Bantahan Azami
Disusun Oleh:
YOGYAKARTA
2017
A. Latar Belakang
Terlepas dari itu semua, kajian orientalis menurut penulis membangkitkan lagi
gairah keilmuan dalam Islam, baik dari peneliti barat ataupun dari peneliti Islam
sendiri. Dengan kritik yang di ajukan barat para sarjana muslim kini kembali mau
meneliti kepercayaan mereka untuk meneguhkannya.
B. Rumusan Masalah
1. Apa pandangan Ignaz Goldziher dan Joseph Schacht dalam hadis?
2. Bagaimana Mustofa Azami mengkritik pandangan tentang hadis Ignaz
Goldziher dan Joseph Schacht?
C. Pembahasan
1
Nama lengkapnya adalah Ignaz Goldziher. Dia lahir pada tanggal 22 Juni 1850 di kota Szekesfehervar,Hongaria. Dia Berasal
dari keluarga Yahudi yang terpandang dan memiliki pengaruh yang sangat luas . Pendidikannya dimulai dari Budhaphes,
kemudian melanjutkan ke Berlin dan Liepziq pada tahun 1869. Pada tahun 1870 dia pergi ke Syria dan belajar pada Syeikh Tahir
al-Jazairi. Kemudian pindah ke Palestina, lalu melanjutkan studinya ke Mesir, dimana dia sempat belajar pada beberapa ulama
al-Azhar.
Sepulangnya dari Mesir, tahun 1873, dia diangkat menjadi guru besar di Universitas Budhapest. Di Universitas ini, dia
menekankan kajian peradaban Arab dan menjadi seorang kritikus Hadits paling penting di abad ke-19. Pada tanggal 13
Desember 1921, akhirnya dia menghembuskan nafas terakhirnya di Budhaphes. Wahyudin Darmalaksana, Hadis di Mata
Orientalis, (Bandung: Benang Merah Press), h. 90
2
Ali Musthafa Yaqub,Kritik Hadis(Jakarta: Pustaka Firdaus, 2004), 8
Dengan sistematis Goldzier menghadirkan pembahasan menarik atas presepsi dan
vonis terhadap setudi hadis. Hasil pemikiran Goldzier ini menjadi landasan dan
pondasi utama lahirnya kajian hasil lebih detail dikalangan sarjana barat.
Dalam pandangan Goldzier, hadis dan sunnah adalah dua hal yang
berbeda. Ia menaytakan bahwa hadis bermakna suatu disiplin ilmu teoritis dn
sunnah adalah kopendium aturan-aturan praktis. Satu satunya kesamaan sifat
antara keduanya adalah bahwa keduanya berakar secara turun temurun. Dia
menyatakan bahwa kebiasaan-kebiasaan yang muncul dalam ibadah dan hukum,
yang diakui sebagai tatacara kaum muslimin pertama yang dipandang berwenang
dan telah pula dipraktikkan dinamakan sunnah atau adat kebiasaan keagamaan.
a. Hukum Islam
3
Joseph Schacht lahir di Ratibor, Silesia ( sebuah kota yang dulunya termasuk wilayah
Jerman, namun sekarang menjadi Polandia) pada 15 Maret 1902 dan meninggal di New Jersey pada 1
Agustus 1969. Karirnya sebagai orientalis diawali dengan belajar filologi klasik, semitik, teologi, dan
bahasa-bahasa Timur di Universitas Berslaw dan Universitas Leipzig. Ia meraih gelar doktor (D. Phil.)
pada tahun 1923, ketika berumur 21 tahun. Sebagai seorang ilmuwan, ketajaman intelektualitasnya
terus diasah dengan masuk Pascasarjana Universitas Oxford hingga meraih gelar M.A pada tahun
1948, dan meraih gelar doktor (D. Litt.) pada tahun 1952. Adapun karya ilmiah yang pernah ditulisnya
adalah The Origin of Muhammad Jurisprudence, An Introduction to Islamic Law, Islamic Law dalam
The Encyclipedia of Social Science, Pre Islamic Background an Early Development dan karya
terakhirnya adalah Theology and Law in Islam.
4
Syamsuddin Arif, Orientalis dan Diabolisme Pemikiran (Jakarta: Gema Insani, 2008), hlm.
32.
5
Gugatan Schacht terhadap hadis berkisar pada masalah isnad dan persoalan umur atau
penanggalannya.
Dalam buku monumentalnya yang telah menjadi semacam buku suci
dikalangan perguruan tinggi di barat yakni The Origins of Muhammadan
Jurisprudence, buku yang pada dasarnya membahas sejarah hukum Islam
mencakup empat pokok bahasan. Bagian pertama (The Development of Legal
Theory) membahas pentingnya kontribuusi al-Syafii terhadap perkembangan
hukum Islam. Bagian kedua (The Growth of Legal Tradition) menejelaskan
secara panjang lebar tentang pertumbuhan dan perkembangan hadis-hadis
hukum. Bagian ketiga (The Transmission of Legal Doctrine) melacak
transmisi hadis dari masa akhir Bani Umayyah yang diyakini sebagai awal
munculnya hukum Islam hingga masa-masa kemudian. Pada bagian akhir
(The Development of The Technical Legal Thought), Schacht membahas
tentang kecendrungan umum yang terjadi dalam dalam bidang hukum dan
juga pokok-pokok pikiran para ulama di masa awal sejarah Islam.6
6
Wahyudin Darmalaksana, Hadis di Mata Orientalis: Telaah atas Pandangan Ignaz
Goldziher dan Joseph Schacht (Baandung: Benang Merah Press, 2004), hlm. 108.
menggunakan pendekatan historis-sosiologis, Schacht berkeimpulan bahwa
hukum Islam bukan sebagai seperangkat norma yang diwahyukan, melainkan
sebagai fenomena historis yang erat hubungannya dengan realitas sosial.7
7
M. Nur Kholis Setiawan dan Sahiron Syamsuddin, dkk, Orientalisme Al-Quran dan Hadis (
Yogyakarta: Nawesea Press, 2007), hlm. 182.
8
M. Nur Kholis Setiawan dan Sahiron Syamsuddin, dkk, Orientalisme Al-Quran dan
Hadis..,hlm 182.
budaya dari wilayah-wilayah baru ditaklukka, dimana terdapat beberapa aspek
kehidupan yang belum dihadapi umat Islam di Jazirah Arab. Sebagai
konsekuensinya, terdapat akulturasi (penyerapan dan pengadopsian) terhadap
beberapa aspek kehidupan tersebut. Jika definis Schacht tentang sunnah
sebagai kebiasaan yang dapat dijadikan teladan (bimbingan moralitas
masyarakat) di atas dapat diterima, maka diterima pula jika umat Islam pasca
wafatna Nabi SAW (era al-Khlafa al-Rasyidin) juga menerapkan hal tersebut.
9
M. Nur Kholis Setiawan dan Sahiron Syamsuddin, dkk, Orientalisme Al-Quran dan
Hadis..,hlm 182-185.
10
Wahyudin Darmalaksana, Hadis di Mata Orientalis: Telaah atas Pandangan Ignaz
Goldziher dan Joseph Schacht..., hlm. 115-117.
Sanad (sandaran) atau isnad (penyangga) yang dalam ilmu hadis
dimaknai sebagai silsilah (rangkaian) dari para penyaksi mulai dari sumber
pertama sampai yang terakhir, yang atas mereka keaslian sebuah hadis
disandarkan menurut Schacht otentitasnya sangat diragukan. Sanad hadis
pada awalnya lahir dalam pemakaian yang sederhana, kemudian berkembang
dan mencapai bentuknya yang sempurna pada periode kedua dan ketiga
Hijriyah. Untuk membuktikan kepalsuan-kepalsuan itu ia lalu menyodorkan
teori projecting back.
Schacht menegaskan bahwa hukum Islan belum eksis pada masa al-
Syabii (w. 110 H.). penegasan ini memberikan pengertian apabila ditemukan
hadis-hadis yang berkenaan denga hukum Islam, maka hadis tersebut
dipastikan adalah buatan orang-orang yang hidup setelah itu. ia berpendapat
bahwa hukum Islam baru dikenal semenjak masa pengangkatan qadi (hakim
agama) yang dilakukan pada masa Dinasti Bani Umayyah.
Beliau adalah Muhammad Mustafa Azami, lahir di kota Mano, India Utara
tahun 1932. Ayahnya seorang pencinta ilmu dan pembenci penjajahan, serta
tidak suka Bahasa Inggris. Watak ini mempengaruhi perjalanan studi Azami,
dimana ketika masih duduk di SMP beliau disuruh pindah oleh ayahnya ke
sekolah Islam yang menggunakan Bahasa Arab. Dari sinilah Azami mulai
belajar Hadist. Tamat dari sekolah Islam, Azami lalu melanjutkan studinya di
College of Science di Deoband, sebuah perguruan terbesar di India yang juga
mengajarkan studi Islam dan tamat tahun 1952. Kemudian Azami
melanjutkan studinya di fakultas bahasa Arab jurusan tadris di Cairo.
Tahun 1956, Azami diangkat sebagai dosen Bahasa Arab untuk orang-
orang non-arab di Qatar. Lalu pada tahun 1957 beliau diangkat sebagai
sekretaris perpustakaan nasional di Qatar (Dar al Kutub al Qatariyah) tahun
1964 Azami melanjutkan studinya di Universitas Cambridge, Inggris dan
memperoleh gelar Ph.D tahun 1966 dengan disertasinya berjudul Studies in
Early Hadist Literature. Lalu pada tahun 1968 beliau pindah ke Makkah untuk
mengajar di Fakultas Pasca Sarjana, jurusan Syariah dan Studi Islam,
Universitas King Abd Aziz ( kini bernama Universitas Umm al Qura). Beliau
abersama almarhum Dr. Amin al Mishri termasuk yang ikut andil mendirikan
fakultas tersebut.
Sedangkan arti kata hadist, seperti yang sudah disepakati para ulama
adalah, setiap perkataan dan perbuatan yang dilakukan oleh Rasulullah saw.
Sehingga, otentisitas hadist disini adalah cara atau metode terkait dengan
kebenaran dan keabsahan suatu hadist, apakah ia benar-benar suatu hadist dari
rasulullah, apakah ia shahih atau palsu.
2. Isnad System
Para ahli hadist pada masa awal sampai abad ketiga hijriyah tidak
secara eksplisit mendefinisikan hadist-hadist yang dapat dianggap shahih.
Mereka hanya menerapkan kriteria-kriteria informasi yang diperoleh,
misalnya14:
11
M.M. Azami, Hadist Nabawi dan Sejarah Kodifikasinya, (Jakarta, Pustaka Firdaus, 1994)
12
http://www.dictionary.com/browse/authenticity/ diakses pada Kamis, 19 Januari 2017
13
http://www.meriam-webster.com/dictionary/authentic diakses pada Kamis, 19 Januari 2017
14
Kamaruddin Amin, Menguji Kembali Keakuratan Metode Kritik Hadist, (Jakarta, Mizan 2009) hlm
16
b. Riwayat orang-orang yang sering berdusta, mengikuti hawa
nafsunya dan tidak memahami secara benar apa yang diriwayatkan
adalah tertolak.
c. Kita harus memperhatikan tingkah laku pesonal dan ibadah orang-
orang yang meriwayatkan hadist.
d. Apabila mereka terbiasa berkelakuan tidak terpuji dan tidak
melakukan shalat secara teratur, maka riwayatnya harus ditolak.
e. Riwayat orang-orang yang tidak dikenal piawai dalam ilmu-ilmu
hadist tidak dapat diterima
f. Riwayat orang-orang yang kesaksiannya ditolak, maka
riwayatnyapun tidak diterima.
1. Imam Syafi`i
Imam syafi`I secara tegas mendefinisikan dan menyatakan bahwa syarat
minimum yang dibutuhkan untuk menajadi dasar sebuah hujah adalah
informasi dari seorang yang berasal dari nabi atau seseorang disamping
nabi (sahabat). Dengan kata lain, sebuah hadist hanya dapat dianggap
autentik apabila memiliki isnad yang dapat ditelusuri lewat jalur yang
tidak terputus sampai kepada nabi. Akan tetapi terdapat sejumlah
persyaratan untuk validitas seorang perawi.
Imam syafi`I telah menjelaskan tentang kualifikasi15 yang harus
dimiliki oleh seorang perawi hadist, syarat-syarat ini harus dipenuhi oleh
15
Asy Syafi`I, Ar Risalah, ed Ahmad Muhammad Syakir, (Kairo, 1940) hal. 369-372
seluruh perawi mulai dari generasi pertama sampai terakhir. Diantaranya
adalah:
a. Tsiqqoh fi ad-dinih, harus terpercaya dalam agamanya
b. Ma`ruf bi ash-shidq fi haditsih, harus dikenal selalu benar dalam
penyampaian berita
c. Al-iman bima yuhillu ma`ani al hadist min al-lafdzihi, harus
memahami isi berita, mengetahui secara benar bagaimana perubahan
lafal akan mempengaruhi gagasan yang disampaikan
d. Yakuna min man yua`addi al hadist bi hurufihi kama sami`a, la
yuhadditsu bihi `ala ma`na, harus menyampaikan hadist secara lafadh
sesuai yang ia dengar, dan tidak menyampaikan dengan kalimatnya
sendiri.
e. Hafidhon in haddatsa bihi min hifdhihi, hafidhon li kitabihi in haddasa
min kitabihi, harus memiliki daya ingat yang tinggi apabila ia
menyampaikan atau menerimanya lewat hafalan dan harus menjaga
catatannya apabila ia menyampaikan atau menerimanya dari catatan
atau kitabnya.
f. Idza syarika ahl al hifdhihi fi al hadisi, wafaqa haditsahum, riwayatnya
harus sesuai dengan riwayat mereka yang dikenal memiliki tingakt
akurasi hafalan yang tinggi, apabila mereka juga turut meriwayatkan
hadist yang sama.
g. Tsiqqoh, hadistnya tidak berbeda dari muhaddist yang lain
h. Barriyan min an yakuna mudallisan, tidak membuat hadist atau
riwayat atas nama mereka yang pernah ia temui, tetapi tidak pernah
belajar darinya.
Kriteria imam syafi`I ini sangat jelas menekankan pada perawi dan
cara periwayatan hadist. Kriteria yang tidak bisa dihindari dalam
penentuan akseptabilitas hadist bukan hanya berdasarkan atas
kapasitas perawi tetapi juga cara periwayatan, yakni jalur periwayatan
yang tidak terputus.
16
Syamsuddin Arif, Orientalisme dan Diabolisme Pemikiran, (Jakarta, Gema Insani, 2008) hal. 28
17
Ali Mustafa Yakub, Kritik Hadist, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2008) hal. 13
merupakan sumber hukum islam. Cara hidup rasulullah merupakan sebuah
role model yang harus diikuti oleh kaum muslim tanpa terikat ruang dan
waktu. Ini menjadi salah satu alasan bahwa hadist disebarkan oleh para
sahabat agar model ini bisa dan mampu memperbaiki akhlak manusia18.
18
Ali Mustafa Yakub, Kritik Hadist, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2008) hal. 13
19
M.M. Azami, Studies in Hadist: Methodology and Literature. )Indiana Polis: American Trust
Publications, 1977) hal. 46
2. Isnad; Shahifah, Historis-Empiris
20
Nabia Abbott, Studies in Arabic Literary Papyri, II Quranic Commentary and Tradition (Chicago:
The University Press, 1967) hal. 5-15
21
M.M. Azami, Studies in Early Hadist, hal. 28-182
22
M.M. Azami, Studies in Early Hadist, hal. 34-73
dalam marah dan dalam suka ? kemudian, akupun menahan diri dari
penulisan dan hal itu. kemudian aku sampaiakn kepada rasululah saw.
Beliau bersabdam demi diriku yang ada ditanganNya, tidak ada yang
keluar dari diriku kecili yang haq.
23
M.M. Azami, Studies in Early Hadist Literature with a Critical Editin of Some Early Texts, ( Beirut:
al Maktab al Islami, 1968) hal. 34
24
M.M. Azami, Studies in Early Hadist, hal. 10
D. Penutup
Pemikiran Goldziher dan Joseph Schacht dalam bidang hadis tidak bisa di
pandang sebelah mata, dikarnakan implikasi dari pemikirannya tentang hadis sangat
luas pengaruhnya terhadap peneliti orientalis setelahnya. Inti pemikiran Goldziher
dan Joseph Schacht adalah meragukan keberadaan hadis, menurutnya hadis bukan
lagi otentik dari Nabi Muhammad, melainkan sudah tercampur tradisi dari
masyarakat Islam awal. Dan menurut mereka, kelangkaan peninggalan tertulis yang
nyata-nyata menunjukkan bahwa hadis tidak dapat di pelihara dengan sadar dan
tertulis, dan hadis adalah hasil perkembangan setelah Islam menemukan
perkembangan dalam hal itu, Selain itu hadis pantas diragukan karena pada masa
Islam awal bayak yang memalsukan hadis.
Azami sebagi ilmuan Muslim tampil sebagi pembela pemikiran muslim yang
dikritisi oleh barat. Menurut Azami hadis adalah peninggalan berharga dari Nabi
Muhammad. Keterjagaan dalam riwayat dan penulisan hadis dapat diterima dan
dipercaya. Pemikiran Goldziher dan Joseph Schacht menurut Azami hanya bertumpu
pada keraguan semata.
E. Daftar Pustaka
Syamsuddin Arif, Orientalis dan Diabolisme Pemikiran (Jakarta: Gema Insani, 2008)