Oleh:
Fadliyah (19010883)
1
pendidikan di Indonesia khususnya pendidikan Islam, serta akan mampu menjawab
berbagai problem yang ada dalam dunia pendidikan dewasa ini.
A. Latar Belakang
Bagi orang beragama Islam, utusan Allah boleh saja mati, firman Allah boleh
saja terhenti, namun kandungan maknanya tidak boleh ikut-ikutan selesai. Bagaikan
pelita, ia harus selalu memancarkan cahaya. Kandungan makna firman Allah itulah
yang dieksplorasi seluas-luasnya oleh kitab-kitab tafsir. Kerja menafsirkan ayat al-
Qur'an membutuhkan usaha kreatif akal untuk menyingkap (al-kashf), menerangkan (al-
idhah), dan menjelaskan (al-ibanah) makna yang tersembunyi di balik untaian kosakata
Arab sesuai dengan apa yang dikehendaki Allah sebatas kemampuan manusia. 1
Penafsir, siapapun dia, selalu bertolak dari teks firman Allah, seraya mencurahkan
kemampuannya untuk menggali kedalaman maknanya. Artinya penafsir selalu
1
Muhammad Abd al-Azhim al-Zarqani, Manahil al-Irfan fi Ulum al-Qur'an, Vol. 2 (Bairut: Dar
al-Kutub al-Ilmiyah, t.th), hlm. 265.
2
berangkat dengan keyakinan bahwa teks al-Qur'an itu penting, tidak bisa bicara sendiri
dan perlu diartikulasikan, sehingga ia berani bersusah payah untuk menggali sampai
dapat mengeluarkan interpretasi dari teks tersebut. Adapun isi penafsiran, apakah
bersumber pada makna teks, proses dialogis antara akal penafsir dan teks, atau malah
ekspresi penafsir sendiri adalah soal nomer dua, sebab menafsirkan artinya adalah
memaksa nalar untuk bekerja dengan bertolak dari teks. Oleh karena itu, warna-warni
penafsiran sepenuhnya di bawah otoritas penafsir sendiri. Tidak akan ada jaminan,
garansi, atau servis gratis dari Allah. Warna-warni penafsiran al-Qur'an ini dipastikan
akan terus mengalam perkembangan dengan mengandaikan adanya prinsip-prinsip
metodologis yang digunakan setiap penafsir dalam memahami teks al-Qur'an, sebab
karya tafsir yang notabene hasil olah pikir penafsir ketika berinteraksi dengan teks al-
Qur'an tidak pernah bisa dilepaskan dari tujuan, kepentingan, tingkat kecerdasan,
disiplin ilmu yang ditekuni, pengalaman, penemuan-penemuan ilmiah dan situasi sosial-
politik di mana sang penafsir hidup. Ini artinya, produk penafsiran merupakan
representasi semangat zaman di mana seorang penafsir menyejarah, tak terkecuali
literatur tafsir produksi KH. Bisri Musthofa (1915-1977 M) yang diberi judul al-Ibriz li
Ma'rifat Tafsir al-Qur'an al-Aziz.2
B. Rumusan Masalah
C. Tujuan Penelitian
2
M. Quraish Shihab, Membumikan al-Qur‟an: Fungsi dan Peran Wahyu dalam Kehidupan
Masyarakat (Bandung: Mizan, 1994), hlm. 77.
3
Berdasarkan pada pokok permasalaahan diatas, tujuan dilakukannya penelitian
ini adalah:
D. Kegunaan Penelitian
Manfaat yang bisa di ambil dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:
E. Kajian Pustaka
Konsep Pendidikan Akhlak Analisis K.H Bisri Mustofa dalam Tafsir Al Ibriz
dan pengaruhnya bagi pembaca. Pemetaan tersebut kemudian peneliti menemukan
beberapa literatur dari peneliti-peneliti sebelumnya yang pembahasannya ada kaitannya
dengan penelitian ini.
Pertama, “skripsi” Hasyim Ashari dengan judul “Konsep Pendidikan Akhlak Perspektif
Imam Al Ghazali” penelitian ini mengkaji bahwa imam Al-Ghazali mengatakan bahwa
akhlak ialah suatu hakikat atau bentuk dari sesuatu jiwa yang benar-benar telah meresap
dan dari situlah timbulnya berbagai sebagai perbuatan dengan cara spontan dan mudah,
tanpa dibuat-buat dan tanpa membutuhkan pemikiran atau angan-angan menurutnya
nya, "bahwasannya karakter atau akhlak itu tidak bisa begitu saja ada dalam diri
4
manusia, tetapi harus selalu dibiasakan dan dijaga agar menjadi sebuah sikap baik
dalam diri manusia itu sendiri".
Kedua, “skripsi” Vera Dessy Fara Dina dengan judul “KONSEP PENDIDIKAN
AKHLAK DAN IMPLIKASINYA DALAM PENDIDIKAN AGAMA ISLAM (Studi
Atas Pemikiran Hamka dan Syed Muhammad Naquib Al Attas) dalam penelitiannya
bahwasannya Al-Attas dan HAMKA memberikan analisis bahwa yang menjadi
penyebab kebanyakan peserta didik atau pelajar melakukan hal-hal yang kurang sesuai
dengan agama Islam bersumber pada kurangnya pembinaan pendidikan akhlak terhadap
peserta didik baik yang bersifat personal maupun lembaga. untuk mengetahui dan
memahami gagasan pendidikan fundamental dari seorang tokoh: HAMKA dan Syed
M.Naquib Al-Attas yakni tentang pendidikan akhlak yang dijadikan sebagai konsep
dalam pembangunan sumber daya manusia.
5
Bisri mustofa lahir di kampung Sawahan, Rembang, Jawa Tengah pada tahun
1915 atau bertepatan pada tahun 1334 H. Awalnya namanya adalah Mashadi, tetapi
namanya diganti dengan Bisri mustofa setelah beliau menunaikan haji pada tahun 1923.
Beliau merupakan putra dari H. Zainal Mustofa dan Chodijah. Mashadi adalah anak
pertama dari keempat bersaudara, yaitu Mashadi, Salamah (Aminah), Misbah dan
Ma’sum. Beliau merupakan orang yang mempunyai kecerdasan yang luar biasa. Ayah
Mashadi yaitu H. Zaenal Mustofa adalah anak dari padjojo atau H. Yahya, sebelum naik
haji H. Zaenal Mustofa bernama Djaja Ratiban, yang kemudian terkenal dengan sebutan
Djojo Mustopo. Beliau ini adalah seorang pedagang kaya dan bukan seorang kiai dan
alim ulama.3 Akan tetapi beliau merupakan orang yang mencintai para kyai dan alim
ulama, disamping itu beliau juga memiliki kepribadian yang dangat dermawan. Dari
keluarga ibu (chodijah) Mashadi masih mempunyai darah makassar, karena chadijah
merupakan anak dari pasangan Aminah dan E. Zajjadi. E. Zajjadi adalah kelahiran
Makassar dari ayah bernama E. Sjamsuddin dan Ibu Datuk Djajah Pada tahun 1923
Misbah kecil diajak untuk ikut bapknya, sekeluarga bersama-sama menunaikan ibadah
haji.
6
binti K.H Cholil dari pernikahan ini beliau dikaruniai 8 anak, yaitu Cholil (lahir 1941),
Mustofa (lahir 1943), Adieb (lahir 1950, Faridah (lahir 1952), Najihah (lahir 1955),
Labib (lahir 1956), Nihayah dan Atikah (lahir 1964). Pada sekitar tahun 1967, Beliau
menikah lagi dengan wanita asal Tegal bernama Umi Atiyah. Dari pernikahan istri
kedua dikaruniai seorang putra bernama Maimun. Bisri Mustofa meninggal di
Semarang pada 16 Februari 1977 akibat serangan jantung, tekanan darah tinggi, dan
gangguan paru-paru.5
H. Zuhdi atau yang biasa dikenal kakak tiri Bisri Mustofa, mendaftarkan Bisri
ke sekolah HIS (Hollands Inlands School) di Rembang. Pada waktu itu Rembang
terdapat tiga macam jenis sekolah, yaitu:
1. Eropese School; dimana muridnya terdiri dari anak-anak priayi tinggi, seperti anak-
anak bupati, asisten residen dll.
2. HIS (Hollands Inlands School), dimana muridnya terdiri dari anak- anak pegawai
negeri yang penghasilannya tetap. Uang sekolahnya sekitar Rp 3 sampai Rp 7.
3. Sekolah Jawa (Sekolah Ongko 2); dimana muridnya terdiri dari anak-anak kampong,
anak pedagang, anak tukang. Uang sekolahnya sekitar Rp.0,1 sampai Rp 1,25.
Bisri diterima di HIS, sebab ia diakui sebagai keluarga Raden Sudjono, mantra guru
HIS yang bertempat tinggal di sawahan juga dan menjadi tetangga dari keluarga kh.
Bisri. Mendengar kh. Bisri akan diterima di HIS, KH Cholil langsung menyuruhnya
untuk pindah ke sekolah Ongko 2 karena kebenciannya kepada belanda yang memang
HIS itu adalah sekolah milik Belanda. Setelah lulus dari sekolah Ongko 2, kh. Bisri ke
kasingan untuk mondok di KH Cholil. Disana ia menekuni ilmu agama, seperti alfiyah,
fathul mu'in, dll. Di usianya yang kedua puluh, Bisri Musthofa dinikahkan oleh gurunya
yang bernama Kiai Cholil dari Kasingan (tetangga desa Pesawahan) dengan seorang
5
Ahmad Zaenal Hadi, Mutiara Pesantren Perjalanan Khidmah KH. Bisri Mustofa, (Yogyakarta:
Pustaka Pesantren, 2019) Hlm. 9
7
gadis bernama Ma'rufah (saat itu usianya 10 tahun), yang tidak lain adalah puteri Kiai
Cholil sendiri. Dari perkawinannya inilah, KH. Bisri Musthofa dianugerahi delapan
anak, yaitu Cholil, Musthofa, Adieb, Faridah, Najihah, Labib, Nihayah dan Atikah.
Cholil (KH. Cholil Bisri). Setahun setelah dinikahkan oleh Kiai Cholil dengan putrinya
yang bernama Marfu'ah itu, KH. Bisri Musthofa berangkat lagi ke Mekah untuk
menunaikan ibadah haji bersama-sama dengan beberapa anggota keluarga dari
Rembang. Namun, seusai haji, KH. Bisri Musthofa tidak pulang ke tanah air, melainkan
memilih bermukim di Mekah dengan tujuan menuntut ilmu di sana.
8
H. Karya-Karya KH. Bisri Mustofa
1. Al-Iktsar/ilmu tafsir
2. Terjemah kitab Bulugh al-Maram
3. Terjemah Hadis Arba’in an-Nawawi
4. Buku Islam dan Salat
5. Buku Islam dan Tauhid
6. Akidah Ahlu as-Sunnah Wal Jama’ah
7. Al-Baiquniyah/ ilmu hadis
8. Terjemahan Syarah Alfiyah Ibnu Malik
9. Terjemahan Syarah al-Jurumiyah
10. Terjemahan Syarah ‘Imriti
11. Terjemahan Sullamu al-Mua’awanah
12. Safinah ash-Shalah
13. Terjemah Kitab Faraidu al-Bahiyah
14. Muniyatul az-Zaman
15. Atoifu al-Irsyad
16. Al-Nabras
17. Manasik Haji
18. Kasykul,
19. Al-Mjahaddah wa ar-Riyadhah
20. Risalah al-Ijtihadi wa at-Taqlidu.
21. Al-Khabibah
9
22. Al-Qawa’idu al-Fiqhiyah
23. Al-Aqidah al-Awam, dan masih banyak yang lain.
10
dalam makna gandul di bagian dalam dan bagian luar yang dibatasi dengan garis.
Dijelasakan mengenai tafsirannya yang diberi nomor sesuai dengan nomor ayat. Pada
ayat-ayat tertentu, terkadang penafsir memberikan catatan tambahan selain
penafsirannya sendiri, dalam bentuk faedah, kisah, tanbih, muhimmah, dan sebagainya.
Tanbih juga kadang berisi keterangan bahwa ayat tertentu telah dihapus (mansukh)
dengan ayat yang lain. Sistematika Tafsir Al-Ibriz mengikuti urutan ayat-ayatnya atau
biasa disebut mushafi. yaitu berpedoman pada susunan ayat dan surat dalam mushaf.
Dimulai dari surat Al-Fatihah sampai surat al-Nas. Setelah satu ayat ditafsirkan selesai,
diikuti ayat-ayat berikutnya sampai selesai.9
Tafsir yang ditulis oleh K.H Bisri Mustofa tidak secara spesifik membahas
tentang pendidikan akhlak. Adapun ayat-ayat yang dimaksud dan menjadi fokus kajian
dalam penelitian adalah: Q.S Al-Imran ayat 159-160, Al-Anam ayat 151, Al-A’raf ayat
199, Al-Isra’ ayat 23-24, Al-Anbiya’ ayat 107 dan sebagainya. Berdasarkan hasil
interpretasi terhadap ayat-ayat tersebut, secara umum mengklasifikasikan penafsiran
Bisri Mustofa terkait dengn nilai-nilai pendidikan akhlak dalam tafsir Al-Ibriz ke dalam
5 poin pembahasan yaitu nilai-nilai pendidikan terhadap Allah SWT, terhadap orang
tua, diri sendiri, terhadap sesama, terhadap lingkungan. Nilai-nilai pendidikan akhlak
merupakan landasan awal untuk membentuk dan menciptakan kehidupan yang lebih
baik dan berkualitas. Selain itu, dapat juga menumbuh kembangkan sikap manusia agar
menjadi lebih sempurna, sehingga berdampak positif bagi kehidupan dan selalu terbuka
bagi kebaikan dan tertutup dari segala bentuk keburukan.
9
https://ibtimes.id/tafsir-al-ibriz.
11
pikir, ucapan, perbuatan, serta interaksinya kepada Tuhan, manusia dan alam. Selain itu,
nilai-nilai akhlak dapat pula membentuk visi trancendental-spiritual, visi sosiologis dan
visi ekologis. Sehingga, nilai-nilai tersebut dapat melekat dalam diri sehingga
membentuk budaya perilaku dan karakter.10 Nilai-nilai pendidikan akhlak terhadap
Allah SWT. yang di dalamnya mengandung nilai tauhid, nilai larangan berbuat syirik,
serta nilai tawakal. Kemudian, nilai-nilai pendidikan akhlak terhadap orangtua, di
dalamnya mengandung nilai berbakti kepada kedua orangtua, nilai menghormati kedua
orangtua, serta nilai mentaati perintah kedua orangtua. Kemudian, nilai-nilai pendidikan
akhlak terhadap diri sendiri, di dalamnya mengandung nilai syukur, nilai sabar, nilai
menuntut ilmu, serta nilai menjaga kesucian diri. Kemudian, nilai-nilai pendidikan
akhlak terhadap sesama, di dalamnya mengandung nilai larangan berbuat sombong,
nilai berbuat baik, dan nilai saling menghormati. Kemudian, nilai-nilai pendidikan
akhlak terhadap lingkungan, di dalamnya mengandung nilai larangan merusak
lingkungan, dan nilai melestarikan lingkungan. Akhlak terhadap Allah SWT dalam
bentuk ketaatan beribadah. Berikutnya akhlak terhadap sesama makhluk berupa berbuat
baik, menyayangi sesama dan saling menjaga. Selanjutnya akhlak terhadap diri sendiri
berupa jujur, berani, adil, sabar, taat, bijaksana dan amar ma'ruf nahi munkar. Dan
yangterakhir terkait akhlak tercela, yang berupa tamak atau serakah dan mengikuti hawa
nafsu.11
K. Kesimpulan
Firman Sidia, Konsep Pendidikan akhlak dalam Tafsir Al-Ibriz Bisri Mustofa Serta
10
Relevansinya dengan Pendidikan Islam di Indonesia, Journal of Islamic education policy, Vol. 3, No. 2,
2018, hlm. 141.
Firman Sidik, PENDIDIKAN AKHLAK (Studi Atas Pemikiran Hamka Dalam Tafsir Al-
11
Azhar dan Bisri Mustofa Dalam Tafsir Al-Ibriz), Tesis, UIN Sunan Kalijaga.
12
munasabah (korelasi) ayat-ayat. Mengenai sistematika penulisan Tafsir Al-Ibriz secara
tegas dapat dijumpai dalam muqadimah kitab. Secara garis besar, Tafsir Al-Ibriz ditulis
dalam makna gandul di bagian dalam dan bagian luar yang dibatasi dengan garis.
Berdasarkan hasil interpretasi terhadap ayat-ayat tersebut, secara umum
mengklasifikasikan penafsiran Bisri Mustofa terkait dengan nilai-nilai pendidikan
akhlak dalam tafsir Al-Ibriz ke dalam 5 poin pembahasan yaitu nilai-nilai pendidikan
terhadap Allah SWT, terhadap orang tua, diri sendiri, terhadap sesama, terhadap
lingkungan. Nilai-nilai pendidikan akhlak merupakan landasan awal untuk membentuk
dan menciptakan kehidupan yang lebih baik dan berkualitas. Selain itu, dapat juga
menumbuh kembangkan sikap manusia agar menjadi lebih sempurna, sehingga
berdampak positif bagi kehidupan dan selalu terbuka bagi kebaikan dan tertutup dari
segala bentuk keburukan.
DAFTAR PUSTAKA
Ma'sum, Saifulloh, Karisma Ulama: kehidupan ringkas 26 tokoh NU, (Bandung: Mizan,
1998).
13
Ghofur, Saiful, Amin, Mozaik Mufassir Al-Qur’an dari Klasik hingga Kontemporer,
(Yogyakarta: Kaukaba Dipantara, 2013).
Hadi, Zaenal, Ahmad, Mutiara Pesantren Perjalanan Khidmah KH. Bisri Mustofa,
(Yogyakarta: Pustaka Pesantren, 2019).
Afif, al-Ibriz Menyajikan Tafsir Dengan Bahasa Mudah, al-Burhan Vol. 17 No. 1 Tahun
2017
Sidia, Firman, Konsep Pendidikan akhlak dalam Tafsir Al-Ibriz Bisri Mustofa Serta
Relevansinya dengan Pendidikan Islam di Indonesia, Journal of Islamic
education policy, Vol. 3, No. 2, 2018.
Sidiq, Firman, PENDIDIKAN AKHLAK (Studi Atas Pemikiran Hamka Dalam Tafsir
Al-Azhar dan Bisri Mustofa Dalam Tafsir Al-Ibriz), Tesis, UIN Sunan Kalijaga.
14