Anda di halaman 1dari 24

MAKALAH

PEMIKIRAN HADITS NABIA ABBOT


(TURKI 1897-1981)

Disusun untuk memenuhi tugas


Mata Kuliah: Pemikiran Hadits Orientalis
Dosen Pengampu: Hasan Su’aidi, M.S.I

Penyusun:
1. Shinta Nurani (2031112002)
2. Erni Asih (2031112005)

PROGRAM STUDI ILMU AL-QURAN DAN TAFSIR


JURUSAN USHULUDDIN DAN DAKWAH
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI
(STAIN) PEKALONGAN
2015

1
BAB I
PENDAHULUAN

Dilihat dari asal usulnya, pemaknaan kata orientalisme mengalami


penyempitan objek dan dipahami sebagai kajian mengenai keislaman yang
dilakukan oleh orang Barat meliputi bagaimana adat istiadat, budaya, bahasa dan
sastra khususnya kajian keislaman di daerah Timur. 1 Sekitar abad ke 19-20
berbagai persoalan mengenai keshahihan Hadis mulai bermunculan, termasuk
pada saat itu marak kajian dari tokoh-tokoh orientalis mengenai status Hadis. Para
orientalis meragukan Hadis karena dinilai pada proses kodifikasinya memakan
waktu cukup lama dari peristiwa periwayatannya.
Kajian Hadis di mata orientalis amat diminati pada saat itu, hal ini
dibuktikan dengan banyaknya karya tulis orientalis yang ikut andil dalam kajian
ini, diantaranya adalah Ignaz Goldziher, Joseph Schact, Juyn Boll, Harald Motzki
dan Nabia Abbott. Urgensi mengenai penelitian Hadis Nabi Saw, juga telah
dijelaskan oleh Shuyudi Ismail. Pertama, memperkokoh keyakinan bahwasanya
Hadis Nabi merupakan sumber hukum Islam. Kedua, menekankan bahwa tidak
semua Hadis Nabi tertulis pada zaman Nabi Saw masih hidup.2
Kajian yang dilakukan para orientalis dititikberatkan pada penelitian tentang
perkembangan literatur Hadis yang menggunakan beberapa metode untuk
menemukan bukti keraguannya atas Hadis Rasul Saw. Hal ini pula yang dilakukan
oleh Nabia Abbott yang menaruh perhatiannya terhadap kajian Hadis dan
sekaligus menjadi wacana penulis untuk menelusuri bagaimana pemikirannya
serta apa saja yang perlu diluruskan mengenai kritik yang dilakukan Nabia Abbott
tentang Hadis dengan komparasi pendapat dari sarjana muslim agar pembahasan
dalam tulisan ini menemukan titik terang akan kekeliruan dan keraguan para
orientalis mengenai keotentikan Hadis Nabi Saw.

1
Wahyudin Darmalaksana, Hadis Di mata Orientalis, (Bandung: Benang Merah Press,
2004), hlm. 9
2
M. Syuhudi Ismail, Kaidah Keshahihan Sanad Hadis: Tela’ah Kritis dan Tinjauan
dengan Pendekatan Ilmu Sejarah, (Jakarta: Bulan Bintang, 1995), hlm. 85-118.

2
BAB II
PEMBAHASAN

A. Biografi Nabia Abbott


Nabia Abbott merupakan salah seorang tokoh orientalis wanita yang lahir
di Madin, Turki pada tanggal 31 Januari 1897 dan meninggal pada tahun
19813, Nabia merupakan seorang orientalis yang sering melakukan perjalanan
ke berbagai daerah, Dia telah mengelilingi Timur tengah sampai ke India, di
India dia mengenyam pendidikan di sekolah Inggris. Nabia menetap di India
hingga perang dunia pertama, kemudian dia pindah ke Iraq pada tahun 1933.
Nabia menjadi wanita pertama yang mendalami pendidikan di Universitas
Chicago pada tahun 1963, kurang lebih berumur 66 tahun dia menyandang
gelar proffesor.
Melalui keseriusan Nabia dalam mempelajari studi perkembangan
manuskrip Arab, beberapa karya diantaranya yakni spesifik membahas
mengenai Hadis, literatur arab dan paleography (tulisan dan budaya Arab
kuno).4 Berikut ini karya-karya Nabia Abbott:
1. Karya-karya dalam bentuk buku, diantaranya:
a. The Rise of The North Arabic Script and its Qur’anic Development, with
a Full Description of The Qur’an Manuscripts in The Oriental Institute,
Chicago: The University of Chicago Oriental Institute Publications,
1939.
b. Aishah; The Beloved Muhammad, Chicago: The University of Chicago
Press, 1942.
c. Studies in Arabic Literary Papyri, Volume I; Historical and Text,
Chicago: The University of Chicago Press, 1957.

3
Muhsin Mahdi, Nabia Abbott, oi.uchicago.edu. Diakses pada tanggal 13 September 2015.
4
M.M. Al-A’zami, The History of The Qur’anic Text: from Relevation to Compilation,
Edisi terjemahan oleh Sohirin Solihin, Anis Malik Thaha, dkk (Jakarta: Gema Insani , 2005), hlm.
129.

3
d. Studies in Arabic Literary Papyri, Volume II; Qur’anic Commentary and
Tradition, Chicago: The University of Chicago Press, 1967.
e. Studies in Arabic Literary Papyri, Volume III; Language and Literature,
Chicago: The University of Chicago Press, 1972.
2. Karya-karya dalam bentuk jurnal, seperti:
a. An Arabic Papyrus in the Oriental Institute Stories of the Prophets,
Journal of Near Eastern Studies, Vol. 5, No. 3. (Jul., 1946), pp. 169-180.
b. A Ninth-Century Fragment of the "Thousand Nights" New Light on the
Early History of the Arabian Nights, Journal of Near Eastern Studies,
Vol. 8, No. 3. (Jul., 1949), pp. 129-164.
c. Maghribi Koran Manuscripts of the Seventeenth to the Eighteenth
Centuries, The American Journal of Semitic Languages and Literatures,
Vol. 55, No. 1. (Jan., 1938), pp. 61-65.
d. Two Buyid Coins in the Oriental Institute, The American Journal of
Semitic Languages and Literatures, Vol. 56, No. 4. (Oct., 1939), pp. 350-
364.5
Pemikiran Nabia Abott dipengaruhi oleh pemikiran tokoh sebelumnya,
orientalis pertama yang menaruh perhatiannya terhadap Hadis Nabi Saw yakni
Ignaz Goldzier yang mana Ignaz mempunyai karya ilmiah yang dipublikasikan
dalam bahasa Jerman, Inggris Prancis dan Arab, di antara karya
monumentalnya yakni Mohammedanische Studien, karya ini dapat disebut
sebagai master peace yang menjadi rujukan paling utama dalam penelitian
Hadis di Barat.6 Karya dari Ignaz ini juga menjadi kitab suci tentang Hadis di
kalangan orientalis sekaligus menjadi bahan rujukan dalam studi keislaman, 7

5
http://www.ghazali.org/site/paleography.htm di akses pada tanggal 1 November 2014.
6
Umi Sumbulah, Kajian Kritis Ilmu Hadis (Malang: UIN-Maliki Press, 2010), hlm. 170.
7
Muhammad Mustafa Azami, Studies in Erly Hadith Literature, terj. Ali Musthafa Ya’qub
(Jakarta: Pustaka Firdaus, 1994), hlm. 3.

4
Goldziher pula dipandang sebagai orang pertama yang meletakkan dasar kajian
skeptis8 terhadap Hadis yang diterima oleh para sarjana Barat.9
Adapun Ignaz Goldziher (1850-1921) mengusung studi kritik tentang
otentitas Hadis. Menurut Ignaz, Hadis merupakan refleksi interaksi dan konflik
pelbagai aliran dan kecenderungan yang muncul kemudian di kalangan
masyarakat Muslim pada periode kematangannya sehingga Hadis adalah
produk buatan masyarakat (tradisi) Islam setelah Nabi Muhammad wafat,
bukan sebagai dokumen sejarah awal perkembangan Islam yang asli dari Nabi
Muhammad Saw.10
Nabia mengkritik pandangan orientalis pendahulunya yaitu Ignaz
Goldziher. Menurut Nabia, pandangan Goldziher tentang Hadis itu keliru
karena Goldziher enggan menelusuri dan mengakui adanya bukti-bukti klasik
yang menunjukkan adanya penulisan Hadis. Goldziher cenderung dan gegabah
menyimpulkan sendiri pendapatnya tentang penulisan Hadis. Nabia
berpendapat bahwa Hadis-hadis Nabi SAW dapat ditelusuri keberadaannya
sejak pada masa Nabi dan bukan merupakan buatan umat Islam setelah abad
pertama Hijriyah, sebagaimana yang dipahami mereka. Bukti nyata tentang
koleksi-koleksi hadis di masa sahabat berasal dari Abdullah ibn Amr al-Ash
(w. 65/684), Abu Hurairah (w. 58/678), Ibn Abbas (w. 67/686), dan Anas ibn
Malik (w. 94/712), yang meneruskan upaya pengoleksian, penghimpunan, dan
periwayatan koleksi-koleksi hadis tersebut.11
Kritik Ignaz Goldziher tersebut, kemudian dilanjutkan oleh Joseph
Schacht (1902-1969) dengan melahirkan karyanya The Origins of
Muhammadun Jurisprudence pada tahun 1950. Meskipun pemikiran Joseph
Schacht masih mengekor dan mengkonstruksi pemikiran Goldziher, namun

8
Skeptis adalah asumsi atau presepsi yang meragukan otentisitas Hadis Nabi. Diantara
orientalis yang dapat dikategorikan memiliki asumsi demikian terhadap Hadis yakni Ignaz
Goldziher, Joseph Schacht, H.A. Juynbool, Michael Cook dan Eckatt Stetter. Umi Sunbullah, Op.
Cit., hlm. 169.
9
Wahyudin Darmalaksana, Hadis di Mata Orientalis, hlm. 88.
10
Syamsudin Arif, “Gugatan Orientalis terhadap Hadis dan Gaungnya di Dunia Islam”,
Jurnal al-Insan, Volume I, No. 2, 2005), hlm. 11.
11
Herbert Berg, The Development of Exegesis in Early Islam; The Authenticity of Muslim
Literature from the Formative Period, hlm. 18.

5
pemikiran Schacht lebih terarah untuk menetapkan gambaran umum Hadis
secara lebih sistematis melalui kajian ilmiahnya dalam hukum Islam, sehingga
menurutnya sifat atau gambaran umum Hadis pada dasarnya sama dengan
pandangan-pandangannya terhadap tradisi hukum.
Merujuk pada asumsi di atas, maka sedikit banyak pemikiran Nabia juga
terpengaruh, bahkan kajiannya menolak pemikiran tokoh-tokoh sebelumnya
yang mengawali kajian Hadis ini. Hal yang membedakan penelitian Nabia
dengan beberapa pendahulunya adalah beberapa pemikirannya yang lebih
bersikap objektif dan tidak hanya mengekor, meskipun Nabia Abbott secara
signifikan berkaitan dengan beberapa pemikiran pendahulunya yaitu Ignaz
Goldziher dan Josepht Schacht. Hal ini karena bahwa mayoritas Sarjana Barat
(Orientalis) dalam mengkaji ilmu keislaman cenderung bersikap negatif bahkan
melecehkan Islam. Berbeda dengan Nabia yang justru melakukan suatu kajian
yang sejalan dengan pemikiran sarjana muslim seperti M. M. Azami, tentang
adanya penulisan hadis pada awal periode Islam yaitu pada masa Nabi.

B. Pemikiran Nabia Abbott tentang Hadis


Awal penelitian yang dilakukan oleh Nabia berangkat dari kegelisahan
Nabia tentang keotentikan dokumen-dokemen hadis yang bermunculan sejak
masa Nabi sampai masa pemerintahan Dinasti Umayyah, yang mana ketika
periode Umar bin Khattab melarang beredarnya dokumen-dokemen hadis dan
menghukum siapa saja yang berkecimpung di dalamnya. Hal ini dilakukan
karena kurangnya perhatian kaum Muslim terhadap studi al-Quran pada saat
penaklukan wilayah luar Arab. Sebagaimana yang dikatakan Nabia:
“The problem for Abott, given the suggestion, is the obvious lack of any
early attempt to standardize all these reports about Muhammad and
more tacitly, the lack of extand manuscripts from this period. Her
solution to this conundrum is to lay the blame squarely on the shoulders
of the second caliph, ‘Umar I (d. 23/644). Because of the lack of
familiaritywith the Qur’an in the newly conquered lands outside Arabia,
the caliph feared “a development in Islam, parallel to that in Judaism

6
and Christianity. So he destroyed the manuscripts of hadiths he
discovered and punished those who had possessed them”.12
“Permasalahannya bagi Abott adalah bagaimana usaha untuk
menstandarisasikan beberapa laporan tentang Muhammad yang pada
periode tersebut belum berkembang. Hal tersebut menurut Abott menjadi
tanggungjawab khalifah Umar bin Khattab (w. 23/644) karena Umar
melihat kurangnya perkembangan studi al-Quran pada saat penaklukkan
wilayah luar Arab. Khalifah khawatir, perkembangan dunia keislaman
akan tergantung dengan budaya Yahudi dan Kristen. Oleh karena itu,
beliau akhirnya memusnahkan sejumlah manuskrip hadis dan
memberikan sanksi bagi siapa yang berkecimpung di dalamnya.”
Dalam otentitas hadis Nabi Muhammad Saw, Nabia mempercayai
adanya catatan-catatan Hadis yang dimiliki oleh sahabat-sahabat Nabi
Muhammad saw, hingga akhirnya Hadis-hadis tersebut dikodifikasi dan
menjadi koleksi. Hal ini pula yang menurut Nabia dapat dijadikan sebagai
jaminan bagi keshahihannya. Nabia juga mempercayai laporan yang
menyebutkan bahwa Umar II yakni Umar bin Abdul Aziz memerintahkan
Ibn Hazm (w.120 H) dan Az-Zuhri juga diperintah untuk memeriksa Hadis
yang berasal dari beberapa wilayah. Menurut Nabia, Az-Zuhri mampu
menyelesaikan tugas dan kemudian mendistribusikan naskah-naskah Hadis
ke berbagai wilayah Islam.
Menurut Nabia, perkembangan Hadis pada masa keemasan yakni pada
abad ke dua dan ke tiga ini merupakan masa di mana pelipatgandaan jalur
sanad, bukan karena perkembangan pemalsuan matan. Seperti yang di
ungkapkan berikut ini:
“...That the tradition of Muhammad as transmitted by his companions and
their successors Wet, as a rule, scrupulously scrutinized at Beach step of
transmission, and that the so called phenomenal growth of tradition in the
second and the Third centuries of Islam was not primarily growth of
content, so far as the Hadith of Muhammad and the Hadith of the
12
Ghulam Nabi Falahi, “Development of Hadith A Concise Introduction of Early Hadith
Literature” dalam www.ukim.org/dakwah/The%20Hadith.pdf, diakses pada tanggal 12 September
2015.

7
companions are concerned, but represent lagely the progressive increase in
parallel and multipe Chain of transmission.”
Sebagai contoh seorang sahabat meriwayatkan satu Hadis kepada dua
orang tabi’in, dan dua orang ini meriwayatkan Hadis yang sama kepada dua
orang periwayat Hadis pada generasi berikutnya, jika rangkaian periwayat
ini terus berlanjut hingga generasi thabaqat keempat dan kedelapan yang
mewakili generasi Az-Zuhri dan Ahmad Ibn Hanbal, maka pada generasi
keempat jumlah Isnad tersebut akan mencapai angka 16 dan pada generasi
kedelapan jumlah itu berlipat ganda hingga 256 jalur sanad. Oleh karena itu,
dengan menerapkan deret ukur (geometrik progression) secara matematis
Nabia berkesimpulan:
“...Using geometric progression, we find that one to two thousand
companions and senior successors transmitting two to five traditions Beach
would bring us well within the range of the total number of traditions
credited to the exhaustive collections of the Third Century, once it is
realized that the Isnad did, indeed initiate a chain reaction that resulted i
nan explosive increase in the number of traditions, the huge numbers that
are credited to Ibn Hanbal, Muslim and Bukhari seem so fantastic afther
all.”13
“...Melalui penggunaan pertumbuhan geometrik, kita dapat menemukan
sekitar dua ribu nama sahabat dan beberapa sarjana yang meriwayatkan
dua sampai lima Hadis yang masing-masing menunjukkan pada kita
seluruh jumlah Hadis yang tercantum dalam beberapa koleksi Hadis pada
abad ketiga. Perkembangan tersebut sekaligus menunjukkan rangkaian
isnad yang terdapat dalam sejumlah Hadis tersebut, dan sebagian besar
isnad tersebut berasal dari Ibn Hanbal, Muslim, dan Bukhari”.

C. Hasil Penemuan Nabia Abbott


Hasil penemuan Nabia Abbot dapat diklasifikasikan sebagai berikut:
1. Analisa Nabia Abbott tentang Hadis sebagai sumber Hukum umat Islam
Menurut Nabia, sunnah dilihat dari segi kedudukan dan fungsinya
diartikan hanya sebatas sebuah praktik hukum terhadap satu bidang,

13
Ali Masrur dan Fuad Mustafid Ali Fasrur, Teori Common Link G.H.A. Juynboll ,
Melacak akar kesejarahan Hadis Nabi (Yogyakarta: PT Lkis Pelangi aksara, 2007), hlm. 43-48.

8
dibanding sebagai solusi dari beberapa aktivitas kehidupan. Walaupun
demikian, Nabia mengakui keberadaan Hadis sebagai sumber hukum kedua
umat Islam. Namun yang menjadi permasalahan adalah keotentikan
dokumen-dokemen hadis yang bermunculan. Setelah melakukan penelitian,
ia mengakui keberadaan dan keotentikan hadis yang sebagian besar muncul
pada abad ke-2 dan ke-3 H. Sebagaimana pernyataan Nabia:
“The term Sunnah, which frequently alternates with the plural sunan,
is not Limited to the example or conduct of muhammad but applies
also to at least the caliphs Abu Bakar and Umar I and to a number of
outstanding men who held high Office under these Three heads of
state. The sunnan is question refer not to general Activities in any
phase of life whatsover but to spesifik fields of administrative and
legal practices.”14
“Definisi istilah Sunnah yang mempunyai bentuk jama’nya sunnan,
tidak hanya terbatas pada contoh atau perilaku Nabi Saw saja, tetapi
juga diaplikasikan kepada khalifah Abu Bakar dan Umar r.a dan
untuk orang-orang yang berdiri dan berpegang teguh di bawah ketiga
kepala negara ini, sunnah tidak hanya sebagai pemberi jawaban dari
segala macam pertanyaan aktivitas dalam kehidupan, akan tetapi
secara spesifik merupakan bagian dari bidang administrasi dan
sebuah praktek hukum.”
Dari pemaparan di atas, dapat di pahami bahwasanya Nabia mengakui
Hadis sebagai sumber hukum dalam agama Islam.
2. Analisa mengenai sejarah perkembangan literatur Hadis
Walaupun Nabia adalah sarjana non-muslim, namun dari segi
metodologi dan kesimpulannya sama dengan sarjana muslim. Dalam hal ini
Nabia berargumen bahwa dia mendukung kegiatan penulisan di kalangan
orang Arab, bahkan lebih mengejutkan bahwa dia percaya kegiatan tulis
menulis ini berlangsung sejak awal yakni sebelum Islam datang, maka tidak
dapat dipungkiri bahwa dia percaya akan adanya tradisi tulis menulis pada
saat Nabi Saw masih hidup, hal ini terbukti bahwa banyak ditemukan
dokumen atau Shahifah milik sahabat Nabi Saw, diantarnya yaitu:
14
Nabia Abbott, Studies in Arabic Literary Papyri II; Qur’anic Commentary and Tradition,
(Chichago: The University of Chichago Press, 1967), hlm. 27.

9
a. Shahifah milik Abdullah Ibn Amr Ibn Al-As (w. 63 H atau 682 M)
Beliau adalah sahabat di kalangan Anshar. Beliau mengetahui
bahwa sahabat-sahabat Nabi Muhammad Saw mencatat Hadis-Hadis.
Informasi ini membangkitkan keingintahuannya. Ia mulai menulis segala
sesuatu yang didengarnya dari Nabi Muhammad Saw. Sebagian
temannya menyanggah perbuatan pencatatan semacam itu, karena
terkadang bisa jadi Nabi Muhammad Saw masih dalam keadaaan marah
dan Beliau mungkin saja mengucapkan sesuatu yang tidak ditujukan
untuk dicatat, dalam masalah ini Abdullah bin ‘Amr meminta izin dari
Nabi Muhammad Saw untuk menulis dan memperjelas keadaan dengan
menanyakan apakah ia boleh menuliskan segala sesuatunya pada setiap
saat, dan Rasul Saw mengizinkannya.15
Sekalipun shahifah dalam tangan Abdullah ibn Amr tidak kita
temui, namun isinya tekah sampai kepada kita karena terpelihara di
dalam kitab Musnad Ahmad. Kiranya tidak berlebihan jika dikatakan
bahwasanya separuh dari isinya merupakan bukti sejarah paling otentik,
yang menunjukkan begitu kuat adanya penulisan Hadis pada masa Nabi
Saw. hal ini dapat menambah keyakinan kita tentang kebenaran bukti
sejarah ini adalah kepastian adanya fatwa dan petunjuk Nabi Saw kepada
Abdullah Ibn Amr,16 sebagaimana yang beliau uraikan dalam Hadis
berikut ini:
ِ ِ‫س َعن الْول‬ ِ ِ ِ
‫يد بْ ِن‬ َ ْ ِ َ‫َح َّد َثنَا ُم َس َّد ٌد َوأَبُو بَ ْك ِر بْ ُن أَبي َش ْيبَةَ قَااَل َح َّد َثنَا يَ ْحيَى َع ْن عَُب ْي د اللَّه بْ ِن اأْل َ ْخن‬
‫ب ُك َّل َش ْي ٍء‬
ُ ُ‫ت أَ ْكت‬ َ َ‫ك َع ْن َع ْب ِد اللَّ ِه بْ ِن َع ْم ٍرو ق‬
ُ ‫ال ُك ْن‬ َ ‫ف بْ ِن َم‬
َ ‫اه‬ َ ‫وس‬ ٍ ِ ِ ِ
ُ ُ‫َع ْبد اللَّه بْ ِن أَبِي ُمغيث َع ْن ي‬

‫ب ُك َّل َش ْي ٍء‬ ِ ِ
ٌ ْ‫صلَّى اللَّهُ َعلَْيه َو َسلَّ َم أُ ِري ُد ح ْفظَهُ َفَن َه ْتنِي ُق َري‬
ُ ُ‫ش َوقَالُوا أَتَكْت‬
ِ ِ ‫أَسمعهُ ِمن رس‬
َ ‫ول اللَّه‬ ُ َ ْ َُْ

‫ْت َع ْن‬
ُ ‫ض ا فَأ َْم َس ك‬
َ ‫الر‬
ِّ ‫ب َو‬ َ َ‫ص لَّى اللَّهُ َعلَْي ِه َو َس لَّ َم بَ َش ٌر َيتَ َكلَّ ُم فِي الْغ‬
ِ ‫ض‬ ِ ُ ‫تَس معهُ ورس‬
َ ‫ول اللَّه‬ ُ ََ َُ ْ

15
Subhi Al-Shalih, Op. Cit., hlm. 36.
16
Ibid., hlm. 34-35.

10
‫ب‬
ْ ُ‫ال ا ْكت‬
َ ‫يه َف َق‬ ِ ‫ك لِر ُس‬
ِ ِ‫ول اللَّ ِه ص لَّى اللَّهُ َعلَي ِه وس لَّم فَأَوم أَ بِأُص ب ِع ِه إِلَى ف‬ ِ ُ ‫اب فَ َذ َكر‬ ِ ‫ال‬
ِ َ‫ْكت‬
ُْ َْ َ َ َ ْ َ َ َ ‫ت َذل‬ ْ
‫ج ِم ْنهُ إِاَّل َح ٌّق‬ ِِ ِ ِ ِ
ُ ‫َف َوالَّذي َن ْفسي بيَده َما يَ ْخ ُر‬
“Telah menceritakan kepada kami Musaddad dan Abu Bakr bin Abu
Syaibah mereka berkata; telah menceritakan kepada kami Yahya dari
'Ubaidullah bin Al Akhnas dari Al Walid bin Abdullah bin Abu Mughits
dari Yusuf bin Mahik dari Abdullah bin 'Amru ia berkata, "Aku menulis
segala sesuatu yang aku dengar dari Rasulullah shallallahu 'alaihi
wasallam, agar aku bisa menghafalnya. Kemudian orang-orang Quraisy
melarangku dan mereka berkata, 'Apakah engkau akan menulis segala
sesuatu yang engkau dengar, sementara Rasulullah shallallahu 'alaihi
wasallam adalah seorang manusia yang berbicara dalam keadaan
marah dan senang? ' Aku pun tidak menulis lagi, kemudian hal itu aku
ceritakan kepada Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam. Beliau lalu
berisyarat dengan meletakkan jarinya pada mulut, lalu bersabda:
"Tulislah, demi jiwaku yang ada di tangan-Nya, tidaklah keluar darinya
(mulut) kecuali kebenaran."17
Shahifah milik Abdullah bin ‘Amr yang dinamakan dengan
Shahifah al-Shadiqah ini memuat Hadis Nabi Saw cukup banyak yakni
kurang lebih memuat 1000 Hadis.18 Hal ini dikarenakan beliau
menuliskan Hadis setiap apa yang beliau dengar dari Rasulullah Saw.
b. Shahifah milik Amr ibn Hazm (w. 50 H)
Ketika Nabi Saw menunjuk Amr ibn Hazm sebagai gubernur di
Najran (Yaman), Nabi Saw telah memberikan kepada Amr instruksi-
intruksi tertulis yang berhubungan dengan kewajiban-kewajiban
administratif yang harus dilakukan. Dokumen yang didiktekan oleh
Rasulullah Saw kepada Ubay ibn Ka’ab, setelah itu secara resmi
diserahkan kepada Amr bin Hazm sebagai pemerintah. Isi dari dokumen

17
Sunan Abi Dawud, Kitab: Al-Ilm, Bab fi kitab al-Ilm, nomor Hadis: 3161.
18
M. ‘Ajaj al-Khatib, As-Sunnah Qabla al-Tadwin, (Kairo, 1963), hlm. 349-350.

11
yang beliau miliki yakni tentang waktu-waktu shalat, tata cara shalat,
wudhu, pajak, zakat, diyat, dan lainnya.19
Amr ibn Hazm telah memelihara dokumen-dokumen tersebut dan
juga telah memperoleh naskah-naskah dari dua puluh satu dokumen lain
yang berasal dari Nabi Saw, yang disampaikan kepada suku-suku
Juhairah, Judzah, Thaiy, Tsaqif dan lainnya (dokumen tersebut
dikumpulkan menjadi dokumen resmi).20
c. Shahifah milik Ali bin Abi Thalib (23 sebelum H-40 H)
Sahabat Ali bin abi Thalib merupakan salah seorang juru tulis
Rasulullah Saw. Dokumen yang dimilikinya telah diakui oleh beberapa
tokoh, di antaranya yakni Abu Juhaifah, Abu al-Tufail, al-Asytar, Al-
Harits ibn Suwaid, Jariyah ibn Qudamah, Qais ibn ‘Abbad, dan Tariq ibn
Shihab. Beberapa Hadis dalam dokumen sahabat Ali membahas tentang
Qishas, Diyat, Fidyah, Hak-hak warga non-muslim ketika berada di
wilayah Islam, dan beberapa masalah zakat serta warisan.
d. Shahifah milik Abu Hurairah r.a (19 sebelum H-58 H)
Abu Hurairah r.a adalah sahabat Nabi Saw yang lebih banyak
meriwayatkan Hadis dibanding dengan sahabat-sahabat lainnya. Jumlah
Hadis yang beliau riwayatkan kurang lebih mencapai 5374 Hadis. Karena
ketekunan beliau dalam mempelajari Hadis, ada beberapa laporan yang
menyatakan bahwa dalam kesehariannya beliau benyak menghabiskan
waktunya bersama dengan Rasulullah Saw untuk mempelajari,
mengamati apa yang beliau lihat dan dengar dari Rasulullah Saw.
Ada seorang murid beliau yang bernama Hammam bin Munabbih
(w. 110 H/ 719M) memiliki shahifah-shahifah dari berisi Hadis-hadis
dari Abu Hurairah r.a, shahifah tersebut dinisbahkan kepadanya dan
kemudian dikenal dengan shahifah Hammam, padahal yang sebenarnya
adalah Shahifah Abu Hurairah yang dimiliki oleh Hammam. Dalam

19
Muhammad Taqi Usmani, The Authority of Sunnah, hlm 100-101.
20
Muhammad Hamidullah, pengantar Studi Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1974), hlm. 51.

12
shahifahnya, Hammam menuliskan pengantar yang berbunyi21 “Abu
Hurairah meriwayatkan kepada kita sebagaimana yang beliau dengar
langsung dari Nabi Saw.” Hal tersebut memberi keyakinan akan
keotentikan sumber yang Hammam riwayatkan, hubungan tersebutlah
yang disebut Sanad (jalur periwayatan).
e. Shahifah milik Anas Ibn Malik (10 sebelum H-93 H)
Sahabat Anas berumur sepuluh tahun ketika Rasulullah hijrah ke
Madinah dan seluruh hidup beliau diabdikan kepada Rasulullah Saw.
terdapat banyak nama murid dari sahabat Anas yang kemudian
menyambungkan hadis darinya atau membuat koleksi sendiri darinya.
Karena beliau hidup hingga penghujung abad pertama Hijriyah, maka
jumlah murid beliau juga semakin meluas. Beberapa kitab dan Hadis-
hadis palsu ada pula yang dinisbatkan kepadanya, karena beliau
merupakan salah satu sahabat Nabi Saw yang mengetahui tulis menulis,
maka beliau menganggap penting arti tulis menulis. Sebagaimana Hadis
beliau: “Kami tidak menghargai pengetahuan yang tidak dituliskan oleh
orang yang mengetahuinnya.”
Shahifah-shahifah tersebut dijadikan sebuah koleksi pribadi ataupun
sebagai pedoman umum para sahabat pada saat itu. Namun, usaha para
sahabat menjadi cukup terhambat, dikala muncul adanya pelarangan
penulisan Hadis oleh Khalifah Umar bin Khattab (13-24/ 634-644), dengan
alasan kekhawatiran beliau terhadap terjadinya percampuran antara Hadis
dan ayat Al-Qur’an. Bahkan sahabat Abu Hurairah (w. 58/ 678) melaporkan
bahwa sepanjang sahabat Umar hidup, tidak ada seorang pun yang berani
mengatakan “Nabi Muhammad Saw Bersabda....”, mereka takut dengan
penegasan sahabat Umar yang akan menghukum mereka yang melanggar
perintah beliau. Namun, anak beliau yakni Abdullah ibn Umar yang pada

21
Muhammad Abdul Ra’uf, Hadith Literature I: The Development of Science of Hadis,
dalam Beston. A. F. L. TM. John stone. R.B. Serjeant dan G.R. Smith (ed.), Arabic Literatue to
the End of the Umayyad Period (Sydney Australia: Cambridge University Press, 1983), hlm. 272.

13
awalnya juga menentang penulisan Hadis dengan mengikuti perintah
ayahnya, pada akhirnya menyetujui adanya penulisan Hadis tersebut.22
Analisa yang dilakukan Nabia menemukan satu kesimpulan
bahwasanya periwayatan secara tertulis maupun lisan telah berjalan
beriringan sejak awal, hal ini dia lakukan dengan meneliti Hadis Nabi secara
cermat dengan jalan meneliti tingkatan periwayatan yakni dari Nabi, sahabat
dan tabi’in. Proses periwayatan yang semacam ini seharusnya
meminimalisasi adanya Hadis palsu, namun menurut Nabia bahwa sanadlah
yang menyebar bukan matannya.
Selain itu, Nabia juga berpendapat bahwasanya kutub as-sittah tidak
sepenuhnya autentik, dalam artian di dalam kutub as-sittah ini menurut
Nabia hanya merupakan intisari dari perkataan atau perbuatan Nabi
Muhammad saw dan sahabat yang direkam oleh Az-Zuhri dan sahabat
lainnya.23
3. Analisa tentang bukti tertulis teks Hadis pada Abad kedua dan ketiga
Hijriyah.
Dalam penelitiannya, Nabia Abbot menemukan beberapa kumpulan
Hadis yang ditulis menjadi tiga belas dokumen yang dalam penyusunannya
ini didasari akan kejujuran dari para sahabat yang menghimpun dan
kemudian disalin secara komprehensif. Keempat belas dokumen ini menjadi
hal yang sangat berguna bagi Nabia Abbott guna menelusuri asal muasal
adanya Hadis beserta penyeleksian demi penyeleksian yang dilakukan
Ulama muslim pada kurun waktu sekitar abad ke-2 Hijriyah hingga abad ke-
3 Hijriyah. Keempat belas dokumen yang dianalisa Nabia Abbot akan
dikemukakan secara ringkas sebagai berikut:
a. Dokumen Wujuh wa al Nazair karya Munqatil ibn Sulaiman (w.150 H)
Menurut Nabia dokumen ini di temukan pada pertengahan abad
kedua Hijriyah. Dokumen ini merupakan sumbangsih dari Munqatil yang
22
Nabia Abbot, Hadith Literature II Collection and Transmision of Hadith, dalam Beeston,
A. F. L, T.M Johnstone, R.B Serjeant dan G.R Smith (ed.), Arabic Literature to The End of The
Umayyad Period (Sydney, Australia: Cambridge University Press, 1983), hlm. 289.
23
Kamaruddin Amin, Menguji kembali Keakuratan Metode Kritik Hadis, (Jakarta: Penerbit
Hikmah PT Mizan Publika, 2009), hlm. 127-28.

14
memiliki keistimewaan dari aspek linguistik dan kental akan aspek
sejarah. Munqatil dalam meyalin Hadis ini masih bercampur antara Hadis
yang menggunakan Isnad dan tidak menggunakan Isnad.
b. Dokumen Muwatha’ karya Malik Ibn Anas (93-179 H)
Dokumen ini merupakan dokumen yang berisi tentang Hadis dan
Fiqih. Menurut Nabia Abbott, dokumen ini ditemukan pada pertengahan
abad kedua Hijriyah. Menurut Nabia, kitab Muwatha’ ini terhindar dari
segala permasalahan kebahasaan maupun tulisan yang dapat dilihat dari
segi paleographynya, bentuk penulisan teks (Hadis) ini menunjukkan
akan keistimewaan dari ulama muslim dalam melakukan penelitiannya di
bidang Hadis, seperti Iman Malik dan sebagainya.
c. Dokumen karya Quthaibah Ibn Sa’d (148-240)
Dokumen ini ditemukan pada akhir abad kedua Hijriyah, Hadis
yang Quthaibah susun dalam dokumen ini dari segi penyusunannya
runtut dan sistematis. Dalam penulisannya, ada identifikasi yang
ditunjukkan berdasarkan nama perawi, seperti warna hijau: Yahya bin
Ma’in, warna merah: Ibn Hanbal.
d. Dokumen karya Fadl ibn Ghanm (w. 236 H)
Menurut Nabia, dokumen ini ditemukan pada kisaran akhir abad
kedua Hijriyah sampai awal abad ketiga hijriyah. Dokumen ini
merepresentasikan salinan dari beberapa sarjana Mesir atas koleksi Fadl.
e. Dokumen karya Ibnu Shihab Az-Zuhri (w. 124 H)
Peran Zuhri sebagai murid, kolektif, pengedit bahkan periwayat
Hadis ini berawal dari masa mudanya yang begitu antusias akan Hadis
Nabi Saw. Dokumen ini ditemukan pada akhir abad kedua Hijriyah atau
awal abad ketiga hijriyah.24
f. Dokumen karyaYahya ibn Sa’id al-Ansari (w. 148 H)
Yahya mengkoleksi Hadis sejak dia tinggal di Madinah dengan
metode mukatabah.

24
Nabia Abbott, Studies in Arabic Literary Papyri II; Qur’anic Commentary and Tradition,
hlm. 166.

15
g. Dokumen karya Rishdin ibn Sa’d (w. 188 H)
Rishdin dikenal sebagai ahli hadis Mesir. Koleksi Rishdin hampir
semua ditolak oleh ulama Hadis. Hal ini dikarenakan dia lemah dalam
hafalan dan banyak melakukan salah.
h. Dokumen karya Abu Shalih Abd Al-Ghaffar ibn Da’ud al-Harrari
Dokumen ini ditemukan pada abad ketiga hijriyah, dokumen yang
merupakan salinan pribadi Harrari ini menggunakan metode dotting
(pemberian titik pada huruf fa’ dan qaf)
i. Dokumen karya Baqiyah ibn al-Walid (w.110 H)
Baqiyah adalah ahli Hadis dari Syiria. Hasil karyanya berisi Hadis
seputar akhbar dan siyar.
j. Dokumen karya Asad ibn Musa (132- 212 H)
Asad tinggal di Mesir dan bertukar tentang materi-materi hadis
dengan sebagian besar sarjana terkemuka di Mesir.
k. Fadha’il al-ansar
Beberapa sumber terpercaya seperti Ibn Sa’d, Abu Hatim al-Razi,
Ibn Hanbal, dan Bukhari meriwayatkan langsung dari al-anshari.
Dokumen ini bertemakan Fadha’il (keutamaan) golongan Anshor.
Dokumen ini juga menyajikan bukti pasti tentang keberlangsungan
penulisan Hadis.
l. Dokumen karya Ali Ibn Ma’bad ibn Saddad (w. 218 H)
Dokumen ini ditemukan pada abad ketiga Hijriyah, sejumlah nama
ahli Hadis dikalangan sahabat juga memiliki koleksi-koleksi Hadis secara
tertulis, melalui hal tersebut dapat terbuki bahwasanya sejak masa awal
sudah ada tradisi secara tertulis yang di laksanakan sahabat.
m. Dokumen karya Ali ibn Ma’bad ibn Nuh (w. 259 H).
Ibn Nuh meriwayatkan Hadis dari Yazid ibn Harun dan Abu
Nu’aim yang meriwayatkan Hadis di Baghdad. Di kalangan masyarakat

16
Kuffah dan Baghdad reputasi kapasitas keilmuan Abu Nu’aim tidak perlu
diragukan lagi.25

D. Kelebihan dan Kekurangan Pemikiran Nabia Abbott


1. Kelebihan Pemikiran Nabia Abbott
a. Nabia Abbott adalah tokoh orientalis wanita yang sangat serius dalam
kajian Hadis.
b. Nabia Abbott tidak menghindari atau memungkiri adanya bukti-bukti
otentik tentang keabsahan Hadis yang dicari dan diteliti dari referensi-
referensi ulama muslim terdahulu sebagai rujukan penelitiannya.
c. Dalam penelitiannya, Nabia Abbot cukup komprehensif terutama
merujuk pada aspek sejarah yang cukup lengkap pembahasannya,
kemudian juga penelitian yang dia lakukan itu dapat diterima secara
logis, sehingga dapat diketahui secara jelas kajiannya terhadap Hadis.
d. Bukti sejarah tentang keotentikan Hadis yang telah dikaji oleh Nabia
Abbott ini membedakan dia dengan tokoh-tokoh orientalis yang bersikap
skeptis tanpa adanya pembuktian secara ilmiah dari segi historisnya.
e. Nabia Abbot merupakan sarjana non muslim, namun pendekatan
penelitiannya terhadap Hadis dapat dikatakan unik, bahkan dari segi
metodologi dan hasil kesimpulannya sama dengan apa yang sudah
menjadi kesimpulan sarjana muslim.26
2. Kekurangan pemikiran Nabia Abbott
a. Penjelasan yang dikemukakan Nabia Abbott terlalu panjang lebar
sehingga sulit untuk diketahui lebih spesifik alur pemikirannya.
b. Nabia tidak menjelaskan beberapa istilah asing yang muncul dalam
penelitiannya seperti istilah recto, versu, dan lainnya.
c. Nabia Abbott tidak terlepas dari sikap ambivalen (menganut nilai
kebenaran ganda). Hal ini karena satu sisi Nabia mempercayai sekaligus
membuktikan keotentikan Hadis namun di sisi lain Nabia mengatakan
25
Lutfi Nur Afidah, Otentisitas Hadis Perspektif Nabia Abbott, (Yogyakarta: Skripsi,
Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga, 2008), hlm. 87-108.
26
Kamaruddin Amin, Op,Cit., hlm. 127.

17
bahwa Nabi Muhammad itu tidak menerima wahyu dari Allah, al-Quran
dan Hadis hanyalah karangan Nabi Muhammad yang materinya merujuk
kepada referensi-referensi yang telah ada sebelumnya seperti kitab agama
Yahudi dan Nasrani.

E. Persaman dan Perbedaan Pemikiran Nabia Abbott dengan Ulama Hadis


1. Persamaan pemikiran Nabia dan Ulama Hadis tentang tradisi hafalan dan
penulisan pada masa Nabi Muhammad Saw.
Mengenai studi literatur Hadis, pada umumnya para ahli Hadis
berpendapat bahwa penulisan Hadis sebenarnya sudah dimulai sejak Nabi
Saw masih hidup. Adapun orang-orang yang diperbolehkan untuk
menuliskan Hadis yakni para sahabat yang terhindar dari pencampuran
antara Hadis dan Al-Qur’an, misalnya sahabat yang Qari’27 atau pandai
menulis atau jarang mengalami kelupaan, maka orang-orang yang demikian
itu yang diperbolehkan oleh Nabi Saw menuliskan Hadis.
Alasan di atas, dijadikan dasar adanya beberapa Hadis yang kuat
tentang adanya izin dari Nabi Saw untuk sahabat menuliskan Hadis. Di
dalam kitab Shahih Bukhari ada keterangan yang menjelaskan bahwa
sahabat Abu Hurairah r.a, pernah berkata: “Tidak ada satu sahabatpun yang
banyak menghafalkan Hadis kecuali aku, hanya saja Abdullah Ibn Amr Ibn
Ash pernah menulis Hadis yang tidak aku tulis.” Kemudian di dalam kitab
Shahih Bukhari pula bahwa sahabat Ali bin Abi Thalib r.a mempunyai
Shahifah.28
Selain dengan menghafalkan Hadis, maka sebagian ulama
berpendapat bahwa Hadis yang menjelaskan tentang kebolehan penulisan
Hadis tersebut menghapus ketentuan Hadis yang melarang penulisan Hadis.
Larangan tentang penulisan Hadis terjadi pada saat awal penulisannya dan
pada saat tidak dikhawatirkan lagi terjadinya pencampuran antara Hadis dan
27
Qari’ yakni orang yang ahli dalam bidang Al-Qur’an.
28
Shahihah yakni sesuatu yang dibentangkan, sesuatu yang ditulis di dalam lembaran-
lembaran kertas.

18
ayat Al-Qur’an atau melupakan Al-Qur’an, maka penulisan Hadis diizinkan.
Lebih terpericinya akan dikemukakan sebagai berikut:29
Pada masa Nabi Saw hadis belum terbukukan secara sempurna
sebagaimana al-Qur’an, hal ini di sebabkan oleh dua hal:
a. Para sahabat berpegangan kepada kekuatan hafalan dan ingatan mereka,
di samping itu alat tulis belum tersebar secara luas di antara mereka.
b. Adanya larangan penulisan hadis pada masa itu, sebagaimana yang
diriwayatkan oleh Imam Muslim dalam kitab shahihnya dari Abu Sa’id
al-Khudzri yang menceritakan sesungguhnya Nabi Saw bersabda:
‫ال تكتبوا عني شيأ إال القرأن ومن كتب شيأ فليمحه‬

“Janganlah kalian menulis sesuatu dariku kecuali al-Qur’an dan


barangsiapa telah menulis sesuatu maka hapuskanlah.”
Larangan penulisan hadis yang tertera pada hadis di atas lebih
disebabkan karena adanya kekhawatiran terjadinya percampuran sebagian
hadis dengan ayat al-Qur’an atau juga karena kekhawatiran para sahabat
menyibukkan diri dengan hadis dan meninggalkan al-Qur’an, atau larangan
tersebut khusus bagi para sahabat yang hafalannya kuat.
Adapun sahabat yang terhindar dari percampuran hadis dengan al-
Qur’an, misalnya sahabat yang Qari’ atau pandai menulis atau sahabat yang
memiliki ingatan yang kuat, maka diperbolehkan baginya menulis Hadis.30
Alasan di atas yang dijadikan dasar adanya beberapa Hadis yang kuat yang
menunjukkan adanya izin bagi sebagian para sahabat untuk menuliskan
Hadis. Bukti otentik yang menunjukkan dengan kuat adanya penulisan
Hadis Nabi Saw yang menambah keyakinan kita tentang kebenaran bukti
sejarah ini adalah tentang kepastian adanya fatwa dan petunjuk Nabi Saw
kepada Abdullah Ibn Amr,31 sebagaimana Hadis yang akan dipaparkan
berikut ini:

29
Muhammad Muhammad Abu Syuhbah, Fi Rihab al-Sunnah al-Kutub al-Sittah, terj.
Hasan Su’aidi, (Yogyakarta: Gama Media Offset, 2007), hlm. 19-21.
30
Ibid., hlm. 19.
31
Subhi al Shalih, Membahas Ilmu-ilmu Hadis (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1995), hlm. 34-
35.

19
ِ ِ‫س َعن الْول‬
‫يد بْ ِن َع ْب ِد‬ ِ ِ ِ
َ ْ ِ َ‫َح َّد َثنَا ُم َس َّد ٌد َوأَبُو بَ ْك ِر بْ ُن أَبي َش ْيبَةَ قَااَل َح َّد َثنَا يَ ْحيَى َع ْن عَُب ْيد اللَّه بْ ِن اأْل َ ْخن‬
ٍ َ َ‫ك َع ْن َع ْب ِد اللَّ ِه بْ ِن َع ْم ٍرو ق‬ ٍ ِ ِ
ُ‫َس َمعُه‬ ُ ُ‫ت أَ ْكت‬
ْ ‫ب ُك َّل َش ْيء أ‬ ُ ‫ال ُك ْن‬ َ ‫ف بْ ِن َم‬
َ ‫اه‬ ُ ُ‫اللَّه بْ ِن أَبِي ُمغيث َع ْن ي‬
َ ‫وس‬
ٍ ِ ِ ِ ِ ‫ِمن رس‬
ٌ ْ‫ص لَّى اللَّهُ َعلَْي ه َو َس لَّ َم أُ ِري ُد ح ْفظَ هُ َفَن َه ْتنِي ُق َري‬
ُ ُ‫ش َوقَ الُوا أَتَكْت‬
ُ‫ب ُك َّل َش ْيء تَ ْس َمعُه‬ َ ‫ول اللَّه‬ َُ ْ
ِ ‫ْت َعن ال‬ َ َ‫صلَّى اللَّهُ َعلَْي ِه َو َسلَّ َم بَ َش ٌر َيتَ َكلَّ ُم فِي الْغ‬ ِ ُ ‫ورس‬
‫ت‬ ِ َ‫ْكت‬
ُ ‫اب فَ َذ َك ْر‬ ْ ُ ‫ضا فَأ َْم َسك‬
َ ‫الر‬ ِ‫ض‬
ِّ ‫ب َو‬ َ ‫ول اللَّه‬ ُ ََ

‫ب َف َوالَّ ِذي َن ْف ِس ي بِيَ ِد ِه َم ا‬


ْ ُ‫ال ا ْكت‬
َ ‫يه َف َق‬ ُْ َْ َ َ َ ْ َ ِ ‫ك لِر ُس‬
ِ ِ‫ول اللَّ ِه صلَّى اللَّهُ َعلَي ِه وس لَّم فَأَوم أَ بِأُص ب ِع ِه إِلَى ف‬ ِ
َ َ ‫ذَل‬
‫ج ِم ْنهُ إِاَّل َح ٌّق‬
ُ ‫يَ ْخ ُر‬
“Telah menceritakan kepada kami Musaddad dan Abu Bakr bin Abu
Syaibah mereka berkata; telah menceritakan kepada kami Yahya dari
'Ubaidullah bin Al Akhnas dari Al Walid bin Abdullah bin Abu Mughits dari
Yusuf bin Mahik dari Abdullah bin 'Amru ia berkata, "Aku menulis segala
sesuatu yang aku dengar dari Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam, agar
aku bisa menghafalnya. Kemudian orang-orang Quraisy melarangku dan
mereka berkata, 'Apakah engkau akan menulis segala sesuatu yang engkau
dengar, sementara Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam adalah seorang
manusia yang berbicara dalam keadaan marah dan senang? ' Aku pun
tidak menulis lagi, kemudian hal itu aku ceritakan kepada Rasulullah
shallallahu 'alaihi wasallam. Beliau lalu berisyarat dengan meletakkan
jarinya pada mulut, lalu bersabda: "Tulislah, demi jiwaku yang ada di
tangan-Nya, tidaklah keluar darinya (mulut) kecuali kebenaran."32
Setelah melakukan penelitian serius terhadap berbagai dokumen
tertulis dari masa awal Islam, M.M Azami berketetapan bahwa Hadis telah
mulai ditulis oleh para sahabat sejak periode Nabi Saw masih hidup, dan
pada kesempatan tertentu Nabi telah mendiktekan hadisnya kepada para
sahabat yang terlibat aktif dalam penulisan Hadis dan berdasarkan fakta
yang ada ia pun berkesimpulan bahwa kebanyakan Hadis sudah
didokumentasikan secara tertulis sejak para sahabat masih hidup.33
32
Sunan Abi Dawud, Kitab Al-Ilm, Bab fi kitab al-Ilm, Nomor Hadis 3161.
33
Saifuddin, Arus Tradisi Tadwin Hadis dan Historiogfari Islam, (Yogyakarta: Pustaka
Pelajar, 2011), hlm. 104.

20
Hal di atas sejalan dengan pemikiran Nabia Abbot yang
berkesimpulan bahwa periwayatan secara tertulis dan lisan berjalan
beriringan sejak awal yang dia lakukan dengan meneliti Hadis Nabi secara
cermat dengan jalan meneliti tingkatan periwayatan yakni dari Nabi, sahabat
dan tabi’in.
2. Perbedaan pemikiran mengenai substansi dalam Hadis Nabi Muhammad
Saw
“Sunnah tidak hanya sebagai pemberi jawaban dari segala macam
pertanyaan aktivitas dalam kehidupan, akan tetapi secara spesifik
merupakan bagian dari bidang administrasi dan sebuah praktek hukum”.
Penulis mencoba mengambil kutipan mengenai apa yang dinyatakan Nabia
Abbott tentang substansi dari Hadis Nabi yakni secara garis besarnya berisi
tentang praktek hukum. Dalam hal ini penulis merujuk data-data terkait
mengenai kitab-kitab Hadis yang diidentifikasi dengan mengamati judul
atau mukkadimah kitab, seperti:
a) Kitab al-Muwatta’, istilah ini digunakan untuk menyebut kitab yang
berisi Hadis-hadis Nabi yang berkaitan dengan masalah fiqih dan hukum,
namun di dalamnya juga terdapat atsar sahabat dan tabi’in, sehingga di
dalamnya terkumpul hadis marfu’, mauquf, dan maqthu’.
b) Kitab Mushannaf, kitab ini berisi Hadis yang dikelompokkan
berdasarkan tema fiqih.
c) Kitab Al-Jami’, kitab ini berisi tentang semua pembahasan yang
berkaitan dengan masalah agama, seperti akidah, ibadah, muamalah,
adab, akhlak, kezuhudan dan hal-hal yang melembutkan hati, keutamaan-
keutamaan, sejarah, tafsir, maupun masalah kehidupan di akhirat.
Jadi, penulis berkesimpulan bahwa memang benar kandungan Hadis
Nabi itu terdapat pembahasan mengenai hukum dan fiqih. Hal ini dibuktikan
dengan adanya kitab yang cenderung membahas masalah hukum, namun
tidak dapat dipungkiri juga Hadis merupakan sumber ajaran kedua setelah
Al-Qur’an yang sejatinya mampu menjawab berbagai persoalan yang tidak

21
ditemui pemecahannya di dalam Al-Qur’an sebab pembahasan dalam Al-
Qur’an itu sifatnya global.

BAB III
PENUTUP

Setelah penyelesaian penulisan makalah ini, akhirnya penulis berkesimpulan


bahwa Nabia Abbot adalah seorang orientalis wanita yang menaruh perhatiannya
dalam kajian Hadis dan pembahasannya sangat komprehensif. Konsep dasar yang
dilakukan Nabia Abbot dalam pengkajian Hadis yakni awalnya dengan menguji
keotentikan sumber-sumber Hadis yang ada pada sahabat-sahabat yang
mengkoleksi Hadis dengan merujuk dan meneliti langsung kepada referensi-
referensi klasik yang ada.
Hasil pembuktian yang Nabia temukan dari pengkajian 14 dokumen klasik
memberi pemahaman bahwa begitu lengkap dan telitinya orientalis wanita ini
dalam pengkajiannya, hingga orientalis ini sampai kepada kesimpulan bahwa
hadis merupakan sumber hukum Islam yang kegiatan tulis menulis Hadis dan
periwayatan secara tertulis maupun lisan telah berjalan beriringan sejak awal yaitu
sejak Nabi Saw masih hidup, yang dalam kenyataannya menepis anggapan
orientalis lain yang bersikap skeptis terhadap Hadis.

22
Daftar Pustaka

‘Ajaj al-Khatib, Muhammad. 1963. As-Sunnah Qabla al-Tadwin. Kairo.


Abbot, Nabia. 1983. Hadith Literature II Collection and Transmision of Hadith,
dalam Beeston, A. F. L, T.M Johnstone, R.B Serjeant dan G.R Smith (ed.),
Arabic Literature to The End of The Umayyad Period. Sydney, Australia:
Cambridge University Press.
Abbott, Nabia. 1967. Studies in Arabic Literary Papyri II; Qur’anic commentary
and tradition. Chichago: The University of Chichago Press.
Al Shalih, Subhi. 1995. Membahas Ilmu-ilmu Hadis. Jakarta: Pustaka Firdaus.
Al-A’zami, M.M. 2005. The History of The Qur’anic Text: from Relevation to
Compilation, Edisi terjemahan oleh Sohirin Solihin, Anis Malik Thaha, dkk.
Jakarta: Gema Insani.
Amin, Kamaruddin. 2009. Menguji kembali Keakuratan Metode Kritik Hadis
Jakarta: Penerbit Hikmah PT Mizan Publika.
Arif, Syamsudin. 2005. “Gugatan Orientalis terhadap Hadis dan Gaungnya di
Dunia Islam”. Jurnal al-Insan. Volume I. No. 2.
Bardizbah, Abu Abdillah Muhammad ibn Ismail ibn Ibrahim ibn al-Mughirah bin.
Shahih al-Bukhari. Beirut: Dar al-Fikr.
Darmalaksana, Wahyudin. 2004. Hadis Dimata Orientalis (Bandung: Benang
Merah Press.
http://www.ghazali.org/site/paleography.htm

23
Masrur dan Fuad Mustafid Ali Fasrur, Ali. 2007. Teori Common Link G.H.A.
Juynboll , Melacak akar kesejarahan Hadis Nabi. Yogyakarta: PT Lkis
Pelangi aksara.
Muhammad Abdul Ra’uf, Muhammad. 1983. Hadith Literature I: The
Development of Science of Hadis, dalam Beston. A. F. L. TM. John stone.
R.B. Serjeant dan G.R. Smith (ed.), Arabic Literatue to the End of the
Umayyad Period. Sydney Australia: Cambridge University Press.
Muhammad Abu Syuhbah, Muhammad. 2007. Fi Rihab al-Sunnah al-Kutub al-
Sittah terj. Hasan Su’aidi M.S.I. Yogyakarta: Gama Media Offset.
Muhammad Hamidullah, Muhmmad. 1974. Pengantar Studi Islam. Jakarta: Bulan
Bintang.
Mustafa Azami, Muhammad. 1994. Studies in Erly Hadith Literature, Edisi
terjemahan oleh Ali Musthafa Yaqub. Jakarta: Pustaka Firdaus.
Nur Afidah, Luthfi. 2008. Otentisitas Hadis Perspektif Nabia Abbott. Yogyakarta:
Skripsi, Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga.
Saifuddin. 2011. Arus Tradisi Tadwin Hadis dan Historiogfari Islam. Yogyakarta:
Pustaka Pelajar.
Sunbulah, Umi. 2010. Kajian Kritis Ilmu Hadis. Malang: UIN-Maliki Press.
Syuhudi Ismail, M. 1995. Kaidah Keshahihan Sanad Hadis: Tela’ah Kritis dan
Tinjauan dengan Pendekatan Ilmu Sejarah. Jakarta: Bulan Bintang.

24

Anda mungkin juga menyukai