Anda di halaman 1dari 15

PENDEKATAN HISTORIS STUDI AGAMA ISLAM

Makalah
Disusun guna memenuhi tugas
Mata kuliah : Studi Islam Integratif
Dosen pengampu : Dr. Taufiqur Rohman, M.Sy

Disusun Oleh :
Khairunnisa (50223007)

KELAS A
PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
PASCASARJANA UNIVERSITAS ISLAM NEGERI KH. ABDURRAHMAN WAHID
PEKALONGAN
2023
A. Pendahuluan
Sejak awal permulaan sejarah umat manusia, agama sudah mangenai seluruh
lapisan masyarakat dan seluruh tingkatan budaya. Kehadiran agama semakin dituntut
untuk terlibat secara aktif dalam memecahkan berbagai masalah yang dihadapi umat
manusia. Agama tidak boleh hanya sekedar menjadi identitas normatif atau hanya berhenti
pada tataran teoritis, melainkan secara konsepsional harus dapat menunjukkan cara- cara
yang paling efektif dalam memecahkan masalah. Di dalam memecahkan masalah itulah di
butuhkan pendekatan-pendekatan dalam mempelajari agama.1
Menurut Abuddin Nata, pendekatan-pendekatan tersebut meliputi pendekatan
teologis, antropologis, fenomenologis, psikologis, historis dan filosofis. Dalam memahami
agama juga dibutuhkan pendekatan kesejarahan karena agama turun dalam situasi yang
konkret, bahkan berkenaan dengan kondisi sosial kemasyarakatan. 2 Pendekatan terhadap
sejarah ini bertujuan menemukan karakter agama dengan meneliti sumber secara klasik
atau eksplanasi sebab akibat dari suatu kejadian. Pemahaman terhadap sejarah ini penting
untuk melihat keterhubungan antara satu peristiwa dengan peristiwa lain sehingga tidak
terjadi distori dalam menjustifikasi sebuah peristiwa hukum.
M. Yatimin Abdullah mengatakan bahwa tujuan pendekatan sejarah dalam
pengkajian Islam adalah merekonstruksi masa lampau secara sistematis dan objektif
dengan cara mengumpulkan, mengevaluasi, memverifikasi, serta menyistematiskan
buktibukti untuk menegakkan fakta dan memperoleh kesimpulan yang kuat.3 Melihat
pentingnya mempelajari agama dari segi historis atau sejarah dari masa ke masa. Dalam
makalah ini akan dipaparkan penjelasan studi agama berdasarkan pendekatan
sejarah/historis, untuk dapat menemukan identitas agama dari sudut pandang peristiwa dari
satu masa ke masa lain.

1
Rosihon Anwar dkk, “Pengantar Studi Islam”, (Bandung: Pustaka Setia, 2019), hlm 112
2
Abuddin Nata,” Metodologi Studi Islam”, (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 1998), hlm. 47
3
Rosihon Anwar dkk, “Pengantar Studi…., hlm 132
B. Pembahasan
1. Pendekatan Historis
Secara etimologis, kata sejarah berasal dari Bahasa Arab, yaitu syajaratun yang
berarti pohon. Pengambilan istilah ini berkaitan dengan kenyataan, sejarah dalam
pandangan orang pertama yang menggunakan kata ini menyangkut syajarat-an-nasab,
pohon genealogis yang pada masa sekarang disebut sejarah keluarga (family historis).
Sejarah dipahami mempunyai makna yang sama dengan kata Tarikh (Bahasa Arab) dan
istora (Bahasa Yunani), history (Bahasa Inggris) atau geschichte (Bahasa Jerman).4
Secara bahasa, sejarah mempunyai arti cerita suatu rekonstruksi atau juga
kumpulan gejala empiris masa lampau. Menurut materinya (subject matter), sejarah
dibagi menjadi :
1. Daerah (Asia, Eropa, Amerika dll)
2. Zaman (zaman klasik, modern, pertengahan, dsb)
3. Tematik (sejarah politik, sejarah agama, sejarah seni, dsb)5
Hasan Usman berpendapat bahwa, metodologi sejarah adalah periodesasi atau
tahapan yang ditempuh untuk suatu penelitian sehingga dengan kemampuan yang ada,
kita dapat mencapai hakikat sejarah. Adapun kenyataan dan kebenaran sejarah
bukanlah harus sampai pada kenyataan dan kebenaran mutlak karena hal itu berada di
luar kemampuan, hilangnya petunjuk, misalnya bekas peninggalan, atau ada tujuan dan
kepentingan tertentu.6
Menurut Abuddin Nata sejarah atau historis adalah suatu ilmu yang didalamnya
dibahas berbagai peristiwa dengan memperhatikan unsur tempat, waktu, objek, latar
belakang, dan pelaku dari peristiwa tersebut.7 Secara sederhana historis ini mempelajari
kejadian-kejadian yang menyangkut manusia dari masa lampau. Melalui pendekatan
ini, seluruh peristiwa yang terjadi dapat diketahui asal mulanya dengan cara melihat
kembali lata rbelakangnya, mengurutkan kembali waktu terjadinya, melacak tempat
dan orang-orang yang terlibat dalam peristiwa tersebut.

4
Rosihon Anwar dkk, “Pengantar Studi Islam…., hlm 130-131
5
Khoiriyah, “Memahami Metodologi Studi Islam”, (Yogyakarta: Penerbit Teras, 2013), hlm.91-92
6
Rosihon Anwar dkk, “Pengantar Studi Islam …., hlm 132
7
Abuddin Nata, “Metodologi Studi Islam…., hlm. 46
Pendekatan terhadap sejarah ini bertujuan menemukan karakter agama dengan
meneliti sumber secara klasik atau eksplanasi sebab akibat dari suatu kejadian.
Pemahaman terhadap sejarah ini penting untuk melihat keterhubungan antara satu
peristiwa dengan peristiwa lain sehingga tidak terjadi distori dalam menjustifikasi
sebuah peristiwa hukum.8
Dari sudut waktu, Islam berproses dalam dua bentang waktu yang berbeda tetapi
tidak dapat dipisahkan, yaitu pada masa proses tasyri’ (pada masa Nabi) dan pasca
proses tasyri’ (sejak masa sahabat sampai masa sekarang). Islam, sebagai agama yang
menjadi problem solver dalam kehidupan manusia pada dua bentangan waktu tersebut,
sudah tentu menghadapi berbagai masalah yang berbeda. Ketika Islam berkembang
semakin luas dan bersentuhan dengan keragaman budaya, maka problem yang dihadapi
tentu semakin kompleks bila dibandingkan dengan problem yang dihadapi pada masa-
masa proses tasyri’. Karena itu, studi Islam tidaklah cukup hanya dengan dilakukan
dengan analisi teks, melainkan harus juga dikaitkan dengan konteks yang melatarinya,
baik konteks yang melatari pada saat teks yang diturunkan maupun konteks yang
melatari pada saat teks yang akan diterapkan dalam waktu dan ruang yang berbeda.9
Dalam perspektif historis, pembentukan hukum Islam di negara-negara muslim
menampakkan empat bentuk, yaitu:
1. Dikodifikasikannya pengelompokan hukum yang sejenis ke dalam kitab undang-
undang hukum Islam menjadi hukum perundang-undangan negara (siyasah)
2. Tidak terikatnya umat Islam pada hanya satu mazhab hukum tertentu (takhayyur)
3. Penerapan hukum terhadap peristiwa hukum baru (tatbiq) dan
4. Perubahan hukum dari yang lama kepada yang baru (tajdid)
Dengan demikian, ciri-ciri pendekatan sejarah dalam studi hukum dan hukum
Islam adalah:
1. Kodifikasi aturan hukum
2. Penerapan hukum terhadap peristiwa hukum yang terjadi, dan perubahan yang
terjadi karena perubahan masyarakatnya

8
Rosihon Anwar dkk, “Pengantar Studi Islam”…., hlm. 132
9
M. Ardi Kusumawardana, “Upaya Pengembangan Kajian Islam Melalui Pendekatan Sejarah”, ElHikmah, Jurnal
Kajian dan Penelitian Pendidikan Islam, Vol. 14, No.1, Juni 2020, hlm. 113.
3. Umat yang mengikuti aturan dalam kodifikasi tersebut di masa lampau10
Mengingat begitu besar peranan pendekatan historis ini, maka diharapkan akan
melahirkan semangat keilmuan untuk meneliti lebih lanjut beberapa peristiwa yang ada
hubungannya terutama dalam kajian Islam di berbagai disiplin ilmu, diharapkan dari
penemuan-penemuan ini akan lebih membuka tabir kedinamisan dalam mengamalkan
ajaran murni ini dalam kehidupan yang lebih layak sesuai dengan kehendak syari’at,
mengingat pendekatan historis memiliki cara tersendiri dalam melihat masa lalu guna
menata masa sekarang dan akan datang. Pendekatan historis berbeda dengan
pendekatan teologis normative. Adapun pendekatan normative yakni menggunakan
kerangka ilmu ketuhanan yang mengacu pada suatu keyakinan bahwa wujud kebenaran
dari suatu keagamaan dianggap sebagai yang paling benar dibandingkan dengan agama
lain. Pendekatan ini mendasarkan pada ilmu pengetahuan yang hasilnya tidak bersifat
spekulatif. Dapat diketahui bahwa pendekatan teologi dalam pemahaman keagamaan
adalah pendekatan yang menekankan pada bentuk forma atau simbol-simbol kegamaan
yang masing-masing bentuk forma atau simbol-simbol keagamaan tersebut mengklaim
dirinya sebagai yang paling benar sedangkan yang lainnya sebagai salah.11
Aspek “religiositas” (keberagaman secara umum) di satu pihak dan “ekspresi
keberagaman” di pihak lain, baik yang disampaikan lewat kata (prosa maupun puisi).
Pola tingkah laku (sesembahan atau moralitas), institusi-kelembagaan (gereja, masjid,
pura), hukum (hukum Islam, humum Kristen), tradisi social kemasyarakatan, maupun
mentalitas dan cara berpikir, maka yang pertama mengacu pada aspek “esoteric”,
sedang yang kedua termasuk wilayah “eksoteris”. Pendekatan yang bersifat historis
empiris, lebih tepat dipergunakan untuk menelaah aspek kedua. Sedang pendekattan
teologis-normativ dipergunakan untuk aspek pertama.12
Dua model pendekatan tersebut sangat dibutuhkan dalam era kehidupan
Masyarakat beragama yang bersifat pluralistic. Baik yang bersifat historis- empiris
kritis, maupun yang bersifat teologis-normatis tidak dapat bersifat exhaustive, yakni

10
Ajub Ishak, “Ciri-Ciri Pendekatan Sosiologi Dan Sejarah Dalam Mengkaji Hukum Islam”, Jurnal
Al-Mizan, Vol. 9, No. 1 Juni 2013, hlm. 66
11
Abuddin Nata,” Metodologi Studi Islam”…., hlm.29
12
M. Amin Abullah, “Studi Agama Normativitas atau Historisitas”, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar,
1999), hlm. 12
tidak dapat berpretensi dapat menyelesaikan dan memecahkan pesoalan agama
setuntas-tuntasnya atau sesempurna-sempurnanya. Dalam studi agama beberapa akar
dalam disiplin tradisional, yaitu: pertama, tradisi-tradisi kemanusiaan, kedua, disiplin
teologi mengenai teologi, studi bible, dan Sejarah gereja: ketiga, science social,
khususnya antropologi, linguistic dan psikologi: keempat, studi Kawasan (dulu studi
oriental) terutama studi Timur Tengah, Asia Timur, Asia Selatan, dan Asia Tenggara..13
Mengkaji dan mendekati Islam, tidak lagi mungkin hanya dilakukan dari satu
aspek, akan tetapi dibutuhkan metode dan pendekatan interdisipliner. Kajian agama,
termasuk Islam, seperti disebutkan di atas dilakukan oleh sarjana Barat dengan
menggunakan ilmu- ilmu sosial dan humanities, sehingga muncul sejarah agama,
psikologi agama, sosiologi agama, antropologi agama, dan lain-lain.14
Kuntowijoyo telah melakukan studi yang mendalam terhadap agama yang dalam
hal ini Islam, menurut pendekatan sejarah. Ketika ia mempelajari al-Qur’an ia sampai
pada satu kesimpulan bahwa pada dasarnya kandungan al-Qur’an itu terbagi menjadi
dua bagian. Bagian pertama, berisi konsep-konsep, dan bagian kedua berisi kisah-kisah
Sejarah dan perumpamaan. Dalam bagian pertama yang berisi konsep ini kita mendapa
ti banyak sekali istilah al-Qur’an yang merujuk kepada pengertian-pengertian
normative yang khusus, doktrin-doktrin etik, aturan-aturan legal, dan ajaran-ajaran
keagamaan pada umumnya. Istilah-istilah atau singkatnya pernyataan-pernyataan itu
mungkin diangkat dari konsep-konsep yang telah dikenal oleh Masyarakat Arab pada
waktu al-Qur’an, atau bisa jadi merupakan istilah-istilah baru yang dibentuk untuk
mendukung adanya konsep-konsep relegius yang ingin diperkenalkannya. Yang jelas
itu kemudian diintegrasikan ke dalam pandangan dunia pandangan dunia al-Qur’an,

dan dengan demikian, lalu menjadi konsep-konsep yang otentik.15

13
M. Arfan Mu’ammar, Abdul Wahid Hasan, dkk, “Studi Islam Perspektif Insider/Outsider”,
(Jogjakarta: IRCiSoD, 2013), hlm. 66-67
14
Dasmun, “Studi Al-Quran Dan Al-Hadits (Pendekatan Historis Dan Filologi)”, Jurnal Risaalah,
Vol.1, No. 1, Desember 2015, hlm. 85
15
Syarifudin, “Pendekatan Historis Dalam Pengkajian Pendidikan Islam”, Jurnal Ilmiah “Kreatif”,
vol. XII, No. 2, (Juli, 2015), hlm. 11-12
Selanjutnya, jika pada bagian yang berisi konsep, al-Qur’an bermaksud
membentuk pemahaman yang komprehensif mengenai nilai-nilai Islam, maka pada
bagian yang kedua yang berisi kisah dan perumpamaan, al-Qur’an ingin mengajak
dilakukannya perenungan untuk memperoleh hikmah. Melalui pendekatan sejarah ini
seseorang diajak untuk memasuki keadaan yang sebenarnya berkenaan dengan
penerapan suatu peristiwa. Dari sini maka seseorag tidak akan memahami agama keluar
dari konteks historisnya. Seseorang yang ingin memahami al-Qur’an secara benar
misalnya, yang bersangkutan harus memahami sejarah turunnya al-Qur’an atau
kejadian-kejadian yang mengiringi turunnya al-Qur’an yang selanjutnya disebut
dengan ilmu asbab al-nuzul yang pada intinya berisi sejarah turunnya ayat al-Qur’an.
Dengan ilmu ini seseorang akan dapat mengetahui hikmah yang terkadung dalam suatu
ayat yang berkenaan dengan hukum tertentu, dan ditujukan untuk memelihara syari’at
dari kekeliruan memahaminya.16
Perbedaan dalam melihat islam yang demikian itu dapat menimbulkan perbedaan
dalam menjelaskan islam itu sendiri. Ketika islam dilihat dari sudut normatif, makai
slam merupakan agama yang didalamnya berisi ajaran Tuhan yang berkaitan dengan
urusan akidah dan mu’amalah. Sedangkan ketika Islam dilihat dari sudut historis atau
sebagaimana yang Nampak dalam Masyarakat, maka Islam tampil sebagai sebuah
disiplin ilmu.17
Dalam kajian studi keislaman ada dua pendekatan yang menurut Amin Abdullah
saling bekerjasama, tidak dapat dipisahkan, yakni pendekatan teologis normative dan
penddekatan historis-empiris. Kedua pendekatan tersebut tidak dapat dipisahkan antara
satu dengan yang lainnya. Ibarat sebuah keping logam dimana kedua permukaannya
menyatu dalam satu kesatuan yang kokoh. Abu Rabi’ mengguanakan pendekatan
“historis-empiris” yakni melalui analisis yang tajam terhadap aspek historis ajaran
wahyu, sehingga membantu menjernihkan duduk persoalan kebergamaan. Melalui
penddekatan historis seseorang diajak mneukik dari alam identitas kea lam yang
bersifat empiris dan mendunia. Dari keadaan ini seseorang akan melihat adanya

16
Syarifudin, “Pendekatan Historis…, hlm. 11-12
17
Mokh. Fatkhur Rokhzi, “Pendekatan Sejarah Dalam Studi Islam”, Jurnal Pendidikan Islam, Vol. III, No. 1,
(Maret, 2015), hlm. 93
kesenjangan dan keselarasan antara yang terdapat dalam alam idealitas dengan yang
ada di alam empiris dan historis.18
2. Penerapan Pendekatan Historis
Penerapan pendekatan historis dapat dilakukan pada studi sumber Islam atau
studi Al-Quran maupun Sunnah, misalnya:
a. Fenomena orang mabuk shalat
Terdapat landasan normatif dalam Al-Quran “janganlah kamu mendekati shalat,
sedang kamu mabuk”. Melalui teks tersebut terdapat makna bahwa jika sesorang
sedang mabuk janganlah ia shalat hingga ia sadar. Namun juga berkesan bahwa di luar
shalat boleh mabuk. Jelas keliru. Ayat tersebut mesti dipahamai melalui pendekatan
historis asbabun nuzul-nya. Ayat itu merupakan rangkaian pengharaman khamr.
Awalnya khamr hanya disebutkan banyak madharatnya saja dibanding dengan
manfaatnya. Lalu dipertegas oleh ayat di atas bahwa janganlah shalat ketika mabuk dan
diakhiri dengan pengharaman khamr di ayat lain. Maka, dengan pendekatan historis
ayat, tidak akan ada misinterpretasi makna dalam memahami sebuah ayat.
b. Buku yang paling awal ditulis oleh kaum muslimin adalah Kitab Allah
Awalnya mereka sempat ragu-ragu untuk menuliskannya. Pembunuhan besar-
besaran pada para penghafal al-Qur’an pada saat terjadinya perang Riddah (perang
melawan orang-orang murtad) dan perang melawan nabi palsulah yang membuat
mereka menuliskan Kitab Allah. Hal itu dikarenakan adanya rasa khawatir Kitab Allah
akan lenyap dan dilupakan.
c. Keraguan yang lebih besar terjadi tatkala akan dilakukan penulisan hadis-hadis
Rasulullah
Hadis-hadis Rasulullah itu tidak dituliskan karena khawatir bercampur baur
dengan al-Quran/ abu bakar telah memerintahkan manusia saat ini untuk tidak
meriwayatkan sesuatu dari Rosulullah. Umar kemdian melanjutkan tradisi Abu Bakar.
Penulisan hadis ini tidak dimulai kecuali pada pertengahan abad ke-2 Hijriyah atau
pertengahan abad ke-8 Masehi.

18
Minhaji, Luluk Maktunah, “Studi Islam Dalam Pendekatan Historis: (Studi Atas Tawaran Pemikiran Ibrahim M.
Abu Rabi’)”, Jurnal Lisan Al-Hal, vol. XVII, no. 1, (Juni, 2013), hlm. 151
d. Seseorang yang ingin memahami Al-qur’an secara benar misalnya, yang
bersangkutan tarus mempelajari turunnya Al-qur’an atau kejadian- kejadian yang
mengiringi turunnya Al-qur’an yang selanjutnya disebut sebagai Ilmu Asbab al Nuzul
(Ilmu tentang Sebab-sebab Turunnya Al- qur’an) yang pada intinya berisi sejarah
turunnya ayat Al-qur’an.19
3. Islam: Antara Normativitas dan Historisitas
Pembaruan merupakan aktualisasi dari watak dasar Islam yang terbuka dan
universal. Pembaruan ini mengantarkan pada fungsionalisasi ajaran agama di tengah
dinamika kehidupan masyarakat yang senantiasa berubah. Amin Abdullah menyatakan
bahwa studi Islam sebagai sebuah kontruksi pemikiran yang sejatinya mewadahi
aktivitas pembaruan masih terbelenggu oleh teks (nomativitas) sehingga kurang
sensitive dalam merespon realitas perkembangan zaman. Padahal kajian terhadap
historitas keberagaman sedemikian penting bagi komunitas muslim dalam rangka
memahami dan menangkap esensi ajaran Islam yang terurai dalam realitas
kemanusiaan.20
Secara normative, Islam itu absolut, sacral dan universal yang kebenarannya
trans-historis melewati batas ruang dan zaman, sehingga dalam wilayah ini ia tunggal.
Ketunggalan Islam terwakili oleh al-Qur’an walaupun islam telah ekspensif dalam area
multi Bahasa dan menyejarah dalam multi era, tetapi sumber norma itu tidak pernah
mengalami distorsi.21
Al-Qur’an merupakan sumber norma yang mengatur kehidupan manusia dalam
hubungan vertikal dengan Tuhan maupun hubungan horizontal sesame manusia. Ia
memuat nilai-nilai kemanusiaan yang universal yang diberlakukan kepada semua
manusia pada tingkat yang sama. Dalam khazanah pemikiran Islam al-Qur’an telah
melahirkan sederetan teks turunan dengan berbagai versi, sifat dan pendekatannya yang
sedemikian luas dan mengagumkan. Teks-teks turunan itu merupakan teks kedua.

19
Sri Haryanto, “Pendekatan Historis Dalam Studi Islam”, Jurnal Ilmiah Studi Islam, vol. 17, no. 1, (Desember,
2017), hlm. 132-133
20
Edi Susanto,” Dimensi Studi Islam Kontemporer”, (Jakarta: Prenadamedia Group, 2016), hlm. 70
21
Nasitotul Janah, “Pendekatan Normativitas dan Historisitas Serta Implikasinya dalam Perkembangan Pemikiran
Islam”, Jurnal Studi Islam, vol. 13, 2018, hlm. 104.
bila al-Qur’an dipandang sebagai teks pertama yang mengungkapkan dan
menjelaskan makna-makna, norma, simbolisasi dan substansi yang terkandung dalam
al-Qur’an dengan kecenderungan dan karakteristik, visi, misi dan orientasi, perspektif
dan teori yang berbeda-beda.
Namun ketika Islam normatif ditransformasikan dalam ranah empirik dan
historisitas manusia, maka kebenarannya menjadi profan, temporer, terikat ruang
waktu, karenanya pada level ini, Islam menjadi dinamis, relatif, dan plural. Hal ini
terjadi karena meskipun teks al-Qur’an diyakini seakan-akan sebagai penjelmaan dan
kehadiran Tuhan, namun begitu memasuki wilayah sejarah, firman Tuhan tadi terkena
batasan-batasan kultural yang berlaku pada dunia manusia. Pada periode awal
pembumian al-Qur’an ketika hegemoni Muhammad SAW yang memiliki hak otoritatif
sebagai penafsir tunggal masih ada, maka homogenitas makna terhadap al-Qur’an
masih relatif dapat dipertahankan. Tetapi ketika Islam telah mengalami perkembangan
secara geografis dan zaman, wajah Islam menjadi semakin beragam dan heterogen.22
Bahasa al-Qur’an memang cenderung bersifat simbolik dan cakupan temanya
juga bersifat multi-dimensioanal sehingga memberi kemungkinan penafsiran yang
berbeda-beda yang pada dasarnya merupakan spektrum konvergen karena ditentukan
olehh berbagai variable menurut tingkat pemahaman praksisdan intelektual penafsir.
Jadi pesan wahyu terbuka lebar bagi manusia untuk diinterprestasikan sesuai atas
kondisi intelektual Masyarakat, perkembangan Bahasa, budaya, dan zaman. Islam
dalam dalam level historis memang tidak akan selalu tunggal, ia tidak akan statis, selalu
ada paradigma baru yang mengadaptasi dimensi ruang waktu serta lokalitas seiring
berjalannya Sejarah. Pemahaman keberagamaan dalam historisitas Islam berkembang
terus tanpa henti.
Perkembangan itu sendiri kompleks karena menyangkut begitu banyak variable.
Hal ini bukanlah hal yang sedehana, karena setiap zaman menghasilkan hisoritas,
penemuan, wacana dan pemahaman terhadap teks normative yang berbeda dengan
zaman lainnya. Setiap ruang dan waktu menghasilkan wacana, warna, Gerakan,
pembaharuan tersendiri yang setiap titik tekan mengkritisii pemahaman sebelumnya
sambal menelorkan teori baru. Logika dan pemahaman agama, menurut Amin

22
Nasitotul Janah, “Pendekatan Normativitas…, hlm. 104
Abdullah, memerlukan sebuah continuous process untuk menjawab realitas
perkembangan sejarah yang berbeda-beda agar nilai-nilai agama dapat mendorong
perkembangan proses dan memperkaya konsep pembentukan peradaban manusia.
Sekali lagi, heterogenitas pemahaman terhadap Islam terjadi sebagai proses dialektika
antara teks yang sakral, konteks, dan rasionalitas manusia yang profan. Posisi diametral
antara teks dan konteks itulah jika dicermati dalam sejarah pemikiran Islam- selalu
memunculkan ketegangan kreatif antara gerakan pemahaman normatif di satu sisi, dan
gerakan pemahaman historis-liberal disisi lain. Imbas kedua pendekatan ini sangat kuat
dalam pemahaman teologi, hukum, pemikiran politik serta bidang lainnya.
Dengan istilah yang sedikit berbeda, Abdullah menyatakan bahwa pendekatan
dan pemahaman terhadap fenomena keberagamaan yang bercorak teologis normative-
tekstual dan kritis-historis tidak selamanya akur dan irama hubungan antara keduanya
seringkali diwarnai dengan tension dan ketegangan baik yang bersifat konstruktif
maupun destruktif. Kelompok normatif-tekstual acap menuduh bahwa pemahaman
kelompok konteksrual adalah pemahaman agama yang bersifat reduksionis sedangkan
kontekstual mengklaim pendekatan normatif itu mengabsolutkan teks yang tertulis
tanpa berusaha memahami latar belakang teks keagamaan yang bersifat kultural
psikologis maupun sosiologis. Karena itulah menurut Amin, problema paling serius
umat Islam yang sulit ditemukan solusinya adalah bagaimana mengaitkan nilai-nilai
normativitas yang fundamental yang absolut dengan historitas dan konteks kesejarahan
kehidupan manusia yang selalu mengalami perubahan peradaban.23
Bagaimanapun beragamnya pengetahuan, tetapi ada satu hal yang mesti diingat,
bahwa setiap tipe pengetahuan mengajukan tuntunan (claim) agar orang membangun
“apa yang diketahui” menjadi sesuatu yang sahih (valid) atau benar (true). Kesahihan
pengetahuan banyak bergantung pada sumbernya..24
Pendekatan normative berangkat dari keyakinan bahwa Islam itu agama wahyu
yang kebenarannya bersifat mutlak dan universal karenanya tidak mungkin mengambil
kesimpulan yang bertentangan dengan teks wahyu. Jadi kesimpulan yang diambil
bukanlah berdasar pendekatan fakta melainkan berdasar keyakinan teologis. Bahwa

23
Nasitotul Janah, “Pendekatan Normativitas..., hlm 105-106
24
Syarifudin, “Pendekatan Historis Dalam.., hlm. 8
kebenaran adalah sejauh mana fakta sesuai dengan wahyu. Dengan demikian realitas
harus tunduk dan menjadi sub-ordinasi di bawah otoritas teks – teks agama. Sebaliknya
pendekatan kedua, historis, berasumsi bahwa setiap agama selalu lahir dalam konteks
yang menyejarah. Karena jika tanpa konteks yang menyejarah, maka agama menjadi
absurd dan tak memiliki makna apa-apa. Agar agama memiliki signifikansi, hal ini
mensyaratkan adanya proses dialektika dengan realitas empiris masyarakat karena
dengan ini agama dipercaya dapat mengubah realitas diluar dirinya dan pada saat yang
sama realitas luar itu berpengaruh terhadap agama. Bagi pendekatan ini, praktik agama
tidak harus melalui huruf per huruf dari firman Tuhan melainkan cukup menangkap
spirit universal agama. Agama bukanlah entitas yang mengatasi sejarah, namun
mengandung status spatio temporal yang terbatas ruang dan waktu. Agama bukanlah
produk Tuhan seratus persen, namun ada intervensi sejarah, karena wahyu bukan turun
di ruang hampa kebudayaan, namun justru berkelindan dengan historisitas manusia
sebagaimana digambarkan penulis dibawah ini:

Jika dianalogikan Islam laksana bola salju (snow ball). Semakin lama semakin
banyak pemeluknya, maka wajah keberagamaan semakin plural dan multi wajah,
beraneka dan semakin warna-warni baik, secara sinkronik dan diakronik. Dari sini
muncul pertanyaan krusial, jika kalau begitu apakah mungkin mempertahankan
autensitas Islam. Manakah Islam yang autentik, Arabkah, Indonesiakah, atau bahkan
Eropakah? Periode salaf dulu, atau justru sekarang, atau yang manakah?. Ini adalah
persoalan paradigma, lebih urgen manakah antara teks/skriptural – legal formal dengan
nilai-nilai substansial, manakah diantara keduanya yang lebih autentik? memang agak
problematis-dilematis. Jika autensitas diserahkan pada legal formal teks, maka ia suatu
saat mungkin dihadapkan pada kenyataan bahwa tidak semua ketentuan legal formal
itu kompatibel dengan kondisi umat. Karena itu autensitas harus berhadapan dengan
fungsionalitas dan juga progresivitas. Dalam proses ini sering terjadi ketegangan ketika
pengalaman keberagaam mulai berubah muatan dan kompleksitasnya - bukan
essensinya – lantaran perkembangan ilmu, teknologi dan lainnya yang semuanya
memperluas dan mengambangkan cakrawala pengalaman pemikiran manusia.25
C. Kesimpulan
Dalam kajian studi keislaman ada dua pendekatan yang saling bekerjasama, yakni
pendekataan teologis-normatif dan pendekatan historis-empiris. Kedua pendekatan
tersebut tidak dapat dipisahkan antara satu dengan yang lainnya. Pendekatan “historis-
empiris” menekankan pada analisis terhadap aspek historis dengan memperhatikan unsur
tempat, waktu, objek, latar belakang, dan pelaku dari peristiwa tersebut, sehingga
membantu menjernihkan pokok persoalan keberagmaan. Dari keadaan ini seseorang akan
melihat adanya kesenjangan dan keselarasan antara yang terdapat dalam idealitas dengan
yang ada dialam empiris dan historis.
Untuk menemukan karakter agama dengan meneliti sumber secara klasik atau
paparan sebab akibat dari suatu kejadiann bisa dilakukan dengan pendekatan historis. Hal
ini dapat mengurai keterhubungan suatu peristiwa dengan peristiwa lain sehingga tidak
terjadi mis interpretasi dalam menghukumi sebuah peristiwa. Penelitian akan terulas sesuai
atas kondisi intelektual Masyarakat, perkembangan Bahasa, budaya, dan zaman.
Pendekatan historis memiliki cara sendiri dalam melihat masa lalu guna menata masa
sekarang dan akan datang.

25
Nasitotul Janah, “Pendekatan Normativitas…, hlm.106-108
DAFTAR PUSTAKA

Abullah, M. Amin. 1999. Studi Agama Normativitas atau Historisitas?. Yogyakarta: Pustaka
Pelajar.

Anwar, Rosihon, dkk. 2019. Pengantar Studi Islam. Bandung: Pustaka Setia. Dasmun. 2015. “Studi
Al-Quran Dan Al-Hadits (Pendekatan Historis Dan Filologi)”. Vol.1. No. 1. Jurnal Risaalah.

Dede Ahmad Ghazali, studi Islam: Suatu pengantar dengan pendekatan interdisipliner, (Bandung:
PT Remaja Rosdakarya, 2017), hlm. 91-92.

Haryanto, Sri. 2017. “Pendekatan Historis Dalam Studi Islam”. Vol. 17. No. 1. Jurnal Ilmiah Studi
Islam.

Ishak, Ajub. 2013. “Ciri-Ciri Pendekatan Sosiologi Dan Sejarah Dalam Mengkaji Hukum Islam”.
Vol. 9. No. 1. Jurnal Al-Mizan.

Janah, Nasitotul. 2018 “Pendekatan Normativitas dan Historisitas Serta Implikasinya dalam
Perkembangan Pemikiran Islam”. Vol. 13. Jurnal Studi Islam.

KBBI. 2008. Kamus Besar Bahasa Indoneia (Edisi keempat). (Jakarta : PT. Gamedia)
Kusumawardana.

M.Ardi. 2020. “Upaya Pengembangan Kajian Islam Melalui Pendekatan Sejarah”. Vol.14. No.1.
El-Hikmah, Jurnal Kajian dan Penelitian Pendidikan Islam.

Minhaji, Luluk Maktunah. 2013. “Studi Islam Dalam Pendekatan Historis: (Studi Atas Tawaran
Pemikiran.

Ibrahim M. Abu Rabi’)”. Vol. XVII. No. 1. Jurnal Lisan Al-Hal. Mu’ammar.

M. Arfan, Abdul Wahid Hasan, dkk. 2013. Studi Islam Perspektif Insider/Outsideri. Jogjakarta:
IRCiSoD.

Nata, Abuddin. 1998. Metodologi Studi Islam. Jakarta: RajaGrafindo Persada.

Rokhzi, Mokh. Fatkhur. 2015. “Pendekatan Sejarah Dalam Studi Islam”. Vol. III. No. 1.

Syarifudin. 2015. “Pendekatan Historis Dalam Pengkajian Pendidikan Islam”. Vol. XII. No.
2. Jurnal Ilmiah “Kreatif”.

Susanto, Edi. 2016. Dimensi Studi Islam Kontemporer. Jakarta: Prenadamedia Group.

Anda mungkin juga menyukai