Anda di halaman 1dari 13

TEOLOGI MODERN DAN PEMIKIRANNYA

Dosen Pengampu: Dr. Muhammad Afif, M.A.

DISUSUN OLEH:
Nabila Firliya Zahra – 221310005
AFI 3 A

JURUSAN AQIDAH FILSAFAT ISLAM

FAKULTAS USHULUDDIN DAN ADAB


UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SULTAN MAULANA
HASANUDDIN BANTEN
TAHUN 2023
KATA PENGANTAR

Assalamu’alaikum Warrahmatullahi Wabarakatuh. Kami panjatkan Puji syukur kehadirat


Allah SWT. Yang telah memberikan rahmat serta karunia-nya sehingga makalah kami yang
berjudul “Teologi Modern dan Pemikirannya” dapat selesai tepat waktu dan baik.

Makalah ini dibuat dengan tujuan memenuhi tugas mata kuliah “Sejarah dan Aliran
Pemikiran Kalam” dengan dosen pengampu Bapak Dr. Muhammad Afif, M.A. Selain itu,
penyusunan makalah ini juga bertujuan untuk menambah wawasan kepada pembaca.

Saya selaku penulis mengucapkan Terima Kasih kepada Bapak Dr. Muhammad Afif, M.A.
Berkat tugas yang diberikan ini, dapat menambah wawasan kami tentang topik yang
diberikan.

Saya menyadari bahwa dalam penyusunan dan penulisan masih banyak kekurangan. Maka
dari itu saya selaku penulis memohon maaf atas ketidaksempurnaan yang pembaca temukan
dalam makalah ini. Semoga kedepannya makalah yang saya buat bisa jauh lebih sempurna,
Terima Kasih.

Serang, 15 November 2023

Penulis.

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR...............................................................................................................i
DAFTAR ISI.............................................................................................................................ii
BAB I.........................................................................................................................................1
1.1 Latar Belakang..........................................................................................................1
1.2 Rumusan Masalah.....................................................................................................2
1.3 Tujuan Penulisan.......................................................................................................2
1.4 Manfaat Penulisan.....................................................................................................2
BAB II.......................................................................................................................................3
2.1. Perjumpaan Teologi dengan Modernitas................................................................3
2.2. Karakteristik Teologi Modern.................................................................................3
2.3. Ragam Pemikiran Teologi Modern.........................................................................6
BAB III......................................................................................................................................9
3.1. Kesimpulan................................................................................................................9
DAFTAR PUSTAKA.............................................................................................................10

ii
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang

Kata teologi berasal dari bahasa Yunani yaitu theologia yang merupakan gabungan
dari dua kata theos (Tuhan atau Allah) dan logos (ilmu atau bahasa). Jadi, teologi bisa
diartikan sebagai ilmu yang berkaitan dengan Tuhan atau Allah. 1 Istilah teologi sendiri
pertama kali muncul pada karya republic Plato, kemudian dimodifikasi oleh Aristoteles
dengan memasukkannya pada wilayah pembahasan metafisika. Aristoteles
mengistilahkannya dengan “theological philosophy” dan “theological knowledge” yang
ditempatkannya sebagai ilmu yang berada di urutan ketiga setelah matematika dan fisika. 2
Jika teologi adalah logos atau ilmu, maka pada prinsipnya teologi bersifat dinamis
sebagaimana sifat ilmu itu sendiri. Ia akan berdialog dan berdialektika dengan zaman yang
mengitarinya dimana teologi itu hidup dan berkembang. Teologi tidak boleh berakhir pada
sikap statis, kejumudan, dan kemandekan. Nafas teologi adalah progresifitas dan
revolusioner. Hanya dengan sikap dan paradigma seperti ini, teologi akan abadi pada
setiap zaman dan waktu. Dalam konteks teologi Islam, disinilah dikenal dengan istilah
islam shalih li kulli zamaan wa makaan (Islam aktual dan adaptif di segala ruang dan
waktu).
Teologi adalah interpretasi terhadap suatu agama. Dalam konteks ini, teologi harus
dibedakan dengan agama. Agama adalah sesuatu yang suci, sakral, mutlak kebenarannya,
sementara teologi adalah sesuatu yang profan, kebenarannya bisa saja keliru, karena pada
prinsipnya teologi adalah interpretasi terhadap suatu agama. Artinya, setiap agama
memiliki teologi, karena segala yang berkaitan dengan interpretasi terhadap agama
tersebut adalah teologi. Agama sendiri tidak mungkin tidak ditafsirkan, karena ia
bernegosiasi dengan keadaan dimana manusia menjadi aktor dari interpretasi itu.
Sementara heterogenitas manusia meniscayakan perbedaan itu sendiri.3

1
Muhaemin Latif, Teologi Pembebasan dalam Islam (Jakarta: Orbit Publishing, 2017), h. 2.
2
Jean Yves Lacoste, Encyclopedia of Christian Theology (New York: Routledge, 2005), h.1555.
3
Dr.Muhaemin Latif, Ragam Paham Dalam Teologi Modern (Yogykarta: Quantum, 2022), h.2

1
1.2 Rumusan Masalah

1. Bagaimana persoalan teologi pada zaman modern?


2. Apa saja pemikiran para tokoh modern?

1.3 Tujuan Penulisan

1. Mengetahui & memahami persoalan teologi modern


2. Mengetahui & memahami pemikiran para tokoh

1.4 Manfaat Penulisan

1. Sumber informasi bagi pembaca


2. Menambah wawasan untuk penulis & pembaca

2
BAB II
PEMBAHASAN
2.1. Perjumpaan Teologi dengan Modernitas

Mengaitkan antara teologi dan modernitas adalah sebuah kemestian. Teologi


sebagai sebuah interpretasi terhadap satu agama harus merespon isu-isu yang dilahirkan
dan berkembang dengan modernitas. Teologi tidak bisa berjalan sendiri sebagai sebuah
paham terhadap satu agama, ia harus diback up dengan pisau analisa modernitas. Poin ini
menjadi penting, karena modernitas tidak hanya sebatas zaman atau fase dalam
kehidupan umat manusia. Modernitas telah menjadi kerangka berpikir yang memberi
pengaruh penting pada kemajuan manusia. Teologi yang kehadirannya mendahului
modernitas, tentu harus memiliki strategi agar mampu berjalan seiring dengan
modernitas tanpa kehilangan ruh dan identitas satu teologi. Meskipun dari segi sumber,
tentu teologi dan modernitas adalah dua hal yang berbeda. Jika teologi sumber dan
kajiannya merujuk kepada Tuhan, maka modernitas lebih mengarah kepada zaman yang
diciptakan oleh manusia. Teologi tidak bisa dilepaskan dari zaman atau waktu. Teologi
pasti akan melintasi ruang dan waktu, dimana zaman modernitas adalah salah satu dari
waktu tersebut. Jadi, sekali lagi, teologi dan modernitas memiliki relasi yang kuat dan
layak untuk didiskusikan lebih dalam.
Dalam teologi, ada saat dimana tidak semua harus melewati rumus-rumus akal.
Kehidupan setelah kematian, atau persoalan surga dan neraka, tidak bisa dibuktikan
secara empiris. Dengan kata lain, kritik melalui rasio akan mengalami kebuntuan dalam
menghadapi persoalan-persoalan metafisis ini. Apalagi sampai pada pembicaraan tentang
Tuhan yang tidak tampak, yang transenden, pada akhirnya kritik akan mengalami
kebuntuan. Perjumpaan dalam konteks ini akan melahirkan berbagai aliran dalam teologi
modern, seperti naturalisme, sekularisme, saintisme, ateisme.4
2.2. Karakteristik Teologi Modern

A. Humanisme

Salah satu ciri utama dari teologi modern adalah humanisme. Humanisme
dianggap sebagai “agama” baru bagi orang Barat. Pemihakan terhadap kepentingan
kemanusiaan mengalahkan kepentingan gereja menjadi pintu utama humanisme dalam

4
Dr.Muhaemin Latif, Ragam Paham Dalam Teologi Modern (Yogykarta: Quantum, 2022), h.12

3
memasuki abad baru peradaban modern. Teriakan humanisme pun membahana hampir
semua dunia barat di Eropa. Bahkan, salah satu ciri dari kebangkitan kembali dunia
barat adalah humanisme itu sendiri. Gelombang renaissance yang dimulai di Italia juga
menjadikan humanisme sebagai “trade mark” merk dagang bagi dunia Eropa.

Humanisme pada masa renaissans menitikberatkan pada pandangan hidup yang


bersifat antroposentris, sekuler, liberal dan rasional. Pandangan hidup ini ditengarai
dengan ketidaksukaan kepada pandangan gerejawi yang membelenggu kebebasan
manusia terutama pandangan sains dan teknologi. Hal ini bisa dilihat dalam kehidupan
praktis masyarakat Italia pada waktu itu yang memberi perhatian secara massif kepada
estetika, sejarah, sastra, dan hukum positif dibandingkan kepada hal-hal yang berbau
agama. Mereka percaya bahwa manusia dalam kehidupan ini mempunyai tugas utama
sebagai pengembang dan penikmat kehidupan duniawi. Bahkan manusia harus
berkhidmat kepada kepentingan dan kebaikan masyarakat. Sederhananya, humanisme
juga menekankan kesibukan duniawi dari pada sibuk mempersiapkan diri untuk
kehidupan surgawi.5

B. Anti Kemapanan

Ciri selanjutnya dari teologi modern adalah anti kemapanan. Apa yang dimaksud anti
kemapanan disini adalah tidak adanya ajaran dalam satu teologi yang diterima dengan
cara “taken for granted” atau “bila kaifa” (tanpa kritik). Penerimaan suatu ajaran atau
pemahaman dalam teologi harus tetap dikritik dan menyesuaikan dengan kondisi dan
zaman yang melingkupinya. Kalau produk dari teologi itu kemudian tidak lagi relevan
dengan tuntutan zaman, maka akan dibentuk format baru dalam berteologi agar dapat
mengikuti irama perkembangan zaman. Semua harus dikritisi, apa yang baru hari ini,
belum tentu masih baru pada masa yang akan datang. Hari ini adalah kemapanan,
besoknya harus dikritisi.

Terkait dengan hal ini, maka tidak ada sesuatu yang final dalam berteologi. Misalnya,
teologi Kristen diyakini hanya merespon zamannya, teologi kristen menurut manusia
modern terutama di abad pencerahan, tidak mampu menjawab setiap tantangan zaman
yang ada. Jika teologi sudah tidak mampu menjawab problematika zaman, maka teologi
itu yang kemudian harus disalahkan dengan diganti dengan teologi yang baru. Begitulah

5
Sutardjo Adisusilo, JR, Sejarah Pemikiran Barat: Dari Klasik sampai yang Modern (Jakarta: Rajawali Pers,
2013), h. 72.

4
potret manusia modern dalam memandang teologinya. Dalam istilah Karen Armstrong,
bahwa di satu sisi, Barat memperlihatkan kesuksesannya dalam sains dan teknologi,
tetapi Barat juga sebenarnya menaruh perhatian pada iman yang justru melebihi masa-
masa sebelumnya. Mereka tidak puas dengan produk teologi abad pertengahan yang tak
mampu memenuhi kebutuhan mereka di dunia baru.6

C. Sinergi dengan Sains Modern

Ciri ketiga teologi modern adalah sinergisitasnya pada sains modern. Teologi yang
di back up dengan sains modern itu semakin menampakkan jiwa modernitasnya.
Terutama ketika teologi ditinjau dengan ragam metodologi yang bertalian langsung
dengan modernitas. Pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi tidak serta merta
menyingkirkan teologi itu sendiri. Karena berdasarkan fakta yang ada, agama tetap
menjadi bagian penting dalam kehidupan abad modern sampai sekarang. 7 Meskipun
mereka enggan menyebutnya agama, tetapi dasar pijakannya tetap tidak bisa dilepaskan
dari unsur agama. Artinya kebutuhan terhadap agama pada prinsipnya tidak akan pernah
luntur.
Dalam upaya mendialogkan teologi dengan sains, tampaknya tidak ada pilihan bagi
teologi kecuali harus beradaptasi terhadap perkembangan ilmu dan pengetahuan,
terutama temuan-temuan sains. Misalnya, dalam konteks pandemik covid-19, anjuran
untuk memutus transmisi penyebarannya oleh pemerintah, teologi harus beradaptasi
terhadap situasi physical dan social distancing. Artinya, praktek ibadah keagamaan yang
identik dan akrab dengan jamaah (conregation), maka teologi harus “berdansa”
mengikuti musik modernitas. Dengan bantuan sains modern, teologi bisa saja me
nawarkan virtual conregation dimana ibadah bisa dilakukan secara online tanpa
mengurangi kualitas ibadah tersebut. Bahkan tidak hanya persoalan ibadah ritual yang
selama ini sudah banyak dilakukan oleh para pemimpin agama melalui virtual, tradisi
pernikahan yang biasanya melibatkan banyak orang secara langsung, tampaknya juga
menjadi trend dengan mengadakan pernikahan berbasis aplikasi online.

6
Karen Armstrong, A History of God: The 4.000-Year Quest of Judaism, Christianity and Islam, diterjemahkan
oleh Zaimul Am, Sejarah Tuhan: Kisah 4.000 tahun Pencarian Tuhan dalam Agama-Agama Manusia (Bandung:
Mizan Pustaka, 2018), h. 388.
7
Kamaruddin Hidayat, Agama Punya Seribu Nyawa (Jakarta: Noura Books, 2012), h. xviii.

5
1.1. Ragam Pemikiran Teologi Modern

A. Pemikiran Muhammad Abduh


Syekh Muhammad Abduh, nama lengkapnya adalah Muhammad bin Abduh bin
Hasan Khairullah. Dilahirkan di desa Mahallat Nashr di kabupaten Buhairah, Mesir,
pada tahun 1849 M.
Bagi Abduh, di samping mempunyai daya pikir, manusia juga mempunyai
kebebasan memilih yang merupakan sifat dasar alaminya. Jika sifat dasar ini
dihilangkan dari manusia maka dia bukan manusia lagi, melainkan makhluk lain.
Manusia dengan akalnya mempertimbangkan akibat perbuatan yang dilakukannya,
kemudian mengambil keputusan dengan kemauannya dan mewujudkan perbuatannya
dengan daya yang ada dalam dirinya.8 Muhammad Abduh hasan khairullah, pernah
menduduki berbagai macam jabatan kenegaraan, kemudian terpilih sebagai Mufti
(ahli hukum) Negara di Mesir. Ia salah seorang ulama besar yang menjadi reformer
dunia Islam, pembawa nafas baru, pembangkit daya ijtihad di zamannya hingga
wafat.Abduh adalah seorang tokoh salaf, yang banyak mencurahkan perhatiannya
pada teks agama (Al-Qur’an). Kendati demikian, ia sangat menghargai peranan akal.
Ia juga menguasai materi perbedaan yang terjadi di antara kelompok teologi Islam.
Muhammad abduh berpendapat bahwa islam adalah agama tauhid, memahami tauhid,
tidak lepas dari penggunaan akal, di samping wahyu jadi sandaran. Akal punya ruang
gerak yang begitu lebar untuk memahaminya secara hakiki, sesuai dengan
hakikatnya.9
Dalam hal memandang wahyu, Muhammad Abduh sejalan dengan kaum
Mu‟tazilah. Ia tidak sepakat dengan pandangan teologi Maturidiyah Samarkan dan
Bukhara, Asy‟ariyah yang tidak memberi kedudukan bagi wahyu. Dalam masalah
wahyu, untuk menetap suatu keputusan Muhammad Abduh dan Mu‟tazilah tidak
memberikan peran yang mutlak, tapi itu tidak berarti bahwa wahyu tidak diperlukan.
Wahyu tetap merupakan sandaran awal, di mana harus diinterprestasikan dengan akal
pikiran. Mengenal keadilan Tuhan, secara impilisit menggambarkan keyakinan
Muhammad Abduh akan adanya perbuatan-perbuatan wajib bagi Tuhan. Paham akan
adanya kewajiban bagi Tuhan ini sejalan dengan penadapatnya bahwa kehendak
8
Elamansyah, Kuliah Ilmu Kalam Formula Meluruskan Keyakinan Umat di Era Digital(Pontianak: IAIN Pontianak
Press, 2017), hlm. 157-160.
9
Prof. Dr. M. Yunan Yusuf, Alam Pikiran Islam Pemikiran Kalam (Jakarta: PRENADAMEDIA GROUP, 2014), hlm.
195-243.

6
Tuhan tidak bersifat absolute. Teorinya tentang sunah Allah (sunnatullah)
mengandung arti bahwa Tuhan tidak bertindak seperti raja, yang zalim, yang tidak
tunduk kepada hukum, tetapi Tuhan mengatur segalanya sesuai dengan hukum-Nya.
Menurut Abduh jalan yang dipakai untuk mengetahui Tuhan, bukanlah wahyu saja,
tetapi juga akal. Akal dengan kekuatan yang ada dalam dirinya berusaha memperoleh
pengetahuan tentang Tuhan dan wahyu. Untuk memperkuat pengetahuan akal itu dan
untuk menyampaikan kepada manusia apa yang tidak diketahui akalnya. Inilah dasar
sistem teologi Muhammad Abduh yang juga diterapkan kepada aliran-aliran teologi
Islam. Abduh menyebut sifat-sifat Tuhan dalam Risalahnya.
Berbicara mengenai pemikiran teologi Muhammad Abduh, meniscayakan
membicarakan mengenai pandangannya tentang kedudukan akal dan wahyu. Teologi
menurut pandangan Muhammad Abduh dapat digambarkan sebagai Tuhan berada di
puncak alam wujud dan manusia ada di dasarnya. Manusia yang berada di dasar ini
berusaha mengetahui Tuhannya dan Tuhan menurunkan wahyu karena kasihan
melihat kelemahan manusia dibandingkan kemahakuasaan-Nya. Manusia yang
dimaksud oleh Muhammad Abduh di sini adalah kaum khawas yakni orang-orang
yang terpilih dari golongan awam. Hal ini dikarenakan kemampuan akal yang dimiliki
orang khawas yang mampu mencapai Tuhan serta alam ghaib yang berada pada
puncak tertinggi dari alam wujud.10 Untuk mencapai pengetahuan tertinggi ini bisa
melalui dua alat, yaitu: akal dan wahyu.
B. Pemikiran Rasyid Ridha
Muhammad Rasyid Ridho lahir pada tahun 1865 M, di al-Qolamun, suatu desa di
Libanon yang letaknya tidak jauh dari kota Tripoli (Syiria). 11 Ia berasal dari keturunan
al-Husein, cucu Nabi Muhammad. Oleh karena itu ia memakai gelar “Sayyid” di
depan namanya. Ridha menikmati pendidikan masa kecilnya di madrasah tradisional
untuk belajar menulis, berhitung dan membaca al-Qur’an di al-Qalamun. Setelah
dewasa (tahun 1882), ia meneruskan pendikan di madrasah al-Wathaniah al-
Islamiyah di Tripoli di bawah asuhan Syekh Husin al- Jisr al-Tarabulisi. Di Tripoli, ia
memperoleh ilmu-ilmu baru maupun pengetahuan tertentu dalam bahasa Peancis.
Tetapi ia juga menguasai ilmu agama dalam bahasa Arab.

10
Harun Nasution, Muhammad Abduh dan Teologi Rasional Mu’tazilah. (Jakarta: UJI Press, 1987), h. 43
11
Ibrahim Ahmad al-Adawiy, Rasyid Ridha al-Imam al-Mujahid (Mesir: al Muassasah al Misriyyah al-Ammah,
t.th), h. 19

7
Pemikiran pembaharuan yang dimajukan Rasyid Ridha tidak banyak berbeda
dengan ide-ide Muhammad Abduh, bahwa yang sebenarnya, membawa kemunduran
umat Islam menjadi terbelakang adalah karena umat Islam menjadi umat yang malas,
taklid buta dan pasif. Untuk mengatasi itu semua, maka sifat aktif dan dinamis perlu
dihidupkan dan dikembangkan.12 Peran akal dalam hal ini sangat diperlukan. Maka,
bagi Rasyid Ridha akal dapat dipakai terhadap ajaran-ajaran mengenai hidup
kemasyarakatan, tetapi bukan terhadap ibadah. Ijtihad diperlukan hanya untuk soal-
soal hidup kemasyarakatan, terhadap ayat dan hadits yang tidak mempunyai arti tegas
dan terhadap masalah-masalah yang tidak disebutkan secara rinci dalam al-Qur’an dan
hadits. Melalui ijtihad yang demikian akan memacu umat Islam untuk befikir keras
tentang agama dan sosial kemasyarakatan.13
Rasyid Ridha juga menyoroti masalah aqidah Islam hubungannya dengan praktik
di tengah masyarakat Islam saat itu. Umumnya, umat Islam mempunyai pengalaman
agama berdasarkan taklid. Mereka lebih memilih sesuatu hukum atau fatwa yang
sudah baku, karena dianggap merupakan kebenaran mutlak. Dengan dasar itu, segala
sikap berbeda akan tidak sesuai dengan paham ini. Kecenderungan taklid juga akan
menimbulkan sikap menyalahkan terhadap kelompok yang berbeda. Sampai tingkat
yang lebih parah akan membawa pertentangan bahkan permusuhan. Keanekaragaman
paham keagamaan yang muncul justeru makin memperlebar perpecahan di kalangan
umat Islam. Untuk itu umat Islam perlu mencari ternatif paham keagamaan yang
dapat membawa kearah persatuan, yaitu sebagaimana terdapat pada zaman Rasulullah
SAW.

BAB III
12
HM. Yusran Asmuni, Pengantar Studi Pemikiran dan Gerakan Pembaharuan dalam Islam, PT. Raja Grafindo
Persada, Jakarta, 1996, hal. 185
13
Abdul Sani, Lintasan Sejarah Pemikiran Perkembangan Modern dalam Islam, PT. Raja Grafindo Persada
Jakarta, 1995, hal.66.

8
PENUTUP
2.3. Kesimpulan

Dari pembahasan di atas dapat disimpulkan bahwa, Kata teologi berasal dari bahasa
Yunani yaitu theologia yang merupakan gabungan dari dua kata theos (Tuhan atau
Allah) dan logos (ilmu atau bahasa). Jadi, teologi bisa diartikan sebagai ilmu yang
berkaitan dengan Tuhan atau Allah. Dan juga Teologi sebagai sebuah interpretasi
terhadap satu agama harus merespon isu-isu yang dilahirkan dan berkembang dengan
modernitas. Teologi tidak bisa berjalan sendiri sebagai sebuah paham terhadap satu
agama, ia harus diback up dengan pisau analisa modernitas.
Adapun beberapa pemikiran para tokoh, salah satunya dari Muhammad Abduh yang
menurutnya meniscayakan membicarakan mengenai pandangannya tentang kedudukan
akal dan wahyu. Teologi menurut pandangan Muhammad Abduh dapat digambarkan
sebagai Tuhan berada di puncak alam wujud dan manusia ada di dasarnya. Manusia yang
berada di dasar ini berusaha mengetahui Tuhannya dan Tuhan menurunkan wahyu
karena kasihan melihat kelemahan manusia dibandingkan kemahakuasaan-Nya.

DAFTAR PUSTAKA

9
Adisusilo, Sutardjo. 2017. Sejarah Pemikiran Barat: Dari Klasik Sampai Yang Modern.
Jakarta: Rajawali Pers.
Al-Adawiy, Ahmad I. Rasyid Ridha Al-Imam Al-Mujahid. Mesir: al Muassasah al
Misriyyah al-Ammah.
AM, Zaimul. 2018. Sejarah Tuhan: Kisah 4.000 Tahun Pencarian Tuhan Dalam Agama-
Agama Manusia. Bandung: Mizan Pustaka.
Asmuni, Yusran HM. 1996. Pengantar Studi Pemikiran Dan Gerakan Pembaharuan
Dalam Islam. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.
Hidayat, Kamaruddin. 2012. Agama Punya Seribu Nyawa. Jakarta: Noura Books.
Lacoste, Yves J. 2005. Encyclopedia of Christian Theology. New York: Routledge.
Latif, Muhaemin. 2017. Teologi Pembebasan Dalam Islam. Jakarta: Orbit Publishing.
———. 2022. Ragam Paham Dalam Teologi Modern. ed. Quantum. Yogyakarta.
Nasution, Harun. 1987. Muhammad Abduh DanTeologi Rasional Mu’tazilah. Jakarta: UJI
Press.
Sani, Abdul. 1995. Lintasan Sejarah Pemikiran Perkembangan Modern Dalam Islam.
Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.
Yusuf, Yunan. 2014. Alam Pikiran Islam Pemikiran Kalam. Jakarta: PrenadaMedia Grup.

10

Anda mungkin juga menyukai