Anda di halaman 1dari 13

MAKALAH

DINAMIKA PERKEMBANGAN STUDI ISLAM

Disusun Guna Memenuhi Tugas

Mata Kuliah : Metodologi Studi Islam

Dosen Pengampu : Ahmad Zaky Fuadi, M.PD.I

Disusun Oleh:

Kelompok 2

1. Indah Sri Lestari (1950110199)


2. Roudlotul Inayah (1950110216)
3. Nugroho (1950110219)
4. Ahmad Sihabul Milah (1950110234)

Kelas/Semester : ES-F/I

INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI KUDUS

FAKUTAS EKONOMI DAN BISNIS ISLAM

EKONOMI SYARIAH

2019
BAB I

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG
Perkembangan Studi Islam berkaitan dengan perkembangan
pendidikan islam yang membahas kurikulum dan kelembagaannya di
seluruh dunia. Studi Islam yang awalnya hanya berkembang di dunia islam
atau negara islam, kini sudah berkembang di seluruh dunia baik di negara
islam maupun negara non islam.
Penyelenggaraan studi islam telah ikut mewarnai dinamika
masyarakat baik di dunia islam sendiri maupun di dunia barat. Di dunia
islam misalnya, kegiatan studi islam berpusat di kota Baghdad sedangkan
di dunia barat juga mendirikan pusat kebudayaan yang merupakan
tandingannya kota Baghdad.
Dalam tradisi pendidikan islam, institusi pendidikan tinggi dikenal
dengan nama al-jami’ah. al-jami’ah yang dimaksudkan sebagai pendidikan
tinggi tidak pernah menjadi universitas yang difungsikan semata mata untuk
mengembangkan penelitian berdasarkan nalar. Sepanjang sejarah
diabdikannya al-jami’ah ada penekanan pada beberapa bidang seperti, fiqih,
tafsir, dan hadits, walaupun diberi ruang gerak tetapi tidak dimaksudkan
berpikir sebebas bebasnya.

B. RUMUSAN MASALAH
1. Bagaimana Sejarah Awal Studi Islam ?
2. Bagaimana Perkembangan Studi Islam di Timur ?
3. Bagaimana Perkembangan Studi Islam di Barat ?
4. Bagaimana Perkembangan Studi Islam di Indonesia ?
C. TUJUAN
1. Untuk Mengetahui Perkembangan Studi Islam di Timur
2. Untuk Mengetahui Perkembangan Studi Islam di Barat
3. Untuk Mengetahui Perkembangan Studi Islam di Indonesia
BAB II

PEMBAHASAN

A. Sejarah Awal Studi Islam


Pendidikan islam pada awalnya dilakukan di masjid masjid. Pada
awalnya Nabi dan para sahabat mempratekkan studi islam dengan cara
menyampaikan khutbah di masjid. Namun hal itu belum bisa disebut studi
islam karena belum ada kurikulum yang sistematis dan terstruktur. Namun
berkat kegigihan para Sahabat dalam mendalami, mengembangkan dan
menyebarkan ajaran islam, studi islam dapat berkembang dengan baik pada
masa mendatang. Karena itulah studi islam terkait erat dengan
perkembangan pendidikan islam yang membahas kurikulum dan
kelembagaannya.
Mahmud Yunus menjelaskan bahwa pusat-pusat kegiatan studi
islam adalah Mekkah dan Madinah (Hijaz), Basrah dan Kufah(Irak),
Damaskus dan Palestina( Syam), dan Fistat (Mesir). Pada masa kejayaan
islam pusat studi islam berada di Baghdad sedangkan di Eropa juga
mendirikan pusat studi di Spanyol dan menjadi tandingan pusat studi di
Baghdad.
Dengan mengkaji sejarah peradaban islam, ditemukan ragam model
diseminasi dan internalisasi nilai keislaman yang berlaku di masyarakat
muslim. Diseminasi dan internalisasi nilai keislaman melalui beragam pusat
pembelajaran, seperti kuttab, masjid, observatorium, perpustakaan,
madrasah, khanqah, pesantren hingga sekolah dan perguruan tinggi.1
Di sisi lain, munculnya studi islam tidak terlepas dari semangat
orang barat untuk mengetahui perihal kehidupan orang Timur dalam
berbagai aspeknya seperti, agama, sosial, budaya, ekonomi dan politik. Pada
akhirnya mereka melakukan penelitian tentang berbagai aspek kehidupan
orang Timur yang menyebabkan studi islam juga terdorong untuk dikaji.

1
Edi Susanto, Dimensi Studi Islam Kontemporer, Prenadamedia Group, Jakarta, 2016, 11
Penelitian yang mereka lakukan kemudian disebut dengan istilah
orientalisme.
Pertumbuhan studi islam tidak terlepas dari kontribusi para ilmuwan
barat tetapi bukan berarti diluar mereka identifikasinya rendah. Tingginya
kontribusi ilmuwan barat dikarenakan beberapa hal seperti, infrastruktur
riset yang baik, tradisi riset yang baik dan benar, memiliki kemampuan
metodologis yang baik, referensi yang lebih dan lebih terbuka bahkan lebih
berani melakukan penelitian hinga sampai pada suatu kesimpulan.2
Studi islam secara akademis (islamologi) menemukan momentum
pemantapannya sejak 1950-an, dimana di saat itu studi islam mulai
ditawarkan di universitas bergengsi di Amerika Serikat. Studi islam saat itu
tidak mempertanyaan kesahihan teks Al-Qur’an tetapi mengkaji ketepatan
interpretasi terhadap ayat-ayat Al-Qur’an. Karena itu yang dikaji secara
akademis adalah pemikiran para ulama terdahulu dalam memahami islam
beserta latar belakangnya.
Istilah Islamic studies secara akademis mulai menyebar secara luas
melalui penggunaan islam sebagai sebuah spesifikasi jurnal profesional dan
jurusan di lembaga akademik. Di Australia studi islam ditempatkan sebagai
elemen studi kawasan (area studies). Pengkajian islam dari sisi historisnya
adalah kontribusi yang dipersembahkan oleh universitas-universitas di
Australia terhadap studi islam.
B. Studi Islam di Timur
Di pendidikan islam institusi pendidikan tinggi dikenal dengan Al-
jami’ah, yang secara historis terkait dengan masjid jami’ (tempat
berkumpul). Al-jami’ah yang paling awal dengan pretensi sebagai lembaga
pendidikan tinggi yaitu Al-Azhar di Kairo, Zaituna di Tunis, dan
Qarawiyyin di Fez3. Akan tetapi al-jami’ah yang diakui sebagai universitas
tertua di dunia lebih tepat disebut “madrasah tinggi” daripada “universitas”

2
Edi Susanto, Dimensi Studi Islam Kontemporer, Prenadamedia Group, Jakarta, 2016, 13
3
Supiana, Metodologi Studi Islam, Remaja Rosdakarya, Bandung, 2017, 12
setelah terjadi pembaruan. Al-jami’ah yang dimaksudkan sebagai
pendidikan tinggi tidak pernah difungsikan semata-mata untuk
mengembangkan penelitian bebas berdasarkan nalar, sebagaimana di Eropa
pada zaman modern. Bahkan universitas di Eropa yang akarnya dari Al-
jami’ah tidak bebas sepenuhnya. Universitas pada abad pertengahan pada
umunya berafiliasi dan terkait dengan gereja.
Sepanjang sejarah islam, dalam diabdikannya madrasah atau al-
jami’ah terdapat penekanan dalam beberapa bidang ilmu seperti, fiqih,
tafsir, dan hadits. Walaupun diberi ruang gerak namun hal tersebut tidak
dimaksudkan untuk berpikir sebebas-bebasnya, kecuali dalam memberikan
penafsiran baru.
Sebelum kehancuran Mu’tazilah, ilmu umum berdasarkan kajian
empiris sudah dipelajari di madrasah. Namun ilmu-ilmu umum tersebut
dihapus karena mereka menaruh curiga terhadap ilmu-ilmu yang berbasis
nalar. Karena hal tersebut orang-orang yang berminat dalam ilmu-ilmu
umum memutuskan untuk belajar sendiri-sendiri. Jadi, pada masa itu sains
mencapai puncaknya tetapi tidak berasal dari madrasah melainkan hasil
kegiatan ilmiah individu ilmuwan muslim.
Menurut sejarah, ada empat kesarjanaan tinggi yang disebut-sebut
sebagai kiblat pengembangan studi islam di dunia muslim, yang kemudian
diikuti para orientalis di kalangan sarjana barat.4 Pertama, madrasah
Nizhamiyah di Nisyafur. Kedua, madrasah di Baghdad yang dibangun pada
tahun 455/1063 dan dilengkapi perpustakaan termasyhur, Bayt Al-Hikmah.
Sebagai madrasah terbesar pada masanya pengajar di sana adalah para
sarjana yang memiliki reputasi tinggi seperti Abu Ishaq al-Syirazi, al Kiya
al Harassi, dan Al Ghazali. Madrasah tersebut berdiri hampir dua abad,
namun pada akhirnya madrasah tersebut hancur karena adanya serangan
dari Hulagu Khan. Hancurnya madrasah tersebut sekaligus sebagai lambang

4
Supiana, Metodologi Studi Islam, Remaja Rosdakarya, Bandung, 2017, 13-15
“kehancuran islam” pada masa pemerintahan Dinasti Abbasiyah. Ketiga,
universitas Al-Azhar di Kairo. Universitas tersebut tidak terlepas dari
eksistensi Abbasiyah-Syiah yang pengaruh kekuatan politiknya melemah.
Saat itulah wilayah-wilayah kekuasaan Dinasti Abbasiyah menuntut
pengotonomian.
Kurikulum yang dikembangkan pada masa itu lebih banyak
berorientasi pada masalah-masalah keislaman, astronomi dan kedokteran.
Pada masa itu kurang lebih seratus karya tentang Matematika, Astronomi,
Filsafat, dan Kedokteran telah dihasilkan. Bahkan pada masa al-Muntasir
terdapat perpustakaan yang berisi 200.000 buku.
Pada tahun 567 H/1171 M, Salahudin Al Ayubi merebut kekuasaan
daulat Fathimiyah dan mendirikan daulat Abbasyiyah. Saat itu juga Al
Azhar merubah kurikulumnya dari orientasi Syiah ke Sunni, dan Al Azhar
tetap berdiri hinga saat ini. Tetapi terdapat waktu dimana pamor Al Azhar
menurun yaitu disaat pemerintahan dibawah Dinasti Usmaniyah. Karena hal
tersebut Muhammad Ali mengintervensi Al Azhar dalam membenahi Al
Azhar sejak paruh abad ke-9. Keempat, Universitas Cordova. Pemerintahan
Abdurrahman I dipandang sebagai tonggak kemajuan ilmu dan kebudayaan
di Cordova. Dalam sejarah, Aelhoud dari Bath (inggris) belajar di
universitas Cordova dalam bidang Geometri, Aljabar dan Matematika.
C. Studi Islam di Barat
Kejayaan islam dalam perkembangan ilmu pengetahuan menjadikan
universitas islam dibanjiri mahasiswa dari berbagai kalangan termasuk
ilmuwan ilmuwan barat. Inilah awal kebangkitan (renaissance) barat yang
perlahan mencapai kemajuan gemilang. Kemajuan Bangsa Barat tidak
terlepas dari kegiatan penerjemahan manuskrip-manuskrip berbahas Arab
ke bahasa latin. Hal tersebut telah terjadi sejak abad ke-13 M. Bidang
Filsafat merupakan yang paling menonjol dari kegiatan penerjemahan
manuskrip, sehingga lahirlah aliran Skolastik, Rasionalisme, Empirisme
dan lain-lain.
Dalam sejarah tercatat tokoh yang mengembangkan ilmu dari
penerjemahan manuskrip Arab, seperti Gerbert d’Auvergne dalam bidang
Matematika dan Kedokteran pada abad ke-11. Pada abad ke-12 sekelompok
penerjemah yang diketuai oleh Archdeakon Dominicues Gundasalvi
menerjemahkan himpunan komentar Ibnu Sina dan Al Ghazali. Karya Ibnu
Sina dalam bidang kedokteran yang pertama kali diterjemahkan adalah
Canon of Medicine.
Setelah ilmu pengetahuan islam migran ke Barat dan dikembangkan,
ternyata banyak ajaran islam yang menyimpang dari ajaran yang sebenarnya
karena telah dirasuki paham sekuler. Karena hal itu para sarjana muslim
berusaha melakukan pemurnian ajaran. Mereka melakukan beberapa upaya
seperti, melakukan penulisan ulang terhadap ilmu-ilmu modern dan
menanggalkan ciri-ciri sekularisme. Selain itu, upaya lainnya adalah
mendirikan universitas-universitas islam.
Pada perkembangan selanjutnya, studi islam di Barat memiliki
banyak variasi. Di Chicago University,studi islam menekankan pada bidang
pemikiran islam, bahasa Arab, naskah klasik, dan bahasa-bahasa islam non-
Arab. Di Amerika, studi islam menekankan pada bidang sejarah islam,
bahasa-bahasa islam non-Arab, sastra dan ilmu sosial. Di UCLA (University
of California Los Angeles),studi islam dibagi menjadi empat komponen
yaitu pertama, dalam bidang doktrin dan sejarah islam termasuk pemikiran
islam. Kedua, bahasa Arab dan teks-teks klasik mengenai sejarah, hukum,
dan lain-lain. Ketiga, bahasa-bahasa non-Arab yang muslim seperti Urdu,
Persia,Turki, bahasa yang telah mengantarkan kebudayaan. Keempat, ilmu-
ilmu sosial, sejarah bahasa Arab, Bahasa-bahasa islam, Sosiologi dan lain-
lain.
Di London, studi islam digabungkan dalam School of Oriental and
African Studies. Di Kanada, studi islam menekuni kajian tentang budaya
dan peradaban islam di zaman Nabi Muhammad SAW sampai pada zaman
kontemporer, memahami ajaran islam dan masyarakat muslim di seluruh
dunia, dan bahasa non-Arab yang muslim. Sedangkan di Belanda yang
dulunya menganggap tabu mempelajari islam, tetapi tetap menyisakan
kajian islam di Indonesia meski tidak menekankan sejarah islam.
D. Studi Islam di Indonesia
Perkembangan studi islam dapat dilihat dari perkembangan lembaga
pendidikan, yang berawal dari sistem pendidikan langgar, pesantren, dan
pendidikan di kerajaan-kerajaan hingga muncul sistem kelas. Sistem yang
menonjol dalam studi islam di Indonesia adalah pesantren dan madrasah.
Selain pesantren, kesarjanaan tinggi islam atau lebih dikenal dengan STAIN
dan IAIN menjadi sebuah lembaga yang diminati untuk studi islam secara
komprehensif. STAIN dan IAIN juga dapat dijadikan rujukan untuk
pengembangan studi islam.
Gagasan pendirian kesarjanaan tinggi islam tidak terlepas dari
kesadaran kaum muslim. Hal tersebut dilatarbelakangi oleh beberapa
faktor.5 Pertama, untuk mengakomodasi kalangan yang tidak memiliki
kesempatan melanjutkan ke Timur Tengah. Kedua, untuk mewujudkan
lembaga pendidikan islam sebagai lanjutan dari madrasah dan pesantren.
Gagasan-gagasan ini tidak hanya berasal dari kalangan agamawan tetapi ada
juga yang berasal dari kalangan terpelajar muslim tamatan sekolah
“sekuler”.
Pada tahun 1940, para sarjana muslim mendirikan Sekolah Tinggi
Islam (STI) di Sumatera Barat. Tetapi STI hanya bertahan selama dua tahun
karena adanya pendudukan Jepang. Kemudian pada tanggal 8 Juli 1945
beberapa tokoh nasional seperti, Muhammad Hatta, Muhammad Natsir,
KH. Wahid Hasyim dan KH. Mas Mansyur mendirikan STI di Yogyakarta.
Saat masa revolusi kemerdekaan, STI berubah menjadi UII (Universitas
Islam Indonesia) dengan empat fakultas yaitu, Fakultas Agama, Hukum,
Ekonomi, dan Pendidikan.

5
Supiana, Metodologi Studi Islam, Remaja Rosdakarya, Bandung, 2017, 19
Lembaga pendidikan islam tersebut baru terealisasikan secara
formal pada tahun 1950 di Yogyakarta. Bersamaan dengan itu Universitas
Gajah Mada berubah menjadi universitas negeri, dan diwaktu yang sama
pula ada pemberian kesarjanaan tinggi Agama Islam (PTAIN) pada
sekelompok islam dengan mengubah status Fakultas Agama VII. Tidak
lama kemudian, atau lebih tepatnya pada tanggal 1 Juli 1957 departemen
agama mendirikan Akademi Dinas Ilmu Agama (ADIA).6
Jumlah mahasiswa PTAIN dalam satu dekade semakin banyak,
tidak hanya dari dalam negeri tetapi ada mahasiswa yang berasal dari negara
tetangga seperti Malaysia. Karena hal itu pemerintah mengeluarkan PP
No.11 yang menggabungkan PTAIN dan ADIA menjadi Institut Agama
Islam Negeri (IAIN). Seiring perkembangan zaman, kelembagaan dan
kurikulum kesarjanaan tinggi islam mengalami berbagai inovasi, tetapi
inovasi tersebut belum diimbangi dengan ketersediaan dosen ahli dalam
bidang ilmunya.
Beberapa IAIN/STAIN telah mampu mengembangkan ilmu
pengetahuan dalam berbagai disiplin ilmu. Hal tersebut tidak hanya dalam
ilmu agama tetapi juga dalam ilmu-ilmu umum, seperti eksakta, sosial dan
lain-lain. Di samping itu juga beberapa IAIN/STAIN membuka program
studi umum bahkan fakultas umum. Beberapa IAIN/STAIN yang lebih
unggul dalam mengembangkan ilmu pengetahuan daripada IAIN/STAIN
lain di Indonesia sudah tercatat ada beberapa IAIN/STAIN seperti, IAIN
Syarif Hidayatullah di Jakarta, IAIN Sunan Kalijaga di Yogyakarta, IAIN
Sunan Gunung Djati di Bandung, IAIN Alauddin di Makassar, dan STAIN
Malang di Jawa Timur. Studi islam interdisipliner dalam IAIN/STAIN
tersebut mendorong lembaga-lembaga tersebut menjadi sebuah universitas
yang tidak hanya mempelajari ilmu Agama tetapi juga ilmu-ilmu umum.
Karena hal tersebut, pada tahun 2017 telah tercatat enam Universitas Islam

6
Supiana, Metodologi Studi Islam, Remaja Rosdakarya, Bandung, 2017, 19
Negeri (UIN) yaitu, UIN Syarif Hidayatullah, UIN Yogyakarta, UIN Sunan
Gunung Jati, UIN Malang, dan UIN Alauddin.
BAB III

PENUTUP

a. Simpulan
Pada awalnya studi islam dilakukan Nabi dan para sahabat dengan
cara berkhutbah di masjid-masjid, namun hal tersebut belum bisa dikatakan
sebagai studi islam karena belum adanya kurikulum yang sistematis dan
terstruktur. Namun seiring berjalannya waktu studi islam menyebar luas
hingga ke seluruh dunia dan terbentuk kurikulum yang lebih sistematis dan
terstruktur.
Dalam pendidikan islam institusi pendidikan tinggi disebut Al-
Jami’ah. al- Jami’ah paling awal yang berpretensi menjadi lembaga
pendidikan tinggi salah satunya adalah Al Azhar di Kairo. Al-Jami’ah yang
berada di negara timur itu diakui sebagai universitas tertua di dunia. Namun
karena adanya pembaruan sebutan “madrasah tinggi” lebih tepat diberikan
pada Al-Jami’ah itu daripada “universitas”. Menurut sejarah, ada empat
kesarjanaan tinggi yang disebut sebut menjadi kiblat studi islam di dunia
muslim, yaitu madrasah Nizhamiyah, madrasah di Baghdad, Universitas Al
Azhar, dan Universitas Cordova.
Studi islam tidak hanya menyebar di kalangan negara islam tetapi
tersebar di kalangan negara bukan islam seperti dunia Barat. Studi islam di
dunia barat berawal dari adanya keingintahuan para ilmuwan barat tentang
berbagai aspek kehidupan orang timur. Penerjemahan manuskrip-
manuskrip berbahasa Arab ke bahasa latin yang sudah terjadi sejak abad ke-
13 M adalah salah satu cara untuk mempelajari tentang kehidupan orang
timur di bidang ilmu pengetahuan. Setelah ilmu pengetahuan orang timur
migran ke dunia barat, para ilmuwan disana mengembangkan ilmu
pengetahuan terebut. Namun dari pengembangan tersebut banyak ajaran
islam yang menyimpang dari ajaran yang sebenarnya, karena hal itu para
ilmuwan islam melakukan beberapa upaya untuk memurnikan ajaran islam.
Perkembangan studi islam di Indonesia bisa dilihat dari
perkembangan lembaga pendidikan. Sistem pendidikan islam di Indonesia
yang lebih menonjol adalah madrasah dan pesantren. Selain itu,
STAIN/IAIN juga banyak diminati untuk pengembangan studi islam. Pada
tahun 1940 STI didirikan di Sumatera Barat tetapi hanya bertahan dua
tahun. Lalu pada tahun 1945 STI kembali berdiri di Yogyakarta, dan pada
masa revolusi kemerdekaan STI merubah namanya menjadi UII. Seiring
berjalannya waktu sistem kurikulum dan kelembagaan mengalami berbagai
inovasi. Di Indonesia sendiri terdapat beberapa IAIN/STAIN yang lebih
unggul mengembangkan ilmu pengetahuan daripada IAIN/STAIN yang
lainnya. Beberapa IAIN/STAIN yang telah berhasil mengembangkan ilmu
pengetahuan seperti, IAIN Syarif Hidayatullah di Jakarta, IAIN Sunan
Kalijaga di Yogyakarta, IAIN Sunan Gunung Djati di Bandung, IAIN
Alauddin di Makassar, dan STAIN Malang di Jawa Timur. Karena hal
tersebut, pada tahun 2017 telah tercatat enam Universitas Islam Negeri
(UIN) yaitu, UIN Syarif Hidayatullah, UIN Yogyakarta, UIN Sunan
Gunung Jati, UIN Malang, dan UIN Alauddin.

b. Saran
Menyadari bahwa penulis masih jauh dari kata sempurna, kedepannya
penulis akan lebih fokus dan detail dalam menjelaskan tentang makalah
diatas dengan sumber – sumber yang lebih banyak yang tentunya dapat
dipertanggung jawabkan.
DAFTAR PUSTAKA

Supiana. 2017. Metodologi Studi Islam. Bandung: Remaja Rosdakarya.

Susanto Edi. 2016. Dimensi Studi Islam Kontemporer. Jakarta: Prenadamedia


Group.

Anda mungkin juga menyukai