Pada zaman awal kelahiran islam,nabi dan para sahabatnya menjadikan masjid sebagai
tempat untuk mempelajari islam,kemudian masjid ini berkembang menjadi pusat studi
islam. Mahmud Yunus yang dikutip oleh Atang Abdul Hakim dan Jaih Muabarok menjelaskan
bahwa pusa-pusat studi islam klasik adalah mekah dan madinah(Hijaz),basrah dan
kufah(irak), damaskus dan palestina(Syam), dan fistat(Mesir), dan lain lain.
Pada zaman kejayaan islam,studi islam dilakukan di perpustakaan ibu kota negara
baghdad pada zaman Al-Makmum(813-833) putra Harun Ar-Rasyid di istana Dinasti Bani
Abbas didirikan Bait Al-Hikmah, yang dipelopori oleh khalifah, sebagai pusat pengembangan
ilmu pengetahuan dengan wajah ganda sebagai perpustakaan serta sebagai lembaga
pendidikan(sekolah). Di samping itu penerjemah karya-karya yunani kuno ke dalam bahasa arab
dilakukan untuk melakukan aselerasi pengembangan ilmu pengetahuan.
Di samping itu di eropa terdapat pusat kebudayaan yang merupakan tandingan baghdad
yaitu Universitas Cordoba yang didirikan oleh Abdurrahman III(929-961 M) dari dinasti
umayyah di spanyol. Di timur islam baghdad Madrasah Nizhamiyah didirikan oleh perdana
menteri Nizham Al-Mulk dan di kairo Mesir Universitas Al-Azhar didirikan oleh dinasti
Fatimiah dari kalangan syia’h. Dengan demikian pusat-pusat kebudayaan yang juga merupakan
pusat studi islam pada zaman kejayaan islam adalah baghdad,mesir,dan spanyol.
5. Dampak Yang Ditimbulkan Dari Perkembangan Studi Islam Bagi Dunia Barat.
a) Damapak Positif
Kehadiran Islam di Eropa Spanyol membawa perubahan dalam berbagai segi kehidupan
masyarakat, terutama dalam aspek peradaban dan ilmu pengetahuan dan teknologi. Dari hal ini
telah menimbulkan semangat orang barat dalam mempelajari ilmu pengetahuan yang dibawah
oleh islam. Al hasil, maka banyaklah orang barat yang menguasai ilmu pengetahuan dari islam,
seperti ilmu kimia, ilmu hitung, ilmu tambang (minerologi), meteorology (karya Al Khazini),
dan sebagainya. Sedangkan dibidang teknologi adalah orang barat bisa membuat berbagai
macam alat industri yang dihasilkan dari observasi atau penelitian. Sekitar abad ke-16 M telah
ditemukan sebuah alat perajut kaos kaki. Kemudian tahun 1733 M John Kay telah berhasil
membuat alat tenun baru yang dapat bekerja lebih cepat dan menghasilkan tenunan yang baik.
Pada tahun 1765 M Hargreaves berhasil membuat alat pintal yang dapat memintal berpuluh-
puluh gulung benang sekaligus. Kemudian sekitar tahun 1780 M terjadi revolusi industri di
Inggris, seperti ditemukannya mesin uap oleh James Watt pada tahun 1769 M dan alat tenun oleh
Cartwright tahun 1785 M yang menyebabkan Inggris menjadi negara industri maju.
b) Dampak Negatif
Diatas telah kami jelaskan, bagaimana dampak positif dari perkembangan studi Islam di
dunia barat. Perlu diketahui disamping adanya dampak positif, ada juga dampak negatif yang
ditimbulkannya.Adapun dampak negatif itu adalah dapat kami uraikan sebagai berikut :
1) Setelah bangsa barat menjadi bangsa yang maju dan telah mengalami revolusi dibidang industri.
Maka mereka mendapati masalah kekurangan bahan baku dalam kegiatan industrinya. Kemudian
untuk mencari jalan keluarnya mereka berlomba-lomba mencari di dunia Timur, yang
kebanyakan dikuasai oleh pemerintahan muslim. Di samping itu, mereka juga memerlukan
tempat pemasaran baru bagi hasil industrinya ke negara-negara Timur. Sebagai akibatnya,
banyak negara-negara Barat datang kedunia Timur dan terjadilah Ekspansi besar-besaran dalam
bidang social, politik, ekonomi dan sebagainya. Di waktu itulah terjadi suatu massa kolonial dan
imperial, yaitu massa dimana bangsa-bangsa Barat melakukan penjajahan terhadap dunia Timur,
khususnya dunia muslim.
2) Rupanya dampak negatif yang kedua ini adalah bagaikan kacang lupa kulitnya. Saya kira istilah
ini memang pantas ditunjukkan pada orang barat,karena kenapa ? mereka sungguh tidak tahu
diri. Ilmu yang berkembang di Dunia Barat itu adalah dari islam, akan tetapi mereka
mengingkarinya, mereka tidak mengakui. Malahan mereka mengaku ilmu tersebut berasal dari
peradaban lain, bukan dari peradaban islam. Ada seorang sarjana bernama Max Dimont
mengatakan bahwa orang Barat itu menderita Narcisisme, yaitu mereka mengagumi diri mereka
sendiri, dan kurang memiliki kesediaan untuk mengakui utang budinya kepada bangsa-bangsa
lain. Mereka hanya mengatakan, bahwa yang mereka dapatkan itu adalah warisan dari Yunani
dan Romawi.
Studi Islam di dunia Islam sama dengan menyebut studi Islam di dunia muslim. Dalam
sejarah muslim dicatat sejumlah lembaga kajian Islam di sejumlah kota. Maka uraian berikut
adalah sejarah perkembangan studi Islam di dunia muslim.
Akhir periode Madinah sampai dengan 4 H, fase pertama pendidikan Islam sekolah
masih di masjid-masjid dan rumah-rumah dengan ciri hafalan namun sudah dikenalkan logika.
Selama abad ke 5 H, selama periode khalifah ‘Abbasiyah sekolah-sekolah didirikan di kota-kota
dan mulai menempati gedung-gedung besar dan mulai bergeser dari matakuliah yang bersifat
spiritual ke matakuliah yang bersifat intelektual, ilmu alam dan ilmu sosial.
Berdirinya sistem madrasah justru menjadi titik balik kejayaan. Sebab madrasah dibiayai
dan diprakarsai negara. Kemudian madrasah menjadi alat penguasa untuk mempertahankan
doktrin-doktrin terutama oleh kerajaan Fatimah di Kairo.
Pengaruh al-Ghazali (1085-1111 M) disebut sebagai awal terjadi pemisahan ilmu agama
dengan ilmu umum. Ada beberapa kota yang menjadi pusat kajian Islam di zamannya, yakni
Nisyapur, Baghdad, Kairo, Damaskus, dan Jerussalem. Ada empat perguruan tinggi tertua di
dunia Muslim yakni: (1) Nizhamiyah di Baghdad, (2) al-Azhar di Kairo Mesir, (3) Cordova, dan
(4) Kairwan Amir Nizam al-Muluk di Maroko. Sejarah singkat masing-masing pusat studi Islam
ini digambarkan sebagai berikut:
Pendidikan Islam mulai dan berkembang pada awal abad ke-20 Masehi dengan berdirinya
madrasah Islamiyah yang bersifat formal. Yang melatar belakangi munculnya lembaga
Pendidikan Islam di Indonesia yaitu pada awal perkembangan Islam di Indonesia, masjid
merupakan satu-satunya pusat berbagai kegiatan, baik kegiatan keagamaan, sosial
kemasyarakatan, termasuk kegiatan pendidikan. Bahkan kegiatan pendidikan yang berlangsung
di masjid dan masih bersifat sederhana kala itu sangat dirasakan oleh masyarakat muslim, maka
tidak mengherankan apabila mereka menaruh harapan besar kepada masjid sebagai tempat yang
bisa membangun masyarakat muslim yang lebih baik.
Awal mulanya masjid mampu menampung kegiatan pendidikan yang diperlukan masyarakat.
Namun karena terbatasnya tempat dan ruang, mulai dirasakan tidak dapat menampung animo
masyarakat yang ingin belajar. Maka dilakukanlah berbagai pengembangan secara bertahap
hingga berdirinya lembaga pendidikan Islam yang secara khusus berfungsi sebagai sarana
menampung kegiatan pembelajaran sesuai dengan tuntutan masyarakat saat itu. Dari sinilah
mulai muncul istilah surau, meunasah dan pesantren.
1. Surau
Istilah surau sebagai lembaga pendidikan Islam muncul di Minangkabau, bahkan istilah ini
sudah dikenal sebelum datangnya Islam. Surau dalam sistem adat Minangkabau adalah
kepunyaan suku atau kaum sebagai pelengkap rumah gadang yang berfungsi sebagai tempat
bertemu, berkumpul, rapat, dan tempat tidur bagi anak laki-laki yang telah akil baligh dan
orangtua yang uzur.
Setelah Islam datang, fungsi surau tidak berubah, hanya saja fungsi keagamaannya semakin
penting yang diperkenalkan pertama kali oleh Syeikh Burhanuddin di Ulakan, Pariaman. Pada
masa itu, eksistensi surau di samping sebagai tempat shalat juga digunakan Syekh Burhanuddin
sebagai tempat mengajarkan ajaran Islam, khususnya tarekat (suluk) yang dikenal dengan nama
tarekat Sattariyah. Melalui tarekat ini, Syekh Burhanuddin menanamkan ajaran Islam kepada
masyarakat luas di sekitar Minangkabau.
Semula, lembaga pendidikan surau ini hanya mengajarkan metode membaca Al-Qur’an dan
beberapa ilmu Islam seperti aqidah, akhlak, dan ibadah. Namun secara bertahap sesuai
perkembangan zaman, eksistensi surau sebagai lembaga pendidikan Islam mengalami kemajuan,
termasuk waktu pelaksanaan kegiatan belajar tidak lagi hanya pada malam hari saja, tapi sudah
dilakukan pada siang hari. Dan sedikitnya ada dua jenjang pendidikan surau pada era ini, yaitu:
1) Pengajaran Al-Qur’an
Untuk mempelajari Al-Qur’an ada dua macam tingkatan, yakni
a. Pendidikan Rendah, materi pelajaran pada pendidikan rendah ini mencakup:
pelajaran memahami ejaan huruf Al-Qur’an dan membaca Al-Qur’an yang dilaksanakan dengan
metode praktik dan latihan
2) Pelajaran cara berwudhu dan tata cara shalat yang dilakukan dengan metode praktik dan
menghafal
3) Pelajaran tentang keimanan, terutama yang berhubungan dengan sifat dua puluh yang
dipelajari dengan metode menghafal melalui lagu
3. pelajaran akhlak yang dilakukan dengan metode cerita tentang Nabi-Nabi dan orang-orang
shaleh.
b. Pendidikan Atas
Materi pelajaran pada pendidikan atas ini mencakup pendidikan membaca Al-Qur’an dengan
lagu, kasidah, barzanji, tajwid, dan kitab perukunan. Lama pendidikan untuk kedua jenis
pendidikan tersebut tidak ditentukan. Seorang siswa baru dapat dikatakan tamat bila ia telah
mampu menguasai setiap materi yang diajarkan dengan baik.
2) Pengajian Kitab
Materi pendidikan pada jenjang ini meliputi: ilmu nahwu dan shorf, ilmu fikih, ilmu tafsir,
dan ilmu-ilmu lainnya. Metode pengajarannya adalah dengan membaca sebuah Kitab Arab dan
kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa Melayu, setelah itu baru diterangkan maksudnya.
Adapun penekanan pembelajaran pada jenjang ini mengandalkan kekuatan hafalan. Maka agar
siswa mampu menghafal dengan cepat, metode pengajarannya dilakukan melalui cara
melafalkan materi dengan lagu-lagu.
Sebagai lembaga pendidikan Islam, posisi surau sangat strategis baik dalam proses
pengembangan Islam maupun pemahaman terhadap ajaran-ajaran Islam. Bahkan surau telah
mampu mencetak para ulama besar Minangkabau dan menumbuhkan semangat nasionalisme,
terutama dalam mengusir penjajah Belanda. Namun, seiring perkembangan zaman, metode
pengajaran surau dianggap sudah ketinggalan zaman, sehingga harus dimodernisasi. Maka tak
heran, bila pendidikan surau saat ini sangat sulit dijumpai.
2. Meunasah
Istilah meunasah sebagai lembaga pendidikan Islam dikenal pada masyarakat Aceh. Sebagian
orang mengatakan bahwa istilah meunasah ini berasal dari kata Arab, yaitu Madrasah. Meunasah
secara fisik merupakan satu bangunan yang terdapat di setiap gampong yang berbentuk seperti
rumah panggung tetapi tidak mempunyai jendela dan bagian-bagian lain. Bangunan ini
digunakan sebagai tempat belajar dan berdiskusi serta membicarakan masalah-masalah yang
berhubungan dengan kemasyarakatan. Sama seperti kebiasaan anak laki-laki di Minangkabau
yang tinggal di surau, maka para anak muda serta laki-laki yang belum menikah di Aceh juga
menjadikan meunasah sebagai tempat bermalam mereka. Di sinilah anak-anak sejak usia dini di
gampong, dididik dengan berbagai ilmu pengetahuan agama dan kemasyarakatan.
Meunasah dipimpin oleh seorang teungku meunasah. Biasanya, setiap kampung di Aceh
memiliki minimal satu meunasah. Gampong yang memiliki beberapa meunasah, tetap dipimpin
oleh satu teungku, sebagai pasangan dua sejoli dengan keuchik. Maksudnya, walau dalam
gampong terdapat beberapa meunasah, kedudukan keuchik dan teungku meunasah tetap seperti
ayah dan ibu (yah dan ma) yang memiliki tugas dan wewenang masing-masing serta saling
membantu satu sama lain.
Mengenai peran meunasah, Syofwan Idris (2001) sebagaimana yang dikutip oleh Sulaiman
Tripa dalam artikel yang dimuat di http://www.acehinstitute.org menyebutkan bahwa Meunasah
sebenarnya bukan saja lembaga pendidikan tetapi merupakan lembaga yang banyak sekali
fungsinya dalam masyarakat gampong. Di sini orang mengaji, berjama’ah, bermusyawarah,
mengadili pencuri, mengadakan dakwah, mengadakan kenduri, sebagai pos keamanan dan
tempat tidur anak muda yang belum kawin, dan duda yang berpisah dengan isterinya. Dan
lembaga seperti ini memberikan pendidikan yang sangat komprehensif, aktual dan terpadu
kepada anak-anak.
Sebenarnya dalam budaya adat Aceh, peran meunasah dan masjid merupakan satu kesatuan
yang tak pernah bisa dipisahkan. Kedua lembaga ini merupakan simbol/logo identitas keacehan
yang telah berkontribusi fungsinya membangun pola dasar SDM masyarakat menjadi satu
kekuatan semangat yang monumental, historis, herois dan sakralis. Fungsi lembaga ini memiliki
muatan nilai-nilai aspiratif, energis, Islamis, menjadi sumber inspiratif, semangat masyarakat
membangun penegakan keadilan dan kemakmuran serta menentang kedhaliman dan penjajahan.
Fungsi-fungsi itu antara lain :
1. Fungsi Meunasah, sebagai tempat ibadah/shalat berjamaah; dakwah dan diskusi;
musyawarah/mufakat; penyelesaian sengketa/damai; pengembangan kreasi seni; pembinaan dan
posko generasi muda; forum asah terampil/olahraga; serta sebagai pusat ibukota/pemerintahan
gampong.
2. Fungsi Mesjid, sebagai tempat ibadah/Jum`at; pengajian pendidikan; musyawarah/
penyelesaian sengketa/damai; dakwah; pusat kajian dan sebaran ilmu; acara pernikahan; serta
sebagai simbol persatuan dan kesatuan umat.
Dari poin-poin di atas menunjukkan bahwa fungsi meunasah dan masjid memiliki peran yang
sama, yakni sebagai lembaga pengkaderan dan pembinaan umat yang diharapkan mampu
melahirkan generasi serta masyarakat berkualitas guna mewujudkan kesejahteraan masyarakat
yang aman damai, baldatun thayyibatun wa rabbun ghafur.
Sebagai lembaga pendidikan tingkat dasar, keberadaan meunasah sangat mempunyai arti di
Aceh. Semua orangtua memasukkan anaknya ke meunasah. Dengan kata lain, meunasah
merupakan madrasah wajib belajar bagi masyarakat Aceh masa lalu. Oleh karena itu, tidaklah
mengherankan apabila orang Aceh mempunyai fanatisme agama yang tinggi. Dan bahkan hingga
saat ini, eksistensi meunasah tetap dipertahankan sebagai lembaga pendidikan Islam non formal.
Selain meunasah, di Aceh juga sudah ada dan berkembang sejak lama lembaga pendidikan
Islam yang bernama “Dayah”. Dayah adalah kata yang digunakan untuk sebuah lembaga
pendidikan Islam yang sama dan setara dengan pesantren. Dan sehubungan dengan kesamaan
makna dan fungsi antara dayah dan pesantren, maka untuk pembahasan mengenai “dayah” akan
penulis rangkumkan dalam pembahasan pesantren.
3. Pesantren
Menurut asal katanya, pesantren berasal dari kata santri yang mendapat imbuhan awalan pe
dan akhiran an yang menunjukkan tempat. Dengan demikian, pesantren artinya tempat para
santri. Sedangkan menurut Sudjoko Prasojo bahwa Pesantren adalah lembaga pendidikan dan
pengajaran agama, umumnya dengan cara non-klasikal, dimana seorang kiayi mengajarkan ilmu
agama Islam kepada santri-santri berdasarkan kitab-kitab yang ditulis dalam bahasa Arab oleh
ulama abad pertengahan, dan para santri biasanya tinggal di pondok (asrama) dalam pesantren
tersebut. Bagi masyarakat Aceh, istilah pesantren lebih dikenal dengan nama “dayah”.
Pesantren adalah lembaga pendidikan Islam asli Indonesia dan memiliki akar sangat kuat
dalam kehidupan masyarakat. Keberadaan sistem pendidikan pesantren bahkan telah ada jauh
sebelum kedatangan Islam di negeri ini, yaitu pada masa Hindu-Budha. Pada saat itu pesantren
merupakan lembaga pendidikan keagamaan yang berfungsi mencetak elit agama Hindu-Budha.
Sehingga dalam hal ini tak heran bila C.C. Berg berpendapat bahwa istilah “santri” itu berasal
kata India Shastri, berarti orang-orang yang tahu buku-buku suci Agama Hindu, atau seorang
sarjana ahli kitab suci Agama Hindu. Kata Shastri sendiri berasal dari kata shastra yang berarti
buku-buku suci, buku-buku Agama atau pengetahuan. Terlepas benar tidaknya istilah tersebut,
yang jelas kehadiran lembaga pendidikan pesantren tidak dapat dipisahkan dari tuntutan umat
Islam hingga saat ini, serta telah menjadi pusat berlangsungnya proses pembelajaran ilmu-ilmu
keislaman bagi masyarakat Indonesia. Bahkan dalam perspektif kependidikan, pesantren
merupakan satu-satunya lembaga pendidikan yang tahan terhadap berbagai arus modernisasi.
Dengan kata lain, pesantren dapat memposisikan dirinya sebagai lembaga pendidikan yang
mampu bersaing dan sekaligus bersanding dengan sistem pendidikan modern yang bermunculan
dari waktu ke waktu.
Bertitik tolak dari akar sejarah pesantren atau sebut saja asal-usul pesantren tidak bisa
dipisahkan dari sejarah pengaruh Walisongo abad 15-16 di Jawa. Pesantren merupakan lembaga
pendidikan Islam yang unik di Indonesia. Walisongo adalah tokoh-tokoh penyebar Islam di Jawa
abad 16 – 15 yang telah berhasil mengkombinasikan aspek-aspek sekuler dan spiritual dalam
memperkenalkan Islam pada masyarakat. Keunikan yang dimaksud adalah
Hampir semua pesantren di Indonesia ini dalam mengembangkan pendidikan
kepesantrenannya berkiblat pada ajaran Walisongo. Kemudian seiring perkembangan zaman dan
keilmuwan yang dimiliki oleh para pendiri pesantren sesudahnya, maka corak pesantren-
pesantren di Indonesia mulai terlihat bervariasi.
Meski begitu, secara umum ciri-ciri pesantren dapat kita lihat sebagai berikut:
1. ada Kiyai, yang mengajar dan mendidik;
2. ada santri, yang belajar dari kiyai;
3. ada masjid, tempat untuk menyelenggarakan pendidikan, shalat berjamaah dan sebagainya; dan
4. ada pondok, tempat untuk tinggal para santri.
Di samping ciri-ciri di atas, ada juga pesantren yang memiliki fasilitas-fasilitas pendukung
lainnya, seperti sarana olahraga dan ruang keterampilan dan pelatihan, yang tentunya disesuaikan
dengan kebutuhan dan kemampuan pesantren itu sendiri.
Mengenai materi pelajaran dan metode pengajaran, biasanya pesantren mengajarkan kitab-
kitab dalam bahasa Arab, materi tersebut mencakup pelajaran Al-Qur’an, tajwid serta tafsir,
aqa’id dan ilmu kalam, fiqih dan ushul fiqh, hadits dan musthalahul hadits, bahasa Arab dengan
ilmu-ilmu qawaidhnya, tarikh, mantiq dan tasawuf. Dan metode yang digunakan adalah metode
ceramah, hafalan, bahkan ada juga yang menggunakan sistem klasikal dengan metode
pembelajaran yang bervariasi. Di beberapa pesantren, ada yang selain memberikan pelajaran dan
pendidikan agama, juga memberikan wiridan, seperti Naqsabandiyah, Syatariyah, dan lain-lain.
Ada pula yang menambahkan kegiatan-kegiatan di luar pendidikan formal, seperti pramuka,
ketrampilan, olahraga dan sebagainya, sesuai kemampuan masing-masing pondok pesantren.
Meski begitu, satu hal yang sama dari pondok-pondok pesantren tersebut adalah pada penekanan
pendidikan dan pengajaran agama Islam, yang menjadi ciri khas dari pesantren tersebut.
Selain itu, ada beberapa ciri dan keunikan yang sangat menonjol dalam kehidupan pesantren,
sehingga membedakannya dengan sistem pendidikan lainnya. Sedikitnya ada delapan ciri
pendidikan pesantren tersebut, yaitu:
1. Adanya hubungan yang akrab antara santri dan kiayi.
2. Tunduknya santri kepada kiyai.
3. Hidup hemat dan sederhana.
4. Semangat hidup mandiri.
5. Jiwa tolong menolong dan suasana persaudaraan.
6. Penekanan pada pendidikan disiplin.
7. Berani menderita untuk mencapai suatu tujuan.
8. Santri memperoleh kehidupan agama yang baik
b) Lembaga Pendidikan Islam sesudah Indonesia Merdeka
Setelah Indonesia merdeka dan mempunyai Departemen Agama, maka secara instantional
Departemen Agama diserahi kewajiban dan bertanggung jawab terhadap pembinaan dan
pengembangan pendidikan agama dalam lembaga-lembaga tersebut. Lembaga pendidikan agama
islam ada yang berstatus negeri dan ada yang berstatus swasta seperti :
1. Madrasah Ibtidaiyah Negeri (Tingkat Dasar)
2. Madrasah Tsawiyah Negeri (Tingkat Menengah Pertama)
3. Madrasah Aliyah Negeri (tingkat Menengah Atas). Dahulunya berupa Sekolah Guru dan
Hakim Agama (SGHA) dan Pendidikan Hakim Islam Negeri (PHIN)
4. Perguruan Tinggi Agama Islam Negeri (PTAIN) yang kemudian berubah menjadi IAIN
(Institut Agama Islam Negeri)
PENUTUP
KESIMPULAN
Perkembangan studi Islam di dunia barat, disebabkan oleh adanya kontak langsung antara
orang barat dengan orang islam, adanya pelajar barat yang belajar kedunia islam dan adanya
gerakan penerjemahan kitab. Islam lebih dikenal didunia barat adalah
sebagai Sains daripada Studi. Salah satu contoh kemajuan ilmu pengetahuan dunia barat adalah
adanya Ekspedisi Napoleon ke Mesir.
Kmudian Pada perkembangan sejarah studi Islam di dunia timur muncul perguruan tinggi
yang terkenal dan sebagian daripadanya masih eksis sampai sekarang ini seperti al-Azhar di
Kairo Mesir dan perguruan tinggi Kairwan di Maroko. Dari perguruan Tinggi tersebut terdapat
alumni yang merupakan pejuang nasionalis muslim yang terkenal. Penyebab utama kemunduran
dunia muslim khususnya dibidang ilmu pengetahuan adalah terpecahnya kekuatan politik yang
digoyang oleh tentara bayaran Turki. Kemudian dalam kondisi demikian datang musuh dengan
membawa bendera perang salib. Baghdad sebagai pusat ilmu pengetahuan ketika itu dihancurkan
Hulaghu Khan 1258 M. Pusat-pusat studi termasuk yang dihancurkan oleh Hulaghu.