Anda di halaman 1dari 14

ISLAMISASI ILMU MENURUT ISMAIL RAJI AL-FARUQI

Sudirman – 221310017*1
Nabila Firliya Zahra – 221310005*2
Aqidah Filsafat Islam
Fakultas Ushuluddin Dan Adab
UIN Sultan Maulana Hasanuddin Banten
Jl. Raya Syeikh Nawawi Bantaniy No. 30 Curug Kota Serang, Kemanisan,
Curug
017sudirman@gmail.com
nfirliyazahra@gmail.com

Abstrak
Pengajaran agama Islam tidak hanya terbatas pada pesantren, tetapi juga diterapkan di lembaga
pendidikan resmi seperti sekolah umum yang memiliki orientasi agama Islam. Di Indonesia,
lembaga pendidikan tertua dikenal dengan sebutan pesantren dan madrasah, sedangkan sistem
pendidikan Belanda disebut sebagai sekolah. Pembedaan ini menjadi awal dari pemisahan antara
lembaga pendidikan agama dan umum. Metode yang digunakan oleh penulis dalam penelitian ini
yaitu metode kepustakaan (Library Research),dengan menelaah buku-buku, dan artikel ilmiah
yang berkaitan dengan tema yang dibahas. Oleh karena itu, penulis menggunakan pendekatan
kualitatif dengan mengumpulkan dan mengolah bahan kajian yang sesuai dengan judul. Ismail
Razi al-Faruqi lahir pada tanggal 1 Januari 1921 M di Jaffa, Palestina, sebelum wilayah tersebut
diduduki Israel. Ia menerima pendidikan awalnya di Collège de Ferese di Lebanon, yang bahasa
pengantarnya adalah Prancis. Menurut Al-Faruqi, perkembangan ilmu pengetahuan modern telah
membawa pencapaian yang luar biasa di berbagai bidang. Namun, kemajuan ini juga membawa
dampak yang mengkhawatirkan. Akibat paradigma sekuler, ilmu pengetahuan modern menjadi
kering dan terpisah dari nilai-nilai tauhid, sebuah prinsip global yang mencakup lima kesatuan:
kesatuan Tuhan, alam, kebenaran, kehidupan, dan kemanusiaan. Dapat disimpulkan dari
pemabahasan di atas bahsawanya Al Faruqi adalah sosok yang memiliki ide cemerlang untuk
menyelesaikan persoalan yang dihadapi umat Islam. Pemikiran ini tidak dapat dipisahkan dari
konsep tauhid, karena tauhid merupakan hakikat Islam yang mencakup seluruh aktivitas manusia.
Begitu pula gagasannya tentang Islamisasi ilmu pengetahuan bagi al-Faruqi, Islamisasi ilmu
berarti Islamisasi ilmu pengetahuan modern dengan melakukan kegiatan keilmuan seperti
penghapusan, modifikasi, penafsiran ulang, dan adaptasi komponen-komponennya.
Kata Kunci: Islam; Ilmu Pengetahuan; Islamisasi
Abstract

The teaching of Islam is not only limited to Islamic boarding schools, but is also applied in official
educational institutions such as public schools that have an Islamic orientation. In Indonesia, the
oldest educational institutions are known as pesantren and madrasah, while the Dutch education
system is referred to as schools. This distinction was the beginning of the separation between
religious and public educational institutions. The method used by the author in this research is the
library research method, by examining books and scientific articles related to the theme discussed.
Therefore, the author uses a qualitative approach by collecting and processing study materials in
accordance with the title. Ismail Razi al-Faruqi was born on January 1, 1921 AD in Jaffa,
Palestine, before the region was occupied by Israel. He received his early education at the
Collège de Ferese in Lebanon, where the language of instruction was French. According to Al-
Faruqi, the development of modern science has brought tremendous achievements in various
fields. However, this progress has also had a worrying impact. As a result of the secular
paradigm, modern science has become dry and separated from the values of tawhid, a global
1
principle that includes five unities: the unity of God, nature, truth, life, and humanity. It can be
concluded from the above discussion that Al Faruqi is a figure who has brilliant ideas to solve the
problems faced by Muslims. This thinking cannot be separated from the concept of tawhid,
because tawhid is the essence of Islam which covers all human activities. Likewise, his idea of the
Islamization of science for al-Faruqi, Islamization of science means Islamization of modern
science by carrying out scientific activities such as deletion, modification, reinterpretation, and
adaptation of its components.

Keywords: Islam; Science; Islamization

2
PENDAHULUAN
Pengajaran agama Islam tidak hanya terbatas pada pesantren, tetapi juga diterapkan di
lembaga pendidikan resmi seperti sekolah umum yang memiliki orientasi agama Islam. Di
Indonesia, lembaga pendidikan tertua dikenal dengan sebutan pesantren dan madrasah,
sedangkan sistem pendidikan Belanda disebut sebagai sekolah. Pembedaan ini menjadi awal
dari pemisahan antara lembaga pendidikan agama dan umum.1 Kehadiran madrasah dapat
dilihat sebagai respon atas pendirian sekolah yang didominasi oleh pemerintah Belanda dan
cenderung tidak memperhatikan kepentingan masyarakat bawah.

Gerakan dakwah yang dilakukan oleh para walisongo dan para penerusnya, seperti para
santri dan pengikutnya, berhasil melakukan proses Islamisasi Nusantara secara menyeluruh.
Melalui pembangunan surau, masjid, padepokan, atau pesantren, ajaran Islam menyebar ke
seluruh penjuru negeri. Perkembangan lembaga pendidikan dari surau, masjid, dan
pesantren kemudian melahirkan madrasah. Madrasah, sebagai sistem pendidikan yang
merupakan bagian indigenous dari budaya lokal, turut andil dalam proses Islamisasi sistem
pendidikan nasional sebagai respon terhadap dominasi sekolah-sekolah yang didirikan
pemerintah Belanda.2

Universitas yang terkait dengan sains dan teknologi sering diidentikkan dengan istilah
'Islam', yang menandakan orientasi religius yang melekat pada mereka, sebuah fenomena
yang disebut sebagai "Islamisasi ilmu pengetahuan." Dalam praktiknya, pendidikan yang
terislamisasi menempatkan ayat-ayat dan atau hadis sebagai kekuatan pendorong di balik
pembelajaran sains dan teknologi dalam beberapa mata kuliah. Sebagai bagian dari upaya
Islamisasi, beberapa perguruan tinggi negeri seperti Universitas Merdeka Malang,
Universitas Brawijaya Malang, dan lainnya mewajibkan Pendidikan Agama Islam sebagai
mata kuliah yang harus dikuasai sebelum mempelajari mata kuliah lainnya. Semua upaya
tersebut, menurut saya, mencerminkan proses Islamisasi ilmu pengetahuan di lembaga
pendidikan.

Islamisasi ilmu pengetahuan ini melibatkan aktivitas intelektual seperti pengungkapan,


pengaitan, dan penyebaran ilmu pengetahuan sesuai dengan perspektif Islam terhadap
realitas kehidupan manusia. Salah satu tokoh yang sering dikaitkan dengan kajian Islamisasi
dan integrasi ilmu pengetahuan adalah Ismail Raji Al-Faruqi. Al-Faruqi menjelaskan bahwa
Islamisasi dalam tataran konkret berarti mengislamkan disiplin ilmu, termasuk di dalamnya
adalah produksi buku-buku pelajaran di perguruan tinggi yang disesuaikan dengan visi

1
Evi Fatimatur Rusydiyah, Aliran Dan Paradigma Pemikiran Pendidikan Agama Islam Kontemporer, Aliran Dan
Paradigma Pemikiran Pendidikan Agama Islam Kontemporer, 2019.
2
Yanuar Arifin, Pemikiran-Pemikiran Emas Tokoh Pendidikan Islam (DIVA Press, n.d.).
3
Islam. Penelitian tentang Islamisasi Ilmu Pengetahuan menurut Al-Faruqi memiliki daya
tarik tersendiri, karena ide Islamisasi Ilmu Pengetahuan pertama kali muncul dari dirinya.3

Perjalanan akademis Ismail Raji Al-Faruqi mencerminkan proses Islamisasi ilmu


pengetahuan itu sendiri. Al-Faruqi memulai pendidikannya di College Des Lebanon dari
tahun 1926 hingga 1936.4 Perjalanan akademis Ismail Raji Al-Faruqi menunjukkan
pentingnya integrasi ilmu atau pendekatan yang mendekatkan dua kutub yang selama ini
terpisah, yaitu ilmu pengetahuan umum dan agama. Dalam perjalanannya, ia menjelajahi
institusi pendidikan ternama di dunia seperti Universitas Al-Azhar di Kairo, Mesir, yang
terkenal dengan kajian keislamannya, dan Universitas Amerika di Beirut, yang berfokus
pada pengembangan ilmu pengetahuan Barat. Dengan menghadapi dua kutub yang berbeda
ini, Ismail Raji Al-Faruqi mencetuskan gagasan Islamisasi ilmu pengetahuan. Dari catatan
perjalanan akademisnya, Ismail Raji Al-Faruqi memiliki pemahaman yang luas dalam
berbagai disiplin ilmu seperti etika, seni, sosiologi, antropologi, metafisika, politik, dan
pendidikan.5 Gagasan Islamisasi Ilmu Pengetahuan menjadi bagian yang tidak terpisahkan
dari kesehariannya, dengan diskusi, pemikiran, perencanaan, dan mempengaruhi masyarakat
yang dilakukan bersama rekan-rekannya. Seminar-seminar tentang Islamisasi ilmu
pengetahuan sering diadakan, seperti seminar pertama yang diadakan di Universitas Islam di
Islamabad, Pakistan, dan IIIT pada bulan Januari 1982, dengan tema "Islamisasi
Pengetahuan".

Usaha untuk memberi tanggapan itu melahirkan pemikiran tentang antara Islam dan
ilmu pengetahuan yang amat beragam. Tanggapan tersebut dapat berarti usaha apologetis
untuk menegaskan bahwa ilmu pengetahuan yang dikembangkan di Barat sebenarnya
bersifat “islami”. Bisa pula merupakan usaha mengakomodasi sebagian nilai dan gagasan
ilmu pengetahuan modern karena dianggap islami, sambil menolak sebagian lain. Artikel
sederhana ini, akan berusaha memaparkan bagaimana pemikiran Ismail Raji al-Faruqi
mengenai islamisasi ilmu pengetahuan.

METODE PENELITIAN
Metode yang digunakan oleh penulis dalam penelitian ini yaitu metode kepustakaan
(Library Research), dengan menelaah buku-buku, dan artikel ilmiah yang berkaitan dengan
tema yang dibahas. Oleh karena itu, penulis menggunakan pendekatan kualitatif dengan
mengumpulkan dan mengolah bahan kajian yang sesuai dengan judul Islamisasi Ilmu :

3
Akhmad Taufik, M. Dimyati Huda, and Bintu Maunah, “Sejarah Pemikiran Dan Tokoh Modernisme Islam,”
Sejarah Pemikiran Tokoh Modernisme, 2005.
4
Zuhdiah, “Islamisasi Ilmu Ismail Raji Al-Faruqi,” Tadrib 2, no. 2 (2016): 293–313.
5
Muhammad Mursi Sa’id, “Tokoh-Tokoh Besar Islam Sepanjang Sejarah,” Jakarta, 2007.
4
Islamil Raji Al-Faruqi dan metode analisis deskriptif untuk menggambarkan persoalan
terkait tema yang dibahas.6

HASIL DAN PEMBAHASAN


A. Biografi Ismail Raji al-Faruqi
Ismail Razi al-Faruqi lahir pada tanggal 1 Januari 1921 M di Jaffa, Palestina,
sebelum wilayah tersebut diduduki Israel. Ia menerima pendidikan awalnya di Collège
de Ferese di Lebanon, yang bahasa pengantarnya adalah Prancis, dan kemudian
mengambil jurusan filsafat di American University di Beirut. Setelah menyelesaikan
gelar Bachelor of Arts (BA), ia bekerja sebagai Pejabat Pelayanan Nasional Palestina
(PNS) di bawah Mandat Inggris pada tahun 1941. Empat tahun kemudian, karena
kepemimpinannya yang luar biasa, Faruqi diangkat menjadi gubernur Galeria, Palestina,
pada usia 24 tahun. Namun, dia tidak bertahan lama dalam posisi ini, karena negara
tersebut jatuh ke tangan Israel pada tahun 1947, dan beremigrasi ke Amerika setahun
kemudian.7
Setelah setahun di Amerika Serikat, ia melanjutkan studinya di Universitas Indiana,
memperoleh gelar master dalam bidang filsafat pada tahun 1949. Dua tahun kemudian,
ia menerima gelar master kedua di bidang yang sama dari Universitas Harvard. Pada
puncaknya, ia memperoleh gelar PhD dari Indiana University pada tahun 1952 untuk
tesisnya yang berjudul “On the Justification of God: Metaphysics and Epistemology of
Value”.8 Namun hasil yang diraih tidak memuaskannya karena itulah ia berangkat ke
Mesir untuk melanjutkan studi ilmu-ilmu Islam di Universitas Al-Azhar Kairo.
Pada tahun 1959, al-Faruqi kembali dari Mesir dan mengajar di McGill, Montreal,
Kanada, mempelajari Yudaisme dan Kristen. Namun, dua tahun kemudian, pada tahun
1961, ia pindah ke Karachi, Pakistan, untuk bergabung dalam kegiatan Central Institute
of Islamic Research (CIIR) dan jurnal Islamic Studies.9 Setelah dua tahun di Pakistan,
al-Faruqi kembali ke Amerika Serikat pada tahun 1963 untuk mengajar di Fakultas
Teologi Universitas Chicago, sambil melanjutkan studi Studi Islam di Universitas
Syracuse di New York. Faruqi kemudian hijrah pada tahun 1968 dan menjadi profesor
pemikiran dan kebudayaan Islam di Temple University di Philadelphia. Faruqui
mendirikan Departemen Studi Islam di sini dan memimpinnya hingga akhir hayatnya
pada 27 Mei 1986.

6
Rifki and Eka Diana, Analisis Metode Pembelajaran Efektif Di Era New Normal,”Jurnal Review Pendidikan Dan
Pengajaran, 2020.
7
A Khudori Soleh, “Islamisasi Ilmu Ismail R. Al-Faruqi,” Ulul Albab: Jurnal Studi Islam 12, no. 1 (2011): 1–21.
8
Soleh.
9
Moh. Kamilus Zaman, “Islamisasi Ilmu Menurut Ismail Raji Al-Faruqi,” Edupedia 4, no. 1 (2019): 23–29.
5
Selain kontribusinya yang signifikan terhadap pengenalan studi Islam di berbagai
universitas Amerika dan proyek “Islamisasi Pengetahuan” yang terkenal, Faruqi juga
aktif dalam gerakan Islam dan keagamaan. Bersama istrinya Dr.Louis Ramya, ia
mendirikan kelompok penelitian Islam seperti Muslim Student Association (MSA),
American Academy of Religion (AAR), dan Islamic Society of Social Scientist (
AMSS), Islamic Society of North America (ISNA). Di sana, American Journal of
Islamic Social Sciences (AJISS) diterbitkan dan, yang lebih penting, Universitas
Pemikiran Islam (International Institute of Islamic Thought – IIIT) didirikan.10
B. Latar Belakang Islamisasi Ilmu Menurut Islamil Raji al-Faruqi
Menurut Al-Faruqi, perkembangan ilmu pengetahuan modern telah membawa
pencapaian yang luar biasa di berbagai bidang. Namun, kemajuan ini juga membawa
dampak yang mengkhawatirkan. Akibat paradigma sekuler, ilmu pengetahuan modern
menjadi kering dan terpisah dari nilai-nilai tauhid, sebuah prinsip global yang
mencakup lima kesatuan: kesatuan Tuhan, alam, kebenaran, kehidupan, dan
kemanusiaan. Jelaslah bahwa ilmu pengetahuan modern telah terpisah dari nilai-nilai
teologis. Keterpisahan sains modern dari nilai-nilai teologis ini memiliki dampak
negatif. Pertama, dalam praktiknya, sains modern memandang alam dan hukum-
hukumnya, termasuk manusia, hanya sebagai entitas material dan insidental yang ada
tanpa campur tangan Tuhan. Hal ini memungkinkan manusia untuk mengeksploitasi
alam tanpa mempertimbangkan nilai-nilai spiritual. Kedua, secara metodologis, sains
modern, termasuk ilmu-ilmu sosialnya, sulit diterapkan untuk memahami realitas sosial
masyarakat Muslim yang memiliki pandangan hidup yang berbeda dengan Barat.11
Sementara itu, dalam ranah keilmua Islam, berpandangan pada nilai-nilai teologis
cenderung mengabaikan aspek-aspek sosial dan keilmuan sekuler. Dalam upaya
mempertahankan identitas keislaman mereka di tengah-tengah globalisasi budaya, para
cendekiawan Muslim seringkali bersikap defensif dengan berpegang teguh pada
pandangan konservatif yang statis.12 Mereka cenderung menolak inovasi dan
memprioritaskan kepatuhan fanatik terhadap hukum syariah, yang dipandang sebagai
produk abad pertengahan. Pandangan mereka tentang hukum syariah dianggap sebagai
kebenaran yang final dan sempurna, sehingga setiap upaya untuk mengubahnya
dianggap sebagai kesalahan dan kejahatan. Mereka melupakan pentingnya ijtihad
sebagai sumber utama kreativitas, bahkan mempromosikan penutupan kemungkinan

10
Zaman.
11
Dhiky Ary Wardana and Budi Haryanto, “Ismail Raji Al-Faruqi’s Concept of Islamization of Perspective Science
and Its Relevance for Islamic Education Curriculum Konsep,” Indonesian Journal of Innovation Studies 13 (2020):
1–12.
12
Wardana and Haryanto.
6
ijtihad.
Sikap keras beberapa ilmuwan Muslim pada akhirnya menimbulkan pemisahan
antara wahyu dan akal, antara pemikiran dan tindakan, dan antara pemikiran dan
budaya, yang menyebabkan stagnasi perkembangan ilmu pengetahuan di kalangan
mereka. Dalam konteks ini, dampak negatif dari sikap-sikap tersebut sebenarnya tidak
kalah berbahayanya dengan dampak yang ditimbulkan oleh ilmu pengetahuan modern.
Menurut Faruqi, saat ini, di sekolah-sekolah, perguruan tinggi, dan universitas, jarang
sekali ada ilmuwan Muslim yang berani mengemukakan pendapat yang dianggap tidak
Islami, dan ketidaktahuan para pemuda Muslim terhadap agamanya juga tidak sebanyak
saat ini.13
Pada saat yang sama, sistem dan pola pendidikan Islam yang dianggap sebagai
pilar kemajuan justru memperkuat dan mempertahankan tradisi keilmuan Islam yang
stagnan. Menurut Faruqi, ada tiga kategori yang dapat digunakan untuk
menggambarkan model pendidikan dalam masyarakat Islam. Pertama, adanya sistem
pendidikan tradisional yang hanya menitikberatkan pada pemahaman yang sempit
terhadap ilmu-ilmu keislaman, terutama aspek hukum dan ibadah, yang di Indonesia
dapat dilihat pada model pendidikan salaf di pesantren-pesantren. Kedua, sistem
pendidikan yang menekankan pada ilmu-ilmu sekuler yang diadopsi langsung dari
Barat. Kedua sistem ini menciptakan dualisme (perpecahan) dalam kepribadian
masyarakat Muslim. Alumni pendidikan salaf (pesantren) cenderung konservatif-
eksklusif dan antagonis terhadap ilmu-ilmu modern yang sebenarnya sangat diperlukan,
sementara lulusan pendidikan modern cenderung sekularistik-materialistik dan
antagonis terhadap ilmu-ilmu agama.
Selain dua sistem pendidikan ini, ada sistem ketiga, sistem konvergen yang
menggabungkan dua sistem yang ada. Sistem ini, selain memberikan materi agama,
juga memberikan berbagai disiplin ilmu modern yang diadopsi dari Barat. Namun
pencangkokan ini rupanya tidak dilakukan dengan landasan filosofis yang benar,
melainkan hanya diberikan secara bersama-sama, ilmu-ilmu agama disejajarkan dengan
ilmu-ilmu umum (seperti yang ada di MAN, STAIN, IAIN dan UIN), sehingga kurang
memberikan dampak yang positif bagi para peserta didik. Apalagi dalam kenyataannya,
ilmu-ilmu tersebut seringkali disampaikan oleh dosen yang kurang memiliki wawasan
keislaman dan modernisme yang memadai. Berdasarkan realitas seperti itu, menurut
Faruqi, tidak ada cara lain untuk membangkitkan Islam dan menolong nestapa dunia,

Nur Afifah Az Zahroh, “Konsep Islamisasi Ilmu Pengetahuan Menurut Ismail Raji Al Faruqi Dan Relevansinya
13

Dengan Tujuan Pendidikan Islam,” IAIN Ponorogo 1 (2018).


7
kecuali dengan mengkaji kembali kultur keilmuan Islam masa lalu, masa kini dan
keilmuan modern barat sekaligus, untuk kemudian mengolahnya menjadi keilmuan
yang rahmatan li alalamin, melalui apa yang disebut “islamisasi ilmu” yang kemudian
disosialisasikan lewat sistem pendidikan Islam yang integratis.14
C. Definisi Islamisasi Ilmu
Memaknai Islamisasi ilmu pengetahuan bukanlah hal yang mudah, karena
melibatkan pemahaman terhadap konsep ilmu pengetahuan dan Islam itu sendiri. Al-
Attas secara gamblang menjelaskan bahwa Islamisasi ilmu pengetahuan adalah upaya
untuk membebaskan manusia dari tradisi yang tidak sesuai dengan ajaran Islam, seperti
tradisi magis, mitologi, animisme, dan nasionalisme, serta dari pemikiran sekuler yang
menguasai pemikiran dan bahasa.15 Tujuannya juga untuk membebaskan manusia dari
dominasi dorongan-dorongan fisiknya yang sekuler dan tidak adil terhadap hakikat diri
atau jiwa, karena manusia dalam keadaan fisiknya sering lupa akan hakikat dirinya dan
bertindak tidak adil terhadapnya.
Islamisasi adalah proses menuju kesejatian yang tidak sekuat proses evolusi dan
devolusi. Pernyataan Al-Attas ini mencerminkan harapannya bahwa Islamisasi ilmu
pengetahuan dapat membebaskan umat Islam dari pengaruh-pengaruh yang bertentangan
dengan ajaran Islam, dan bahkan menghindarkan mereka dari pemikiran sekuler. Al-
Attas memikirkan cara untuk mengembalikan kejayaan umat Islam dan mengarahkannya
kembali ke fitrahnya. Di sini, "fitrahnya" mengacu pada pusat pengetahuan yang
mengikuti atau sesuai dengan prinsip-prinsip peradaban Islam. Hal ini sejalan dengan
kejayaan yang pernah diraih oleh umat Islam di masa lalu.
Al-Faruqi menyatakan bahwa Islamisasi adalah upaya untuk merevisi,
mengorganisir ulang data, mempertimbangkan kembali argumen dan penalaran yang
terkait dengan data, mengevaluasi kembali kesimpulan dan interpretasi, dan
mengarahkan kembali tujuan. Semua tindakan ini dilakukan dengan cara yang
memperkaya pemahaman tentang Islam dan memberi manfaat bagi tujuan yang
diinginkan.16 Secara keseluruhan, Islamisasi ilmu pengetahuan bertujuan untuk
memberikan respon positif terhadap realitas ilmu pengetahuan sekuler modern dalam
sebuah model pengetahuan yang komprehensif dan menyeluruh tanpa adanya pemisahan
antara keduanya.

14
Wardana and Haryanto, “Ismail Raji Al-Faruqi’s Concept of Islamization of Perspective Science and Its
Relevance for Islamic Education Curriculum Konsep.”
15
Sholeh Sholeh, “Islamisasi Ilmu Pengetahuan (Konsep Pemikiran Ismail Raji Al-Faruqi Dan Syed Muhammad
Naquib Al-Attas),” Al-Hikmah: Jurnal Agama Dan Ilmu Pengetahuan 14, no. 2 (2017): 209–21,
https://doi.org/10.25299/al-hikmah:jaip.2017.vol14(2).1029.
16
Zaman, “Islamisasi Ilmu Menurut Ismail Raji Al-Faruqi.”
8
Proses integrasi antara perkembangan ilmu pengetahuan di dunia Barat dan
konsep-konsep Islam menjadi fokus utama. Selain pandangan yang dikemukakan oleh
Al-Faruqi dan Al-Attas, ada juga definisi lain mengenai Islamisasi ilmu pengetahuan.
Seperti yang diungkapkan oleh Osman Bakar, Islamisasi ilmu pengetahuan adalah
sebuah inisiatif yang bertujuan untuk mengatasi tantangan yang muncul dari pertemuan
sebelumnya antara Islam dan ilmu pengetahuan modern. Program ini menekankan
pentingnya keselarasan antara Islam dan sains modern dalam hal sejauh mana sains
dapat memberikan manfaat bagi umat Islam.17
D. Konsep Islamisasi Ilmu Ismail Raji Al-Faruqi
Konsep Islamisasi ilmu yang digagaskan oleh ismail raji al-faruqi dapat dipahami
sebagai proses kritis dan evaluasi terhadap hasil-hasil ijtihad para ulama, termasuk hasil
ijtihad non-Muslim di bidang ilmu pengetahuan, dengan melakukan verifikasi untuk
mengetahui relevansinya dengan konteks masa kini. Tujuannya adalah untuk mengetahui
apakah teori, temuan, pandangan, dan sejenisnya masih relevan atau tidak dengan
konteks kekinian, dan mencari alternatif baru jika diperlukan. Islamisasi ilmu
pengetahuan bukanlah penolakan terhadap produk Barat atau pemikiran Islam itu sendiri.
Melainkan sebuah upaya untuk memastikan relevansi produk Barat dan pemikiran Islam
dalam konteks kekinian. Jika tidak relevan, maka akan dicari alternatif untuk menghadapi
realitas yang ada. Al-Faruqi dalam mengembangkan konsep Islamisasi ilmu pengetahuan
mengaitkannya dengan prinsip tauhid dalam Islam, dan merumuskan prinsip-prinsipnya
berdasarkan prinsip tauhid yang terdiri dari lima aspek utama diantaranya yaitu: konsep
Keesaan Tuhan (the unity of Allah SWT), Konsep Kesatuan Ciptaan (unity of creation),
Kesatuan kebenaran dan pengetahuan (unity of truth and knowledge), Kesatuan Hidup
(unity of life), Kesatuan manusia (unity of humanity).
1. Keesaan Tuhan (the unity of Allah SWT)
Konsep ini membawa konsekuensi pada pemahaman ilmu, di mana ilmu tidak
hanya digunakan untuk memahami dan menjelaskan realitas sebagai entitas yang terpisah
dari realitas absolut, yaitu Tuhan, tetapi sebagai bagian yang terintegrasi dengan
eksistensi Tuhan. Implikasinya, berkaitan dengan pengetahuan adalah bahwa sebuah
pengetahuan bukan untuk menerangkan dan memahami realitas sebagai entitas yang
terpisah dari realitas absolut (Tuhan), melainkan melihatnya sebagai bagian yang integral
dari eksistensi Tuhan. Karena itu, islamisasi ilmu mengarahkan pengetahuan pada
kondisi analisa dan sintesa tentang hubungan realitas yang dikaji dengan hukum Tuhan.

17
Wardana and Haryanto, “Ismail Raji Al-Faruqi’s Concept of Islamization of Perspective Science and Its
Relevance for Islamic Education Curriculum Konsep.”
9
2. Konsep Kesatuan Ciptaan (unity of creation)
Konsep ini menggambarkan seluruh alam semesta, yang terdiri dari elemen-
elemen material, spasial, psikis, biologis, sosial, dan estetika, membentuk satu kesatuan
yang utuh. Setiap elemen di alam semesta saling berhubungan satu sama lain untuk
mencapai tujuan tertinggi, yaitu Tuhan. Dengan demikian, implikasinya adalah setiap
penelitian, kajian ilmiah, dan upaya pengembangan ilmu pengetahuan harus bermuara
pada refleksi keimanan dan pelaksanaan ibadah kepada Tuhan. Berdasarkan hal tersebut,
dalam kaitannya dengan Islamisasi ilmu pengetahuan, maka setiap upaya penelitian dan
pengembangan ilmu pengetahuan harus diarahkan sebagai refleksi keimanan dan
keilmuan. pengembangan ilmu pengetahuan harus diarahkan sebagai refleksi keimanan
dan realisasi ibadah kepada-Nya. Realisasi ibadah kepada-Nya. Hal ini berbeda dengan
prinsip-prinsip ilmu pengetahuan Barat, di mana sejak abad ke-15, mereka sudah tidak
lagi mensyukuri Tuhan. Prinsip-prinsipsains, di mana sejak abad ke-15, mereka tidak lagi
bersyukur kepada Tuhan tetapi hanya kepada diri mereka sendiri dan untuk kepentingan
mereka sendiri. Mereka memisahkan ilmu pengetahuan dari prinsip-prinsip teologi dan
agama. Dengan demikian, Islamisasi ilmu pengetahuan mengarah pada pemahaman
tentang analisis hubungan antara fakta-fakta ilmiah yang dipelajari dengan hukum-hukum
Tuhan.
3. Kesatuan kebenaran dan pengetahuan (unity of truth and knowledge)
Konsep ini beranggapan kebenaran berasal dari realitas, dan realitas berasal dari
Tuhan yang satu. Oleh karena itu, apa pun yang diwahyukan melalui wahyu tidak
bertentangan dengan realitas yang ada, karena keduanya berasal dari pencipta yang sama,
yaitu Tuhan. maka kebenaran tidak mungkin lebih dari satu. Apa yang disampaikan lewat
wahyu tidak mungkin berbeda apalagi bertentangan dengan realitas yang ada, karena
Dialah yang menciptakan keduanya. Al-Faruqi menyusun prinsip kesatuan kebenaran ini
sebagai berikut: (1) Menurut wahyu, kita harus menghindari pernyataan-pernyataan yang
bertentangan dengan realitas. Pernyataan-pernyataan yang disampaikan oleh wahyu
haruslah benar dan harus selaras dengan realitas. Jika ada perbedaan atau bahkan
kontradiksi antara temuan ilmiah dan wahyu, seorang Muslim harus merefleksikan
pemahamannya terhadap teks-teks agama atau memeriksa kembali data penelitiannya. (2)
Tanpa adanya pertentangan antara akal dan wahyu, maka tidak akan ada pertentangan
antara realitas dan wahyu yang tidak dapat diselesaikan. Oleh karena itu, seorang Muslim
harus terbuka dan berusaha menyatukan ajaran agama dengan kemajuan ilmu
pengetahuan dan teknologi. (3) Pengamatan dan penelitian terhadap alam semesta dan
komponen-komponennya akan terus berlanjut, karena pola-pola ciptaan Allah tidak
10
terbatas. Tidak peduli seberapa dalam atau seberapa banyak data baru yang ditemukan,
akan selalu ada lebih banyak data yang belum terungkap. Oleh karena itu, seorang
Muslim harus memiliki sikap terbuka, rasional, dan toleran terhadap bukti-bukti dan
penemuan-penemuan baru.
4. Kesatuan Hidup (unity of life)
Konsep ini berpandangan kehendak Tuhan (iradat) terdiri dari dua jenis, hukum
moral dan hukum alam. Keduanya berjalan beriringan sehingga tidak ada pemisahan
antara jasmani dan rohani, serta spiritual dan material. Kehendak Allah terdiri dari dua
jenis: (1)dalam bentuk hukum alam (sunnatullah) dengan segala keteraturannya yang
memungkinkan untuk diteliti dan diamati, materi memungkinkan untuk diteliti dan
diamati, materi; (2) dalam bentuk hukum moral yang harus dipatuhi, yaitu agama. Kedua
hukum ini berjalan beriringan, selaras dan serasi dalam kepribadian seorang Muslim.
Akibatnya, tidak ada pemisahan antara yang spiritual dan yang material, antara jasmani
dan rohani.
5. Kesatuan manusia (unity of humanity)
Konsep ini menguraikan mengenai sistem sosial dalam Islam merupakan kesatuan
universal yang mencakup seluruh umat manusia tanpa terkecuali. Konsep ini
menekankan bahwa setiap pengembangan ilmu pengetahuan harus dilandasi dan
ditujukan untuk kesejahteraan umat manusia secara umum, bukan hanya untuk
kepentingan kelompok, ras, atau etnis tertentu. Islam tidak menolak klasifikasi dan
klasifikasi dan stratifikasi alamiah manusia ke dalam suku, bangsa dan ras sebagai
potensi kehendak Tuhan. Yang ditolak dan dikutuk oleh Islam adalah paham
etnosentrisme, karena hal ini akan mendorong penetapan hukum, bahwa etnosentrisme,
karena hal ini akan mendorong penentuan hukum, bahwa baik dan jahat hanya didasarkan
pada etnis mereka sendiri. bahwa baik dan jahat hanya didasarkan pada etnisnya sendiri,
sehingga menimbulkan berbagai konflik antar kelompok. Kaitannya dengan islamisasi
ilmu, konsep ini mangajarkan bahwa setiap pengembangan ilmu harus berdasar dan
bertujuan untuk kepentingan kemanusiaan, bukan hanya kepentingan golongan, ras dan
etnis tertentu.18
E. Kelebihan Dan Kekurangan Dalam Pemikiran Islamisasi Ilmu Ismail Raji Al-
Faruqi
Ismail Raji al-Faruqi adalah salah satu ilmuwan Muslim yang berusaha
menyelamatkan Islam dari pengaruh dunia Barat dengan mencanangkan Islamisasi ilmu
pengetahuan. Islamisasi ilmu pengetahuan didasarkan pada prinsip tauhid, karena tauhid

18
Zuhdiah, “Islamisasi Ilmu Ismail Raji Al-Faruqi.”
11
itu sendiri merupakan inti dari ajaran Islam. Ada beberapa kritik terkait dengan konsep
Islamisasi ilmu Faruqi, antara lain; Pertama, Islamisasi ilmu Faruqi lebih ditekankan
pada masyarakat, umat atau perubahan sosial ekonomi dan politik. Oleh karena itu,
gagasan ini lebih banyak disosialisasikan hanya pada masyarakat melalui berbagai
kegiatan permanen seperti seminar, uji coba, dan pembukaan cabang di berbagai negara.
Solusi dalam hal ini adalah dengan memperhatikan individu terlebih dahulu, baru
kemudian memperhatikan ummah atau masyarakat secara umum. Kedua, Faruqi
menempatkan sains modern sebagai langkah pertama dalam proses Islamisasi ilmu
pengetahuan, kemudian menempatkan penguasaan sains warisan Islam pada tahap
berikutnya, dan baru diakhiri dengan pencarian relevansi Islam dengan disiplin ilmu
Barat modern.19 Nah, cara kerja seperti ini dikatakan sebagai cara yang aneh, ibarat
seseorang yang ingin duduk tapi dia memulainya dengan paku. Kemudian, semua ilmu
pengetahuan tentu lahir dari suatu pandangan tertentu, dan karena itu upaya pencarian
epistemologi Islam tidak bisa dan tidak mungkin dilakukan jika fokusnya pada disiplin
ilmu yang jelas-jelas berbeda dan bertentangan. Ketiga, islamisasi ilmu pengetahuan
kontemporer tidak dapat dilakukan hanya dengan mencabangkan atau mencangkok ilmu
pengetahuan sekuler ke dalam prinsipprinsip Islam. Metode ini hanya akan memberikan
hasil yang bertentangan dan merupakan sebuah upaya yang tidak berarti, hakekat dari
elemen atau penyakit asing masih ada pada body of knowledge yang membuatnya tidak
mungkin dibangun kembali dalam wadah keislaman.20

19
Sholeh, “Islamisasi Ilmu Pengetahuan (Konsep Pemikiran Ismail Raji Al-Faruqi Dan Syed Muhammad Naquib
Al-Attas).”
20
Arifin, Pemikiran-Pemikiran Emas Tokoh Pendidikan Islam.
12
KESIMPULAN
Dapat disimpulkan dari pemabahasan di atas bahsawanya Al Faruqi adalah sosok yang
memiliki ide cemerlang untuk menyelesaikan persoalan yang dihadapi umat Islam.
Pemikiran ini tidak dapat dipisahkan dari konsep tauhid, karena tauhid merupakan hakikat
Islam yang mencakup seluruh aktivitas manusia. Begitu pula gagasannya tentang Islamisasi
ilmu pengetahuan bagi al-Faruqi, Islamisasi ilmu berarti Islamisasi ilmu pengetahuan
modern dengan melakukan kegiatan keilmuan seperti penghapusan, modifikasi, penafsiran
ulang, dan adaptasi komponen-komponennya.
Untuk mendukung idenya, Al Faruqi telah menyusun serangkaian tugas yang perlu
dilaksanakan meski terdapat pro dan kontra, namun tidak dapat dipungkiri bahwa gagasan
tersebut patut dipelajari dan diperjuangkan umat Islam hingga saat ini. Juga menurut al-
Faruqi perkembangan ilmu pengetahuan modern telah membawa pencapaian yang luar
biasa di berbagai bidang. Namun, kemajuan ini juga membawa dampak yang
mengkhawatirkan. Akibat paradigma sekuler, ilmu pengetahuan modern menjadi kering dan
terpisah dari nilai-nilai tauhid, sebuah prinsip global yang mencakup lima kesatuan:
kesatuan Tuhan, alam, kebenaran, kehidupan, dan kemanusiaan.
DAFTAR PUSTAKA
Arifin, Yanuar. Pemikiran-Pemikiran Emas Tokoh Pendidikan Islam. DIVA Press, n.d.
Az Zahroh, Nur Afifah. “Konsep Islamisasi Ilmu Pengetahuan Menurut Ismail Raji Al
Faruqi Dan Relevansinya Dengan Tujuan Pendidikan Islam.” IAIN Ponorogo 1
(2018).
Mursi Sa’id, Muhammad. “Tokoh-Tokoh Besar Islam Sepanjang Sejarah.” Jakarta, 2007.
Rifki, and Eka Diana. Analisis Metode Pembelajaran Efektif Di Era New Normal,”Jurnal
Review Pendidikan Dan Pengajaran, 2020.
Rusydiyah, Evi Fatimatur. Aliran Dan Paradigma Pemikiran Pendidikan Agama Islam
Kontemporer. Aliran Dan Paradigma Pemikiran Pendidikan Agama Islam
Kontemporer, 2019.
Sholeh, Sholeh. “Islamisasi Ilmu Pengetahuan (Konsep Pemikiran Ismail Raji Al-Faruqi
Dan Syed Muhammad Naquib Al-Attas).” Al-Hikmah: Jurnal Agama Dan Ilmu
Pengetahuan 14, no. 2 (2017): 209–21. https://doi.org/10.25299/al-
hikmah:jaip.2017.vol14(2).1029.
Soleh, A Khudori. “Islamisasi Ilmu Ismail R. Al-Faruqi.” Ulul Albab: Jurnal Studi Islam
12, no. 1 (2011): 1–21.
Taufik, Akhmad, M. Dimyati Huda, and Bintu Maunah. “Sejarah Pemikiran Dan Tokoh
Modernisme Islam.” Sejarah Pemikiran Tokoh Modernisme, 2005.
Wardana, Dhiky Ary, and Budi Haryanto. “Ismail Raji Al-Faruqi’s Concept of Islamization

13
of Perspective Science and Its Relevance for Islamic Education Curriculum Konsep.”
Indonesian Journal of Innovation Studies 13 (2020): 1–12.
Zaman, Moh. Kamilus. “Islamisasi Ilmu Menurut Ismail Raji Al-Faruqi.” Edupedia 4, no. 1
(2019): 23–29.
Zuhdiah. “Islamisasi Ilmu Ismail Raji Al-Faruqi.” Tadrib 2, no. 2 (2016): 293–313.

14

Anda mungkin juga menyukai