Kata pengantar………………………………………...........
Rumusan masalah………………………………………….
Tujuan masalah……………………………………………..
Daftar pustaka . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
7. Siapakah Indider-Outsider ?
8. Bagaimana Perspektif Indider-Outsider dalam Studi Islam ?
9. Dimana Posisi Indider-Outsider dalam Studi Agama ?
10. Apakah Problem Indider-Outsider ?
K . Tujuan Masalah
BAB II
PEMBAHASAN
Studi Islam mulai muncul pada abad ke-9 di Irak, ketika ilmu-
1. Metode lisan
Metode ini dapat berupa dikte, ceramah, qira`ah, dan dapat
berupa diskusi. Dikte (imla) adalah metode untuk
menyampaikan pengetahuan yang dianggap baik dan aman
sehingga pelajar mempunyai catatan yang dapat
membantunya terutama bagi yang daya ingatnya tidak kuat.
Metode ceramah
(al-asma`), yaitu guru membacakan bukunya atau
menjelaskan isi buku dengan hafalan, sedangkan murid
mendengarkannya. Pada saat tertentu guru memberi
kesempatan kepada murid untuk menulis dan bertanya.
Metode qira`ah (membaca) biasanya digunakan untuk
membaca. Sedangkan diskusi merupakan metode pengajaran
dalam pendidikan Islam dengan cara perdebatan.
2. Metode hafalan
Metode ini dilakukan oleh murid dengan cara membaca
berulang-ulang sehingga pelajaran melekat di benak
mereka.
Dalam proses selanjutnya, murid mengeluarkan kembali
pelajaran yang dihafalnya sehingga dalam suatu diskusi dia
dapat merespon, mematahkan lawan, atau memunculkan ide
baru.
3. Metode tulisan
penguasaan pengetahuan juga sangat besar artinya bagi
penggandaan jumlah buku karena pada masa itu belum ada
mesin cetak.
Di antara ciri khas pendidikan di masa dinasti Abbasiyah adalah
teacher oriented , yaitu kualitas suatu oendidikan tergantung pada
guru. Pelajar bebas mengikuti suatu pelajaran yang dikehendaki dan
bisa belajar dimana saja, misdalnya di perpustakaan, toko buku,
rumah ulama atau tempat terbuka. Pelajar dapat dikelompokkan
menjadi dua, yaitu pelajar tidak tetap, yang terdiri dari para pekerja
yang mengikuti pelajaran untuk menunjang profesi dan pelajar tetap,
yaitu pelajar yang mempunyai tujuan utama untuk belajar dan
menghabiskan sebagian hidupnya untuk belajar.
c. Toko-Toko Kitab
e. Majelis Kesusasteraan
h. Perpustakaan
Perpustakaan Sabur didirikan pada tahun 383 H oleh Abu Nasr sabur
bin Ardasyir. Dalam perpustakaan ini kurang lebih ada 10.400 jilid
buku.
i. Ribath (Khaniqah)
C. Nizhamiyah di Baghdad
Sebagia besar studi islam saat ini di negara-negara Barat lebih bisa
dipahami dengan latar belakanag perkembangan historis sebagaimana
disebutkan diatas. Sejarah studi islam merupakan sebuah kajian
tersendiri.[Nanji, 2003:2-5]
G . Mengenal Insider-Outsider
Sebelum masuk pada pembahasan yang lebih mendalam, disini perlu
dijelaskan pengertian insider dan outsider. Insider adalah para pengkaji
agama yang berasal dari agamanya sendiri (orang dalam). Sedangkan
outsider adalah para pengkaji agama yang bukan penganut agama yang
bersangkutan (orang luar). Yang menjadi persoalan adalah apakah dari
kalangan insider maupun outsider dalam penilaian benar-benar objektif
dan dapat dipertanggungjawabkan, karena latar belakang dan jerat
histosris yang melekat pada insider maupun outsider.
Mereka sadar bahwa selama ini banyak sarjana Barat telah melakukan
pendekatan yang salah karena mereka menggunakan paradigma dan
teori mereka sendiri dalam mengkaji Islam, sehingga pembahasannya
menjadi tidak lagi objektif berdasarkan realitas Islam yang dipahami
dan diamalkan oleh umatnya. Marshall G.S. Hodgson mengkritik
Clifford Geertz, yang dianggapnya ceroboh dalam mengkaji umat
Islam. Hodgson memandang Geertz kurang memahami sejarah umat
Islam secara baik.
Tidak hanya Islam saja sebenarnya yang menjadi sorotan, pada tahun
1960 an pernah muncul sebuah pernyataan yang menjadi perdebatan
panjang mengenai sifat dasar dari studi agama Sikh. Perdebatan ini
secara cepat meluas melebihi permasalahan outsider-insider, dan
d i s a nd a r k a n k e p ad a a l - Q u r' a n . D a l a m
I s l a m a d a l a h a l -Q u r' a n da n a l - Q u r ' a n
p e n g er t ia n y a ng s a ng a t da l m
a d a l ah I s la m . T af s ir u ta m a a l- Qur'an diberikan
oleh Muhammad sendiri. Dengan mengikuti metode beliau banyak
tokoh agung — guru, wali, filosof, teolog, ahli hokum- menjelaskan dan
menafsirkan naturalitas visi asli sesuai kebutuhan zamannya.”
Dalam kajian buku ini Murata dan Chittick mencoba mengkaji Islam
secara komprehensif. Selain meneliti teks, mereka juga melakukan
kajian di luar teks dan menyelidiki sudut pandang yang
menjelaskannya. Dalam bukunya mereka membagi kajian Islam ke
dalam empat bagian yaitu: pertama tentang Islam. Kedua tentang
tawhid, kenabian, membahas tentang kembali, membahas aliran-aliran
intelektual antara lain tentang; Ekpresi Islam pada Masa Awal, Kalam,
Sufisme, Filsafat, Dua Pola Pemahaman, Rasionalitas Kalam, Abstraksi
Filsafat,dan Visi Sufisme.
Pada bagian ketiga mereka mengkaji Islam dalam hal Ihsan. Bagian ini
dibagi dalam dua bab yaitu tentang dasar Ihsan dalam Alquran dan
Manifestasi Ihsan historis. Keempat dikaji tentang Islam dalam sejarah.
Dalam bagian empat ini terdiri dari Sejarah sebagai Interpretasi dan
Situasi Kontemporer. Kajian Islam kedua tokoh ini telah memberikan
pujian dari beberapa tokoh antara lain oleh Sayyid Hossain Nasr, dia
mengatakan:
“Ini merupakan karya pengantar Islam yang sangat bagus bagi audiens
Barat. Pengarang mempresentasikan satu kajian komprehensif, yang
berawal dari dalam wilayah kebenaran iman yang diwahyukan,
kemudian memperlebar lingkaran sehingga mencakup seluruh visi
Islam”.
“Karya ini bukan sekedar karya unik tentang seorang sufi besar dan
kontroversial, melainkan sebuah kajian tiada banding tentang
semanngat keagamaan, kehidupan sosial dan politik, serta
keseluruhan peradaban Islam dimana ia hidup dan mati “.
Dalam salah satu karyanya yaitu Heurmenetika al- Qur'an ibn al-
‘Arabi menunjukkan bagaimana Ibn al- Arabi sendiri mengakui bahwa
magnum opus-nya yaitu Futuhat al-Makiyyah adalah uraian yang
didiktekan langsung dari Tuhan. Ibnu al- Arabi ketika menafsirkan
Alquran jauh melampaui makna harfiyah dari ayat-ayat tersebut. Karya
Chittick tentang Ibn al-Arabi ini paling tidak telah memberikan
kenyataan bahwa Islam dalam hal ini pemikiran tasawufnya telah
menarik minat para sarjana Barat untuk melakukan kajian tentang
Islam.
Buku yang menilik umat Islam dari aspek sosial-historisnya tulisan Ira
M. Lapidus, A History of Islamic Societies (1988) merupakan buku
pengantar yang terbaik sejauh ini dan paling komprehensif
termasuk satu bab khusus tentang masyarakat Muslim Asia
Tenggara dan
Indonesia, suatu aspek penting kajian keislaman yang sering
diabaikan oleh penulis-penulis lain. Yang hampir senada dengan
buku ini ialah buah karya Philiph K' Hitti dengan judul History of
The Arab (Serambi, 2013), yang merupakan kajian paling otoritatif
tentang
“Buku ini memuat kajian yang sudah barang tentu telah menjadi bahan
perbincangan sejak ratusan tahun silam. Sesungguhnya kritik nalar
adalah bagian mendasar, bahkan terpenting, dalam setiap proses
kebangkitan. Apakah mungkin membangun proyek kebangkitan dari
nalar yang tertidur, nalar yang tidak mampu melakukan evaluasi secara
komprehensif terhadap mekanisme, konsep dan pemikiran-
pemikirannya?”.
n c ul n ya di si p l i n d a n t el a h st u d i k a w
mu sl im . D an b a g i a n k e e m p at m e n g il u s t
a n t en t a n g m s y a r ak at
ras ik a n p e r lu n ya p e n d ek atan filosofis terhadap
pemikiran keagamaan pada umumnya.
ke a ga m aa n , y an g
t i ti k i n i, i n s id e r m
d id a s ar i o l e h s ik p e m p a t i d a n a n a l isi s k r
a u p u n o u ts s id e r sal in g b e r b a g i k e se i m b a n
it i s. Pada perspektif sejarah dalam studi agama.
g an
c. Centre for Islamic Law and Society di Melbourne Law School, the
University of Melbourne Australia.
Fakta realitas yang sering didiskusikan adalah bahwa kajian insider dan
outsider berkaitan erat dengan pengalaman Barat dan Sarjana Muslim
sendiri dalam menafsirkan dan memahami Islam.Persoalan yang
dipermasalahkan adalah apakah para pengkaji Islam dari outsider
benar-benar objektif, dan dapat dipertanggungjawabkan, dan memiliki
validitas ilmiah dilihat dari optik insider? Penulis sendiri sepakat
dengan pendapat Abdur Rouf yang menyatakan menolak validitas
para pengkaji outsider karena mereka mengkaji Islam atas dorongan
kepentingan kolonial guna melanggengkan dominasi politik dan
ekonomi atas daerah taklukkannya. Karena itu, studi Islam dalam
kerangka argumen itu berarti “kajian ketimuran” (oriental studies)
yang sebenarnya dilakukan oleh intelektual Eropa untuk mahasiswa di
universitas Eropa.[26] Untuk itu, studi Islam dalam perspektif outsider
penuh bias, kepentingan, dan barat sentris. Membaca karya para
outsider tentang Islam harus dilakukan dengan kritis dan penuh hati-
hati. Apalagi bila yang dikaji adalah teks-teks suci yang untuk dapat
memahaminnya diperlukan keyakinan dan ini tidak dimiliki para
pengkaji outsider. Penulis banyak menemukan prasangka dan bahaya
dalam studi Islam Barat. Misalnya adalah analisis studi Islam yang
didasarkan pada prasangka budaya, agama, dan prasangka intelektual
y a n g d i d a s ar ka p a d a su p r e m a i
s a n g a t j e la s m enu n j u kk a n k e re sa
b u d a (c u lt u r a l s u p r em a c y ). P e nu l i s
h a n n ya a ta s k e r j a p a r a Pe n g k a ji B a r a t
atas Islam yang menurutnya memojokkan Islam dan tanpa
menghiraukan apa yang disuarakan oleh para Sarjana dan umat
Muslim sendiri atas dirinya. Dengan kata lain, para Sarjana dan umat
Muslim seakan tidak ada dan juga mungkin disengaja untuk
‘ditiadakan'. Islam hanya dilihat sebagaimana batu, kayu atau benda
mati lainnya yang tidak mempunyai hasrat, keinginan, impian, dan
pendapat untuk mendefinisikan dirinya.
modernisasi, sesat, dan dibawa oleh nabi palsu dan suka seksualitas.
Dengan demikian, hasil presentasi Barat tentang Islam cenderung tidak
objektif.
Atas dasar ini pula sangat ditekankan dengan adanya upaya mencari
metode baru yang lebih memadai tentang pemahaman terhadap Islam.
Ini mengingat sejarah telah memperlihatkan betapa semena-mena
Islam dipandang oleh beberapa Orientalis karena sebagai agama Islam
tidak diletakkan sebagaimana mestinya. Hal ini bisa dilacak dari
berbagai stereotipe yang dilancarkan kepada Islam dengan dalih
keilmiahan.
Dalam pada itu, juga sangat ditekankan akan perlunya seorang outsider
m e n d ap a tk a n tu p e m a h a m a n y a n g l
s e c ar a u tu h s esuai de n g a n p e m a k n a a n d
e b ih m e n d a l m te n t an g I s
a n p en g h a y a tan y a n g d ia lami oleh para para
penganutnya (insiders). Namun juga perlu Outsiders
menyampaikan dan menginformasikan pengamatan mereka kepada
khalayak (umumnya masyarakat Barat yang notabene belum
banyak mengenal Islam) secara ilmiah dan menggunakan bahasa
khalayak tersebut. Dari sini, sudah nampak adanya keniscayaan
bias kultural dalam proses komunikasi itu. Orang yang mendapat
informasi dari penelitian si peneliti luar itu tentu akan
memahaminya melalui praasumsi-praasumsi budayanya.
Rauf menambahkan bahwa Barat sebagai pengkaji Islam harus
melepaskan “pra-anggapan” tersebut dan menghiraukan pendapat
dan suara umat muslim atas dirinya. Bahkan, menurutnya, untuk
mengkaji Islam, khususnya terkait keimanan dan ajaran, para Sarjana
Barat harus
PENUTUP
A . Kesimpulan
Pendidikan Islam yang dimulai dari akhir periode madinah
sampai 4 H, yang pada puncak kemajuan ilmu dan kebudayaan Islam
adalah terjadi pada masa Daulah bani AAbbasiyah Dimulai dari masa
para cendekiawan klasik, modern dan kontemporer. Serta
perkembangan studi di era modern yaitu Masa kebangkitan Islam atau
disebut dengan masa pembaharuan yang terjadi pada abad ke-18M.
Dan juga mengikut sertakan pendekatan-pendekatan kontemporer yang
meliputi pendekatan sosial, sosiologi dan aantropologi Demikianlah
pendidikan Islam pada masa kemajuan Islam, kemajuan yang tidak
ada tandingannya di kala itu. Pada masa ini kemajuan politik sejalan
seiring dengan kemajuan pendidikan, peradaban, dan kebudayaan.
Sehingga Islam mencapai masa keemasan, kejayaan dan kegemilanan.
Masa keemasan ini mencapai puncaknya terutama pada masa
kekuasaan Bani Abbas periode pertama.
DAFTAR PUSTAKA