Anda di halaman 1dari 12



ISLAMISASI PENGETAHUAN
(Islamization of Knowledge: General Principles and Workplan, by Isma’il Raji al-Faruqi)

: Muhammad Najib

Identitas Buku:
Judul : Islamisasi Pengetahuan
Judul Asli : Islamization of Knowledge: General Principles and
Workplan
Pengarang : Ismail Raji al-Faruqi
Penerbit : International Institute of Islamic Thought, 1402 H./ 1982
M., Washington D.C.
Penerjemah: Anas Mahyuddin
Penerbit Terjemahan: Pustaka, 1415 H./1995 M., Bandung

Buku ini merupakan hasil dari dua buah makalah mengenai masalah islamisasi ilmu
pengetahuan oleh Presiden Dewan dan Direktur Lembaga Pengakajian Islam
Internasional (Ismail Raji’ al-Faruqi), ditambah dengan masukan-masukan lebih dari
lima puluh orang cendekiawan Islam yang turut mengambil bagian di dalam Seminar
Islamisasi Pengetahuan yang disponsori oleh Universitas Islam Islamabad dan
Lembaga Pemikiran Islam Internasional dan diselenggarakan di Islamabad pada Rabiul
Awal 1402 H. atau bulan Januari 1982 M.
Tulisan ini menjadi penting sehubungan dengan keadaan yang kita alami kini, apa
yang dapat kita petik dari masa lampau, dalam usaha kita merencanakan perubahan yang
kita inginkan yang merupakan keharusan mutlak bagi kelanjutan hidup dan kemakmuran.
Allah Swt. berfirman yang artinya:
“. . . sesungguhnya Allah tidak mengubah keadaan sesuatu kaum sehingga mereka
mengubah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri . . .”[Qs. al-Ra’d (13): 11]
Sesuai dengan judul aslinya: Islamization of Knowledge: General Principles and
Workplan, buku ini berisi prinsip-prinsip umum tentang pengetahuan yang islami serta
menawarkan suatu rencana kerja dalam rangka penerapan prinsip-prinsip umum
2

(islamisasi) tersebut dalam dunia pengetahuan yang kini dianggap sudah tidak islami, baik
dalam sistemnya maupun wawasan atau landasan filosofisnya.
Sebelum sampai pada bagian yang berbicara tentang kedua hal di atas (bab III dan
IV), pada bagian sebelumnya (bab I) diketengahkan gambaran tentang keadaan umat Islam
yang kini berada dalam suata keadaan gawat yang diistilahkan oleh Prof. Faruqi sebagai
malaise. Dalam bab ini dikemukakan juga tentang sumber utama keadaan tersebut. Pada
bab II kemudian dikemukakan resep untuk mengatasi malaise yang dihadapi umat tersebut
yang pada ujungnya terkait dengan islamisasi pengetahuan. Untuk lebih jelasnya berikut
ini akan dikemukakan tinjauan bab per bab dari buku ini.

I
Bab I buku ini mengemukakan bahwa sebagai akibat kolonialisme Barat, dunia
ummah Islam telah menjadi golongan bangsa-bangsa kelas terbawah di antara bangsa-
bangsa lain. Orang menyebut menyebut bahwa dunia Islam adalah dunia yang “sakit” dan
sedang mengalami malaise. Meskipun sekarang secara de jure Ummah Islam telah
merdeka dari penjajahan kaum kolonial, tetapi Barat yang tetap memusuhi kaum muslimin
tetap berusaha untuk memperlemah ummah Islam yang memang sudah lemah akibat
penjajahan. Prof. Faruqi mengemukakan tiga front (bidang) vital dari kehidupan umat
Islam yang terkena efek dari malaise tersebut, yakni:
1. Front politik, pada front ini umat Islam telah diperlemah dengan dipecah-pecah
menjadi sejumlah (disebut angka 50) negara nasional. Negara-negara nasional
tersebut, atas rekayasa dan masinasi politik yang dilancarkan Barat, tidak ada yang
aman baik secara internal maupun secara eksternal. Disamping itu, akibat institusi
politik yang telah dihancurkan Barat, umat Islam tidak bisa dikerahkan untuk
melakukan aksi politik bersama (bersifat lintas nasional) untuk mempertahankan diri.
2. Pada front ekonomi, akibat pendidikan yang rendah mayoritas kaum muslimin kurang
produktif; Produksi jasa dan barang mereka berada jauh di bawah kebutuhan. Oleh
karena itu mereka menjadi konsumtif dan tergantung pada kebutuhan-kebutuhan
(barang/jasa) yang diimpor dari Barat.
3

Industri-industri yang dikembangkan kaum muslimin adalah industri-industri yang


bahan bakunya berasal dari negara-negara kolonialis dan produksinya pun adalah
barang-barang yang sepele, bukan kebutuhan yang sangat diperlukan. Oleh karena
itu industri kaum muslimin adalah industri yang lemah; memiliki tingkat
ketergantungan yang tinggi kepada Barat. Di samping itu, industri tersebut justru
meningkatkan nafsu konsumeristik kaum muslimin yang nota bene sebagian besar
terdiri dari orang yang lemah (diperlemah, pen) dari segi ekonomi.
Kaum kolonialis Barat dengan segala determinasi dan demagognya menghambat
pertumbuhan industri-industri kaum muslimin yang berbasis agrikultur. Mereka
menyadari bahwa industri semacam itu adalah tidak memiliki ketergantungan kepada
mereka. Untuk itu, dengan berbagai cara didoronglah petani-petani muslimin untuk
pindah ke kota menuju impian-impian semu, yang digambarkan lewat mas media
sebagai kehidupan yang lebih baik dan modern.
Hal yang memprihatinkan adalah negara-negara “Islam” kaya lebih menyukai
menanamkan investasinya di negara-negara Barat yang mereka anggap lebih
gampang dan aman. Dengan demikian negara-negara dunia Islam yang memiliki
potensi untuk memperkembangkan pertanian atau industri agrikultur mereka tetap
tidak memiliki modal untuk membiayainya. Justru modal yang mereka butuhkan itu
dimanfaatkan oleh kaum kolonialis Barat.
3. Di front religio kultural, akibat pergaulan dengan Barat, timbullah sebuah gap di
dalam ummah.Gap itu membagi ummah menjadi pihak yang telah terbaratkan dan
sekuler dan pihak yang menentang sekularisasi, para ulama, yang bermaksud baik
tetapi menaruh dendam karena konservatisme, literalisme, legalisme, ataupun
mistisisme mereka.
Negara-negara kolonial mengusahakan agar pihak pertamalah yang akan menjadi
pengambil keputusan di dalam masyarakat muslim. Dan tampaknya usaha-usaha
mereka banyak mengalami keberhasilan. Dengan dukungan teknologi informasi yang
modern, mereka telah dapat membuat banyak kaum muslimin, termasuk para elitnya,
membaratkan dirinya. Kehidupan kaum muslimin itu telah berubah menjadi suatu
4

pencampuradukan gaya-gaya dan tidak merupakan kelanjutan dari masa lalunya.


Mereka (kaum muslimin yang terbaratkan) telah membuat dirinya tidak Islam dan
tidak pula Barat, suatu keganjilan kultural di zaman modern ini.

Menurut Prof. Faruqi sumber utama malaise yang menimpa umat Islam adalah
keadaan pendidikan yang tidak Islami. Pendidikan di dunia Islam saat ini adalah tempat
dimana para pemuda muslim mengalami proses westernisasi, deislamisasi, dan alienisasi
dari warisan leluhurnya yang cemerlang. Menurutnya, penyakit pendidikan dunia Islam
terletak pada dua hal penting, yakni:
1. Sistem pendidikan dan kurikulum yang bersifat dualisme: sekular dan Islam
(tradisional). Sejak pemerintahan kolonial Barat, pendidikan sekuler telah memegang
proporsi yang sangat besar dan mencampakkan sistem Islam yang mengandalkan dana
terbatas dari masyarakat. Keadaan ini berlanjut setelah negara-negara muslim merdeka,
para pemerintah muslim yang umumnya terdiri dari orang-orang “nasionalis-sekuler” lebih
berpihak kepada sistem pendidikan sekuler.
2. Tidak memiliki ketajaman wawasan (vision).
Materi-materi dan metodologi-metodologi yang kini diajarkan di lembaga-lembaga
pendidikan dunia Islam adalah jiplakan dari materi dan metodologi Barat, namun tidak
mampu memiliki (menjiplak)—bagaimanapun buruknya hubungan dengan warisan leluhur,
mereka tetap mengklaim dirinya sebagai muslim dan tidak mungkin secara eksplisit
menerima wawasan sekuler Barat secara murni—wawasan yang semula dan kini
menghidupkannya di negeri Barat. Itulah sebabnya mengapa selama sekitar dua abad
dengan sistem pendidikan sekuler Barat, kaum muslimin belum bisa menghasilkan lembaga
pendidikan (universitas) dan generasi cendekiawan yang sebanding dengan kreatifitas dan
kehebatan Barat.
Kaum muslimin (Islam) sebenarnya mempunyai cita dan wawasan tersendiri
mengenai totalitas pengetahuan dan kebenaran yang sangat berbeda dengan cita dan
wawasan pengetahuan Barat. Namun, karena di dunia Islam sistem pendidikan yang ada
tidak mengajarkan wawasan Islam sebagaimana tradisi Barat diajarkan kepada murid-murid
5

di Barat, yaitu dengan konsistensi, universalitas, keseriusan, dan keterlibatan bagi


semuanya; tidak ada universitas dunia Islam di mana wawasan itu merupakan bagian dari
program studi-studi “pokok” atau “inti” yang diwajibkan kepada semua siswa, maka
mereka tidak bisa memahami wawasan Islam untuk selanjutnya merehabilitasi sains-sains
Barat dengan wawasan tersebut.

II
Pada bab II buku ini, Prof. Faruqi, sehubungan dengan masalah pendidikan yang
dikemukakan di atas, menulis bahwa untuk kebangkitan umat Islam dari malaise yang
dialaminya maka ada dua hal besar yang harus dilakukan, yakni:
a. Pemaduan kedua-buah sistem pendidikan
b. Menanamkan wawasan (vision) Islam pada umat.
Dengan pemaduan dua sistem pendidikan yang selama ini ada di dunia Islam, maka
akan muncul sistem baru yang memperoleh dua macam keuntungan dari sistem-sistem
terdahulu: sumber finansial negara dan keterlibatan kepada wawasan Islam; sekaligus
menghilangkan keburukan masing-masing sistem: tidak memadainya buku-buku pegangan
yang telah usang dan guru-guru yang tak berpengalaman di dalam sistem yang tradisional
dan peniadaan metode-metode dan ideal-ideal Barat sekuler dalam sistem yang sekuler.
Syarat yang terpenting demi tercapainya pemaduan ini adalah kepercayaan dari
pemerintah-pemerintah Islam kepada tokoh-tokoh pendidikan dan para cendekiawan
muslim untuk melakukan tugas suci ini. Kepercayaan itu antara lain berupa bantuan
finansial yang memadai dan kebebasan yang diberikan kepada para ahli atau cendekiawan
muslim untuk bekerja secara maksimal dalam proyek besar ini. Selain bantuan dari
pemerintah, pendidikan Islam terutama harus didukung dana dari masyarakat berupa
waqaf. Institusi waqaf inilah yang memberikan kepada madrasah personalitas legal yang
pertama sekali dalam sejarah Islam. Dengan waqaf setiap madrasah pada masa lalu bersifat
otonom dan dengan demikian membuat para guru dan murid sanggup menuntut
6

pengetahuan demi Allah Swt. semata-mata—syarat yang diperlukan untuk keberhasilan


usaha mencari kebenaran.
Dalam rangka menanamkan wawasan Islam, setiap anak/remaja muslim berhak
untuk menerima pengajaran yang penuh di bidang agama, etika, hukum, sejarah, dan kultur.
Hal ini merupakan kewajiban ummah, keluarga atau pribadi-pribadi, dan para pemimpin.
Disampaing itu, orang dewasa pun harus dibentengi dari asumsi-asumsi sekuler
Barat tentang apa yang disebut sebagai “obyektif”, “modern”, dan “ilmiah”. Selama ini,
oleh karena tidak adanya penyajian pernyataan Islam—sebuah penyajian yang dibuat
dengan kekuatan objektifitas dan ilmiah yang sama, dengan daya tarik modernitas yang
sama—sebagai balasan terhadap asumsi-asumsi Barat itu, maka siswa muslim ditarik ke
dalam paham sekuler. Proses de-islamisasi tersebut bermula dari universitas-universitas
muslim disamping mas media dan lingkungan.
Sehubungan dengan hal di atas, Prof. Faruqi berpendapat bahwa obat penangkal
untuk melawan proses de-islamisasi di tingkat universitas adalah dengan menjadikan mata
kuliah Kebudayaan Islam sebagai mata kuliah wajib dalam empat tahun perkuliahan di
universitas-universitas muslim. Dengan studi tersebut masyarakat di wilayah Islam
(muslim dan non-muslim) akan kebal terhadap ideologi-ideologi yang datang dari luar,
karena studi itu membuatnya sanggup melawan argumentasi dengan argumentasi, bukti
yang objektif dengan bukti yang objektif. Hanya studi yang demikianlah yang
mempersiapkan dirinya untuk benar-benar berpartisipasi di dalam kehidupan dan kemajuan
kultural ummah karena hanya melalui studi yang demikianlah mereka akan mempelajari
esensi kebudayaan Islam, logika Islam, arah yang dituju atau hendak dituju ummah.
Hanya dengan studi demikian seseorang mengetahui identitas dirinya yang berarti
mengetahui perbedaan diri sendiri dengan orang-orang lain, tidak di dalam kebutuhan-
kebutuhan materi atau realitas-realitas utilitarian, tetapi di dalam pandangan mengenai
dunia (world view), di dalam penilaian moral, di dalam harapan spiritual. Semua ini adalah
domain dari Islam, dari kultur dan kebudayaan yang dibangun dan didukung Islam dari
generasi ke generasi.
7

Hal kedua yang perlu dilakukan adalah islamisasi pengetahuan (istilah yang
kongkrit—mengislamisasikan disiplin-disiplin atau yang lebih tepat—menghasilkan buku-
buku pegangan pada level universitas dengan menuang kembali kira-kira 20 buah disiplin
ilmu pengetahuan modern dengan wawasan (vision) Islam.
Menuang kembali keseluruhan khasanah pengetahuan umat manusia menurut
wawasan Islam artinya memberikan definisi baru, mengatur data-data, memikirkan lagi
jalan pemikiran dan menghubungkan data-data, mengevaluasikan kembali kesimpulan-
kesimpulan, memproyeksikan kembali tujuan-tujuan—dan melakukan semua itu
sedemikian rupa sehingga disiplin-disiplin ini memperkaya wawasan Islam dan bermanfaat
bagi cause (cita-cita) Islam.

III
Memasuki bab III, Prof. Faruqi berbicara tentang metodologi dan prinsip-prinsip
Islam dalam metodologi ilmu pengetahuan. Menurutnya sebagai prasyarat untuk
menghilangkan dualisme sistem pendidikan, yang selanjutnya merupakan prasyarat untuk
menghilangkan dualisme kehidupan, untuk mencari jalan ke luar dari malaise yang
dihadapi ummah, islamisasi pengetahuan merupakan suatu keharusan, yakni menuang
kembali disiplin-disiplin ilmu di bawah kerangka Islam dengan membuat teori-teori,
metode, prinsip-prinsip, dan tujuan-tujuan tunduk kepada prinsip-prinsip esensial Islam.
Prinsip-prinsip yang harus melandasi metodologi Islam adalah keesaan Tuhan, ketunggalan
kebenaran, ketunggalan pengetahuan, ketunggalan umat manusia, ketunggalan kehidupan
dan penciptaan alam semesta yang mempunyai tujuan dan akhir, ketundukan alam semesta
kepada manusia dan ketundukan manusia kepada Allah.
Kategori-kategori tersebut harus menggantikan kategori-kategori sekuler Barat dan
menentukan persepsi dan susunan realitas. Demikian pula nilai-nilai Islam, yaitu manfaat
pengetahuan untuk kebahagian manusia, berkembangnya kemampuan-kemampuan
manusia, memberikan yang baru kepada alam semesta agar dapat mengkonkritkan pola-
pola Tuhan, menegakkan kultur dan kebudayaan, menegakkan monumen-monumen
8

pengetahuan, kebijaksanaan, kepahlawanan, kebajikan, kesalehan, dan kesucian manusia


harus menggantikan nilai-nilai Barat dan mengarahkan aktivitas belajar semua bidang.
Disamping itu, dalam rangka islamisasi pengetahuan harus dihindari pula
perangkap-perangkap dan kekurangan metodologi tradisional. Kekurangan metodologi
tradisional adalah :
1. Metodologi yang digunakan para mujtahid tidak dapat melihat suatu problem secara
seutuhnya. Ia hanya dapat menentukan kesesuaian yang eksak dari perbuatan-
perbuatan tertentu dengan norma-norma dan peraturan yang telah dispesifikasikan di
dalam satu mazhab atau lebih. Di samping itu, seseorang (faqih/mujtahid) yang
pendidikannya telah membuatnya sanggup sanggup untuk menerjemahkan semua
masalah ke dalam terma-terma hukum, telah membuat keputusan-keputusan mengenai
masalah-masalah tersebut dibawa ke dalam kategori-kategori hukum, memasukkan
problem-problem zaman modern ini ke dalam kategori hukum semata. Ijtihad yang
telah sempit ini dipersempit lagi dengan kenyataan bahwa mereka terutama
mengkonsentrasikan usahanya kepada ifta atau keputusan-keputusan ahli hukum
sehubungan dengan aksi-aksi spesifik yang telah dilakukan kaum muslimin atau yang
hendak mereka lakukan dalam kehidupan sehari-hari.
2. Dikotomi akal dan wahyu oleh ajaran-ajaran tasawwuf, filsafat, dan sebagian
mutakallimin.
3. Pemisihan pemikiran dan aksi. Ketika para sultan memegang kekuasaan tanpa
tantangan, energi-energi mental yang besar dari ummah disalurkan kepada nilai-nilai
spiritual, personal, dan subjektif yang diinginkan tasawwuf. Maka hilanglah
ekuivalensi dan konvertibilitas di antara hal-hal spiritual dengan hal-hal duniawi yang
merupakan karakteristik zaman sebelumnya (klasik). Sebagai gantinya adalah
pencarian nilai-nilai spiritual yang mengorbankan keduniawian. Karena tidak lagi
bertolak dari pergaulan-pergaulan aktual ummah, pemikiran muslim menjadi
konservatif, literal di dalam hukum, spekulatif di dalam penafsiran dan world view
Alquran, menyangkal dunia ini dalam etik dan politik, esoterik di dalam sains-sains
kealaman. Para pemikir besar, ahli hukum, awliya’ memandang rendah dan terkutuk
9

masalah dan kekuasaan politik, atau segala tindakan yang berhubungan dengan hal itu.
Tampaknya ummah telah kehilangan keseimbangan antara nilai-nilai personal dan
kemasyarakatan, nilai-nilai yang dengan sangat sempurna telah ditunjukkan Nabi
Muhammad Saw. dalam hidupnya.
4. Dualisme Kultural dan religius. Di masa keruntuhan Islam dan karena terpisahnya
pemikiran dari aksi atau tindakan, jalan yang lurus (al-shirat al-mustaqim) pecah
menjadi dua: jalan keduniawian (kultural) dan jalan Allah atau jalan kesalehan. Kedua
jalan di dalam kehidupan umat Islam ini senantiasa saling berlawanan—yang pertama
dipandang terkutuk dan mengandung dunia material dengan semua nilai-nilainya.
Yang kedua dianggap terpuji dan mengandung semua nilai religius dan etika.

IV
Memasuki bab IV buku ini, dikemukakan rencana kerja islamisasi pengetahuan
yang telah dibicarakan di depan. Menurut Prof. Faruqi ada lima tujuan dari rencana kerja
tersebut:
1. Penguasaan disiplin ilmu modern.
2. Penguasaan khasanah Islam
3. Penentuan relevansi Islam bagi masing-masing bidang ilmu modern.
4. Pencarian sintesa kreatif antara khasanah Islam dengan ilmu modern.
5. Pengarahan aliran pemikiran Islam ke jalan-jalan yang mencapai pemenuhan pola
rencana Allah Swt.
Untuk merealisir tujuan-tujuan ini, sejumlah langkah-langkah harus diambil
menurut suatu urutan logis yang menentukan prioritas-prioritas masing-masing langkah
tersebut:
Langkah I : Penguasaan disiplin ilmu modern dengan penguraian kategoris-kategoris.
Langkah II : Survei disiplin ilmu ini dilengkapi dengan membuat esei-esei yang ditulis
dalam bentuk bagan mengenai asal-usul dan perkembangan setiap disiplin.
Langkah III : Penguasaan khasanah Islam. Langkah ini meliputi persiapan penerbitan
beberapa jilid ontologi bacaan-bacaan pilihan dari khasanah ilmiah Islam
10

untuk setiap disiplin ilmu modern.


Langkah IV : Penguasaan khasanah ilmu Islam tahap analisa.
Langkah V : Penentuan relevansi Islam yang khas terhadap disiplin-disiplin ilmu
modern.
Langkah VI : Penilaian kritis terhadap disiplin ilmu modern.
Langkah VII : Penilaian kritis terhadap khasanah Islam yang lahir dari peradaban dan
kebudayaan Islam, selain Alquran dan Sunnah yang tidak bisa dikritik
kecuali pemahaman manusia terhadap keduanya.
Langkah VIII : Survei permasalahan yang dihadapi Islam.
Langkah IX : Survei permasalahan yang dihadapi umat manusia
Langkah X : Analisa kreatif dan sintesa
Langkah XI : Penuangan kembali disiplin ilmu modern ke dalam kerangka Islam dan
penerbitan buku-buku daras tingkat universitas.
Langkah XII : Penyebarluasan ilmu-ilmu yang telah diislamisasikan.

Selain langkah-langkah di atas, guna mempercepat dan demi efektifitas dari


islamisasi pengetahuan, maka Prof. Faruqi menyatakan bahwa perlu juga diadakan
konfrensi-konfrensi dan seminar-seminar di antara ahli-ahli Islam dari berbagai latar
belakang disiplin ilmu agar supaya mereka dapat bekerja dan saling membantu dalam
tugasnya masing-masing. Selain itu diperlukan adanya lokakarya antara para ahli dan para
pengajar. Para pengajar harus dibina dan dilatih untuk menggunakan buku-buku pelajaran
dan tulisan yang telah dibuat oleh para ahli.

V
Sumbangan pemikiran yang dikemukakan Prof. Faruqi ini merupakan suatu yang
sangat berharga bagi dunia Islam, lebih-lebih jika hal tersebut dapat direalisasikan.
Pemikiran beliau ini, selain hal-hal yang bersifat abstrak berupa prinsip-prinsip metodologi
islamisasi ilmu pengetahuan, juga ada rumusan yang kongkrit berupa program aksi yang
sistematis dan terarah.
11

Program islamisasi pengetahuan yang dikemukakan Prof. Faruqi terfokus pada


tingkat universitas—kongkritnya adalah untuk menghasilkan buku-buku daras yang islami
pada tingkat universitas. Mungkin yang perlu dipikirkan juga dalam hal ini adalah
bagaimana membenahi buku-buku pelajaran yang digunakan oleh anak-anak di tingkat
sekolah dasar dan menengah. Alasan Prof. Faruqi untuk lebih terfokus pada islamisasi
pengetahuan di tingkat universitas mungkin karena ia beranggapan bahwa hal itu akan juga
menjadi lokomotif bagi islamisasi pengetahuan yang dipelajari ditingkat sekolah dasar dan
menengah. Sebab sarjana-sarjana ideal yang nantinya akan lahir akan menjadi motor
penggerak islamisasi penegtahuan secara total. Amiin!
12

Anda mungkin juga menyukai