Anda di halaman 1dari 6

FIQHUL HADIS

Pemahaman Hadis dengan Pendekatan Sosio-Historis, dan Aplikasi Pendekatan Sosio-


Historis
Oleh :
Anisah Naela Fitri (1900027011)
Hamzah Qolbi Salsabila (1900027016)

I. Pengertian Sosio Historis


Kata Historis berasal dari bahasa Yunani yang memiliki makna Historia dan
mempunyai pengertian “Apapun yang berkaitan dengan manusia sejak permulaan ia
meninggalkan bekas (atsar) di bumi dengan menggambarkan dan menceritakan kejadian yang
berhubungan dengan kejadian-kejadian bangsa dan individu.1
Pendekatan historis adalah suatu pendekatan dengan melihat kesejarahan. Lalu
pendekatan ini juga digunakan para ulama untuk memahami makna yang terkandung dari Al-
Qur’an dan hadis melalui konteks historis kemunculan nash tersebut sehingga didapat
pemahaman yang lebih konperhesif dan relevan untuk diaplikasikan masa sekarang.2
Pendekatan sosiologis, menurut bahasa kata sosiologi berasal dari bahasa latin yang terdi
ri dari kata “socius” yang berarti teman dan “logos” yang berarti berkata atau berbicara tentang
manusia yang berteman atau bermasyarakat.3 Adapun menurut istilah, sosiologi adalah ilmu yan
g mempelajari struktur sosial dan proses-proses sosial termasuk perubahan sosial. Adapun objek
sosiologi adalah masyarakat yang dilihat dari sudut hubungan antara manusia dan sosiologi juga
dapat diartikan sebagai ilmu yang mendeskripsikan tentang keadaan masyarakat. Dengan pendek
atan sosiologi, suatu fenomena bisa dapat dianalisa dengan menghadirkan factor-faktor yang me
ndorong terjadinya hubungan tersebut. Selanjutnya sosiologi dapat dijadikan sebagai salah satu p
endekatan dalam memahami agama.4
Pendekatan sosio-historis merupakan pendekatan dalam studi hadis yang ingin me
nyatukan antara teks hadis terhadap fakta historis. Sebagai fakta historis, ia harus disesuaikan me
lalui kajian jarh wa ta’dil, apakah informasinya benar atau tidak. Dalam saat yang sama, hadis ju
ga merupakan fakta sosial yang pesan dari redaksinya sangat lekat dengan bagaimana situasi dan
relasi antara individu individu dengan masyarakat, dan bagaimana kultur dan tradisi yang
mengitarinya.5

1
Ulin Ni’am Masruri.2015. Methode Syarah Hadis. Semarang: CV. Karya Abadi Jaya.
2
Ibid’
3
Ibid’
4
Ibid’
5
Dr. H. Abdul Mustaqim, M. Ag. 2016. Ilmu Ma’anil Hadits. Yogyakarta: IDEA Press. Hlm. 64-
65
Singkatnya, dasar pendekatan sosio-historis adalah bahwa hadis itu didudukan sebagai
fakta sosial yang bersifat historis, bukan sebagai doktrin yang bersifat normatif-teologis.
Pendekatan sosio-historis dalam hal ini adalah suatu upaya memahami hadis dengan cara
mempertimbangkan kondisi dan konteks sosio-historis pada saat hadis itu di sampaikan oleh
nabi shallallahu alaihi wa salam . Bagaimana misalnya kondisi dan fakta-fakta sosial
masyarakat arab saat itu, bagaimana pula praktik dan tradisi yang berkembang pada abad ke-7
M. Dengan kata lain, pendekatan sosio-hiostoris adalah pendekatan yang dilakukan dengan cara
mengaitkan antara ide atau gagasan yang terdapat dalam hadis dengan determinasi determinasi
sosial dan situasi historis kultural yang mengitarinya.6
Pendekatan seperti itu sebenarnya sudah dirintis di peroleh ulama hadis sejak dulu, yaitu
dengan munculnya ilmu asbabul wurud, yaitu ilmu yang menerangkan sebab sebab ,mengapa na
bi shallallahu alaihi wa salam menuturkan sabdanya dan waktu menuturkannya. Hanya saja, fok
us kajian asbabul wurud lebih pada diskusi mengenai peristiwa-peristiwa atau pertanyaan-pertan
yaan yang terjadi pada saat hadis tersebut di sampaikan pada nabi. Biasanya asbabul wurud dijad
ikan sebagai salah satu “pisau bedah” untuk menentukan takhshish (memberi ketentuan khusus) t
erdapat ketentuan “am” (umum), membatasi yang mutlak, memerinci yang global dan menentuk
an ada tidaknya naskh (pembantahan hukum), menjelaskan illat (alasan) ditetapkannya hukum d
an membantu menjelaskan hadis yang musykil (sulit dipahami).7
Kemudian, pendekatan sosio-historis merupakan pengembangan teori asbabul wurud al-
hadits. Pendekatan ini akan menekankan pada pertanyaan, mengapa Nabi Saw bersabda demikia
n, bagaimana kondisi sosio-historis, bahkan kultural masyarakat arab abad ke 7 M pada saat itu?
Bagaimana pula proses terjadinya peristiwa peristiwa tersebut yang kemudian di kombinasikan d
engan menyoroti dari sudut posisi manusia yang membawanya kepada perilaku itu, bagaimana p
ula pola pola interaksi masyarakat ketika itu.8

Sejalan dengan tesis fredliche yang menyatakan bahwa seorang Nabi dari suatu agama,
sesungguhnya seseorang yang “mengkritik” dunia sosialnya dan mendengungkan kebutuhan
perubahan (reformasi) untuk mencegah malapetaka di masa mendatang. Demikian kurang lebih
pernyataan seorang sosiolog naturalisme sebagaimana dikutip Margaret M Poloma. Ini memberi
isyarat bahwa hadis-hadis nabi shallallahu alaihi wa salam merupakan bagian upaya nabi
shallallahu alaihi wa salam untuk melakukan transmisi pengetahuan dan sekaligus transformasi
masyarakat. Karenanya, pemahaman terhadap hadis juga harus menimbang-nimbang konteks So
sio kultural masyarakat saat itu dan konteks masyarakat sekarang, mengambil pesan utama dari s
abda nabi shallallahu alaihi wa salam tersebut. Dengan pendekatan Sosio historis inilah, pemba
caan terhadap hadis Nabi menjadi lebih produktif, progresif dan akomodatif dengan perkembang
an masyarakat kontemporer.9
Pendekatan sosiologi terhadap hadis merupakan usaha untuk memahami hadis dari segi
Bagaimana relasi teks hadis dengan perilaku sosial. Pemahaman secara sosiologis terhadap feno
mena hadis nabi shallallahu alaihi wa salam ini sesuai dengan “tugas sosiologi” yaitu memaha
mi sejarah interpretatif terhadap perilaku sosial (sosial Conduct). Misalnya, hadis-hadis yang ter

6
Ibid‟. Hlm. 65
7
Ibid‟.
8
Ibid‟. Hlm. 66
9
Ibid‟.
kait dengan mengapa nabi Saw melarang perempuan pergi jauh sendirian tanpa mahramnya. Sud
ah kah sedemikian gawat kah saat itu ketika perempuan harus pergi sendirian, sehingga nabi
shallallahu alaihi wa salam melarangnya? Yang dipersoalkan dari pendekatan sosiologis adalah
mengapa nabi shallallahu alaihi wa salam melarang demikian, Bagaimana tradisi, praktik dan k
ultur masyarakat saat itu?10
Jika model pemahamannya hanya dengan pendekatan normatif-dogmatis, maka jawaban
atas pertanyaan “di atas mengapa perempuan Dilarang pergi jauh tanpa mahram” di atas adalah k
arena nabi shallallahu alaihi wa salam melarang demikian. Sehingga setiap perempuan harus ta
at dan tidak boleh melanggar larangan tersebut sesuai dengan bunyi teks hadis. Pendekatan Sosi
o historis ingin meneliti bagaimana rasionalisasi antara larangan dengan fakta sosial yang terjadi
ketika itu. Yang menjadi persoalan dari pendekatan sosiologi adalah benarkah semua perempuan
yang berpergian jauh sendirian dilarang? Kalau tidak, faktor faktor sosiologis apakah yang meng
halangi perempuan tersebut tidak boleh pergi sendirian?11
Pendekatan Sosio historis mempelajari bagaimana dan mengapa tindakan laku sosial yan
g berhubungan dengan ketentuan hadis sebagaimana kita lihat. Sikap dasar sosiologis adalah kec
urigaan. Apakah ketentuan hadis itu seperti yang tertulis atau Sebenarnya ada maksud lain dibali
k yang tertulis. Penguasa konsep-konsep sosiologi dapat memberikan kemampuan kemampuan u
ntuk mengadakan Analisis terhadap efektivitas hadis dalam masyarakat, sebagai sarana untuk me
rubah masyarakat agar mencapai keadaan keadaan sosial tertentu yang lebih baik.12
kan menjadi lebih menarik jika kita mampu menghubungkan pendekatan antropologi yak
ni dengan memperhatikan terbentuknya pola-pola perilaku itu pada tatanan nilai yang dianut dala
m kehidupan masyarakat manusia. Kontribusi pendekatan antropologi adalah ingin membuat ura
ian yang meyakinkan tentang apa sesungguhnya yang terjadi dengan manusia dalam berbagai sit
uasi hidup dalam kaitan waktu dan ruang.13
Kalau pendekatan Sosio-historis dan antropologis diterapkan dalam memahami hadis, ma
ka ini sangat relevan, mengingat kehadiran hadis juga merupakan fenomena sosial keagamaan b
ukan semata-mata fenomena teologis wahyu. Bukankah hadis Nabi juga termasuk dalam ruang h
istorisitas kemanusiaan? Nabi shallallahu alaihi wa salam bergaul dan berinteraksi dengan para
sahabat dan perilaku masyarakat Arab, sehingga dapat didekati dengan menggunakan tiga model
pendekatan tersebut sesuai konteks masing-masing. Situasi konteks historis, sosiologis dan antro
pologis di saat hadis Nabi muncul itulah yang hemat penulis dapat disebut dengan istilah Asbabu
l wurud „ammah (sebab-sebab makro).14

II. Urgensi Pendekatan Sosiologis-Historis

Adanya pendekatan tersebut dipastikan seorang studi hadis akan memperoleh suatu pema
haman kontekstual yang luas, dan apresiatif terhadap perubahan masyarakat (social change) yan
g merupakan keterkatan dari adanya perkembangan dan kemajuan sains teknologi. Hal ini merup
akan suatu ijtihad kreatif yang perlu diapresiasi.

10
Ibid‟. Hlm. 66-67
11
Ibid‟. Hlm. 67
12
Ibid‟.
13
Ibid‟. Hlm. 67-68
14
Ibid‟. Hlm. 68
Singkat kata, “menjelaskan suatu dengan dimensi baru atau perspektif baru, meskipun m
ungkin keliru hal itu tetap lebih baik dan lebih penting dibandingkan dengan upaya menjelaskan
sesuatu yang semua orang dengan mudah akan mengklaim sebagai hal yang biasa.” Karena Den
gan begitu kita akan melakukan kreativitas dan inovasi dalam upaya pengembangan keilmuan se
hingga akan muncul kemungkinan-kemungkinan makna baru dalam memahami hadis nabi. 15

III. Aplikasi Hadis dengan Pendekatan Sosio-Historis

Berikut ini kami mencoba menerepkan paradigma interkoneksi dalam memahami hadis,
melalui pendekatan sosiologis-historis.

 Hadis Larangan Perempuan Berpergian Sendiri.

‫حدثنا إسحاق بن إبراهيم الحنظلي قال قلت ألبي أسامة حدثكم عبيد اهلل عن نافع عن ابن عمر رضي اهلل عنهما أن النبي‬
‫صلى اهلل عليه وسلم قال ال تسافر المرأة ثالثة أيام إال مع ذي محرم‬

Artinya: “Telah menceritakan kepada kami Ishaq bin Ibrahim Al Hanzholah berkata; Aku
berkata, kepada Abu Usamah apakah 'Ubaidullah telah menceritakan kepada kalian dari Nafi'
dari Ibnu 'Umar radhiallahu'anhuma bahwa Nabi ‫ ﷺ‬bersabda, "Seorang wanita
tidak boleh mengadakan perjalanan lebih dari tiga hari kecuali bersama mahramnya".16

Validitas sanad:
a. Ishaq bin Ibrahim bin makhlad bin Ibrahim bin Mathar Al-Handzaliy
Tabaqat : Tabi’ul Atba’ kalangan tua
Kuniah : Abu Ya’qub al-Marwaziy lebih di kenal dengan Ibn Rohawaih
Kredibilas : Tsiqoh, Hafidz
Negara : Hims
Wafat : 238 H17
b. Hammad bin Usamah bin Zaid al-Qurasyi
Tabaqat : Tabi’ut Tabi’in biasa
Kuniah : Abu Usamah al-Kufi
Kredibilas : Tsiqoh
Negara : Kuffah
Wafat : 201 H18
c. Ubaidillah bin Umar bin Hafs bin ‘Ashim bin Umar bin al-Khottob
Tabaqat : Tabi’in biasa
Kuniah : Abu Usman al-Madani
Kredibilas : Tsiqoh

15
Ibid‟. Hlm. 68-69
16
Abu Abdillah Muhammad bin Ismail Al-Bukhari, Shahih Bukhari, (Lebanon : Dar Ibnu Katsir, 2002), hlm 265.
17
Al-Hafidz al-Mutqin Jamaluddin Abu al-Hajjaj Yusuf al-Mizzi, Tahdzibul Kamal Fii Isma’I ar-Rijal, (Beirut : M
uashasha ar-Risalah, 1983), juz 2, hlm 265, no 332.
18
Ibid, juz 7, hlm 217, no 1471.
Negara : Madinah
Wafat : 147 H19
d. Nafi’ bin Umar bin Abdullah bin Jamil bin ‘Amir bin Hidzyam
Tabaqat : Tabi’in biasa
Kuniah : Abu Abdullah
Kredibilas : Tsiqoh
Negara : Madinah
Wafat : 117 H20
e. Abdullah bin Umar bin al-Khottob bin Nufail
Tabaqat : Sahabat
Kuniah : Abu Abdurrahman al-Makki
Kredibilas : Tsiqoh
Negara : Madinah
Wafat : 73 H21
Menurut imam an-Nawawi dalam kitab syarah Muslim, sebagaimana di pahami jumhur
ulama merupakan larangan bagi perempuan untuk bepergian yang bersifat sunnah atau mubah,
tanpa disertai mahram. Sedangkan untuk bepergian yang bersifat wajib, seperti menunaikan
ibadah haji, para ulama berbeda pendapat. Menurut Imam Abu Hanifah dan mayoritas ulama
hadis, wajib hukumnya perempuan yang akan menunaikan ibadah haji di sertai mahram atau
suaminya. Menurut Imam Malik, al-Auza’i dan al-Syafi’i tidak wajib. Mereka hanya
mensyaratkan “keamanan” saja, bisa di peroleh dengan mahram berupa laki laki yang haram di
nikahi oleh perempuan, suaminya, atau perempuan perempuan lain yang terpercaya (tsiqah)22.
Dengan demikian, jika pemikiran Imam Malik dan al-Syafi’i dikembangkan, maka
konsep mahram yang tadinya bersifat personal, dapat digantikan dengan sistem keamanan yang
menjamin keselamatan dan keamanan perempuan tersebut. Artinya, selama di situ ada jaminan
dan keselamatan bagi perempuan yang hendak bepergian jauh, sebenarnya tidak ada masalah.
Terkait hadis di atas, sejauh penelitian tidak ditemukan konteks asbabul wurud khusus
sementara jika kita melihat kondisi sosiologis-historis masyarakat dan geografi saat itu sangat
mungkin larangan itu di latar belakangi oleh adanya kekhawatiran nabi shallallahu alaihi wa
salam akan keselamatan perempuan bila bepergian jauh tanpa disertai suami atau mahram.
Berbeda dengan zaman saat ini, kondisi masyarakat sudah tidak di pusingkan dengan keamanan,
karena kondisi saat ini keamanan relatif terjamin. Apalagi alat transportasi dan telekomunikasi
juga sangat canggih yang memungkinkan untuk menjamin keamanan dan keselamatan
perempuan di saat harus pergi sendirian tanpa mahram atau suami23.
Mahram tidak lagi harus dipahami sebagai person akan tetapi dapat di pahami dengan
sistem keamanan yang menjamin keselamatan dan keamanan bagi kaum perempuan.

Daftar Pustaka
19
Ibid, juz 19, hlm 124, no 3668.
20
Ibid, juz 29, hlm 287, no 6367.
21
Ibid, juz 15, hlm 332, no 3441.
22
Dr. H. Abdul Mustaqim, M. Ag. 2016. Ilmu Ma’anil Hadits. Yogyakarta: IDEA Press. Hlm.70
23
Ibid, hlm. 71
Al-Mizzzi, Al-Hafidz al-Mutqin Jamaluddin Abu al-Hajjaj Yusuf. 1983. Tahdzibul Kamal fi
Asma’i ar-Rijal. Beirut : Muashasha Ar-Risalah.
Al-Bukhari, Abu Abdillah Muhammad bin Ismail. 2002. Shahih Bukhari. Lebanon : Dar Ibnu
Katsir.
Yahya, Abu Zakariya bin Syaraf an-Nawawi. Al Minhaj fi Syarhi Shahih Muslim bin Hajjaj.
Riyadh : Bait al-Afkar.
Dr. H. Mustaqim, Abdul. 2016. Ilmu Ma’anil Hadis. Yogyakarta : IDEA.
Ulin Ni’am Masruri.2015. Methode Syarah Hadis. Semarang: CV. Karya Abadi Jaya.
Dr. H. Abdul Mustaqim, M. Ag. 2016. Ilmu Ma’anil Hadits. Yogyakarta: IDEA Press.

Anda mungkin juga menyukai