Anda di halaman 1dari 20

Makalah

KONSEP INFAQ MENURUT


KITAB TAFSIR AL-MUHARRAR AL-WAJIZ

Disampaikan pada Forum Kajian Alquran


Universitas Muslim Indonesia (UMI) Makassar
Pada Hari Sabtu 7 September 2000

Oleh:

MUHAMMAD NAJIB

PROGRAM PASCASARJANA
UNIVERSITAS MUSLIM INDONESIA
MAKASSAR
2000

Create PDF files without this message by purchasing novaPDF printer (http://www.novapdf.com)
2

I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah


Menurut Alquran, jin dan manusia diciptakan hanya untuk beribadah kepada
Allah SWT.1 Semua rasul utusan Allah diberi tugas untuk mengajak manusia
beribadah kepada-Nya.2 Islam memandang seluruh hidup manusia haruslah
merupakan ibadah kepada Allah SWT. Hal ini sesuai dengan definisi ibadah yang
dikemukakan oleh Ibn Taimiyah. Ia menyatakan bahwa ibadah adalah sebuah kata
yang menyeluruh, meliputi segala yang dicintai dan diridhai oleh Allah, menyangkut
segala ucapan dan perbuatan yang tidak tampak maupun yang tampak.3 Dengan
demikian, ibadah bukan saja berdzikir, shalat, dan puasa, tetapi juga menolong yang
teraniaya, memberi makanan kepada yang kelaparan, dan memberi pakaian kepada
yang telanjang.
Ulama biasanya membagi ibadah ke dalam dua macam kategori, yakni ibadah
mahdhah (murni hubungan dengan Tuhan) dan ibadah ghairu mahdhah (mencakup
hubungan antar manusia dalam rangka mengabdi kepada Allah). Jenis ibadah
pertama biasa juga disebut sebagai ibadah ritual atau ibadah an sich, sedangkan
ibadah yang kedua populer dengan sebutan muamalah atau ibadah sosial.4
Menurut Jalaluddin Rakhmat, ajaran Islam lebih menekankan ibadah
muamalah dari pada ibadah ritual. Untuk mendukung pendapatnya ini, ia
mengemukakan beberapa alasan, di antaranya adalah bahwa proporsi terbesar dari isi
Alquran dan Hadis adalah berkenaan dengan urusan muamalah. Hal ini berdasarkan
kepada hasil penelitian Ayatullah Khomeini yang mengungkapkan bahwa
perbandingan ayat-ayat ibadah (an sich) dan ayat-ayat yang menyangkut kehidupan

1
QS. al-Dzariyat (51): 56
2
QS. Al-Nahl (16): 36 dan QS. al-Anbiya’ (21): 25.
3
Lihat Jalaluddin Rakhmat, Islam Alternatif: Ceramah-ceramah di Kampus
(Cet. VII; Bandung: Mizan, 1995), h. 46.
4
Lihat Jalaluddin Rahman, Islam: Dalam Perspektif Pemikiran Kontemporer
(Cet. I: Ujung Pandang: PT Umitoha Ukhuwah Grafika, 1997), h. 6-7.

Create PDF files without this message by purchasing novaPDF printer (http://www.novapdf.com)
3

sosial adalah satu berbanding seratus—untuk satu ayat ibadah, ada seratus ayat
muamalah.5
Dengan berasumsi pada pendapat di atas, serta berpegang kepada keyakinan
bahwa ajaran Islam adalah benar-benar merupakan pedoman hidup yang berasal dari
Allah SWT, maka dapat dikatakan bahwa seharusnya dalam masyarakat muslim
tidak akan ada masalah-masalah sosial yang berarti. Kalaupun ada, pasti akan dapat
segera diatasi dengan menggunakan “resep-resep” ampuh yang ada dalam ajaran
Islam terutama dalam Alquran. Akan tetapi, dalam kenyataannya pada banyak
masyarakat muslim, seperti di Indonesia, justru terdapat masalah sosial yang
berlarut-larut dan susah untuk diatasi. Di antaranya adalah terjadinya tingkat
kesenjangan sosial yang begitu tinggi; yang kaya semakin kaya sedangkan yang
miskin tambah sengsara.
Masalah kesenjangan sosial tersebut sebenarnya tidak akan terjadi jika umat
Islam memahami dan melaksanakan ajaran agamanya secara konsisten. Dalam
Alquran jelas dinyatakan bahwa harta yang ada ditangan seseorang, terutama di
tangan yang berkelebihan, sebahagian adalah milik orang yang “tidak punya”.6 Oleh
karena itu harta tersebut harus didistribusikan kepada mereka sesuai dengan
petunjuk-petunjuk agama. Untuk keperluan pendistribusian tersebut, dalam Islam
dikenal ajaran yang disebut sebagai zakat, infak, dan sedekah. Dalam Alquran
sendiri, ketiga term—dengan beberapa kata yang seakar—biasa digunakan.7
Adanya masalah-masalah sosial yang sulit teratasi di kalangan kaum muslimin,
khususnya masalah kesenjangan sosial tersebut, yang menurut penulis antara lain
disebabkan oleh kurangnya pengamalan ajaran Islam tentang zakat, infaq, dan
sedekah, mendorong penulis untuk mengkaji dan menulis makalah tentang konsep
infak yang ada dalam Alquran. Semoga kajian dan tulisan ini dapat dijadikan bahan
diskusi yang akan menghasilkan suatu pemikiran yang berguna dan sekaligus dapat

5
Lihat Jalaluddin Rakhmat, op. cit., h. 48 dst.
6
Lihat QS. al-Ma’arij (70): 24-25.
7
Misalnya, dalam QS.Al-Baqarah (2): 43 (Zakat), QS. al-Taubah (9): 104
(sedekah), QS. al-Taubah (9): 35 (infaq).

Create PDF files without this message by purchasing novaPDF printer (http://www.novapdf.com)
4

disosialisasikan untuk meningkatkan pemahaman dan kesadaran umat untuk


melakasanakan ajaran Islam, khususnya infaq, dalam kehidupan ini.
B. Rumusan dan Batasan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, penulis akan membahas ajaran infaq yang
ada dalam Alquran dengan merujuk sekaligus menyoroti penafsiran Ibn ‘Athiyah
dalam kitabnya yang berjudul al-Muharrar al-Wajiz fi tafsir al-Kitab al-‘Aziz.
Untuk itu, masalah pokok yang akan dibahas dalam makalah ini adalah:
Bagaimanakah konsep infaq dalam Alquran menurut kitab tafsir Ibn “Athiyah
tersebut? Pokok permasalahan ini akan dibahas dengan menggunakan analisis
filosofis. Oleh karena itu, penulis merumuskannya ke dalam sub-sub masalah,
sebagai berikut:
1. Siapakah Ibn Athiyah itu dan bagaimana kitab tafsirnya tersebut?
2. Apakah hakekat infaq dalam konsep Alquran menurut kitab tafsir tersebut?
3. Bagaimanakah unsur-unsur (objek, subjek, dan sasaran) infaq menurut tafsir ibn
‘Athiyah?
4. Bagaimanakah urgensi infaq menurutnya?

Perlu dikemukakan di sini bahwa dalam Alquran, kata infaq (dan kata yang
seakar dengannya) juga digunakan dalam konteks pembicaraan menyangkut infaq
yang subjek dan sasarannya adalah orang kafir dan kepentingan mereka.8
Sehubungan dengan hal itu, perlu ditegaskan bahwa infaq yang dibicarakan disini
adalah infaq yang merupakan salah satu ibadah (dalam arti luas) dalam Islam.

II. IBN ‘ATHIYAH DAN KITAB TAFSIR AL-MUHARRAR AL-WAJIZ

A. Riwayat Hidup Ibn ‘Athiyah

Al-Qadhi Abu Muhammad ‘Abd al-Haq ibn Ghalib ibn ‘Abd al-Rahman ibn
Ghalib ibn ‘Athiyah al-Andalusi lahir pada tahun 481 H. di Ghurnat. Saat itu adalah

8
Lihat QS. al-Anfal (8); 36.

Create PDF files without this message by purchasing novaPDF printer (http://www.novapdf.com)
5

masa awal dari pemerintahan Daulah al-Murabhitun.* Ia dididik dan tumbuh dalam
lingkungan keluarga berilmu dan penuh keutamaan. Dalam keluarganya ia
senantiasa mendapatkan dorongan dari orang tuanya untuk mengembangkan potensi
intelektual yang dimilikinya.9
Ibn ‘Athiyah adalah seorang yang mempunyai tingkat intelegensi yang tinggi.
Kemampuan pemahamannya baik dan cepat, serta mempunyai semangat yang
membara dalam menuntut ilmu. Selain itu ia seorang yang rajin dan tekun.10 Oleh
karena itu tidak mengherankan jika kemudian ia menjadi seorang ulama yang
mumpuni. Ibn ‘Athiyah adalah seorang ahli fiqih (faqih) besar, menguasai ilmu
Hadis, tafsir, serta bahasa dan sastra Arab. Sebagai seorang faqih ia adalah salah
seorang pendukung utama mazhab Maliki.11 Sehubungannya dengan otoritasnya
dalam bidang fiqih (mazhab Maliki), maka pemerintah dinasti al-Murabithun yang
bermazhab Maliki mengangkatnya sebagai hakim atau qadhi diwilayah Andalusi
(Spanyol).12
Sebagai seorang ahli tafsir ia menyusun sebuah kitab tafsir yang terkenal
dengan nama al-Muharrar al-Wajiz fi Tafsir al-Kitab al-‘Aziz. Dalam kitab tafsirnya
jelas tergambar bagaimana kemampuan Ibn ‘Athiyah sebagai seorang ahli tafsir yang
sekaligus seorang faqih dari mazhab Maliki dan merupakan seorang ahli bahasa dan

* Daulah al-Murabithun adalah adalah daulah yang berpusat di Maroko dan


kekuasaannya meliputi Maroko dan Andalusia. Daulah ini didirikan oleh Abu Bakar
al-Lamtuni pada tahun 448 H. Mereka mengakui khilafah Abbasiyah dan menganut
mazhab Maliki yang tersebar luas di Afrika Utara
9
Lihat Manii’ Abd Halim Mahmud, Manahij al-Mufassirin (Cet I; Kairo: Dar
al-Kitab al-Mishri, 1978), h. 127; Lihat juga Manna’ Khalil al-Qattan, Mabahits fi
‘Ulum al-Qura’an ( Cet. XIV; Beirut: Muassasah al-Risalah, t..th.), h. 364.
10
Lihat ibid.
11
Lihat Manna al-Qattan, loc. cit.
12
LihatMuhammad Ali ash-Shobuni, al-Tibyan fi ‘Ulum al-Qur’an,
diterjemahkan oleh Muhammad Qodirun Nur dengan judul Ikhtisar Ilmu Qur’an
Praktis (Jakarta: Pustaka Amani, 1988), h. 265.

Create PDF files without this message by purchasing novaPDF printer (http://www.novapdf.com)
6

sastra Arab. Mengenai kitab ini, akan dijelaskan lebih jauh dalam pembahasan
berikut.

B. Kitab Tafsir al-Muharrar al-Wajiz

Kitab tafsir yang disusun Ibn ‘Athiyah dinamai dengan Al-Muharrar al-Wajiz
fi Tafsir al-Kitab al-‘Aziz. Al-Muharrar berarti pembebas, artinya, kitab ini
merupakan pembebas dari penafsiran-penafsiran yang bersifat janggal. Sedangkan
al-Wajiz berarti ringkas, artinya bahwa kitab ini merupakan ringkasan dari kitab-
kitab sebelumya. Yang dimaksud ringkas ini adalah dalam cara pengungkapan
uraian-uraian tafsirnya, yang meskipun singkat tetapi padat dan jelas.13 Tafsir ini
juga dikenal dengan tafsir Ibn ‘Athiyah,14 disandarkan kepada nama pengarangnya.
Tafsir Ibn ‘Athiyah digolongkan sebagai tafsir bi al-matsur.15 Tafsir bi al-
Matsur yang juga biasa disebut sebagai tafsir bi al-riwayah atau tafsir bi al-manqul
adalah penafsiran ayat Alquran dengan ayat Alquran yang lain atau dengan Hadis
Nabi atau dengan ucapan sahabat. Ulama lain memasukkan juga penafsiran ayat
Alquran dengan perkataan Tabi’in sebagai tafsir bil matsur .16
Dalam kitab tafsir ini, Ibnu ‘Athiyah banyak menyebutkan sejumlah Hadis
atau atsar yang ia nukil dari para ulama tafsir bil matsur termasyhur yang
mendahuluinya. Ibn ‘’Athiyah dalam hal ini banyak menukil dari al-Thabary dan Ibn
Hayyan al-Tsa’labiy. Dalam menukil, ia memilih Atsar yang lebih mendekati
kebenaran.17

13
Lihat Manii’ ‘Abd Halim Mahmud, op. cit., h. 125 & 126.
14
Lihat ash-Shobuni, op. cit., h 262.
15
Lihat ibid., h. 263 dst.
16
Lihat ash-Shobuni, op. cit., h. 90-91; Bandingkan dengan ‘Abd al-Hayy al-
Farmawi, al-Bidayah fi al-Tafsir al-Mawdhu’iy: Dirasah Manhajiah Mawdhu’iyah,
diterjemahkan oleh Suryan A. Jamrah dengan judul Metode Tafsir Mawdhu’iy: Suatu
Pengantar (Cet. II; Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 1996), h. 12-13.
17
Lihat ash-Shobuni, op. cit., h. 265.; Lihat juga Manii’ ‘Abd Halim
Mahmud, op. cit., h. 126.

Create PDF files without this message by purchasing novaPDF printer (http://www.novapdf.com)
7

Di dalam kitabnya, Ibn ‘Athiyah tidak hanya membatasi pada tafsir bi al-
manqul yang diriwayatkan tetapi juga ia menambahkan padanya semangat ilmiah
melimpah sebagai refleksi kecerdasannya yang menjadikan tafsirnya semakin
mempesona dan digemari. Kitab tersebut terdiri atas sepuluh jilid berukuran besar,
dan sampai kini aslinya masih tetap berbentuk manuskrip. Syaikh Muhammad al-
Zahabi menyebutkan, di “Darul Kutub al-Misriyah” kitab itu hanya ditemukan empat
jilid, padahal kitab ini cukup terkenal dan sering dikutip oleh para mufassir. Ibn
‘Athiyah sangat memperhatikan bukti-bukti sastra dan karya Nahwu.18
Dalam kitab Fatawinya, Ibn Taimiyah membandingkan kitab tafsir ini dengan
kitab tafsir al-Zamakhsyari. Ia mengemukakan penilaiannya bahwa tafsir Ibn
‘Athiyah adalah lebih baik dari pada tafsir al-Zamakhsyari. Kelebihan tafsir Ibn
‘Athiyah terletak kepada segi penukilan dan pembahasannya yang lebih shah serta
lebih jauh dari bid’ah. Meskipun tafsir tersebut juga memuat sebagian hal yang
janggal, akan tetapi ia tetap jauh lebih baik daripada tafsir al-Zamakhsyari. Bahkan
mungkin ia merupakan kitab tafsir yang paling rajih.19

III. PENAFSIRAN IBNU ‘ATHIYAH TENTANG INFAQ


A. Pengertian Infaq
Dari segi etimologi, kata infaq merupakan derivasi dari kata nafaqa. Kata
nafaqa yang terdiri dari huruf nun (‫)ث‬, fa (‫)ف‬, dan qaf (‫ )ق‬menurut Ibnu Faris antara
lain bermakna “ keterputusan dan kelenyapan “. Kata infaq merupakan bentuk
masdar dari kata anfaqa. Dalam bahasa Arab jika dikatakan anfaqa al-Rajul itu
berarti “menjadi miskin atau habis hartanya”.20 Dari segi leksikal kata infaq berarti
mengorbankan harta dan semacamnya dalam hal kebaikan .21

18
Lihat al-Qattan, op. cit., h. 364-365.
19
Lihat ash-Shobuni, loc. cit.
20
Lihat Abu Husain Ahmad ibn Faris ibn Zakariya, Mu’jam Maqayis al-
Lughah, juz V (t.tp.: Dal al-Fikr, t.th.), h. 454.
21
Lihat Ibrahim Mushthafa, (et al.), al-Mu’jam al-Wasith., juz II (Teheran:
al-Maktabat al-Islamiyat, t.th.), h. 942.

Create PDF files without this message by purchasing novaPDF printer (http://www.novapdf.com)
8

Dengan demikian, kalau makna leksikal ini dihubungkan dengan tinjauan kata
infaq dari segi etimologis di atas, maka dapat dipahami bahwa harta yang
dikorbankan atau didermakan pada kebaikan itulah yang mengalami keterputusan
atau lenyap dari kepemilikan orang yang mengorbankannya. Berdasarkan pengertian
di atas, maka setiap pengorbanan (pembelanjaan) harta dan semacamnya pada
kebaikan disebut al-infaq.
Dalam Alquran, kata infaq dan kata yang seakar dengannya digunakan sebanyak
73 kali.22 Denotasi kata infaq dalam Alquran lebih luas daripada yang dipahami
sehari-hari. Dalam istilah sehari-hari, infak itu adalah pendermaan harta yang bersifat
sunnat, identik dengan sedekah (dibedakan dengan zakat).23 Akan tetapi, dalam
istilah Alquran tidak demikianlah adanya. Hal ini dapat dilihat dalam penafsiran Ibn
‘Athiyah terhadap ayat-ayat infaq, yang antara lain akan dikemukakan dalam uraian
berikut ini.
Dalam QS. Al-Baqarah (2): 267, Allah berfirman:
‫ﯾﺎأﯾﮭﺎ اﻟﺬﯾﻦ ءاﻣﻨﻮا أﻧﻔﻘﻮا ﻣﻦ ﻃﯿﺒﺎت ﻣﺎ ﻛﺴﺒﺘﻢ وﻣﻤﺎ أﺧﺮﺟﻨﺎ ﻟﻜﻢ ﻣﻦ اﻷرض وﻻ ﺗﯿﻤﻤﻮا اﻟﺨﺒﯿﺚ‬
(267)‫ﻣﻨﮫ ﺗﻨﻔﻘﻮن وﻟﺴﺘﻢ ﺑﺂﺧﺬﯾﮫ إﻻ أن ﺗﻐﻤﻀﻮا ﻓﯿﮫ واﻋﻠﻤﻮا أن اﷲ ﻏﻨﻲ ﺣﻤﯿﺪ‬
‘Hai orang-orang yang beriman, nafkahkanlah (di jalan Allah) sebagian dari
hasil usahamu yang baik-baik dan sebagian dari apa yang Kami keluarkan dari
bumi untuk kamu. Dan janganlah kamu memilih yang buruk-buruk lalu kamu
nafkahkan dari padanya, padahal kamu sendiri tidak mau mengambilnya
melainkan dengan memicinkan mata terhadapnya. Dan ketahuilah, bahwa Allah
Maha Kaya lagi Maha Terpuji.’24

Dalam tafsir Ibn ‘Athiyah dikemukakan beberapa qaul dari kalangan


muta’awwalun (sahabat dan tabi’in) berkenaan dengan pengertian kata anfiqu
dalam ayat di atas. Terjadi perbedaan pendapat di antara mereka mengenai yang
dimaksud kata tersebut, apakah yang dimaksud adalah zakat ataukah al-Tathawwu’

22
Lihat M. Quraish Shihab, Wawasan al-Qur’an (Cet. VII; Bandung: Mizan,
1998), h. 4.
23
Lihat Didin Hafidhuddin, Panduan Praktis tentang Zakat, Infak dan
Sedekah (Cet. I: Jakarta: Gema Insani Press, 1998), h. 14-15.

Create PDF files without this message by purchasing novaPDF printer (http://www.novapdf.com)
9

(sedekah). ‘Ali ibn Abi Thalib, ‘Ubaidah al-Salmaniy, dan Muhammad ibn Sirin
berpendapat bahwa yang dimaksud adalah zakat. Sedangkan al-Barra’ ibn ‘Azib, al-
Hasan ibn Abi al-Hasan, dan Qatadah berpendirian bahwa yang dimaksud ayat
tersebut adalah al-Tathawwu’. Ibn ‘Athiyah menyatakan bahwa kata anfiqu dalam
ayat ini dapat diartikan dengan keduanya. Kalau ia diartikan sebagai zakat, maka itu
berarti secara hukum ia wajib, sedangkan kalau diartikan sebagai al-Tathawwu’,
maka itu berarti ia identik dengan apa yang diistilahkan sekarang sebagai sedekah
(sunnat).25
Dalam penafsiran di atas tergambar jelas bagaimana status ibn ‘Athiyah
sebagai ahli hukum dalam mempengaruhi pendekatan penafsirannya, khususnya
dalam menafsirkan kata anfiqu dalam ayat tersebut.
Ayat lain yang menggunakan kata yang seakar dengan kata infaq adalah QS.
al-Baqarah (2): 215, sebagai berikut:
‫ﯾﺴﺄﻟﻮﻧﻚ ﻣﺎذا ﯾﻨﻔﻘﻮن ﻗﻞ ﻣﺎ أﻧﻔﻘﺘﻢ ﻣﻦ ﺧﯿﺮ ﻓﻠﻠﻮاﻟﺪﯾﻦ واﻷﻗﺮﺑﯿﻦ واﻟﯿﺘﺎﻣﻰ واﻟﻤﺴﺎﻛﯿﻦ واﺑﻦ اﻟﺴﺒﯿﻞ‬
(215)‫وﻣﺎ ﺗﻔﻌﻠﻮا ﻣﻦ ﺧﯿﺮ ﻓﺈن اﷲ ﺑﮫ ﻋﻠﯿﻢ‬
‘Mereka bertanya kepadamu tentang apa yang mereka nafkahkan. Jawablah:
“Apa saja harta yang kamu nafkahkan hendaklah diberikan kepada ibu-bapak,
kaum kerabat, kaum kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin dan orang-
orang yang sedang dalam perjalanan.” Dan apa saja kebajikan yang kamu buat,
maka sesungguhnya Allah Maha Mengetahuinya.’26

Dalam tafsir Ibn ‘Athiyah dikemukakan kembali perbedaan pendapat


mengenai ayat tersebut. Ibnu Juraij dan yang lainnya berkata bahwa ayat ini
berbicara tentang infaq dalan arti shadaqah sunnat. Sementara itu ada yang
berpendapat ayat ini merupakan ayat tentang zakat (wajib) dan dengan demikian kata
al-Waladaani dalam ayat ini dinasakh oleh ayat-ayat zakat yang datang kemudian.
As-Suddi berkata bahwa ayat ini turun sebelum diwajibkannya zakat, baru setelah

24
Departemen Agama RI., Al-Quraan Dan Terjemahnya (Depag RI.: Jakarta,
1983), h. 67.
25
Lihat Abu Muhammad ‘Abd al-Haq ibn ‘Athiyah al-Ghurnaty, al-
Muharrar al-Wajiz fi Tafsir al-Kitab al-‘Aziz, juz II (t.d), h. 243-244.
26
Departemen Agama RI. op. cit., h. 52.

Create PDF files without this message by purchasing novaPDF printer (http://www.novapdf.com)
10

ayat tentang zakat diturunkan maka ayat ini pun mansukh. Al-Mardawiy ragu kalau
as-Suddiy berpendapat demikian. Menurutnya al-Suddiy itu berpendapat bahwa ayat
tersebut memang merupakan ayat tentang zakat. Dan kata al-Waladani mansukh
setelah ayat zakat (QS. Al-Taubah: 60) turun kemudian. Terhadap pertentangan
pendapat ini, Ibnu ‘Athiyah dalam anotasi kitab tafsirnya tersebut mengemukakan
pendapat at-Thabary. Dalam kitab Jami’ul Bayan, at-Thabari mengatakan bahwa
sesungguhnya al-Suddiy mengatakan bahwa ayat ini bukanlah ayat tentang zakat,
tetapi ia hanya berbicara tentang infaq kepada anggota keluarga dan sedekah.
Adapun mengenai masalah ayat ini dinasakh oleh ayat zakat, menurut at-Thabary
mungkin memang pendapat itu benar mungkin juga tidak, yang jelas tidak ada dalil
yang kuat yang mendukung pendapat tersebut. Menurut at-Thabary, kemungkinan
ayat ini merupakan anjuran kepada orang-orang yang bertaqwa untuk melakukan
perbuatan terpuji yakni menafkahkan harta kepada orang tua, kaum kerabat, dan
seterusnya (sebagaimana yang disebut dalam ayat tersebut). Dan juga Allah
menginformasikan kepada hamba-hambanya tentang pihak-pihak yang utama untuk
mendapatkan infaq atau nafkah.27 Dari uraian-uraian di atas dapat disimpulkan
bahwa kata infaq (kata yang seakar dengannya) dapat ditafsirkan sebagai zakat,
sebagai nafkah kepada para anggota keluarga serta kaum kerabat, dan sebagai infaq
untuk kemaslahatan yang disunnahkan syara’ seperti menolong orang dan lain-lain.

B. Unsur-unsur Infaq
1. Objek Infaq
Menurut al-Maraghi, kata infaq mempunyai arti yang sama dengan kata
infadz yakni hilang atau lenyap. Hanya saja kata infadz mengandung pengertian
hilang secara keseluruhan. Sedangkan infaq hanya berarti hilang sebahagian.28 Dari

27
Lihat Ibn Athiyah, op. cit., h. 42-43.
28
Lihat Ahmad Musthafa al-Maraghi, Tafsir al-Maraghi, juz I, diterjemahkan
oleh Bahrun Abubakar dengan judul, Terjemah Tafsir al-Maraghi ( Cet. I; Semarang:
Toha Putra, 1985), h. 66.

Create PDF files without this message by purchasing novaPDF printer (http://www.novapdf.com)
11

sini dapat dipahami bahwa objek infaq itu hanyalah sebahagian dari sesuatu yang
kita “miliki”.
Dalam QS. Al-Baqarah (2): 219, Allah SWT berfirman sebagai berikut:
‫ﯾﺴﺄﻟﻮﻧﻚ ﻋﻦ اﻟﺨﻤﺮ واﻟﻤﯿﺴﺮ ﻗﻞ ﻓﯿﮭﻤﺎ إﺛﻢ ﻛﺒﯿﺮ وﻣﻨﺎﻓﻊ ﻟﻠﻨﺎس وإﺛﻤﮭﻤﺎ أﻛﺒﺮ ﻣﻦ ﻧﻔﻌﮭﻤﺎ وﯾﺴﺄﻟﻮﻧﻚ‬
(219)‫ﻣﺎذا ﯾﻨﻔﻘﻮن ﻗﻞ اﻟﻌﻔﻮ ﻛﺬﻟﻚ ﯾﺒﯿﻦ اﷲ ﻟﻜﻢ اﻵﯾﺎت ﻟﻌﻠﻜﻢ ﺗﺘﻔﻜﺮون‬

Ibn ’Athiyah menafsirkan kata al-‘Afwa dalam ayat di atas dengan makna
“menafkahkan segala yang bermanfaat dalam diri dan harta dengan tidak
menghabiskannya; Yang diinfakkan adalah apa yang tersisa dari kebutuhan.”
Diriwayatkan bahwa Nabi Saw. bersabda:
(‫ﻣﻦ ﻛﺎن ﻟﮫ ﻓﻀﻞ ﻓﻠﯿﻨﻔﻘﮫ ﻋﻠﻰ ﻧﻔﺴﮫ ﺛﻢ ﻋﻠﻰ ﻣﻦ ﯾﻌﻮل ﻓﺎ ن ﻓﻀﻞ ﺷﯿﺊ ﻓﻠﯿﺘﺼﺪق ﺑﮫ )اﻟﺤﺪ ﯾﺚ‬
‘Siapa yang ada padanya kelebihan, maka hendaklah ia menafkahkannya kepada
dirinya (keluarganya), kemudian kepada yang kesulitan (orang miskin), dan jika
masih ada sisa, maka hendaklah disedekahkan.’29
Mengenai objek infaq, Alquran menyebutkan hal-hal sebagai berikut:
* . . . anfiqu min ma razaqnakum . . . (QS. II: 254).
* . . . min thayyibat ma kasabtum wa min ma akhrajna lakum min al-ardhi . . .
(QS.II: 267).
* . . . qul ma anfaqtum min khairin . . . (QS. II: 215).
* . . . min ma tuhibbun . . . (QS. III: 92).
Dari ayat-ayat di atas dapat diketahui bahwa objek infaq adalah sesuatu yang
direzkikan oleh Allah SWT kepada kita. Rezki dalam bahasa Arab disebut rizq yang
berarti “pemberian”. Dalam istilah, kata ini banyak dipahami untuk pengertian
barang-barang yang dimanfaatkan oleh hewan dan manusia, termasuk di dalamnya
barang-barang yang halal dan haram. Akan tetapi, sebahagian orang mengatakan
bahwa istilah rizq ini hanya dipakai untuk hal-hal yang halal.30 Terlepas dari
perbedaan pendapat tentang cakupan pengertian rizq, maka tentu dalam konteks

29
Lihat Ibn ‘Athiyah, op. cit., h. 63.

Create PDF files without this message by purchasing novaPDF printer (http://www.novapdf.com)
12

ajaran infaq Alquran, khususnya yang dibicarakan di sini, adalah rizq halal yang
ada pada manusia.
Dalam QS. al-Baqarah (2): 267 dikemukakan bahwa objek infaq itu adalah
min thayyibat ma kasabtum wa min ma akhrajna lakum min al-ardhi . . . (QS.II:
267). Lafad kasabtum dalam ayat tersebut ditafsirkan oleh Ibn ‘Athiyah sebagai
hasil usaha yang berasal dari kerja fisik, transaksi perdagangan, dan warisan.
Sedangkan lafad min ma akhrajna lakum min al-ardhi ia tafsirkan sebagai tumbuh-
tumbuhan, barang tambang, harta karung, dan yang serupa dengannya.31
Selanjutnya dalam beberapa ayat disebutkan bahwa objek infaq itu adalah al-
mal ‘harta benda’ (Misalnya, QS. II: 274). Dalam QS. al-Baqarah (2): 272
dikemukakan bahwa objek infaq itu adalah khair. Menurut Ibn ‘Athiyah,—dengan
berdasarkan kepada qaul dari Ikrimah—al-khair pada ayat-ayat infaq adalah berarti
al-mal.32
Dari penafsiran-penafsiran di atas, kelihatannya objek infaq itu hanyalah
sesuatu yang bersifat materi. Namun demikian, ketika Ibn ‘Athiyah menafsirkan
QS. Ali Imran (3): 92, ia memperluas cakupan objek infaq itu, yaitu dari hal-hal
yang bersifat materi saja kemudian mencakup juga hal-hal yang bersifat non-materi.
Dalam ayat tersebut, Allah SWT berfirman:
(92)‫ﻟﻦ ﺗﻨﺎﻟﻮا اﻟﺒﺮ ﺣﺘﻰ ﺗﻨﻔﻘﻮا ﻣﻤﺎ ﺗﺤﺒﻮن وﻣﺎ ﺗﻨﻔﻘﻮا ﻣﻦ ﺷﻲء ﻓﺈن اﷲ ﺑﮫ ﻋﻠﯿﻢ‬
‘Kamu sekali-kali tidak sampai kepada kebaktian (yang sempurna), sebelum kamu
menafkahkan sebahagian harta yang kamu cintai. . . .33

Ketika Ibn ‘Athiyah menafsirkan kata min ma tuhibbun ‘sebahagian yang kamu
cintai’ dalam ayat tersebut, antar lain ia menyatakan bahwa yang termasuk hal-hal
yang dicintai manusia itu adalah al-maal (harta benda), kesehatan, peringatan, dst.34

30
Lihat, al-Maraghi, loc. cit.
31
Lihat Ibn ‘Athiyah, op. cit., h. 245.
32
Lihat ibid., h. 261.
33
Lihat Depag RI. op. cit., h. 91.
34
Lihat Ibn ‘Athiyah, op. cit., h. 503.

Create PDF files without this message by purchasing novaPDF printer (http://www.novapdf.com)
13

Dengan demikian, objek infak itu bukan hanya hal yang bersifat materi, yakni harta
benda, tetapi juga hal yang bersifat non-materi, seperti kesehatan dan peringatan.
Hal tersebut sejalan dengan penafsiran Syekh al-Syirasi dalam tafsir al-Amtsal-
nya. Ketika al-Syirasi menafsirkan kata infaq (yunfiqun) dalam QS. al-Baqarah
(2): 3, ia menyatakan bahwa orang-orang bertaqwa tidak hanya menginfakkan
harta mereka saja, tetapi mereka juga menginfakkan ilmu, pemikiran, dan jasa.
Dengan kata lain mereka menginfakkan seluruh kemampuan mereka kepada yang
membutuhkannya tanpa mengharapkan balasan darinya.
Infaq adalah hukum yang lazim berlaku dalam kehidupan dalam kehidupan
ini. Seperti halnya dalam susunan organ tubuh manusia, jantung yang bekerja
tidak hanya untuk dirinya, tetapi ia menginfakkan apa yang dia miliki (memompa
darah) untuk semua bagian-bagian tubuh, seperti otak dan paru-paru. Pada
35
dasarnya kehidupan menjadi tak berarti tanpa infaq. .
2. Subjek Infaq (al-munfiqu)
Dari uraian terdahulu dapat dipahami bahwa yang menjadi subjek infaq (al-
munfiqu) adalah yang memiliki kelebihan. Kalau kelebihan yang dimaksud adalah
kelebihan harta benda, mungkin tidak semua orang dapat menjadi al-munfiqu. Akan
tetapi, seperti yang telah dikemukakan bahwa objek infaq itu mencakup juga hal-hal
yang bersifat non-materi, maka rasanya tidak ada orang yang tidak dapat menjadi al-
munfiqu.
Menurut ibn ‘Athiyah, orang yang berinfaq “di jalan Allah” dalam
kenyataannya dapat dibagi ke dalam tiga golongan, yakni:
a. Orang yang berinfaq benar-benar karena mengharap ridha Allah SWT. Mereka
ini sama sekali tidak mengharapkan apa-apa dari orang yang diberinya infak.
b. Orang yang berinfaq karena mengharapkan sesuatu balasan dari orang yang
dibantunya dan ini berarti tidak karena Allah.

35
Disadur dari Syaikh Nashir Makarim asy-Syirazi, al-Amtsal fi Tafsir Kitab
Allah al-Munzal (jilid I), diterjemahkan oleh Ahmad Sobandi dkk. dengan judul
Tafsir al-Amtsal, juz I (Jakarta: Gerbang Ilmu Press, t.th.), h. 68.

Create PDF files without this message by purchasing novaPDF printer (http://www.novapdf.com)
14

c. Orang yang berinfaq karena terpaksa, seperti untuk menolak hukuman yang
berlaku padanya jika tidak berinfaq. Orang yang seperti ini juga dianggap
berinfaq tidak karena Allah dan tentu Allah tidak akan ridha dengan infak yang
dikeluarkannya.36
3. Sasaran Infaq (al-Munfaqu)
Mengenai petunjuk Alquran tentang pihak-pihak yang menjadi sasaran infaq,
dapat dilihat dalam QS. al-Baqarah (2): 215. Dalam ayat ini dikemukakan lima
pihak yang menjadi al-munfaqu (sasaran infaq), yakni al-waladani (kedua orang
tua), al-aqrabin (kerabat dekat), al-yatama (anak yatim), al-masakin (orang-orang
miskin), dan ibn al-sabil. Sebagaimana telah dikemukakan terdahulu bahwa Ibn
‘Athiyah mengemukakan adanya perbedaan pendapat mengenai arti infaq dalam ayat
tersebut. Ada yang berpendapat bahwa ayat tersebut berbicara tentang infaq wajib,
yakni zakat, sedangkan sebagian orang menyatakan bahwa ayat itu berbicara tentang
sedekah (al-tathawwu’). Konsekuensi dari pendapat yang menyatakan bahwa ayat
ini merupakan ayat zakat adalah timbulnya anggapan bahwa ayat tersebut atau kata
al-waladani dalam ayat tersebut menjadi mansukh setelah turunnya ayat zakat yang
tidak memasukkan al-waladani di antara delapan pihak yang berhak menerima
zakat.37
Dalam anotasi tafsir ibn ‘Athiyah dikemukakan pandangan al-Thabary
mengenai perbedaan pendapat di atas. Antara lain, ia menyatakan bahwa tidak ada
dalil yang kuat tentang berlakunya hukum nasikh-mansukh terhadap ayat tersebut.
Lebih lanjut al-Thabary mengatakan bahwa ayat itu bisa dipahami sebagai dorongan
Allah SWT kepada hambanya agar senantiasa berinfaq, bukan hanya infaq dalam hal
arti zakat, tetapi juga infaq dalam arti luas yakni menafkahkan harta kepada ibu
bapak, kerabat dekat, anak yatim, orang miskin, dan ibnu sabil. Dalam ayat ini Allah
mengajari hambanya prioritas-prioritas pihak yang berhak menerima infaq (al-

36
Lihat Ibn ‘Athiyah, op. cit., h. 231.
37
Lihat Ibn ‘Athiyah, ibid., h. 42

Create PDF files without this message by purchasing novaPDF printer (http://www.novapdf.com)
15

munfaqu).38 Dapat dipahami dari ayat tersebut bahwa hendaknya infaq itu terlebih
dahulu dimulai dari pihak-pihak terdekat yang memang butuh bantuan.
Hal yang senada dengan pandangan al-Thabary disampaikan oleh Subhi al-
Shalih. Al-Shalih menyatakan bahwa ada sebagian orang berpendapat bahwa setiap
ayat yang mengandung soal infaq (di luar zakat) dipandang sebagai dinasakh oleh
ayat-ayat yang menegaskan kewajiban zakat. Akan tetapi para ulama yang
memahami Alquran dengan teliti dan cermat, semuanya berpendapat bahwa ayat-
ayat infaq merupakan anjuran kepada orang-orang yang bertakwa untuk melakukan
perbuatan terpuji. Karena itu, infaq dapat ditafsirkan sebagai zakat, sebagai infaq
kepada para anggota keluarga dan kerabat (nafaqah), dan sebagai infaq untuk
kemaslahatan yang disunnahkan syara (sedekah)’.39 Jadi, ada tiga macam wujud
infaq, yakni: zakat, shadaqah (sedekah), dan nafaqah (nafkah).
Zakat secara etimologi berasal dari akar kata zaka (‫)ز ﻛﻰ‬. Menurut Ibn Faris,
kata yang terdiri dari huruf Zai (‫)ز‬, Kaf (‫)ك‬, dan huruf Mu’tal (‫ )ى‬mempunyai makna
“kesuburan dan bertambah”, serta “pensucian”.40 Dalam Mu’jam al-Wasith,
ditambah lagi makna yang lain, yaitu “keberkahan” dan “baik”.41 Dalam
terminologi syariat, zakat adalah nama bagi sejumlah harta tertentu yang telah
mencapai syarat tertentu yang diwajibkan oleh Allah untuk dikeluarkan dan
diberikan kepada yang berhak menerimanya dengan persyaratan tertentu pula,42—
terlihat adanya kaitan antara makna etimologi dan makna terminologi di atas, yakni
bahwa setiap harta yang sudah dikeluarkan zakatnya akan menjadi suci, bersih, baik,
berkah, tumbuh, dan berkembang. Berdasarkan QS. al-Taubah: 60, maka pihak

38
Lihat ibid.
39
Lihat Subhi al-Shalih, Mabahits fi ‘Ulum al-Qur’an, diterjemahkan oleh
Tim Pustaka Firdaus dengan judul Membahas Ilmu-ilmu Al-Qur’an (Cet.VI; Jakarta:
Pustaka Firdaus, 1996), h. 350.
40
Lihat ibn Faris, op. cit. juz III, h. 17.
41
Lihat Ibrahim Mushthafa (et.al), op. cit. juz I, h. 398
42
Taqiuddin Abu Bakr bin Muhammad al-Husaini, Kifayatul Akhyar, juz
I(Bandung: Syirakah Ma’arif, t.th.), h. 1-2.

Create PDF files without this message by purchasing novaPDF printer (http://www.novapdf.com)
16

yang memenuhi syarat atau berhak mendapat zakat ada delapan golongan, yakni:
fakir, miskin, ‘amil, muallaf, hamba, orang-orang berutang, sabilillah, dan musafir.43
Adapun jenis infaq yang disebut sebagai nafaqah adalah belanja yang dipakai
untuk membiayai kebutuhan hidup, bagi istri, anak-anak, kerabat dekat yang lemah
(‘ajiz)an, dan bagi perawatan barang milik kepunyaannya, seperti hewan piaraan.44
Jenis infaq yang lain adalah sedekah. Sedakah berasal dari bahasa Arab, al-
Shadaqah. Al-Shadaqah berasal dari akar kata shadaqa, yang berarti “benar”.45
Sehubungan dengan itu, harta yang didermakan biasa disebut sebagai sedekah karena
bersedekah merupakan bukti kebenaran iman seseorang kepada Allah dan bahwa ia
membenarkan adanya hari kemudian.46 Sebenarnya, dalam Alquran kata shadaqah
biasa juga digunakan dalam arti zakat.47 Akan tetapi menurut istilah, shadaqah atau
sedekah adalah mengeluarkan/menggunakan sebagian dari yang kita miliki secara
suka rela dan bebas (sunnat), artinya subjek, objek dan sasarannya tidak ditentukan
oleh syara; setiap orang dapat menjadi subjek dan sasaran sedekah.48
C. Urgensi Infaq
Dalam tafsir Ibn ‘Athiyah, persoalan infaq nampaknya cenderung didekati
dengan menggunakan tinjauan hukum. Hal ini dapat diketahui dari uraian-uraian
terdahulu, yakni ketika ia menafsirkan pengertian infaq dalam bebarapa ayat di atas,
yang dikemukakan adalah masalah apakah ayat infaq tersebut berbicara tentang zakat
ataukah tathawwu’. Kalau zakat berarti hukumnya wajib, sedangkan kalau

43
Uraian selengkapnya lihat Sulaiman Rasjid, Fiqh Islam (Cet. XXVII;
Bandung: Sinar Baru Algensindo, 1994), h. 210 dst.
44
Lihat Ali Yafie, Menggagas Fiqih Sosial: Dari Soal Lingkngan Hidup ,
Asuransi Hingga Ukhuwah (Cet. III; Bandung: Mizan, 1995), h. 174.
45
Lihat A.W. Munawwir, Kamus al-Munawwir: Arab-Indonesia (t.d), h. 823.
46
Lihat Yusuf Qardahawi, Dirasah Muqaranah li Ahkamiha wa Falsafatina fi
Dhau’I al-Qur’an wa al-Sunnah, Juz I (Cet. XXII; Beirut: Muassasah al-Risalah,
1994), h. 41.
47
T.M. Hasbi ash-Shiddieqy, Pedoman Zakat (Cet. VII; Jakarta: Bulan
Bintang, 1991), h. 27.
48
Bandingkan dengan Didin Hafidhuddin, op. cit., h. 14-15.

Create PDF files without this message by purchasing novaPDF printer (http://www.novapdf.com)
17

tathawwu’ itu berarti hukumya adalah mandub atau sunnat. Lebih dari itu, penulis
belum mendapatkan keterangan yang lebih kongkrit tentang urgensi infaq dalam
tafsir tersebut.
Tapi yang jelas, infaq adalah sesuatu yang penting karena ia adalah
kewajiban atau anjuran Allah SWT.

IV. KESIMPULAN
Berdasarkan uraian-uraian di atas, maka dapat disimpulkan hal-hal sebagai
berikut:
A. Ibn ‘Athiyah dalam kitab tafsirnya yang berjudul al-Muharrar al-Wajis fi Tafsir
al-Kitab al-‘Aziz—sebuah kitab tafsir bil-matsur—telah menafsirkan ayat-ayat
Alquran dengan didukung oleh kemampuannya sebagai ahli tafsir, sekaligus sebagai
ahli hukum (faqih), bahasa dan sastra Arab, dan ilmu Hadis.
B. Dalam penafsiran ibn ‘Athiyah tentang pengertian infaq dapat diketahui denotasi
(cakupan) dari kata infaq tersebut. Denotasi infaq sebagai salah satu jenis ibadah
dalam Islam mencakup zakat, sedekah, dan juga nafaqah.
C. Unsur-unsur infaq meliputi objek, subjek (al-munfiqu) dan sasaran (al-munfaqu)
infaq. Adapun objek infaq adalah sebagian dari rezki (halal) yang diberikan Allah
kepada kita, baik yang bersifat materi maupun yang bersifat non-materi. Sedangkan,
subjek infaq itu adalah setiap orang yang beriman, serta sasarannya adalah orang-
orang yang membutuhkan, dimulai dari keluarga terdekat, lalu anak yatim,
kemudian faqir/miskin, ibn sabil, dst.
D. Menurut tafsir ibn ‘Athiyah, infaq merupakan sesuatu yang urgen karena ia
merupakan kewajiban atau anjuran dari Allah SWT.

Create PDF files without this message by purchasing novaPDF printer (http://www.novapdf.com)
18

KEPUSTAKAAN

Al-Qur’an al-Karim
Departemen Agama RI., Al-Quraan Dan Terjemahnya (Depag RI.: Jakarta, 1983).
al-Farmawi, ‘Abd al-Hayy. al-Bidayah fi al-Tafsir al-Mawdhu’iy: Dirasah
Manhajiah Mawdhu’iyah, diterjemahkan oleh Suryan A. Jamrah dengan
judul Metode Tafsir Mawdhu’iy: Suatu Pengantar (Cet. II; Jakarta: PT
RajaGrafindo Persada, 1996).
Hafidhuddin, Didin. Panduan Praktis tentang Zakat, Infak dan Sedekah (Cet. I:
Jakarta: Gema Insani Press, 1998).
Al-Husaini, Taqiuddin Abu Bakr bin Muhammad, Kifayatul Akhyar, juz I(Bandung:
Syirkah Ma’arif, t.th.)
Ibn ‘Athiyah, Abu Muhammad ‘Abd al-Haq. al-Muharrar al-Wajiz fi Tafsir al-Kitab
al-‘Aziz, juz II (t.d).
Ibn Zakariya, Abu Husain Ahmad ibn Faris. Mu’jam Maqayis al-Lughah, juz III & V
(t.tp.: Dal al-Fikr, t.th.).
Mahmud, Manii’ Abd Halim. Manahij al-Mufassirin (Cet I; Kairo: Dar al-Kitab al-
Mishri, 1978).
al-Maraghi, Ahmad Musthafa. Tafsir al-Maraghi, juz I, diterjemahkan oleh Bahrun
Abubakar dengan judul, Terjemah Tafsir al-Maraghi ( Cet. I; Semarang:
Toha Putra, 1985).
Munawwir, A.W. Kamus al-Munawwir: Arab-Indonesia (t.d).
Mushthafa, Ibrahim (et al.), al-Mu’jam al-Wasith., juz I & II (Teheran: al-Maktabat
al-Islamiyat, t.th.).
Qardawi, Yusuf. Dirasah Muqaranah li Ahkamiha wa Falsafatina fi Dhau’I al-Qur’an wa al-
Sunnah, Juz I (Cet. XXII; Beirut: Muassasah al-Risalah, 1994).
al-Qattan, Manna’ Khalil. Mabahits fi ‘Ulum al-Qura’an ( Cet. XIV; Beirut:
Muassasah al-Risalah, t..th.).
Rahman, Jalaluddin. Islam: Dalam Perspektif Pemikiran Kontemporer (Cet. I: Ujung
Pandang: PT Umitoha Ukhuwah Grafika, 1997).
Rakhmat, Jalaluddin. Islam Alternatif: Ceramah-ceramah di Kampus
(Cet. VII; Bandung: Mizan, 1995).
Rasjid, Sulaiman.sjid, Fiqh Islam (Cet. XXVII; Bandung: Sinar Baru Algensindo,
1994).
al-Shalih, Subhi. Mabahits fi ‘Ulum al-Qur’an, diterjemahkan oleh Tim Pustaka
Firdaus dengan judul Membahas Ilmu-ilmu Al-Qur’an (Cet.VI; Jakarta:
Pustaka Firdaus, 1996).
Ash-Shiddieqy, T.M. Hasbi ash-Shiddieqy, Pedoman Zakat (Cet. VII; Jakarta: Bulan
Bintang, 1991).
Shihab, M. Quraish. Wawasan al-Qur’an (Cet. VII; Bandung: Mizan, 1998).
ash-Shobuni, Muhammad Ali. al-Tibyan fi ‘Ulum al-Qur’an, diterjemahkan oleh
Muhammad Qodirun Nur dengan judul Ikhtisar Ilmu Qur’an Praktis (Jakarta:
Pustaka Amani, 1988).
asy-Syirazi, Syaikh Nashir Makarim. al-Amtsal fi Tafsir Kitab Allah al-Munzal (jilid
I), diterjemahkan oleh Ahmad Sobandi dkk. dengan judul Tafsir al-Amtsal,
juz I (Jakarta: Gerbang Ilmu Press, t.th.).
Yafie, Ali. Menggagas Fiqih Sosial: Dari Soal Lingkngan Hidup , Asuransi Hingga
Ukhuwah (Cet. III; Bandung: Mizan, 1995).

Create PDF files without this message by purchasing novaPDF printer (http://www.novapdf.com)
19

Tugas : M.K. Tafsir


Semester/Angk. : I/V

KONSEP INFAQ MENURUT


KITAB TAFSIR AL-MUHARRAR AL-WAJIZ

Oleh:

MUHAMMAD NAJIB
Nim: 091 03 05 99

Dosen Pembimbing:
Prof. Dr. H. ABD. MUIN SALIM
Drs. NASHIRUDDIN PILO, M.A.

PROGRAM PASCASARJANA
UNIVERSITAS MUSLIM INDONESIA
MAKASSAR
2000

Create PDF files without this message by purchasing novaPDF printer (http://www.novapdf.com)
20

Create PDF files without this message by purchasing novaPDF printer (http://www.novapdf.com)

Anda mungkin juga menyukai