pengertian Otentisitas hadist

Untuk memfokuskan pembahasan tentang otentisitas hadist, terlebih


dahulu mendefinisikan arti kata otentistias. Kata otentisitas berasal dari bahasa
inggris authenticity atau authentic yang berarti kualitas dari bentuk asli;
keaslian12. Atau layak diterima atau dipercaya sebagai konfirmasi yang
berdasarkan atas fakta13. Atau mengkonfirmasi atau sesuai dengan bentuk asli.

Sedangkan arti kata hadist, seperti yang sudah disepakati para ulama
adalah, setiap perkataan dan perbuatan yang dilakukan oleh Rasulullah saw.
Sehingga, otentisitas hadist disini adalah cara atau metode terkait dengan
kebenaran dan keabsahan suatu hadist, apakah ia benar-benar suatu hadist dari
rasulullah, apakah ia shahih atau palsu.

2. Isnad System

Para ahli hadist pada masa awal sampai abad ketiga hijriyah tidak
secara eksplisit mendefinisikan hadist-hadist yang dapat dianggap shahih.
Mereka hanya menerapkan kriteria-kriteria informasi yang diperoleh,
misalnya14:

a. Periwayatan hadist tidak dapat diterima, kecuali kalau


diriwayatkan oleh orang-orang yang tsiqqoh.

11
M.M. Azami, Hadist Nabawi dan Sejarah Kodifikasinya, (Jakarta, Pustaka Firdaus, 1994)
12
http://www.dictionary.com/browse/authenticity/ diakses pada Kamis, 19 Januari 2017
13
http://www.meriam-webster.com/dictionary/authentic diakses pada Kamis, 19 Januari 2017
14
Kamaruddin Amin, Menguji Kembali Keakuratan Metode Kritik Hadist, (Jakarta, Mizan 2009) hlm
16
b. Riwayat orang-orang yang sering berdusta, mengikuti hawa
nafsunya dan tidak memahami secara benar apa yang diriwayatkan
adalah tertolak.
c. Kita harus memperhatikan tingkah laku pesonal dan ibadah orang-
orang yang meriwayatkan hadist.
d. Apabila mereka terbiasa berkelakuan tidak terpuji dan tidak
melakukan shalat secara teratur, maka riwayatnya harus ditolak.
e. Riwayat orang-orang yang tidak dikenal piawai dalam ilmu-ilmu
hadist tidak dapat diterima
f. Riwayat orang-orang yang kesaksiannya ditolak, maka
riwayatnyapun tidak diterima.

Kriteria-kriteria tersebut berhubungan dengan kualitas dan karakter perawi


yang menentukan diterima dan ditolaknya riwayat mereka. Namun demikian,
kriteria ini belum mancakup secara keseluruhan syarat sanad autentik yang
ditetapkan kemudian. Kriteria diatas hanya berdasar pada penyandaran isnad.
Berikut beberapa kriteria hadist.

1. Imam Syafi`i
Imam syafi`I secara tegas mendefinisikan dan menyatakan bahwa syarat
minimum yang dibutuhkan untuk menajadi dasar sebuah hujah adalah
informasi dari seorang yang berasal dari nabi atau seseorang disamping
nabi (sahabat). Dengan kata lain, sebuah hadist hanya dapat dianggap
autentik apabila memiliki isnad yang dapat ditelusuri lewat jalur yang
tidak terputus sampai kepada nabi. Akan tetapi terdapat sejumlah
persyaratan untuk validitas seorang perawi.
Imam syafi`I telah menjelaskan tentang kualifikasi15 yang harus
dimiliki oleh seorang perawi hadist, syarat-syarat ini harus dipenuhi oleh

15
Asy Syafi`I, Ar Risalah, ed Ahmad Muhammad Syakir, (Kairo, 1940) hal. 369-372
seluruh perawi mulai dari generasi pertama sampai terakhir. Diantaranya
adalah:
a. Tsiqqoh fi ad-dinih, harus terpercaya dalam agamanya
b. Ma`ruf bi ash-shidq fi haditsih, harus dikenal selalu benar dalam
penyampaian berita
c. Al-iman bima yuhillu ma`ani al hadist min al-lafdzihi, harus
memahami isi berita, mengetahui secara benar bagaimana perubahan
lafal akan mempengaruhi gagasan yang disampaikan
d. Yakuna min man yua`addi al hadist bi hurufihi kama sami`a, la
yuhadditsu bihi `ala ma`na, harus menyampaikan hadist secara lafadh
sesuai yang ia dengar, dan tidak menyampaikan dengan kalimatnya
sendiri.
e. Hafidhon in haddatsa bihi min hifdhihi, hafidhon li kitabihi in haddasa
min kitabihi, harus memiliki daya ingat yang tinggi apabila ia
menyampaikan atau menerimanya lewat hafalan dan harus menjaga
catatannya apabila ia menyampaikan atau menerimanya dari catatan
atau kitabnya.
f. Idza syarika ahl al hifdhihi fi al hadisi, wafaqa haditsahum, riwayatnya
harus sesuai dengan riwayat mereka yang dikenal memiliki tingakt
akurasi hafalan yang tinggi, apabila mereka juga turut meriwayatkan
hadist yang sama.
g. Tsiqqoh, hadistnya tidak berbeda dari muhaddist yang lain
h. Barriyan min an yakuna mudallisan, tidak membuat hadist atau
riwayat atas nama mereka yang pernah ia temui, tetapi tidak pernah
belajar darinya.

Kriteria imam syafi`I ini sangat jelas menekankan pada perawi dan
cara periwayatan hadist. Kriteria yang tidak bisa dihindari dalam
penentuan akseptabilitas hadist bukan hanya berdasarkan atas
kapasitas perawi tetapi juga cara periwayatan, yakni jalur periwayatan
yang tidak terputus.

2. Orientalis dan Kritik atas Hadist; Bantahan dari Disertasi Azami


Gugatan dan serangan orientalis kepada Islam terhadap posisi hadist
dimulai oleh Alois Sprenger, yang mempertanyakan status hadist dalam
Islam, dia berpendapat bahwa hadist adalah kumpulan anekdot (cerita-
cerita bohong yang menarik)16. Diantara tokoh orientalis yang
berpengaruh dalam kajian hadist adalah ignaz Goldziher dan Joseph
Schacht.
Scarcely a single tradition could be proven to be genuine words of the
prophet or reliable description of his behaviour, bahwa menurut goldziher
sangat mudah sebuah tradisi dianggap sebagai sebuah hadist. Menurutnya
kajian hadist yang dilakukan oleh ahli hadist klasik tidak dapat
dipertanggung jawabkan secara ilmiah karena kelemahan metode yang
dipakai. Para ulama sering memakai metode kritik sanad dan kurang
menggunakan metode matan. Goldziher menawarkan metode kritik baru
yaitu kritik matan. Kritk matan mencakup beberapa aspek politik, sosial
kultural dan sains. Ia mencontohkan hadist yang terdapat dalam kitab
shahih Bukhori hanya melakukan kritk sanad tanpa melakukan kritik
matan, maka ia berkesimpulan hadist tersebut adalah palsu17.

a. Disertasi Azami, Otentisitas Hadist (Sanad dan Matan)

Azami berpendapat bahwasanya otentisitas hadist tetap dapat


dibuktikan secara ilmiah dan historis. Bahwa hadist adalah beanr, ia

16
Syamsuddin Arif, Orientalisme dan Diabolisme Pemikiran, (Jakarta, Gema Insani, 2008) hal. 28
17
Ali Mustafa Yakub, Kritik Hadist, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2008) hal. 13
merupakan sumber hukum islam. Cara hidup rasulullah merupakan sebuah
role model yang harus diikuti oleh kaum muslim tanpa terikat ruang dan
waktu. Ini menjadi salah satu alasan bahwa hadist disebarkan oleh para
sahabat agar model ini bisa dan mampu memperbaiki akhlak manusia18.

Para ahli hadist telah melakukan analisa kritis terhadap hadist-hadist


nabi, mereka kemudian mengelompokkannya hingga mendefinisikan hadist-
hadist yang dianggap shohih dengan syarat dan kriteria-kriteria yang ketat
seperti yang disampaikan oleh Imam Syafi`i. harapannya adalah mereka
mampu memisahkan hadist palsu dari yang shohih.

1. Nash dan Matn; Cross Reference

Azami menyampaikan bahwa metode penelitian ilmiah tentang matan


hadist, bisa dilakukan dengan cross reference yaitu metode perbandingan
dengan mengumpulkan semua hadist yang berkaitan dan
membandingkannya dengan cermat antara satu hadist dengan hadist yang
lain. Kemudian azami mengajak muslimin untuk melakukan kritik hadist
atau meneliti sebuah matan hadist, azami memberikan beberapa metode
dalam membuktikan keotentikan hadist nabi, antara lain sebagai berikut19:

a. membandingkan hadist-hadist dari beberapa murid dan guru


b. membandingkan pernyataan-pernyataan dari para ulama dari
beberapa waktu yang berbeda
c. membandingkan pembacaan lisan dengan dokumen tertulis
d. membandingkan hadist-hadist dengan ayat al Quran yang
berkaitan.

18
Ali Mustafa Yakub, Kritik Hadist, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2008) hal. 13
19
M.M. Azami, Studies in Hadist: Methodology and Literature. )Indiana Polis: American Trust
Publications, 1977) hal. 46
2. Isnad; Shahifah, Historis-Empiris

Bahwasanya periwayatan hadist secara tertulis sudah dimulai


sejak masa sahabat, sampai pada masa pengumpulan hadist diertengahan
abad ketiga hijriah. Sejalan dengan pendapat ini, adalah Nabia Abbott
1897-1981 yang melakukan penelitian dengan menyimpulkan bahwa
sahifah atau manuskrip20 yang diteliti yang kemudian menjadi bukti dan
fakta sejarah merupakan hasil dari penulisan hadist yang berlangsung
sejak permulaan islam21. Dengan demikian, periwayatan hadist sejak
masa sahabat dan tabi`in telah menggunakan dua cara yaitu tertulis dan
secara lisan.

Azami mencoba menghadirkan fakta sejarah untuk menepis


pandangan para orientalis bahwasanya pada masa awal islam belum ada
orang muslim yang pandai melakukan kegiatan baca-tulis. Azami
menegaskan kembali dengan menuliskan beberapa nama sahabat, tabi`in
dan ulama hadist dari tahun 150 H22. dengan menyebutkan bahwasanya
Rasulullah saw. Mempunyai sekitar enam puluh lima sekretaris untuk
mengurusi masalah surat menyurat.

Ada satu hadist yang meriwayatkan bahwasanya proses


periwayatan dan penulisan hadist sudah dimulai sejak masa Rasulullah
sendiri, dari abdullah bini Amr, ia berkata aku menulis segala yang
kudengar dari Rasulullah saw. (karena) aku ingin memeliharanya. Namun
seorang quraisy melarangku dan berkata, apakah kau tulis segala yang
kau dengar, sedangkan rasulullah saw adalah manusia yang bisa berada

20
Nabia Abbott, Studies in Arabic Literary Papyri, II Quranic Commentary and Tradition (Chicago:
The University Press, 1967) hal. 5-15
21
M.M. Azami, Studies in Early Hadist, hal. 28-182
22
M.M. Azami, Studies in Early Hadist, hal. 34-73
dalam marah dan dalam suka ? kemudian, akupun menahan diri dari
penulisan dan hal itu. kemudian aku sampaiakn kepada rasululah saw.
Beliau bersabdam demi diriku yang ada ditanganNya, tidak ada yang
keluar dari diriku kecili yang haq.

Artinya adalah sejak masa sahabat hingga pertengahan abad ketiga


hijriah, literatur hadist tersebut terwariskan dari masa ke masa melalui
tulisan-tulisan hadist dari masa sahabat rasulullah. Sehingga ini menjadi
nukti dan fakta akan keasliannya yang seharusnya tanpa adanya
keraguan23.

Diantara bukti penyebaran hadist yang diteliti adalah seperti surat-


surat nabi yang dikirim untuk para raja, kepala kabilah atau suku,
penguasa dan gubernur yang ada. Ada juga beberapa catatan-catatan
khusus untuk para sahabat seperti ali bin abi thalib, Abdullah bin Amr bin
Ash, dan Abu Shah24. Masih menurut Azami, bahwa Anas bin Malik
memberikan catatan-catatan hadist kepada enam belas orang, kemudian
juga kepada Sayyidah Aisyah juga memberikan catatan-catatannya
kepada tiga orang, salah satunya adalah kepada Urwah. Kemudian juga
menyebut bahwasanya Abu Hurairah yang sangat masyhur memiliki
banyak riwayat hadist dan memiliki buku atau catatan-catatan yang
diberikannya kepada para muridnya. dan masih banyak sahifah-sahifah
yang lain yang bisa diteliti dan bisa dijadikan sebgai dasar hukum dan
fakta sejarah tentang tradisi kepenulisan sejak zaman sahabat.

23
M.M. Azami, Studies in Early Hadist Literature with a Critical Editin of Some Early Texts, ( Beirut:
al Maktab al Islami, 1968) hal. 34
24
M.M. Azami, Studies in Early Hadist, hal. 10
D. Penutup

Pemikiran Goldziher dan Joseph Schacht dalam bidang hadis tidak bisa di
pandang sebelah mata, dikarnakan implikasi dari pemikirannya tentang hadis sangat
luas pengaruhnya terhadap peneliti orientalis setelahnya. Inti pemikiran Goldziher
dan Joseph Schacht adalah meragukan keberadaan hadis, menurutnya hadis bukan
lagi otentik dari Nabi Muhammad, melainkan sudah tercampur tradisi dari
masyarakat Islam awal. Dan menurut mereka, kelangkaan peninggalan tertulis yang
nyata-nyata menunjukkan bahwa hadis tidak dapat di pelihara dengan sadar dan
tertulis, dan hadis adalah hasil perkembangan setelah Islam menemukan
perkembangan dalam hal itu, Selain itu hadis pantas diragukan karena pada masa
Islam awal bayak yang memalsukan hadis.

Azami sebagi ilmuan Muslim tampil sebagi pembela pemikiran muslim yang
dikritisi oleh barat. Menurut Azami hadis adalah peninggalan berharga dari Nabi
Muhammad. Keterjagaan dalam riwayat dan penulisan hadis dapat diterima dan
dipercaya. Pemikiran Goldziher dan Joseph Schacht menurut Azami hanya bertumpu
pada keraguan semata.
E. Daftar Pustaka

Ali Musthafa Yaqub,Kritik Hadis(Jakarta: Pustaka Firdaus, 2004)


M. Nur Kholis Setiawan dan Sahiron Syamsuddin, dkk, Orientalisme Al-Quran dan
Hadis ( Yogyakarta: Nawesea Press, 2007),

Syamsuddin Arif, Orientalis dan Diabolisme Pemikiran (Jakarta: Gema Insani, 2008)

Wahyudin Darmalaksana, Hadis di Mata Orientalis, (Bandung: Benang Merah Press)


M.M. Azami, Hadist Nabawi dan Sejarah Kodifikasinya, (Jakarta, Pustaka Firdaus,
1994)
http://www.dictionary.com/browse/authenticity/ diakses pada Kamis, 19 Januari 2017
http://www.meriam-webster.com/dictionary/authentic diakses pada Kamis, 19 Januari
2017
Kamaruddin Amin, Menguji Kembali Keakuratan Metode Kritik Hadist, (Jakarta,
Mizan 2009)
Asy Syafi`I, Ar Risalah, ed Ahmad Muhammad Syakir, (Kairo, 1940)
Syamsuddin Arif, Orientalisme dan Diabolisme Pemikiran, (Jakarta, Gema Insani,
2008)
Ali Mustafa Yakub, Kritik Hadist, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2008)
M.M. Azami, Studies in Hadist: Methodology and Literature. )Indiana Polis:
American Trust Publications, 1977)
Nabia Abbott, Studies in Arabic Literary Papyri, II Quranic Commentary and
Tradition (Chicago: The University Press, 1967)
M.M. Azami, 65 Sekretaris Nabi, terj. Mahfuzh Hidayat Luqman (Jakarta: Gema
Insani, 2008)
M.M. Azami, Studies in Early Hadist Literature with a Critical Editin of Some Early
Texts, ( Beirut: al Maktab al Islami, 1968)

Anda mungkin juga menyukai