➢ NIM : 2281131898
➢ Kelas : A38
Pertemuan 6
PERKEMBANGAN ORENTASI METODE STUDI ISLAM DI KALANGAN ORANG
BARAT DAN TIMUR
1. Bagaimana epistemologi Islam di barat dan timur?
Epistemologi Islam di barat lebih mengedepankan logika dan akal, serta lebih
sekural karna mereka berpikiran bahwa pengetahuan islam harus menyesuaikan zaman
dan akal. Dibandingkan dengan timur yang tetap berdasarkan wahyu dari tuhan sebagai
dasar berpengetahuan serta tidak memisahkan antara ilmu dunia dan akhirat karna
selalu berkaitan.
2. Bagaimana perbedaan orientasi metode studi Islam antara orang Barat dan
Timur?
Studi Islam di Timur
studi Islam di Timur Tengah sangat menekankan pendekatan normatif dan
ideologis terhadap Islam. Kajian Islam di Timur Tengah bertitik tolak dari penerimaan
terhadap Islam sebagai agama wahyu yang bersifat transenden. Islam tidaklah dijadikan
semata-mata sebagai obyek studi ilmiah yang secara leluasa ditundukkan pada prinsip-
prinsip yang berlaku di dunia keilmuwan, tetapi diletakkan secara terhormat sesuai
dengan kedudukannya sebagai doktrin yang kebenarannya diyakini tanpa keraguan.
Dengan demikian, sikap ilmiah yang terbentuk adalah komitmen dan penghargaan.
Usaha-usaha studi ilmiah ditujukan untuk memperluas pemahaman, memperdalam
keyakinan dan menarik maslahatnya bagi kepentingan umat. Orentasi studi di Timur
lebih menekankan pada aspek doktrin disertai dengan pendekatan yang cenderung
normatif. Keterkaitan pada usaha untuk memelihara kesinambungan tradisi dan
menjamin stabilitas serta keseragaman bentuk pemahaman, sampai batas-batas tertentu,
menimbulkan kecenderungan untuk menekankan upaya penghafalan daripada
mengembangkan kritisisme. Meskipun kecenderungan ini tidak dominan, namun
pengaruh kebangkitan fundamentalisme di Timur Tengah telah mempengaruhi orientasi
pendidikannya yang lebih normative (Zada, 2009).
Meski pendidikan tinggi di Timur Tengah sangat menekankan pendekatan
normatif dan ideologis terhadap Islam, lingkungan berfi kir mahasiswa tidaklah
seragam sebagaimana dibayangkan banyak orang. Memang arus pendekatan normatif
terhadap Islam sangat kuat di kalangan akademisi perguruan tinggi Timur Tengah.
Tetapi ini bukanlah gambaran selengkapnya, karena cukup kuat pula arus yang
menekankan pendekatan historis dan sosiologis yang di pandang liberal tadi. Bahkan,
tidak kurang terdapat contoh-contoh liberalisme pemikiran di lingkungan universitas
dan dunia pemikiran umumnya. Pemikiran liberal seperti ditampilkan Hasan Hanafi ,
atau Zaki Najib Mahmud, atau Abdellahi Ahmed An-Na’im daalam masa-masa akhir
ini, merupakan diskursus yang absah dari pendekatan dan pemikiran tentang Islam di
Timur Tengah (Azra, 1999).
Studi Islam di Barat
Secara garis besar terdapat dua bentuk pendekatan dalam kajian Islam; teologis
dan sejarah agama-agama. Pendekatan kajian teologis, yang bersumber dari tradisi
dalam kajian tentang Kristen di Eropa, menyodorkan pemahaman normatif mengenai
agama-agama. Karena itu, kajian-kajian diukur dari kesesuaiannya dengan dan
manfaatnya bagi keimanan. Tetapi dengan terjadinya marjinalisasi agama dalam
masyarakat Eropa atau Barat pada umumnya, kajian teologis yang normatif ini semakin
cenderung ditinggalkan para pengkaji agama-agama. Sedangkan pendekatan sejarah
agama-agama berangkat dari pemahaman tentang fenomena historis dan empiris
sebagai manifestasi dan pengalaman masyarakat-masyarakat agama. Penggambaran
dan analisis dalam kajian bentuk kedua ini tidak atau kurang mempertimbangkan klaim-
klaim keimanan dan kebenaran sebagaimana dihayati para pemeluk agama itu sendiri.
Dan, sesuai dengan perkembangan keilmuwan di Barat yang sejak abad ke-19 semakin
fenomenologis dan positivis, maka pendekatan sejarah agama ini menjadi paradigma
dominan dalam kajian-kajian agama, termasuk Islam di Barat (Azra, 1999)
Dengan kata lain, studi Islam di Barat melihat Islam sebagai doktrin dan
peradaban, dan bukan sebagai agama transenden. Oleh karena Islam diletakkan semata-
mata sebagai obyek studi ilmiah, maka Islam diperlakukan sama sebagaimana obek-
obyek studi ilmiah lainnya. .
Hal ini dapat dimengerti karena apa yang mereka kehendaki adalah
pemahaman, dan bukannya usaha mendukung Islam sebagai sebuah agama dan jalan
hidup. Penempatan Islam sebagai obyek studi semacam ini, memungkinkan lahirnya
pemahaman yang murni “ilmiah” tanpa komitmen apa pun terhdap Islam. Penggunaan
berbagai metode ilmiah mutakhir yang berkembang dalam ilmu-ilmu sosial dan
kemanusiaan, memungkinkan lahirnya karya-karya studi Islam yang dari segi ilmiah
cukup mengagumkan, walaupun bukan tanpa cacat sama sekali.
Studi Islam kontemporer di Barat, yang berusaha keras menampilkan citra yang
lebih adil dan penuh penghargaan terhadap Islam sebagai agama dan peradaban, dengan
mengandalkan berbagai pendekatan dan metode yang lebih canggih dalam ilmuilmu
sosial dan kemanusiaan, bahkan tidak jarang dipelopori oleh sarjan-sarjana Muslim
sendiri. Ini nampaknya menarik banyak perhatian dari generasi baru pengkaji Islam
negeri ini. Departemen Agama bahkan memberikan dorongan lebih besar kepada
dosendosen IAIN untuk melanjutkan studi tingkat pascasarjana ke Barat, sambil juga
tetap meneruskan tradisi pengiriman dosen-dosennya ke Timur Tengah dan negeri-
negeri Muslim lainnya seperti Turki dan Asia Selatan (Zada, 2009).
3. Apa saja kontribusi dan pengaruh tokoh-tokoh Barat dalam pengembangan
metode studi Islam?
Sebagaimana yang ditulis Rasyid (2002), secara materi, Barat sampai saat ini
tidak mampu mengeluarkan sarjana-sarjana yang menguasai bidang-bidang tertentu
dari ilmu Islam, seperti ahli tafsir, ahli hadits, ahli fi qih, ahli bahasa, ahli sejarah, dan
sebagainya. Selain itu, karya ilmiah yang dihasilkan oleh orientalis dalam bidang
keislaman belum terlihat berarti dibanding karyakarya yang ditinggalkan ulama.
Adapun yang dilakukan oleh kaum orientalis pada umumnya ialah mengumpulkan
manuskrip, memberi komentar buku-buku klasik dan menerjemahkannya ke bahasa-
bahasa Eropa. Yang agak bernilai dari karya mereka adalah ensiklopedi hadits (Al-
Mu’tazilah’jam al-Mufahras li Alfazh al-Hadits) dan sejarah sastra Arab (Tarikh al-
Adab al-’Arabi) karya Karl Brockelmann. Karya yang pertama memang bermanfaat
bagi orang-orang yang baru mengenal hadits. Tetapi, dia bukanlah segala-galanya
dalam dunia hadits. Kitab-kitab ensiklopedi hadits yang lebih lengkap telah lebih
dahulu diwariskan oleh ulama-ulama hadits. Hanya saja metodenya berbeda. Bahkan,
kekeliruan dan kelemahan-kelemahan karya orientalis itu cukup banyak dan dihimpun
dalam buku Adhwa ‘ala Akhtha’ al-Mustasyriqin oleh Dr. Sa’ad al-Murshafi .
Sebagian besar karya-karya orientalis diwarnai oleh sikap-sikap seperti
memutarbalikkan fakta, memalsukan sejarah, menyalahpahami teks, serta
menyusupkan kebohongan dan fi tnah. Tetapi, secara umum karya-karya sebagian
orientalis yang jujur itu kita hargai dan bermanfaat bagi sebagian peneliti, khususnya
pemula. Tetapi, porsinya harus dilihat secara objektif, tanpa dilebihlebihkan. Sebab,
Semua itu tidak ada artinya bila dibandingkan dengan karya ulama-ulama kita yang
klasik ataupun yang modern, yang tidak tertampung oleh perpustakaan mana pun di
dunia ini, karena banyaknya. Berbicara tentang sikap “objektif” dan “bebas” (tidak
memihak) yang merupakan karakteristik ilmiah, maka para peneliti Barat dalam tulisan
dan kajian mereka tentang Islam sulit sekali ditemukan sikap netral dan objektif ini.
Mereka hanya mau bebas (dalam artian tidak memihak) ketika berhadapan dengan
materi yang tidak ada hubungannya dengan kajian keislaman. Adapun terhadap kajian-
kajian Islam, mereka tidak mampu melepaskan subjektivitasnya sebagai nonmuslim.
Sebagaimana yang telah diungkap oleh Ismail al-Faruqi (Rasyid, 2002) bahwa
studi Islam di Barat, khususnya di Amerika Serikat, tidak pernah luput dari misi zionis
dan salibis. Orientalis yang mengajar di jurusan itu, katanya, sebagian besar orang
Yahudi atau Kristen fanatis. Di beberapa universitas Amerika, studi Islam ditempatkan
di Fakultas Lahut (Teologi), jurusan “misionarisme” dan materinya dikenal dengan
“perbandingan agama”. Dosendosen yang ada di sana kerjanya mencari “titik-titik
lemah” Islam untuk diserang. Oleh karena itu, kajian-kajian mereka banyak
menyangkut aliran-aliran yang menyimpang. Misalnya, Syi’ah, Isma’iliyah, Tasawud
(mistisisme), Ahmadiyah, an Baha’iyyah. Jika mereka belajar Al-Qur’an, hadits, dan fi
qih, motivasinya adalah untuk mengkritik kebenaran materi-materi itu. Dan ultimate-
goalnya untuk mencari “titik-titik lemah”. Sebagai misal, tulis Faruqi, “Pusat Studi
Perbandingan Agama” di Harvard berada di bawah Fakultas Teologi. Demikian juga di
Universitas Chicago.
Ungkapan Faruqi ini tentu bukan sekadar asumsi yang apriori. Sebab, ia terlibat
langsung dalam “pergulanan” orientalisme di Amerika Serikat. Pengalamannya adalah
sebagai ketua jurusan IS di Temple dan sebagai guru besar selama bertahun-tahun di
AS dan berbagai universitas Barat lainnya. Sehingga, akhirnya ia mengakhiri hayatnya
sebagai “syahid” karena dibunuh oleh agenagen Zionis. Semua ini agaknya merupakan
“pelajaran berharga bagi setiap orang yang hendak belajar Islam kepada orientalis.
Itulah inti nasihat Al-Faruqi.
Pertemuan 7
PENDEKATAN INTERDISIPLINER DALAM STUDI ISLAM
1. Apa yang dimaksud dengan pendekatan interdisipliner dalam studi Islam?
Studi Islam Interdisipliner merupakan pengembangan dan penjabaran dari tiga topik
yaitu pendekatan filsafat, sosiologi dan sejarah yang penekanannya lebih diarahkan
pada aspek aplikasinya.
2. Bagaimana peran pendekatan interdisipliner dalam memperluas pemahaman
kita tentang Islam?
Interdisipliner ini berperan penting dalam membangun kebangkitan islam dengan cara
mewujudkan penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi. Maksudnya agar kita
memahami islam dengan berbagai sudut pandang yaitu melalui kajian kajian yang
diantaranya menggunakan pendekatan history, filsafat, sosiologi, antropologi, agama
dan lain-lain. Sehingga kita bisa memahami islam dengan kompleks.
Noted:
Lembar pengumulan tugas diskusi diberi identitas lengkap
Hasil jawaban diskusi ini dikumpulkan dalam format PDF melalui link di bawah ini:
https://forms.gle/yVF43V2dKEUK1zQg7