Anda di halaman 1dari 15

TEORI FITRAH

(Teori Pendidikan:Pembawaan dan Lingkungan)

Makalah
Disampaikan dalam Seminar Kelas
Mata Kuliah Teori-teori Pendidikan Kontemporer Semester III/Angkatan V
Tahun 2000/2001

Oleh:
MUHAMMAD NAJIB
NIM: 091.03.05.99

Dosen Pembimbing

Prof. Dr. H. Azhar Arsyad, M.A.

PROGRAM PASCASARJANA
UNIVERSITAS MUSLIM INDONESIA
MAKASSAR
2001
I. PENDAHULUAN

Dalam perkembangan ilmu pendidikan telah muncul bermacam-macam


teori mengenai soal pembawaan (potensi asasi yang dapat berkembang)
pada manusia. Proses munculnya teori-teori tersebut merupakan proses
thesa, anti thesa, dan sinthesa antara satu dengan yang lain. Pada mulanya
muncul suatu teori yang intinya berpandangan bahwa perkembangan
manusia mutlak ditentukan oleh lingkungan, termasuk pendidikan. Setelah
itu timbul reaksi dengan munculnya teori lain yang menganggap bahwa
pembawaanlah yang secara mutlak menentukan perkembangan manusia.
Kemudian muncul lagi satu teori (konvergensi) yang berusaha
mengkompromikan kedua pandangan terdahulu.
Mengenai hubungan antara pembawaan dan lingkungan dengan
perkembangan manusia, para ulama atau ahli pendidikan Islam juga
mempunyai pandangan yang beragam. Hal tersebut berpangkal pada
perbedaan interpretasi mereka terhadap term fithrah (Indonesia=fitrah) dalam
Alquran dan Hadis. Di antara mereka ada yang berpandangan mirip dengan
kedua pandangan ekstrim di atas. Ada juga di antara mereka yang
cenderung berpandangan moderat sebagaimana para pendukung teori
konvergensi.
Dalam pembahasan berikut, penulis akan berusaha menguraikan lebih
jauh pandangan-pandangan atau teori-teori di atas. Dengan pembahasan ini
diharapkan akan diperoleh gambaran yang jelas tentang pandangan masing-
masing ahli atau aliran mengenai peranan dan hubungan pembawaan dan
lingkungan di dalam pendidikan. Selain itu, akan diuraikan pula perbedaan
pandangan Islam dengan teori-teori sekuler mengenai pembawaan dan
lingkungan.
II. PEMBAHASAN

A. Pengertian Pembawaan dan Lingkungan

1. Pembawaan
Pembawaan adalah suatu konsep yang dipercayai/dikemukakan oleh
orang-orang yang mempercayai adanya potensi dasar manusia yang akan
berkembang sendiri atau berkembang dengan berinteraksi dengan
lingkungan. Ada pula istilah lain yang biasa diidentikkan dengan
pembawaan, yakni istilah keturunan dan bakat. Sebenarnya ketiga istilah
tersebut tidaklah persis sama pengertiannya.
Pembawaan ialah seluruh kemungkinan atau kesanggupan (potensi)
yang terdapat pada suatu individu dan yang selama masa perkembangan
benar-benar dapat diwujudkan (direalisasikan). (M. Ngalim Purwanto,
1994:53)
Pembawaan tersebut berupa sifat, ciri, dan kesanggupan yang biasa
bersifat fisik atau bisa juga yang bersifat psikis (kejiwaan). Warna rambut,
bentuk mata, dan kemampuan berjalan adalah contoh sifat, ciri, dan
kesanggupan yang bersifat fisik. Sedangkan sifat malas, lekas marah, dan
kemampuan memahami sesuatu dengan cepat adalah sifat-sifat psikis yang
mungkin berasal dari pembawaan.
Pembawaan yang bermacam-macam itu tidak berdiri sendiri-sendiri,
yang satu terlepas dari yang lain. Seluruh pembawaan yang terdapat dalam
diri seseorang merupakan keseluruhan yang erat hubungannya satu sama
lain; yang satu menentukan, mempengaruhi, menguatkan atau melemahkan
yang lain. Manusia tidak dilahirkan dengan membawa sifat-sifat pembawaan
yang masing-masing berdiri sendiri-sendiri, tetapi merupakan struktur
pembawaan. Struktur pembawaan itu menentukan apakah yang mungkin
terjadi pada seseorang. (Purwanto, 1994: 54)
Hubungan Pembawaan dengan Keturunan dan Bakat
Dengan uraian di atas dapat dipahami bahwa semua potensi yang
dibawa sejak lahir dan memiliki kemungkinan untuk muncul pada diri
seseorang disebut sebagai pembawaan. Adapun keturunan, menurut M.
Ngalim Purwanto (1994: 51) adalah persamaan sifat atau ciri-ciri yang
menurun atau diwarisi melalui sel-sel kelamin dari generasi lainnya. Jadi
keturunan adalah termasuk juga pembawaan, lebih tepatnya disebut
pembawaan-keturunan.
Meskipun semua sifat atau ciri yang termasuk pembawaan-keturunan
adalah pembawaan, karena memang dibawa sejak lahir, namun tidaklah
semua sifat atau ciri yang dibawa sejak lahir (pembawaan) dapat disebut
sebagai pembawaan-keturunan. Hal itu disebabkan oleh adanya bawaan
sejak lahir yang tidak bersumber atau diwarisi melalui sel-sel kelamin.
Sebagai contoh adalah cacat yang disebabkan oleh faktor-faktor yang
diperoleh pada masa pertumbuhan embrio dalam kandungan.
Adapun mengenai pembawaan dan bakat, Ngalim Purwanto
menyatakan bahwa meskipun banyak penulis buku psikologi menyamakan
kedua istilah tersebut, namun menurutnya tidaklah demikian semestinya.
Dalam pandangannya, istilah bakat lebih dekat pengertiannya dengan kata
aptitude (bahasa Inggris) yang berarti kecakapan pembawaan, yaitu
mengenai kesanggupan-kesanggupan (potensi) tertentu. Jadi bakat tidak
termasuk pembawaan yang berupa sifat atau ciri yang bukan merupakan
kecakapan; kecerdasan; ketangkasan. (Purwanto, 1994: 56)
Dari uraian di atas dapat dipahami bahwa istilah pembawaan mencakup
pengertian keturunan dan bakat. Akan tetapi, kedua istilah terakhir
mempunyai pengertian yang lebih khusus/sempit jika dibandingkan dengan
pengertian pembawaan. Jadi, jika dipakai istilah pembawaan mungkin yang
dimaksud adalah bakat, atau keturunan, atau bakat sekaligus keturunan.
2. Lingkungan (Environment)
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia disebutkan bahwa kata
lingkungan berarti “semua yang mempengaruhi pertumbuhan manusia dan
hewan.”(Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan
Bahasa, 1989: 526)
Dalam konteks pendidikan, objek pengaruh tentu saja dibatasi hanya
pada pertumbuhan manusia, tidak mencakup pertumbuhan hewan. Oleh
karena itu, M. Ngalim Purwanto menyatakan bahwa yang dimaksud dengan
lingkungan di dalam pendidikan ialah setiap pengaruh yang terpancar dari
orang-orang lain, bintang, alam, kebudayaan, agama, adat-istiadat, iklim,
dsb, terhadap diri manusia yang sedang berkembang. (Purwanto, 1994: 50)
Menurut penulis, mungkin yang dimaksud Ngalim dalam definisi di atas
adalah pengaruh lingkungan (bukan lingkungan). Dengan asumsi ini maka
lingkungan adalah segala sesuatu yang mempengaruhi perkembangan diri
manusia, yakni orang-orang lain (individu atau masyarakat), binatang, alam,
kebudayaan, agama, adat- istiadat, iklim, dsb.
Sartain (Purwanto, 1994: 59-60), seorang ahli psikolog Amerika,
membagi lingkungan menjadi 3 bagian sebagai berikut:
a. Lingkungan alam atau luar (eksternal or physical environment), ialah
segala sesuatu yang ada dalam dunia ini, selain manusia.
b. Lingkungan dalam (internal environment), ialah segala sesuatu yang
telah masuk ke dalam diri kita, yang dapat mempengaruhi
pertumbuhan fisik kita, misalnya makanan yang telah diserap
pembuluh-pembuluh darah dalam tubuh.
c. Lingkungan sosial, ialah semua orang atau manusia lain yang
mempengaruhi kita.
Mengenai jenis lingkungan yang ketiga, Ralph Linton (1962: 10),
seorang anthropolog Amerika, mengistilahkannya sebagai lingkungan
manusiawi. Menurutnya, lingkungan manusiawi itu mencakup masyarakat
dan cara hidup yang khas dari masyarakat, yaitu kebudayaan. Baik Sartain
maupun Linton sepakat bahwa lingkungan sosial atau lingkungan manusiawi
adalah yang paling besar berpengaruh dalam perkembangan pribadi
seseorang.

B. Teori-teori mengenai Pembawaan dan Lingkungan


1. Empirisme
Empirisme adalah suatu aliran atau paham yang menganggap bahwa
segala kecakapan dan pengetahuan manusia timbul dari pengalaman
(empiri) yang masuk melalui indera (Purwanto, 1994: 16). Menurut penganut
aliran ini, pengalaman yang diperoleh anak dalam kehidupan sehari-hari
terdiri dari stimulan-stimulan dari alam bebas dan yang diciptakan oleh orang
dewasa dalam bentuk program pendidikan (Umar Tirtarahardja dan La Sula,
2000: 194). Jadi, yang menentukan perkembangan anak (manusia) adalah
semata-mata faktor-faktor eksternal (lingkungan).
John Locke (1632-1714 M), salah seorang tokoh aliran emprisme,
terkenal dengan Teori Tabularasanya. Menurut teori ini, anak yang baru
dilahirkan dapat diumpamakan sebagai kertas putih bersih yang belum ditulisi
(a sheet of white paper avoid of all characters). Artinya bahwa anak sejak
lahir tidak mempunyai pembawaan apa-apa (netral), tidak punya
kecenderungan untuk menjadi baik atau menjadi buruk. Dengan demikian
anak dapat dibentuk sekehendak pendidiknya. Dengan kata lain, hanya
pendidikan (atau lingkungan) yang berperan atas pembentukan anak.
(Purwanto, 1994: 15-16)
Pengaruh aliran ini tampak juga pada salah satu mazhab psikologi
yang disebut sebagai behaviorisme (aliran tingkah laku). Para tokoh aliran
ini, seperti Thorndike, I. Pavlov, J.B. Watson, dan F. Skinner berpendapat
bahwa manusia adalah makhluk yang pasif dan dapat dimanipulasi, umpama
melalui modifikasi tingkah laku. Mereka memandang manusia sebagai
makhluk reaktif (tidak aktif). Manusia hanyalah objek, benda hidup yang
hanya dapat memberi respons kepada perangsang yang berasal dari
lingkungannya. (Umar Tirtarahardja dan La Sula, 2000: 195; Hasan
Langgulung, 1995: 134). Jadi dalam hubungannya dengan lingkungan,
seseorang hanya dapat bersifat autoplastis, tidak dapat bersifat alloplastis.
(Bandingkan Purwanto, 1994: 61)
Dengan demikian empirisme berpandangan bahwa pendidik
memegang peranan yang sangat menentukan dalam proses pendidikan.
Pendidiklah yang menyediakan lingkungan pendidikan kepada anak didik dan
akan diterima oleh anak sebagai pengalaman-pengalaman. Kemudian dari
pengalaman-pengalaman akan dapat terbentuk susunan kebiasaan yang
membentuk pribadi seseorang.
2. Nativisme
Sebagai reaksi terhadap empirisme, muncul nativisme. Istilah
nativisme berasal dari kata nativus (latin) yang berarti karena kelahiran.
(Purwanto, 1994: 16)
Aliran nativisme berpendapat bahwa tiap-tiap anak dilahirkan dengan
membawa sejumlah potensi (pembawaan) yang akan berkembang sendiri
menurut arahnya masing-masing. Bagi nativisme, lingkungan sekitar tidak
ada artinya, sebab lingkungan tidak akan berdaya dalam mempengaruhi
perkembangan anak. Tokoh nativisme, Schopenhauer (1788-1860)
berpendapat bahwa bayi lahir beserta pembawaannya, baik atau buruk.
Seorang anak yang mempunyai pembawaan baik, maka dia akan menjadi
baik. Sebaliknya, kalau anak mempunyai pembawaan buruk, maka dia akan
tumbuh menjadi anak yang jahat. Pembawaan-pembawaan itu tidak akan
dapat diubah oleh kekuatan luar (lingkungan). (Umar Tirtarahardja dan La
Sula, 2000: 196)
Dengan demikian dapat dipahami bahwa aliran ini berpandangan
bahwa keberhasilan pendidikan ditentukan oleh hal-hal yang bersifat internal
pada anak didik sendiri. Dengan kata lain, hasil akhir pendidikan ditentukan
oleh pembawaan yang sudah dibawa sejak lahir. Pendidikan yang tidak
sesuai dengan pembawaan atau bakat anak didik tidak akan berguna untuk
perkembangan anak tersebut. Oleh karena itu, pendidikan sebenarnya tidak
diperlukan, dan inilah yang disebut sebagai pesimisme pedagogis.
3. Naturalisme
Pandangan yang mirip dengan pandangan nativisme dikemukakan
oleh para penganut paham naturalisme. Sesuai dengan akar kata
naturalisme, yakni nature ‘alam’ atau ‘apa yang dibawa sejak lahir’, aliran ini
berpandangan bahwa seorang anak telah mempunyai pembawaan sejak
lahir.(Purwanto, 1994: 46)
Meskipun kedua aliran sepakat dalam hal adanya pembawaan pada
manusia, namun J.J. Rousseau (1712—1778) (tokoh utama naturalisme),
berbeda pendapat dengan Schopenhauer (nativisme) tentang pembawaan
tersebut. Schopenhauer berpendapat bahwa bayi lahir dengan dua
kemungkinan pembawaan, yakni baik atau buruk, sedangkan Rosseau
menyatakan bahwa semua anak yang baru dilahirkan hanya mempunyai
pembawaan baik. (Umar Tirtarahardja dan La Sula, 2000: 197)
Kalau dalam hal keberadaan pembawaan manusia pandangan antara
naturalisme dengan nativisme ada kesamaan, maka dalam hal besarnya
peranan lingkungan dalam mempengaruhi perkembangan anak, justru
pandangan naturalisme memiliki unsur kesamaan dengan empirisme. Hal ini
dapat dilihat dalam pernyataan J.J. Rousseau bahwa “semua anak adalah
baik pada waktu baru datang dari Sang Pencipta, tetapi semua menjadi
rusak di tangan manusia”. (Purwanto, 1994: 46)
Jadi, walaupun manusia lahir dengan potensi pembawaan baik, tetapi
bagaimana hasil perkembangannya kemudian sangat ditentukan oleh
pendidikan yang diterimanya atau yang mempengaruhinya. Jika pengaruh itu
baik, akan menjadi baiklah ia, tetapi bilamana pengaruh itu jelek akan jelek
pula hasilnya.
Dengan berasumsi pada teori di atas, maka dalam hal pendidikan
Rosseau berpendapat bahwa pendidikan yang diberikan orang dewasa
malahan dapat merusak pembawaan anak yang baik itu. Karena pendapat
inilah maka naturalisme juga disebut sebagai negativisme. Mereka
berpandangan bahwa pendidik wajib membiarkan pertumbuhan anak pada
alam, inilah yang disebut sebagai “pendidikan alam”. Dengan pendidikan
alam, anak dibiarkan berkembang menurut alam (nature)-nya, manusia atau
masyarakat jangan mencampurinya agar pembawaan yang baik itu tidak
menjadi rusak oleh tangan manusia melalui proses dan kegiatan pendidikan
yang dilakukan oleh manusia. (Umar Tirtarahardja dan La Sula, 2000: 197;
Purwanti, 1994: 46)
Dengan demikian dapat dipahami bahwa naturalisme, sebagaimana
nativisme, tidak menganggap perlu diadakannya pendidikan (oleh manusia)
bagi manusia. Bahkan dengan anggapan bahwa pendidikan dapat merusak
pembawaan baik anak, naturalisme justru dapat dianggap menentang
pelaksanaan pendidikan yang dilakukan oleh manusia.
4. Tut Wuri Handayani
Istilah tut wuri handayani berasal dari bahasa Jawa. Tut wuri berarti
mengikuti dari belakang dan handayani berarti mendorong, memotivasi, atau
membangkitkan semangat. (Purwanto, 1994: 49)
Tut wuri handayani (sekarang menjadi semboyan Depdiknas) pada
awalnya merupakan inti salah satu dari “Asas 1922”, yakni tujuh buah asas
dari Perguruan Taman Siswa (didirikan pada tanggal 3 Juli 1922 oleh Ki
Hadjar Dewantoro). Asas pertama Perguruan Taman Siswa menegaskan
bahwa setiap orang mempunyai hak mengatur dirinya sendiri dengan
mengingat tertibnya persatuan dalam perikehidupan umum. Asas inilah yang
mendorong Taman Siswa untuk mengganti sistem pendidikan cara lama yang
menggunakan perintah, paksaan, dan hukuman dengan sistem khas Taman
Siswa yang didasarkan pada perkembangan kodrati. Dari asas ini pulalah
lahir sistem Among, di mana guru memperoleh sebutan pamong, yaitu
sebagai pemimpin yang berdiri di belakang dengan semboyan tut wuri
handayani, yaitu tetap mempengaruhi dengan memberi kesempatan kepada
anak didik untuk berjalan sendiri, dan tidak terus menerus dicampuri,
diperintah, dan dipaksa. Pamong hanya wajib menyingkirkan segala sesuatu
yang merintangi jalannya anak serta hanya bertindak aktif dan mencampuri
tingkah laku atau perbuatan anak apabila mereka sendiri tidak dapat
menghindarkan diri dari berbagai rintangan atau ancaman keselamatan atau
gerak majunya. Jadi, sistem Among adalah cara pendidikan yang dipakai
dengan maksud mewajibkan pada guru supaya memperhatikan dan
mementingkan kodrat-iradat para siswa dengan tidak melupakan segala
keadaan yang mengelilinginya. (Umar Tirtarahardja dan La Sula, 2000: 118-
119)
Dengan menyimak uraian di atas, dapat dipahami bahwa konsep
pendidikan Ki Hadjar Dewantoro ini mengakui adanya bakat, pembawaan,
ataupun potensi-potensi yang ada pada anak sejak dilahirkan. Potensi-
potensi tersebut saling mempengaruhi dengan lingkungan dalam proses
perkembangan anak. Purwanto (!994: 49) menyatakan bahwa kalau
dibandingkan dengan aliran-aliran pendidikan yang berkembang di Barat, tut
wuri handayani lebih mirip dengan aliran konvergensi dari William Stern.
Penganut aliran ini berpandangan bahwa perkembangan anak (manusia)
ditentukan oleh proses interaksi antara pembawaan anak dengan lingkungan,
termasuk pendidikan, yang mempengaruhi anak dalam perkembangannya.
5. Teori Fitrah
Dalam pandangan Islam kemampuan dasar/pembawaan itu mungkin
bisa disejajarkan dengan istilah fitrah. Secara etimologis, kata fitrah
(Arab=fithrah) berarti asal kejadian, bawaan sejak lahir, jati diri, dan naluri
manusiawi. (Quraish Shihab, 1995: 52)
Dari segi terminologi Islam, sejumlah interpretasi terhadap kata fithrah
(fitrah) dalam Alquran dan Hadis dikemukakan oleh para ahli. Berkaitan
dengan pembahasan ini, H.M. Arifin (1994: 88-96) mengemukakan bahwa
sejumlah ayat Alquran dan Hadis , serta interpretasi ahli ilmu pendidikan
Islam terhadap keduanya telah memungkinkan lahirnya pandangan-
pandangan yang cenderung kepada nativisme, atau konvergensis, atau
bahkan empirisme dalam ilmu pendidikan Islam.
Menurut Arifin (!994: 101) sendiri, fitrah adalah faktor kemampuan dasar
perkembangan manusia yang terbawa sejak lahir yang berpusat pada potensi
dasar untuk berkembang. Potensi dasar itu berkembang secara menyeluruh
(integral) yang menggerakkan seluruh aspek-aspeknya yang secara
mekanistis satu sama lain saling mempengaruhi menuju ke arah tujuan
tertentu. Menurutnya aspek-aspek fitrah terdiri dari komponen-komponen
dasar (bakat, insting, nafsu, karakter, hereditas, dan intuisi) yang bersifat
dinamis dan responsif terhadap pengaruh lingkungan sekitar, termasuk
pengaruh pendidikan.
Adanya peranan lingkungan dalam proses perkembangan anak yang
telah lahir dengan membawa fitrah sesuai dengan sabda Rasulullah Saw.
dalam satu hadis (al-Bukhariy, 1997: 272), sebagai berikut:
(‫ )رواه البخاري‬. . . ‫كل مولود يولد على الفطرة فابواه يهودانه اوينصرانه اويمجسانه‬
‘Setiap bayi dilahirkan dengan fitrah. Hanya ibu bapaknyalah
(lingkungan) yang menjadikan ia Yahudi, Nasrani, atau Majusi.
Dalam konsep Islam, fitrah dalam hubungannya dengan lingkungan
ketika mempengaruhi perekembangan manusia tidaklah netral, sebagaimana
pandangan empirisme yang menganggap bayi yang baru lahir sebagai suci
bersih dari pembawaan (potensi) baik dan buruk. Bagi Islam, manusia lahir
dengan membawa suatu fitrah dengan kecenderungan yang bersifat
permanen (Qs. 30: 30). Fitarh akan berinteraksi secara aktif dan dinamis
dengan lingkungan dalam proses perkembangan manusia.
Menurut Hasan Langgulung (1995: 21-22), fitrah itu dapat dilihat dari
dua penjuru. Pertama, dari segi pembawaan manusia, yakni potensi
mengembangkan sifat-sifat Tuhan pada dirinya. Kedua, fitrah dapat juga
dilihat dari segi wahyu Tuhan yang diturunkan kepada nabi-nabi-Nya (agama
tauhid; Islam). Jadi, potensi manusia dan agama wahyu adalah satu “benda”
(fitrah) yang dapat diibaratkan mata uang dua sisi. Ini bermakna bahwa
agama yang diturunkan Allah melalui wahyu kepada para nabi-Nya adalah
sesuai dengan fitrah atau potensi (sifat-sifat) asasi manusia.
Dari apa yang dikemukakan Hasan Langgulung tersebut dapat dipahami
bahwa fitrah itu berorientasi kepada kebaikan. Dengan kata lain, manusia
pada dasarnya adalah baik atau memiliki kecenderungan asasi untuk
berkembang ke arah yang baik. Baik menurut Islam adalah bersumber dari
Allah Swt., bersifat mutlak. Tidak sebagaimana pandangan aliran-aliran
sekuler Barat yang berpandangan bahwa baik adalah suatu yang bersifat
relatif dan bersumber pada manusia (anthroposentrisme).
Dalam kaitannya dengan pendidikan, meskipun konsep tentang fitrah
mirip dengan naturalisme yang menganggap manusia pada dasarnya baik,
tetapi Islam tidak berpandangan negativis dalam pendidikan. Menurut
Abdurrahman Saleh Abdullah (1994: 64) seorang pendidik muslim selain
berikhtiar untuk menjauhkan timbulnya pelajaran melakukan kebiasaan yang
tidak baik, juga mesti berikhtiar menanamkan tingkah laku yang baik, karena
fitrah itu tidak berkembang dengan sendirinya. Kekurangan perhatian dari
pihak pendidik tidak dibenarkan.
III. KESIMPULAN

Dari uraian-uraian di atas dapat disimpulkan hal-hal sebagai berikut:


A. Pembawaan adalah istilah yang dipakai untuk menyebut semua potensi
yang dibawa manusia sejak lahir dan memiliki kemungkinan untuk muncul
pada perekembangan manusia. Istilah ini mencakup pengertian “bakat” dan
“keturunan”. Adapun “lingkungan” adalah segala sesuatu yang
mempengaruhi perkembangan diri manusia.
B. Mengenai implikasi pembawaan dan lingkungan dalam perkembangan
manusia telah muncul sejumlah aliran dan pandangan yang bervariasi baik di
Barat maupun dunia Islam. Di Barat muncul aliran-aliran: empirisme yang
menganggap bahwa lingkungan berpengaruh mutlak terhadap
perkembangan manusia, nativisme beranggapan bahwa perkembangan
manusia mutlak ditentukan oleh pembawaannya, naturalisme berpandangan
bahwa pada dasarnya manusia adalah baik dan kebaikan ini akan bertahan
jika dalam perkembangannya, manusia tumbuh secara alami (tanpa
pengaruh hasil rekayasa manusia), konvergensi yang di Indonesia diwakili
oleh tut wuri handayani merupakan aliran pendidikan yang memadukan
antara empirisme dan nativisme, berpandangan bahwa perkembangan
manusia ditentukan oleh interaksi antara pembawaan dan lingkungan.
C. Meski di dunia Islam terdapat beberapa penafsiran yang berbeda
terhadap fitrah (istilah Islam terhadap potensi dasar manusia=pembawaan),
namun penulis sependapat dengan pandangan bahwa fitrah merupakan
esensi spiritual yang mendalam, permanen, dan universal pada manusia.
Fitrah ini memiliki kecenderungan yang bersifat asasi pada kebajikan dan
ketundukan kepada Allah Swt.
KEPUSTAKAAN

Alquran al-Karim

Abdullah, Abdurrahman Saleh. Educational Theory a Quranic Outlook.


Diterjemahkan oleh H.M. Arifin dan Zainuddin dengan judul: Teori-teori
Pendidikan Berdasarkan Alquran (Cet. II; Jakarta: Rineka Cipta, 1994

Arifin, H.M. Ilmu Pendidikan Islam (Cet. III; Jakarta: Bumi Aksara, 1994).

Arsyad, Azhar. “Manajemen Pendidikan Bahasa Arab: Sebuah Tinjauan


Teologis, Kultural, dan Psikodinamik” (Pidato Penerimaan Jabatan
Guru Besar Tetap Pendidikan Bahasa Arab dan Ilmu Manajemen,
Fakultas Tarbiyah IAIN Alauddin Makassar, 11 Januari 2001).

Al-Bukhariy. Shahih Al-Bukhariy (Riyadh: Dar al-Salam, 1997).

Langgulung, Hasan. Beberapa Pemikiran Tentang Pendidikan Islam (Cet. II;


Bandung: Al-Ma’arif, 1995).

Linton, Ralph. The Cultural Background of Personaliry. Diterjemahkan oleh


Fouad Hassan dengan judul Latar Belakang Kebudajaan daripada
Kepribadian (Djakarta: Djaja Sakti, 1962).

Mohamed, Yasien. Fitra: The Islamic Concept of Human Nature.


Diterjemahkan oleh Masyhur Abadi dengan judul: Insan Yang Suci:
Konsep Fithrah Dalam Islam (Cet. I; Bandung: Mizan, 1997).

Purwanto, M. Ngalim. Ilmu Pendidikan Teoritis dan Praktis (Cet. VII;


Bandung: Remaja Rosda Karya, 1994).

Shihab, M. Quraish. Lentera Hati: Kisah dan Hikmah Kehidupan (Cet. XVII;
Bandung: Mizan, 1999).

Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa.


Kamus Besar Bahasa Indonesia (Cet. II; Jakarta: Balai Pustaka,
1989).

Tirtarahardja, Umar dan La Sula. Pengantar Pendidikan (Cet. I; Jakarta:


Rineka Cipta, 2000).

Anda mungkin juga menyukai