Anda di halaman 1dari 4

REVIEW JURNAL

Izhar Hanafiarani/12109061/ IAT 3C

:Identitas Jurnal

Judul :Tradisi Orientaslisme dan Framework Studi al-Qur’an

Nama Penulis :Hamid Fahmy Zarkasyi

Nama Jurnal :Jurnal Tsaqafah

Tahun Terbit :April 2011

Abstrak

Di dunia barat terdapat diskursus keilmuan yang mengkaji budaya timur dan islam sebagai sebuah
fenomena. Diskursus ini disebut dengan Orientalisme. Seiring perkembangan zaman, ilmu tersebut
semakin mapan dengan memiliki dasar-dasar keilmuan seperti metodologi, teori dan kerangka
studi. Bersamaan dengan itu, juga terdapat penolakan dari perspektif islam, lantaran diskursus ilmu
tersebut berangkat dari perspektif barat. Terutama pada prosesnya yang mana corak budaya, agama
dan politik begitu kental dalam kajian mereka, terkhusus dalam kajian al-Qur’an. Sebagaimana
disebutkan sebelumnya, di antara metodologi kajian mereka ialah menggunakan bible sebagai alat
ukur, kemudian melakukan pendekatan tekstual kemudian menafikan aspek kontekstual, dalam
prosesnya dan menggunakan empirisme dan rasionalisme dalam tahapan mencari kesimpulan dan
verifikasi. Oleh sebab itu dalam proses maupun hasilnya terdapat ketidaksesuaian yang
mengantarkan pada kesalahpahaman terhadap al-Qur’an.

Pendahuluan

Penulis secara keseluruhan mencoba untuk menemukan korelasi antara studi dengan framework
barat dan timur (islam) dengan mengkaji motif, perkembangan dan objektifitas kajian orientalisme.
Adapun identifikasi masalahnya ialah 1) ditemukan cendekiawan muslim yang mengadopsi
orientalisme dalam kajian al-Qur’an, 2) terdapat kesenjangan antara standar nilai barat yang
bersifat ideologis-tekstual dan studi islam yang bersifat sakral-religius.
Metode Penelitian

Dalam jurnal tersebut penulis menggunakan studi kepustakaan sebagai metode, yakni dengan
mengumpulkan dokumen-dokumen terkait dalam proses penelitiannya. Kemudian penelitian ini
termasuk ke dalam pendekatan kualitatif yang menekankan pencarian hasil (kesimpulan) pada
makna bukan angka.

Sampel

Buku, jurnal, dan dokumentasi tertulis yang berkaitan dengan judul penelitian.

Hasil Pembahasan

Penulis mengungkapkan bahwa kajian orientalisme bermula pada abad ke 18, yang pada awalnya
hanya terbatas pada kajian sastra dan Bahasa, selain itu kajian ketimuran berangkat dari sastra-
sastra islam yang mana dapat di pahami bahwa islam sebagai budaya masa itu termasuk ke
dalam peradaban yang maju. Oleh sebab itu ditinjau dari focus kajiannya orientalisme dapat di
bagi menjadi dua, khusus yakni focus kajian pada penyelidikan tentang keyakinan-keyakinan
yang ada di dunia timur, dan umum yakni focus kajian yang meneliti keseluruhan aspek budaya
dalam objek penelitian (dunia timur). Peneliti menekankan sebagai sebuah framework, kajian
orientalisme sarat dengan corak-corak dari barat meliputi aspek keagamaan, keilmuan dan politik
dunia barat.

Dalam motif keagamaan misalnya, bertolak dari agama Kristen yang memandang islam sebagai
agama “baru” yang menentanng doktrin-doktrin Kristen yang kemudian berakibat pada kritik-
kritik terhadap islam. Dari aspek politik, sebagai sebuah peradaban maju dengan dinamika yang
kompleks antara keduanyah, islam di tuduh sebagai sebuah “ancaman” bagi kekuasaan (politik)
barat . Terakhir dari segi keilmuan yang berangkat dari perseteruan politik terutama dalam
perlombaan teknologi. Barat banyak menerjemahkan karya-karya muslim dan mengadopsi
keilmuan tersebut dan mengembangkannya dengan beberapa tahapan.

Dalam objektifitas studi orientalis, dapat di kategorikan menjadi dua, yaitu yang benar-benar
objektif namun hanya memandangnya sebagai fenomena sosial , kedua bersifat naratif-destruktif,
yakni kajian-kajiannya diarahkan untuk melemahkan dan merusak islam sebagai budaya maupun
agama.Namun keobjektifan tersebut tidak membuat kajian orientalis lepas dari corak dan nilai
kebudayan barat.

Sebagai sebuah bingkai keilmuan, bentuk pendekatan mereka dalam kajiannya ialah 1) Tekstual,
yakni mereka mengaitkan islam kedalam teks-teks budaya timur terdahulu, seperti teks yahudi dna
Kristen, serta mengkonstruknya menjadi sebuah hubungan sebat-akibat. Oleh karena itu islam di
anggap “meminjam” kebudayaan dari peradaban terdahulu. 2.) menafikan riwayah dan
mengedepankan teks, yakni orientalis memiliki kecendrungan untuk menafikan kompilasi-
kompilasi yang melatarbelakangi suatu teks, terlebih jika tidak ditemukan bukti empirik dalam
pernyataannya. Mereka cenderung memahami islam dari manuscript dengan asumsi bahwa
manuskrip tersebut yang berperan sebagai rujukan dalam menetapkan benar atau tidaknya sebuah
pernyataan, jika di di teliti lebih lanjut budaya empirik ini merupakan budaya memahami teks
bible. Implikasi dalam dunia islam ialah mereka tidak menganggap bahwa teks Qur’an itu sebagai
wahyu yang absolut, namun sebagai “materi” yang berubah-ubah (relative) seiring perkembangan
zaman.3) melanjuti pembahasan sebelumnya bagian ketiga adalah “mempermasalahkan otensititas
al-Qur’an” yang mana menurut mereka mustahil sebuah karya dapat bertahan dalam bentuk
aslinya dengan proses periwayatan dari mulut ke mulut (hafalan) 4) mempersoalkan kandungan
Qur’an meliputi konsep ketuhanan, ritual, moral, metafisis , surge dan sebagainya. 5) Dalam
pendekatan yang di lakukan menggunakan pendekatan bible, ktitik bible dan kebahasaan misalnya.

Kesimpulan

Sederhananya pemahaman orientalis, sangat di pengaruhi oleh kepentingan barat. Yang kemudian
berdampak pada tingkat “objektifitas” penelitian. Oleh karena itu menurut penulis pendekatan
bible tidak bisa diterapkan pada al-Qur’an. Karena setiap teks memiliki latar belakang masing-
masing. Selain itu penerapan tersebut dapat berdampak yakni menodai kesakralan al-Qur’an
sebagai teks suci.

Kesimpulan dan Saran Preview Jurnal

Menurut saya, dari segi pembahasan, peneliti di dominasi oleh hasil-hasil orientalisme yang
subjektif. Jika di telaah leih lanjut, sebenarnya banyak sekali penelitian orientalis yang benar-benar
dapat di pertanggung jawabkan dari segi keilmuannya, dan bahkan juga di temukan hasil penelitian
yang mendukung dan menguatkan keislaman. Harapan kedepannya peneliti dapat menghadirkan
keseluruhan aspek tersebut dalam penelitian, agar jurnal tersebut dapat lebih objektif. Jika
dinarasikan demikian ? lantas apa bedanya kita dengan kaum orientalis. Oelh karena itu sebuah
disiplin ilmu harus di tinjau secara diakronik, jika di tinjau secara sinkronik maka tidak akan
menemukan hal baru. Karena memang tabiat ilmu itu selalu dinamis dan dialektis, seorang
cendekiawan yang baik adalah yang dapat mengkompromikan ilmu-ilmu menjadi sebuah
diskursus baru tentunya dengan islam sebagai frameworknya.

Anda mungkin juga menyukai