Anda di halaman 1dari 18

1

ALQURAN, SAINS, DAN FILSAFAT


Oleh : Budi Kisworo1
e-mail : budikisworo55@gmail.com

Abstrak
Tulisan ini disajikan untuk menegaskan bahwa Alquran diturunkan kepada Nabi
Muhammad SAW berfungsi sebagai petunjuk/hidayah, sebagai peringatan, dan sebagai
syifa’ dan rahmat. Untuk bisa menjalankan fungsinya itu, Allah SWT mengawalinya dengan
perintah membaca. Ternyata perintah membaca yang disampaikan oleh Allah pada awal turunnya
ayat-ayat Alquran mempunyai pengaruh yang sangat dahsyat. Tidak sampai satu abad setelah
turunnya wahyu terakhir, terjadi lompatan budaya yang luar biasa. Masyarakat Arab (umat Islam)
yang tadinya dikenal sebagai umat “Ummiy”(buta huruf) berubah menjadi masyarakat yang
gemar membaca dan menulis dan berkemajuan. Berkat semangat membaca yang digelorakan oleh
Alquran itu, maka lahirlah cabang-cabang ilmu keagamaan, seperti ilmu tafsir, ilmu hadis, ilmu
fikih dan usul fikih, dan ilmu-ilmu keagamaan lainnya. Bukan hanya dalam bidang ilmu-ilmu
agama, dalam bidang-bidang ilmu-ilmu umum juga dihasilkan oleh para ilmuwan muslim, seperti
ilmu astronomi, ilmu matematika, ilmu biologi, dan ilmu kesehatan. Para ilmuwan muslim telah
menemukan bidang-bidang ilmu tersebut yang selama ini belum dikenal oleh manusia.
Pengembangan keilmuan dan penelitian terus dilakukan oleh ilmuwan muslim sampai
memasuki wilayah filsafat. Dalam bidang filsafat ini, lahirlah para filosuf muslim dan mereka
berhasil mengislamkan filafat Yunani. Pemikiran filosuf Yunani yang masih sekuler dan terpisah
dengan ketuhanan disempurnakan oleh para pemikir muslim sehingga lahirlah filsafat Islam.
Dalam menyelesaikan tulisan ini, penulis menggunakan metode analisis deskriptif yang
dengan metode itu penulis bertujuan memberikan deskripsi atau gambaran mengenai fungsi
Alquran bagi kehidupan masyarakat. Dengan melakukan analisis deskriptif diharapkan bisa
diketahui fungsi Alquran itu, utamanya bagi pengembangan sains dan teknologi serta pemikiran
filsafat dalam kaitannya dengan perkembangan peradaban masyarakat.
Kemajuan berpikir yang menghasilkan kemajuan peradaban di kalangan masyarakat
muslim itu adalah berkat dorongan Alquran yang memberikan penghargaan yang tinggi kepada
akal. Pemikiran rasional telah menjadi daya dorong kemajuan masyarakat. Teologi rasional yang
intinya penghargaan tinggi terhadap akal telah berhasil membangkitkan semangat berpikir
masyarakat muslim dan membawanya kepada kemajuan. Namun ketika teologinya berpindah
kepada teologi tradisional dimana peran akal didudukkan pada posisi yang rendah, terjadi
kemandegan (jumud=stagnasi) di kalangan masyarakat. Sesungguhnya, sikap mendudukkan akal
pada posisi terhormat adalah sesuai dengan misi Alquran diturunkan sebagaimana tertuang dalam
lima ayat yang pertama kali diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW.

Kata Kunci : Alquran, penghormatan kepada akal, kemajuan masyarakat.

Pendahuluan
1
Dosen/Guru Besar Hukum Islam dan Ilmu Falak pada IAIN Curup Provinsi Bengkulu
2

Salah satu ciri yang membedakan Islam dengan agama yang lain adalah perhatiannya
kepada ilmu dan ilmuwan. Dalam sejarahnya belum pernah ada agama yang  menaruh perhatian 
sangat besar terhadap ilmu kecuali Islam. Agama Islam selalu menyeru dan mendorong umatnya
untuk selalu mencari dan menggali ilmu. Islam menaruh perhatian dan perlakuan yang mulia dan
terhormat terhadap ilmuwan. Bahkan dalam satu qaul ulama dinyatakan bahwa di akherat nanti
ketika ditimbang antara tinta ulama dengan darah syuhada ternyata lebih berat tinta ulama dalam
hal keutamaannya2. Oleh karena itu, Alquran dan as-Sunnah mengajak kaum muslimin untuk
mencari dan mengembangkan ilmu serta menempatkan mereka pada posisi yang luhur 3. Dalam
Islam, batasan untuk mencari ilmu adalah bahwa orang-orang Islam harus menuntut ilmu yang
berguna dan melarang mencari ilmu yang bahayanya lebih besar dari pada manfaatnya seperti
ilmu sihir, sebagaimana sabda Nabi: “Sebaik-baik  ilmu adalah ilmu yang bermanfaat4”
Allah SWT telah menegaskan bahwa fungsi diturunkannya Alquran kepada manusia
adalah sebagai hidayah, sebagai peringatan, dan sebagai syifa’ dan rahmat. Fungsi Alquran
sebagai hidayah itu dijelaskan di dalam surat Al-Baqarah ayat 2 dan 185. Fungsi Alquran sebagai
peringatan dijelaskan dalam surat Al-Furqan ayat 1, As-Shad ayat 87, at-Takwir ayat 27. Dan
fungsi Alquran sebagai obat sakit jiwa dan rahmat dijelaskan dalam surat al-Isra’ayat 82.
Alquran dapat berfungsi sebagai hidayah bagi manusia jika Alquran itu di baca, dikaji,
direnungkan dan dihayati maknanya serta diamalkan isinya dan diikuti petunjuknya. Dengan cara
seperti itu maka Alquran akan berfungsi secara baik dan memberi manfaat dalam kehidupan
manusia. Tetapi jika tidak, maka Alquran tidak akan ada manfaatnya apa-apa sekalipun seseorang
itu memperlakukan Alquran dengan menyimpannya, memulyakannya, dan bahkan menjaganya
2
Bahkan seandainya ditimbang, maka menulis lebih utama daripada berperang fisabilillah.
‫ فيرجح مداد العلماء على مداد الشهداء‬،‫ يوزن مداد العلماء بدم الشهداء‬: ‫وقال الحسن البصرى رحمه هللا تعالى‬
Imam Hasan al-Bashri mengatakan, “Tinta para ulama ditimbang dengan darah para syuhada, maka tinta
ulama mengungguli darahnya syuhada.” https://www.syaichona.net/2022/02/06/tinta-ulama-lebih-utama-dari-pada-
darah-syuhada/ diakses 11 -01-2023. Lihat juga : Diriwayatkan dari hadits Bukhari yaitu :
‫ اذاكان يوم القيا مة وزن مدادا لعلماءبدم الشهداء فيرجع مداد العلماء على دماءالشهداء‬ 
  ( Jika datang hari kiamat, maka tinta para ulama akan ditimbang dengan darahnya para syuhada, maka
tinta para ulama akan lebih unggul dari pada darahnya syuhada).
http://nurmanzulkarnain.blogspot.com/2016/06/hadist-tarbawi-tintanya-para-ulama.html diakses 11-01-
2023
3
Abdul Halim Mahmud, Mauqif al-Islam Min al-Fanni, wal-’ilmi wal-falsafati, Kairo: Dar As-Sya’bi, 1979.
hal. 62.
4
Dari Jabir bin ‘Abdillah Radhiallahu’anhu bahwa Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda:
‫علم ال ينفَ ُع‬
ٍ ‫ و تعوَّذوا باهللِ من‬، ‫َسلوا هللاَ عل ًما نافعًا‬
“Mohonlah kepada Allah ilmu yang bermanfaat dan berlindunglah kepada-Nya dari ilmu yang
tidak bermanfaat”. HR Ibnu Majah (no. 3843) dan Ibnu Abi Syaibah dalam “al-Mushannaf” Juz 6, hal. 266, no.
236), dinyatakan hasan sanadnya oleh Syaikh al-Albani dalam “Silsilatul ahaadiitsish shahiihah” (no. 1511)
3

secara fisik dengan sebaik-baiknya. Alquran tidak hanya berisi tata cara ibadah dan ketuhanan,
tetapi juga terkandung banyak ilmu dan hikmah di dalamnya yang hingga kini belum seluruhnya
terungkap.
Alquran adalah kodifikasi ayat-ayat suci yang diwahyukan oleh Allah SWT kepada Nabi
Muhammad SAW melalui perantaraan Malaikat Jibril.5 Atau Kalam Allah SWT yang merupakan
mukjizat yang diturunkan (diwahyukan) kepada Nabi Muhammad SAW dan yang ditulis di
mushaf dan diriwayatkan dengan mutawatir serta membacanya adalah ibadah6. Dalam pengertian
lain, Alquran sering disebut sebagai kitab suci yang diturunkan Allah SWT nabi Muhammad
SAW melalui Malaikat Jibril AS untuk disampaikan kepada seluruh umat manusia sampai akhir
zaman.7 Fungsi Alquran diturunkan ke dunia ini adalah sebagai penuntun, petunjuk dan pedoman
bagi umat manusia untuk mengelola alam serta mengatur tata kehidupan. Alquran diturunkan
untuk menjelaskan segala sesuatu, menjadi penerang, serta rahmat dan kabar gembira bagi
orang-orang beriman.8 Alquran yang merupakan firman Tuhan ini, adalah sebagai bentuk
pengejawantahan kebenaran dan dasar bagi jalan hidup Islami. Alquran merupakan petunjuk
yang menuju kepada perkembangan kepribadian manusia dan peraturan sosial atas dasar
Keesaan Tuhan.9 Petunjuk dari Alquran yang tertuju kepada manusia sebagai individu mencakup
dimensi spiritual, moral, akal, estetis dan fisis dari kepribadian manusia. Petunjuk dari Alquran
yang tertuju kepada manusia sebagai kelompok mencakup aspek tingkah laku sosial, eknonomi,
politik, dan aspek tingkah laku lainnya.10 Oleh karena itu, Alquran tidak saja mengandung ayat-
ayat yang mengatur mengenai hukum syariah atau fikih, tetapi juga isyarat-isyarat ilmu
pengetahuan yang perlu dikaji dan diaplikasikan oleh umat Islam.
Syekh Thantawi Jauhari mengatakan bahwa ayat-ayat yang membicarakan tentang ilmu
pengetahuan jauh lebih banyak dibandingkan ayat-ayat syariah. Perbandingannya adalah 750
berbanding 150.11 Sedangkan Dr Mahdi Ghulsyani mengatakan bahwa kata al-ilm dan kata
jadiannya digunakan lebih dari 780 kali. Beberapa ayat pertama saja yang diwahyukan kepada

5
Muhammad Anshar Akil. Islam dan Iptek: Sebuah Tinjauan Komprehensive. Ujungpandang: HMI
Komisariat Fak.Teknik UMI, cetakan pertama, 1992, hal.1
6
Departemen Agama RI. Alquran dan terjemahannya. Bantuan Arab Saudi, Mukadimah. hal.15
7
Inu Kencana Syafie. Alquran Sumber Segala Disiplin Ilmu. Jakarta: Gema Insani Press, cetakan pertama,
1991. hal.11
8
Murtadha Mutahhari. Memahami Alquran. Jakarta: Yayasan Bina Tauhid, cetakan pertama, 1986. hal.10
9
Ziauddin Sardar. Rekayasa Masa Depan Peradaban Muslim. (Bandung: Mizan, cetakan ketiga, 1991).
hal.29
10
Ibid, hal.31
11
Syekh Thantawi Jauhari. Quran dan Ilmu Pengetahuan Modern. (Surabaya: Al Ikhlas, 1984). hal. vi
4

Muhammad SAW sudah menyebutkan pentingnya membaca, pena, dan pengajaran untuk
manusia.12 Dengan demikian, jelas bahwa Alquran juga mengandung ayat-ayat ilmu pengetahuan
dan teknologi modern yang wajib dikembangkan oleh umat Islam agar menjadi umat terbaik di
muka Bumi. Bahkan Alquran menjelaskan bahwa Allah SWT akan mengangkat derajat orang-
orang beriman dan berilmu pengetahuan.13

Alquran dan Ilmu-ilmu Keagamaan


Agama yang diturunkan Allah kepada manusia melalui perantaraan para Rasul-Nya
dimaksudkan sebagai pedoman bagi manusia di dalam memberi nilai kehidupannya. Allah SWT
telah membekali manusia dengan akal yang dengan akal itu manusia dapat berpikir dan mencari
rahasia-rahasia di belakang kenyataan ini. Andaikan agama tidak diturunkan misalnya, manusia
dengan kemampuan akalnya itu akan mencari hakikat sesuatu, yaitu hakikat dari alam ini,
hakikat manusia, hakikat kehidupan, dan bahkan hakikat yang mencipta alam ini. Persoalan
seperti inilah yang mendorong manusia berpikir sehingga menemukan ilmu pengetahuan,
filsafat, dan ilmu hikmat. Tetapi, meskipun manusia berusaha dengan sungguh-sungguh
menggunakan akal pikirannya untuk mencari hakikat sesuatu, tidak semuanya dapat
diperolehnya. Hal itu disebabkan oleh keterbatasan akal manusia itu sendiri. Sejauh-jauh
perjalanan akal pikiran manusia akan bertemu juga satu perhentian yang tidak dapat
dilampauinya lagi, sedang manusia masih ingin melampauinya. Di sinilah Allah yang Maha
Kasih kemudian membantu manusia supaya manusia dapat melewati batas kemampuan akalnya
agar hakikat sesuatu di balik kekuatan akalnya itu dapat juga diketahui. Diutusnya para Rasul di
samping untuk memimpin umat manusia dalam kehidupan duniawi juga untuk mengantarkan
manusia kepada hakikat sesuatu yang tak dapat dijangkau oleh akalnya.
Kasih Tuhan kepada manusia dalam membimbing akal itu disalurkan lewat ayat-ayat
ilmiyah, insaniyah, atau kauniyah yang terkumpul di dalam Alquran. Alquran sebagai kitab
wahyu dari Tuhan mengandung kebenaran-kebenaran mutlak, ajaran-ajaran dan petunjuk-
petunjuk yang tidak hanya mengenai hidup ruhani dan keagamaan manusia, tetapi juga mengenai
hidup material dan duniawi manusia. Tidak mengherankan kalau Alquran yang demikian
sifatnya itu merupakan satu-satunya sumber yang dapat dipercaya tentang ilmu bagi umat Islam
zaman permulaan.
12
Mahdi Ghulsyani. Filsafat Sains Menurut Alquran. Bandung: Mizan, cetakan ketiga, 1990. hal.39
13
QS.Al Mujaadilah ayat 11
5

Alquran diturunkan dalam bahasa Arab. Kendati demikian, tidak setiap orang Arab dapat
memahami dengan baik isi kandungan Alquran. Hal itu karena untuk memahami Alquran tidak
cukup hanya dengan ilmu bahasa, tetapi juga diperlukan kecerdasan dan kesanggupan berpikir.
Apalagi Alquran disampaikan dengan menggunakan bahasa Arab yang tinggi, tata bahasa yang
sulit, dan pula menggambarkan hal-hal yang bersifat abstrak. Para sahabat Rasul meskipun ikut
mengalami turunnya Alquran, tidak semuanya mereka dapat memahami Alquran. Perbedaan
pemahaman mereka terhadap Alquran itu disebabkan oleh perbedaan tingkat pengetahuan bahasa
Arab, perbedaan kecerdasan, perbedaan kecenderungan, dan perbedaan dalam keadaan dekat
atau tidaknya mereka bersama Rasul dalam pergaulan sehari-harinya.
Bagaimanapun, Alquran memerlukan penafsiran atau pemahaman. Oleh karena itu, untuk
menafsirkan atau memahami kandungan Alquran dilakukan dengan cara menyelidiki sebab-
sebab diturunkannya ayat, dicari ayat-ayat yang nasikh dan mansukh, dipelajari cara-cara
membacanya, sehingga dengan jalan demikian dapat diketahui maksudnya. Dari sinilah muncul
ilmu tafsir.
Nabi Muhammad saw. sebagai orang yang menerima langsung wahyu Alquran dari
malaikat Jibril tentu sangat memahami isi kandungan Alquran. Beliau memberikan penjelasan
terhadap ayat-ayat Alquran yang memang memerlukan penjelasan. Penjelasan yang diberikan
oleh beliau adalah penafsiran yang paling benar. Penafsiran ini kemudian diteruskan oleh sahabat
dari generasi ke generasi. Penafsiran yang diberikan oleh Nabi saw itu tidak meliputi seluruh
ayat, tetapi hanya terhadap ayat-ayat yang berkaitan dengan permasalahan umat waktu itu.
Setelah Nabi wafat, para sahabat yang mengambil alih tugas memberikan penafsiran
Alquran dengan memakai ijtihad. Di antara mereka adalah Ali bin Abi Thalib, Abdullah bin
Abbas, Abdullah bin Mas’ud, Ubay bin Ka’ab, Zaid bin Tsabit, dan Abdullan bin Zubair. Ayat-
ayat yang ditafsirkannya pun semakin banyak sesuai dengan kebutuhan masyarakat. Kadang-
kadang penafsiran yang dilakukan oleh para sahabat menempuh jalan yang agak berbeda dengan
yang dipraktikkan oleh Nabi. Sebagai contoh, dalam memahami dan mengamalkan ayat 7 surat
al-Hasyr, Umar bin Khattab keluar dari ketentuan yang secara tersurat termaktub dalam ayat
tersebut dan sunnah Nabi. Ayat tersebut mengatur tentang petunjuk pembagian harta fai
(pampasan perang) yang harus dibagikan kepada mereka yang ikut perang. Ketika pembagian
harta fai berupa tanah pertanian di Sawad Iraq, Umar tidak membagikannya kepada mereka yang
ikut perang sebagaimana disebutkan di dalam ayat 7 al-Hasyr dan juga dalam sunnah Nabi, tetapi
6

Umar malah memberikannya kepada petani penggarap (rakyat setempat) dengan ketentuan
mereka harus membayar kharaj (retribusi) tertentu kepada negara. Dengan kebijakannya itu
Umar bermaksud meraih maslahat yang lebih banyak ketimbang membagikannya kepada tentara
yang ikut perang. Ini artinya dalam memahami dan mengamalkan ayat tersebut Umar keluar dari
alasan lafziyah (tekstual) menuju alasan maknawiyah (substansial : maslahat) yang menurutnya
lebih layak dan lebih kuat untuk dipedomani.
Sesudah generasi Sahabat datang generasi Tabiin dan di kalangan mereka juga terdapat
penafsir seperti Mujahid dan Ikrimah di Mekkah dan Zaid bin Muslim dan Malik bin Anas di
Madinah. Pada masa Tabiin inilah menurut Ahmad Amin tafsir mulai kemasukan unsur-unsur
Israiliyah dan Nasraniyah.14 Paham-paham israili dan nasrani ini masuk ke dalam Islam melalui
orang-orang Israil yang pada zaman itu banyak yang masuk Islam. Dalam pada itu timbul pula di
kalangan umat Islam hal-hal yang tak pernah dijumpai pada zaman Nabi. Daerah Islam
bertambah luas, berbagai bangsa masuk Islam, dan masalah-masalah baru pun bermunculan.
Timbul pertanyaan: Apa pendapat agama terhadap masalah baru ini ? Karena di dalam Alquran
tidak terdapat jawaban tentang semua masalah, lalu timbul pertanyaan lain : Bagaimana cara
Nabi dalam menghadapi masalah itu ? Dengan kata lain, apa kata hadits tentang masalah itu ?
Karena tidak tertulis, maka banyak hadits-hadits yang diragukan kebenarannya. Bahkan ada
perkataan yang disandarkan kepada Nabi, tetapi melihat substansinya mustahil bahwa perkataan
itu berasal dari Nabi. Maka, hal yang demikian itu disebut hadits maudlu’ atau hadits palsu.
Hadits-hadits palsu itu banyak beredar di kalangan kaum muslimin. Hadits tersebut di buat oleh
orang-orang Islam yang ingin memenangkan kelompoknya dengan menjual nama Nabi. Bisa
juga hadits tersebut dibuat oleh orang non-muslim yang ingin mengacaukan ajaran Islam dari
dalam. Tidak mengherankan kalau penelitian kepada hadits Nabi pun semakin meningkat yang
kemudian mendorong timbulnya usaha-usaha pembukuan hadits Nabi. Dari situ kemudian lahir
ilmu mustalah Hadits.
Dengan telah dibukukannya hadits-hadits ke dalam tingkatan sahih, hasan, dlo’if, dan
maudlu’, maka terhentilah perkembangan ilmu hadits. Tetapi, dalam pada itu timbul pertanyaan
di kalangan para pemikir Islam modern; apakah tidak ada criteria baru untuk membedakan hadits
Nabi antara yang orisinil dan yang palsu. Perkembangan dunia modern menyebabkan
kepercayaan masyarakat muslim kepada kebenaran hadits menjadi berkurang. Ahmad Amin

14
Ahmad Amin, Fajr al-Islam, Kairo : Maktabah Al-Nahdhah Al-Mishriyah, 1965, hal. 205
7

mengungkapkan bahwa ulama-ulama hadits zaman klasik telah mementingkan penelitian


terhadap perawi dari pada teks hadits. Mereka tidak memperhatikan bahwa apa yang disebut
dalam teks tidak sesuai dengan kondisi zaman Nabi, atau teks bertentangan dengan fakta sejarah,
atau teks mengandung pemahaman filosofis yang berlawanan dengan bentuk dan corak ucapan
Nabi yang biasa dikenal.15
Dengan dianutnya Islam sebagai agama di daerah-daerah baru pemekaran Islam
menimbulkan masalah-masalah hukum yang tidak dijumpai sebelumnya di Semenanjung
Arabia. Hal ini mendorong timbulnya ilmu fikih atau hokum Islam. Pemikiran-pemikiran hokum
yang didasarkan kepada Alquran dan Hadits untuk memberikan jawaban atas persoalan-
persoalan tersebut mulai digalakkan. Penelitian terhadap dasar-dasar hokum selain Alquran dan
Sunnah menimbulkan disiplin ilmu Ushul Fikih di samping Ilmu Fikih itu sendiri.
Perbedaan-perbedaan pemahaman dalam menangkap maksud teks tidak bisa dielakkan
lagi dan ini kemudian menimbulkan mazhab-mazhab fikih. Tiap-tiap mazhab mengembangkan
ajaran hokum masing-masing dan hokum pun berkembang dengan pesat pada abad-abad pertama
hijrah, walaupun akhirnya hanya empat mazhab yang dapat bertahan hingga kini, yaitu mazhab
Hanafi, Maliki, Syafi’i, dan Hambali.

Hubungan Alquran, Sains dan Filsafat


Alquran tidak hanya mengatur masalah-masalah kehidupan ruhani atau keagamaan,
tetapi juga mengatur masalah jasmani dan duniawi manusia. Menurut perhitungan para ahli,
lebih kurang 500 ayat dari 6236 ayat Alquran yang mengandung ketentuan tentang iman, ibadah,
dan hidup kemasyarakatan. Ayat-ayat tentang ibadah berjumlah 140, dan ayat-ayat yang
berkenaan dengan kemasyarakatan berjumlah 228. Adapun ayat-ayat mengenai ilmu
pengetahuan dan fenomena alam (ayat-ayat kauniyah) jumlahnya sekitar 750 ayat. 16 Ayat-ayat
itu pun tidak semuanya bersifat qath’i. Alquran memberikan dorongan kepada umat Islam
supaya menggunakan akal sebaik-baiknya untuk memikirkan segala sesuatu.
Kata aql dalam bentuk kata kerja dengan berbagai penggunaannya terdapat 32 kali di
dalam Alquran, yaitu :
Afala ta’qilun (15 ayat) artinya tidakkah kau pikirkan
La’allakum ta’qilun ( 8 ayat) artinya semoga kamu pikirkan
15
Ibid, hal. 217
16
Abdul Wahab Khallaf, Ilm Ushul al-Fiqh, Kairo : Mathba’ah al-Nashr, 1956, hal. 35-36
8

La ya’qilun ( 7 ayat) artinya tidak mereka pikirkan


In kuntum ta’qilun ( 2 ayat) artinya (jika) sekiranya kamu pikirkan.
Kata-kata yang digunakan dalam Alquran untuk menyatakan perbuatan berpikir bukan
hanya kata ‘aqala, melainkan ada kata-kata lain, yaitu :
- Dabbara (8 ayat), yang artinya merenungkan, seperti : Afala yatadabbaruna
Alquran (Tidakkah mereka merenungkan isi Alquran?)
- Faqiha (20 ayat) artinya mengerti, seperti, lahum qulub la yafqahuna biha
(Mereka mempunyai akal yang tak dapat mengerti)
- Nazhara (30 ayat) artinya melihat dalam arti merenungkan, seperti : Afala
yanzhuruna ila al-sama’ fauqahum kaifa banainaha wa zayyannaha.(Apakah mereka tidak
melihat ke langit di atas mereka dan merenungkan bagaimana Kami bina dan hiasi ?
- Tafakkara (16 ayat) artinya berpikir. Misalnya, Ladzalika bayyana Allahu lakum
al-ayat la’allakum tafakkarun (Demikian Tuhan memberikan pertanda-pertanda bagi kamu
semoga kamu berpikir.
Menurut penelitian para ulama, bahwa dalam Alquran kata ‘ilm dan kata jadiannya
disebutkan kurang lebih mencapai 800 kali. Al-Qardhawi dalam penelitiannya terhadap kitab Al-
Mu’jam al-Mufahras li al-fazh Alquran al-Karim17 mengungkapkan, bahwa kata ‘ilm (ilmu)
dalam Alquran baik dalam bentuknya yang definitif (ma’rifat) maupun indefinitif (nakirah)
terdapat 80 kali, sedangkan kata yang berkait dengan itu seperti
kata ‘allama (mengajarkan), ya’lamun (mereka menegetahui), ‘alim (sangat tahu) dan lainnya,
disebutkan beratus-ratus kali. Kata ‘aql (akal) tidak terdapat dalam bentuk nomina, kata benda
(mashdar), tetapi yang ada adalah kata al-albab sebanyak 16 kali. Dan kata al-nuha sebanyak 2
kali. Adapun kata yang berasal dari kata ‘aql itu berjumlah 49. Kata fiqh (paham) muncul
sebanyak 2 kali, kata hikmah (ilmu, filsafat) sebanyak 20 kali, dan kata burhan (argumentasi)
sebanyak 20 kali. Belum termasuk kata-kata yang berkaitan dengan ‘ilm atau fikr seperti
kata unzuru (perhatikan, amatilah, lihatlah) yanzhurun (mereka memperhatikan, mereka
mengamati dan seterusnya18
Selain itu, jika diteliti kitab-kitab hadis semuanya memuat kosa kata ‘ilm . Dalam kitab al-
Jami’ al-Shahih karya Al-Bukhari didapati 102 hadis; dalam Shahhih Muslim dan yang lain

17
lihat Fuad Abdul Baqi, Angkasa, tt, hal.469-481.
18
Yusuf Al-Qardhawi, Al-Rasul wa 'l-Ilm, terjemahan Kamaluddin A. Marzuki , Bandung: Rosda, 1986, hal.
1-2 
9

seperti al-Muwatha’, Sunan al-Tirmizi, Sunan Abu Daud, al-Nasai, Ibn Majah terdapat pula bab
ilmu. Belum lagi kitab-kitab yang lain, misalnya Al-Faturrabbani yang memuat sebanyak 81
hadis tentang ilmu, Majma’ az-Zawaid memuat 84 halaman, al-Mustadrak karya An-Naisaburi
memuat 44 halaman, al-Targhib wa ‘l-Tarhib karya Al-Mundziri memuat 130 hadis sedangkan
kitab Jam’ al Fawaid Min Jami’ al-Ushul wa Majma’ al-Zawaid karya Sulaiman memuat 154
hadis tentang ilmu tersebut19
Himbauan Alquran ini ditanggapi sepenuhnya oleh kaum muslimin pada zaman klasik
sehingga mereka berhasil mencapai kemajuan di segala bidang. Mereka mendudukkan akal pada
posisi yang tinggi. Sumber agama adalah wahyu dan sumber ilmu pengetahuan adalah hukum
alam ciptaan Tuhan yaitu sunnatullah. Keduanya berasal dari sumber yang satu, yaitu Allah.
Maka, antara keduanya, wahyu dan sunnatullah tidak akan terjadi pertentangan. Ayat-ayat
kauniyah itu telah mendorong umat Islam untuk berpikir meneliti dan mempelajari alam sekitar.
Berkembanglah dalam Islam pada abad VIII sampai XIII Masehi ilmu pengetahuan duniawi.
Perkembangan didahului oleh penerjemahan buku-buku Yunani ke dalam bahasa Arab yang
berpusat di Bayt al-Hikmah Baghdad. Buku-buku itu dipelajari oleh ulama-ulama muslim dengan
memperoleh fasilitas sepenuhnya dari para khalifah bani Abbasiyah, khususnya khalifah Al-
Makmun. Mereka tidak hanya mempelajari ilmu dan filsafat yang diperoleh dari peradaban
Yunani kuno, tetapi juga mereka kembangkan dan tambahkan ke dalam hasil-hasil penyelidikan
mereka sendiri dalam lapangan ilmu pengetahuan dan hasil-hasil pemikiran mereka dalam
bidang filsafat. Dengan demikian, timbullah ilmuwan-ilmuwan dan filosuf-filosuf muslim, di
samping ulama-ulama dalam ilmu-ilmu agama.
Khusus dalam bidang filsafat, ketika Islam telah dianut oleh bangsa-bangsa non-Arab,
mereka juga mengembangkan tradisi berpikir yang telah diwarisi dari para pendahulu mereka.
Dalam pada itu, kalangan luar Islam pun mengembangkan tradisi berpikir untuk menjatuhkan
Islam. Mereka menyerang ajaran Islam dengan dasar-dasar pemikiran filosofis yang diperoleh
dari filsafat Yunani. Untuk menangkis serangan itu tidak cukup dengan pemahaman fikih saja,
tetapi juga harus menggunakan pemikiran filsafat. Umat Islam lalu mempelajari filsafat dan
dengan argumen-argumen filosofis itu mereka mempertahankan kebenaran ajaran Islam. Dengan

19
Al-Qardhawi, 1986, Op.Cit. hal. 123. Lihat juga : Weinsink, al-Mu’jam al-Mufahras li alfazh al-Hadits
al-Nabawi, Leiden, 1962: hal. 312-339.
10

demikian kemudian timbul dalam panggung sejarah pemikiran Islam teologi rasional yang
dipelopori oleh kaum Mu’tazilah.
Teologi rasional Mu’tazilah itu memiliki ciri-ciri (1) mendudukkan akal pada posisi yang
tinggi, sehingga mereka tidak terikat kepada pemahaman teks secara harfiah manakala
pemahaman tersebut bertentangan dengan pemikiran filosofis. Dalam hal ini mereka memegangi
arti majaz dari ayat, atau memakai takwil dalam memahami ayat. (2) Akal melambangkan
kekuatan manusia. Akal yang kuat menunjukkan manusia yang kuat. Manusia yang kuat adalah
manusia dewasa, dan oleh karena itu ia memiliki kebebasan berpikir dan berbuat. Akal yang
lemah adalah akal anak-anak yang tidak memiliki kebebasan berpikir dan berbuat. (3) Tuhan
Maha Adil. Keadilan Tuhan membawa keyakinan adanya hokum alam ciptaan Tuhan, atau
sunnatullah yang dengannya berlaku aturan perjalanan alam ini. Dengan demikian, alam ini
berjalan menurut aturan tertentu, dan aturan itu berasal dari Allah. Manusia perlu mencari
aturan-aturan itu untuk kepentingan hidup manusia.
Teologi rasional Mu’tazilah ini yang membawa perkembangan Islam bukan hanya dalam
bidang filsafat, tetapi juga sains pada masa abad VIII dan XIII M yang melahirkan tokoh-tokoh
diberbagai bidang ilmu pengetahuan. Filosuf besar pertama yang dikenal ialah Al-Kindi (796-
873 M) satu-satunya filosuf Arab dalam dunia Islam. Ia mempelajari pemikiran Yunani kuno
yang dikaitkan dengan wahyu Alquran dan hadits. Kalau pemikiran Thales, Anaximenes, dan
Heraklitos terbatas pada alam fisik, maka Xenophanes, Plato, dan Aristoteles telah keluar dari
alam fisik dan masuk ke alam metafisik. Dari pemikiran-pemikiran mereka itu kelihatan bahwa
filsafat itu telah dekat dengan agama. Alam Ide Plato dan Penggerak Pertama Aristoteles
diidentikkan oleh banyak pemikir dengan Tuhan. Adapun Xenophanes telah sampai kepada
konsep Tuhan itu sendiri.
Karena pemikiran filsafat Yunani tidak berasal dari pemikiran agama, maka kaum
muslimin banyak yang ragu, bahkan ada yang mengharamkannya. Alkindi menyadari hal itu, dan
ia mengawali pemikirannya dengan menghapus keraguan umat Islam tentang kebolehan
berfilsafat. Dengan tegas ia katakan bahwa antara filsafat dengan agama tidak ada pertentangan,
dan oleh sebab itu berfilsafat adalah boleh. Filsafat ia artikan sebagai pembahasan tentang yang
benar. Agama dalam hal itu juga menjelaskan tentang yang benar. Itu artinya bahwa keduanya
membahas masalah yang sama, yaitu kebenaran. Bedanya adalah bahwa kebenaran dalam agama
11

disampaikan melalui wahyu, sedang kebenaran filsafat melalui pemikiran. 20 Dan filsafat yang
paling tinggi adalah filsafat yang membicarakan tentang Tuhan atau filsafat ketuhanan.
Selanjutnya ia membahas dasar dari segala dasar. Ia melihat bahwa di alam ini banyak
yang benar. Maka, Alkindi sampai pada kesimpulan bahwa kalau ada yang benar mesti ada
Yang Benar Pertama (al-Haqqul Awwal), dan mesti Yang Maha Benar. Yang Benar Pertama
inilah yang disebut Allah. Dan dia adalah Satu-satunya Yang Benar (Al-Haq Al-Wahid). Ia Esa,
Ia Unik, dan selain-Nya mengandung arti banyak.
Dengan filsafat al-Haq al-Awwal itu Alkindi hendak menjelaskan bahwa Allah itu Maha
Esa dan keesaannya tidak mempunyai arti banyak. Al-Hakikah atau kebenaran, menurut
pendapatnya, adalah sesuainya apa yang ada di dalam akal dengan apa yang ada di luarnya,
yakni sesuainya konsep dalam akal dengan benda bersangkutan yang berada di luar akal. Benda-
benda yang ada di luar akal merupakan juz’iyat/particular (kekhususan). Yang penting bagi
filsafat bukanlah benda-benda atau juz’iyat itu, melainkan hakikat dari juz’iyat itu sendiri.
Hakikat yang ada dalam benda itu disebut kulliyat/universal (keumuman). Tiap-tiap benda
mempunyai hakikat sebagai juz’i yang disebut aniah dan hakikat sebagai kulli yaitu mahiah,
yakni hakikat yang berbentuk universal dalam bentuk jenis. 21
Persoalan tauhid menjadi pembicaraan yang hangat dalam perkembangan filsafat Islam.
Filosuf muslim lainnya, Al-Farabi (970-950 M) juga menjelaskan keesaan Tuhan dengan konsep
al-Faid (pancaran = emansi). Tuhan menciptakan sesuatu dari bahan yang sudah ada secara
pancaran. Tuhan menciptakan alam sejak zaman azali dengan materi yang berasal dari energi
yang qadim. Sedangkan susunan materi yang menjadi alam adalah baru. Karena itu, kata kun
(jadilah) sebagaimana dalam Alquran adalah ditujukan pada sya’i (sesuatu yang ada) bukan
kepada la sya’i (yang tiada).22
Adapun dalam prosesnya – menurut Al-Farabi – kalau Tuhan Pencipta alam semesta
berhubungan langsung dengan ciptaannya yang banyak itu, maka di dalam diri Tuhan terdapat
arti banyak. Zat yang di dalam dirinya terdapat arti banyak tidaklah sebenarnya esa. Yang Maha
Esa – agar tetap esa – hanya berhubungan dengan yang esa. 23 Tuhan adalah ‘Aql, ‘Aqil, dan
Ma’qul (akal, substansi yang berpikir, dan substansi yang dipikirkan). Dengan demikian Tuhan
20
Muhammad Abu Riddah, (ed) Rasa’il al-Kindi al-Falasifah , Kairo : Dar al-Fikr, 1950, hal. 103-104
21
Harun Nasution, Filsafat dan Mistisisme dalam Islam , Jakarta : Bulan Bintang, 1973, hal.12-13
22
Hasyimsyah Nasution, Filsafat Islam, Jakarta : Gaya Media Pratama, 1999, hal. 37
23
Harun Nasution, Filsafat Islam, dalam Kontekstualisasi Doktrin islam dalam Sejarah, Budi Munawar-
Rahman (Ed.), Jakarta : Paramadina, 1995, hal. 149
12

Maha Tahu.24 Tuhan berpikir tentang diri-Nya, dan pemikirannya itu merupakan energi. Karena
pemikiran Tuhan tentang diri-Nya merupakan daya yang sangat dahsyat, maka daya itu
menciptakan sesuatu, yaitu Akal Pertama. Akal Pertama ini berpikir tentang Tuhan, dan ini juga
merupakan daya yang menciptakan Akal Kedua. Akal Pertama kemudian berpikir tentang
dirinya, dan pemikirannya ini merupakan daya yang menciptakan langit pertama. Dalam diri
Tuhan yang hanya berpikir tentang diri-Nya yang Maha Esa, tak terdapat arti banyak. Ia benar-
benar Maha Esa. Arti banyak baru terdapat pada Akal Pertama. Ia telah berpikir tentang diri
Tuhan dan tentang dirinya sendiri. Di sini telah terdapat dua objek pemikiran. Dalam diri Tuhan
hanya terdapat satu objek pemikiran, yaitu diri Tuhan sendiri. Akal kedua selanjutnya berpikir
tentang Tuhan dan terciptalah Akal Ketiga dan berpikir tentang dirinya dan terciptalah alam
bintang-bintang. Begitulah seterusnya tiap akal berpikir tentang Tuhan dan menciptakan akal,
dan tiap akal berpikir tentang dirinya terciptalah planet-planet. 25 Begitulah sampai tercipta Akal
Kesepuluh. Pemikiran Akal Kesepuluh tidak cukup kuat lagi menghasilkan Akal lagi karena
tidak ada lagi planet yang akan diurusnya. Memang tiap-tiap Akal mengurus planet yang
diwujudkannya. Akal dalam pendapat filosuf Islam adalah Malaikat. Pemikiran filsafat emanasi
ini menggiring pada kesimpulan bahwa alam itu bersifat qadim, tak bermula dalam zaman, dan
baqin, tak mempunyai akhir dalam zaman.
Selanjutnya tentang ilmu Tuhan, Al-Farabi mengatakan bahwa Tuhan tidak mengetahui
yang juz’i. Maksudnya, pengetahuan Tuhan tentang yang rinci juz’i tidak sama dengan manusia.
Tuhan sebagai Aql hanya menangkap yang kulli, sedangkan untuk mengetahui yang juz’i hanya
dapat ditangkap dengan pancaindera. Karena itu, pengetahuannya tentang yang juz’i tidak
langsung, tetapi Ia sebagai sebab bagi yang juz’i. 26
Selain masalah Tauhid, persoalan yang dibahas dalam filsafat Islam adalah tentang jiwa
atau al-nafs. Dalam hal ini terkenal seorang filosuf muslim Ibnu Sina (980-1037 M). Al-Nafs
atau jiwa mempunyai tiga bagian (1) Jiwa tumbuh-tumbuhan yang mempunyai daya makan,
tumbuh, dan berkembang biak, (2) jiwa binatang yang mempunyai daya gerak dan daya
mengetahui dengan pancaindera, dan (3) jiwa manusia yang mempunyai daya berpikir.
Seperti para filosuf lain, ia juga mengatakan bahwa akal adalah daya berpikir yang
terdapat dalam jiwa manusia. Akal ini, kalau telah sampai ke tingkat mustafad, akan dapat
24
Al-Farabi, Ara’ Ahl al_madinah al-Fadlilah, Kairo : Maktabah Mathba’ah Muhammad Ali, tt. hal. 8-9
25
Harus Nasution, Pertemuan Filsafat dan Tasawuf dalam Peradaban Islam, dalam Islam Rasional, oleh
Saiful Muzani (Ed.). Bandung : Mizan, 1995, hal. 356.
26
Hasyimsyah Nasution, Filsafat Islam, Jakarta : Gaya Media Pratama, 1999, hal. 36
13

menerima pancaran dari Akal Kesepuluh yang disebut dalam filsafat emanasi di atas. Yang
dipancarkan Akal Kesepuluh adalah nur, ilmu yang berasal dari Tuhan. Melalui Akal Kesepuluh
ini para filosuf memperoleh ilmu-ilmu murni yang bersifat abstrak dari Tuhan. Nabi adalah
manusia pilihan Tuhan yang dianugrahi daya imajinasi yang sangat kuat yang dengan daya itu
Nabi dapat memperoleh wahyu dari Tuhan melalui Akal Kesepuluh (malaikat Jibril).
Selanjutnya, ketiga jiwa yang dimiliki oleh manusia itu sangat berpengaruh di dalam
dirinya. Jika jiwa tumbuh-tumbuhan dan jiwa binatang yang dominan di dalam dirinya, maka
orang itu akan dekat menyerupai binatang. Tetapi jika jiwa manusia yang lebih dominan, maka
dia dekat menyerupai malaikat.
Setelah tubuh manusia mati, yang akan menghadapi perhitungan di hari pembalasan
adalah jiwa manusia. Jiwa tumbuh-tumbuhan dan jiwa binatang bersifat tidak kekal. Keduanya
akan lenyap dengan hancurnya badan. Keduanya telah memperoleh kesenangannya di dunia, dan
oleh karena itu tidak akan dibangkitkan di akherat nanti. Jiwa manusia bersifat kekal. Fungsinya
tidak berkaitan dengan fisik, tetapi dengan hal-hal yang bersifat abstrak. Karena itu balasan yang
akan diterimanya bukan di dunia yang bersifat fisik, melainkan di akherat dan berupa immateri.
Kalau jiwa manusia telah mencapai kesempurnaan sebelum berpisah dengan badan, ia akan
mengalami kebahagiaan di akhirat. Tetapi kalau ia berpisah dengan badan dalam keadaan belum
sempurna, ia akan mengalami kesulitan dan kesengsaraan di akhirat.27
Pemikiran filsafat yang dikemukakan oleh para filosuf muslim di atas tidak seluruhnya
diakui kebenarannya oleh filosuf berikutnya. Al-Ghazali misalnya, menolak pendapat para
filosuf, utamanya tentang tiga hal yang justru menurutnya dapat mengkafirkan seseorang. Tiga
pemikiran terebut ialah tentang (1) alam qadim dalam arti tak bermula dalam zaman, (2)
pembangkitan jasmani tidak ada, dan (3) Tuhan tidak mengetahui perincian yang terjadi di alam.
Menurut Al-Ghazali, kalau alam itu qadim yang wujudnya tidak mempunyai permulaan
zaman, atau tidak pernah tidak ada di zaman lampau, itu berarti bahwa alam itu tidak diciptakan.
Sesuatu yang tidak diciptakan adalah Tuhan, maka ada dua Tuhan, dan ini berarti syirik atau
politeisme. Tidak diciptakan juga berarti tidak perlu adanya pencipta atau Ateisme. Politeisme
dan Ateisme adalah sangat bertentangan dengan konsep Tauhid.
Masalah kedua tentang tidak adanya pembangkitan jasmani, hal itu bertentangan dengan
pengungkapan ayat 78-79 surat Yasin : “Siapa yang menghidupkan tulang-tulang yang telah
27
Ibrahim Madkur, Fi Falsafah al-Islamiyah wa Manhaj wa Tathbiquh, Kairo : dar al-Ma’arif, 1968,
hal.148
14

rapuh ini ? Katakanlah : Yang menghidupkan adalah Allah Yang menciptakannya pertama
kali”.
Tentang masalah ketiga, Tuhan tidak mengetahui hal-hal yang rinci di alam ini, menurut
Al-Ghazali juga berlawanan dengan teks wahyu dalam surat al-An’am ayat 59 : “Tiada daun
yang jatuh yang tidak diketahui-Nya”.
Jelas, pemikiran-pemikiran serupa inilah yang membuat Al-Ghazali mengkafirkan orang-
orang yang menganut paham filsafat di atas. Pengkafiran Al-Ghazali ini membuat orang-orang di
dunia Islam Timur enggan bahkan takut mempelajari filsafat. Filsafat akan mengacaukan
keyakinan bahkan akan menyesatkan. Lebih-lebih Al-Ghazali menegaskan bahwa jalan untuk
mencapai hakikat bukan melalui filsafat, melainkan melalui tashawuf. Dari situ orang banyak
cenderung untuk menempuh jalan tashawuf dari pada filsafat.
Lain halnya dengan dunia Islam di barat. Pemikiran filsafat masih terus berkembang.
Ibnu Ruyd sebagai filosuf terkenal pasca Al-Ghazali memberikan argumentasi filosofis untuk
menangkis serangan Al-Ghazali itu.
Menurutnya, qadim menurut teolog dengan filosuf berbeda. Menurut teolog, qadim
berarti sesuatu yang mempunyai wujud tanpa sebab. Sedang menurut filosuf, qadim berarti
sesuatu yang kejadiannya dalam keadaan terus menerus tanpa bermula dan tanpa berakhir. Yang
dimaksud alam qadim adalah bahwa materi awalnya yang qadim. Sedangkan bentuknya adalah
baru. Materi qadim bagi filosuf bukanlah ada tanpa sebab, tetapi diciptakan Allah sejak zaman
‘azali.28
Mengenai Tuhan tidak mengetahui yang juz’iyat, Ibnu Rusyd mengatakan bahwa Al-
Ghazali menyamakan pengetahuan Tuhan dengan pengetahuan manusia. Bahwa juz’iyat
(kekhususan) itu diketahui manusia melalui panca indera, sedangkan kuliiyat diketahui manusia
melalui akal. Tuhan bersifat immateri, dengan demikian pada diri-Nya tidak terdapat panca
indera untuk mengetahui kekhususan. Pengetahuan Tuhan bersifat qadim, sedang pengetahuan
manusia bersifat baru (hadits) Pengetahuan yang universal adalah sebab, sedangkan pengetahuan
kekhususan adalah akibat. 29
Tentang masalah kebangkitan jasmani, Ibnu Rusyd menjelaskan bahwa para filosof tidak
menyebut-nyebut hal itu. Memang ada tulisan mereka yang mengandung arti tidak adanya
pembangkitan jasmani, tetapi ada yang sebaliknya. Semua agama, mengakui adanya kehidupan
28
Sulaiman Dunia,(Ed.). Tahafut al-Tahafut (kairo : Dar al-Ma’arif, 1966) hal.217-218
29
Ibid, hal. 780
15

setelah mati, Hanya mereka berbeda pendapat tentang bentuk kehidupan itu. Dalam hadits
dijelaskan : “Di sana akan dijumpai apa yang tak pernah dilihat mata, tak pernah didengar
telinga, dan tak pernah terlintas di dalam pikiran”30.
Sungguhpun demikian, lanjut Ibnu Rusyd, kepada orang awam, karena tak sanggup
menangkap hal-hal yang abstrak, lebih baik diberikan gambaran kehidupan akhirat kepada
mereka dalam bentuk jasmani.31
Dari uraian di atas dapat diketahui bahwa sesungguhnya pertentangan antara Al-Ghazali
dengan para filosuf berkisar pada interpretasi tentang ajaran-ajaran dasar itu sendiri. Para filosuf
maupun Al-Ghazali tetap meyakini bahwa Tuhan sebagai pencipta dan alam sebagai ciptaan.
Yang menjadi persoalaan adalah apakah Tuhan menciptakan sejak azali sehingga ciptaannya itu
qadim, ataukah Tuhan menciptakannya tidak sejak azali sehingga alam bersifat baru (hadits).
Kedua belah pihak mengakui adanya hari pembangkitan atau hari perhitungan. Yang menjadi
masalah apakah yang menghadapi hari pembangkitan itu nanti jiwa dengan raga manusia atau
jiwa manusia saja. Selanjutnya, para filosof dan Al-Ghazali sepakat bahwa Tuhan mengetahui
hal-hal yang juz’i. Hanya saja cara mengetahui hal-hal yang juz’i itu yang diperselisihkan.
Seperti telah penulis kemukakan terdahulu, bahwa pemikiran Al-Ghazali ini sangat besar
pengaruhnya terhadap perkembangan filsafat di dunia Islam Timur, khususnya Sunni. Akan
tetapi, di dunia Islam Timur Syi’ah pemikiran filsafat masih tetap berkembang. Di dunia Islam
Sunni perkembangan filsafat menjadi terhambat bahkan terhenti karena sebelum itu muncul
teologi baru yang dibawa oleh al-Asy’ari (873-935 M) yang menentang teologi rasional
Muktazilah.
Teologi Asy’ariyah ini mempunyai corak tradisional dengan ciri-ciri : (1) Kedudukan
akal rendah. Dalam memahami teks harus dipakai pemahaman tekstual. (2) Karena kedudukan
akal lemah, maka manusia ibarat anak-anak yang tidak mampu berdiri sendiri, tetapi sangat
tergantung kepada orang lain untuk kelangsungan kehidupannya. (3) Tuhan adalah penguasa
mutlak. Manusia dan alam ini diatur oleh Tuhan dengan kehendak mutlak-Nya, bukan

30
Matan Hadits :
‫َأ‬ ُ ‫ َأعْ دَ ْد‬: ‫ قال هللا تعالى‬: ‫ قال رسول هللا صلى هللا علي ه وسلمَ قال‬:‫عن أبي هريرة رضي هللا عنه قال‬
‫ وال‬،‫ت ل ِعبَادي الصَّالحين ما ال عَ يْنٌ ر ت‬
( ‫ وال َخ َطر على َقلب َب َشر) رواه مسلم‬،‫ُأ ُذنٌ سَ مِعَ ت‬
Dari Abu Hurairah ra mengatakan, Rasulullah SAW bersabda, "Allah berfirman, "Aku telah menyediakan
untuk hamba-hambaKu yang saleh apa yang tidak pernah dilihat mata, tidak pernah didengar telinga dan tidak
terbersit dalam hati seorang manusia." (Diriwayatkan oleh Muslim)
Sumber : https://hadeethenc.com/id/browse/hadith/10404 diakses 11-01-2023
31
Ibid, hal. 218
16

berdasarkan hokum-hukum yang dibuat-Nya. Hukum-hukum alam tidak ada, yang ada hanya
kebiasaan alam saja.
Perkembangan teologi Asy’ariyah ini di dunia Islam Timur Sunni sangat pesat. Sehingga,
agaknya hal inilah yang mendorong stagnasi pemikiran di dunia Islam. Akibatnya sayang sekali,
jaman berputar terus dan dinamika masyarakat terus ke depan. Sesudah abad ke tujuh Hijriyah,
tidak ada perkembangan dalam pemikiran filsafat. Generasi yang datang kemudian tidak berani
mengubahnya lagi. Yang datang kemudian hanya sekedar berputar-putar, berkeliling-keliling,
sekitar masalah yang sama, sehingga timbullah kebekuan. Sementara itu di dunia barat
berangsur-angsur terbit fajar baru.

Penutup
Dari uraian yang telah penulis paparkan pada halaman-halaman terdahulu nyatalah bahwa
Alquran sebagai Kalamullah menghormati kedudukan akal sebagai sumber kemajuan manusia.
Ayat pertama Alquran yang diturunkan Allah SWT kepada Nabi Muhammad SAW menyuruh
mengoptimalkan fungsi akal guna menalar segala sesuatu yang diciptakan Allah. Membaca
adalah pengejawantahan dari fungsi akal guna memperoleh ilmu pengetahuan yang sangat
dibutuhkan bagi kemaslahatan hidup manusia.
Alquran sebagai mukjizat Nabi Muhammad dari Allah telah terbukti sebagai penggerak
semangat berpikir kaum muslimin sehingga menghasilkan perubahan yang sangat dahsyat dalam
sejarah kehidupan masyarakat. Tak lama setelah Alquran selesai diturunkan, umat Islam
termotivasi pemikirannya dan mereka menulis buku-buku yang berisi uraian-uraian tentang isi
kandungan Alquran. Semakin lama semakin luas bidang yang ditulis oleh umat Islam. Mereka
tidak hanya memberikan penjelasan tentang hukum-hukum dan maksud yang terkandung dalam
Alquran, tetapi mereka juga memasuki wilayah sains yang diisyaratkan dalam Alquran. Ratusan,
bahkan ribuan buku telah mereka tulis dalam berbagai cabang ilmu. Para ilmuwan muslim itu
berhasil menemukan cabang-cabang ilmu pengetahuan yang sangat bermanfaat bagi kehidupan
umat manusia. Bahkan dalam bidang filsafat pun banyak filosuf muslim yang kontribusi
pemikirannya sangat besar bagi lahirnya filsafat Islam. Melalui filsafat Islam itu mereka berhasil
mempertahankan bahkan menampakkan kebenaran ajaran tauhid kepada manusia. Argumen
filosofis yang mereka bangun sangat rasional sehingga menambah keyakinan terhadap kebenaran
ajaran agama yang bersumber kepada Alquran.
17

Ketika fungsi akal dijunjung secara proposional, yakni pada posisi yang tinggi, maka
kejayaan umat Islam bisa terwujud. Namun setelah mereka meletakkan akal pada posisi yang
rendah, dimana mereka lebih mengutamakan “dzauq” atau rasa dan memilih kehidupan asketis,
maka kehidupan masyarakat muslim menjadi terpuruk. Pemikiran rasional di kalangan umat
Islam mulai meredup. Keadaan seperti itu bertambah parah dengan semakin meluasnya teologi
yang dikembangkan oleh Imam Abu Hasan Al-Asy’ari di dunia Islam. Hal itu terjadi di belahan
Timur dunia Islam Sunni. Dunia Islam Syi’ah tidak demikian halnya. Begitu pula di belahan
Barat dunia Islam juga tidak terpengaruh oleh teologi Asy’ariyah. Pemikiran rasional terus
berkembang di sana sehingga pada akhirnya mereka berhasil mengembangkan sains dan
teknologi sebagai motor penggerak kemajuan peradaban masyarakat modern. Demikianlah,
semua itu dimulai dari perintah membaca yang di deklarasikan oleh Alquran hampir 1500 tahun
yang lalu.

Wallahu a'lam

DAFTAR PUSTAKA

Akil, Muhammad Anshar. Islam dan Iptek: Sebuah Tinjauan Komprehensive. Ujungpandang:
HMI Komisariat Fak.Teknik UMI, cetakan pertama, 1992
Amin, Ahmad, Fajr al-Islam, (Kairo : Maktabah Al-Nahdhah Al-Mishriyah, 1965
Baqi, Fuad Abdul, ttp. : Angkasa, tt,
18

Departemen Agama RI. Alquran dan terjemahannya. Bantuan Arab Saudi, 2005
Dunia, Sulaiman (Ed.). Tahafut al-Tahafut, Kairo : Dar al-Ma’arif, 1966
Al-Farabi, Ara’ Ahl al-madinah al-Fadlilah, Kairo : Maktabah Mathba’ah Muhammad Ali, tt
Ghulsyani, Mahdi. Filsafat Sains Menurut Alquran. Bandung: Mizan, cetakan ketiga, 1990
Jauhari, Syekh Thantawi. Quran dan Ilmu Pengetahuan Modern. Surabaya: Al Ikhlas, 1984
Khallaf, Abdul Wahab, Ilm Ushul al-Fiqh, Kairo : Mathba’ah al-Nashr, 1956
Madkur, Ibrahim, Fi Falsafah al-Islamiyah wa Manhaj wa Tathbiquh, Kairo : dar al-Ma’arif,
1968
Mahmud, Abdul Halim,. Mauqif al-Islam Min al-Fanni, wal-’ilmi wal-falsafati, Cairo: Dar As-
Sya’bi, 1979
Muthahhari, Murtadha. Memahami Alquran. Jakarta: Yayasan Bina Tauhid, cetakan pertama,
1986
Nasution, Harun, Filsafat dan Mistisisme dalam Islam ( Jakarta : Bulan Bintang, 1973
--------------, Filsafat Islam, dalam Kontekstualisasi Doktrin islam dalam Sejarah, Budi
Munawar-Rahman (Ed.), Jakarta : Paramadina, 1995
--------------, Pertemuan Filsafat dan Tasawuf dalam Peradaban Islam, dalam Islam Rasional,
oleh Saiful Muzani (Ed.), Bandung : Mizan, 1995
Nasution, Hasyimsyah, Filsafat Islam, Jakarta : Gaya Media Pratama, 1999
Al-Qardhawi, Yusuf, Al-Rasul wa 'l-Ilm, terjemahan Kamaluddin A. Marzuki , Bandung: Rasda,
1986
Riddah, Muhammad Abu, (ed) Rasa’il al-Kindi al-Falasifah, Kairo : Dar al-Fikr, 1950
Sardar, Ziauddin. Rekayasa Masa Depan Peradaban Muslim. Bandung: Mizan, cetakan ketiga,
1991
Syafie, Inu Kencana. Alquran Sumber Segala Disiplin Ilmu. Jakarta: Gema Insani Press, cetakan
pertama, 1991
Weinsink, al-Mu’jam al-Mufahras li alfazh al-Hadits al-Nabawi, Leiden, 1962
https://www.syaichona.net/2022/02/06/tinta-ulama-lebih-utama-dari-pada-darah-syuhada/
diakses 11 -01-2023.
http://nurmanzulkarnain.blogspot.com/2016/06/hadist-tarbawi-tintanya-para-ulama.html diakses
11-01-2023

Anda mungkin juga menyukai