Anda di halaman 1dari 9

MAKALAH

KARAKTERISTIK DAN PARADIGMA KAJIAN LIVING QUR’AN

Disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah:


Al-Qur’an dan Sosial Budaya
Dosen Pengampu: Zaim Kholilatul Ummi

Disusun oleh:

Sayid Sabiq Rifa’i 210204110050


Muhammad Akmal Izzulhaq 210204110083

PROGRAM STUDI ILMU AL-QUR’AN DAN TAFSIR

FAKULTAS SYARI’AH

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI MAULANA MALIK IBRAHIM


MALANG

2023
KATA PENGATAR

Segala puji bagi Allah SWT yang telah memberikan rahmat-Nya sehingga
kamidapat menyelesaikan makalah yang berjudul “Karakteristik dan paradigma
Kajian Living Qur’an” dengan baik tanpa hambatan yang berarti serta dapat
mengumpulkan tepat pada waktunya.

Sholawat serta salam semoga terlimpah kepada junjungan baginda tercinta,


sng motivator dan pimpinan seluruh umat, yakni Nabi Muhammad Saw. yang telah
membawa kita semua dari zaman kegelapan dan kebodohan menuju zaman yang
terang benderang yang penuh keindahan yakni agama islam.

Tidak lupa kami ucapkan terima kasih kepada Ibu Zaim Kholilatul Ummi,
selaku dosen pengampu pada mata kuliah Al-Qur’an dan Sosial Budaya yang telah
memberikan tugas ini sebagai upaya untuk menambah wawasan kami dan sebagai
prasyarat penilaian pada mata kuliah Al-Qur’an dan Sosial Budaya . Kami,
penulis, menyadari bahwa masih banyak kekurangan dalam penyusunan makalah
ini karena keterbatasan pengetahuan dan pengalaman kami. Oleh karena itu,
kami sangat mengharapkan kritik dan saran yang membangun dari pembaca demi
kesempurnaan makalah ini.

Malang, 12 Oktober 2023

Penulis
PEMBAHASAN

1. Karakteristik Kajian Living Qur’an


Living Qur’an bermula dari fenomena Qur‟an in everyday life, yang berarti
makna dan fungsi yang riil, nyata dipahami, dialami dan dirasakan oleh masyarakat
Muslim. Living Qur’an dapat juga diartikan sebagai studi tentang beragam
fenomena atau fakta sosial yang berhubungan dengan kehadiran al-Qur’an di dalam
sebuah kelompok masyarakat tertentu yang kemudian diaplikasikan dalam
kehidupan sehari-hari.1

Muhammad Yusuf mengenai living Qur'an mengatakan bahwa Living


Qur'an dapat dikatakan sebagai respon sosial (realitas) terhadap Al-Qur'an, baik itu
Al-Qur'an dilihat sebagai ilmu, dalam wilayah profane (tidak keramat) di satu sisi
dan sebagai buku petunjuk dalam yang bernilai sakral di sisi yang lain.2

Penelitian Living Qur'an memerlukan pendekatan sosiologi dalam


prakteknya. Hal ini dikarenakan Living Qur'an juga merupakan suatu upaya untuk
membuat hidup dan menghidup-hidupkan Al-Qur'an oleh masyarakat,dalam arti
respon sosial terhadap Al-Qur'an. Baik Al-Qur‟an dalam hal ini dilihat oleh
masyarakat sebagai ilmu dalam wilayah yang profan ataupun sebagai petunjuk
dalam keadaan yang bernilai sakral. Karena kedua keadaan inilah yang
sesungguhnya menghasilkan sikap dan pengalaman kemanusiaan berharga yang
membentuk sistem religi karena dorongan emosi keagamaan,dalam hal ini emosi
diri dan Al-Qur'an.

Teori penelitian tentang bagaimana cara melihat masyarakat ketika


menyikapi dan berinteraksi dengan Al-Qur'an dikatakan masih sulit untuk
dirumuskan secara definitif. Akan tetapi, bagaimanapun teori-teori yang
menyangkut sistem sosial dan sistem religi dapat didekati untuk membantu melihat

1
Muhammad Mansur, “Living Qur‟an dalam Lintasan sejarah studi Alquran”, dalam Sahiron
Syamsuddin (Ed.), Metode Penelitian Living Qur‟an dan Hadits, (Yogyakarta: Teras, 2007), hlm.
8.
2
Muhammad Yusuf, “Pendekatan sosiologi dalam penelitian”, dalam Sahiron Syamsuddin (Ed.),
Metode Penelitian Living Qur‟an dan Hadits, (Yogyakarta: Teras, 2007), hlm.
36.
kenyataan dalam masyarakat yang telah dan sedang melakukan proses pemahaman
dan menerjemahkan ke dalam kehidupan sehari-hari menurut kapasitasnya masing-
masing, sebagai representasi dari keyakinan mendalamnya terhadap Al-Qur'an.
Adapun beberapa karakteristik kajian dengan metode living Qur’an yaitu:

a. Tafsir Kontemporer: Penelitian "Living Quran" sering mencakup tafsir


kontemporer, yaitu penafsiran Al-Quran dalam konteks zaman sekarang. Ini
melibatkan upaya untuk memahami pesan-pesan Al-Quran dan bagaimana
mereka dapat diterapkan dalam konteks sosial, politik, ekonomi, dan budaya
yang berbeda.
b. Pendekatan Historis: Metode penelitian ini mungkin juga mencakup analisis
sejarah yang mendalam untuk memahami konteks sosial dan budaya di mana
Al-Quran diturunkan dan bagaimana pesan-pesannya berkembang dalam
sejarah.
c. Penelitian Lapangan: Penelitian "Living Quran" dapat mencakup penelitian
lapangan, yang melibatkan wawancara dengan komunitas atau individu yang
menerapkan ajaran Al-Quran dalam kehidupan sehari-hari mereka.
d. Pendekatan Kualitatif: Metode penelitian ini sering menggunakan pendekatan
kualitatif, seperti analisis teks, studi kasus, observasi partisipatif, dan analisis
wawancara, untuk mendapatkan pemahaman yang dalam tentang bagaimana
Al-Quran memengaruhi kehidupan dan pemikiran orang.
e. Relevansi Praktis: Salah satu karakteristik penting dari penelitian "Living
Quran" adalah betapa relevannya hasil penelitian tersebut untuk pemahaman
dan praktik keagamaan serta sosial masyarakat Muslim modern.
2. Paradigma Kajian Living Qur’an
Living al-Qur`an merupakan sebuah objek kajian yang menawarkan
fenomena tafsir atau pemaknaan al-Qur`an dalam arti yang lebih luas daripada yang
selama ini dipahami, untuk dikaji dengan menggunakan perspektif yang juga lebih
luas dan lebih bervariasi. Hal ini disebabkan kerangka berfikir Living al-Qur`an
merupakan kajian tentang “berbagai peristiwa sosial terkait kehadiran atau
keberadaan al-Qur’an pada sebuah komunitas Muslim tertentu”.3

3
M. Mansur, “Living Qur`an Dalam Lintasan Sejarah Studi Qur`an”, hal.8
Praktek memperlakukan al-Qur`an, surat-surat atau ayat-ayat tertentu di
dalam al-Qur`an untuk kehidupan praksis umat, pada hakekatnya sudah terjadi
sejak masa awal Islam, yakni pada masa Rasulullah Saw. Sejarah mencatat, beliau
dan para sahabat pernah melakukan praktek ruqyah, yaitu mengobati dirinya sendiri
dan juga orang lain yang menderita sakit dengan membacakan ayat-ayat tertentu
dalam al-Qur`an. Hal ini sebagaimana diriwayatkan oleh Imam al-Bukhari dari
‘Aisyah ra, apabila Rasulullah Saw sedang sakit, beliau membaca surat al-
Mu’awwidzât yaitu suratal-Ikhlâsh, al-Falaq dan al-Nâs, lalu beliau meniupkan
kepada kedua telapak tangannya dan kemudian mengusapkan kedua telapak
tangannya itu ke tubuhnya, mulai dari kepala dan wajah dan bagian depan
tubuhnya. Hal itu beliau lakukan sebanyak tiga kali. Bahkan kata Aisyah ra, saat
sakit beliau parah, akulah yang membacakan surat al- Mu’awwidzât itu untuknya
dan mengusapkan dengan tangannya untuk mengharapkan keberkahan bacaan
tersebut.4
Dalam riwayat Imam al-Bukhari yang lain dari Abu Sa’id al-Khudri ra
disebutkan bahwa sahabat Nabi Saw pernah mengobati seseorang yang tersengat
hewan berbisa dengan membacakan al-Fâtihah. Beberapa keterangan riwayat hadis
diatas, menunjukkan bahwa praktek interaksi umat Islam dengan al-Qur`an sebagai
wujud Living al-Qur`an dalam bentuknya yang paling sederhana sama tuanya
denganal-Qur`an itu sendiri”.5
Sejak masa awal Islam, saat Nabi Muhammad Saw masih hadir di tengah-
tengah umat, interaksi umat Islam dengan al-Qur`an tidak sebatas pada
pemahamanteks semata, tetapi sudah menyentuh aspek yang sama sekali di luar
teks. Jikadicermati, praktek yang ditemukan dalam riwayat hadis di atas, jelas sudah
di luar teks.Secara semantik, tidak ada kaitan antara makna teks surat al-
Mu’awwidzât dengan penyakit yang diderita oleh Nabi Muhammad Saw atau
praktek yang dilakukan oleh sahabat Nabi Saw dengan membacakan surat al-
Fatihah sama sekali tidak adakaitannya dengan pengobatan orang yang terkena
sengatan kalajengking. Dari praktek interaksi umat Islam masa awal tersebut, dapat

4
Abû ‘Abd Allâh Muhammad ibn Ismâ’îl ibn Ibrâhîm ibn Bardizbat ibn al-Mughîrat ibnBardizbat
al-Bukhârî, Shahîh al-Bukhârî, (Cairo: Dar al-Sya’ab, 1407 H/1987 M), Bab 14: Fadhl al-
Mu’awwidzât, Juz 6, hal.833, hadis 5016 dan 5017
5
M. Mansur, Living Qur`a Dalam Lintasan Sejarah Studi Qur`an”, hal.9
dipahami jika kemudian berkembang pemahaman di masyarakat tentang
fadhilah atau khasiat surat-surat atau ayat-ayat tertentu di dalam al-Qur`an sebagai
obat dalam arti yang sesungguhnya, yaitu untuk menyembuhkan penyakit fisik.
Bahkan, selain beberapa fungsi tersebut, al-Qur`an juga tidak jarang digunakan
masyarakat untuk menjadi solusi atas persoalan ekonomi, sebagai alat untuk
memudahkan datangnya rezeki.6
Dalam konteks ini, di hadapan manusia yang notabene adalah
animal symbolicum,7 Kitab al-Qur`an tidak lagi dapat hadir tanpa makna. Demikian
juga perlakuan manusia terhadap al-Qur`an itu sendiri sebagai sebuah jaringan
dan susunan simbol. Dari sudut pandang ini, Living al-Qur`an merupakan sebuah
jagad simbolis (symbolic universe) dan sebuah teks yang dapat dimaknai. Al-
Qur`an bukan hanya sebagai objek penafsiran para ahli tafsir, tetapi juga ditafsirkan
oleh setiap muslim dan bahkan juga oleh kaum non muslim.
Karena dari perspektif antropologi, setiap individu sebagai animal symbolicum
adalah seorang penafsir dan memiliki kerangka pemaknaannya sendiri.8

Adanya variasi penafsiran dan pemaknaan terhadap al-Qur`an kemudian


mendasari munculnya berbagai fenomena sosial-budaya kehidupan umat dengan
nuansa Qur`ani tertentu yang dikatakan sebagai fenomena “al-Qur`anisasi
kehidupan” atau “al-Qur`an yang hidup”, sebagai wujud lain dari al-Qur`an sebagai
sebuah kitab atau teks. Namun karena ciri-ciri gejala ini berbeda dengan kitab atau
teks dalam arti yang sebenarnya, maka upaya untuk mempelajari, menjelaskan atau
memahaminya, memerlukan metode-metode yang berbeda pula dan perlu

6
Didi Junaedi,“ Living Qur`an: Sebuah Pendekatan Baru dalam Kajian Al-Qur`an…,hal. 177
7
Animal symbolicum artinya hewan yang mampu menggunakan, menciptakan dan
mengembangkansimbol-simbol untuk menyampaikan pesan dari satu individu kepada individu lain.
Simbol di sini diartikansebagai segala sesuatu yang dimaknai, sehingga pemaknaan merupakan
proses yang sangat penting dalamkehidupan manusia. Kemampuan memberikan makna inilah
yang membedakan manusia dengan binatang, dan membuat manusia kemudian mampu berbahasa.
Lihat: Heddy Shri Ahimsa-Putra,“The Living Al-Qur`an:Beberapa Perspektif
Antropologi” ,hal.239-240.
8
Heddy Shri Ahimsa-Putra,“The Living Al-Qur`an: Beberapa Perspektif Antropologi” ,hal. 239 dan
241.
memanfaatkan paradigma- paradigma yang telah berkembang dalam ilmu-
ilmu sosial-budaya, seperti antropologi dan sosiologi.9
Interaksi umat Islam dengan al-Qur`an telah membuahkan bermacam
paradigma yang saling melengkapi satu sama lain. Dimana dari fenomena tersebut
dapat dijadikan sebagai bahan evaluasi sekaligus untuk upaya internalisasi dan
sosialisasi pesan-pesan al-Qur`an sehingga kajian seputar al-Qur`an tidak hanya
berupa konsep langit (arasy samawi), namun juga pada aspek dunawi, dalam ruang
dialog di dunia empirik-sosiologis dan kesehariannya. Dalam hal ini, al-Qur`an
yang dipahami masyarakat Islam dalam pranata sosialnya adalah wujud
fungsionalisasi al-Qur`an yang kemudian membentuk pribadi dan dunia sosial
mereka.

9
Heddy Shri Ahimsa-Putra, “The Living Al-Qur`an: Beberapa Perspektif Antropologi” ,hal. 258.
KESIMPULAN

Living Qur’an dapat juga diartikan sebagai studi tentang beragam fenomena
atau fakta sosial yang berhubungan dengan kehadiran al-Qur’an di dalam sebuah
kelompok masyarakat tertentu yang kemudian diaplikasikan dalam kehidupan
sehari-hari. Teori bagaimana cara melihat masyarakat ketika berinteraksi dengan
Al-Qur'an dikatakan masih sulit untuk dirumuskan secara definitif. Akan tetapi,
teori-teori yang menyangkut sistem sosial dan sistem religi dapat didekati untuk
membantu melihat kenyataan dalam masyarakat yang telah dan sedang melakukan
proses pemahaman dan menerjemahkan ke dalam kehidupan sehari-hari, sebagai
representasi dari keyakinan mendalamnya terhadap Al-Qur'an. Adapun
karakteristik kajian Living Qur’an dapat dipetakan menjadi 5 aspek, yakni tafsir
kontemporer, pendekatan historis, penelitian lapangan, pendekatan kualitatif dan
relevani praktis.

Interaksi umat Islam dengan al-Qur`an telah membuahkan bermacam


paradigma yang saling melengkapi satu sama lain. Dimana dari fenomena tersebut
dapat dijadikan sebagai bahan evaluasi sekaligus untuk upaya internalisasi dan
sosialisasi pesan-pesan al-Qur`an sehingga kajian seputar al-Qur`an tidak hanya
berupa konsep langit (arasy samawi), namun juga pada aspek dunawi, dalam ruang
dialog di dunia empirik-sosiologis dan kesehariannya. Dalam hal ini, al-Qur`an
yang dipahami masyarakat Islam dalam pranata sosialnya adalah wujud
fungsionalisasi al-Qur`an yang kemudian membentuk pribadi dan dunia sosial
mereka.
DAFTAR PUSTAKA

Abû ‘Abd Allâh Muhammad ibn Ismâ’îl ibn Ibrâhîm ibn Bardizbat ibn al-Mughîrat
ibnBardizbat al-Bukhârî, Shahîh al-Bukhârî, (Cairo: Dar al-Sya’ab, 1407
H/1987 M), Bab 14: Fadhl al-Mu’awwidzât, Juz 6, hal.833, hadis 5016
dan 5017

Didi Junaedi,“ Living Qur`an: Sebuah Pendekatan Baru dalam Kajian Al-Qur`an.
Heddy Shri Ahimsa-Putra,“The Living Al-Qur`an:Beberapa Perspektif
Antropologi”.
Muhammad Mansur, “Living Qur‟an dalam Lintasan sejarah studi Alquran”,
dalam Sahiron Syamsuddin (Ed.), Metode Penelitian Living Qur‟an dan
Hadits, (Yogyakarta: Teras, 2007).
Muhammad Yusuf, “Pendekatan sosiologi dalam penelitian”, dalam Sahiron
Syamsuddin (Ed.), Metode Penelitian Living Qur‟an dan Hadits,
(Yogyakarta: Teras, 2007).
Yusrizal Efendi, 2023, Paradigma dan Fenomena Kajian Living Qur’an.

Anda mungkin juga menyukai