net/publication/343136209
CITATIONS READS
0 757
1 author:
SEE PROFILE
Some of the authors of this publication are also working on these related projects:
All content following this page was uploaded by Achmad Yafik Mursyid on 22 July 2020.
SKRIPSI
Diajukan kepada
Fakultas Ushuluddin dan Pemikiran Islam
Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta
Untuk Memenuhi Sebagian Syarat Memperoleh Gelar
Sarjana Theologi Islam (S.Th.I)
Disusun oleh:
AchmadYafikMursyid
NIM. 09532003
xi
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
yang kajiannya terfokus pada ma> fi> al-Qur’a>n (studi internal teks) ataupun kajian
terhadap ma> haula al-Qur’a>n (studi eksternal teks) tidak pernah berhenti dan
terus berkembang dari zaman ke zaman. Hal ini dapat dimengerti karena al-
dan ajaran universal, sehingga untuk dapat dijadikan pedoman hidup umat
manusia di segala penjuru dunia yang senantiasa mengalami perubahan, maka al-
Qur‟an perlu dikaji dan terus dikaji ulang dengan bermacam-macam metode dan
pendekatan.1
Fungsi dan nilai-nilai ideal al-Qur‟an tersebut dalam realitasnya tidak begitu
saja mudah untuk ditangkap serta diterapkan, bahkan pada zaman Nabi
sahabat dengan saling menjelaskan antar para sahabat untuk bisa memahami ayat
1
Hal tersebut senada dengan ungkapan Muqa>til Ibnu Sulaima>n, ia berpendapat bahwa orang
belum bisa dikatakan ‚menguasai ‚ al-Qur’an sebelum ia betul-betul megetahui berbagai dimensi
yang dimiliki al-Qur’an. Lihat Muqa>til Ibnu Sulaima>n, al-Asyba>h wa al-Naz}a>ir fi> al-Qur’a>n al-Kari>m,
ed. Mahmud Shihatah, (Kairo: al-Hay’a al-Mis}riyyah al-‘Amma li al-Kita>b 1974), hlm.86
1
2
yang tidak difahami atau samar artinya 2 , maka mereka bertanya kepada Nabi
maupun wahyu yang terucap sangat bervariasi. Hal ini dapat dilihat karena
sendiri akan tetapi juga mempertegas asumsi bahwa al-Qur‟an diresepsi atau
diterima sebagai respons atas realitas yang dihadapi Nabi Muhammad SAW. dan
masyarakat Arab pada masa itu. Oleh karena itu hal tersebut memunculkan
2
Sebagaimana penjelasan Nabi atas pertanyaan Sahabat tentang turunnya QS: al-An’am:82.
Para Sahabat bertanya kepada Nabi Muhammad : ‚ Siapa diantara kami yang tidak mendhalimi diri
sendiri wahai Rasulullah‛ maka kemudian Nabi Muhammad menafsirkan kata z}ulm tersebut dengan
makna syirk. Hal tersebut dijelaskan oleh Jala>l al-Di>n Abdurahman al-S{uyu>t{i dalam al-Itqa>n fi> Ulu>m
al-Qur’a>n atau lihat penafsiran terhadap ayat tersebut oleh Abu Ja'far Muhammad ibn Jari>r at-T}abari>,
Ja>mi’ al-Baya>n fi> Tafsi>r al-Qur’a>n, (Maktabah Buhu>s wa al-Dira>sah al-‘Arabiyah wa al-Isla>miyah,
2001), hlm.638
3
Tentang fungsi Nabi yang menjelaskan al-Qur’an terdapat sebuah pertanyaan yang
melahirkan perdebatan panjang di antara kubu Ibnu Taimiyah dan al-S{uyu>ti{ . Ibnu Taimiyah
berpendapat bahwa Rasulullah menjelaskan semua makna yang ada dalam al-Qur’an, sedangkan al-
S{uyu>ti{ mereka berpendapat bahwa Rasul itu tidak menjelaskan semua makna dan lafadz al-Qur’an.
Mengenai perbedaan pendapat ini, Muhammad Husein al-Z|ahabi dalam bukunya al-Tafsi>r wa al-
Mufassiru>n memberikan solusi bahwa Rasulullah menjelaskan sebagian besar makna ayat-ayat al-
Qur’an, tapi tidak semuanya karena ada bagian dari al-Qur’an yang hanya Allah yang mengetahuinya,
seperti hakikat ruh, hari kiamat, dan sebagainya, lihat Muhammad Husein al-Z|ahabi, al-Tafsi>r wa al-
Mufassiru>n, (Maktabah Mash’ab Ibn ‘Umar al-Isla>miyah, 2004), jilid 1, hlm.39-43
4
Reaksi terhadap al-Qur’an tersebut dapat membangkitkan energi kejiwaan pembaca dan
pendengarnya. Lihat Aksin Wijaya, Arah Baru Studi Ulum al-Qur’an: Memburu Pesan Tuhan di Balik
Fenomena Budaya, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2009), hlm.96
3
Qur‟an yang beragam merupakan hasil dari kuatnya pengaruh psikologi al-
Qur‟an dalam kehidupan keseharian pembaca.6 Hal tersebut dapat dilihat dalam
beberapa aktifitas fisik yang dilakukan oleh para sufi seperti menangis, menjerit,
haru, pingsan. Hal ini salah satunya disebabkan oleh kentalnya ajaran sufi agar
dalam kehidupan sehari-hari guna mendekatkan diri pada Allah SWT. melalui
pembacaan mereka terhadap al-Qur‟an selalu dihiasi dengan suara dan irama
yang merdu.
Pada mulanya Islam tidak memerlukan sesuatu bentuk kesenian pada praktik
pandangan hidup yang khas. Karena pada dasarnya antara kesenian dan
Qur‟an yang memunculkan beragam reaksi, hal tersebut sangat wajar jika dilihat
5
Navid Kermani hidup sebagai penulis di Cologne. Dia adalah seorang warga negara Iran dan
Jerman , lahir pada tahun 1967 di Jerman untuk sebuah keluarga asal Iran. Dia adalah salah satu tokoh
yang paling menarik di kalangan intelektual muda Muslim yang lahir dan dibesarkan di Barat. Lihat
profil di website pribadi www.navidkermani.de
6
Navid Kermani, ‚Recitation and Aesthetic Reception‛ (ed) Jane Dammen McAuliffe, The
Cambridge Companion to The Qur’an, (Cambridge University Press, 2004), hlm.124
7
Hal tersebut sangat sesuai dengan yang dikatakan Ibnu Khaldun ‚Musik muncul dalam
masyarakat bersamaan dengan munculnya peradaban dan ia hilang dari tengah masyarakat ketika
peradaban mundur‛ lihat Ibnu Khaldun, Muqaddimah, (Maktabah Buhu>s wa al-Dira>sah al-‘Arabiyah
wa al-Islami>yah 1982), hlm.321
4
dari karakteristik teks serta aspek-aspek ritmik dan musikalik yang terkandung di
dalam al-Qur‟an.8
memberikan efek yang sangat kuat pada dimensi estetis penerimaan al-Qur‟an.
Hal tersebut dapat kita nilai dari fakta-fakta para pembaca awal al-Qur‟an yang
estetika dan kesempurnaan rohani bagi umat yang beriman, dan pada giliranya
kaum muslim.
penerimaan al-Qur‟an dengan tujuan estetis lazim disebut Resepsi Estetis. Hal
tersebut dapat dilihat dan dipelajari dengan “Teori Resepsi”, yaitu bagaimana al-
bergaul dengan kitab sucinya. Estetis di sini bukan merupakan konsep atau ajaran
8
Al-Qur’an memberi kemungkinan bagi nyanyian, karena banyak sekali bacaannya/tulisannya
yang terdiri dari kata/kalimat yang dapat disebut sebagai ‚prosa bersajak‛ yang pastinya mengandung
asonansi, sedangkan asonansi (persesuaian kata atau bunyi) menyebabkan suara menjadi bunyi yang
teratur ketika ‚membaca‛ lihat Henry George Farmer, The Influence of Music from Arabic Source.
(Leiden. Leiden University Press. 1965), hlm.68. Begitu juga Ibnu Qutaibah menceritakan bahwa
pembaca al-Qur’an paling awal yang mengunakan melodi adalah ‘Abdullah bin Abu> Bakar. Lihat
Ibnu Qutaibah, al-Ma’a>rif, (Bairut, Maktabah Muas|irah, 1970), hlm.232
5
proses penerimaan dengan mata maupun telinga, pengalaman seni, serta cita rasa
pijakan bahwa al-Qur‟an memang menjadi inspirator atau setidaknya faktor yang
dengan keyakinan bahwa semua agama memiliki unsur estetik, maka hal tersebut
menunjukan adanya hubungan yang erat antara al-Qur‟an dengan generasi awal
penerimaannya dan antara seni dan agama, wahyu dan puisi pengalaman estetik
oleh Ibnu Isha>q, suatu ketika al-T{ufail, seorang sastrawan terkemuka bangsa
Arab dari Bani Daws berkunjung ke Makkah, karena mendengar berita bahwa
ada seorang “ahli sihir” bernama Muhammad SAW.. Ketika al- T{ufail berada di
pikirannya berubah untuk tidak lagi percaya dengan berita-berita orang Quraisy
Makkah yang menganggap Muhammad SAW. adalah “ahli sihir”. Bahkan ketika
9
Muhammad Nur Kholis Setiawan, Para Pendengar Firman Tuhan;Telaah Terhadap Efek
Estetik al-Qur’an, Jurnal al-Jamiah, Vol 39 nomor 1 Januari-Juni 2001, hlm.246
10
Muhammad Nur Kholis Setiawan, al-Qur’an Kitab Sastra Terbesar, (Yogyakarta: ELSAQ
Press, 2005), hlm.71
6
dia, “saya adalah empu sastra yang ahli menilai mana gubahan sastra yang indah
dan mana yang tidak. Tetapi mendengar bacaan Muhammad SAW., terus terang
saya belum pernah mendengar untaian kalimat seindah ini”. Tidak lama
kemudian al-Tufail memeluk agama yang dibawa Nabi Muhammad SAW. yaitu
agama Islam.11
resepsi estetis dalam bingkai sejarah penerimaan al-Qur‟an adalah yang telah
dilakukan oleh seorang Islamis Iran kelahiran Jerman yang bernama Navid
Das Konzept wahy in Nasr Abu Zayd Mafhum al-Nass (Wahyu Sebagai
Komunikasi; Telaah atas Konsep Abu Zaid tentang Wahyu dalam Mafhu>m al-
Nas}, terbit 1996), kemudian dilanjutkan dengan kajian atas sejarah penerimaan
1998. Karya-karya lainnya banyak berupa artikel di beberapa jurnal studi Islam
international.12
11
Muhammad Nur Kholis Setiawan, al-Qur’an Kitab Sastra, hlm. 74
12
Disertasi terkait dengan sejarah penerimaan al-Qur’an yang karang oleh Navid Kermani
selanjutnya dijadikan buku dengan judul Gott ist schon; Das Aesthetische Erlebens des Koran. Lihat
Muhammad Nur Kholis Setiawan, ‚Para Pendengar Firman Tuhan;Telaah Terhadap Efek Estetik al-
Qur’an‛, Jurnal al-Jamiah, Vol 39 nomor 1 Januari-Juni 2001, hlm.243
7
Kajian Kermani atas resepsi al-Qur‟an ini dilatar belakangi oleh kajian
literatur sirah terkait aktivitas resepsi estetis terhadap al-Qur‟an oleh para
berkembang pesat di dunia Barat pada periode modern ini, diantaraya adalah
teori resepsi Jauss 14 dan teori memori kultural yang dikenalkan oleh Jan
teori resepsi Jauss karena teori tersebut mengedepankan efek dan estetika
tanggapan, dua aspek tersebut adalah kunci dalam pembicaraan mengenai peran
13
Kajian Kermani dilandasi oleh beberapa faktor. Landasan tersebut di antaranya: Pertama,
sejarah resepsi al-Qur’an belum pernah tersentuh oleh para peneliti barat. Kedua, dalam kenyataannya
resepsi al-Qur’an merupakan bagian yang teramat penting dalam sejarah kehidupan umat Islam.
Ketiga, dalam literatur sirah banyak ditemukan data tentang aktivitas ‚baca‛ dan penghayatan al-
Qur’an generasi awal islam. Lihat Muhammad Nur Kholis Setiawan, al-Qur’an Kitab Sastra
Terbesar, hlm.71
14
Beliau memiliki nama lengkap Hans Robert Jauss, merupakan salah satu tokoh kritik sastra
Jerman yang cukup berpengaruh. Lihat juga Hans Robet Jauss, Toward an Aesthetic of Reception
,(Minniepolis: University of Minnisota Press, 1970), hlm.5
15
Jan Assmann adalah ahli linguistik yang sangat produktif mempopulerkan kritik-kritik
sastra modern. Lihat Muhammad Nur Kholis Setiawan, ‚Para Pendengar Firman Tuhan;Telaah
Terhadap Efek Estetik al-Qur’an‛. Jurnal al-Jamiah, Vol 39 number 1 januari-juni 2001, hlm.244
8
dari segi sejarah estetik. Sedangkan teori memori kultural digunakan untuk
generasi awal Islam, kedua, komunitas Sufi. Kedua kasus tersebut merupakan
ritmik musikalik sebagai simbol estetika. Ketiga dimensi seperti apakah yang
dimiliki pembaca sehingga muncul fenomena dan reaksi yang beragam dalam
proses resepsi al-Qur‟an. Jelas sekali bahwa resepsi al-Qur‟an bukan perkara
yang memiliki komposisi ritmik dan musikalik yang indah di satu sisi dan
psikologi al-Qur‟an di sisi lain, kiranya jelas bukanlah komposisi yang biasa-
biasa saja. Penulis mengharapkan kajian tersebut dapat menjadi pondasi awal
dalam melakukan riset terkait dengan resepsi estetis yang terjadi dan berkembang
B. Rumusan Masalah
Penulis membatasi masalah yang dikaji pada konsep resepsi estetis. Resepsi
adalah penerimaan atas sebuah teks sastra, yang dalam penelitian ini adalah al-
Qur‟an dan efek yang dihasilkan. Adapun kajian tentang efek sebuah teks sastra,
proses penerimaan dengan mata maupun telinga, pengalaman seni, serta cita rasa
akan sebuah obyek atau penampakan. Oleh sebab itu, yang dimaksud pengunaan
kata estetis bukan merupakan konsep atau ajaran keindahan atau yang sering
terhadap al-Qur‟an, maka kajian ini juga dibatasi hanya pada term aspek-aspek
ritmik dan musikalik al-Qur‟an beserta reaksi-reaksi yang ditimbulkan dari term
tersebut. Adapun masalah yang nantinya akan dicoba dijawab dalam penelitian
musikalik al-Qur‟an ?
1. Tujuan Penelitian
2. Kegunaan penelitian
a. Penelitian ini diharapkan dapat menjadi acuan baru dalam hal metode dan
b. Secara teoritis diharapkan hasil dari kajian ini dapat menjadi salah satu
D. Telaah Pustaka
dalam 3 kelompok literatur (1) kajian atas Resepsi Estetis terhadap al-Qur‟an (2)
telaah pemikiran Navid Kermani (3) telaah atas kajian musikalitas al-Qur‟an.
11
Ketiga kelompok tersebut dapat didapatkan dari berbagai sumber data baik
Suci dalam Kehidupan Masa Kini. Buku ini mengupas berbagai permasalahan
poin penting dalam buku tersebut adalah konsep penjagaan al-Qur‟an yang
dengan kesadaran diri berusaha untuk menjaganya. Dalam hal ini melibatkan
mengkritik umat muslim dewasa ini karena sikap mereka serta respons terhadap
Begitu juga buku yang berjudul Seluk Beluk al-Qur’an karangan Drs. Zainal
17
Muhammad al-Ghaza>li, terj. Maskur Hakim dan Ubaidillah, Berdialog dengan al-Qur’an
‚Memahami Pesan Suci dalam Kehidupan Masa Kini‛, (Bandung:Mizan, 1997), hlm.12-13
12
bahwa terdapat efek estetik dari membaca al-Qur‟an dengan reaksi yang
bermacam-macam.18
Selanjutnya dalam buku yang ditulis oleh Sayyed Hossein Nasr yang
berjudul Spiritualitas dan Seni Islam beliau membahas secara mendalam tentang
seni yang terdapat dalam sejarah umat Islam yang mana seni Islam tersebut
memainkan fungsi yang cukup sentral dan sangat penting dalam kehidupan
spiritual dalam diri seorang muslim dengan keragaman respons dan reaksi yang
dengan konsep “Dunia Imajinasi” yang memainkan peran yang urgen atas
Ismail Raji al-Faruqi dalam bukunya yang berjudul Seni Tauhid: Esensi dan
mengenai realitas ultima saja, melainkan al-Qur‟an juga selalu berdialog dengan
18
Zainal Abidin S. Seluk-Beluk al-Qur’an, (Jakarta: Rinaka Cipta, 1992), hlm.152-163
19
Sayyed Hossein Nas{r, Spiritualitas dan Seni Islam, terj. Drs. Sutejo, (Bandung: Mizan,
1993), hlm.13
13
tentang estetika dan spiritualitas dalam Islam yang disertai dengan uraian tentang
Skripsi yang ditulis oleh Muhammad Mukhtar, dengan judul Resepsi Santri
Qur’an. Sesuai dengan judul dari skripsi ini penulisnya ingin mengupas bahwa
20
Ismail Raji al-Faruqi, Seni Tauhid: Esensi dan Ekspresi Estetik Islam, terj. Hartono
Hadikusumo. (Yogyakarta: Yayasan Bentang Budaya, 1999), hlm.13
21
Ahmad Baidhowi, ‚Resepsi Estetis terhadap al-Qur’an‛ disampaikan dalam Seminar Living
al-Qur’an ; al-Qur’an dalam Fenomena Sosial dan Budaya di Yogyakarta 8 - 9 Agustus 2006
14
Tahfidzul Qur‟an Pondok Pesantren Wahid Hasyim. Fokus pada fenomena ritual
Kursi. Sebagai perilaku konkrit atas pemahaman dan pemaknaan santri terhadap
al-Qur‟an, dari hasil pergumulan dengan situasi sosial budaya baik sebelum
Hasyim.
membahas sosok Navid Kermani akan tetapi dari penelusuran penulis ditemukan
Artikel yang ditulis oleh William A. Graham dengan judul Gott ist Schön.
Das ästhetische Erleben des Koran,yang sebagai book review atas pemikiran
generasi awal Islam yang serba relegius ditambah dengan penghayatan mereka
terhadap kitab suci menghasilkan berbagai macam bentuk reaksi terhadap al-
yag dilakukan Navid Kermani kaya atas wawasan baru. 22 Serupa dengan hal
22
(Book Review) Navid Kermani, ‚Gott ist Schön. Das asthetische Erleben des Koran‛, in
Jerusalem Studies in Arabic and Islam Vol 24 tahun 2000, hlm.529-534
15
tersebut Muhammad Nur Kholis Setiawan menulis sebuah artikel yag berjudul
Penulis asal Mesir yang bernama Labib as-Said menulis sebuah karya yang
menggunakan syair Arab sehingga buku ini lebih mendalami masalah aspek-
Berbeda dengan karya dengan judul The Art of Reciting the Qur’an yang
ditulis oleh Kristina Nelson, buku ini lebih mendalami sisi praktis al-Qur‟an
sebagai sebuah bacaan yang memiliki unsur musikal, sehingga kajian dalam buku
ini terlihat seperti kajian lapangan karena banyak data-data yang diambil
langsung dari praktik dan fenomena masyarakat Mesir dalam membaca al-
23
Muhammad Nur Kholis Setiawan, Para Pendengar Firman Tuhan;Telaah Terhadap Efek
Estetik al-Qur’an, Jurnal Al-Jamiah, Vol 39 nomor 1 januari-juni 2001, hal.244
24
Labib al-Said, al-Jam’u as-S}auti al-Awwal Li al-Qur’a>n al-Kari>m aw al-Mus}h}af al-Murattal
Bawa>’isuhu wa Mukhat{atuhu. (Kairo: da>r al-Katib al-‘Araby Li at-T>}aba’ah wa al-Nasyr. T.t.), hlm.5
16
Qur‟an.25 Tidak jauh berbeda dengan apa yang pernah dilakukan oleh Kristina
Nelson, buku yang berjudul Women, the Recited Qur’an, and Islamic Music in
Skripsi yang ditulis oleh Abdul Haris Akbar dengan judul “Musikalitas al-
Sebagaimana yang tertera dalam judulnya, karya ini lebih menfokuskan pada
kalimat serta struktur kata, karya ini sangat berbeda dengan penelitian yang
penulis lakukan karena karya ini lebih terfokus pada ma> fi al-Qur’a>n sedangkan
penelitian yang penulis lakukan lebih terfokus pada ma> haula al-Qur’a>n yaitu
dinilai masih sangat minim pembahasanya serta belum sampai pada proyek
25
Kristina Nelson, The Art of Reciting the Qur’an, (New York: The American in Cairo Press,
2001), hlm.2
26
Anne K. Rasmussen, Women, the Recited Qur’an, and Islamic Music in Indonesia, (London:
University of California Press, 2010), hlm.10
27
Abdul Haris Akbar, ‚Musikalitas al-Qur’an : kajian unsur keindahan bunyi Internal dan
Ekternal al-Qur’an‛, Skripsi Fakultas Ushuluddin, Studi Agama dan Pemikiran Islam, UIN Sunan
Kalijaga Yogyakarta 2009, hlm.35
17
dalam artikel. Penulis berupaya untuk meneliti lebih dalam terkait dengan aspek
yang menjurus ke arah kajian tersebut akan tetapi data yang diperoleh masih
yang ada sebagai rintisan awal dengan pengembangan analisa yang dilakukan
oleh penulis.
E. Metode Penelitian
dilakukan dengan menghimpun data dari berbagai literatur. Literatur yang diteliti
gagasan dan hal lain yang dapat dipakai untuk menganalisis memecahkan
1. Jenis Penelitian
Sumber data yang dipakai meliputi sumber primer dan sumber sekunder.
kajian al-Qur‟an yang membahas aspek-aspek ritmik dan musikalik serta efek
18
dijadikan buku dengan judul Gott ist schon; Das Aesthetische Erlebens des
beberapa artikel dalam jurnal yang berjudul The Aesthetic Reception of The
and Aesthetic Reception (ed) Jane Dammen McAuliffe, dalam jurnal The
lain yang dianggap representatif dan relevan dengan topik kajian ini, seperti:
Nelson, The Art of Reciting the Qur’an, Anne K. Rasmussen. Women, the
Recited Qur’an, and Islamic Music in Indonesia dan berbagai literatur tentang
3. Analisis Data
deduktif, induktif, komparasi yaitu dengan melakukan analisa data dari karya-
karya Navid Kermani dan tulisan lain sebagai proyek induktif, dan untuk
resepsi estetis Navid Kermani dengan pemikiran orang lain yang setema
28
Lexy J. Moleong, Metodologi Penelitian Kualitatif edisi Revisi, (Bandung: Rosdakarya,
2005), hlm.330
20
dari sudut berbeda. Dengan kata lain, proses analisis dilakukan demi mencapai
F. Sistematika Pembahasan
Sistematika pembahasan skripsi ini dirunut dalam lima bab dan masing-
masing bab tersebut dipaparkan ke dalam beberapa sub bab. Adapun bab-bab
penelitian, yang terdiri dari latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan dan
pembahasan. Bab ini merupakan pengantar dari pembahasan yang akan dikaji,
sekaligus sebagai kerangka teori pembahasan yang berisi metode penelitian yang
akan digunakan.
Bab III mejelaskan tentang sosok Navid Kermani, baik dibidik dari sketsa
historis tokoh maupun landasan teoritisnya terkait dengan konsep resepsi estetis
al-Qur‟an, serta bangunan teori resepsi estetis sebagai pisau analisis dalam
membedah efek estetik pembacaan musikalik al-Qur‟an yang `terdiri dari teori
Bab IV dirancang untuk menganalisis aplikasi serta implikasi dari teori efek
perspektif terhadap al-Qur‟an seperti masyarakat Arab generasi awal Islam, dan
komunitas Sufi.
Bab V merupakan penutup dari penelitian ini yang berisi kesimpulan, dan
oleh penulis dari bab dua sampai bab empat. Diharapkan dapat memberikan
kesimpulan yang komprehensif, dan dapat memberikan kritik serta saran yang
memberikan manfaat yang signifikan bagi wacana ekspresi seni dalam Islam.
ekspresi seni dalam Islam mempengaruhi dan menjadi tiang penyangga peradaban
Muhammad SAW. hingga zaman kontemporer. Salah satu ekspresi seni dalam
Islam yang dari waktu ke waktu terus mengalami perkembangan adalah seni
musik.
Seni musik tidak semata-mata ekspresi seni dalam keindahan suara, lebih
dari itu, musik merupakan bagian terpenting dari ungkapan kebertuhanan yang
1
Para ulama’ berselisih pendapat tentang hukum menyanyi dan alat musik. Menurut mazhab
Jumhur adalah haram, sedangkan Maz}hab Ahl al-Madīnah, al-D}āhiriyah dan Jamā‘ah Sūfiyah
memperbolehkannya. Adapun Abū Mansūr Al-Baghdādī (dari Maz}hab asy-Syāfi‘ī) menyatakan:
Abdullah bin Ja‘far berpendapat bahwa menyanyi dan musik itu tidak menjadi masalah. Dia sendiri
pernah menciptakan sebuah lagu untuk dinyanyikan para pelayan (budak) wanita dengan alat musik
seperti rebana. Ini terjadi pada masa Amīrul Mu’minīn Ali bin Abi Thalib r.a. Lihat Imām Asy-
Syaukānī, Nailul Authār, Jilid VIII, ( Bairut, Al-Da'wah Al Islami>yah, `1997), hlm.100-103. Kemudian
Abu Ishak Al-Syirazi dalam kitabnya al-Muhaz}z}ab mengatakan bahwa diharamkan menggunakan
alat-alat permainan yang membangkitkan hawa. Lihat Abu Isha>q Al-Syirazi, al-Muhaz}z}ab, Jilid
II,(Kairo: Maktabah al-Shafa, 2000>), hlm.237
22
23
terhadap ekpresi seni maka perlu dijelaskan aspek-aspek ritmik musikalik yang
resepsi estetis yang berhubungan dengan model-model ritmik dan musikalik al-
Qur‟an.
sebenarnya dari musik masih sangat kurang. Musik masih banyak diartikan
konsumerisme dan profesi. Musik tidak lagi dipahami sebagai suatu ekpresi estetis
secara ilmiah mempelajari teori musik dan musikologi3 melalui pendidikan formal,
misalnya: kursus musik, sekolah musik dan perguruan tinggi jurusan musik.4 Oleh
karena itu sebelum lebih lanjut membahas masalah di atas, penulis perlu
2
Dieter Mack, Musik Kontemporer dan Persoalan Interkultural, (Yogyakarta: Arti Line,
20012002), hlm.80
3
Musikologi adalah ilmu musik yaitu penyelidikan tentang musik, alat-alat musik serta proses
dan sejarah perkembangan musik. Lihat Pius A. Partanto dan M. Dahlan al-Barry, Kamus Ilmiah
Populer, (Surabaya: Arloka,2001), hlm.501
4
Dieter Mack, Art (music) Education in Indonesia : a Great Potential but a Dilemmatic
Situation, Jurnal EDUCATIONIST vol I no. 2/Juli 2007, hlm.94
24
sangat sederhana, yaitu bunyi-bunyian. Sebagian dari ahli bahasa lain memiliki
pendapat yang lebih luas, bahwa musik adalah komposisi lagu, nyanyian,
beberapa istilah seperti gina>' (jama’, aga>ni) (غناء-)أغاني, iqa>’, ranin5, sedang musik
disebut mu>si>qi> ()موسيقي. Tapi, tidak jarang dua kata itu disebut terpisah dengan
suara-suara yang memiliki properti-properti seperti pitch, timbre, tone dan rhythm
dan terorganisasi antara satu sama lain. Komunikatif dalam konteks berarti musik
mengkomunikasikan arti. Seperti halnya yang dikatakan oleh para ahli bahasa
5
Atabik Ali, Kamus Inggris Indonesia Arab (Yogyakarta: Multi Karya Grafika, 2003), hlm.
832
6
Hans Wehr. Arabic-English Dictionary:the Hans Wehr Dictionary of Modern Written Arabic.
Ed. J M. Cowan. (Germany, Spoken Language Systems, 1977), hlm.638
7
E.C Carterette dan R. Kedall. Comparativ Music Perception and Cognition. Ed D. Deutsch,
The Psychology of Music 2 (San Diego: Academia Press. 1999), hlm.726
8
Jean-Louis Michon, Musik dan Tarian Suci dalam Islam. Ed. Seyyed Hossein Nasr,
Ensiklopedi Tematis Spiritualitas Islam Manifestasi (Bandung, Penerbit Mizan, 2003), hlm.603
25
profesor musik dari Queens College of the City University of New York antara
lain :9
1. Musical line adalah lagu, atau pergantian nada-nada yang dirasakan akal
sebagai sesuatu yang ada (entity), lagu yang ada dalam musik disebut roh
musik.
2. Musical space adalah harmoni. Harmoni itu terletak pada nada-nada yang serasi
seperti oktaf adalah 2:1, fifth adalah 3:2, atau fourth adalah 4:3. Hubungan ini
pada perpindahan dan hubungan paduan nada yang ada pada lagu.
3. Musical time adalah ritme yang terdiri dari ketentuan perpindahan musik dalam
pembentukan lagu, serta berfungsi mengontrol jarak antara nada satu dengan
4. Musical pace adalah tempo adalah ketentuan dalam kecepatan sebuah musik.
5. Musical color adalah tembre (warna nada). Nada yang sama akan menghasilkan
suara yang berbeda ketika nada tersebut disuarakan melalui terompet atau biola.
Perbedaan ini terletak pada sifat warna nada atau timbre yang dimiliki oleh
9
Josep Machlis, The Enjoyment of Music. (New York: W.W. Norton Company, 1955), hlm.
275
26
Adapun suara, menurut Ibnu Sina11, adalah gelombang udara (al-h}ara>kah al-hawa>).
Karena itu tidak salah jika para filosof klasik seperti Pythagoras, Plato menyatakan
bahwa gerakan planet menghasilkan musik samawi yang indah,12 sehingga pada
seseorang.
Bahasa Indonesia adalah kata benda turunan dari kata sifat musik yaitu musikal
kata ini berarti hal atau sesuatu tentang atau bisa juga berarti kualitas atau keadaan
dari sesuatu yang bersifat musik.13 Dilihat dari asal-usul kata sebenarnya
10
Dalam menjelaskan unsur-unsur pokok yang terdapat dalam musik, para ahli berbeda
pendapat dalam memberikan penjelasan. Ikhwan al-Shafa, misalnya menyatakan bahwa musik adalah
suara yang mengandung lagu (lah}n), nada (nag>m), cengkok (iqa>’at), penjelasan lebih panjang tentang
musik dalam golongan sufi dapat dilihat di tulisan Abdul Muhaya, Bersufi Melalui Musik:Sebuah
Pendekatan Musik Sufi oleh Ahmad Al-Ghazali, (Yogyakarta: Gama Media, 2003 ), hlm.28
11
Nama lengkap Ibnu Sina adalah Abu Ali Husain ibn Abdillah ibn Sina. Ia lahir pada tahun
980 M di Asfahan, suatu tempat dekat Bukhara. Di Bukhara ia dibesarkan serta belajar falsafah
kedokteran dan ilmu-ilmu Agama Islam. Ketika berumur sepuluh tahun ia telah banyak mempelajari
Agama Islam dan menghafal al-Qur’an seluruhnya. Lihat Henry Corbin, History of Islamic
Philosophy, (London and New York in Association with Islamic Publication for The Ismaili Studies,
2001), hlm.167
12
Abdul Muhaya, Bersufi Melalui Musik, hlm.29
13
Tim Pustaka Phoenix, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Edisi ketiga, (Jakarta: Pustaka
Phoenix, 2007), hlm.570
27
state of being musical” dan kata musikal sendiri berarti “sounding pleasant like
segala sesuatu yang berhubungan dengan musik. Dalam hal ini mencakup dua
aspek yaitu musik dalam arti sempit dan musik dalam arti luas. Musik dalam arti
sempit yaitu bunyi-bunyian yang mencakup nada itu sendiri dan irama. Sedangkan
musik dalam arti luas adalah segala sesuatu yang berhubungan dengan konsep
pemikiran dan ingatan musik, komposisi nada dan irama, penghayatan musik,
bakat, kemampuan dan sikap yang bersifat timbal balik terhadap musik itu sendiri.
Kajian dalam tulisan ini merupakan rintisan awal untuk melihat model-
model ritmik musikalik dalam al-Qur‟an. Tulisan ini didasarkan pada asumsi
bahwa ada kaitannya antara al-Qur‟an dengan pola puisi yang berkembang di
14
A. Bazouki, The Oxford English Dictionary, Second Edition, (Oxford: Clarendon Press,
2007), hlm.621
15
Dikutip dari skripsi Abdul Haris Akbar , ‚Musikalitas al-Qur’an : kajian unsur keindahan
bunyi Internal dan Ekternal al-Qur’an‛, Skripsi Fakultas Ushuluddin, Studi Agama dan Pemikiran
Islam, UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta 2009, hlm.38
28
masa itu dikarenakan seluruh hasil karya, termasuk al-Qur‟an pada dasarnya
tertentu dalam hal ini adalah situasi kultur sastra masyarakat Arab.
musik dalam Islam memiliki dimensi yang sulit untuk dijelaskan dan terkesan
buntu. Hal tersebut dikarenakan minimnya ulama‟ yang secara konsen meneliti
tentang hal ihwal musik.16 Dalam lintasan sejarah kebudayaan Islam terdapat
dari alam metafisika melalui tersibaknya tabir atau pewahyuan. Teori ini
berpangkal dari pemikiran bahwa musik merupakan bunyi yang dihasilkan oleh
16
Musik termasuk dalam kajian sastra sedangkan dialektika antara al-Qur’an dengan dunia
sastra sebenarnya telah ada pada masa klasik akan tetapi masih dalam tahap pewacanaan belum
merambah aspek praktis, apalagi yang merambah bidang musik sehingga mengalami penurunan
dibandingkan dengan pendidikan musik di barat. Karya sastra tersebut dapat dilihat dari karya-karya
ulama’ klasik. Adapun para sarjana mujahid dan setelahnya yang ambil bagian dalam
mengembangkan cikal bakal tafsir susastra al-Qur’an, antara lain Hasan al-Basri (w. 110/728), Ata’
ibn Abi Rabbah (w. 114/732), Qata>d ah (w. 128/745), al-Suddi al-Kabi>r (w. 128/745). Sementara
generasi setelah Mujahid, di antaranya adalah Ibnu Juraij (w. 150/767), Muqa>til Ibnu Sulaima>n (w.
150/767), Sufya>n al-Tsauri (w. 161/777), Abu Ubayda al-Mus|anna (w. 210/825), dan Yahya ibn Ziya>d
al-Farra’ (w. 207/822). Penjelasan lebih rinci dari setiap tokoh dapat dilihat di Muhammad Nur
Kholis Setiawan, al-Qur’an Kitab Sastra Terbesar, (Yogyakarta: ELSAQ Press, 2005), hlm.138-139
29
gerakan jagat raya yang mana gerakan-gerakan itu menimbulkan suara yang
mencium, mendengar, dan berjalan. Pendapat ini dapat kita lihat, misalnya pada
pemikiran al-Farābi. Menurutnya musik itu muncul dari tabiat manusia dalam
seni suara dan sekaligus memiliki dimensi magis, ritualik, dan memiliki pertalian
yang kuat dengan agama, sedangkan bagi pengikut madzhab naturalism musik
adalah bagian dari budaya manusia karena tumbuh dan berkembang bersama. Bagi
kelompok pertama musik dianggap sebagai sesuatu yang sakral dan bagi kelompok
Dimensi musikalik dalam al-Qur‟an yang dibahas dalam bab ini adalah
(harmonis) seperti musik lazim disebut dimensi musikalik al-Qur‟an, akan tetapi
17
Abdul Muhaya, Bersufi Melalui Musik, hlm.23
18
Ibid, hlm.24
30
tentu saja bukan berarti al-Qur‟an adalah musik, melainkan menjelaskan bahwa
dibaca yang dapat mempengaruhi perubahan fisik, mental serta spritual seseorang
sebagai pendengarnya. Penelitian ini tidak bisa dilepaskan dari akar budaya
masyarakat Arab sebagai penerima awal wahyu, hal itu disebabkan dimensi
musikalik al-Qur‟an sangat ada kaitannya dengan kultur sastra bangsa Arab.
dalam hal ini adalah bahasa Arab, tidak dapat dilepaskan dari tradisi dan budaya
bangsa Arab. Fakta bahwa al-Qur‟an berbahasa Arab dan diturunkan secara
berkala sesuai dengan kebutuhan, adanya tutur bahasa yang dipakai sesuai dengan
lawan bicara, dan gejala lainnya, semuanya menunjukan bahwa al-Qur‟an tidak
sama sekali berbeda dengan tradisi kala>m yang telah berkembang pada saat itu.
antara yang asli (`Arabi>) dan yang asing (’Ajami). Al-Qur‟an juga membedakan
wahyu dalam bahasa Arab dan wahyu dengan bahasa asing (‘Ajam). Perhatikan
Q.S. 41:44
Dan jikalau Kami jadikan al-Quran itu suatu bacaan dalam bahasa selain
Arab, tentulah mereka mengatakan: "Mengapa tidak dijelaskan ayat-
ayatnya?" Apakah (patut al-Quran) dalam bahasa asing sedang (Rasul adalah
19
A. Patah, ‚Musikalitas al-Qur’an dalam Ayat-Ayat Makiyyah.‛ Adabiyat, 1 Maret 2005,
hlm.5
31
orang) Arab? Katakanlah: "al-Quran itu adalah petunjuk dan penawar bagi
orang-orang mukmin. Dan orang-orang yang tidak beriman pada telinga
mereka ada sumbatan, sedang al-Quran itu suatu kegelapan bagi mereka.
mereka itu adalah (seperti) yang dipanggil dari tempat yang jauh".20
Pembedaan tersebut meliputi ras, suku, warna kulit, dan bahasa, akan tetapi
mengartikulasikan bahasa Arab sebagai syair, musik maupun yang lainnya dalam
kehidupan keseharian serta kepiawaian mengubah karya sastra atau syair menjadi
harmonisasi musik yang indah merupakan tolak ukur yang dominan untuk
pemersatu bagi bangsa Arab. Hal tersebut dikarenakan bangsa Arab pada masa
jahiliyah atau masa pra Islam tidak memiliki landasan politik yang sama.
Satu-satunya unit sosial yang kuat dan sangat berpengaruh pada masa itu adalah
suku. Bahasalah yang merupakan elemen pemersatu bagi suku-suku dari semua
Pada abad VII masehi, turunlah al-Qur‟an yang dijadikan sebagai kitab suci
umat Islam. Al-Qur‟an tampil dengan berbahasa Arab, agar dapat dipahami oleh
manusia pada waktu itu. Para penyair ketika itu memiliki kedudukan yang sangat
20
Zaini Dahlan, Azharuddin Sabil, al-Qur’an Karim dan Terjemahan Artinya. (Yogyakarta,
UII Press, 1999), hlm.859
21
Muhammad Nur Kholis Setiawan, Para Pendengar Firman Tuhan;Telaah Terhadap Efek
Estetik al-Qur’an. Jurnal Al-Jamiah, Vol 39 number 1 Januari-Juni 2001, hal.249
32
terhormat pada setiap kabilah, karena mereka dianggap sebagai penjaga martabat
masyarakat Arab yang memiliki kualitas sastra tinggi, maka al-Qur‟an dikagumi,
bukan hanya bagi kalangan Arab akan tetapi non Arab pun mengagumi al-Qur‟an.
Gubahan sastra Arab serta syair-syair Arab merupakan suatu fenomena yang
kompleks. Kosakata, keunikan tata bahasa, serta sejumlah kaidah yang ketat
diwariskan turun temurun, sehingga hanya pelajar yang benar-benar cerdas yang
dapat menguasai bahasa tersebut. Nabi Muhammad tumbuh dalam sebuah dunia
keterampilan berpuisi, yang memang cukup sulit. Apa yang dilafalkan berbeda
dengan puisi serta bentuk konvensional ungkapan berirama pada masa itu. Banyak
kaidah syair Arab kuno dialihrupakan secara aneh, meskipun demikian bahasa
yang digunakan al-Qur‟an sangat kuat yang mempesona para pendengarnya pada
saat itu.23
22
Navid Kermani, ‚Qur’an, Puisi, Politik‛, Kalam Jurnal Kebudayaan, Vol XX, Januari 2003,
hlm.208
23
Ibid, hlm. 211
24
Pada awalnya para pengikut Muhammad SAW hanya terdiri dari golongan keluarga seperti
Khadijah istrinya yang berhasil diyakinkan oleh Waraqah ibnu Nawfal, sepupunya yang menjadi
pelopor kelompok Hanif serta Ali sepupu Muhammad SAW sendiri dan juga dari golongan kelas
33
yang menentukan keberhasilan Islam adalah pesona yang begitu kuat dari al-
Qur‟an serta kekuatan estetika retoriknya. Hal tersebut dapat dijumpai dalam
Salah satu buktinya adalah riwayat kisah seorang “maestro” penyair Arab
keunggulan syair tersebut tidak akan ditandingi oleh sastrawan lain. Suatu ketika,
potogan ayat dan mengantukannya di depan pintu Ka‟bah dan meminta Labid
untuk membacanya. Didorong rasa ingin tahu dan merasa tertantang, Labid
kemudian membaca ayat tersebut. Kagum dan terpana akan keindahan bahasa ayat
antagonis yang tidak menyukai Nabi Muhammad SAW. dan mendengar bacaan
bawah dan budak. Sedang para elit suku Quraiys tidak sepaham dengan Muhammad SAW dan
mengagap ajarannya bid’ah sehinga mereka melancarkan upaya untuk menjegah agar ajaran
Muhammad SAW tidak meluas. Dirasa olok-olokan yang dilancarkan oleh para pemuka suku Quraiys
tidak berhasil, maka mereka mulai menempuh jalur kekerasan, tindakan itu memaksa beberapa
pengikut Muhammad SAW bermigrasi. Atau hijrah yang mengakhiri periode Mekkah dan mengawali
periode Madinah. Lebih jelasnnya lihat Philip K. Hitti, History of The Arab, (Jakarta: PT Serambi
Ilmu Semesta, 2010), hlm.174
25
Muhammad Nur Kholis Setiawan, al-Qur’an Kitab Sastra, hlm.74
34
beberapa ayat al-Qur‟an dan kemudian pada saat itu juga memeluk agama Islam,
agama oleh pengalaman estetik masih sering terjadi dalam sejarah Islam pada
masa-masa berikutnya.
SAW.. Menurut pandangan Nasr Hamid Abu Zayd bahwa makna sentral wahyu
adalah pemberi informasi secara rahasia. Dengan kata lain, wahyu adalah
atau pesan secara samar dan rahasia. Oleh karena itu pemberian informasi dalam
disepakati oleh pengirim dan penerima. Konsep wahyu seperti ini dapat kita temui
dalam puisi, sebagaimana kita temukan pula dalam al-Qur‟an itu sendiri.26
sebagai hasil dari komunikasi antara Tuhan dengan manusia, di mana Tuhan
sebagai pengirim aktif, sedangkan manusia sebagai penerima pasif, dan al-Qur‟an
26
Kode rahasia antara pemberi informasi dan penerima dapat dipahami sebagaimna Q.S. al-
Qashash ayat 7
Dalam ayat tersebut kata wahyu dimaknai dengan pemberian informasi atau yang berupa
pemberian ilham. Jadi dari hal itu dapat ditarik kesimpulan lughawiyah bahwa wahyu adalah proses
pemberian informasi secara samar. Namun proses pemberian ilham kepada manusia tidak digolongkan
wahyu secara terminologi. Karena setiap hari manusia diberi ilham oleh Allah, yang apabila hal itu
dikembangkan akan berpotensi menjadi ilmu pengetahuan. Namun sayangnya kebanyakan manusia
tidak menyadari akan hal itu. Lebih lanjut lihat Nasr Hamid Abu Zaid, Tekstualitas al-Qur’an :
Kritik terhadap Ulumul Qur’an, (Yogyakarta:PT. LKiS Pelangi Aksara, 2005), hlm.30
35
sebagai kode komunikasi. Hal tersebut sejalan dengan teori komunikasi verbal
lanjut menurut Izutsu dilihat dari segi firman, wahyu memuat dua hal, parole dan
langue. Hal tersebut sesuai dengan konsep bahasa menurut Ferdinand de Sausure.
manusia itu sendiri sebagai pencipta teks.28 Arti penting hermeneutika dalam
kaitanya dengan al-Qur‟an sebagai teks, terletak pada perannya yang proporsional
prosedur penafsiran, maka makna dari sebuah teks akan dihasilkan dari proses
dengan aturan-aturan penafsiran, maka tugas dari estetika adalah meneliti tentang
fenomena. Fenomena yang dimaksud adalah setiap gejala yang ada di alam sekitar.
Gejala tersebut menjadi bahan renungan ketika masing-masing dari gejala tersebut
27
Toshihiko Izutsu, Relasi Tuhan dan Manusia, Pendekatan Semantik terhadap al-Qur’an,
(Yogyakarta: Tiara Wacana, 1997), hlm.154
28
Muhammad Nur Kholis Setiawan, al-Qur’an Kitab Sastra, hlm.53
29
Sahiron Syamsuddin, Hermeneutika dan Pengembangan Ulumul Qur’an, (Yogyakarta,
Pesantren Nawesea Press, 2009), hlm.10
36
pada awal dari pemahaman tanpa secara prinsip dipengaruhi oleh konsistensi atau
harapan kebenaran.31
informasi. Hal tersebut tidak terlepas dari sifat al-Qur‟an sebagai teks yang
penempatan teks keagamaan layaknya teks-teks sastra yang terbuka untuk dikaji,
sekadar berkutat pada dataran diskursif, melainkan juga mengacu pada level-level
komunikasi lainnya, seperti aspek akustik, emotif, puitik dalam pengertian yang
lebih jauh dan bahkan estetik. Ungkapan-ungkapan al-Qur‟an yang kompleks dan
sangat berarti misalnya, melalui nada akhir ayat, struktur kalimat, ritme-ritme yang
30
Muhammad Nur Kholis Setiawan, al-Qur’an Kitab Sastra, hlm. 54
31
Navid Kermani, ‚Recitation and Aesthetic Reception‛ (ed) Jane Dammen McAuliffe, The
Cambridge Companion to The Qur’an,(Cambridge University Press,2004) . Hlm. 125
32
Meminjam istilah Roman Jakobson, ‚keterbukaan sebuah teks terletak salah satunya pada
‚kecakapan‛ teks tersebut untuk menyampaikan informasi yang terkandung didalamnya, sehingga
informasi itu bisa dipahami dari semua level yang ada. Dikutip dalam buku Muhammad Nur Kholis
Setiawan yang berjudul ‚Para Pendengar Firman Tuhan;Telaah Terhadap Efek Estetik al-Qur’an‛.
Jurnal al-Jamiah, Vol 39 number 1 Januari-Juni 2001 hlm. 251
37
pemikiran beberapa sarjana muslim baik klasik maupun modern adapun salah satu
sarjana klasik yang turut mendukung dan mengembangkan benih-benih tafsir yang
berorientasi sastra adalah Abd al-Mālik ibn Abd al-Azi>z ibn Juraij (w. 150/767)34.
beberapa hal yang dianggap oleh Ibn Juraij sebagai benih-benih sastra dalam al-
Qur‟an.
dalam al-Qur‟an yang hanya menyebutkan inti informasi tanpa perincian detail.
tidak ada guna dalam penyebutannya atau memang detail maksud yang
bagi pembacanya dan hal tersebut merupakan salah satu ciri khas yang tidak
2. Ibnu Juraij juga berkeyakinan bahwa konteks sebuah ayat dalam al-Qur‟an
memiliki peran yang sangat penting. Kesadaran akan konteks dari sebuah teks
dalam kaca mata semantik modern lazim disebut “makna dasar” dan “makna
rasional”.
3. Ibnu Juraij juga menaruh perhatian pada gaya bahasa tutur stilistik al-Qur‟an
sehingga tidak begitu saja seseorang dapat melepaskan diri dari pesona struktur
4. Elemen lain yang dibicarakan Ibn Juraij adalah tentang pengulangan kata atau
dipahami para pemerhati al-Qur‟an sebagai salah satu bentuk keindahan gaya
tutur. Salah satu bentuk pengulangan kata yang sering dipakai al-Qur‟an adalah
apa yang dalam ilmu bahasa biasa disebut poliptoton, yakni pengulangan
36
Kitab tafsir ini merupakan Tafsir bi al-Ma’tsu>r lebih jelasnya lihat Hasan Abdul Ghani,
Muqadimah Tafsir Ibnu Juraij, hlm 17-25
39
pewahyuan al-Qur‟an itu sendiri dimulai ketika pada suatu kali Nabi Muhammad
Jibril menyuruh Nabi untuk meniru apa yang telah diperdengarkannya, dan
Peristiwa pewahyuan yang pertama ini pembahasan tentang transmisi lisan
al-Qur‟an dimulai. Seperti yang dilihat dalam proses pewahyuan di atas dan dalam
setiap pewahyuan adalah sebuah bacaan bukan buku atau tulisan. Baik proses
Pada masa-masa awal kenabian, Nabi Muhammad SAW. dan para Sahabat
lebih mementingkan hafalan al-Qur‟an, baru kemudian ketika para Sahabat sudah
banyak yang bisa membaca dan menulis, Nabi Muhammad SAW. merasa bahwa
37
Manna’ Khalil al-Qattan, Studi Ilmu-Ilmu Quran, terj. Mudzakkir AS, (Jakarta: PT. Litera
Antar Nusa, 2000), hlm.31-37
40
al-Qur‟an tidak cukup hanya dihafalkan tetapi juga harus ditulis. Dengan demikian
al-Qur‟an lebih terjaga karena terpelihara di dalam dada dan tulisan. Sejak itu para
SAW., akan tetapi ia tidak terkumpul dalam satu mushaf. Menurut al-Zarkasyi:
meninggalnya Nabi Muhammad SAW. Abu Bakar dan para Sahabat menulis al-
Qur‟an setelah wafatnya Nabi Muhammad SAW. Usman pun menyalin beberapa
Tradisi lisan adalah bentuk yang paling menonjol dalam proses transmisi al-
Qur‟an. Sejak pewahyuan pertama, bentuk inilah yang berjalan, seperti yang telah
oleh beberapa hal. Pertama, karena al-Qur‟an sendiri adalah bacaan yang
dijaga dengan metode musya>fahah dan talaqqi, metode inilah yang diajarkan oleh
SAW. menirukan.
38
Al-Imam al-Zarkasyi, al-Burha>n fi ‘Ulu>m al-Qur’a>n, ditahqiq oleh Muhammad Abul Fadl
Ibrahim, (Beirut, al-Maktabah al-‘As}riah, Vol. I, cet.II, 1391 H/1972 M.), hlm.220
41
Nabi Muhammad SAW. juga memakai metode ini dalam mengajarkan al-
Qur‟an kepada para Sahabat. Hal tersebut terjadi terus menerus pada generasi
selanjutnya. Para Sahabat melakukan hal yang sama ketika mengajarkan al-Qur‟an
kepada sesama Sahabat atau kepada Tabi‟in, dan Tabi‟in kepada Tabi‟it Tabi‟in,
dan seterusnya sehingga metode ini mejadi sebuah tradisi yang terus dilestarikan.
Konteks akurasi yang perlu dijaga dalam bacaan al-Qur‟an menyangkut dua
isyma>m, tarqi>q, tafkhi>m, imalah, tagliz, ikhtilas, isyba’, tasydi>d atau takhfi>f.
adalah bacaan nun bertasydid dan berharakat dhamma jatuh setelah harakat
fathah (la> ta’manna), cara bacanya adalah mulut maju sambil menahan nun satu
harakat. Akan tetapi ini sama sekali tidak efektif, sifat bacaan tersebut adalah
lisan.
dengan tajwid inilah bentuk musikal al-Qur‟an menjadi khas. Dalam beberapa
hal, apa yang ada ditajwid memang tidak ditemukan dalam pembicaraan
berbahasa Arab yang biasa (ordinary spoken Arabic) seperti iẓga>m, gunnah
42
ataupun mad.39 Seperti halnya sebelumnya bahwa bacaan ini bisa diajarka
secara tertulis akan tetapi karena sifat bacaanya adalah sima>’i maka harus
didalamnnya menempati posisi sentral, lebih penting, lebih dekat, dan lebih
mendalam daripada yang tertulis.40 Dalam setiap kitab suci agama apapun pasti
ditemui fenomena ini, tetapi tidak pernah sekuat yang dimiliki al-Qur‟an.41
Sebagaimana Ṭaha Husein menegaskan bahwa al-Qur‟an bukan prosa dan bukan
pula puisi, tetapi ia adalah al-Qur‟an. Walaupun al-Qur‟an diyakini bukan puisi,
39
Anna K Resmussen, Women, the Recited Qur’an, an Islamic Music in Indonesia, (Los
Angeles: University of California Press, 2010), hlm.110
40
Komarudin Hidayat, Menafsirkan Kehendak Tuhan, (Bandung: Teraju, 2004), hlm.117
41
Wilfred C. Smith. Kitab Suci Agama-Agama, Terj. Dede Iswadi, (Bandung: Teraju, 2005),
hlm.9
42
Lihat QS. al-Haqqah ayat 41 dan QS. Yasin ayat 69
43
tidak berarti ia bebas sama sekali dari unsur-unsur puisi, khususnya puisi Arab
Seleksi huruf : huruf sebagai unsur formatif pembentuk al-Qur‟an (sebelum al-
Qur‟an terbentuk) memiliki koherensi struktural dengan huruf lain (relasi antar
yang berbeda dalam hal bunyi dan iramanya. Sehingga dalam ilmu tajwid45 huruf
bisikan), syaddiyah (keras), rakhwah (lemah) dll. Tajwid memiliki banyak peran.
nyanyian qasidah yang pernah dimiliki bangsa Arab. Kedua, dengan keberadaan
43
Wazan adalah Taf’ilah Arudl yang diulang ulang dengan tujuan membentuk Syi’ir, wazan
ini disebut juga dengan ‚Bahar‛. Mas’an Hamid, Ilmi ‘arudl dan Qawafi, (Surabaya : Al – Iklhas,
1995) Cetakan I, hlm.34 – 35
44
Qafiyah adalah bagian terakhir dari sauatu bait, yang dihitung dari dua huruf mati yang
terakhir dan satu huruf hidup sebelumnya. Bagian akhir pada suatu bait dinamakan Qafiyah, karena
mengikuti bait sebelumnya. Mas’an Hamid, Ilmi ‘arudl dan Qawafi, hlm.34 – 35
45
Tajwid adalah mengucapkan setiap huruf dalam al-Qur’an sesuai dengan makhra>j (tempat
keluarnya huruf), karakter, dan sifat-sifatnya. Lebih jelasnya lihat Sayyid Ismail Ali Sulaiman,
‚Tajwid‛ (ed.) Muhammad Hamdi Zaqzuq, al-Mausu>ah al-Qur’a>niyah al-Mutakhassas}
(Kairo:Jumhuriah Misr al-‘Arabiyah Wiza>rat al-Auqa>f al-Majlis al-‘A’la al-syu’u>n al-isla>miyah,
2005), hlm.359
44
Imam Ibnu Jazari dibagi menjadi 17 dan ke 17 makhraj tersebut berada di lima
tempat yaitu46:
atas langit-langit
46
Ahmad Annuri, Panduan Tahsin Tilawah al-Qur’an dan Ilmu Tajwid, (Jakarta: Pustaka al-
Kautsar, 2010,), hlm.168
45
h. ط – د – تkeluar dari ujung lidah yang bertemu dengan gigi bagian atas
bagian atas
a. فkeluar dari bibir bawah bagian dalam bertemu dengan ujung gigi atas.
b. ب – م- وhuruf mim dan ba‟ dengan menempelkan 2 bibir sedangkan waw
c. Id}ga>m bila> gunnah ( )االدغام بال غنةadalah memasukkan bunyi huruf tanpa
ك-–ز–س–ش–ص–ض–ط–ظ–ف–ق
a. Ikhfa>’ syafa>wi adalah dibaca samar disertai gunnah ketika mim mati
bertemu ب
b. Id}ga>m mimi adalah memasukkan mim mati ke huruf mim berikutnya dan
c. Iz}ha>r syafa>wi adalah dibaca jelas tanpa ghunnah ketika mim mati bertemu
a. Iz}ha>r al-Qama>riyah adalah alif lam / الdibaca jelas apabila bertemu dengan
ء–ب–ع–غ–ج–ح–خ–ك–و–ف–ق–ي–م–ه
dalam huruf selanjutnya) apabila bertemu salah satu dari 14 huruf ini yaitu
ل-ط–ث–ص–ر–ت–ض–ذ–ن–د–س–ظ–ز–ش
c. Mad adalah memanjangkan huruf adapun mad ada 2 mad asli (t{abi’i) dan
mad far’i>
4. Hukum iẓga>m
48
Kriteria makhraj dan bunyi huruf berperan penting dalam hal komposisinya,
terutama I’rāb, segi kefasihan, ekpresi dan estetikanya, perpindahan bacaan dari
satu huruf kehuruf yang lain tidak selalu sama bobotnya. Dalam beberapa
kesempatan rangkaian huruf yang dibaca terasa ringan dan mudah namun dalam
komposisi utama dalam menimbulkan bunyi dan irama yang indah. Seleksi huruf
yang terampil serta piawai dalam penyusunannya merupakan bukti bahwa al-
Qur‟an adalah kitab suci yang penuh estetika, ekspresif, fasih dan memikat.
Kedua, fonologi adalah salah satu alat penting untuk meneropong keindahan
bunyi al-Qur‟an, karena fonologilah yang mengatur soal komposisi bunyi serta
secara efektif dan mudah diterima.47 Dalam fonologi al-Qur‟an dikenal dengan
istilah ilmu i’rāb. I’rāb yang tepat dan selaras akan menciptakan keindahan
bacaan. Sebaliknya, I’rāb yang tidak cocok atau tidak harmonis laksana pakaian
dalamnya. I’rāb yang tidak akurat akan menghilangkan tempo dan irama huruf-
“kekuatan dan kemampuan”. Berkenaan dengan hal ini lihat kasus Nabi Yunus As.
Melalui penjelasan ini, ayat Allah memiliki perspektif yang shahih. Adapun
47
Isa J. Baulatta, Introduction Literary Structures of Religious Meaning in the Qur’an, Ed. Isa
J. Baulatta, Literary Structures of Religious Meaning in the Qur’an (Curzon, Curzon Press, 2000),
hlm.xi
48
Zaini Dahlan, Azharuddin Sabil, al-Qur’an Karim dan Terjemahan Artinya, (Yogyakarta: UII
Press, 1999), hlm.560
50
diterapkan dalam kasus Nabi Yunus As, karena tidak seorang Nabi pun yang
„Arudh50 memiliki peran yang besar. Misalnya fenomena insijam, yakni istilah
untuk menyebut sifat susunan al-Qur‟an, meskipun tidak seluruhnya sesuai dengan
formula pembuatan puisi Arab. Artinya, karena susunan kalimat al-Qur‟an bagus
mempunyai wazan dan cara melagukan sendiri, berikut ini adalah contoh insijam
wazan dan taqti’nya.52 Contoh dari bahr ṭawi>l dan bahr madi>d dalam al-Qur‟an :
49
Al-Zamakhsyari. Al-Kasyaf (CD-ROM Maktabah al-Syamilah Global Islamic Software),
hlm.253
50
Arudh adalah ilmu yang membahas pola-pola syair yang mengandung wazn dan qafiyah
Wildana Wargadinata dan Laily Fitriani, Sastra Arab dan Lintas Budaya, (Malang: UIN-Malang
Press, 2008), hlm.233
51
Bahr sama dengan wazn yaitu taf’ilah ‘arud yang diulang – ulang dengan tujuan
membentuk syair. Mas’an Hamid, Ilmi ‘arudl dan Qawafi, hlm.23
52
Ada 15 bahar beserta wazannya antara lain : 1. Bahar t}awi>l Wazan-nya : فعلون مفاعلن, 2.
Bahar madi>d Wazan-nya:فاعالتن فاعلن, 3. Bahar basi>t} Wazan-nya: مستفعلن فاعل, 4. Bahar ka>mil Wazan-
nya: متفاعلن,5. Bahar wa>fir Wazan-nya:مفاعلتن, 6. Bahar hazj Wazan-nya: مفاعيلن, 7. Bahar razj Wazan-
nya: مستفعلن,8. Bahar raml wazan-nya: فاعالتن, 9. Bahar sari’ Wazan-nya: مستفعلن مصتفعلن مفعوالت, 10.
Bahar mansuh Wazan-nya: مصتفعلن مفعوالتن مستفعلن,11. Bahar khafif Wazan-nya: فاعالتن مستفع لن فاعالتن,
12. Bahar mudhari’ Wazan-nya : مفاعيلن فاعالتن مفاعيلن, 13. Bahar muqtadhab Wazan-nya: مفعوالت
مستفعلن مستفعلن, 14. Bahar mujtast Wazan-nya: مسفع لن فاعالتن فاعالتن, 15. Bahar mutaqarib Wazan-nya:
فعولنlebih jelasnnya lihat skripsi Abdul Haris Akbar yang berjudul Musikalitas al-Qur’an : kajian
51
بحر الطويل.1
َْء َف ْل َي ْك ّفر َو َمنْ َشا َْء َف ْلي ّْؤمِن َف َمنْ َشا
مفاعيلن فعولن مفاعيلن فعولن
بحر المديد.2
dua jenis ayat tersebut sebagai sebuah tahapan kamunikasi. Secara umum. Ia
tersebut melainkan memberi tipologi struktur surat makkiyah secara umum yang
unsur keindahan bunyi Internal dan Ekternal al-Qur’an, Skripsi Fakultas Ushuluddin, Studi Agama
dan Pemikiran Islam, tidak diterbitkan, 2009
53
Angelika Neuwirth, ‚Referentiality and Tekstuality in Surat al-Hijr Some Observation on
the Qur’anic ‚Canonical Process‛ and the Emergence of a Community‛ (Ed) Issa J. Baullata, Literary
Structure of Religious Meaning in the Qur’an (Curzon: Curzon Studies in the Qur’an, 2000), hlm.143
52
1. Dua ayat54
3. Empat ayat56
5. Enam ayat58
6. Tujuh ayat59
54
Q.s. 94:7-8
55
Qs. 90:8-10
56
Qs. 90:1-4
57
Qs. 99:1-5
58
Qs. 75:1-6
53
8. Sembilan ayat61
59
Qs. 56:81-87
60
Qs. 93:1-8
61
Qs. 73:1-9
54
bahwa rima didalam al-Qur‟an terbagi kedalam 3 jenis sajak antara lain:62
kesamaan dan keserupaan kata-kata diakhir kalimat dari segi nada juga dari segi
huruf akhir kata. Jenis ini banyak dijumpai dalam al-Qur‟an seperti QS. Al-
Kedua, mutawa>zin merupakan jenis sajak yang kata-kata diakhir kalimat dan
paragrafnya seirama hanya dalam wazan (bentuk), bukan kesamaan dalam bentuk
huruf pada kata-kata yang berupa akhiran, yaitu huruf dasar di akhir kata, seperti
sya>d dengan o>zo>d dalam bahasa persi. Berikut ini beberapa contoh yang termaktub
dalam al-Qur‟an.
62
Salah satu unsur penting dalam upaya memperindah dan mempercantik bacaan secara
harfiah adalah irama kalimat. Al-Qur’an mengunakan tolak ukur artistik ini secara penuh dalah
seluruh kalimatnya seolah-olah seluuruh isi al-Qur’an merupakan prosa yang ekpresif lebih jelasnya
lihat Habibullah ahmadi. Ahsan al-Hadits:Analisis Tekstual Ulumul Qur’an(Jakarta: Sadra Press.
2011), hlm.102-105
55
Penjelasan pada bab II ini merupakan bukti bahwa al-Qur‟an memiliki dimensi
musikalik yang tinggi. Oleh sebab itu jika al-Qur‟an dibaca dengan menggunakan
aturan yang benar maka akan hadir sebuah alunan musikal yang indah. Ada satuan
suara harmonis yang keluar dari al-Qur‟an sehingga menghadirkan respon yang
bermacam-macam, baik menangis, menjerit serta muncul rasa bahagia ketika al-Qur‟an
tersebut dapat dilihat pola penerimaannya dengan mengunakan teori resespi estetis
ESTETIS
terhadap karya sastra. Nilai sastra atau karya sastra tidak mungkin ada tanpa
penerima kritis, dari penerima pasif menjadi penerima aktif. Hubungan antara
historisnya, hal tersebut merupakan hasil dari proses timbal balik antara karya
dalam wacana kesustraan modern. Fakta itu terjadi akibat tradisi interpretasi
dan pewarisan makna teks secara ketat. Hal tersebut akibat dari kurangnya
perhatian terhadap nasib pembaca. Pembaca terus mengalami nasib buruk tanpa
ada apresiasi atas kegiatan membaca. Nasib buruk itu pantas menjadi
1
Niken, http/eunikeyoanita.blogspot.com/2013/09/estetika-resepsi.html, diakses tanggal 15
September 2013
56
57
bahwa teks sastra, yang dalam penelitian ini adalah al-Qur’an, memerlukan
adanya efek. Adapun kajian efek sebuah karya sastra dalam teori resepsi harus
Resepsi yang berfungsi secara baku sebagai teori pengkajian atas sastra
muncul secara partikular pada kisaran tahun 1960. Beberapa tokoh yang
mewakilinya seperti Norman Holland, Stanly Fish, Wolfgang Iser, dan Hans
penelitian ini penulis fokus pada teori resepsi yang dirumuskan oleh Hans
pemikiran Jauss dan Isser. Kedua tokoh tersebut merupakan pemikir awal
2
Perkembangan teori resepsi ini berawal dari Mukarovsky seorang penganut Strukturalisme
Praha. Sumbangan terbesar Mukarovsky adalah ketika ia dapat mengikhtisarkan konsep tentang seni
sebagai suatu sistem tanda dinamik. Fungsi sastra merupakan hubungan aktif antara karya sastra
dengan yang dituju karya sastra itu, yakni pembaca. Konsekuensi dari pemikiran ini, pembaca
mendapatkan peran sebagai subjek yang penting dalam fungsi simbol karya sastra dibanding
strukturnya dan kemudian Jauss mengamati kerja perintisan Mukaravsky dan teori itu disebut
rezeptionaestetisch (estetika resepsi) lihat Timothy Bahti, “Translator/s Preface” dalam, Toward an
Aesthetic of Reception, (Minneapolis: University of Minessota Press. 1982), hlm.XXVII
3
Umar Junus, Resepsi Sastra:Sebuah Pengantar, (Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama,
1985), hlm.104
4
Yoseph Yapitaum, Pengantar Teori Sastra. Cet. I (Indonesia: Nusa Indah, 1997), hlm.57
58
sastra ke peran pembaca. Pada awal tulisan dalam buku Toward an Aesthetic of
suatu peristiwa historis6. Hal ini berbeda dengan Isser dalam bukunya The Act
seseorang harus mempertimbangkan tidak hanya teks nyata tetapi juga tindakan
melibatkan tanggapan untuk teks, hal tersebut merupakan hasil dari konsep
Wirkung (efek atau pengaruh teks sastra, yakni bagaimana teks dapat
Resepsi estetis merupakan aliran sastra yang meneliti teks sastra dengan
Dalam memberi sambutan dan tangapan tentunya dipengaruhi oleh faktor ruang
dan waktu dan golongan sosial. Secara definitif menurut Nyoman Kutha Ratna
5
Nama lengkapnya adalah Hans Robert Jauzz. Ia adalah salah satu tokoh kritik sastra
berkewarganegaraan Jerman yang cukup berpengaruh terutama setelah karyanya yang berjudul
Literaturgeschichte als Provokation . kemudian ia menulis buku tentang resepsi estetis dengan judul
Toward an Aesthetic of Reception yang kemudian menempatkannya sebagai pionir kajian resepsi
sastra. Lihat Paul de Man, “Introduction” dalam Hans Robert Jauss, Toward an Aesthetic of Receptrion
Terj. Timothy Bahti (Mineeapolis: University of Minnesota Press, 1983), hlm.vii
6
Hans Robert Jauzz. Toward an Aesthetic of Reception, (Minneapolis: University of Minnesota
Press,1982), hlm.4
7
Wolfgang Isser. The Act of Reading: a Theory of Aesthetic Response, (Baltimore and London:
The Jhon Hopkins University Press. 1987), hlm.107
59
resepsi estetis berasal dari kata recipere (Latin), reception (Inggris) yang berarti
atau penikmatan karya sastra oleh pembaca. Resepsi merupakan aliran yang
meneliti teks sastra dengan bertitik tolak kepada pembaca yang memberi reaksi
atau tanggapan terhadap teks itu. Dalam meresepsi sebuah karya sastra bukan
hanya makna tunggal, tetapi memiliki makna lain yang akan memperkaya karya
sastra itu. Pemahaman terhadap teks sastra tidak hanya tercakup pada dataran
diskursif saja akan tetapi juga merambah dataran psikologis ataupun estetisnya.
Hal ini sepaham dengan pemikiran Prof. Dr. Rachmat Djoko Pradopo,
bahwa resepsi sastra adalah estetika (ilmu keindahan) yang mengacu kepada
karya sastra. Selain itu pembaca juga yang menentukan makna dan nilai dari
8
Nyoman Kutha Ratna. Estetika Sastra dan Budaya, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2007),
hlm.2
9
Rachmat Djoko Pradopo, Beberapa Teori Sastra, Metode Kritik, dan Penerapannya.
(Yogyakarta: Pustaka Pelajar. 1995), hlm.206
10
A. Teeuw, Membaca dan Menilai Sastra, (Jakarta: PT. Gramedia. 1983), hlm.17
60
karya sastra sehingga karya sastra mempunyai nilai karena ada pembaca yang
memberikan nilai.
beauty (Inggris), beaute (Perancis), beauty dan beaute itu sendiri berasal dari
bahasa latin, yaitu bellus, yang juga diturunkan melalui bonus, bonum, yang
berarti sesuatu yang baik, sifat yang baik, keutamaan, dan kebajikan. Secara
etimologi estetika berasal dari bahasa yunani, yaitu: aistheta, yang juga
diturunkan dari aisthe (hal-hal yng bisa ditanggapi dengan indra). Dalam
pengertian yang lebih luas pembahasan tentang keindahan, bersifat indah, dan
yang menyenangkan bila dirasakan oleh indra.12 Imanuel Kant secara ekplisit
juga menitikberatkan estetika kepada teori keindahan dan seni. Sebagai objek
yang mengandung aspek estetis, karya seni menunjukan identitas obyek artistik
11
Nyoman Kutha Ratna. Estetika Sastra dan Budaya, hlm.184
12
Herbert Read, The Meaning of Art, (New York: Penguin Book, 1959), hlm.18
13
Herbert Read, the meaning of art, hlm.20
61
terhadap karya estetik (dalam arti keindahan). Oleh karena itu mengunakan
istilah estetik dan konteksnya bisa ditunjukan untuk pembaca karya seni dan
keindahan alam. Pada dasarnya orientasi terhadap karya sastra itu ada empat
macam seperti digambarkan oleh M.H Abrams seorang profesor sastra asal
sebagai tiruan alam atau penggambaran alam. Segala sesuatu yang terdapat
dalam karya sastra adalah wujud yang terdapat di alam semesta. Segala isi
yang ada di dunia ini menjadi ide yang dituangkan dalam sebuah karya
sastra.
alam. Sebuah karya sastra tidak akan mampu menjadi objek yang estetis
tanpa meniru dari alam karena manusia hidup di alam dengan sarana-saranya
melihat kenyataan atau realitas alam lalu alam memunculkan sebuah ide
karya sastra. Faktor mimetik dalam teori Abrams sangat berpengaruh dalam
62
hati pembaca dengan rasa yang ada di jiwanya karena bahasa defamiliarisasi
bahwa orientasi yang pertama merupakan pendekatan para ahli sastra sejak
zaman Plato dan Aristoteles (abad ke-4 SM) yang menganggap karya sastra itu
sebagai tiruan alam. Orientasi yang kedua adalah orientasi kaum Humanis,
kaum Thomis, dan kaum Marxis. Ketiga, orientasi kaum romantik yang
adalah orientasi pada kritikus baru, dan aliran Chicago. 15 Dalam hubungan ini
resepsi estetis itu termasuk pada orientasi pragmatik. Karena karya sastra itu
14
M.H. Abrams, The Norton Anthology Of English Literature, 7 Edition Vol I (W.W. Norton &
Company, 2000), hlm.7-8
15
Rachmat Djoko Pradopo, Beberapa Teori Sastra, hlm.213
63
dalam kajian ini. Hal ini di sebabkan kehidupan historis sebuah karya sastra
Menurut Hans Robert Jauss pada dasarnya kajian sejarah sastra dan
mengisyaratkan adanya dialog dan proses relasi antara karya, audiensi serta
dengan premis yang berlaku dalam estetika resepsi yang menegahi antara
atas, Jauss menyatakan bahwa sejarah sastra, sebagai sebuah proses estetika
resepsi serta produksinya berada pada posisi untuk memahami teks-teks sastra
sebagai bagian dari resepsi pembaca. Adapun koherensi antara sastra sebagai
sebuah peristiwa hanya dapat terjembatani oleh horizon harapan (the horizon of
16
Rachmat Djoko Pradopo, Beberapa Teori Sastra, hlm.206
17
Paul de Man, “Introduction”, hlm.18
64
Gadamer.19
Jauss juga menyebutkan bahwa ada tiga lapisan yang harus diperhatikan
proses sejarah
antara teks dengan pembaca. Untuk mengungkap komunikasi antara teks dan
pembaca perlu ada landasan teori yang mendukung. Dalam hal ini konsep dasar
teori yang dapat diterapkan adalah teori komunikasi semiotik dari Karl Buhler
18
Paul de Man, “Introduction”, hlm.21-22
19
Ibid, hlm.29-30
20
Wolfgang Isser. The Act of Reading: a Theory of Aesthetic Response. (Baltimore and
London: The Jhon Hopkins University Press. 1987), hlm. 129
65
Karl Buhler:
Kenyataan
TANDA
Pengirim Penerima
dengan orang yang memakai tanda itu, yaitu pengirim pesan. Untuk pengirim
antara tanda dengan orang yang menerima pesan. Untuk penerima pesan tanda
21
Joko Widodo dan Ekarinisasrawati. “Pola Penerimaan Teks (Estetika Resepsi) Cerpen
Indonesia Mutakhir Siswa Dan Sistem Pembelajaran Apresiasi Cerpen Di Smu Kota Malang” Bestari
Universitas Muhamadiyah Malang, Vol 42 Januari-Juni 2009, hlm.149
66
Pradopo adalah respon atau apresiasi pembaca pertama terhadap sebuah karya
lebih lanjut dari generasi ke generasi. Dengan kalimat lain, respon yang
kontinuitas apresiasi ini, maka makna historis dan nilai estetis dari karya sastra
Pembaca dalam hubungannya ini adalah pembaca yang cakap, bukan awam,
yaitu para kritikus sastra dan ahli sastra yang dipandang dapat mewakili para
sejarahnya
22
Rachmat Djoko Pradopo, Beberapa Teori Sastra, hlm.218
23
Ibid, hlm.219
67
dilain pihak meneliti hubungan di antara karya sastra dengan konteks historis
ini bukan berarti bahwa masing-masing berdiri sendiri, tetapi keduanya saling
perkembangan pemikirannya.
Navid Kermani lahir pada tahun 1967 di Siegen, Jerman Barat. Ia adalah
seorang warga negara Iran dan Jerman, beliau lahir 1967 di Jerman dari sebuah
keluarga asal Iran sebagai anak keempat dari orang tua yang berasal dari Iran.
Ia menikah dengan seorang wartawan yang juga sarjana Islam bernama Katajun
Jerman.
tersebut didukung oleh keluarganya. Kedua orang tua Navid Kermani datang ke
Jerman pada tahun 1963 dari Iran untuk belajar. Kermani hidup dalam keluarga
yang notabenenya adalah negara Eropa, mereka adalah keluarga Muslim yang
sholeh dalam model Eropa. Mereka senang tinggal di Jerman. Setelah 50 tahun
imigran yang berasal dari Iran, Turki, Arab, bahkan di generasi kedua atau
Studi Islam, Filsafat, dan Teater di Cologne, Kairo dan Bonn. Ia menyelesaikan
berjudul Gott ist schon; Das asthetische Erlebens des Koran (“Tuhan Maha
(“Wahyu sebagai Komunikasi; Telaah atas Konsep Abu Zayd tentang Wahyu
Navid Kermani adalah salah satu tokoh yang paling menarik di kalangan
intelektual muda Muslim yang lahir dan dibesarkan di Barat. Ia sangat dikenal
69
khususnya Jerman. Ketika beliau masih berusia 40, tahun 2000 sampai 2010,
Institute for Advanced Study di Berlin. Sampai akhirnya Pada tahun 2005 ia
Dia adalah anggota dari Akademi Jerman untuk bahasa dan Puisi dan
direktur teater, ia memimpin acara yang besar yaitu menjadi tuan rumah
tahun 2006.
Selain kesibukan beliau menjadi duta sastra bagi Jerman, beliau tidak
lupa membagi ilmunya sebagai pengajar. Pada tahun 2010 beliau memberikan
kuliah umum di Frankfurt untuk kategori sastra lebih khususnya persoalan puisi
serta pada tahun 2011 beliau juga memberikan kuliah umum yang sama di
dapat, baik dari pemerintah Jerman maupun dari luar Jerman. Adapun
Förderpreis
c. Penghargaan Hannah Arendt adalah medali terbaru yang diterima oleh Navid
Kermani
Navid Kermani juga aktif dalam menulis. Terhitung 20 judul buku yang
sudah beliau tulis, baik yang berbahasa Jerman maupun yang berbahasa inggris
adapun rinciannya
f. Nach Europa
g. Nasr Hamid Abu Zaid, Ein Leben mit dem Islam, erzählt von Navid
i. Du sollst
k. Strategie der Eskalation. Der Nahe Osten und die Politik des Westens
m. Mehdi Bazargan, Der Koran und die Christen, herausgegeben von Navid
Kermani
n. Kurzmitteilung
p. Dein Name
s. Forty Lives
1. Teori Resepsi
Kata kunci dari konsep ini adalah estetika tanggapan dan efek.
mampu menentukan nasib dan peranannya dari segi sejarah sastra dan
25
Seluruh data biografi Navid Kermani diambil di website pribadi beliau lebih jelasnya lihat.
www.navidkermani.de
72
dapat diteliti lepas dari rangka sejarahnya, seperti yang terwujud dalam
makna, dan kualitas sebuah obyek, yang meliputi unsur-unsur indrawi, baik
penerimaan.26
Hal yang menjadi perhatian utama dalam teori ini menurut Navid
26
Navid Kermani, “The Aesthetic Reception of the Qur’an as Reflected in Early Muslim
History” (ed) Issa J. Boullata, Literary Structures of Religious Meaning in the Qur’an, (Curzon Press,
2000), hlm.258-259
27
Navid Kermani, “The Aesthetic Reception of the Qur’an”, hlm.261-262
73
sinyal. Teks sastra yang merupakan hasil sikap, perasaan, kebutuhan dan
dapat diterima dengan baik maka diperlukan teori yang dapat mengungkap
manusia budaya. Fungsi efek, nilai sebuah karya sastra tergantung pada
harapan.
Kajian Kermani ini dilandasi atas keyakinan bahwa sejarah resepsi al-
terjadi pada diri pembaca meskipun karya sastra itu tampak baru, tetapi tidak
74
muncul seperti sesuatu yang baru dalam suatu informasi ruang hampa.
bergerak dari awal hingga akhir dengan berbagai proses secara utuh.28
pemahaman atas bentuk dan tema karya yang telah dikenal. Perihal kondisi
beragam dalam periode waktu yang berbeda akan menunjukan efek yang
28
Navid Kermani, “Poerty and Language” (Ed) Andre Rippin, The Blackwell Companion to
The Qur’an, (Blackwell Publishing, 2006), hlm.112
29
Hans Robert Jauss, Toward an Aesthetic of Reception, hlm.136
75
harapan pembaca
1. Norma-norma umum yang keluar dari teks yang telah dibaca oleh
pembaca
sebelumnya
30
Hans Robert Jauss, Toward an Aesthetic of Reception, hlm.140
76
1. Karya sastra tidak bisa dipandang sebagai objek tunggal dan bermakna
bentuk, dan tema dalam karya yang sudah diakrabi, dan dari pemahaman
sebuah karya sastra. Jika ternyata masih ada jarak estetik antara horizon
harapan dengan wujud sebuah karya sastra yang baru, maka proses
31
Hans Robert Jauzz. Toward an Aesthetic of Reception, hlm.139
77
platonis mengenai makna karya sastra yang objektif, tunggal, dan abadi
agar lebih dikenal posisi dan arti historisnya dalam konteks pengalaman
sastra.
antara sistem seni sejaman dengan sistem seni dalam masa lampau.
sinkronis dan diakronis. Jadi, sistem sinkronis tetap harus membuat masa
umum. Fungsi sosial dari karya sastra dapat terwujud dengan pengalaman
c. Keterbukaan al-Qur’an
sehingga informasi tersebut dapat difahami dari semua level yang ada”33
ilmu dan kritik sastra dalam rangka menguatkan anggapan bahwa aspek-
32
Rachmat Djoko Pradopo, Beberapa Teori Sastra, hlm.107
33
Navid Kermani, “The Aesthetic Reception of the Qur’an as Reflected in Early Muslim
History” (ed) Issa J. Boullata, Literary Structures of Religious Meaning in the Qur’an, (Curzon Press,
2000), hlm.258
79
misalnya, rima (nada akhir ayat), struktur kalimat, ritme-ritme yang dipakai,
satunya pada interaksi antara pendengar dan teks yang selalu baru, dalam arti
semakin sering teks al-Qur’an dibacakan, kesan yang dimiliki oleh pembaca
ungkapan tersebut Navid Kermani menghadirkan lima ayat pertama surat al-
Qari’ah.
1. Al-Qa>ri’ah
2. Ma> al-qa>ri’ah
kata al-Qa>ri’ah. Secara leksikal sulit ditentukan maksudnya. Akar kata q-r
dalam ayat pertama al-Qa>ri’ah dilanjutkan dengan ketidak jelasan ayat kedua
dengan frasa Ma> al-qa>ri’ah. Pertanyaan pada ayat kedua dilanjutkan dengan
pertanyaan pada ayat ketiga. Hal tersebut menurut Navid Kermani seakan
maksud perintah Tuhan untuk berfikir dan merenung pada hari di mana
Navid Kermani hal inilah letak keterbukaan al-Qur’an, dalam artian al-
35
Ibnu Mundzir, Lisan Arab, CD-ROM Syamilah, Global Islamic Software, 1991-1997
36
Navid Kermani, “The Aesthetic Reception of the Qur’an, hlm.260
81
estetis ini adalah kitab-kitab sirah Nabi Muhammad SAW., seperti kitab
sima>’ihi. Dalam literatur ini Navid Kermani menemukan banyak sekali data
Sehingga Kermani semakin yakin akan pengaruh psikologis yang amat kuat
37
Navid Kermani, “The Aesthetic Reception of the Qur’an”, hlm.256
38
Ibid,hlm.256
82
Kesadaran tersebut muncul dalam pemaknaan ruang dan waktu. Ruang dan
waktu itulah yang menjadi panggung bagi peristiwa. Namun waktulah yang
39
Navid Kermani, “The Aesthetic Reception of the Qur’an”, hlm.257
40
Ibid, hlm.259
83
baik personal maupun kolektif. Ingatan kolektif akan kebiasaan masa lalu
yakni level personal dan level sosial. Pada level personal ingatan adalah
materi dari sistem mental saraf kita. Sebelum wacana tentang ingatan
berkembang, para ahli sastra mengenali tipe ingatan ini di dalam kajian
mereka. Namun penelitian dan teori berkembang, lalu ditemukan level kedua
dari ingatan, yakni level sosial. Pada level sosial ingatan adalah soal dari
komunikasi dan interaksi sosial42. Di satu sisi ingatan muncul dalam proses
yang kurang lebih permanen, seperti struktur bangunan, tata jalan raya, dan
41
Jan Assman, “Communicative and Cultural Memory” (ed) Astrid erll, Cultural Memory
Studies:An Internationaland Interdisplinary Handbook (Berlin Library of Congress Cataloging in
Publication Data, 2008), hlm.98
42
Assmann dalam hal ini sangat dipengaruhi oleh Maurice Halbwachs, seorang pemikir prancis
yang mengajukan argumen, bahwa ingatan lebih kuat berpijak pada sosialisasi dan komunikasi. Dalam
arti ini terdapat dialektika antara ingatan dan masyarakat lebih jelasnya lihat Jan Assman,
“Communicative and Cultural Memory”, hlm.96
43
Jan Assman, Religion and Cultural Memory, (Stanford University Press. 2006), hlm.1
84
ingatan, bahwa yang kita miliki sebagai makhluk yang dilengkapi dengan
pikiran manusia terjadi dalam interaksi terus menerus tidak hanya dengan
ingatan kita, karena benda-benda itu membawa ingatan yang telah kita tanam
dan semua tugu peringatan lainnya. Assmann menyebut ini sebagai ingatan
dielaborasi lebih lanjut oleh Navid Kermani dalam membidik suasana awal
pada periode modern ini, diantaranya adalah teori resepsi Jauss, dan teori
memori kultural yang dikenalkan oleh Jan Assmann. Dalam meneliti sejarah
tersebut.
al-Qur’an. Aplikasi serta implikasi dari teori efek estetis al-Qur’an sebagai
multi perspektif dalam hal ini penulis menerapkan pada dua kasus yaitu
45
Jan Assman, “Communicative and Cultural Memory”, hlm.109
86
Pada bab kedua dan ketiga telah dibahas secara berturut-turut dimensi
musikalik al-Qur’an dan konstruksi teori resepsi estetis Navid Kermani. Pada
bab ini akan dibahas bagaimana teori resepsi estetis Navid Kermani jika
yaitu masyarakat Arab generasi awal dan komunitas Sufi. Kedua kasus tersebut
masyarakat Arab generasi awal dan komunitas sufi. Pertama, masyarakat Arab
bahasa dan puisi1 sehingga aspek-aspek puitik bagi mereka sangat dekat dengan
dalam kehidupan sehari-hari guna mendekatkan diri pada Allah SWT melalui
ayat-ayat al-Qur’an merupakan ajaran yang sangat kental bagi komunitas sufi.
Bahkan dalam tradisi kaum sufi penghayatan dan pembacaan mereka terhadap al-
1
Wildana Wargadinata dan Laily Fitriani, Sastra Arab dan Lintas Budaya, (Malang: UIN-
Malang Press, 2008), hlm.89
87
88
Qur’an selalu dihiasi dengan suara dan irama yang merdu.2 Hal ini lah yang
darah. Perang menjadi bagian dari hidup mereka, sehingga sulit terbentuk
tinggi. Hal ini terbukti dengan adanya pasar di daerah Ukaz{ yang menjadi
2
Bersufi Melalui Musik: Sebuah Pembelaan Musik Sufi oleh Ahmad al-Ghazāli (Yogyakarta:
Gama Media, 2003), hlm.34
3
Spritualitas merupakankeyakinan dalam hubungannya dengan Yang Maha Kuasa dengan
mengunakan instrumen/medium yang bersifat batiniah maupun lahiriah. Pembacaan musikalik al-
Qur’an merupakan bentuk ekpresi seni yang bertujuan untuk keindahan (estetis). Keindahan itu
sangat berkaitan dengan spritualitas seseorang yaitu merasuk pada sifat batiniah sekaligus sangat
bersifat lahiriah. Menurut Ahmad Baidhowi, konsepsi seni dalam alur spiritualitas berlaku bagi semua
jenis seni dalam hal ini adalah seni musik. Lihat Ahmad Baidhowi, ‚Resepsi Estetis terhadap al-
Qur’an‛, ESENSIA, Vol. 8 No. 1 Januari 2007 . Sedangkan seni Islam setidaknya mengandung empat
pesan atau fungsi spiritual. pertama mengalirkan barakah sebagai akibat hubungan batin dengan
dimensi spritual Islam. Kedua, sebagai ukuran gerakan sosial. Ketiga, sebagai kriteria tingkat
hubungan intelektual dan religiusitas masyarakat. Keempat, mengingatkan kehadiran tuhan
dimanapun manusia berada. Lihat Sayyed Hossen Nasr, Spiritualitas dan Seni Islam,terj. Sutejo
(Bandung: Mizan, 1993), hlm. 214-218
89
dan qasidah.4
simbol yang dijadikan sebagai mediator untuk menuju kekuatan yang lebih
tinggi.5
tuhan yang maha esa tetapi belum memeluk agama tertentu. Ajaran agama
4
Asghar Ali Engineer, Asal Usul dan Perkembangan Islam: Analisis Pertumbuhan Sosio
Ekonomi terj. Imam Baehaqi, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar 1998), hlm.145
5
Syarqawi, Filsafat Kebudayaan Islam, terj Ahmad Rofi’ Usmani, (Bandung: Penerbit
Pustaka, 1986), hlm.64
6
Istilah H{ani>f mula-mula berasal dari Syiria (dari kota Hanpa) dalam lingkungan kawasan
Nasrani, oleh sebab itu ajaran-ajaran Nasrani dan Yahudi dianggap berperan dalam membentuk
kepercayaan ini, lebih jelas lihat. Ali Sodiqin, Antropologi al-Qur’an: Model Dialektika antara
Wahyu dan Budaya, (Yogyakarta: Ar-Ruzz Media, 2008), hlm.52
90
terbagi menjadi dua, yaitu menerima dan menolak. Dua kelompok ini
berasal dari kelas sosial yang berbeda bahkan bertentangan. Al-Qur’an juga
suku yang paling disegani pada waktu itu. Menurut Arkoun, Penolakan
mereka bukan karena ketidaktahuan atau oposisi sistem etis terhadap al-
tidak mau meninggalkan apa yang telah ditradisikan oleh nenek moyang
mereka.
kelompok pemuda yang berasal dari keluarga dan suku yang terpandang.
7
Mohammed Arkoun, Kajian Kontemporer al-Qur’an, terj Hidayatullah, (Bandung: Penerbit
Pustaka, 1998), hlm.74
91
Kedua, kelompok dari suku-suku kecil yang lemah. Ketiga adalah kelompok
semua adat istiadat lama mereka. Kebiasaan judi, minum khamar, praktik
Tidak hanya meninggalkan tradisi lama mereka tapi juga mengikuti tradisi
berbudaya.
dan budaya masyarakat Arab dimulai dari adopsi, adaptasi, dan integrasi,
8
Ali Sodiqin, Antropologi al-Qur’an, hlm.53
92
hasilnya.9
masyarakat Arab dengan budaya lisan yang sangat kuat. Kefasihan lidah
mengatakan ‚kearifan itu hanya berbentuk tiga corak: akal budi bangsa
Prancis, tangan bangsa Tionghoa, dan lidah bangsa Arab.‛ Secara umum,
ada empat bentuk budaya lisan dalam masyarakat Arab pra-Islam yakni
syair atau puisi, ramal (ka>hin), orator (kha>tib), dan cerita atau dongeng
(qas}a>s)} 10
atas keindahan gaya bahasa al-Qur’an merupakan bukti akan tingginya nilai
puisi bisa difahami karena mereka adalah penyair. Mereka sadar bahwa nilai
9
Ali Sodiqin, Antropologi al-Qur’an, hlm.200
10
Philip K. Hitti, Sejarah Singkat Dunia Arab, terj. Ushuludin Hutagalung dan O.D.P
Sihombang, (Yogyakarta: Iqra’ Pustaka, 2001), hlm.56
93
Nabi Muhammad SAW. hidup pada tahun 570 sampai 632 Masehi.
Beliau pertama kali mendapatkan wahyu ilahiah pada usia 40, itulah saat
Pada abad ke VII atau pra-Islam bangsa Arab tidak membentuk suatu
Satu-satunya unit sosial yang kuat pada masa itu adalah suku. Meskipun
dari semua konflik yang terjadi di jazirah Arab pada abad ke VII.15
11
Kata Qur’an sendiri secara harfiah berarti ‚bacaan‛ atau ‚sesuatu yang dibaca‛. Lihat Ibnu
Mundzir, Lisan Arab, CD-ROM Syamilah, Global Islamic Software, 1991-1997
12
Lihat Q.S. Fussilat 44
13
Mohammed Arkoun, Kajian Kontemporer al-Qur’an, hlm.75
14
Philip K. Hitti, Sejarah Singkat Dunia Arab, hlm.58
94
Perbedaan dialek antar suku yang sulit difahami serta bahasa tulis
Jazirah Arab semakin sulit. Meskipun demikian bahasa puisi yang telah
dibakukan, yang mana memiliki teknik yang rumit, dan kaidah serta standar
yang ketat dapat mengatasi perpecahan dan merupakan dasar bagi memori
merupakan fenomena yang unik dan tidak bisa dijelaskan bagaimana semua
itu terjadi.
diwariskan secara turun temurun, dan hanya pelajar yang benar-benar cerdas
sehingga mempesona pendengar pada masa itu. Namun apa yang dilafalkan
Nabi Muhammad berbeda dengan puisi Arab kuno. Kaidah Arab kuno
modifikasi secara aneh. Hal tersebut merupakan suatu yang baru bagi
15
Navid Kermani, ‚Poerty and Language‛ (ed) Andrew Rippin, The Blackwell Companion to
The Qur’an, (Blackwell Publishing, 2006), hlm.107
95
masyarakat Arab pada masa Nabi Muhammad SAW.16 Oleh karena itu
terlepas dari kesenjangan bentuk dan isi, banyak penduduk Makkah yang
oleh banyak orang pada masa itu dan juga bukan dikarenakan kesadaran
dengan al-Qur’an. Akan tetapi para ahli puisi Arab kuno pada masa itu
sangat terkesan dan terpesona akan keindahan bahasa al-Qur’an serta selalu
ungkapan puisi Arab kuno memberikan nuansa normatif yang unik bagi
16
Navid Kermani, ‚Poerty and Language‛, hlm.108
17
Kontroversi yang mempersoalkan status Nabi sebagai penyair digambarkan dalam al-Qur’an
surat al-Anbiya’ ayat 5
18
Navid Kermani, ‚Poerty and Language‛, hlm.108
96
di pihak lain para teolog konservatif mengecam puisi. Hal tersebut menurut
dan dianggap sebagai ancaman yang lebih kuat dibandingkan agama lain di
fonetik yang kaya serta panjang vokal yang merdu merupakan bukti bahwa
19
Navid Kermani, ‚Qur’an, Puisi, Politik‛ terj. Tim Penerjemah Kalam , Kalam, Vol 20
Desember 2002, hlm.211
20
Navid Kermani, ‚Poerty and Language‛, hlm.110
21
Yang dimaksud magis disini adalah bahwa bunyi kata-kata yang dilafadkan secara tepat
dapat menumbuhkan rasa khidmat secara mendalam, suasana hati yang suci yang sama sekali tidak
berkaitan dengan makna semantiknya. Lebih jelasnya lihat Navid Kermani, ‚Recitation and Aesthetic
Reception‛ (Ed) Jane Dammen Mc Auliffe, The Cambridge Companion to The Qur’an, (Cambridge
University Press, 2006), hlm.117
97
dua kelompok yaitu menerima dan menolak. Dua kelompok ini beasal dari
kelas sosial yang berbeda bahkan bertentangan. Hal itu menunjukan sistem
dibedakan dan diidentifikasi pada dasarnya melalui bahasa dan puisi. Ketiga,
daya tarik yang luar biasa yang dikatakan berasal dari pembacaan al-Qur'an
dan tidak ada seorang pun yang bisa menolak pesona al-Qur’an. Variasi
resepsi al-Qur’an yang tidak hanya berada dalam level diskursif melainkan
Generasi Awal
utama yang menentukan keberhasilan Islam adalah pesona yang begitu kuat
yang terus meninggal. Dengan berpijak pada manuskrip karya Abu> Isha>q
98
Muhammad al-Ṡa’labi yang berjudul kita>b muba>rak yużkaru fi>hi qatla> al-
Validitas sebuah riwayat dari berbagai literatur sirah Nabi tidak terlalu
ingin dicapai dari teori ini adalah bukan sah atau tidaknya berita yang dibawa
yang merekam masuk Islam-nya para pendekar sastra Arab dan tokoh
ingin tahu dan merasa ditantang, Labid kemudian membaca ayat yang
99
dibawakan pengikut Nabi. Kagum dan terpana akan keindahan bahasa ayat
Riwayat lain adalah berita yang dibawa oleh Ibnu Isha>q, bahwa suatu
ketika, , al-T{ufail, seorang sastrawan terkemuka bangsa Arab dari Bani Daws
SAW., berkatalah dia, ‚saya adalah empu sastra yang ahli menilai mana
gubahan sastra yang indah dan mana yang tidak. Tetapi mendengar bacaan
Muhammad SAW., terus terang saya belum pernah mendengar untaian kalimat
seindah ini‛. Tidak lama kemudian al-Tufail memeluk agama yang dibawa
dalam sejarah Islam adalah masuk Islamnya Khalifah kedua yaitu Umar bin
22
Muhammad Nur Kholis Setiawan, al-Qur’an Kitab Sastra Terbesar, (Yogyakarta, ELSAQ
Press, 2005), hlm.72
23
Navid Kermani, ‚The Aesthetic Reception of the Qur’an‛, hlm.258
100
merupakan data sejarah yang tidak saja dilakukan oleh generasi Sahabat,
Kisah yang dialami oleh Labid bin Rabiah, al-T{ufail, Zurara al-Harasyi,
murni s{afa>’ al-Tauhi>d dalam arti yang sangat komprehensif. Tauhid murni
tidak akan tercapai kecuali seorang sa>lik telah melintasi berbagai tingkatan
dan Ahwa>l24. Keduanya memuat ajaran yang tidak dapat dipisahkan dengan
proses menuju tauhid. Menurut Abdul Muhaya bahwa kedua ajaran tersebut
al-Ru>h al-Qudsi>. Dari segi fungsi dan kualitasnya kelima tingkatan spiritual
berkualitas rendah
diperoleh dari panca indra dan ini memiliki kualitas yang lebih tinggi
fenomena
24
Kata maqa>m berarti tempat seorang hamba dihadapan Tuhan dan proses atau tingkatan
yang dilakukan dalam pemurnian jiwa untuk mendapatkan iluminasi Allah SWT.. lebih jelasnya lihat
Abdul Aziz Musthafa, Mahabatullah: Tangga Menuju Cinta Allah: Wacana Imam Ibnu Qayyim al-
Jauziyah., (Jakarta: Risalah Gusti, 1996), hlm.36
25
Bagi sufi, persaksian bahwa tiada tuhan selain allah merupakan wujud pengesaan terhadap
allah dalam segala hal, terutama dalam hal dia sebagai zat yang dicinta satu-satunya. Sebab, menurut
al-ghazali bahwa yang disebut tuhan adalah setiap sesuatu yang dihamba, dan setiap sesuatu yang
dihamba adalah yang dicintai dan setiap yang dicintai adalah yang dituju ( al-maqshud) lihat Abdul
Muhaya, Bersufi melalui Musik: Sebuah pembelaan Musik Sufi oleh ahmad al-Ghazali (Yogyakarta:
Gama Media, 2003), hlm.26
26
Muhammad al-Ghazali, Misyka>t al-Anwa>r wa Masha>fat al-As}s}ar. (Bairut: ‘Alam al-Kutub,
1986), hlm.58
102
derajat Insa>n Ka>mil. Orang yang sudah mencapai derajat ini atau tingkatan
yang demikian ini sudah berada dalam kesadaran ilahiah. Bahkan dalam
al-ilahiyah orang yang tidak butuh risalah kenabian, sebab secara langsung
membagi tingkatan spiritualitas menjadi empat, yaitu S{adr, Qalb, Fua>d, dan
Lubb. Dalam tingkatannya Lubb lebih tinggi tingkatanyya dari S{adr. Hal
itu disebabkan Lubb berada dalam Fua>d, Fua>d berada dalam Qalb,Qalb
27
Kisah pertemuan Nabi Musa dan Khidir yang ada dalam al-Qur’an patut kita renungkan.
Meskipun ulama sepakat bahwa Nabi Musa adalah seorang Nabi yang memiliki syariat sendiri,
namun dalam perjalanan akhirnya kisah tersebut terlihat bahwa yang dianggap Nabi Musa
merupakan kemungkaran ternyata oleh Khidir justru dinilai sebaliknya. Hal ini disebabkan keputusan
yang diambil Nabi Musa lebih bersifat rasional yang mempertimbangkan fenomena tampak,
sedangkan Khidir lebih menekankan alasan dibalik itu.
103
oleh para nabi untuk umatnya), pengetahuan yang ditangkap oleh S{adr
memiliki validitas yang luar biasa karena ilmu diperoleh bersama dan
spiritual (ha>l) yang dirasakan oleh seorang sufi tatkala melakukan Sama>’.
28
Abdul Muhaya, Bersufi melalui Musik: hlm.19
104
dengan berbagai amalan yang telah dilakukan oleh orang-orang suci. Semua
itu dilakukan supaya kecintaan dengan Allah dan menurut Muhammad al-
mereka. Dengan demikian, sang sufi akan lebih peka dalam menerima dan
seorang sufi telah melintasi semua tingkatan tersebut, ia akan sampai pada
ada yang tidak sadarkan diri karena terpesona oleh keindahan dan
ataupun dicapai dengan dua cara. Pertama, sebagian para sufi mengunakan
ajaran maqa>ma>t sebagai jalannya. Kedua, ada juga sufi yang mengunakan
31
Takhalli> adalah pengosongan diri dari sifat-sifat tercela, kemudia tahalli adalah
memasukkan sifat-sifat terpuji dan diakhiri dengan tajalli adalah menghadirkan iluminasi tuhan pada
diri seseorang .lebih jelasnya Abdul Muhaya, Bersufi melalui Musik, hlm.44
32
Menurut Ibnu Sina , musik adalah gelombang udara (al-khara>kah al-hawa>). Karena itu tidak
lah salah jika para filosof klasik seperti pythagoras, plato menyatakan bahwa gerakan planet
menghasilkan musik samawi yang indah. Sehingga pada gilirannya dapat mempengaruhi kondisi
fisik, emosi, mental hingga speritual seseorang.
106
Di>n al-Ru>mi (w.672), dan Muhammad al-Syadili> al-T{unisi (w. 882).34 Bagi
2. Menyejukkan hati
Allah
derajat Wus{u>l
33
Abdul Muhaya, Bersufi melalui Musik, hlm.20
34
Biografi dan pemikiran para tokoh bisa dilihat di Abdul Muhaya, Bersufi melalui Musik,
hlm.22
107
memiliki nilai yang lebih tinggi dari musik yang dihasilkan oleh
macam dan ketiga jenis musik ini terangkum dan termuat dalam suara
diri. Ini adalah fenomena yang sering kita jumpai dalam kehidupan.
2. Musik yang bertujuan untuk terjadinya suatu aksi dan reaksi (perbuatan
tertentu)
lainnya terhadap al-Qur’an. Hal ini salah satunya disebabkan oleh kentalnya
35
Abu Nas{r Muhammad al-Fara>bi, Kita>b al-Mu>si>qa> al-Ka>bir, (Kairo: Dar al-Kita>b al-
‘Arabiyyah,), hlm.47
36
Navid Kermani, ‚The Aesthetic Reception of the Qur’an, Hlm. 263
108
psikoterapis, religius dan mistis. Oleh karena itu tidak mengherankan jika
37
Nama lengkap al-Syadzili adalah abu al-Hasan al-Syadzili, beliau lahir di wilayah Ghumarah
, dekat Ceuta saat ini di utara Maroko, beliau lahir pada tahun 593 H/1197 M pada masa dinasti al-
Muwahiddun. Sebagai seorang Syarif keturunan Hanif ia menganut mazhab maliki. Lebih jelasnya
lihat Victor Danner, ‚Tarekat Syadziliyah dan Tasawuf di Afrika Utara‛ ed. Seyyed Hossein nasr
ensiklopedi Tematis Spiritualitas Islam terj. Tim penerjemah mizan (Bandung:Mizan Media
Utama,2003), hlm.36
38
Victor Danner, ‚Tarekat Syadziliyah dan Tasawuf di Afrika Utara‛ ed. Seyyed Hossein nasr
ensiklopedi Tematis Spiritualitas Islam terj. Tim penerjemah mizan (Bandung:Mizan Media
Utama,2003), hlm.37
109
seseorang sufi. Kedua, doktrin sufi yang mengajarkan bahwa musik sebagai
untuk berpulang ke alam ide universal (‘Alam al-Nafs), yaitu alam tempat
seluruh jiwa mendapat kenikmatan yang luar biasa yang bersumber dari
kenikmatan yang bersifat rohani. Alam ini bagi para sufi merupakan rumah
sejati yang senantiasa dirindukan oleh jiwa yang ada di dunia, sebuah
dan mistis. Al-Qur’an sendiri diyakini merupakan kitab suci yang memiliki
Kualitas kesastraan inilah yang dijadikan ulama’ sufi sebagai faktor untuk
39
James Robson, Tract on Listening Music, (London: The Royal Asiatic Society, 1938), hlm.
124-125
40
Abu al-Qasim al-Junayd, Rasa>’il al-Junayd (Kairo: Dar al-Kita>b al-‘Arabiyyah), hlm.83
111
pengaruh yang paling rendah karena seluruh hewan yang hidup dapat
melakukannya
Ini biasanya dilakukan oleh sufi pemula (al-Muri>di>n). Sufi pemula yang
kualitas spiritualnya.
4. Para sufi yang telah melewati tingkatan dan kondisi spiritual. Mereka
sebagainnya, tidak lagi terpengaruh oleh selain Allah karena semua itu
telah hilang dari kesadaran mereka. Kondisi mereka ibarat orang bingung
seorang sufi dalam kondisi Fana>’ ‘an Nafsi>, dan sekaligus Fana>’ dari
selain Allah. Ini adalah derajat yang tertinggi dan merupakan derajat
para wali, seorang yang telah mencapai kondisi Fana>’ , baik terhadap
Secara psikologis, ritme dan tempo yang dihasilkan oleh bacaan al-
bahwa suara yang diatur melalui ritme tertentu memiliki dua pengaruh.
Pertama, dari segi komposisi khas yang dimilikinya (kandungan isi al-
Qur’an). Kedua, dari segi lagu yaitu muatan spiritual yang menyamainnya.
41
Muhammad al-Ghaza>li, Misyka>t al-Anwa>r wa Masha>fat al-As}s}ar. (Bairut: ‘Alam al-Kutub,
1986), hlm.79-83
113
yang harmonis dengan isi dan saling berhubungan antara satu dengan
manusia itu menjadi terikat dengan lagu. Ketika terjadi perubahan pada
sangat cepat akan menyatukan jiwa manusia dengan hirup pikuk kehidupan,
sebagian diambil dari nama tempat asalnya. Seperti Hija>z, ‘Ira>qi, Nahawand
dan sebagian diambil dari posisi suara pada nada seruling, seperti Duga>h
(posisi kedua atau A), Syiqa>h (posisi ketiga atau B), atau pada sebagian lain
menunjukan kondisi jiwa seperti Fara>hfaza yang berasal dari kata Fara>h
artinya senang, bahkan ada yang menunjukan nama musim yaitu nasm yang
42
Abdul Muhaya, Bersufi melalui Musik, hlm.57
43
Kristina Nelson, The Art of Reciting the Qur’an, (Cairo: the American University in Cairo
Press, 2001), hlm.110
114
44
Istilah tersebut diantaranya halawa untuk menghadirkan reaksi atau
pernyataan al-Ghazali dalam kitab Ihya>’ Ulu>m al-Di>n, bahwa suatu hari al-
44
Halawa adalah menikmati indahnya sebuah teks, baik pujaan (puisi-puisi sufistik) maupun
kesyahduan bacaan al-Qur’an, serta kesyahduan komunikasi lewat pujian
45
Navid Kermani, ‚Recitation and Aesthetic Reception‛, hlm.116
46
Ibnu Qayyim al-Jauziyyah, Mada>rij al-Sa>liki>n bayn Mana>zil Iyya>ka Na’budu wa Iyya>ka
Nasta’i>n. (Kairo: Dar al-Kutub, 1995), hlm.94
115
Nisa’ dan ketika aku membaca ayat 41 Nabi bersabda ‚Cukup‛. Maka
akupun menoleh kepadanya, dan di kala itu kedua matanya berlinang air
mata.47
paling jujur serta tulus tentang suara batin manusia yang melambangkan
universal dan dapat terjadi pada siapapun bagi mereka yang mempunyai
47
Abdul Muhaya, Bersufi melalui Musik, hlm.44
116
dihasilkan oleh sarjana komunitas sufi jarang sekali mengupas I’ja>z al-
kesempurnaan al-Qur’an.48
48
Navid Kermani, ‚Recitation and Aesthetic Reception‛, hlm.122
DAFTAR PUSTAKA
121
122
Bazouki A.The Oxford English Dictionary, Second Edition. Oxford: Clarendon Press.
2007
_______“Poerty and Language” (Ed) Andre Rippin, The Blackwell Companion to The
Qur‟an.Blackwell Publishing.2006
Michon, Jean-Louis.“Musik dan Tarian Suci dalam Islam”, Ed. Seyyed Hossein Nasr,
Ensiklopedi Tematis Spiritualitas Islam Manifestasi.Bandung: Penerbit Mizan.
2003
Nasr, Sayyed Hossein.Spiritualitas dan Seni Islam, terj. Drs. Sutejo, Bandung: Mizan,
1993
Nelson, Kristina.The Art of Reciting the Qur‟an, New York: The American in Cairo
Press.2001
Rasmussen, Anne K.Women, the Recited Qur‟an, and Islamic Music in Indonesia
London: University of California Press.2010
Sulaiman, Sayyid Ismail Ali, ‚Tajwid‛ dalam Muhammad hamdi zaqzuq (ed.), al-
Mausu>ah al-Qur’a>niyah al-Mutakhassas}.Kairo: Jumhuriah Misr al-‘Arabiyah
Wiza>rat al-Auqa>f al-Majlis al-‘A’la al-syu’u>n al-isla>miyah.2005
125
Wijaya, Aksin.Arah Baru Studi Ulum al-Qur‟an: Memburu Pesan Tuhan di Balik
Fenomena Budaya.Yogyakarta: Pustaka Pelajar.2009