Anda di halaman 1dari 21

LIVING AL-QUR’AN

(ASPEK DAN DINAMIKA)

Makalah ini Disusun Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Studi Al-Qur`an
di Indonesia

Dosen Pengampu:
M. Ziyad Ulhaq, SQ., S.H., M.A., Ph.D

Disusun Oleh:
Achmad Gulam Waladi 220410951
Lianus Laia 220410970
Hasan Alaydrus 220419997
Qadar Rizki 220410999
Rifki Hadi 220411000

PROGRAM STUDI ILMU AL-QUR`AN DAN TAFSIR


PASCASARJANA INSTITUT ILMU AL-QUR`AN (IIQ) JAKARTA
2020 M
DAFTAR ISI

DAFTAR ISI ............................................................................................................... i


BAB I PENDAHULUAN .........................................................................................1
A. Latar Belakang ..............................................................................................1
B. Rumusan Masalah .........................................................................................1
C. Tujuan Pembahasan......................................................................................1
BAB II PEMBAHASAN ..........................................................................................2
A. Aspek Kajian Living Qur’an ........................................................................2
B. Perkembangan Studi Living Qur’an ............................................................7
C. Berbagai Interaksi Umat dengan Al-Qur’an ............................................12
D. Kegunaan Kajian Living Qur’an ................................................................15
BAB III KESIMPULAN ........................................................................................18
DAFTAR PUSTAKA ..............................................................................................19

i
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Living Qur’an merupakan sebuah kajian yang melihat realitas
keberadaan ayat-ayat Al-Qur’an yang menubuh dan ada secara praktis
dalam kehidupan sehari-hari masyarakat. Dalam bingkai ini, maka Al-
Qur’an tidaklah dipahami sebagai teks-teks suci yang lepas dari kehidupan
sosial budaya masyarakat, melainkan sesuatu etentitas yang kehadirannya
menyatu dalam kehidupan dan sekaligus dianggap memiliki kegunaan-
kegunaan tertentu bagi mereka.

Dalam ranah studi Al-Qur’an, metode penelitian living Qur’an bisa


disebut sebagai metode yang relatif baru, sehingga secara konseptual
metode ini masih mencari bentuk untuk dapat dijadikan semacam acuan.
Oleh karena itu penelitian living Qur’an dalam studi Al-Qur’an dan tafsir
masih belum banyak diminati oleh para pengkaji Al-Qur’an. Pada
pembahasan ini, akan dibahas bagaimana aspek ataupun bentuk kajian
living Qur’an serta dinamika dan kegunaan kajian living Qur’an secara
praktis maupun akademis.

B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana aspek kajian living Qur’an?
2. Bagaimana perkembangan living Qur’an?
3. Bagaimana interaksi umat dengan Al-Qur’an?
4. Bagaimana kegunaan kajian living Qur’an?
C. Tujuan Pembahasan
1. Untuk mengetahui aspek kajian living Qur’an.
2. Untuk mengetahui perkembangan living Qur’an.
3. Untuk mengetahui interaksi umat dengan Al-Qur’an.
4. Untuk mengetahui kegunaan kajian living Qur’an.

1
BAB II
PEMBAHASAN

A. Aspek Kajian Living Qur’an


Dalam ranah studi Al-Qur’an, metode penelitian living Qur’an bisa
disebut sebagai metode yang relatif baru. Sehingga, secara konseptual
metode ini masih mencari bentuk untuk dapat dijadikan semacam acuan.
Living Qur’an adalah studi tentang Al-Qur’an, tetapi tidak bertumpu ada
eksistensi tekstualnya, melainkan studi tentang fenomena sosial yang lahir
terkait dengan kehadiran Al-Qur’an dalam wilayah geografi tertentu dan
mungkin masa tertentu pula.1 Hamam Faizin membagi wilayah-wilayah
kajian living Qur’an terbagi menjadi empat bagian2:
1. Aspek Oral (Pembacaan Al-Qur’an)
Proses pewahyuan Al-Qur’an tidak bisa lepas dari aspek Oral dan
aural (pendengaran). Proses pewahyuan Al-Qur’an pada satu sisi bersifat
oral (orality). Oral biasanya merujuk pada aktivitas teks kendala suara,
terukur dan ritmis yang dipelajari. Dipraktekan dan diselenggarakan pada
waktu dan tempat tertentu. Nabi Muhammad saw. Menerima Al-Qur’an
sebagai wahyu yang harus dibaca. Kata Al-Qur’an (yang berarti bacaan),
peristiwa nabi Muhammad dengan Jibril, tradisi transmisi pengetahuan
(termasuk Al-Qur’an) dari satu mulut kemulut lainnya, paling tidak bisa
menunjukkan bahwa aspek oral sangat kuat. Kuatnya aspek ini melahirkan
banyak hal yang bisa diteliti. Misalnya:
Pertama, pembacaan Al-Qur’an yang sudah menjadi tradisi dan
memiliki lembaganya. Kedua, khataman Al-Qur’an adalah membaca Al-

1
Muhammad Yusuf, “Pendekatan Sosiologi dalam Penelitian Living Qur’an, dalam
Sahiron Syamsuddin (ed.), Metode Penelitian Living Qur’an dan Hadi (Yogyakarta: Teras,
2007), h. 39
2
Hamam Faizin, “Al-Qur’an sebagai Fenomena yang Hidup (Kajian atas Pemikiran
Para Sarjana Al-Qur’an), Makalah dalam International Seminar dan Qur’anic Confrence II,
2012, h.7.

2
Qur’an dari surah-surah pertama sampai surah terakhir sesuai dengan
mushaf utsmani, baik secara sendiri-sendiri maupun Bersama-sama. Masa
nabi Muahammad saw istilah yang dipakai jenis khataman dalam konteks
Al-Qur’an sangat variative. Mulai dari mengkhatamkan satu ayat,
beberapa ayat, rangkaian ayat-ayat terakhir dari sebuah surah dan
menghatamkan satu surah penuh, serta khataman Al-Qur’an itu sendiri.
Ketiga, pembacaan ayat-ayat tertentu Al-Qur’an dalam acara-
acara tertentu, misalkan pembacaan ayat suci Al-Qur’an sebelum seminar,
peresmian dan pernikahan. Bahkan di Yogyakarta ada tradisi memutar
kaset tartil Al-Qur’an Ketika ada yang meninggal dari pagi sampai
pemberangkatan jenazah kepemakaman.
Keempat, festival atau musabaqah Al-Qur’an hamper disetiap
negara Islam, pasti mengadakan perlombaan-perlombaan Al-Qur’an.
Untuk musabaqah tilawatil Qur’an (MTQ) di Indonesia, beberapa peneliti
telah mengkajinya termasuk Anna. M.GD dan Anne K.Rasmusen,
meskipun begitu masih banyak sisi-sisi MTQ yang perlu dikaji, misalnya
perkembangan jenis-jenis perlombaan, pembiayaan penyelenggaraan
MTQ, isu jual-beli peserta MTQ, komodifikasi MTQ dan sebagainya yang
ada di dalam arena perlombaan tersebut.
Kelima, Tahfidzul Qur’an. Tradisi menghafal Al-Qur’an sudah
berlangsung sejak pertama kali Al-Qur’an diturunkan hingga kini sebagai
salah satu usaha penjagaan pelestarian Al-Qur’an. Lembaga-lembaga
Pendidikan tahfidzul Qur’an banyak didirikan, bahkan sekarang banyak
lembaga pendidikan memasukan tahfidzul Qur’an ke dalam kurikulum.
Menghafal Al-Qur’an merupakan sebuah investasi pembelajaran
sepanjang hidup untuk mendapatkan hidayah.
Keenam, Tadarusan Al-Qur’an. Ketujuh Pembacaan surah, ayat,
atau kata-kata yang termuat dalam Al-Qur’an pada kehidupan sehari-hari

3
(baik dalam ibadah maupun tidak). Al-Qur’an memberikan banyak sekali
pengaruh dalam kehidupan terutama dalam bahasa sehari-hari. Frase-
frase, ekspresi-ekspresi, rumusan-rumusan dan kosa kata Al-Qur’an telah
menjadi komponen esensial dan susunan bahasa, tidak hanya Bahasa Arab
tetapi juga sebuah Bahasa di negara-negara muslim. Berikut adalah frasa,
kalimat atau ayat yang hamper ditemukan dalam bahasa muslim dunia.
Seperti: Allah, Syahâdah, Isti’âdzah, Istighfâr, basmallah,tasbih, tahlîl,
tahmîd dan sebagainya.
Kedelapan, pembacaan dalam rangka healing (pengobatan).
Fenomena Qur’anic healing atau sufi healing (pengobatan dengan Al-
Qur’an atau pengobatan ala sufi) yang menerapkan pembacaan-
pembacaan pada ayat-ayat, kalimat-kalimat atau kata-kata tertentu dari
Al-Qur’an dengan jumlah tertentu juga, dengan tujuan menyembuhkan
penyakit pasien sudah menjadi hal yang lumrah disejumlah negara
(termasuk Indonesia). Di amerikapun terdapat pusat-pusat terapi Al-
Qur’an, seperti Islamic Educational & Cultural Research Center Of North
America. Di Malaysia, ruqyah juga menjadi pengobatan alternatif yang
sangat disukai.3
Dalam sejarah peradaban Islam, Qur’anic healing memiliki
preseden yang sangat panjang. Kalua dicermati asbabun nuzul dari surah
al-muawwidzatain akan dijumpai Riwayat yang menginformasikan bahwa
nabi Muhammad saw menolak sihir dengan membacakan surah tersebut.
Dalam Riwayat lain juga disebutkan bahwa nabi Muhammad pernah
menyembuhkan penyakit dengan ruqyah lewat surah al-Fatihah. Pada
dasarnya, penyembuhan dengan Al-Qur’an bukanlah hal yang baru.
Bahkan dalam lintas sejarah Islam, Qur’anic healing telah mendapat

3
Muyassarah Zaini, The Living Qur’an: Upaya Penanaman Nilai-nilai Al-Qur’an
dalam Kehidupan Santri, (Depok: Al-Hikam Press, 2020), h. 44-48

4
legitimasinya. Sebagai sumber otoritas pertama dalam Islam, Al-Qur’an
sendiri seringkali menyebut dirinya sebagai Syifâ (penyembuh),
sebagaimana dalam surah al-Isrâ ayat 82:

‫ي اََِّّل َخ َس ًارا‬ ٰ ‫ونـُنَـ ِّزُل ِّمن ۡالـ ُق ۡراٰ ِّن ما هو ِّش َفآء َّور ۡۡحةٌ لِّ ۡـلم ۡؤِّمنِّ ۡي وََل ي ِّزۡي ُد‬
ۡ ‫الظلِّ ِّم‬
َ َ َ َ ُ َ َ ٌ َُ َ َ َ
Dan Kami turunkan dari Al-Qur'an (sesuatu) yang menjadi
penawar dan rahmat bagi orang yang beriman, sedangkan bagi orang
yang zhalim (Al-Qur'an itu) hanya akan menambah kerugian.

2. Aspek Aural
Dalam kamus wikipedia, aural itu segala sesuatu yang berkaitan
dengan pendengaran, mendengar sebagaimana mengendus/mencium
sesuatu. Al-Qur’an yang dikenal dunia sebagai dokumen yang tertulis
yang bisa dibaca dan dikaji sebagai teks ternyata termanifestasikan
juga di dalam kehidupan sehari-hari melalui aurality dan orality.
Aurality tidak hanya mengimplikasikan, mendengar Al-Qur’an yang
dibaca tetapi juga menurut Michael Sells meamasukkan kedalam hati.
Dalam proses pewahyuan Al-Qur’an, aspek oral dan aural ini
tidak bisa dipisahkan. Nail Robinson mengatakan bahwa
mendengarkan Al-Qur’an merupakan perbuatan keimanan pertama kali
yang paling penting. Oleh sebab itu, baik oral maupun aural akan
memberikan pengaruh sendiri kepada pelakunya. Berkaitan dengan
aspek aural terdapat sebuah riset yang meneliti tentang efek
mendengarkan Al-Qur’an dan mendengarkan musik klasik terhadap
gelombang otak (brain wave).
Penelitian tersebut mengambil sampel 28 orang untuk
diperdengarkan surah Yâsîn dan pachelbel’s canon d (music klasik)
terkait dengan gelombang otak kanan dan kiri, terjadi peningkatan
12,67% selama mendengarkan surah Yâsîn. Dan peningkatan 9,96%
selama mendengarkan music klasik. Penemuan ini mengindikasikan,

5
bahwa mendengarkan bacaan Al-Qur’an lebih dapat meningkatkan
alpha band ketimbang mendengarkan musik klasik. Konsekuansinya,
mendengarkan Al-Qur’an bisa menjadikan kondisi yang lebih rileks
dan siaga.
3. Aspek Tulisan
Wahyu Allah yang verbal dan kemudian dituangkan dalam
bentuk nyata tulisan telah menjadi perdebatan yang panjang
mempengaruhi peradaban. Al-Qur’an menjadi faktor utama dalam
perkembangan kaligrafi Islam. Kaligrafi Islam sendiri merupakan
resepsi estetis umat Islam dalam mengekspresikan keindahan Al-
Qur’an. Menurut Ahmad Baidowi, sisi spiritualitas dan estetika
kaligrafi sebagai perwujudan nilai-nilai wahyu Tuhan oleh umat Islam
merupakan field research yang menarik untuk diteliti. Selain kaligrafi,
tulisan-tulisan Al-Qur’an yang dijadikan sebagai jimat dan rajah juga
menarik untuk diteliti.
4. Aspek Prilaku
Ketika wahyu sudah dituangkan menjadi tulisan dan menjadi
buku, maka ia akan menjadi sesuatu yang bernilai dengan sendirinya,
apalagi yang ditulis adalah wahyu Tuhan yang diyakini suci. Kesucian
tersebut menjadikan manusia untuk memiliki konsep tersendiri dalam
memperlakukan kitab suci. Selama Al-Qur’an masih dianggap kalam
Allah, maka ia akan mendapatkan maxcimum respect. Ia tidak boleh di
taruh di lantai, di bawah buku atau benda lainnya, tidak boleh tersentuh
oleh kaki, sepatu, sandal atau sesuatu yang kotor, harus dalam kondisi
suci dari hadas besar maupun kecil, menghadap kiblat untuk

6
membacanya, harus konsentrasi dalam membacanya dan tidak boleh
bercanda.4
B. Perkembangan Studi Living Qur’an
Living Qur’an dapat dikategorikan sebagai kajian atau penelitian
ilmiah terhadap berbagai fenomena sosial yang terkait dengan keberadaan
Al-Qur’an di tengah komunitas muslim tertentu atau lain yang berinteraksi
dengannya. Al-Quran adalah teks verbatim yang telah ada sejak belasan
abad silam, dan telah mengalami kompleksitas interaksi antar umat, tidak
hanya muslim namun juga non-muslim. Tetapi, meski dengan perjalananya
yang relatif Panjang, studi Al-Qur’an yang berkembang hingga sekarang
mayoritas masih berorientasi pada studi teks, dan belum banyak
menyentuh aspek-aspek lain seperti yang terkait langsung dengan
implementasi pemahaman maupun sikap dan penerimaan umat pembaca
terhadapnya. Maka wajar jika studi Al-Qur’an oleh beberapa kalangan
dirasakan “membosankan”, belum lagi aspek materi yang sedikit sekali
berorientasi langsung dengan kebutuhan dan belum banyak diarahkan pada
persoalan-persoalan kontemporer.5

Pada kehidupan sehari-hari umat islam menempuh dua cara untuk


berinteraksi dengan Al-Qur’an. Pertama, pendekatan yang dilakukan oleh
kelompok muslim dengan cara mengkaji teks dan mencari pemahaman
melalui teks tersebut. Berbekal dari telaah teks, mereka bereaksi
berdasarkan pemahaman mereka dari teks. Kedua, berasal dari kelompok
masyarakat yang tidak memiliki basic/dasar bahasa arab yang memadai
untuk memahami Al-Quran. Mereka lebih menonjolkan aspek mistis dan

4
Muyassarah Zaini, The Living Qur’an: Upaya Penanaman Nilai-nilai Al-Qur’an
dalam Kehidupan Santri, h. 48-50
5
Luqman Abdul Jabbar, Ruqyah Syar'iyyah: Fenomena Muslim Indonesia Dalam
Memfungsikan Al-Quran (Studi Kasus Fenomena Ruqyah Syar'iyyah Pada Umat Islam Di
Kota Yogyakarta, (Yogyakarta: Tesis UIN Sunan Kaljaga, 2006)

7
irasional dalam berintarksi dengan alquran karena tidak memiliki
kapabilitas yang cukup dalam memahami alquran secara rasional.6 Dalam
kajian teks al-Qur’an, studi ini menjadikan fenomena yang hidup di tengah
masyarakat muslim atau bahkan non-muslim terkait dengan Al-Qur’an
sebagai objek studinya. Dengan begitu, kajian ini pada dasarnya hampir
mendekati pada studi sosial dengan keragamannya.

Hasil interaksi masyarakat terhadap Al-Qur’an tersebut


memunculkan kajian atau studi Al-Qur’an. Secara umum. Merujuk kepada
pembagian alford t.wech sebagaimana yang dikutip oleh amin Abdullah
studi Al-Quran bisa mengarah kepada 3 bidang, yaitu: (1) exegsis atau
studi teks Al-Quran itu sendiri, (2) sejarah intrepretasinya, dan (3) peran
Al-Qur’an dalam kehidupan dan pemikiran umat islam.7

The living Al-Qur’an atau Al-Qur’an yang hidup adalah ungkapan


yang tidak asing bagi kebanyakan orang islam. Di kalangan mereka
ungkpan ini dapat di maknai berbagai macam. Pertama, ungkapan tersebut
bisa bermakna nabi Muhammad SAW dalam arti yang sebenarnya, yaitu
sosok nabi Muhammad SAW adalah Al-Qur’an. Dalam kitab suci Al-
Qur’an disebutkan bahwa nabi Muhammad SAW terdapat contoh yang
baik. Hal ini diperkuat oleh hadist dari Siti ‘Aisyah r.a, yang mengatakan
bahwa akhlak nabi Muhammad SAW adalah Al-Qur’an. Oleh karena itu,
nabi Muhammad SAW adalah Al-Qur’an yang hidup, Al-Qur’an yang
memujud dalam sosok manusia.

6
Afriandi putra dan Muhammad Yasir, dalam jurnal Kajian Al-Qur’an di Indonesia
(Dari studi teks ke living Qur’an), Majalah Ilmu pengetahuan dan pemikiran keagamaan tajdid,
Vol. 21, No.2, Desember 2018, h. 14
7
Afriandi putra dan Muhammad Yasir, dalam jurnal Kajian Al-Qur’an di Indonesia
(Dari studi teks ke living Qur’an), Majalah Ilmu pengetahuan dan pemikiran keagamaan tajdid,
Vol. 21, No.2, Desember 2018, h. 14

8
Kedua, ungkapan ini tersebut juga bisa mengacu pada suatu
masyarakat yang kehidupan sehari-harinya menggunakan Al-Qur’an
sebagai kita acuannya. Mereka hidup dengan mengikuti apa-apa yang
diperintahkan alquran dan menjauhi hal-hal yang dilarang di dalamnya.
Sehingga masyarakat tersebut seperti “Al-Qur’an yang hidup,” kita belum
mempunyai contoh konkret dari masyarakat semacam ini, dan mungkin
juga masyarakat semacam ini belum pernah ada, karena dalam masyarakat
islam yang manapunselalu saja terdapat bentuk-bentuk kehodupan, pola-
pola perilaku, tindakan dan aktivitas yang tidak berdasarkan Al-Qur’an.

Ketiga, ungkapan tersebut juga dapat berarti bahwa Al-Qur’an


bukanlah hanya sebuah kitab, tetapi sebuah “kitab yang hidup”. Yaitu yang
perwujudannya dalam kehidupan sehari-hari begitu terasa dan nyata, serta
beraneka ragam, tergantung pada bidang kehidupannya. Perwujudan Al-
Qur’an dalam kegiatan ekonomi misalnya, tentu akan berbeda dengan
perwujudan Al-Qur’an dalam kegiatan politik atau dalam kehidupan
keluarga.8

Istilah Living Al-Qur’an dalam istilah teknis lainnya juga disebut


interaksi atau resepsi. Kata resepsi dapat dipergunakan untuk mewakili
perilaku interaksi antara Al-Qur’andan penganutnya tersebut. Menurut Nur
Kholis Setiawan secara teoritis, ada tiga bentuk resepsi masyarakat
terhadap Al-Quran. Pertama, resepsi kultural, yang mencoba mengungkap
pengaruh dan peran Al-Qur’an dalam membentuk kultur dan budaya
masyarakat. Kedua resepsi hermeneutik, yang mengungkap
perkembangan-perkembangan yang terkait dengan studi interpretasi teks
dan aktivitas interpretasi teks itu sendiri. Ketiga resepsi estetik, yang

8
M. Mansyur, dkk, metodologi penelitian living quran dan hadis, (Yogyakarta TH
Press, 2007). h.5

9
mengungkap proses penerimaan dengan mata maupun telinga, pengalaman
seni, serta cita rasa akan sebuah objek atau penampakan. Dengan demikian
lokus kajian living Al-Qur’an ada pada resepsi kultural dan estetik.9

Dalam konteks kajian living Al-Qur’an, manusia memperlakukan


dan mempelajari Al-Qur’an sebagai sebuah kitab yang berisi petunjuk-
petunjuk sebagaimana dilakukan di sekolah-sekolah dan institusi
pendidikan Islam. Padahal kondisi ini tidak lagi dipandang sebagai satu-
satunya aktivitas atau perlakuan yang paling tepat terhadap Al-Qur’an.
Pemaknaan dan perlakuan semacam itu hanya dipandang sebagai salah
satu bentuk perlakuan yang dapat diberikan terhadap Al-Qur’an, dan
pemaknaan serta perlakuan inilah yang kemudian menjadi objek kajian itu
sendiri. Tentu saja, peran dan kedudukan Al-Qur’an sebagai kitab di situ
juga tidak dapat diabaikan. Karena yang dimaksud dengan “Al-Qur’an” di
sini bukan lagi hanya kitabnya, tetapi juga tafsir dan pola-pola perilaku
yang didasarkan pada tafsir atas ayat-ayat dalam Al-Qur’an tersebut.

Menurut Syamsuddin10 bahwa “Teks Al-Qur’an yang hidup‟ dalam


masyarakat itulah yang disebut Living Qur’an. Sedangkan pelembagaan
hasil penafsiran tertentu dalam masyarakat bisat disebut dengan “the living
tafsir”. Mengapa muncul istilah “Teks Al-Qur’an yang hidup dalam
masyarakat”? Hal ini tidak lain merupakan “respons masyarakat terhadap
teks Al-Qur’an dan hasil penafsiran seseorang. Termasuk dalam pengertian
„respons masyarakat‟ adalah resepsi mereka terhadap teks tertentu dan
hasil penafsiran tertentu. Kita dapat menemukan bentuk esepsi sosial
terhadap Al-Qur’an dalam kehidupan sehari-hari, seperti tradisi bacaan

9
Muhammad Nur Kholis Setiawan, Al-Qur’an Kitab Sastra Terbesar, (Yogyakarta:
elsaq Press, 2006)
10
Syamsudin, S., “Ranah-ranah Penelitian dalam Studi al-Qur‟an dan Hadis” dalam
M. Mansyur dkk., Metodologi Penelitian Living Qur’an dan Hadis, (Yogyakarta: TH. Press,
2007), h. xiv.

10
surat atau ayat tertentu pada acara dan seremoni sosial keagamaan tertentu.
Sementara itu, resepsi sosial terhadap hasil penafsiran terjelma dalam
dilembagakannya bentuk penafsiran tertentu dalam masyarakat, baik
dalam skala besar maupun kecil.

Sementara itu, M. Mansur11, berpendapat bahwa pengertian The


Living Qur’an sebenarnya bermula dari fenomena Qur’an in Everyday
Life, yang tidak lain adalah “makna dan fungsi Al-Qur’anyang riil
dipahami dan dialami masyarakat Muslim.” Dengan demikian, dapat
difahami bahwa living Al-Qur’an adalah “praktik memfungsikan Al-
Qur’andalam kehidupan praksis, di luar kondisi tekstualnya”. Pemfungsian
Al-Qur’an seperti itu muncul karena adanya “praktek pemaknaan Al-
Qur’an yang tidak mengacu pada pemahaman atas pesan tekstualnya, tetapi
berlandaskan anggapan adanya “fadhilah” dari unit-unit tertentu teks Al-
Qur’an, bagi kepentingan praksis kehidupan keseharian umat.12

Living Qur’an juga dapat diartikan sebagai “fenomena yang hidup


di tengah masyarakat muslim terkait dengan Al-Qur’an ini sebagai objek
studi-nya.13 Oleh karena itu studi living Qur’an dapat diartikan sebagai
kajian tentang “berbagai peristiwa sosial terkait dengan kehadiran Al-
Qur’an atau keberadaan Al-Qur’an disebuah komunitas muslim tertentu.14
Dengan pengertian seperti ini, maka dalam bentuknya yang paling
sederhana “ the living Qur’an” tersebut pada dasarnya sudah sama tuanya
dengan Al-Qur’an itu sendiri.

11
M. Mansyur, dkk., Metodologi Penelitian Living Qur’an dan Hadis, (Yogyakarta:
TH. Press, 2007), h. 5
12
M. Mansyur, dkk., Metodologi Penelitian Living Qur’an dan Hadis, (Yogyakarta:
TH. Press, 2007), h. 5
13
Heddy Shri Ahimsa Putra, dalam jurnal Walisongo, Vol. 20, No. 1, Mei 2012, The
Living Qur’an: Beberapa Perspektif Antropolgi, h. 237-238

11
C. Berbagai Interaksi Umat dengan Al-Qur’an
Sebagai kitab agama, Al-Qur’an telah berinteraksi lama dengan
umatnya, bahkan sejak ia ada. Bentuk-bentuk interaksi tersebut tampak
pada tradisi menjadikan Al-Qur’an sebagai ojek hafalan (tahfidz),
mendengar (sima’), penulisan (kitabah) dan kajian tafsir. Namun pada
perkembangan berikutnya, dinamika interaksi tersebut kian bergeser dan
beragam. Untuk kasus Indonesia saja, ada beberapa bentuk interaksi umat
dengan Al-Qur’an sebagai cerminan everyday life of the Qur’an seperti :
1. Al-Qur’an dibaca rutin dan diajarkan di beberapa tempat ibadah, rumah
atau bahkan di tempat khusus dan institusional. Hingga menjadi acara
rutin, terlebih di Pesantren-pesantren ia menjadi bacaan wajib yang
dibaca selepas shalat magrib. Dan bahkan terdapat tradisi
pengkhususan malam jumat dengan membaca surat-surat tertentu
seperti Yasin, al-Kahfi, al-Waqi’ah.
2. Al-Qur’an senantiasa dihafal, baik secara utuh maupun sebagiannya,
meski tidak terkecuali banyak pula yang hanya menghafal surat-surat
tertentu atau potonganpotongannya.
3. Al-Qur’an dibaca oleh para qari’ (pembaca profesional) dengan
lantunan nada yang terdengar merdu dan indah dalam berbagai event
yang dianggap penting.
4. Al-Qur’an dilombakan dalam bentuk tilawah al-qur’an, tahfidz al-qur’an,
tafsir al-qur’an, syarh al-Qur’an, khat al-qur’an, dan cerdas-cermat Al-
Qur’an.
5. Menjadikan surat-surat tertentu atau potongan-potongan ayat tertentu
sebagai hiasan dinding rumah, masjid, bahkan makam.
6. Potongan ayat-ayat Al-Qur’an dikutip dan dicetak sebagai assesoris
dalam bentuk stiker, kartu ucapan, gantungan kunci dan kartu-kartu
undangan yang disesuaikan dengan tema dan konteks acara.

12
7. Al-Qur’an dibaca dalam acara kematian, bahkan terdapat tradisi
pengkhususan pembacaan surat yasin yang disertai “tahlil” pada
hitungan tertentu selama tujuh hari sejak kematian, hari ke-40, ke-100,
ke-1000 dan setiap tahun.
8. Potongan-potongan Al-Qur’an dijadikan sebagai jimat yang dibawa
kemana saja oleh pemiliknya sebagai perisai “tolak-balak” atau
penangkis serangan musuh dan unsur jahat lainya.
9. Potongan-potongan Al-Qur’an dijadikan sebagai wirid dalam bilangan
tertentu untuk memperoleh kemuliaan atau keberuntungan dengan
jalan riyadhah, meski terkadang terkontaminasi dengan unsur-unsur
mistik dan magis.
10. Potongan-potongan Al-Qur’an dijadikan sebagai bacaan dalam
menempuh ilmu beladiri, agar memperoleh kekuatan tertentu setelah
mendapat pertolongan yang diyakini datang dari Alah.
11. Potongan-potongan Al-Qur’an dijadikan sebagai bacaan para terapis
untuk menghilangkan ganguan psikologis dan pengaruh buruk lainya
(setan atau jin) dalam praktek ruqyah dan penyembuhan alternatif
lainnya.
12. Potongan-potongan Al-Qur’an dijadikan sebagai dalil dan hujjah oleh
para da’i dalam rangka memantapkan khutbah dan ceramahnya.
13. Potongan-potongan Al-Qur’an dijadikan sebagai justifikasi dan slogan
agar memiliki daya tarik politis, terutama oleh parpol-parpol yang
berasaskan keislaman.
14. Al-Qur’an dijadikan bagian dari sinetron atau film disamping sebagai
bait lagu agar bernuansa religius dan berdaya estetik bagi
pendengarnya.

13
15. Al-Qur’an didokumentaskan dalam bentuk kaset, CD, LCD, DVD,
Harddisk hingga HP, baik visual maupun audio visual yang sarat
dengan muatan hiburan dan seni.15

Oleh karenanya, dari berbagai fenomena living quran diatas dapat


juga dikatakan sebagai “Qur’anisasi” kehidupan, yang artinya memasukan
Al-Qur’an sebagaimana Al-Qur’an tersebut dipahami ke dalam semua
aspek kehidupan manusia sebagai suatu arena untuk memujudnya Al-
Qur’an di bumi. Atau pun berinteraksi dengan alquran merupakan bagian
dari living quran yang menjadi pengalaman tersendiri bagi umat islam,
pengalaman berinteraksi dengan Al-Qur’an banyak menghasilkan
pemahaman dan penghayatan yang kemudian diaplikasikan dalam
kehidupan sehari-hari.16

Dari beberapa praktek interaksi umat islam terhadap Al-Qur’an


masa awal, dapat dipahami jika kemudian berkembang pemahaman di
masyarakat tentang fadhilah atau khasiat serta keuatamaan surat-surat atau
ayat-ayat tertentu sudah menjadi budaya dan mendarah daging di kalangan
masyarakat, yang pada akhirnya akan memproduk mode of conduct (pola
perilaku) tertentu. Pola perilaku ini didasarkan pada asumsi-asumsi mereka
terhadap objek yang dihadapi, yakni Al-Qur’an. Asumsi-asumsi inilah
yang disebut dengan mode of thought (pola berpikir). Bagi pelakunya, cara
interaksi itu lebih bermanfaat (meaningful), dinamis, dan mempengaruhi
sekali dari sisi psikologis si pelaku.

15
M. Mansyur, dkk., Metodologi Penelitian Living Qur’an dan Hadis, (Yogyakarta:
TH. Press, 2007), h. 45-46
16
Muhammad sahiron syamsuddin, “Mengungkap pengalaman muslim berinteraksi
dengan al quran” dalam metode penelitian living quran dan hadist, (Yogyakarta: Teras, 2007),
h. 12

14
Di samping beberapa fungsi tersebut, Al-Qur’an juga tidak jarang
digunakan masyarakat untuk menjadi solusi atas persoalan ekonomi, yaitu
sebagai alat untuk memudahkan datangnya rezeki.
D. Kegunaan Kajian Living Qur’an
Secara akademis, penelitian living Qur’an memiliki beberapa
kegunaan, di antaranya:
1. Mengetahui ayat yang hidup dan beredar dimasyarakat. Hal ini juga
dapat dijadikan sebagai ukuran tentang kesukaan suatu masyarakat
terhadap suatu ayat. Biasanya, ayat yang dihidupkan adalah ayat
favorit. Dari kajian Living Qur’an, seorang pendakwah juga dapat
mengetahui strategi yang efektif dan efisien untuk lebih meningkatkan
kualitas iman dan ketaqwaan masyarakat melalui semangat tradisi yang
diyakini bersumber dari isi kandungan Al-Qur’an.
2. Menganalisis tingkat kemampuan masyarakat dalam mengakses ayat
Al-Qur’an.
3. Merekonstruksi kadar kompetensi masyarakat dalam memahami ayat
Al-Qur’an.
4. Mengungkapkan strategi pengamalan ayat Al-Qur’an serta pola
pikirnya secara nyata.
5. Memahami keragaman pemahaman dan prilaku masyarakat muslim
terhadap Al-Qur’an.
6. Memperluas ruang lingkup keilmuan Al-Qur’an, sehingga bangunan
keilmuan menjadi semakin kokoh.17
Adapun secara praktis kajian living Qur’an memiliki manfaat, di
antaranya adalah:

17
Ahmad ‘Ubaydi Hasbillah, Ilmu Living Qur’an-Hadis: Ontologi, Epistemologi dan
Aksiologi, (Tangerang Selatan: Maktabah Darus-Sunnah, 2019), h. 334

15
1. Menghindari Fitnah (keresahan, keributan, dan keonaran) karna
jika suatu tradisi keagamaan tidak didasarkan kepada dalil yang
sharih sering menimbulkan fitnah di kalangan Sebagian
masyarakat muslim
2. Meluruskan pemahaman yang keliru tentang suatu tradisi sehingga
menjadi bebas dari nilai-nilai syirik, kufur fusuq dan dosa.
3. Memastikan ketiadaan unsur dhalâlah dalam hal tradisi yang baru.
Jika tradisi tersebut merupakan tradisi yang baru, namun memiliki
akar yang kuat dalam Al-Qur’an. Terutama jika yang melakukan
hal baru tersebut adalah orang yang belum memiliki ilmu atau
pengetahuan yang memadai tentangnya. Melalui kajian Living
Qur’an seseorang dapat menjadi tahu dan memiliki ilmu tentang
tradisi baru tersebut.
4. Menjadikan seseorang lebih bijak dalam menyikapi tradisi
keagamaan. Baik pengamal maupun pengamat suatu tradisi
keagamaan, jika memiliki paradigma Living Qur’an yang
memadai, dapat dipastikan akan menjadi lebih arif dalam
menyikapi tradisi dan budaya keagamaan muslim yang bermacam-
macam.
Berdasarkan pandangan-pandangan di atas secara akademis
maupun praktis dapat dirumuskan bahwa manfaat dari kajian Living
Qur’an adalah sebagai berikut:
1. Living Qur’an sebagai kumpulan teori digunakan untuk
memahami dan merespon dunia pemikiran dan juga fenomena
penggunaan Al-Qur’an. Jika seseorang ingin membentuk cara
menghidupkan ayat Al-Qur’an atau ikut mendukung suatu ide
tentang Al-Qur’an maka sudah seharusnya mempelajari
terlebih dahulu teori-teori Living Qur’an.

16
2. Living Qur’an sebagai pandangan hidup. Mempelajari Living
Qur’an dalam konteks ini adalah berfungsi sebagai petunjuk
dalam menjalani kehidupan beragama secara dengan
mengedepankan aspek historis.
3. Living Qur’an sebagai metodologi dan pendekatan
memecahkan masalah terutama dalam masalah-masalah sosial
keagamaan.
4. Living Qur’an sebagai langkah awal untuk menghidupkan
nilai-nilai Al-Qur’an dalam kehidupan sehari-hari dengan cara
yang arif terhadap budaya yang telah lebih dahulu ada di suatu
daerah. Dengan Living Qur’an dapat menunjukkan kearifan Al-
Qur’an dalam berinteraksi dan bersinergi dengan kearifan lokal.
Keempat asas manfaat inilah yang nantinya akan menjadi
penunjuk arah dan tujuan kita dalam melakukan penelitian
Living Qur’an.

17
BAB III
KESIMPULAN

Al-Qur’an adalah kitab suci yang tidak hanya dapat dikaji dalam
teksnya saja (mâ fî Al-Qur’an) namun juga Al-Qur’an dapat dikaji dari
sekeliling Al-Qur’an (mâ haula Al-Qur’an). Wilayah-wilayah kajian living
Qur’an terbagi menjadi empat. yaitu aspek oral, aspek aural, aspek tulisan dan
aspek prilaku.

Studi living Qur’an dapat diartikan sebagai kajian tentang “berbagai


peristiwa sosial terkait dengan kehadiran Al-Qur’an atau keberadaan Al-
Qur’an disebuah komunitas muslim tertentu. Dengan pengertian seperti ini,
maka dalam bentuknya yang paling sederhana kajian living Qur’an tersebut
pada dasarnya sudah sama tuanya dengan Al-Qur’an itu sendiri.

18
DAFTAR PUSTAKA

Hamam Faizin, “Al-Qur’an sebagai Fenomena yang Hidup (Kajian atas


Pemikiran Para Sarjana Al-Qur’an), Makalah dalam International
Seminar dan Qur’anic Confrence II, 2012.
Hasbillah, Ahmad ‘Ubaydi. Ilmu Living Qur’an-Hadis: Ontologi,
Epistemologi dan Aksiologi. Tangerang Selatan: Maktabah Darus-
Sunnah, 2019.
Heddy Shri Ahimsa Putra. Dalam jurnal Walisongo, The Living Qur’an:
Beberapa Perspektif Antropolgi. Vol. 20, No. 1, Mei 2012.
Luqman Abdul Jabbar, Ruqyah Syar'iyyah: Fenomena Muslim Indonesia
Dalam Memfungsikan Al-Qur’an (Studi Kasus Fenomena Ruqyah
Syar'iyyah Pada Umat Islam Di Kota Yogyakarta). Yogyakarta: Tesis
UIN Sunan Kaljaga, 2006.
Mansyur, M. dkk. Metodologi Penelitian Living Qur’an dan Hadis,
Yogyakarta TH Press, 2007.
Putra, Afriandi dan Muhammad Yasir. Dalam jurnal Kajian Al-Qur’an di
Indonesia (Dari studi teks ke living Qur’an), Majalah Ilmu Pengetahuan
dan Pemikiran Keagamaan Tajdid, Vol. 21, No.2, Desember 2018.
Setiawan, Muhammad Nur Kholis. Al-Qur’an Kitab Sastra Terbesar,
Yogyakarta: elsaq Press, 2006.
Yusuf, Muhammad. “Pendekatan Sosiologi dalam Penelitian Living Qur’an,
dalam Sahiron Syamsuddin (ed.), Metode Penelitian Living Qur’an dan
Hadis. Yogyakarta: Teras, 2007.
Zaini, Muyassarah. The Living Qur’an: Upaya Penanaman Nilai-nilai Al-
Qur’an dalam Kehidupan Santri. Depok: Al-Hikam Press, 2020.

19

Anda mungkin juga menyukai