Anda di halaman 1dari 4

-Biografi

-Pemikiran ignaz terhadap ḥadiṡ


-Pemikiran ignaz terhadap kritik sanad
-Pemikiran ignaz terhadap kritik matan
-Karya-karya
-Kesimpulan

PEMIKIRAN IGNAZ TERHADAP HADIS


Sebenarnya di barat, studi hadits mulai menjadi disiplin ilmu setelah awalnya hanya studi
sejarah islam atau studi kehidupan Nabi Muhammad ‫ ﷺ‬pada tahun 1890. Hal ini
diketahui ketika sarjana Hongaria bernama Ignaz Goldziher (1850-1921) menerbitkan jilid kedua
dari karya bukunya yang terkenal Muhammedanische Studien, di mana dia berfokus
mengemukakan pemikiran dan penelitiannya terhadap ḥadiṡ. Ignaz Goldziher merupakan orang
pertama yang dengan jelas mengartikulasikan keraguannya terhadap hadis.
Memang sebelum Goldziher, banyak tokoh orientalis lainnya salah satunya Gustav Weil (1808-
1889) yang berpendapat dalam buku karyanya Geschichte der Chaliphen bahwa semua ḥadiṡ
dalam al-Bukhari harus ditolak. Gustav juga meragukan keaslian ayat-ayat al-Qur’an yang
berbicara tentang Nabi dan tentang peristiwa Isrā (peristiwa ajaib berupa perjalanan malam
Nabi ‫)ﷺ‬. Meski banyak tokoh orientalis lainnya sebelum Goldziher, Ignaz menjadi
rujukan setiap orientalis yang meneliti atau mengerjakan hadis.
Goldziher dijadikan sebagai rujukan utama dalam penelitian hadis di Barat dikarenakan
menurut Prof. Dr. Muhammad Mustafa Azami, guru besar Ilmu Hadis Universitas King Saud
Ryadh, Goldziher merupakan orientalis pertama yang melakukan kajian mendalam tentang
hadis secara spesifik. Baru kemudian disusul oleh tokoh oritentalis lainnya seperti Joseph
Schacht (1902-1969).
Di awal pengertiannya mengenai hadis dalam buku karyanya, Goldziher menyatakan bahwa
hadis merupakan sebuah kisah, dan komunikasi, yang tidak hanya berlaku diantara orang-orang
yang menyebut kehidupan agama sebagai hadits, tetapi yang dimaksud adalah informasi
historis, baik itu yang bersifat keagamaan, masa yang telah lalu ataupun pada masa tertentu.
Dengan kata lain Goldziher menganggap bahwa hadis tidak lebih hanyalah hasil dari
perkembangan agama, sejarah, dan sosial islam selama dua abad pertama. Ia memperlakukan
hadis sebagai sumber data sejarah.
Ignaz menuduh bahwa penelitian hadis yang dilakukan oleh ulama klasik tidak dapat
dipertanggung jawabkan secara ilmiah karena kelemahan metodenya. Hal itu dikarenakan para
ulama lebih banyak menggunakan metode kritik sanad dan kurang menggunakan metode kritik
matan. Pandangan goldziher terhadap hadis juga menolak konsep infalibilitas dan wahyu yang
tidak dibacakan (ilham) sebagai teori yang dibangun untuk membenarkan posisi sunnah Nabi
sebagai sumber hukum yang sah. Dalam kitab al-Bukhari, Bukhari mencoba memilah hadits
dengan aturannya yang ketat, namun dalam pandangan Goldziher keaslian metode yang
digunakan dan dianggap oleh Bukhari sebagai metode yang dapat diandalkan masih
dipertanyakan.
Kedua orientalis yaitu Goldziher dan C. Snouck Hurgronje (1857-1936) sepakat pada gagasan
bahwa kelompok yang berbeda menyusun banyak hadits dan menggunakannya sebagai sarana
untuk mencapai tujuan mereka. Demikian juga, keduanya mengklaim bahwa literatur hadits
mengandung banyak unsur perjanjian lama dan perjanjian baru, serta hukum Romawi yang
berarti bahwa hukum islam bersumber dari hukum romawi.

pengertian kata matan menurut Goldziher berasal dari masa pra Islam yang semula tidak
mengandung pengertian “bunyi Hadis”, tetapi berarti “naskah tertulis”. Dengan demikian, dia
menyanggah asumsi yang mengatakan bahwa Hadis dalam bentuk aslinya tidak tertulis, tetapi
hanya terbatas pada tutur-tutur secara lisan saja.

PEMIKIRAN IGNAZ TERHADAP MATAN


Goldziher mengklaim bahwa cendekiawan Muslim tidak dapat memperhatikan 'anakronisme
yang jelas' dalam teks hadits. Menurutnya, karena ulama Muslim (kelas ulama) sebagian besar
membatasi upaya mereka pada kritik terhadap isnad dan kurang memperhatikan kritik tekstual
hadits (matan), sehingga mereka gagal untuk memperhatikan kemustahilan logis dan historis
dan anakronisme dalam narasi (matan). Goldziher juga berpendapat bahwa literatur hadits
mengandung banyak unsur perjanjian lama dan perjanjian baru, hadis juga berkaitan tentang
tradisi yang diduga fiktif serta hukum Romawi yang berarti hukum islam bersumber dan
dipengaruhi oleh hukum romawi.
Berkenaan dengan kritik matan ini, Goldziher kemudian menilai penelitian keabsahan hadis
yang dilakukan oleh ulama klasik tidak dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah. Karena itu,
ada yang berasumsi bahwa Goldziher menawarkan metode baru dalam penelitian ini, yaitu
dengan kritik matan saja. Indikasi ke arah ini dapat dilihat dalam pernyataannya, sebagaimana
yang dikutip dalam The Encyclopedia of Religion, bahwa untuk memahami dan menetapkan
kesahihan hadis, tidak dapat disandarkan pada analisa terhadap sanad saja, sebagaimana yang
dilakukan oleh ulama klasik. Melainkan, hal tersebut guna menggambarkan sejauh mana
hubungan teks hadis dengan kondisi eksternal atau latar belakang kondisi sosial politik di mana
hadis tersebut muncul. Terkait contoh di atas, Goldziher menilai bahwa kritik al-Bukhârî hanya
dilakukan pada tataran sanad. Padahal yang lebih utama dipermasalahkan adalah
matannya.Ketika matan hadis tersebut menurut Goldziher lebih cocok dengan kondisi eksternal
ataupun kondisi sosial politik yang ada pada masa tokoh-tokoh sanad-nya, maka hadis tersebut
ia nilai palsu.
PEMIKIRAN IGNAZ TERHADAP SANAD
Goldziher menggambarkan sebuah masyarakat Muslim di mana pemalsuan hadits adalah
fenomena yang tersebar luas, dengan orang-orang sering membuat hadits fiktif untuk tujuan
politik atau lainnya. Dia berpendapat bahwa kelompok yang berbeda akan membuat banyak
hadits yang mendukung posisi mereka masing-masing, atau mengubah tradisi yang ada untuk
membenarkan pandangan mereka, atau menyensor hadits yang telah diadopsi oleh orang lain.
Dia juga menuduh cendekiawan Muslim hanya mengandalkan isnad (rantai penyampai) tanpa
memperhatikan 'anakronisme yang jelas' dalam teks hadits.
Pemalsuan hadis ini dianalisis oleh Goldziher terjadi oleh unsur eksternal yaitu pada era Bani
Umayyah saat permusuhan besar yang ada antara dinasti umayyah dan ulama saleh pada saat
itu. Secara ringkas, unsur eksternal yang dimaksudkan Goldziher adalah bahwa pemerintahan
Bani Umayyah dikenal sebagai pemerintahan yang sekuler. Sementara, umat Islam diliputi oleh
kebodohan akan doktrin agama.
Para Sahabat menyebar ke daerah-daerah taklukan yang letaknya berjauhan. Karena letak
geografis yang berjauhan ini, maka pengumpulan hadis ini cukup menjadi kendala. Kondisi
seperti ini memberikan peluang untuk dilakukannya pemalsuan, yaitu dengan memanfaatkan
orang-orang Saleh, yang motivnya berupa politik, legitimasi doktrin teologi, dan hukum. Dari
sini, unsur eksternal itu terkait dengan periwayatan hadis.
Mendasari keraguannya, Goldziher menunjukkan bahwa terdapat sejumlah Sahabat yang lebih
lama dan lebih mengenal baik Nabi Muhammad saw. Namun ternyata kebanyakan hadis
ditransmisikan melalui jalur selain mereka, yaitu para sahabat yang tergolong muda, bukan para
Sahabat senior yang tentu lebih mengenal hidup dan keseharian Nabi.
Goldziher tidak menafikan sama sekali bahwa ada di antara Sahabat Nabi yang menulis hadis
secara personal di dalam lembaran-lembaran catatan pribadinya. Namun ketika para Sahabat
ini telah melampaui masa bersama Nabi, dan para Sahabat telah sampai pada generasi
berikutnya, mulai terjadi pemalsuan baik karena alasan politik maupun alasan keagamaan. Di
sini-lah menurut Goldziher penggunaan isnâd baru dimulai.
Mengenai penggunaan isnâd ini, Goldziher mengatakan, "Orang akan menyampaikan hadis-
hadis yang seolah-olah benar dengan mata rantai periwayatan ke belakang, sampai kepada
tokoh-tokoh terkemuka yang paling tinggi, yaitu Nabi dan Sahabatnya, dan menggunakan
mereka untuk mengesahkan baik doktrin teoritis maupun doktin demi tujuan praktis."
Pemalsuan itu terjadi dengan cara diproyeksikan ke belakang kepada tokoh-tokoh yang
memiliki otoritas (dalam sanad yang lebih awal) hingga sampai pada tokoh yang otoritasnya
paling tinggi, yaitu Nabi. Lebih Goldziher memandang bahwa hadis yang sanadnya hanya
tersambung dan berakhir sampai pada Sahabat atau Tâbiʻîn, sering juga dikembangkan
sehingga bersambung sampai pada Nabi. Yakni, hadis yang sanadnya mauqûf diubah menjadi
hadis marfûʻ dengan menyambungkan sanadnya dari beberapa nama alternatif (dari Sahabat)
yang dianggap kuat.

Demikianlah Goldziher melakukan kritik hadis yang dimulai dengan kritik matan lalu
berimplikasi kepada kritik sanad dan sistem isnâd. Ketika matan hadis dinyatakan palsu, maka
yang bertanggung jawab atas pemalsuan itu adalah salah satu sanadnya. Dan ketika itu pula,
sistem isnâd dalam hadis itu tidak memiliki nilai historis apapun kecuali sebagai representasi
atas berbagai tendensi yang ada pada masa pemalsuan.

KESIMPULAN
Pengaruh orientalis Goldziher sangat sangat cepat meluas, baik pada kalangan muslim atau pun
non muslim, sebagaimana dikatakan oleh Ali Mustafa Ya’qub dalam bukunya “Kritik Hadits”.
Menurutnya, bahwa pemikiran orientalis Yahudi Ignaz Goldziher ini berpengaruh luas. Bukan
hanya di kalangan orientalis saja, melainkan juga di kalangan pemikir muslim. Dalam hal ini
sebut saja misalnya, Ahmad Amin yaitu seorang pemikir muslim kenamaan dari Mesir dalam
bukunya yang berjudul “Fajr al Islam” banyak terkecoh oleh teori-teori Goldziher dalam
mengkritik hadits. Ahmad Amin berpendapat bahwa awal mula terjadinya pemalsuan hadits
sudah ada pada masa Rasulullah SAW masih hidup (Amin, 1969: 211). Amin berargumentasi
dengan hadits yang berbunyi:
“Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Ubaid al Ghubariy, telah menceritakan
kepada kami Abu Awanah dari Abi Hasin dari Abi Shalih dari Abi Hurairah ia berkata, Rasulullah
SAW bersabda:“Barang siapa yang berdusta atas aku (atas namaku), maka hendaklah ia
bersiap-siap menempati tempat duduk di neraka” (Muslim, 1929: 67).
Menurut Ahmad Amin, diriwayatkannya hadits tersebut, besar dugaan bahwa sudah terjadi
pemalsuan hadits pada masa Rasulullah, atau dengan kata lain bahwa asbab al Wurud (sebab
datangnya) hadits tersebut merupakan peristiwa pemalsuan hadits yang terjadi pada masa
Rasulullah. Pandangan Goldziher hanya menganggap bahwa hadis tidak lebih hanyalah hasil
dari perkembangan agama, sejarah, dan sosial islam selama dua abad pertama.

Anda mungkin juga menyukai