Anda di halaman 1dari 124

See discussions, stats, and author profiles for this publication at: https://www.researchgate.

net/publication/343136209

RESEPSI ESTETIS TERHADAP AL-QUR'AN (Implikasi Teori Resepsi Estetis


Navid Kermani Terhadap Dimensi Musikalik al-Qur'an)

Thesis · July 2013


DOI: 10.13140/RG.2.2.16170.64966

CITATIONS READS

0 757

1 author:

Achmad Yafik Mursyid


Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta
5 PUBLICATIONS   6 CITATIONS   

SEE PROFILE

Some of the authors of this publication are also working on these related projects:

Manuskrip Al-Qur'an dan Tafsir Koleksi Museum Sonobudoyo View project

All content following this page was uploaded by Achmad Yafik Mursyid on 22 July 2020.

The user has requested enhancement of the downloaded file.


RESEPSI ESTETIS TERHADAP AL-QUR’AN
(Implikasi Teori Resepsi Estetis Navid Kermani
Terhadap Dimensi Musikalik al-Qur’an)

SKRIPSI
Diajukan kepada
Fakultas Ushuluddin dan Pemikiran Islam
Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta
Untuk Memenuhi Sebagian Syarat Memperoleh Gelar
Sarjana Theologi Islam (S.Th.I)

Disusun oleh:
AchmadYafikMursyid
NIM. 09532003

JURUSAN ILMU AL-QUR’AN DAN TAFSIR


FAKULTAS USHULUDDIN DAN PEMIKIRAN ISLAM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN KALIJAGA
YOGYAKARTA
2013
ABSTRAK

Al-Qur’an merupakan pedoman hidup umat manusia yang mengandung


nilai-nilai dan ajaran universal. Al-Qur’an banyak menyimpan mukjizat dan
rahasia-rahasia besar di dalamnya termasuk aspek-aspek ritmik dan musikalik,
sehingga ketika masyarakat berinteraksi dengan al-Qur’an terdapat
keanekaragaman respons atau penerimaan baik pengamalan maupun
pengkajiannya. Pemaknaan terhadap respons serta reaksi terkait hubungannya
dengan penerimaan al-Qur’an dengan tujuan estetis lazim disebut Resepsi Estetis.
Penelitian terbaru yang penulis anggap cocok dalam meneropong kajian resepsi
estetis dalam bingkai sejarah penerimaan al-Qur’an adalah yang telah dilakukan
oleh Navid Kermani. Konstruksi teori resepsi estetis Navid Kermani melibatkan
dua unsur yaitu Teori Resepsi dan Memori Kultural. Berdasarkan teori resepsi
estetis yang dikemukakan Navid Kermani di atas, penulis mencoba merumuskan
pola relevansi penerimaan masyarakat terhadap pembacaan musikalik al-Qur’an
dengan menghadirkan dua kasus. Pertama, masyarakat Arab generasi awal Islam,
kedua, komunitas Sufi. Kedua kasus tersebut merupakan representasi dari
kelompok masyarakat yang menonjolkan tujuan estetis dalam rangka
mengekspresikan penerimaan mereka terhadap kitab sucinya.

Penulis membatasi masalah yang dikaji pada konsep resepsi estetis.


Konsep resepsi estetis adalah bagian dari teori sastra. Resepsi adalah penerimaan
atas sebuah teks sastra, yang dalam penelitian ini adalah al-Qur’an dan efek yang
dihasilkan. Adapun kajian tentang efek sebuah teks sastra, dalam teori resepsi,
harus mengikutsertakan peran pembacanya. Estetis adalah proses penerimaan
dengan mata maupun telinga, pengalaman seni, serta cita rasa akan sebuah obyek
atau penampakan. Selanjutnya, mengingat luasnya kajian resepsi estetis terhadap
al-Qur’an, maka kajian ini juga dibatasi hanya pada term aspek-aspek ritmik dan
musikalik al-Qur’an beserta reaksi-reaksi yang ditimbulkan dari term tersebut.

Implikasi dari teori efek estetik al-Qur’an dapat diterapkan pada


masyarakat Arab generasi awal dan komunitas Sufi. Poin penting dalam horizon
harapan untuk melihat fenomena masyarakat generasi awal. Pertama, bahwa
sistem masyarakat Arab sangat membedakan antara kelas atas dan bawah. Kedua,
bahwa masyarakat Arab pra-Islam adalah komunitas budaya yang dibedakan dan
diidentifikasi melalui bahasa dan puisi. ketiga, daya tarik yang luar biasa berasal
dari pembacaan al-Qur'an. Begitu juga dengan Komunitas Sufi memiliki horizon
harapan. Pertama, tingkat spiritual merupakan indikator kesalehan seseorang Sufi.
Kedua, doktrin Sufi yang mengajarkan bahwa Musik sebagai media untuk
mencapai derajat Sufi. Ketiga, kebiasaan komunitas Sufi mendengarkan nyanyian.
Dengan demikian dilihat dari horizon harapan komunitas Sufi menunjukan reaksi
bahwa Semakin tinggi tingkat spiritual seorang Sufi semakin tinggi tingkat
penghayatan terhadap al-Qur’an.

xi
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Sejarah penafsiran al-Qur‟an mencatat bahwa kajian terhadap al-Qur‟an baik

yang kajiannya terfokus pada ma> fi> al-Qur’a>n (studi internal teks) ataupun kajian

terhadap ma> haula al-Qur’a>n (studi eksternal teks) tidak pernah berhenti dan

terus berkembang dari zaman ke zaman. Hal ini dapat dimengerti karena al-

Qur‟an merupakan pedoman hidup umat manusia yang mengandung nilai-nilai

dan ajaran universal, sehingga untuk dapat dijadikan pedoman hidup umat

manusia di segala penjuru dunia yang senantiasa mengalami perubahan, maka al-

Qur‟an perlu dikaji dan terus dikaji ulang dengan bermacam-macam metode dan

pendekatan.1

Fungsi dan nilai-nilai ideal al-Qur‟an tersebut dalam realitasnya tidak begitu

saja mudah untuk ditangkap serta diterapkan, bahkan pada zaman Nabi

Muhammad SAW. usaha-usaha dalam memahami al-Qur‟an dilakukan oleh para

sahabat dengan saling menjelaskan antar para sahabat untuk bisa memahami ayat

al-Qur‟an keseluruhannya dan memiliki pemahaman yang sama, jikalau mereka

tidak mengerti arti dan kandungan al-Qur‟an khususnya menyangkut ayat-ayat

1
Hal tersebut senada dengan ungkapan Muqa>til Ibnu Sulaima>n, ia berpendapat bahwa orang
belum bisa dikatakan ‚menguasai ‚ al-Qur’an sebelum ia betul-betul megetahui berbagai dimensi
yang dimiliki al-Qur’an. Lihat Muqa>til Ibnu Sulaima>n, al-Asyba>h wa al-Naz}a>ir fi> al-Qur’a>n al-Kari>m,
ed. Mahmud Shihatah, (Kairo: al-Hay’a al-Mis}riyyah al-‘Amma li al-Kita>b 1974), hlm.86

1
2

yang tidak difahami atau samar artinya 2 , maka mereka bertanya kepada Nabi

Muhammad SAW. yang berfungsi sebagai mubayyin (pemberi penjelasan).3 Hal

tersebut merupakan bentuk penerimaan masa awal terhadap kehadiran al-Qur‟an.

Penerimaan generasi awal Islam terhadap al-Qur‟an baik sebagai teks

maupun wahyu yang terucap sangat bervariasi. Hal ini dapat dilihat karena

penerimaan tersebut tidak hanya menghasilkan pemaknaan terhadap ayat-ayat itu

sendiri akan tetapi juga mempertegas asumsi bahwa al-Qur‟an diresepsi atau

diterima sebagai respons atas realitas yang dihadapi Nabi Muhammad SAW. dan

masyarakat Arab pada masa itu. Oleh karena itu hal tersebut memunculkan

perlakuan-perlakuan terhadap al-Qur‟an yang ternyata sangat beragam.4

2
Sebagaimana penjelasan Nabi atas pertanyaan Sahabat tentang turunnya QS: al-An’am:82.
Para Sahabat bertanya kepada Nabi Muhammad : ‚ Siapa diantara kami yang tidak mendhalimi diri
sendiri wahai Rasulullah‛ maka kemudian Nabi Muhammad menafsirkan kata z}ulm tersebut dengan
makna syirk. Hal tersebut dijelaskan oleh Jala>l al-Di>n Abdurahman al-S{uyu>t{i dalam al-Itqa>n fi> Ulu>m
al-Qur’a>n atau lihat penafsiran terhadap ayat tersebut oleh Abu Ja'far Muhammad ibn Jari>r at-T}abari>,
Ja>mi’ al-Baya>n fi> Tafsi>r al-Qur’a>n, (Maktabah Buhu>s wa al-Dira>sah al-‘Arabiyah wa al-Isla>miyah,
2001), hlm.638
3
Tentang fungsi Nabi yang menjelaskan al-Qur’an terdapat sebuah pertanyaan yang
melahirkan perdebatan panjang di antara kubu Ibnu Taimiyah dan al-S{uyu>ti{ . Ibnu Taimiyah
berpendapat bahwa Rasulullah menjelaskan semua makna yang ada dalam al-Qur’an, sedangkan al-
S{uyu>ti{ mereka berpendapat bahwa Rasul itu tidak menjelaskan semua makna dan lafadz al-Qur’an.
Mengenai perbedaan pendapat ini, Muhammad Husein al-Z|ahabi dalam bukunya al-Tafsi>r wa al-
Mufassiru>n memberikan solusi bahwa Rasulullah menjelaskan sebagian besar makna ayat-ayat al-
Qur’an, tapi tidak semuanya karena ada bagian dari al-Qur’an yang hanya Allah yang mengetahuinya,
seperti hakikat ruh, hari kiamat, dan sebagainya, lihat Muhammad Husein al-Z|ahabi, al-Tafsi>r wa al-
Mufassiru>n, (Maktabah Mash’ab Ibn ‘Umar al-Isla>miyah, 2004), jilid 1, hlm.39-43
4
Reaksi terhadap al-Qur’an tersebut dapat membangkitkan energi kejiwaan pembaca dan
pendengarnya. Lihat Aksin Wijaya, Arah Baru Studi Ulum al-Qur’an: Memburu Pesan Tuhan di Balik
Fenomena Budaya, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2009), hlm.96
3

Sebagaimana yang dikatakan Navid Kermani 5 bahwa respons terhadap al-

Qur‟an yang beragam merupakan hasil dari kuatnya pengaruh psikologi al-

Qur‟an dalam kehidupan keseharian pembaca.6 Hal tersebut dapat dilihat dalam

beberapa aktifitas fisik yang dilakukan oleh para sufi seperti menangis, menjerit,

haru, pingsan. Hal ini salah satunya disebabkan oleh kentalnya ajaran sufi agar

benar-benar mengharuskan untuk menghayati dan merefleksikan tingkah laku

dalam kehidupan sehari-hari guna mendekatkan diri pada Allah SWT. melalui

ayat-ayat al-Qur‟an. Bahkan dalam tradisi kaum sufi penghayatan dan

pembacaan mereka terhadap al-Qur‟an selalu dihiasi dengan suara dan irama

yang merdu.

Pada mulanya Islam tidak memerlukan sesuatu bentuk kesenian pada praktik

keagamaannya tetapi dalam perjalannya waktu kaum muslimin dari berbagai

bangsa telah mewujudkan karya-karya seni sebagai perantara pengungkapan

pandangan hidup yang khas. Karena pada dasarnya antara kesenian dan

kebudayaan berjalan sejajar. 7 Demikian juga dengan penghayatan terhadap al-

Qur‟an yang memunculkan beragam reaksi, hal tersebut sangat wajar jika dilihat

5
Navid Kermani hidup sebagai penulis di Cologne. Dia adalah seorang warga negara Iran dan
Jerman , lahir pada tahun 1967 di Jerman untuk sebuah keluarga asal Iran. Dia adalah salah satu tokoh
yang paling menarik di kalangan intelektual muda Muslim yang lahir dan dibesarkan di Barat. Lihat
profil di website pribadi www.navidkermani.de
6
Navid Kermani, ‚Recitation and Aesthetic Reception‛ (ed) Jane Dammen McAuliffe, The
Cambridge Companion to The Qur’an, (Cambridge University Press, 2004), hlm.124
7
Hal tersebut sangat sesuai dengan yang dikatakan Ibnu Khaldun ‚Musik muncul dalam
masyarakat bersamaan dengan munculnya peradaban dan ia hilang dari tengah masyarakat ketika
peradaban mundur‛ lihat Ibnu Khaldun, Muqaddimah, (Maktabah Buhu>s wa al-Dira>sah al-‘Arabiyah
wa al-Islami>yah 1982), hlm.321
4

dari karakteristik teks serta aspek-aspek ritmik dan musikalik yang terkandung di

dalam al-Qur‟an.8

Aspek-aspek ritmik dan musikalik yang terkandung dalam al-Qur‟an

memberikan efek yang sangat kuat pada dimensi estetis penerimaan al-Qur‟an.

Hal tersebut dapat kita nilai dari fakta-fakta para pembaca awal al-Qur‟an yang

merasakan kekuatan melodi pembacaan al-Qur‟an sebagai sebuah lambang

estetika dan kesempurnaan rohani bagi umat yang beriman, dan pada giliranya

menunjukan kuatnya dampak estetik al-Qur‟an dalam kehidupan keseharian

kaum muslim.

Pemaknaan terhadap respons serta reaksi terkait hubungannya dengan

penerimaan al-Qur‟an dengan tujuan estetis lazim disebut Resepsi Estetis. Hal

tersebut dapat dilihat dan dipelajari dengan “Teori Resepsi”, yaitu bagaimana al-

Qur‟an diresepsi oleh sahabat nabi dan generasi setelahnya sehingga

memunculkan fenomena-fenomena yang cukup menarik dalam upaya umat Islam

bergaul dengan kitab sucinya. Estetis di sini bukan merupakan konsep atau ajaran

keindahan yang dimuat dalam al-Qur‟an melainkan ia lebih dimaksudkan sebagai

8
Al-Qur’an memberi kemungkinan bagi nyanyian, karena banyak sekali bacaannya/tulisannya
yang terdiri dari kata/kalimat yang dapat disebut sebagai ‚prosa bersajak‛ yang pastinya mengandung
asonansi, sedangkan asonansi (persesuaian kata atau bunyi) menyebabkan suara menjadi bunyi yang
teratur ketika ‚membaca‛ lihat Henry George Farmer, The Influence of Music from Arabic Source.
(Leiden. Leiden University Press. 1965), hlm.68. Begitu juga Ibnu Qutaibah menceritakan bahwa
pembaca al-Qur’an paling awal yang mengunakan melodi adalah ‘Abdullah bin Abu> Bakar. Lihat
Ibnu Qutaibah, al-Ma’a>rif, (Bairut, Maktabah Muas|irah, 1970), hlm.232
5

proses penerimaan dengan mata maupun telinga, pengalaman seni, serta cita rasa

akan sebuah obyek atau penampakan.9

Terkait dengan maksud di atas, maka pendengaran, penghayatan,

pengalaman, serta keharuan terhadap al-Qur‟an dalam proses resepsi atau

penerimaannya dapat dikategorikan dalam dimensi Resepsi Estetis. Hal tersebut

dapat menunjukan bahwa sejarah resepsi al-Qur‟an bisa dijadikan sebagai

pijakan bahwa al-Qur‟an memang menjadi inspirator atau setidaknya faktor yang

berpengaruh dalam aspek-aspek yang terkait dengan estetika. Di samping itu,

dengan keyakinan bahwa semua agama memiliki unsur estetik, maka hal tersebut

menunjukan adanya hubungan yang erat antara al-Qur‟an dengan generasi awal

penerimaannya dan antara seni dan agama, wahyu dan puisi pengalaman estetik

dengan pengalaman keagamaan.10

Pada pembahasan ini dapat dicontohkan dengan riwayat yang dibawakan

oleh Ibnu Isha>q, suatu ketika al-T{ufail, seorang sastrawan terkemuka bangsa

Arab dari Bani Daws berkunjung ke Makkah, karena mendengar berita bahwa

ada seorang “ahli sihir” bernama Muhammad SAW.. Ketika al- T{ufail berada di

dekat Muhammad SAW. dan mendengarkan ajaran-ajaran yang dibawakannya,

pikirannya berubah untuk tidak lagi percaya dengan berita-berita orang Quraisy

Makkah yang menganggap Muhammad SAW. adalah “ahli sihir”. Bahkan ketika

9
Muhammad Nur Kholis Setiawan, Para Pendengar Firman Tuhan;Telaah Terhadap Efek
Estetik al-Qur’an, Jurnal al-Jamiah, Vol 39 nomor 1 Januari-Juni 2001, hlm.246
10
Muhammad Nur Kholis Setiawan, al-Qur’an Kitab Sastra Terbesar, (Yogyakarta: ELSAQ
Press, 2005), hlm.71
6

al- T{ufail mendengarkan qira>’ah (bacaan) Nabi Muhammad SAW., berkatalah

dia, “saya adalah empu sastra yang ahli menilai mana gubahan sastra yang indah

dan mana yang tidak. Tetapi mendengar bacaan Muhammad SAW., terus terang

saya belum pernah mendengar untaian kalimat seindah ini”. Tidak lama

kemudian al-Tufail memeluk agama yang dibawa Nabi Muhammad SAW. yaitu

agama Islam.11

Penelitian terbaru yang penulis anggap cocok dalam meneropong kajian

resepsi estetis dalam bingkai sejarah penerimaan al-Qur‟an adalah yang telah

dilakukan oleh seorang Islamis Iran kelahiran Jerman yang bernama Navid

Kermani, beliau mengawali karirnya sebagai pemikir di bidang kajian al-Qur‟an

di Barat dengan buku pertamanya yang berjudul Offenbarung als komunikation;

Das Konzept wahy in Nasr Abu Zayd Mafhum al-Nass (Wahyu Sebagai

Komunikasi; Telaah atas Konsep Abu Zaid tentang Wahyu dalam Mafhu>m al-

Nas}, terbit 1996), kemudian dilanjutkan dengan kajian atas sejarah penerimaan

al-Qur‟an sebagai Disertasi di “Orientalisches Seminar” Universitas Bonn tahun

1998. Karya-karya lainnya banyak berupa artikel di beberapa jurnal studi Islam

international.12

11
Muhammad Nur Kholis Setiawan, al-Qur’an Kitab Sastra, hlm. 74
12
Disertasi terkait dengan sejarah penerimaan al-Qur’an yang karang oleh Navid Kermani
selanjutnya dijadikan buku dengan judul Gott ist schon; Das Aesthetische Erlebens des Koran. Lihat
Muhammad Nur Kholis Setiawan, ‚Para Pendengar Firman Tuhan;Telaah Terhadap Efek Estetik al-
Qur’an‛, Jurnal al-Jamiah, Vol 39 nomor 1 Januari-Juni 2001, hlm.243
7

Kajian Kermani atas resepsi al-Qur‟an ini dilatar belakangi oleh kajian

pendahulunya yang masih terkonsentrasi terhadap kajian sejarah teks al-Qur‟an

serta kurangnya sarjana Barat dalam kepustakaan Barat untuk mengungkap

literatur sirah terkait aktivitas resepsi estetis terhadap al-Qur‟an oleh para

generasi awal. 13 Hal tersebut mengilhami Kermani untuk mengungkap sejarah

penerimaan al-Qur‟an berdasarkan contoh-contoh dalam literatur klasik terutama

yang berbahasa Arab dan Persia.

Dalam penelitian tersebut Kermani mengunakan beberapa teori sastra yang

berkembang pesat di dunia Barat pada periode modern ini, diantaraya adalah

teori resepsi Jauss 14 dan teori memori kultural yang dikenalkan oleh Jan

Assmann. 15 Dalam meneliti sejarah resepsi al-Qur‟an Kermani mengunakan

teori resepsi Jauss karena teori tersebut mengedepankan efek dan estetika

tanggapan, dua aspek tersebut adalah kunci dalam pembicaraan mengenai peran

serta pembaca dalam memahami sebuah karya sastra. Pembaca menilai,

memahami, menafsirkan karya sastra serta menentukan nasib dan peranannya

13
Kajian Kermani dilandasi oleh beberapa faktor. Landasan tersebut di antaranya: Pertama,
sejarah resepsi al-Qur’an belum pernah tersentuh oleh para peneliti barat. Kedua, dalam kenyataannya
resepsi al-Qur’an merupakan bagian yang teramat penting dalam sejarah kehidupan umat Islam.
Ketiga, dalam literatur sirah banyak ditemukan data tentang aktivitas ‚baca‛ dan penghayatan al-
Qur’an generasi awal islam. Lihat Muhammad Nur Kholis Setiawan, al-Qur’an Kitab Sastra
Terbesar, hlm.71
14
Beliau memiliki nama lengkap Hans Robert Jauss, merupakan salah satu tokoh kritik sastra
Jerman yang cukup berpengaruh. Lihat juga Hans Robet Jauss, Toward an Aesthetic of Reception
,(Minniepolis: University of Minnisota Press, 1970), hlm.5
15
Jan Assmann adalah ahli linguistik yang sangat produktif mempopulerkan kritik-kritik
sastra modern. Lihat Muhammad Nur Kholis Setiawan, ‚Para Pendengar Firman Tuhan;Telaah
Terhadap Efek Estetik al-Qur’an‛. Jurnal al-Jamiah, Vol 39 number 1 januari-juni 2001, hlm.244
8

dari segi sejarah estetik. Sedangkan teori memori kultural digunakan untuk

menjelaskan bahwa masyarakat membayangkan gambaran dirinya yang

berlangsung terus menerus sepanjang generasi sehingga membentuk semacam

identitas kultural masyarakat tersebut. 16 Konsep ini kemudian dielaborasi oleh

Kermani untuk membidik suasana awal masyarakat pertama wahyu melalui

rekaman-rekaman resepsi yang tersebar dalam berbagai literatur Islam klasik.

Berdasarkan teori resepsi estetis yang dikemukakan Navid Kermani di atas,

penulis mencoba merumuskan pola penerimaan masyarakat terhadap pembacaan

musikalik al-Qur‟an dengan menghadirkan dua kasus. Pertama, masyarakat Arab

generasi awal Islam, kedua, komunitas Sufi. Kedua kasus tersebut merupakan

representasi dari kelompok masyarakat yang menonjolkan tujuan estetis dalam

rangka mengekpresikan penerimaan mereka terhadap kitab sucinya.

Deskripsi pembahasan ini memunculkan beberapa pertanyaan. Pertama,

karakteristik seperti apakah yang dimiliki al-Qur‟an. Kedua adakah aspek-aspek

ritmik musikalik sebagai simbol estetika. Ketiga dimensi seperti apakah yang

dimiliki pembaca sehingga muncul fenomena dan reaksi yang beragam dalam

proses resepsi al-Qur‟an. Jelas sekali bahwa resepsi al-Qur‟an bukan perkara

yang simpel, resepsi al-Qur‟an merupakan fenomena yang sangat istimewa

Mencermati karakteristik teks al-Qur‟an sebagai representasi sebuah susunan

yang memiliki komposisi ritmik dan musikalik yang indah di satu sisi dan

maraknya “aktifitas fisik” yang spektakuler dan mencengangkan seperti


16
Muhammad Nur Kholis Setiawan, al-Qur’an Kitab Sastra, hlm.74
9

menangis, menjerit, pingsan bahkan meninggal yang disebabkan pengaruh

psikologi al-Qur‟an di sisi lain, kiranya jelas bukanlah komposisi yang biasa-

biasa saja. Penulis mengharapkan kajian tersebut dapat menjadi pondasi awal

dalam melakukan riset terkait dengan resepsi estetis yang terjadi dan berkembang

pada era modern.

B. Rumusan Masalah

Penulis membatasi masalah yang dikaji pada konsep resepsi estetis. Resepsi

adalah penerimaan atas sebuah teks sastra, yang dalam penelitian ini adalah al-

Qur‟an dan efek yang dihasilkan. Adapun kajian tentang efek sebuah teks sastra,

dalam teori resepsi, harus mengikutsertakan peran pembacanya. Estetis adalah

proses penerimaan dengan mata maupun telinga, pengalaman seni, serta cita rasa

akan sebuah obyek atau penampakan. Oleh sebab itu, yang dimaksud pengunaan

kata estetis bukan merupakan konsep atau ajaran keindahan atau yang sering

disebut dalam „Ulu>m al-Qur’a>n (ilmu-ilmu al-Qur‟an) sebagai i`ja>z al-Qur’a>n

(kemukjizatan al-Qur’an). Selanjutnya, mengingat luasnya kajian resepsi estetis

terhadap al-Qur‟an, maka kajian ini juga dibatasi hanya pada term aspek-aspek

ritmik dan musikalik al-Qur‟an beserta reaksi-reaksi yang ditimbulkan dari term

tersebut. Adapun masalah yang nantinya akan dicoba dijawab dalam penelitian

ini adalah sebagai berikut:

1. Bagaimana teori resepsi estetis Navid Kermani ?


10

2. Bagaimana relevansi teori resepsi estetis Navid Kermani terhadap fenomena

musikalik al-Qur‟an ?

C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian

Berdasarkan latar belakang masalah dan rumusan masalah yang disebutkan

diatas, maka penelitian ini memiliki beberapa tujuan dan kegunaan.

1. Tujuan Penelitian

a. Mengetahui secara mendalam dan sistematis teori resepsi estetis yang

digagas oleh Navid Kermani

b. Mengetahui relevansi serta mekanisme aplikasi teori resepsi estetis Navid

Kermani terhadap fenomena musikalitas al-Qur‟an

2. Kegunaan penelitian

Adapun kegunaan penelitian ini antara lain :

a. Penelitian ini diharapkan dapat menjadi acuan baru dalam hal metode dan

pendekatan untuk mengembangkan khazanah studi al-Qur‟an, baik dari

kalangan generasi sekarang maupun generasi yang akan datang

b. Secara teoritis diharapkan hasil dari kajian ini dapat menjadi salah satu

tawaran metodologi dalam riset living al-Qur‟an

D. Telaah Pustaka

Kajian kritis atas Resepsi Estetis terhadap al-Qur‟an: Implikasi Teori

Resepsi Estetis Navid Kermani terhadap Musikalitas al-Qur‟an dapat ditelusuri

dalam 3 kelompok literatur (1) kajian atas Resepsi Estetis terhadap al-Qur‟an (2)

telaah pemikiran Navid Kermani (3) telaah atas kajian musikalitas al-Qur‟an.
11

Ketiga kelompok tersebut dapat didapatkan dari berbagai sumber data baik

berupa artikel, skripsi maupun buku.

Pada kelompok pertama ditemukan beberapa karya yang membahas seluk

beluk Resepsi Estetis terhadap al-Qur‟an antar lain.

Buku dengan judul Berdialog dengan al-Qur’an: Memahami Pesan Kitab

Suci dalam Kehidupan Masa Kini. Buku ini mengupas berbagai permasalahan

terkait dengan kehidupan manusia yang berhubungan dengan al-Qur‟an, adapun

poin penting dalam buku tersebut adalah konsep penjagaan al-Qur‟an yang

dijelaskan Muhammad al-Ghazali berupa penghafalan al-Qur‟an. Proses

penjagaan dengan hafalan menunjukan adanya unsur kemurnian al-Qur‟an

dengan kesadaran diri berusaha untuk menjaganya. Dalam hal ini melibatkan

proses dialog antara manusia dengan al-Qur‟an. Muhammad al-Ghaza>li juga

mengkritik umat muslim dewasa ini karena sikap mereka serta respons terhadap

al-Qur‟an yang mereka muliakan terkesan sangat tidak bagus.17

Begitu juga buku yang berjudul Seluk Beluk al-Qur’an karangan Drs. Zainal

Abidin. Buku ini menjelaskan beberapa faedah membaca al-Qur‟an serta

implikasi yang ditimbulkan setelah membacanya baik berupa pengalaman

empirik maupun pengalaman spiritualis, bahkan dalam beberapa pendapatnya

Zainal Abidin berani dengan yakin berpendapat bahwasanya seorang muslim

akan menemukan kenikmatan membaca al-Qur‟an ketika selesai

17
Muhammad al-Ghaza>li, terj. Maskur Hakim dan Ubaidillah, Berdialog dengan al-Qur’an
‚Memahami Pesan Suci dalam Kehidupan Masa Kini‛, (Bandung:Mizan, 1997), hlm.12-13
12

menghatamkannya. Hal tersebut dimaksudkan agar pembaca dapat merasakan

bahwa terdapat efek estetik dari membaca al-Qur‟an dengan reaksi yang

bermacam-macam.18

Selanjutnya dalam buku yang ditulis oleh Sayyed Hossein Nasr yang

berjudul Spiritualitas dan Seni Islam beliau membahas secara mendalam tentang

seni yang terdapat dalam sejarah umat Islam yang mana seni Islam tersebut

memainkan fungsi yang cukup sentral dan sangat penting dalam kehidupan

seorang muslim. Sayyed Hossein Nas{r menghubungkan antara aspek-aspek

spiritual dalam diri seorang muslim dengan keragaman respons dan reaksi yang

ditimbulkan dari hubungan manusia dengan al-Qur‟an. Hal tersebut terlihat

dengan konsep “Dunia Imajinasi” yang memainkan peran yang urgen atas

terciptanya seni-seni dalam Islam.19

Ismail Raji al-Faruqi dalam bukunya yang berjudul Seni Tauhid: Esensi dan

Ekpresi Estetika Islam. Ia menjelaskan bahwa hubungan antara manusia dengan

al-Qur‟an tidak bisa diragukan lagi. Kebudayaan Islam dalam kenyataannya

adalah “Budaya Qur‟ani”. Al-Qur‟an tidak hanya didapatkan pengetahuan

mengenai realitas ultima saja, melainkan al-Qur‟an juga selalu berdialog dengan

budaya masyarakatnya. Dibutuhkan pola estetis bagi al-Qur‟an untuk

berkontemplasi dengan budaya dan masyarakat untuk menyokong ideologi dasar

18
Zainal Abidin S. Seluk-Beluk al-Qur’an, (Jakarta: Rinaka Cipta, 1992), hlm.152-163
19
Sayyed Hossein Nas{r, Spiritualitas dan Seni Islam, terj. Drs. Sutejo, (Bandung: Mizan,
1993), hlm.13
13

dan struktur masyarakat. Al-Qur‟an dinyatakan sebagai “karya seni pertama

dalam Islam” sehingga masyarakat Islam merespons atau meresepsi al-Qur‟an

dengan berbagai macam reaksi budaya.20

Pembahasan resepsi al-Qur‟an dalam bentuk artikel pernah ditulis oleh

Ahmad Baidhowi dengan judul “Resepsi Estetis terhadap al-Qur‟an” yang

disampaikan dalam Seminar Living al-Qur‟an dan Hadits pada tanggal 8 – 9

Agustus 2006. Beliau memfokuskan pada telaah penerimaan al-Qur‟an yang

bersifat estetis. Ia menjelaskan bahwa banyak sekali ragam resepsi atau

penerimaan masyarakat muslim terhadap al-Qur‟an dikarenakan persingungan

antara tradisi seni dengan tradisi keagamaan. Dalam menghubungkan antara

tradisi pengalaman estetik dengan pengalaman keagamaan beliau menjelaskan

tentang estetika dan spiritualitas dalam Islam yang disertai dengan uraian tentang

al-Qur‟an yang merupakan sebuah keindahan yang metafisik, serta proses

kebergaulan muslim terhadap kitab sucinya.21

Skripsi yang ditulis oleh Muhammad Mukhtar, dengan judul Resepsi Santri

Lembaga Tahfidzul Qur’an Pondok Pesantren Wahid Hasyim Terhadap al-

Qur’an. Sesuai dengan judul dari skripsi ini penulisnya ingin mengupas bahwa

al-Qur‟an merupakan karya sastra terbesar, termasuk mukjizat yang menjadi

pegangan umat Islam seantero dunia, banyak menyimpan rahasia-rahasia besar,

20
Ismail Raji al-Faruqi, Seni Tauhid: Esensi dan Ekspresi Estetik Islam, terj. Hartono
Hadikusumo. (Yogyakarta: Yayasan Bentang Budaya, 1999), hlm.13
21
Ahmad Baidhowi, ‚Resepsi Estetis terhadap al-Qur’an‛ disampaikan dalam Seminar Living
al-Qur’an ; al-Qur’an dalam Fenomena Sosial dan Budaya di Yogyakarta 8 - 9 Agustus 2006
14

sehingga masyarakat Muslim ketika berinteraksi dengan al-Qur‟an terdapat

keanekaragaman dalam mengaplikasikan dan mengamalkannya. Penelitian ini

mendeskripsikan dan menganalisis secara kritis tentang resepsi santri Lembaga

Tahfidzul Qur‟an Pondok Pesantren Wahid Hasyim. Fokus pada fenomena ritual

pembacaan santri al-Muawwiżatai>n, Ya>sin, al-Rahma>n, al-Wa>qi'ah dan Ayat

Kursi. Sebagai perilaku konkrit atas pemahaman dan pemaknaan santri terhadap

al-Qur‟an, dari hasil pergumulan dengan situasi sosial budaya baik sebelum

ataupun sesudah masuk Lembaga Tahfidzul Qur‟an Pondok Pesantren Wahid

Hasyim.

Dari kelompok kedua tidak banyak ditemukan kajian yang khusus

membahas sosok Navid Kermani akan tetapi dari penelusuran penulis ditemukan

beberapa antara lain:

Artikel yang ditulis oleh William A. Graham dengan judul Gott ist Schön.

Das ästhetische Erleben des Koran,yang sebagai book review atas pemikiran

Navid Kermani ditulis dalam jurnal internasional Jerusalem Studies in Arabic

and Islam vol 24 tahun (2000). Ia menjelaskan bahwa kehidupan generasi-

generasi awal Islam yang serba relegius ditambah dengan penghayatan mereka

terhadap kitab suci menghasilkan berbagai macam bentuk reaksi terhadap al-

Qur‟an, dengan megunakan beberapa teori kritik sastra menjadikan penelitian

yag dilakukan Navid Kermani kaya atas wawasan baru. 22 Serupa dengan hal

22
(Book Review) Navid Kermani, ‚Gott ist Schön. Das asthetische Erleben des Koran‛, in
Jerusalem Studies in Arabic and Islam Vol 24 tahun 2000, hlm.529-534
15

tersebut Muhammad Nur Kholis Setiawan menulis sebuah artikel yag berjudul

Para Pendengar Firman Tuhan;Telaah Terhadap Efek Estetik al-Qur’an, ditulis

dalam Jurnal Al-Jamiah, Vol 39 number 1 Januari-Juni 2001.23 Pada kelompok

ketiga ditemukan beberapa karya yang membahas aspek-aspek ritmik dan

musikalik al-Qur‟an antar lain:

Penulis asal Mesir yang bernama Labib as-Said menulis sebuah karya yang

fenomenal dengan judul al-Jam’u as-S}auti al-Awwal Li al-Qur’a>n al-Kari>m aw

al-Mus}ha} f al-Murattal Bawa>’isuhu> wa Mukhat{atuhu. Dalam buku tersebut

terdapat pembahasan tentang unsur-unsur musik yang terkandung dalam al-

Qur‟an, pendekatan yang dilakukan oleh Labib as-Said adalah dengan

menggunakan syair Arab sehingga buku ini lebih mendalami masalah aspek-

aspek internal seperti struktur kata dan kalimat dalam al-Qur‟an24

Berbeda dengan karya dengan judul The Art of Reciting the Qur’an yang

ditulis oleh Kristina Nelson, buku ini lebih mendalami sisi praktis al-Qur‟an

sebagai sebuah bacaan yang memiliki unsur musikal, sehingga kajian dalam buku

ini terlihat seperti kajian lapangan karena banyak data-data yang diambil

langsung dari praktik dan fenomena masyarakat Mesir dalam membaca al-

23
Muhammad Nur Kholis Setiawan, Para Pendengar Firman Tuhan;Telaah Terhadap Efek
Estetik al-Qur’an, Jurnal Al-Jamiah, Vol 39 nomor 1 januari-juni 2001, hal.244
24
Labib al-Said, al-Jam’u as-S}auti al-Awwal Li al-Qur’a>n al-Kari>m aw al-Mus}h}af al-Murattal
Bawa>’isuhu wa Mukhat{atuhu. (Kairo: da>r al-Katib al-‘Araby Li at-T>}aba’ah wa al-Nasyr. T.t.), hlm.5
16

Qur‟an.25 Tidak jauh berbeda dengan apa yang pernah dilakukan oleh Kristina

Nelson, buku yang berjudul Women, the Recited Qur’an, and Islamic Music in

Indonesia yang ditulis oleh Anna K. Rasmussen juga meneliti fenomena-

fenomena membaca al-Qur‟an dengan metode lapangan yang digunakan, dia

menghadiri acara-acara festival Qira>’ah dan mewawancarai para qa>ri‟-nya.26

Skripsi yang ditulis oleh Abdul Haris Akbar dengan judul “Musikalitas al-

Qur‟an: Kajian Unsur Keindahan Bunyi Internal dan Eksternal al-Qur‟an”.

Sebagaimana yang tertera dalam judulnya, karya ini lebih menfokuskan pada

unsur-unsur musik yang terkandung dalam al-Qur‟an, seperti tajwid, susunan

kalimat serta struktur kata, karya ini sangat berbeda dengan penelitian yang

penulis lakukan karena karya ini lebih terfokus pada ma> fi al-Qur’a>n sedangkan

penelitian yang penulis lakukan lebih terfokus pada ma> haula al-Qur’a>n yaitu

pengaruh serta reaksi pembaca terhadap al-Qur‟an.27

Dari penelusuran di atas dapat disimpulkan bahwasanya penelitian tentang

relevansi teori resepsi estetis Navid Kermani terhadap musikalitas al-Qur‟an

dinilai masih sangat minim pembahasanya serta belum sampai pada proyek

metodologi, sedangkan pengenalan atas tokoh Navid Kermani masih terbatas

25
Kristina Nelson, The Art of Reciting the Qur’an, (New York: The American in Cairo Press,
2001), hlm.2
26
Anne K. Rasmussen, Women, the Recited Qur’an, and Islamic Music in Indonesia, (London:
University of California Press, 2010), hlm.10
27
Abdul Haris Akbar, ‚Musikalitas al-Qur’an : kajian unsur keindahan bunyi Internal dan
Ekternal al-Qur’an‛, Skripsi Fakultas Ushuluddin, Studi Agama dan Pemikiran Islam, UIN Sunan
Kalijaga Yogyakarta 2009, hlm.35
17

dalam artikel. Penulis berupaya untuk meneliti lebih dalam terkait dengan aspek

metodologi resepsi estetis serta historisitas Navid Kermani dalam pemikirannya.

Adapun pembahasan tentang musikalitas al-Qur‟an sebenarnya telah banyak

yang menjurus ke arah kajian tersebut akan tetapi data yang diperoleh masih

terpisah, sehingga penulis berupaya untuk mengsinergikan antara karya-karya

yang ada sebagai rintisan awal dengan pengembangan analisa yang dilakukan

oleh penulis.

E. Metode Penelitian

Penelitian kepustakaan yaitu penelitian yang pengumpulan datanya

dilakukan dengan menghimpun data dari berbagai literatur. Literatur yang diteliti

tidak terbatas pada buku-buku, tetapi dapat juga berupa bahan-bahan

dokumentasi, majalah, jurnal, dan surat kabar. Penekanan penelitian kepustakaan

yang dimaksud adalah untuk menemukan berbagai teori, prinsip, pendapat,

gagasan dan hal lain yang dapat dipakai untuk menganalisis memecahkan

masalah yang diteliti.

1. Jenis Penelitian

Penelitian ini merupakan penelitian kepustakaan (library research), yaitu

jenis penelitian yang objek utamanya adalah literatur-literatur bahan pustaka.

Sumber data yang dipakai meliputi sumber primer dan sumber sekunder.

Adapun sumber-sumber primer, yaitu karya-karya Navid Kermani yang

berhubungan dengan tema penelitian ini serta karya-karya utama di dalam

kajian al-Qur‟an yang membahas aspek-aspek ritmik dan musikalik serta efek
18

estetik terhadap al-Qur‟an dan sumber-sumber sekunder lainnya, yaitu teks-

teks lain yang secara langsung mengacu pada tema ini.

Penelitian ini bersifat deskriprif-analitis dengan pendekatan filosofis.

Maksudnya, setelah data yang ditemukan digambarkan sedemikian rupa,

selanjutnya dilakukan analisis yang bertumpu pada upaya mempersoalkan

secara fundamental dan mencari tilikan-tilikan baru (new insights) terkait

dengan berbagai konsep-konsep penting sehubungan dengan hal-ihwal

Resepsi Estetis atas tema Musikalitas al-Qur‟an dengan menggunakan

kerangka pemikiran filosofis Navid Kermani tentang Efek Estetik al-Qur‟an.

2. Sumber Primer dan Sekunder

Sumber primer penelitian ini adalah Disertasi terkait dengan sejarah

penerimaan al-Qur‟an yang dikarang oleh Navid Kermani selanjutnya

dijadikan buku dengan judul Gott ist schon; Das Aesthetische Erlebens des

Koran, diringkas sebagai bahan tulisan oleh Navid Kermani kedalam

beberapa artikel dalam jurnal yang berjudul The Aesthetic Reception of The

Qur’an as Reflected in Early muslim History (ed) Issa J. boullata dalam

Journal Literary Structure of Religious Meaning in The Qur’an, Recitation

and Aesthetic Reception (ed) Jane Dammen McAuliffe, dalam jurnal The

Cambridge Companion to The Qur’an, Poerty ang Language (ed) Andrew

Rippin dalam jurnal The Blackwell Companion to The Qur’an. Sumber

tersebut dilengkapi dengan sumber-sumber lain yang sifatnya sebagai

penunjang. Adapun sumber penunjangnya adalah kitab-kitab dan buku-buku


19

lain yang dianggap representatif dan relevan dengan topik kajian ini, seperti:

Labib al-said, al-Jam’u as-S}auti al-Awwal Li al-Qur’a>n al-Kari>m aw al-

Mus}h}af al-Murattal Bawa>’isuhu wa Mukhathatuhu, Muhammad Nur Kholis

Setiawan, Para Pendengar Firman Tuhan;Telaah Terhadap Efek Estetik al-

Qur‟an. Jurnal Al-Jamiah, Vol 39 number 1 januari-juni 2001, Kristina

Nelson, The Art of Reciting the Qur’an, Anne K. Rasmussen. Women, the

Recited Qur’an, and Islamic Music in Indonesia dan berbagai literatur tentang

filsafat ilmu dan umum dijadikan pedoman untuk memperkaya analisis.

3. Analisis Data

Dalam menganalisa data yang telah tekumpul, penulis menggunakan

metode analisa data deskriptif-kualitatif. Teknik analisa data kualitatif adalah

teknik analisa data berbentuk kata-kata yang menggambarkan keadaan

sebenarnya dari subyek yang diteliti.

Untuk memperoleh keabsahan data digunakan teknik gabungan antara

deduktif, induktif, komparasi yaitu dengan melakukan analisa data dari karya-

karya Navid Kermani dan tulisan lain sebagai proyek induktif, dan untuk

meneliti subject icon dari Musikalitas al-Qur‟an dapat mengunakan deduktif

sedangkan metode komparasi digunakan untuk membandingkan konsep

resepsi estetis Navid Kermani dengan pemikiran orang lain yang setema

sebagaimana dalam penelitian kualitatif.28

28
Lexy J. Moleong, Metodologi Penelitian Kualitatif edisi Revisi, (Bandung: Rosdakarya,
2005), hlm.330
20

Berdasarkan konseptualisasi data, langkah selanjutnya adalah

menjelaskan implikasi teori efek estetik Navid Kermani terhadap aspek-aspek

ritmik dan musikalik al-Qur‟an. Melalui penjelasan ini dapat ditemukan

pandangan dan pemahaman-pemahaman baru seputar konsep resepsi estetis.

Kebaruan ini ditentukan dengan membandingkannya dengan pandangan-

pandangan lama atau pandangan-pandangan yang melihat konsep yang sama

dari sudut berbeda. Dengan kata lain, proses analisis dilakukan demi mencapai

tingkat pemahaman yang heuristik.

F. Sistematika Pembahasan

Sistematika pembahasan skripsi ini dirunut dalam lima bab dan masing-

masing bab tersebut dipaparkan ke dalam beberapa sub bab. Adapun bab-bab

tersebut adalah sebagai berikut:

Bab I berisi pendahuluan sebagai landasan awal dalam melakukan

penelitian, yang terdiri dari latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan dan

kegunaan penelitian, telaah pustaka, metode penelitian, dan sistematika

pembahasan. Bab ini merupakan pengantar dari pembahasan yang akan dikaji,

sekaligus sebagai kerangka teori pembahasan yang berisi metode penelitian yang

akan digunakan.

Bab II membicarakan secara kritis dimensi Musikalik al-Qur‟an dimulai

dengan deskripsi-kritis tentang musik dalam sejarah kebudayaan Islam,

karakteristik teks, transmisi oral al-Qur‟an serta unsur-unsur pendukung ritmik

dan musikalik yang terdapat dalam al-Qur‟an.


21

Bab III mejelaskan tentang sosok Navid Kermani, baik dibidik dari sketsa

historis tokoh maupun landasan teoritisnya terkait dengan konsep resepsi estetis

al-Qur‟an, serta bangunan teori resepsi estetis sebagai pisau analisis dalam

membedah efek estetik pembacaan musikalik al-Qur‟an yang `terdiri dari teori

resepsi dan teori akal kultural.

Bab IV dirancang untuk menganalisis aplikasi serta implikasi dari teori efek

estetik al-Qur‟an sebagai metodologi resepsi estetis al-Qur‟an pada fenomena-

fenomena pembacaan musikalik al-Qur‟an dengan objek masyarakat multi

perspektif terhadap al-Qur‟an seperti masyarakat Arab generasi awal Islam, dan

komunitas Sufi.

Bab V merupakan penutup dari penelitian ini yang berisi kesimpulan, dan

saran Kesimpulan penelitian merupaka ringkasan hasil analisis yang dilakukan

oleh penulis dari bab dua sampai bab empat. Diharapkan dapat memberikan

kesimpulan yang komprehensif, dan dapat memberikan kritik serta saran yang

konstruktif utuk perkembangan keilmuan kedepan.


BAB II

DIMENSI MUSIKALIK AL-QUR’AN

Tidak diperlukan lagi adanya perdebatan mengenai apakah Islam

mengakomodasi ekspresi seni atau tidak,1 sebab perdebatan tersebut tidak

memberikan manfaat yang signifikan bagi wacana ekspresi seni dalam Islam.

Alangkah lebih bijak jika perbincangan yang diperpanjang adalah bagaimana

ekspresi seni dalam Islam mempengaruhi dan menjadi tiang penyangga peradaban

Islam secara keseluruhan. Ekspresi seni dengan segala ragamnya telah

membuktikan eksistensinya dan menyejarah dalam masyarakat sejak zaman Nabi

Muhammad SAW. hingga zaman kontemporer. Salah satu ekspresi seni dalam

Islam yang dari waktu ke waktu terus mengalami perkembangan adalah seni

musik.

Seni musik tidak semata-mata ekspresi seni dalam keindahan suara, lebih

dari itu, musik merupakan bagian terpenting dari ungkapan kebertuhanan yang

diinspirasi dari al-Qur‟an. Al-Qur‟an berpengaruh menjadikan musik bentuk seni

paling penting dalam budaya Islam. Untuk memperjelas apresiasi al-Qur‟an

1
Para ulama’ berselisih pendapat tentang hukum menyanyi dan alat musik. Menurut mazhab
Jumhur adalah haram, sedangkan Maz}hab Ahl al-Madīnah, al-D}āhiriyah dan Jamā‘ah Sūfiyah
memperbolehkannya. Adapun Abū Mansūr Al-Baghdādī (dari Maz}hab asy-Syāfi‘ī) menyatakan:
Abdullah bin Ja‘far berpendapat bahwa menyanyi dan musik itu tidak menjadi masalah. Dia sendiri
pernah menciptakan sebuah lagu untuk dinyanyikan para pelayan (budak) wanita dengan alat musik
seperti rebana. Ini terjadi pada masa Amīrul Mu’minīn Ali bin Abi Thalib r.a. Lihat Imām Asy-
Syaukānī, Nailul Authār, Jilid VIII, ( Bairut, Al-Da'wah Al Islami>yah, `1997), hlm.100-103. Kemudian
Abu Ishak Al-Syirazi dalam kitabnya al-Muhaz}z}ab mengatakan bahwa diharamkan menggunakan
alat-alat permainan yang membangkitkan hawa. Lihat Abu Isha>q Al-Syirazi, al-Muhaz}z}ab, Jilid
II,(Kairo: Maktabah al-Shafa, 2000>), hlm.237

22
23

terhadap ekpresi seni maka perlu dijelaskan aspek-aspek ritmik musikalik yang

dimiliki al-Qur‟an. Nantinya dapat dijadikan landasan teoritik untuk meneliti

resepsi estetis yang berhubungan dengan model-model ritmik dan musikalik al-

Qur‟an.

A. Definisi Seni Musik dan Musikalitas

Pemahaman dan perhatian masyarakat umum terhadap intisari dan fungsi

sebenarnya dari musik masih sangat kurang. Musik masih banyak diartikan

sebagai bisnis hiburan yang tentu saja identik dengan komersialisme,

konsumerisme dan profesi. Musik tidak lagi dipahami sebagai suatu ekpresi estetis

yang esensial dalam pengertian kehidupan kita.2 Meskipun demikian,

kecenderungannya kini telah bermunculan beberapa kelompok masyarakat yang

secara ilmiah mempelajari teori musik dan musikologi3 melalui pendidikan formal,

misalnya: kursus musik, sekolah musik dan perguruan tinggi jurusan musik.4 Oleh

karena itu sebelum lebih lanjut membahas masalah di atas, penulis perlu

mempertegas definisi musik yang digunakan dalam tulisan ini.

Berbicara mengenai pengertian musik para ahli bahasa masih berbeda

pendapat tentang pengertiannya. Sebagian mengartikan musik dengan kata yang

2
Dieter Mack, Musik Kontemporer dan Persoalan Interkultural, (Yogyakarta: Arti Line,
20012002), hlm.80
3
Musikologi adalah ilmu musik yaitu penyelidikan tentang musik, alat-alat musik serta proses
dan sejarah perkembangan musik. Lihat Pius A. Partanto dan M. Dahlan al-Barry, Kamus Ilmiah
Populer, (Surabaya: Arloka,2001), hlm.501
4
Dieter Mack, Art (music) Education in Indonesia : a Great Potential but a Dilemmatic
Situation, Jurnal EDUCATIONIST vol I no. 2/Juli 2007, hlm.94
24

sangat sederhana, yaitu bunyi-bunyian. Sebagian dari ahli bahasa lain memiliki

pendapat yang lebih luas, bahwa musik adalah komposisi lagu, nyanyian,

senandung. Dalam Kosakata bahasa Arab untuk menyebut lagu digunakan

beberapa istilah seperti gina>' (jama’, aga>ni) (‫غناء‬-‫)أغاني‬, iqa>’, ranin5, sedang musik

disebut mu>si>qi> (‫)موسيقي‬. Tapi, tidak jarang dua kata itu disebut terpisah dengan

makna yang sama. 6

Carterette dan kedall juga mendefinisikan musik sebagai “temporally

organized sound and silence that is areferentially communicative within a

context.”7. Maksud dari terorganisasi di sini adalah bahwa musik merupakan

suara-suara yang memiliki properti-properti seperti pitch, timbre, tone dan rhythm

dan terorganisasi antara satu sama lain. Komunikatif dalam konteks berarti musik

sama seperti bahasa yang memiliki struktur yang tujuannya adalah

mengkomunikasikan arti. Seperti halnya yang dikatakan oleh para ahli bahasa

bahwa bahasa memiliki sintaksis yang tujuanannya mencapai pemahaman

semantiknya.8 Namun, bagaimanapun pengertian tersebut sangat bergantung

dengan konteks kulturalnya.

5
Atabik Ali, Kamus Inggris Indonesia Arab (Yogyakarta: Multi Karya Grafika, 2003), hlm.
832
6
Hans Wehr. Arabic-English Dictionary:the Hans Wehr Dictionary of Modern Written Arabic.
Ed. J M. Cowan. (Germany, Spoken Language Systems, 1977), hlm.638
7
E.C Carterette dan R. Kedall. Comparativ Music Perception and Cognition. Ed D. Deutsch,
The Psychology of Music 2 (San Diego: Academia Press. 1999), hlm.726
8
Jean-Louis Michon, Musik dan Tarian Suci dalam Islam. Ed. Seyyed Hossein Nasr,
Ensiklopedi Tematis Spiritualitas Islam Manifestasi (Bandung, Penerbit Mizan, 2003), hlm.603
25

Adapun unsur-unsur pembentuk musik menurut Josep Machlis seorang

profesor musik dari Queens College of the City University of New York antara

lain :9

1. Musical line adalah lagu, atau pergantian nada-nada yang dirasakan akal

sebagai sesuatu yang ada (entity), lagu yang ada dalam musik disebut roh

musik.

2. Musical space adalah harmoni. Harmoni itu terletak pada nada-nada yang serasi

berbanding dengan panjang dawai dalam bentuk bilangan yang sederhana

seperti oktaf adalah 2:1, fifth adalah 3:2, atau fourth adalah 4:3. Hubungan ini

disebut armonia yang kemudian menjadi istilah harmoni. Harmoni terletak

pada perpindahan dan hubungan paduan nada yang ada pada lagu.

3. Musical time adalah ritme yang terdiri dari ketentuan perpindahan musik dalam

waktu. Ritme merupakan suatu aturan dalam pengorganisasian dan

pembentukan lagu, serta berfungsi mengontrol jarak antara nada satu dengan

nada berikutnya. Ritme bila diulang-ulang dapat mempengaruhi pendengarnya.

4. Musical pace adalah tempo adalah ketentuan dalam kecepatan sebuah musik.

Tempo memiliki implikasi emosional.

5. Musical color adalah tembre (warna nada). Nada yang sama akan menghasilkan

suara yang berbeda ketika nada tersebut disuarakan melalui terompet atau biola.

Perbedaan ini terletak pada sifat warna nada atau timbre yang dimiliki oleh

9
Josep Machlis, The Enjoyment of Music. (New York: W.W. Norton Company, 1955), hlm.
275
26

setiap instrumen. Timbre ini berfungsi untuk mengfokuskan impresi musik

yang kita alami.10

Penjelasan di atas dapat diketahui bahwa substansi musik adalah suara.

Adapun suara, menurut Ibnu Sina11, adalah gelombang udara (al-h}ara>kah al-hawa>).

Karena itu tidak salah jika para filosof klasik seperti Pythagoras, Plato menyatakan

bahwa gerakan planet menghasilkan musik samawi yang indah,12 sehingga pada

gilirannya dapat mempengaruhi kondisi fisik, emosi, mental hingga spiritual

seseorang.

Sedangkan arti musikalitas secara etimologi dilihat dari Kamus Besar

Bahasa Indonesia adalah kata benda turunan dari kata sifat musik yaitu musikal

dengan menambahkan sufiks –tas sehingga menjadi musikalitas. Secara gramatikal

kata ini berarti hal atau sesuatu tentang atau bisa juga berarti kualitas atau keadaan

dari sesuatu yang bersifat musik.13 Dilihat dari asal-usul kata sebenarnya

musikalitas merupakan terjemahan dari musicality yang maknanya adalah “the

10
Dalam menjelaskan unsur-unsur pokok yang terdapat dalam musik, para ahli berbeda
pendapat dalam memberikan penjelasan. Ikhwan al-Shafa, misalnya menyatakan bahwa musik adalah
suara yang mengandung lagu (lah}n), nada (nag>m), cengkok (iqa>’at), penjelasan lebih panjang tentang
musik dalam golongan sufi dapat dilihat di tulisan Abdul Muhaya, Bersufi Melalui Musik:Sebuah
Pendekatan Musik Sufi oleh Ahmad Al-Ghazali, (Yogyakarta: Gama Media, 2003 ), hlm.28
11
Nama lengkap Ibnu Sina adalah Abu Ali Husain ibn Abdillah ibn Sina. Ia lahir pada tahun
980 M di Asfahan, suatu tempat dekat Bukhara. Di Bukhara ia dibesarkan serta belajar falsafah
kedokteran dan ilmu-ilmu Agama Islam. Ketika berumur sepuluh tahun ia telah banyak mempelajari
Agama Islam dan menghafal al-Qur’an seluruhnya. Lihat Henry Corbin, History of Islamic
Philosophy, (London and New York in Association with Islamic Publication for The Ismaili Studies,
2001), hlm.167
12
Abdul Muhaya, Bersufi Melalui Musik, hlm.29
13
Tim Pustaka Phoenix, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Edisi ketiga, (Jakarta: Pustaka
Phoenix, 2007), hlm.570
27

state of being musical” dan kata musikal sendiri berarti “sounding pleasant like

music”.14 Menurut penelitian Ana Liduna, ia menjelaskan bahwa musikalitas

adalah kualitas dari keinginan seseorang untuk menghayati emosi, irama,

pemikiran dan ingatan musik, kualitas nyanyian, pendengaran, dan jangkauan

suara, yang bersifat timbal balik saat mendengarkan sebuah musik.15

Dari beberapa rujukan di atas, dapat disimpulkan bahwa musikalitas adalah

segala sesuatu yang berhubungan dengan musik. Dalam hal ini mencakup dua

aspek yaitu musik dalam arti sempit dan musik dalam arti luas. Musik dalam arti

sempit yaitu bunyi-bunyian yang mencakup nada itu sendiri dan irama. Sedangkan

musik dalam arti luas adalah segala sesuatu yang berhubungan dengan konsep

pemikiran dan ingatan musik, komposisi nada dan irama, penghayatan musik,

resepsi terhadap musik, kualitas nyanyian sebagai bentuk komunikasi antara

pencipta lagu dan pendengar yang kesemuanya mengarah pada pengetahuan,

bakat, kemampuan dan sikap yang bersifat timbal balik terhadap musik itu sendiri.

Kajian dalam tulisan ini merupakan rintisan awal untuk melihat model-

model ritmik musikalik dalam al-Qur‟an. Tulisan ini didasarkan pada asumsi

bahwa ada kaitannya antara al-Qur‟an dengan pola puisi yang berkembang di

masyarakat Arab pra-Islam. Keterkaitan antara al-Qur‟an yang berkembang pada

14
A. Bazouki, The Oxford English Dictionary, Second Edition, (Oxford: Clarendon Press,
2007), hlm.621
15
Dikutip dari skripsi Abdul Haris Akbar , ‚Musikalitas al-Qur’an : kajian unsur keindahan
bunyi Internal dan Ekternal al-Qur’an‛, Skripsi Fakultas Ushuluddin, Studi Agama dan Pemikiran
Islam, UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta 2009, hlm.38
28

masa itu dikarenakan seluruh hasil karya, termasuk al-Qur‟an pada dasarnya

merupakan upaya untuk memberikan respon yang bermakna terhadap situasi

tertentu dalam hal ini adalah situasi kultur sastra masyarakat Arab.

B. Al-Qur’an dan Basis Kultur Sastra Masyarakat Arab

Dalam kajian keIslaman, pembahasan mengenai sastra lebih khususnya

musik dalam Islam memiliki dimensi yang sulit untuk dijelaskan dan terkesan

buntu. Hal tersebut dikarenakan minimnya ulama‟ yang secara konsen meneliti

tentang hal ihwal musik.16 Dalam lintasan sejarah kebudayaan Islam terdapat

banyak perbedaan pendapat mengenai status musik serta asal-muasal musik.

Para ahli sastra juga berbeda pendapat mengenai asal-muasal musik,

menurut Abdul Muhaya, beliau dapat mengelompokkan beberapa pandangan

terkait dengan musik menjadi dua madzhab pemikiran.

1. Mazhab revalationism yang mempercayai bahwa musik berasal dan bersumber

dari alam metafisika melalui tersibaknya tabir atau pewahyuan. Teori ini

berpangkal dari pemikiran bahwa musik merupakan bunyi yang dihasilkan oleh

16
Musik termasuk dalam kajian sastra sedangkan dialektika antara al-Qur’an dengan dunia
sastra sebenarnya telah ada pada masa klasik akan tetapi masih dalam tahap pewacanaan belum
merambah aspek praktis, apalagi yang merambah bidang musik sehingga mengalami penurunan
dibandingkan dengan pendidikan musik di barat. Karya sastra tersebut dapat dilihat dari karya-karya
ulama’ klasik. Adapun para sarjana mujahid dan setelahnya yang ambil bagian dalam
mengembangkan cikal bakal tafsir susastra al-Qur’an, antara lain Hasan al-Basri (w. 110/728), Ata’
ibn Abi Rabbah (w. 114/732), Qata>d ah (w. 128/745), al-Suddi al-Kabi>r (w. 128/745). Sementara
generasi setelah Mujahid, di antaranya adalah Ibnu Juraij (w. 150/767), Muqa>til Ibnu Sulaima>n (w.
150/767), Sufya>n al-Tsauri (w. 161/777), Abu Ubayda al-Mus|anna (w. 210/825), dan Yahya ibn Ziya>d
al-Farra’ (w. 207/822). Penjelasan lebih rinci dari setiap tokoh dapat dilihat di Muhammad Nur
Kholis Setiawan, al-Qur’an Kitab Sastra Terbesar, (Yogyakarta: ELSAQ Press, 2005), hlm.138-139
29

gerakan jagat raya yang mana gerakan-gerakan itu menimbulkan suara yang

indah karena diciptakan oleh tuhan dengan komposisi termulia.17

2. Mazhab naturalism, menurut aliran ini, manusia melalui fitrahnya dapat

menciptakan musik. Aliran ini beranggapan bahwa kemampuan manusia untuk

menciptakan musik merupakan fitrah, sebagaimana kemampuan untuk melihat,

mencium, mendengar, dan berjalan. Pendapat ini dapat kita lihat, misalnya pada

pemikiran al-Farābi. Menurutnya musik itu muncul dari tabiat manusia dalam

menangkap suara yang indah yang ada di sekelilingnya.18

Bagaimanapun juga, kedua madzhab di atas masih bersifat spekulatif.

Meskipun demikian masing-masing teori memiliki implikasi yang berbeda bagi

para pengikutnya, bagi pengikut madzhab revalationism musik dianggap sebagai

seni suara dan sekaligus memiliki dimensi magis, ritualik, dan memiliki pertalian

yang kuat dengan agama, sedangkan bagi pengikut madzhab naturalism musik

adalah bagian dari budaya manusia karena tumbuh dan berkembang bersama. Bagi

kelompok pertama musik dianggap sebagai sesuatu yang sakral dan bagi kelompok

kedua musik dianggap sebagai sesuatu yang profan.

Dimensi musikalik dalam al-Qur‟an yang dibahas dalam bab ini adalah

untuk meneropong aspek-aspek musik yang dimiliki al-Qur‟an. Keberadaan al-

Qur‟an yang mampu menghasilkan suara atau bunyi yang menyenangkan

(harmonis) seperti musik lazim disebut dimensi musikalik al-Qur‟an, akan tetapi

17
Abdul Muhaya, Bersufi Melalui Musik, hlm.23
18
Ibid, hlm.24
30

tentu saja bukan berarti al-Qur‟an adalah musik, melainkan menjelaskan bahwa

kenyataannya, al-Qur‟an mempunyai suara atau bunyi yang harmonis ketika

dibaca yang dapat mempengaruhi perubahan fisik, mental serta spritual seseorang

sebagai pendengarnya. Penelitian ini tidak bisa dilepaskan dari akar budaya

masyarakat Arab sebagai penerima awal wahyu, hal itu disebabkan dimensi

musikalik al-Qur‟an sangat ada kaitannya dengan kultur sastra bangsa Arab.

Al-Qur‟an sebagai kala>m Allah SWT. yang mengunakan media bahasa,

dalam hal ini adalah bahasa Arab, tidak dapat dilepaskan dari tradisi dan budaya

bangsa Arab. Fakta bahwa al-Qur‟an berbahasa Arab dan diturunkan secara

berkala sesuai dengan kebutuhan, adanya tutur bahasa yang dipakai sesuai dengan

lawan bicara, dan gejala lainnya, semuanya menunjukan bahwa al-Qur‟an tidak

sama sekali berbeda dengan tradisi kala>m yang telah berkembang pada saat itu.

Pengertian lain, upaya memahami fenomena al-Qur‟an harus dilihat dalam

perspektif budaya di mana al-Qur‟an berada pertama kali.19

Bangsa Arab dikenal sebagai masyarakat yang sangat tegas membedakan

antara yang asli (`Arabi>) dan yang asing (’Ajami). Al-Qur‟an juga membedakan

wahyu dalam bahasa Arab dan wahyu dengan bahasa asing (‘Ajam). Perhatikan

Q.S. 41:44

Dan jikalau Kami jadikan al-Quran itu suatu bacaan dalam bahasa selain
Arab, tentulah mereka mengatakan: "Mengapa tidak dijelaskan ayat-
ayatnya?" Apakah (patut al-Quran) dalam bahasa asing sedang (Rasul adalah

19
A. Patah, ‚Musikalitas al-Qur’an dalam Ayat-Ayat Makiyyah.‛ Adabiyat, 1 Maret 2005,
hlm.5
31

orang) Arab? Katakanlah: "al-Quran itu adalah petunjuk dan penawar bagi
orang-orang mukmin. Dan orang-orang yang tidak beriman pada telinga
mereka ada sumbatan, sedang al-Quran itu suatu kegelapan bagi mereka.
mereka itu adalah (seperti) yang dipanggil dari tempat yang jauh".20

Pembedaan tersebut meliputi ras, suku, warna kulit, dan bahasa, akan tetapi

bahasalah pembeda yang paling penting. Kefasihan seseorang dalam

mengartikulasikan bahasa Arab sebagai syair, musik maupun yang lainnya dalam

kehidupan keseharian serta kepiawaian mengubah karya sastra atau syair menjadi

harmonisasi musik yang indah merupakan tolak ukur yang dominan untuk

menentukan Arab tidaknya seseorang.21

Para sejarawan memposisikan gubahan sastra atau syair sebagai elemen

pemersatu bagi bangsa Arab. Hal tersebut dikarenakan bangsa Arab pada masa

jahiliyah atau masa pra Islam tidak memiliki landasan politik yang sama.

Sebaliknya mereka saling berperang untuk mempertahankan tanah masing-masing.

Satu-satunya unit sosial yang kuat dan sangat berpengaruh pada masa itu adalah

suku. Bahasalah yang merupakan elemen pemersatu bagi suku-suku dari semua

konflik yang terjadi di jazirah Arab abad ke 7.

Pada abad VII masehi, turunlah al-Qur‟an yang dijadikan sebagai kitab suci

umat Islam. Al-Qur‟an tampil dengan berbahasa Arab, agar dapat dipahami oleh

manusia pada waktu itu. Para penyair ketika itu memiliki kedudukan yang sangat
20
Zaini Dahlan, Azharuddin Sabil, al-Qur’an Karim dan Terjemahan Artinya. (Yogyakarta,
UII Press, 1999), hlm.859
21
Muhammad Nur Kholis Setiawan, Para Pendengar Firman Tuhan;Telaah Terhadap Efek
Estetik al-Qur’an. Jurnal Al-Jamiah, Vol 39 number 1 Januari-Juni 2001, hal.249
32

terhormat pada setiap kabilah, karena mereka dianggap sebagai penjaga martabat

serta kehormatan kabilahnya. Dengan begitu mereka disanjung-sanjung setinggi

langit oleh kabilahnya.22 Ketika keindahan al-Qur‟an dapat mengunguli peradaban

masyarakat Arab yang memiliki kualitas sastra tinggi, maka al-Qur‟an dikagumi,

bukan hanya bagi kalangan Arab akan tetapi non Arab pun mengagumi al-Qur‟an.

Gubahan sastra Arab serta syair-syair Arab merupakan suatu fenomena yang

kompleks. Kosakata, keunikan tata bahasa, serta sejumlah kaidah yang ketat

diwariskan turun temurun, sehingga hanya pelajar yang benar-benar cerdas yang

dapat menguasai bahasa tersebut. Nabi Muhammad tumbuh dalam sebuah dunia

yang penuh takzim mengagungkan ekpresi puitik. Ia tidak pernah mempelajari

keterampilan berpuisi, yang memang cukup sulit. Apa yang dilafalkan berbeda

dengan puisi serta bentuk konvensional ungkapan berirama pada masa itu. Banyak

kaidah syair Arab kuno dialihrupakan secara aneh, meskipun demikian bahasa

yang digunakan al-Qur‟an sangat kuat yang mempesona para pendengarnya pada

saat itu.23

Dalam perkembangan awal Islam, menurut pandangan Philip K. Hitti, yang

menentukan keberhasilan Nabi Muhammad dalam menyebarkan agama Islam

adalah motif-motif sosial, ideologis, propagandistik, serta militer.24 Namun

22
Navid Kermani, ‚Qur’an, Puisi, Politik‛, Kalam Jurnal Kebudayaan, Vol XX, Januari 2003,
hlm.208
23
Ibid, hlm. 211
24
Pada awalnya para pengikut Muhammad SAW hanya terdiri dari golongan keluarga seperti
Khadijah istrinya yang berhasil diyakinkan oleh Waraqah ibnu Nawfal, sepupunya yang menjadi
pelopor kelompok Hanif serta Ali sepupu Muhammad SAW sendiri dan juga dari golongan kelas
33

sumber-sumber Islam klasik banyak menyajikan gambaran lain, faktor utama

yang menentukan keberhasilan Islam adalah pesona yang begitu kuat dari al-

Qur‟an serta kekuatan estetika retoriknya. Hal tersebut dapat dijumpai dalam

buku-buku sejarah Islam yang lebih mempertontonkan perselisihan Nabi

Muhammad dengan para penyair.

Salah satu buktinya adalah riwayat kisah seorang “maestro” penyair Arab

bernama Labid ibn Rabi‟a menggantungkan syair-syair gubahannya di depan pintu

Ka‟bah sebagai ajang unjuk kemampuan mengubah syair di kalangan masyarakat

Arab. Sebab digantungkannya karya Labib, masyarakat Arab berkeyakinan bahwa

keunggulan syair tersebut tidak akan ditandingi oleh sastrawan lain. Suatu ketika,

datanglah beberapa pengikut Muhammad SAW. dengan membawa beberapa

potogan ayat dan mengantukannya di depan pintu Ka‟bah dan meminta Labid

untuk membacanya. Didorong rasa ingin tahu dan merasa tertantang, Labid

kemudian membaca ayat tersebut. Kagum dan terpana akan keindahan bahasa ayat

yang dibacakan, Labid akhirnya memeluk Islam.25

Konversi atau pindah agama yang kebetulan selalu menampilkan seorang

antagonis yang tidak menyukai Nabi Muhammad SAW. dan mendengar bacaan

bawah dan budak. Sedang para elit suku Quraiys tidak sepaham dengan Muhammad SAW dan
mengagap ajarannya bid’ah sehinga mereka melancarkan upaya untuk menjegah agar ajaran
Muhammad SAW tidak meluas. Dirasa olok-olokan yang dilancarkan oleh para pemuka suku Quraiys
tidak berhasil, maka mereka mulai menempuh jalur kekerasan, tindakan itu memaksa beberapa
pengikut Muhammad SAW bermigrasi. Atau hijrah yang mengakhiri periode Mekkah dan mengawali
periode Madinah. Lebih jelasnnya lihat Philip K. Hitti, History of The Arab, (Jakarta: PT Serambi
Ilmu Semesta, 2010), hlm.174
25
Muhammad Nur Kholis Setiawan, al-Qur’an Kitab Sastra, hlm.74
34

beberapa ayat al-Qur‟an dan kemudian pada saat itu juga memeluk agama Islam,

hal tersebut jelas merupakan gambaran keistimewaan al-Qur‟an. Fenomena pindah

agama oleh pengalaman estetik masih sering terjadi dalam sejarah Islam pada

masa-masa berikutnya.

C. Karakteristik Teks al-Qur’an

Al-Qur‟an adalah wahyu Tuhan yang diturunkan kepada Nabi Muhammad

SAW.. Menurut pandangan Nasr Hamid Abu Zayd bahwa makna sentral wahyu

adalah pemberi informasi secara rahasia. Dengan kata lain, wahyu adalah

hubungan komunikasi antara dua pihak yang mengandung pemberian informasi

atau pesan secara samar dan rahasia. Oleh karena itu pemberian informasi dalam

proses komunikasi dapat berlangsung apabila melalui kode tertentu yang

disepakati oleh pengirim dan penerima. Konsep wahyu seperti ini dapat kita temui

dalam puisi, sebagaimana kita temukan pula dalam al-Qur‟an itu sendiri.26

Perlakuan al-Qur‟an sebagai teks, memberikan konsekuensi bahwa wahyu

sebagai hasil dari komunikasi antara Tuhan dengan manusia, di mana Tuhan

sebagai pengirim aktif, sedangkan manusia sebagai penerima pasif, dan al-Qur‟an

26
Kode rahasia antara pemberi informasi dan penerima dapat dipahami sebagaimna Q.S. al-
Qashash ayat 7
      
Dalam ayat tersebut kata wahyu dimaknai dengan pemberian informasi atau yang berupa
pemberian ilham. Jadi dari hal itu dapat ditarik kesimpulan lughawiyah bahwa wahyu adalah proses
pemberian informasi secara samar. Namun proses pemberian ilham kepada manusia tidak digolongkan
wahyu secara terminologi. Karena setiap hari manusia diberi ilham oleh Allah, yang apabila hal itu
dikembangkan akan berpotensi menjadi ilmu pengetahuan. Namun sayangnya kebanyakan manusia
tidak menyadari akan hal itu. Lebih lanjut lihat Nasr Hamid Abu Zaid, Tekstualitas al-Qur’an :
Kritik terhadap Ulumul Qur’an, (Yogyakarta:PT. LKiS Pelangi Aksara, 2005), hlm.30
35

sebagai kode komunikasi. Hal tersebut sejalan dengan teori komunikasi verbal

dalam kacamata linguistik, yaitu dianggap sebagai model komunikasi antara

komunikator dan komunikan dengan menggunakan kode komunikasi.27 Lebih

lanjut menurut Izutsu dilihat dari segi firman, wahyu memuat dua hal, parole dan

langue. Hal tersebut sesuai dengan konsep bahasa menurut Ferdinand de Sausure.

Menurut Nur Khalis Setiawan, al-Qur‟an dalam kapasitasnya sebagai kode

komunikasi yang menuntut tersampainya informasi, setidaknya akan melibatkan

dua metode. Pertama hermeneutika dan kedua estetika. Hermeneutika

berhubungan dengan pemahaman tentang ilustrasi gambar, teks, ritual, serta

manusia itu sendiri sebagai pencipta teks.28 Arti penting hermeneutika dalam

kaitanya dengan al-Qur‟an sebagai teks, terletak pada perannya yang proporsional

dalam menetapkan pertanyaan-pertanyaan mengenai refleksi teologis sebagai

prosedur penafsiran, maka makna dari sebuah teks akan dihasilkan dari proses

yang dinamis antara teks dengan horison pembaca.29

Metode yang kedua adalah estetika. Jika hermeneutika memiliki keterkaitan

dengan aturan-aturan penafsiran, maka tugas dari estetika adalah meneliti tentang

fenomena. Fenomena yang dimaksud adalah setiap gejala yang ada di alam sekitar.

Gejala tersebut menjadi bahan renungan ketika masing-masing dari gejala tersebut

27
Toshihiko Izutsu, Relasi Tuhan dan Manusia, Pendekatan Semantik terhadap al-Qur’an,
(Yogyakarta: Tiara Wacana, 1997), hlm.154
28
Muhammad Nur Kholis Setiawan, al-Qur’an Kitab Sastra, hlm.53
29
Sahiron Syamsuddin, Hermeneutika dan Pengembangan Ulumul Qur’an, (Yogyakarta,
Pesantren Nawesea Press, 2009), hlm.10
36

memiliki signifikansi dalam hal tertentu.30 Ketika hermeneutika terarah pada

prinsip-prinsip perpaduan secara struktural, maka pertanyaan estetik berorientasi

pada awal dari pemahaman tanpa secara prinsip dipengaruhi oleh konsistensi atau

harapan kebenaran.31

Berdasarkan kedua metode di atas yaitu hermeneutika dan estetika, maka

dapat dijelaskan bahwa al-Qur‟an memiliki kekuatan untuk menyampaikan

informasi. Hal tersebut tidak terlepas dari sifat al-Qur‟an sebagai teks yang

terbuka, karakter keterbukaan al-Qur‟an ini merupakan konsekuensi lanjutan dari

penempatan teks keagamaan layaknya teks-teks sastra yang terbuka untuk dikaji,

ditelaah, ditentukan bobot keindahan sastranya.32

Selanjutnya menurut Navid Kermani salah satu indikator keterbukaan al-

Qur‟an adalah bahwa penyampaian informasi yang dilakukan al-Qur‟an tidak

sekadar berkutat pada dataran diskursif, melainkan juga mengacu pada level-level

komunikasi lainnya, seperti aspek akustik, emotif, puitik dalam pengertian yang

lebih jauh dan bahkan estetik. Ungkapan-ungkapan al-Qur‟an yang kompleks dan

sangat berarti misalnya, melalui nada akhir ayat, struktur kalimat, ritme-ritme yang

30
Muhammad Nur Kholis Setiawan, al-Qur’an Kitab Sastra, hlm. 54
31
Navid Kermani, ‚Recitation and Aesthetic Reception‛ (ed) Jane Dammen McAuliffe, The
Cambridge Companion to The Qur’an,(Cambridge University Press,2004) . Hlm. 125
32
Meminjam istilah Roman Jakobson, ‚keterbukaan sebuah teks terletak salah satunya pada
‚kecakapan‛ teks tersebut untuk menyampaikan informasi yang terkandung didalamnya, sehingga
informasi itu bisa dipahami dari semua level yang ada. Dikutip dalam buku Muhammad Nur Kholis
Setiawan yang berjudul ‚Para Pendengar Firman Tuhan;Telaah Terhadap Efek Estetik al-Qur’an‛.
Jurnal al-Jamiah, Vol 39 number 1 Januari-Juni 2001 hlm. 251
37

dipakai serta gambaran-gambaran yang termuat, merupakan karakter utama dari

informasi yang disampaikan al-Qur‟an.33

Pemikiran Kermani terkait dengan keterbukaan al-Qur‟an senada dengan

pemikiran beberapa sarjana muslim baik klasik maupun modern adapun salah satu

sarjana klasik yang turut mendukung dan mengembangkan benih-benih tafsir yang

berorientasi sastra adalah Abd al-Mālik ibn Abd al-Azi>z ibn Juraij (w. 150/767)34.

Ibnu Juraij termasuk dalam sederet pengkaji al-Qur‟an klasik yang

mengedepankan prinsip: bagian al-Qur‟an menjelaskan bagian yang lain (al-

Qur’a>n yufassiru ba'd}uhu ba'd}a).35 Metode tersebut menduduki prioritas utama

sebagai alat bantu dalam memahami al-Qur‟an.

Ibnu Juraij berpendapat bahwa di samping menganut prinsip di atas, ada

beberapa hal yang dianggap oleh Ibn Juraij sebagai benih-benih sastra dalam al-

Qur‟an.

1. Aspek-aspek mubhamma>t al-Qur’a>n. Mubhammāt adalah ayat-ayat tertentu

dalam al-Qur‟an yang hanya menyebutkan inti informasi tanpa perincian detail.

Ibha>m (pendiaman) al-Qur‟an terhadap detail-detail informasi itu adakalanya

tidak ada guna dalam penyebutannya atau memang detail maksud yang

dikehendaki sudah jelas. Pengungkapan seperti ini menimbulkan multi tafsir


33
Navid Kermani, ‚Recitation and Aesthetic Reception‛, hlm.131
34
Ibnu Juraij dilahirkan di Makkah dengan nama lengkap Abdul Malik bin Abdul Aziz bin
Juraij, nama ini disepakati oleh para ahli biografi akan tetapi banyak perbedaan pendapat tentang
nama kunyahnya, sebagian ahli menyebut beliau dengan Abu al-Walid dan sebagian yang lain
menyebut Abu Khalid. Lihat Tafsir Ibnu Juraij, (Kairo: Maktabah al-Islamiyah. 1992), hlm.10
35
Ditahqiq oleh Hasan Abdul Ghani, Muqaddimah Tafsir Ibnu Juraij, hlm.16
38

bagi pembacanya dan hal tersebut merupakan salah satu ciri khas yang tidak

bisa dilepaskan dari al-Qur‟an sebagai teks keagamaan. Ibnu Juraij

membedakan antara “makna bawaan” (al-ma’na> al-wad'i> fi> al-kalimah) dengan

“makna fungsional dalam bahasa” (al-isti'ma>l bi al-luga>h).

2. Ibnu Juraij juga berkeyakinan bahwa konteks sebuah ayat dalam al-Qur‟an

memiliki peran yang sangat penting. Kesadaran akan konteks dari sebuah teks

sebagai perangkat adalah niscaya dalam memahami teks keagamaan yang

dalam kaca mata semantik modern lazim disebut “makna dasar” dan “makna

rasional”.

3. Ibnu Juraij juga menaruh perhatian pada gaya bahasa tutur stilistik al-Qur‟an

yang beragam. Peminjaman bahasa atau peralihan bahasa dari makna-makna

umum (al-ma'a>ni amm li al-ayah) ke makna-makan khusus (al-ma'a>ni khos}})

sehingga tidak begitu saja seseorang dapat melepaskan diri dari pesona struktur

kata dan kalimat al-Qur‟an.

4. Elemen lain yang dibicarakan Ibn Juraij adalah tentang pengulangan kata atau

kalimat (al-Tikra>r). Model penyampaian informasi yang seperti ini juga

dipahami para pemerhati al-Qur‟an sebagai salah satu bentuk keindahan gaya

tutur. Salah satu bentuk pengulangan kata yang sering dipakai al-Qur‟an adalah

apa yang dalam ilmu bahasa biasa disebut poliptoton, yakni pengulangan

dengan mengunakan salah satu unsur dalam kalimat. 36

36
Kitab tafsir ini merupakan Tafsir bi al-Ma’tsu>r lebih jelasnya lihat Hasan Abdul Ghani,
Muqadimah Tafsir Ibnu Juraij, hlm 17-25
39

D. Al-Qur’an dan Dimensi Oralitas

Sejarah al-Qur‟an menunjukan bahwa al-Qur‟an dan dimensi oralitas

merupakan salah satu aspek penting dalam terbentuknya model-model ritmik

musikalik al-Qur‟an. Dimensi oralitas memulai prosesnya dari peristiwa

pewahyuan dan dilanjutkan dengan transmisi lisan al-Qur‟an. Peristiwa

pewahyuan al-Qur‟an itu sendiri dimulai ketika pada suatu kali Nabi Muhammad

SAW. menyendiri di Gua Hira. Di ruang sunyi inilah beliau memikirkan

masyarakatnya. Keheningan menyelimuti Nabi, dan sesaat kemudian malaikat

Jibril menyuruh Nabi untuk meniru apa yang telah diperdengarkannya, dan

mengalirlah wahyu dalam sebuah alunan yang indah :37

              

         
Peristiwa pewahyuan yang pertama ini pembahasan tentang transmisi lisan

al-Qur‟an dimulai. Seperti yang dilihat dalam proses pewahyuan di atas dan dalam

setiap pewahyuan adalah sebuah bacaan bukan buku atau tulisan. Baik proses

turunnya maupun penyampaian, pengajaran dan periwayatanya dilakukan melalui

lisan dan hafalan, bukan tulisan.

Pada masa-masa awal kenabian, Nabi Muhammad SAW. dan para Sahabat

lebih mementingkan hafalan al-Qur‟an, baru kemudian ketika para Sahabat sudah

banyak yang bisa membaca dan menulis, Nabi Muhammad SAW. merasa bahwa

37
Manna’ Khalil al-Qattan, Studi Ilmu-Ilmu Quran, terj. Mudzakkir AS, (Jakarta: PT. Litera
Antar Nusa, 2000), hlm.31-37
40

al-Qur‟an tidak cukup hanya dihafalkan tetapi juga harus ditulis. Dengan demikian

al-Qur‟an lebih terjaga karena terpelihara di dalam dada dan tulisan. Sejak itu para

Sahabat beramai-ramai menulis al-Qur‟an dengan disaksikan oleh Nabi.

Meskipun al-Qur‟an telah tertulis semuanya pada masa Nabi Muhammad

SAW., akan tetapi ia tidak terkumpul dalam satu mushaf. Menurut al-Zarkasyi:

tidak dituliskannya mushaf pada masa Nabi Muhammad SAW. Untuk

menghindari terjadinya pergantian/perubahan (isi mushaf) pada setiap waktu. Oleh

karena itu, penulisan ditunda sampai sempurna turunya al-Qur‟an dengan

meninggalnya Nabi Muhammad SAW. Abu Bakar dan para Sahabat menulis al-

Qur‟an setelah wafatnya Nabi Muhammad SAW. Usman pun menyalin beberapa

salinan dan ia kirimkan ke beberapa kota pusat.38

Tradisi lisan adalah bentuk yang paling menonjol dalam proses transmisi al-

Qur‟an. Sejak pewahyuan pertama, bentuk inilah yang berjalan, seperti yang telah

diuraikan di awal. Pemakaian tradisi lisan sebagai media transmisi dikarenakan

oleh beberapa hal. Pertama, karena al-Qur‟an sendiri adalah bacaan yang

menuntut kecermatan dan ketelitian dalam proses penyampaiannya. Akurasi ini

dijaga dengan metode musya>fahah dan talaqqi, metode inilah yang diajarkan oleh

malaikat Jibril : ia membacakan – Nabi mendengar - kemudian Nabi Muhammad

SAW. menirukan.

38
Al-Imam al-Zarkasyi, al-Burha>n fi ‘Ulu>m al-Qur’a>n, ditahqiq oleh Muhammad Abul Fadl
Ibrahim, (Beirut, al-Maktabah al-‘As}riah, Vol. I, cet.II, 1391 H/1972 M.), hlm.220
41

Nabi Muhammad SAW. juga memakai metode ini dalam mengajarkan al-

Qur‟an kepada para Sahabat. Hal tersebut terjadi terus menerus pada generasi

selanjutnya. Para Sahabat melakukan hal yang sama ketika mengajarkan al-Qur‟an

kepada sesama Sahabat atau kepada Tabi‟in, dan Tabi‟in kepada Tabi‟it Tabi‟in,

dan seterusnya sehingga metode ini mejadi sebuah tradisi yang terus dilestarikan.

Konteks akurasi yang perlu dijaga dalam bacaan al-Qur‟an menyangkut dua

hal yang tergolong dalam fenomena lisan.

1. Keragaman dialek dalam bacaan al-Qur‟an yang di antaranya mencakup

isyma>m, tarqi>q, tafkhi>m, imalah, tagliz, ikhtilas, isyba’, tasydi>d atau takhfi>f.

Sebenarnya bacaan tersebut dapat diajarkan secara tertulis. Misalnya isymam

adalah bacaan nun bertasydid dan berharakat dhamma jatuh setelah harakat

fathah (la> ta’manna), cara bacanya adalah mulut maju sambil menahan nun satu

harakat. Akan tetapi ini sama sekali tidak efektif, sifat bacaan tersebut adalah

sima>’i (pendengaran), maka cara untuk menguasainya secara tepat adalah

dengan menyimak dari seorang guru, dan kemudian mempraktekannya secara

lisan.

2. Tajwid; panduan wajib yang menentukan ketepatan vokalisasi al-Qur‟an,

dengan tajwid inilah bentuk musikal al-Qur‟an menjadi khas. Dalam beberapa

hal, apa yang ada ditajwid memang tidak ditemukan dalam pembicaraan

berbahasa Arab yang biasa (ordinary spoken Arabic) seperti iẓga>m, gunnah
42

ataupun mad.39 Seperti halnya sebelumnya bahwa bacaan ini bisa diajarka

secara tertulis akan tetapi karena sifat bacaanya adalah sima>’i maka harus

diajarkan secara lisan.

Bahasa lisan merupakan sesuatu yang primer dalam ritual keagamaan.

Dimensi lisan/pendengaran dalam kehidupan orang-orang yang terkait

didalamnnya menempati posisi sentral, lebih penting, lebih dekat, dan lebih

mendalam daripada yang tertulis.40 Dalam setiap kitab suci agama apapun pasti

ditemui fenomena ini, tetapi tidak pernah sekuat yang dimiliki al-Qur‟an.41

E. Aspek-Aspek Ritmik dan Musikalik al-Qur’an

Musikalitas al-Qur‟an adalah kualitas atau keadaan al-Qur‟an yang memiliki

unsur-unsur pembentuk musik. Al-Qur‟an tidak disebut musik ataupun puisi

karena istilah-istilah yang digunakan dalam al-Qur‟an berbeda dengan yang

digunakan dalam puisi. Bahkan al-Qur‟an telah menyatakan penolakan apabila

dirinya disebut puisi.42 Tetapi, penolakan ini seharusnya dipahami sebagai

pertentangan antara pergolakan pemikiran klasik dan pemikiran modern.

Sebagaimana Ṭaha Husein menegaskan bahwa al-Qur‟an bukan prosa dan bukan

pula puisi, tetapi ia adalah al-Qur‟an. Walaupun al-Qur‟an diyakini bukan puisi,

39
Anna K Resmussen, Women, the Recited Qur’an, an Islamic Music in Indonesia, (Los
Angeles: University of California Press, 2010), hlm.110
40
Komarudin Hidayat, Menafsirkan Kehendak Tuhan, (Bandung: Teraju, 2004), hlm.117
41
Wilfred C. Smith. Kitab Suci Agama-Agama, Terj. Dede Iswadi, (Bandung: Teraju, 2005),
hlm.9
42
Lihat QS. al-Haqqah ayat 41 dan QS. Yasin ayat 69
43

tidak berarti ia bebas sama sekali dari unsur-unsur puisi, khususnya puisi Arab

yang terikat dengan wazn43 dan qa>fiyah44

Adapun unsur-unsur pembentuk musik dalam al-Qur‟an adalah pertama,

Seleksi huruf : huruf sebagai unsur formatif pembentuk al-Qur‟an (sebelum al-

Qur‟an terbentuk) memiliki koherensi struktural dengan huruf lain (relasi antar

huruf), makhraj dan kekhasan masing-masing huruf sepenuhnya memiliki fungsi

yang berbeda dalam hal bunyi dan iramanya. Sehingga dalam ilmu tajwid45 huruf

dibagi ke dalam 16 kategori yaitu jahriyyah (suara keras), hamsiyyah (suara

bisikan), syaddiyah (keras), rakhwah (lemah) dll. Tajwid memiliki banyak peran.

Pertama, pembentuk bangunan irama dan bunyi khas al-Qur‟an, yang

membedakan dengan bunyi percakapan sehari-hari, pembacaan pusisi, dan

nyanyian qasidah yang pernah dimiliki bangsa Arab. Kedua, dengan keberadaan

tajwid keseragaman dan konsistensi dalam melantunkan al-Qur‟an dapat terjaga.

43
Wazan adalah Taf’ilah Arudl yang diulang ulang dengan tujuan membentuk Syi’ir, wazan
ini disebut juga dengan ‚Bahar‛. Mas’an Hamid, Ilmi ‘arudl dan Qawafi, (Surabaya : Al – Iklhas,
1995) Cetakan I, hlm.34 – 35
44
Qafiyah adalah bagian terakhir dari sauatu bait, yang dihitung dari dua huruf mati yang
terakhir dan satu huruf hidup sebelumnya. Bagian akhir pada suatu bait dinamakan Qafiyah, karena
mengikuti bait sebelumnya. Mas’an Hamid, Ilmi ‘arudl dan Qawafi, hlm.34 – 35
45
Tajwid adalah mengucapkan setiap huruf dalam al-Qur’an sesuai dengan makhra>j (tempat
keluarnya huruf), karakter, dan sifat-sifatnya. Lebih jelasnya lihat Sayyid Ismail Ali Sulaiman,
‚Tajwid‛ (ed.) Muhammad Hamdi Zaqzuq, al-Mausu>ah al-Qur’a>niyah al-Mutakhassas}
(Kairo:Jumhuriah Misr al-‘Arabiyah Wiza>rat al-Auqa>f al-Majlis al-‘A’la al-syu’u>n al-isla>miyah,
2005), hlm.359
44

Adapun tabel Makha>ri>j al-Huru>f (tempat-tempat keluarnya huruf) menurut

Imam Ibnu Jazari dibagi menjadi 17 dan ke 17 makhraj tersebut berada di lima

tempat yaitu46:

1. ( Kelompok Rongga Mulut ) ‫موضع الجوف‬ = 1 Makha>rij al-Huru>f yaitu

huruf-huruf mad yaitu : ‫ و – ا – ي‬contohnya ‫نوحيها‬

2. ( Kelompok Tenggorokan ) ‫موضع الحلق‬ = 3 Makha>rij al-Huru>f

a. ‫ ء – ه‬keluar dari tenggorokan bawah,

b. ‫ ع – ح‬keluar dari tenggorokan tengah,

c. ‫ غ – خ‬keluar dari tenggorokan atas

3. ( Kelompok Lidah ) ‫موضع اللسان‬ = 10 Makha>rij al-Huru>f

a. ‫ ق‬keluar dari pangkal lidah (deket tenggorokan) dengan mengangkatnya ke

atas langit-langit

b. ‫ ك‬keluar dari pangkal lidah namun agak diturunkan

c. ‫ ج – ش – ي‬keluar dari tengah lidah bertemu dengan langit-langit

d. ‫ ض‬keluar dari 2 sisi lidah bertemu dengan langit-langit.

e. ‫ ل‬keluar dengan mengunakan semua lidah

f. ‫ ن‬keluar dari ujung lidah dibawah makhraj ‫ل‬

g. ‫ ر‬keluar dari ujung lidah

46
Ahmad Annuri, Panduan Tahsin Tilawah al-Qur’an dan Ilmu Tajwid, (Jakarta: Pustaka al-
Kautsar, 2010,), hlm.168
45

h. ‫ ط – د – ت‬keluar dari ujung lidah yang bertemu dengan gigi bagian atas

i. ‫ ص – ز – س‬keluar dari ujung lidah yang hampir bertemu dengan gigi

depan bagian bawah

j. ‫ ث – ظ – ذ‬ujung lidah keluar sedikit bertemu dengan ujung gigi depan

bagian atas

4. ( Kelompok Dua Bibir ) ‫موضع الشفتين‬ = 2 Makha>rij al-Huru>f

a. ‫ ف‬keluar dari bibir bawah bagian dalam bertemu dengan ujung gigi atas.

b. ‫ ب – م‬- ‫ و‬huruf mim dan ba‟ dengan menempelkan 2 bibir sedangkan waw

dengan memonyongkan bibir.

5. ( Kelompok Rongga Hidung ) ‫موضع الخيشوم‬ = 1 Makha>rij al-Huru>f

a. Gunnah yaitu iẓga>m bi al-Gunnah, iqla>b, ikhfa>’, ikhfa>’ syafa>wi, iẓga>m

miṡlai>n, huruf nun dan mim yang bertasydid.

Gambar Makhra>j al-Huru>f


www.imamfaisal.com
diakses tanggal 15 September 2013
46

Adapun tabel bacaan al-Qur‟an dalam tajwid

1. Hukum nun mati atau tanwin

a. Iz}ha>r (‫ )االظهار‬adalah mengeluarkan setiap huruf dari makhrajnya tanpa

memakai dengungan, adapun hurufnya ada 6 yaitu ‫ء – ه – ح – خ – ع – غ‬

b. Id}ga>m bi gunnah (‫ )االدغام بغنة‬adalah memasukkan bunyi huruf dengan

mendengung, adapun hurufnya ada 4 yaitu ‫ي – ن – م – و‬

c. Id}ga>m bila> gunnah (‫ )االدغام بال غنة‬adalah memasukkan bunyi huruf tanpa

mendengung, adapun hurufnya ada 2 yaitu ‫ل – ر‬

d. Iqla>b (‫ )االقالب‬adalah menjadikan sustu huruf kepada makhraj huruf lain

seraya tetap menjaga gunnah, adapun hurufnya 1 yaitu ‫ب‬

e. Ikhfa>’ (‫ )االخفاء‬adalah dibaca samar (antara iz}ha>r dan iẓga>m) disertai

ghunnah ketika bertemu selain huruf-huruf di atas yaitu ‫ت – ث – ج – ذ – د‬

‫ك‬-‫–ز–س–ش–ص–ض–ط–ظ–ف–ق‬

2. Hukum mim mati

a. Ikhfa>’ syafa>wi adalah dibaca samar disertai gunnah ketika mim mati

bertemu ‫ب‬

b. Id}ga>m mimi adalah memasukkan mim mati ke huruf mim berikutnya dan

disertai ghunnah ketika bertemu huruf ‫م‬


47

c. Iz}ha>r syafa>wi adalah dibaca jelas tanpa ghunnah ketika mim mati bertemu

selain huruf ‫ م‬dan ‫ب‬

d. Gunnah adalah ketika ada ‫ م‬dan ‫ ن‬yang bertasydid

3. Hukum bacaan alif lam / ‫ال‬

a. Iz}ha>r al-Qama>riyah adalah alif lam / ‫ ال‬dibaca jelas apabila bertemu dengan

salah satu dari 14 huruf ini yaitu

‫ء–ب–ع–غ–ج–ح–خ–ك–و–ف–ق–ي–م–ه‬

b. Id}ga>m al-Syamsyiyah adalah alif lam / ‫ ال‬dibaca idgham (memasukkan ke

dalam huruf selanjutnya) apabila bertemu salah satu dari 14 huruf ini yaitu

‫ل‬-‫ط–ث–ص–ر–ت–ض–ذ–ن–د–س–ظ–ز–ش‬

c. Mad adalah memanjangkan huruf adapun mad ada 2 mad asli (t{abi’i) dan

mad far’i>

d. Mad T{abi’i panjangnya hanya 2 harakat yaitu pada ‫ـَ ا ِ ي ـ ُ و‬

e. Mad Far’i> ada penyebab memperpanjangkan huruf yaitu karena hamzah

contohnya ‫ َجاٌَ َء‬dan dikarenakan sukun contohnya ‫العلميين‬

4. Hukum iẓga>m

a. Iẓga>m mutama>silai>n adalah mengidghamkan huruf ke dalam huruf yang

sama makhraj dan sifatnya contoh

   
    
 
  
  
   
     
     
 
48

b. Iẓga>m mutaja>nisai>n adalah mengidghamkan huruf yang sama makhrajnya

namun lain sifatnya contoh

 
   
   
 
  
  

c. Iẓga>m mutaqa>ribai>n adalah mengidghamkan huruf ke dalam huruf yang

berdekatan makhraj dan sifatnya contohnya

 
  
 
   
   
  
     
  

Kriteria makhraj dan bunyi huruf berperan penting dalam hal komposisinya,

terutama I’rāb, segi kefasihan, ekpresi dan estetikanya, perpindahan bacaan dari

satu huruf kehuruf yang lain tidak selalu sama bobotnya. Dalam beberapa

kesempatan rangkaian huruf yang dibaca terasa ringan dan mudah namun dalam

momen yang lain terasa berat dan sulit.

Efektifitas serta harmonisasi antar huruf dalam al-Qur‟an merupakan

komposisi utama dalam menimbulkan bunyi dan irama yang indah. Seleksi huruf

yang terampil serta piawai dalam penyusunannya merupakan bukti bahwa al-

Qur‟an adalah kitab suci yang penuh estetika, ekspresif, fasih dan memikat.

Kedua, fonologi adalah salah satu alat penting untuk meneropong keindahan

bunyi al-Qur‟an, karena fonologilah yang mengatur soal komposisi bunyi serta

kelenturan fonemik teks al-Qur‟an, sehingga sebuah makna bisa tersampaikan


49

secara efektif dan mudah diterima.47 Dalam fonologi al-Qur‟an dikenal dengan

istilah ilmu i’rāb. I’rāb yang tepat dan selaras akan menciptakan keindahan

bacaan. Sebaliknya, I’rāb yang tidak cocok atau tidak harmonis laksana pakaian

kedodoran yang tidak berbentuk sehingga mengakibatkan hilangnya keindahan di

dalamnya. I’rāb yang tidak akurat akan menghilangkan tempo dan irama huruf-

huruf. Dalam beberapa kasus, perubahan suatu I’rāb mengakibatkan perubahan

keseluruhan makna semantiknya, misalnya perbandingan kata qadara-yaqdiru

yang berarti “mengukur” dan “ukuran” dengan qadara-yaqduru yang bermakna

“kekuatan dan kemampuan”. Berkenaan dengan hal ini lihat kasus Nabi Yunus As.

Dalam QS. Al-Anbiya‟ ayat 87

               

       


Dan (ingatlah kisah) Dzun Nun (Yunus), ketika ia pergi dalam keadaan marah, lalu
ia menyangka bahwa Kami tidak akan mempersempitnya (menyulitkannya), Maka
ia menyeru dalam keadaan yang sangat gelap: "Bahwa tidak ada Tuhan selain
Engkau. Maha suci Engkau, Sesungguhnya aku adalah termasuk orang-orang yang
zalim."48

Melalui penjelasan ini, ayat Allah memiliki perspektif yang shahih. Adapun

qadara-yaqduru yang berarti kekuatan dan kemampuan tidak relevan jika

47
Isa J. Baulatta, Introduction Literary Structures of Religious Meaning in the Qur’an, Ed. Isa
J. Baulatta, Literary Structures of Religious Meaning in the Qur’an (Curzon, Curzon Press, 2000),
hlm.xi
48
Zaini Dahlan, Azharuddin Sabil, al-Qur’an Karim dan Terjemahan Artinya, (Yogyakarta: UII
Press, 1999), hlm.560
50

diterapkan dalam kasus Nabi Yunus As, karena tidak seorang Nabi pun yang

menganggap Allah tidak memiliki kekuatan dan kemampuan terhadap dirinya.49

Ketiga, susunan fisik al-Qu‟an. Dalam memperindah bunyi al-Qur‟an ilmu

„Arudh50 memiliki peran yang besar. Misalnya fenomena insijam, yakni istilah

untuk menyebut sifat susunan al-Qur‟an, meskipun tidak seluruhnya sesuai dengan

formula pembuatan puisi Arab. Artinya, karena susunan kalimat al-Qur‟an bagus

maka tanpa diusahakan atau direka-reka, ia dengan sendirinya mengalir

menempati insijam wazan-wazan yang ada di dalam bahr.

Dalam penelitian yang dilakukan oleh Abdul Kharis Akbar, dia

menyebutkan ada 15 bahr51 di dalam tradisi puisi Arab, masing-masing bahr

mempunyai wazan dan cara melagukan sendiri, berikut ini adalah contoh insijam

di dalam al-Qur‟an yang penyajiannya disusun berdasarkan jens bahr beserta

wazan dan taqti’nya.52 Contoh dari bahr ṭawi>l dan bahr madi>d dalam al-Qur‟an :

49
Al-Zamakhsyari. Al-Kasyaf (CD-ROM Maktabah al-Syamilah Global Islamic Software),
hlm.253
50
Arudh adalah ilmu yang membahas pola-pola syair yang mengandung wazn dan qafiyah
Wildana Wargadinata dan Laily Fitriani, Sastra Arab dan Lintas Budaya, (Malang: UIN-Malang
Press, 2008), hlm.233
51
Bahr sama dengan wazn yaitu taf’ilah ‘arud yang diulang – ulang dengan tujuan
membentuk syair. Mas’an Hamid, Ilmi ‘arudl dan Qawafi, hlm.23
52
Ada 15 bahar beserta wazannya antara lain : 1. Bahar t}awi>l Wazan-nya : ‫ فعلون مفاعلن‬, 2.
Bahar madi>d Wazan-nya:‫فاعالتن فاعلن‬, 3. Bahar basi>t} Wazan-nya: ‫مستفعلن فاعل‬, 4. Bahar ka>mil Wazan-
nya: ‫متفاعلن‬,5. Bahar wa>fir Wazan-nya:‫مفاعلتن‬, 6. Bahar hazj Wazan-nya: ‫مفاعيلن‬, 7. Bahar razj Wazan-
nya: ‫مستفعلن‬,8. Bahar raml wazan-nya: ‫فاعالتن‬, 9. Bahar sari’ Wazan-nya: ‫مستفعلن مصتفعلن مفعوالت‬, 10.
Bahar mansuh Wazan-nya: ‫مصتفعلن مفعوالتن مستفعلن‬,11. Bahar khafif Wazan-nya: ‫فاعالتن مستفع لن فاعالتن‬,
12. Bahar mudhari’ Wazan-nya : ‫مفاعيلن فاعالتن مفاعيلن‬, 13. Bahar muqtadhab Wazan-nya: ‫مفعوالت‬
‫مستفعلن مستفعلن‬, 14. Bahar mujtast Wazan-nya: ‫مسفع لن فاعالتن فاعالتن‬, 15. Bahar mutaqarib Wazan-nya:
‫ فعولن‬lebih jelasnnya lihat skripsi Abdul Haris Akbar yang berjudul Musikalitas al-Qur’an : kajian
51

‫ بحر الطويل‬.1

‫ فعلون مفاعيلن اربع مرات‬: ‫أجزاؤه‬

ْ‫َء َف ْل َي ْك ّفر‬ ‫َو َمنْ َشا‬ ْ‫َء َف ْلي ّْؤمِن‬ ‫َف َمنْ َشا‬
‫مفاعيلن‬ ‫فعولن‬ ‫مفاعيلن‬ ‫فعولن‬

‫ بحر المديد‬.2

‫ فاعالتن فاعلن اربع مرات مجزوء وجوبا‬: ‫أجزاؤه‬

‫ُينِ َنا‬ ْ‫َك ِبأَع‬ ‫َو صْ َنع ِْلفُ ْل‬


‫فاعلن‬ ‫فاعلن‬ ‫فاعالتن‬
Keempat, rima. Pengulangan rima merupakan fitur lain yang khas dari al-

Qur‟an. Sebuah penelitian memperkirakan bahwa 86% ayat al-Qur‟an

menampilkan rima akhir. Angelika Neuwirth mengklasifikasikan rima al-Qur‟an

berdasarkan jenis ayatnya yakni makkiyah dan madaniah-nya dengan memandang

dua jenis ayat tersebut sebagai sebuah tahapan kamunikasi. Secara umum. Ia

menulis bahwa ayat-ayat makkiyah cenderung lebih puitis, dan ayat-ayat

madaniyah cenderung prosaik. Angelika tidak merinci masing-masing jumlah rima

tersebut melainkan memberi tipologi struktur surat makkiyah secara umum yang

kumpulan ayatnya dipisah dengan perubahan rima.53 Berikut adalah tipologi

kelompok yang terdiri dari.

unsur keindahan bunyi Internal dan Ekternal al-Qur’an, Skripsi Fakultas Ushuluddin, Studi Agama
dan Pemikiran Islam, tidak diterbitkan, 2009
53
Angelika Neuwirth, ‚Referentiality and Tekstuality in Surat al-Hijr Some Observation on
the Qur’anic ‚Canonical Process‛ and the Emergence of a Community‛ (Ed) Issa J. Baullata, Literary
Structure of Religious Meaning in the Qur’an (Curzon: Curzon Studies in the Qur’an, 2000), hlm.143
52

1. Dua ayat54

       


2. Tiga ayat55

          
3. Empat ayat56

             

     


4. Lima ayat57

         

           
5. Enam ayat58

          

           

          
6. Tujuh ayat59
54
Q.s. 94:7-8
55
Qs. 90:8-10
56
Qs. 90:1-4
57
Qs. 99:1-5
58
Qs. 75:1-6
53

         

          

           

    


7. Delapan ayat60

           

          

          

 
8. Sembilan ayat61

            

           

             

           

        

59
Qs. 56:81-87
60
Qs. 93:1-8
61
Qs. 73:1-9
54

Penelitian sama juga dilakukan oleh Habibullah Ahmadi, ia berpendapat

bahwa rima didalam al-Qur‟an terbagi kedalam 3 jenis sajak antara lain:62

Pertama, mutawa>z}i> merupakan sejenis sajak yang paling indah berbentuk

kesamaan dan keserupaan kata-kata diakhir kalimat dari segi nada juga dari segi

huruf akhir kata. Jenis ini banyak dijumpai dalam al-Qur‟an seperti QS. Al-

Wāqi`ah ayat 28-30

         
Kedua, mutawa>zin merupakan jenis sajak yang kata-kata diakhir kalimat dan

paragrafnya seirama hanya dalam wazan (bentuk), bukan kesamaan dalam bentuk

huruf akhir seperti dalam QS. Al-Thariq ayat 1-4

            

    


Ketiga, mut{arraf termasuk jenis sajak yang menekankan kesesuaian huruf-

huruf pada kata-kata yang berupa akhiran, yaitu huruf dasar di akhir kata, seperti

sya>d dengan o>zo>d dalam bahasa persi. Berikut ini beberapa contoh yang termaktub

dalam al-Qur‟an.

62
Salah satu unsur penting dalam upaya memperindah dan mempercantik bacaan secara
harfiah adalah irama kalimat. Al-Qur’an mengunakan tolak ukur artistik ini secara penuh dalah
seluruh kalimatnya seolah-olah seluuruh isi al-Qur’an merupakan prosa yang ekpresif lebih jelasnya
lihat Habibullah ahmadi. Ahsan al-Hadits:Analisis Tekstual Ulumul Qur’an(Jakarta: Sadra Press.
2011), hlm.102-105
55

             

         

Penjelasan pada bab II ini merupakan bukti bahwa al-Qur‟an memiliki dimensi

musikalik yang tinggi. Oleh sebab itu jika al-Qur‟an dibaca dengan menggunakan

aturan yang benar maka akan hadir sebuah alunan musikal yang indah. Ada satuan

suara harmonis yang keluar dari al-Qur‟an sehingga menghadirkan respon yang

bermacam-macam, baik menangis, menjerit serta muncul rasa bahagia ketika al-Qur‟an

didengarkan dan dibaca. Respon-respon terhadap pembacaan musikalik al-Qur‟an

tersebut dapat dilihat pola penerimaannya dengan mengunakan teori resespi estetis

yang akan dibahas pada bab selanjutnya.


BAB III

BIOGRAFI INTELEKTUAL NAVID KERMANI DAN TEORI RESEPSI

ESTETIS

A. Tinjauan Umum Teori Resepsi Estetis

1. Pengertian Resepsi Estetis

Resepsi dapat diartikan sebagai respon, penerimaan, atau tanggapan.

Sedangkan resepsi sastra diartikan sebagai tanggapan atau penerimaan pembaca

terhadap karya sastra. Nilai sastra atau karya sastra tidak mungkin ada tanpa

partisipasi aktif penerimanya. Melalui proses mediasi karya sastra masuk ke

dalam horizon pengalaman yang berubah dari penerima sederhana menjadi

penerima kritis, dari penerima pasif menjadi penerima aktif. Hubungan antara

karya sastra dengan pembaca memiliki nilai estetik sebaik pengertian

historisnya, hal tersebut merupakan hasil dari proses timbal balik antara karya

sastra dengan pembaca.1

Wacana pembaca memang secara eksplisit belum menjadi perhatian besar

dalam wacana kesustraan modern. Fakta itu terjadi akibat tradisi interpretasi

dan pewarisan makna teks secara ketat. Hal tersebut akibat dari kurangnya

perhatian terhadap nasib pembaca. Pembaca terus mengalami nasib buruk tanpa

ada apresiasi atas kegiatan membaca. Nasib buruk itu pantas menjadi

1
Niken, http/eunikeyoanita.blogspot.com/2013/09/estetika-resepsi.html, diakses tanggal 15
September 2013

56
57

pertanyaan ulang dalam keramaian wacana sastra mutakhir.2 Menurut Umar

Junus, sebagai bagian dari teori post-strukturalisme, resepsi mengasumsikan

bahwa teks sastra, yang dalam penelitian ini adalah al-Qur’an, memerlukan

adanya efek. Adapun kajian efek sebuah karya sastra dalam teori resepsi harus

mengikutsertakan pembacanya.3. Pada dekade selanjutnya muncul tokoh-tokoh

yang serius dalam memperkarakan nasib pembaca.

Resepsi yang berfungsi secara baku sebagai teori pengkajian atas sastra

muncul secara partikular pada kisaran tahun 1960. Beberapa tokoh yang

mewakilinya seperti Norman Holland, Stanly Fish, Wolfgang Iser, dan Hans

Robert Jauss, tokoh-tokoh tersebut dipengaruhi oleh penelitian fenomenologi

Mukarovsky dan penelitian hermeunetika Gadamer.4 Akan tetapi dalam

penelitian ini penulis fokus pada teori resepsi yang dirumuskan oleh Hans

Robert Jauss dan Wolfgang Iser.

Pada dasarnya pemikiran tentang resepsi pembaca bermuara pada

pemikiran Jauss dan Isser. Kedua tokoh tersebut merupakan pemikir awal

2
Perkembangan teori resepsi ini berawal dari Mukarovsky seorang penganut Strukturalisme
Praha. Sumbangan terbesar Mukarovsky adalah ketika ia dapat mengikhtisarkan konsep tentang seni
sebagai suatu sistem tanda dinamik. Fungsi sastra merupakan hubungan aktif antara karya sastra
dengan yang dituju karya sastra itu, yakni pembaca. Konsekuensi dari pemikiran ini, pembaca
mendapatkan peran sebagai subjek yang penting dalam fungsi simbol karya sastra dibanding
strukturnya dan kemudian Jauss mengamati kerja perintisan Mukaravsky dan teori itu disebut
rezeptionaestetisch (estetika resepsi) lihat Timothy Bahti, “Translator/s Preface” dalam, Toward an
Aesthetic of Reception, (Minneapolis: University of Minessota Press. 1982), hlm.XXVII

3
Umar Junus, Resepsi Sastra:Sebuah Pengantar, (Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama,
1985), hlm.104
4
Yoseph Yapitaum, Pengantar Teori Sastra. Cet. I (Indonesia: Nusa Indah, 1997), hlm.57
58

tentang resepsi pembaca. Jauss5 diakui sebagai tokoh pertama yang

berpengaruh di dalam pengalihan pandangan kritikus sastra dari peran karya

sastra ke peran pembaca. Pada awal tulisan dalam buku Toward an Aesthetic of

Reception, Jauss sudah memberikan suatu isyarat bahwa penerimaan teks

pembaca ditentukan oleh cakrawala harapan pembaca yang berkembang dalam

suatu peristiwa historis6. Hal ini berbeda dengan Isser dalam bukunya The Act

of Reading : A Theory of Aesthetic Response, ia mengawali pernyataannya

dengan kerangka fenomenologis. Menurutnya dalam teori seni fenomenologis

seseorang harus mempertimbangkan tidak hanya teks nyata tetapi juga tindakan

melibatkan tanggapan untuk teks, hal tersebut merupakan hasil dari konsep

Wirkung (efek atau pengaruh teks sastra, yakni bagaimana teks dapat

mengarahkan reaksi-reaksi pembaca terhadapnya)7

Resepsi estetis merupakan aliran sastra yang meneliti teks sastra dengan

mempertimbangkan pembaca selaku pemberi sambutan ataupun tanggapan.

Dalam memberi sambutan dan tangapan tentunya dipengaruhi oleh faktor ruang

dan waktu dan golongan sosial. Secara definitif menurut Nyoman Kutha Ratna

5
Nama lengkapnya adalah Hans Robert Jauzz. Ia adalah salah satu tokoh kritik sastra
berkewarganegaraan Jerman yang cukup berpengaruh terutama setelah karyanya yang berjudul
Literaturgeschichte als Provokation . kemudian ia menulis buku tentang resepsi estetis dengan judul
Toward an Aesthetic of Reception yang kemudian menempatkannya sebagai pionir kajian resepsi
sastra. Lihat Paul de Man, “Introduction” dalam Hans Robert Jauss, Toward an Aesthetic of Receptrion
Terj. Timothy Bahti (Mineeapolis: University of Minnesota Press, 1983), hlm.vii
6
Hans Robert Jauzz. Toward an Aesthetic of Reception, (Minneapolis: University of Minnesota
Press,1982), hlm.4
7
Wolfgang Isser. The Act of Reading: a Theory of Aesthetic Response, (Baltimore and London:
The Jhon Hopkins University Press. 1987), hlm.107
59

resepsi estetis berasal dari kata recipere (Latin), reception (Inggris) yang berarti

sebagai penerimaan atau penyambutan pembaca. Dalam arti luar resepsi

didefinisikan sebagai pengolahan teks, cara pemberian makna terhadap karya

sehingga dapat memberikan respon terhadapnya.8

Selanjutnya, Endaswara mengumukakan bahwa resepsi berarti menerima

atau penikmatan karya sastra oleh pembaca. Resepsi merupakan aliran yang

meneliti teks sastra dengan bertitik tolak kepada pembaca yang memberi reaksi

atau tanggapan terhadap teks itu. Dalam meresepsi sebuah karya sastra bukan

hanya makna tunggal, tetapi memiliki makna lain yang akan memperkaya karya

sastra itu. Pemahaman terhadap teks sastra tidak hanya tercakup pada dataran

diskursif saja akan tetapi juga merambah dataran psikologis ataupun estetisnya.

Hal ini sepaham dengan pemikiran Prof. Dr. Rachmat Djoko Pradopo,

bahwa resepsi sastra adalah estetika (ilmu keindahan) yang mengacu kepada

tanggapan-tanggapan atau resepsi-resepsi pembaca karya sastra dari waktu ke

waktu.9 Begitu juga A. Teeuw menegaskan bahwa resepsi termasuk dalam

orientasi pragmatik.10 Karya sastra sangat erat hubungannya dengan pembaca

karena karya sastra ditujukan kepada kepentingan pembaca sebagai penikmat

karya sastra. Selain itu pembaca juga yang menentukan makna dan nilai dari

8
Nyoman Kutha Ratna. Estetika Sastra dan Budaya, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2007),
hlm.2
9
Rachmat Djoko Pradopo, Beberapa Teori Sastra, Metode Kritik, dan Penerapannya.
(Yogyakarta: Pustaka Pelajar. 1995), hlm.206
10
A. Teeuw, Membaca dan Menilai Sastra, (Jakarta: PT. Gramedia. 1983), hlm.17
60

karya sastra sehingga karya sastra mempunyai nilai karena ada pembaca yang

memberikan nilai.

Sedangkan istilah estetika menurut Nyoman Kutha Ratna baru ditemukan

sekitar abad ke-18. Sebelumnya istilah yang digunakan adalah keindahan,

beauty (Inggris), beaute (Perancis), beauty dan beaute itu sendiri berasal dari

bahasa latin, yaitu bellus, yang juga diturunkan melalui bonus, bonum, yang

berarti sesuatu yang baik, sifat yang baik, keutamaan, dan kebajikan. Secara

etimologi estetika berasal dari bahasa yunani, yaitu: aistheta, yang juga

diturunkan dari aisthe (hal-hal yng bisa ditanggapi dengan indra). Dalam

pengertian yang lebih luas pembahasan tentang keindahan, bersifat indah, dan

ilmu atau filsafat tentang keindahan, atau keindahan itu sendiri.11

Sebagaimana penjelasan Herbert Read dalam bukunya The Meaning of

Art, ia merumuskan keindahan sebagai suatu kesatuan arti hubungan-hubungan

bentuk yang terdapat di antara penyerapan-penyerapan inderawi sebagai suatu

yang menyenangkan bila dirasakan oleh indra.12 Imanuel Kant secara ekplisit

juga menitikberatkan estetika kepada teori keindahan dan seni. Sebagai objek

yang mengandung aspek estetis, karya seni menunjukan identitas obyek artistik

dan obyek keindahan.13

11
Nyoman Kutha Ratna. Estetika Sastra dan Budaya, hlm.184
12
Herbert Read, The Meaning of Art, (New York: Penguin Book, 1959), hlm.18
13
Herbert Read, the meaning of art, hlm.20
61

Berdasarkan pendapat-pendapat para ahli di atas dapat disimpulkan

bahwa resepsi estetis adalah pengalaman yang dirasakan penikmat/pembaca

terhadap karya estetik (dalam arti keindahan). Oleh karena itu mengunakan

istilah estetik dan konteksnya bisa ditunjukan untuk pembaca karya seni dan

keindahan alam. Pada dasarnya orientasi terhadap karya sastra itu ada empat

macam seperti digambarkan oleh M.H Abrams seorang profesor sastra asal

Cornell University di Inggris , yaitu :

a. Mimetik/alam/universal. Mimetik menjadi alat tiruan bagi sebuah karya

sastra sebagai kreatifitas pengarang. Menurut Abrams, karya sastra adalah

sebagai tiruan alam atau penggambaran alam. Segala sesuatu yang terdapat

dalam karya sastra adalah wujud yang terdapat di alam semesta. Segala isi

yang ada di dunia ini menjadi ide yang dituangkan dalam sebuah karya

sastra.

b. Objektif/karya sastra. Karya sastra adalah alat pengungkapan perasaan

pengarang yang menjadi kreatifitasnya. Karya sastra menjadi objek tiruan

alam. Sebuah karya sastra tidak akan mampu menjadi objek yang estetis

tanpa meniru dari alam karena manusia hidup di alam dengan sarana-saranya

yang ada di dunia.

c. Ekspresif/pengarang sebagai pembuat ide dan kreatifitas. Seorang pengarang

melihat kenyataan atau realitas alam lalu alam memunculkan sebuah ide

dalam fikiran pengarang kemudian pengarang menuangkannya dalam sebuah

karya sastra. Faktor mimetik dalam teori Abrams sangat berpengaruh dalam
62

kesastraan karena pengarang tidak akan mampu berkreatifitas tanpa adanya

tiruan yaitu alam semesta.

d. Pragmatik/pembaca. Pembaca ketika melihat sebuah karya sastra pasti akan

melakukan sebuah tanggapan atau komentar tentang karya sastra yang

dibacanya, karena dalam hal ini karya sastra melakukan defamiliarisasi

dalam bentuk bahasanya sehingga defamiliarisasi mampu menggugahkan

hati pembaca dengan rasa yang ada di jiwanya karena bahasa defamiliarisasi

berbeda dengan bahasa praktis atau bahasa komunikasi.14

Lebih lanjut orientasi-orientasi tersebut disandarkan kepada periode dan

kelompok tertentu sebagaimana yang dilakukan Rachmat Djoko Pradopo

bahwa orientasi yang pertama merupakan pendekatan para ahli sastra sejak

zaman Plato dan Aristoteles (abad ke-4 SM) yang menganggap karya sastra itu

sebagai tiruan alam. Orientasi yang kedua adalah orientasi kaum Humanis,

kaum Thomis, dan kaum Marxis. Ketiga, orientasi kaum romantik yang

mengangap bahwa karya sastra sebagai pancaran pribadi pengarang. Keempat,

adalah orientasi pada kritikus baru, dan aliran Chicago. 15 Dalam hubungan ini

resepsi estetis itu termasuk pada orientasi pragmatik. Karena karya sastra itu

erat hubungannya dengan pembaca dan pembacalah yang menentukan makna

dan nilai karya sastra.

14
M.H. Abrams, The Norton Anthology Of English Literature, 7 Edition Vol I (W.W. Norton &
Company, 2000), hlm.7-8
15
Rachmat Djoko Pradopo, Beberapa Teori Sastra, hlm.213
63

2. Metode dan Penerapan Teori Resepsi Estetis

Teori resepsi estetis merupakan kritik sastra yang berorientasi pada

pembaca ataupun pendengar. Pembaca karya sastra di antara jalinan segitiga

pengarang, karya sastra, dan masyarakat pembaca merupakan perhatian utama

dalam kajian ini. Hal ini di sebabkan kehidupan historis sebuah karya sastra

tidak terpikirkan tanpa partisipasi para pembacanya. Pembaca memiliki peranan

aktif, bahkan merupakan kekuatan pembentuk sejarah.16

Menurut Hans Robert Jauss pada dasarnya kajian sejarah sastra dan

estetika resepsi memiliki kesamaan perspektif. Kajian sejarah sastra

mengisyaratkan adanya dialog dan proses relasi antara karya, audiensi serta

karya baru yang disusun berdasarkan respon pembacanya. Demikian juga

dengan premis yang berlaku dalam estetika resepsi yang menegahi antara

penerima pasif (passive reception), pemahaman aktif (active understanding),

perkembangan pengalaman tentang norma-norma (experience formative of

norms), serta produksi norma dalam bentuk baru.17

Dalam rangka merealisasikan asumsi teoritik yang telah disebutkan di

atas, Jauss menyatakan bahwa sejarah sastra, sebagai sebuah proses estetika

resepsi serta produksinya berada pada posisi untuk memahami teks-teks sastra

sebagai bagian dari resepsi pembaca. Adapun koherensi antara sastra sebagai

sebuah peristiwa hanya dapat terjembatani oleh horizon harapan (the horizon of

16
Rachmat Djoko Pradopo, Beberapa Teori Sastra, hlm.206
17
Paul de Man, “Introduction”, hlm.18
64

expectation) dalam suatu pengalaman sastra, baik pengalaman pembaca masa

lalu maupun kontemporer.18 Untuk merealisasikan konsep horizon harapan,

Jauss mengadopsi teori hermeneutika historis yang digagas oleh Hans-Georg

Gadamer.19

Jauss juga menyebutkan bahwa ada tiga lapisan yang harus diperhatikan

dalam proses estetika resepsi antara lain:

a. Aspek diakronik dalam hubungan interrelasi penerima karya sastra

b. Aspek sinkronik dalam susunan (frame) referensi sastra pada momentum

tertentu, termasuk hubungannya dengan susunan yang sejenis

c. Relasi dalam imanensi perkembangan kesusastraan hingga keseluruhan

proses sejarah

Dalam proses penerimaan teks terjadi hubungan komunikasi timbal balik

antara teks dengan pembaca. Untuk mengungkap komunikasi antara teks dan

pembaca perlu ada landasan teori yang mendukung. Dalam hal ini konsep dasar

teori tersebut dikemukakan oleh Wolfgang Iser, ia beranggapan bahwa proses

penerimaan pembaca merupakan suatu proses fenomenologis,20 maka salah satu

teori yang dapat diterapkan adalah teori komunikasi semiotik dari Karl Buhler

18
Paul de Man, “Introduction”, hlm.21-22
19
Ibid, hlm.29-30
20
Wolfgang Isser. The Act of Reading: a Theory of Aesthetic Response. (Baltimore and
London: The Jhon Hopkins University Press. 1987), hlm. 129
65

(psikolog). Ini didasarkan pada konsep fenomenologi yang lebih mengarah

pada fenomena mental sebagai bagian dari kajian psikologi.21

Berikut ini merupakan bagan komunikasi semiotik yang dikemukakan

Karl Buhler:

Kenyataan

TANDA

Pengirim Penerima

Dalam bagan di atas tergambar bahwa di tengah terdapat “tanda”

dilambangkan dengan segi tiga. Masing-masing segi dari segitiga itu

melambangkan sinyal dan simbol. Fenomena merupakan hubungan antara tanda

dengan orang yang memakai tanda itu, yaitu pengirim pesan. Untuk pengirim

pesan tanda tersebut mempunyai fungsi ekspresif. Sinyal merupakan hubungan

antara tanda dengan orang yang menerima pesan. Untuk penerima pesan tanda

mempunyai fungsi himbauan. Simbol merupakan hubungan dengan hal yang

ditandai atau diungkapkan.

21
Joko Widodo dan Ekarinisasrawati. “Pola Penerimaan Teks (Estetika Resepsi) Cerpen
Indonesia Mutakhir Siswa Dan Sistem Pembelajaran Apresiasi Cerpen Di Smu Kota Malang” Bestari
Universitas Muhamadiyah Malang, Vol 42 Januari-Juni 2009, hlm.149
66

Metode resepsi estetis, sebagaimana dituturkan Prof. Dr. Rahmat Djoko

Pradopo adalah respon atau apresiasi pembaca pertama terhadap sebuah karya

sastra yang akan dilanjutkan dan diperkaya melalui tanggapan-tanggapan yang

lebih lanjut dari generasi ke generasi. Dengan kalimat lain, respon yang

dimaksudkan tidak dilakukan antara karya dengan hanya seorang pembaca,

melainkan pembaca sebagai proses sejarah, pembaca dalam periode tertentu

(sinkronis) atau malah pembaca sepanjang sejarah (diakronis). Dengan

kontinuitas apresiasi ini, maka makna historis dan nilai estetis dari karya sastra

akan dapat diungkapkan dan diperkaya.22

Dalam metode resepsi estetis ini diteliti tanggapan-tanggapan setiap

periode. Tanggapan-tanggapan sebuah karya sastra oleh para pembacanya.

Pembaca dalam hubungannya ini adalah pembaca yang cakap, bukan awam,

yaitu para kritikus sastra dan ahli sastra yang dipandang dapat mewakili para

pembaca pada periodenya. Para ahli sastra di setiap periode memberikan

komentar-komentar berdasarkan karya sastra yang bersangkutan.23

Dengan demikian penelitian dengan metode resepsi estetis, seperti yang

juga diungkapkan Rachmat Djoko Pradopo ialah dapat menghasilkan :

a. Rekontruksi bermacam-macam Penilaian sebuah karya sastra dalam masa

sejarahnya

22
Rachmat Djoko Pradopo, Beberapa Teori Sastra, hlm.218
23
Ibid, hlm.219
67

b. Penjelasan hubungan di antara penilaian-penilaian itu di satu pihak dan

dilain pihak meneliti hubungan di antara karya sastra dengan konteks historis

yang memiliki penilaian-penilaian tersebut.24

B. Sketsa Hidup Navid Kermani

Pembicaraan tentang biografi Navid Kermani akan dibicarakan dalam dua

sub-bab; sketsa biografi kehidupan dan sketsa perkembangan pemikirannya. Hal

ini bukan berarti bahwa masing-masing berdiri sendiri, tetapi keduanya saling

mempengaruhi antar satu dengan lainnya. Perjalanan hidup seseorang memiliki

korelasi positif dengan karya-karya yang merupakan representasi dari

perkembangan pemikirannya.

1. Biografi Kehidupan Navid Kermani

Navid Kermani lahir pada tahun 1967 di Siegen, Jerman Barat. Ia adalah

seorang warga negara Iran dan Jerman, beliau lahir 1967 di Jerman dari sebuah

keluarga asal Iran sebagai anak keempat dari orang tua yang berasal dari Iran.

Ia menikah dengan seorang wartawan yang juga sarjana Islam bernama Katajun

Amirpun, ia dikaruniai dua anak perempuan dan sekarang tinggal di Cologne

Jerman.

Sejak kecil Kermani telah memiliki kegemaran dalam belajar. Hal

tersebut didukung oleh keluarganya. Kedua orang tua Navid Kermani datang ke

Jerman pada tahun 1963 dari Iran untuk belajar. Kermani hidup dalam keluarga

yang menjunjung tinggi asas toleransi, meskipun mereka tinggal di Jerman


24
Rachmat Djoko Pradopo, Beberapa Teori Sastra, hlm.220
68

yang notabenenya adalah negara Eropa, mereka adalah keluarga Muslim yang

sholeh dalam model Eropa. Mereka senang tinggal di Jerman. Setelah 50 tahun

mereka tinggal di Jerman, mereka tidak pernah mengatakan bahwa mereka

adalah Jerman. Hal tersebut dikarenakan Navid Kermani sebagai seorang

imigran yang berasal dari Iran, Turki, Arab, bahkan di generasi kedua atau

ketiga kita tetaplah orang imigran.

2. Perkembangan Pemikiran Navid Kermani

Setelah menyelesaikan sekolahnya pada tingkatan menengah, ia belajar

Studi Islam, Filsafat, dan Teater di Cologne, Kairo dan Bonn. Ia menyelesaikan

studinya pada tahun 1998 sebagai Doktor di “Orientalisches Seminar”

Rheinische Friedrich Wilhelms Universität Bonn dengan disertasi yang

berjudul Gott ist schon; Das asthetische Erlebens des Koran (“Tuhan Maha

Indah: Penghayatan Estetik Terhadap al-Qur’an”). Ditahun-tahun sebelumnya

Navid Kermani sudah berperan aktif dalam meramaikan kajian al-Qur’an di

Barat. Buku pertama yang dihasilkanya adalah Offenbarung als

Kammunikation; Das Konzept Wahy in Nasr Abu Zaids Mafhum al-Nass

(“Wahyu sebagai Komunikasi; Telaah atas Konsep Abu Zayd tentang Wahyu

dalam Mafhu>m al-Na>s). Karya-karyanya yang lain banyak berupa artikel di

beberapa jurnal studi Islam international.

Navid Kermani adalah salah satu tokoh yang paling menarik di kalangan

intelektual muda Muslim yang lahir dan dibesarkan di Barat. Ia sangat dikenal
69

di Jerman. Hal itu dikarenakan karya-karyanys banyak dipublikasikan di Eropa

khususnya Jerman. Ketika beliau masih berusia 40, tahun 2000 sampai 2010,

beliau sudah menjadi anggota dari keluarga Institut Wissenschaftskolleg/

Institute for Advanced Study di Berlin. Sampai akhirnya Pada tahun 2005 ia

menerima gelar pasca-doktor di Universitas yang sama.

Dia adalah anggota dari Akademi Jerman untuk bahasa dan Puisi dan

Academy of Sciences di Hamburg. Tahun 2005 sampai 2007 ia bekerja sebagai

direktur komunitas teater di kota Cologne. Disela-sela kesibukannya sebagai

direktur teater, ia memimpin acara yang besar yaitu menjadi tuan rumah

diselenggarakanya pertemuan sastrawan dunia di Cologne dan Essen pada

tahun 2006.

Selain kesibukan beliau menjadi duta sastra bagi Jerman, beliau tidak

lupa membagi ilmunya sebagai pengajar. Pada tahun 2010 beliau memberikan

kuliah umum di Frankfurt untuk kategori sastra lebih khususnya persoalan puisi

serta pada tahun 2011 beliau juga memberikan kuliah umum yang sama di

Gottingen. Pada musim semi 2014 ia akan mengajar di Dartmouth College,

sebagai Visiting Professor.

Perjalanan karir Navid Kermani bisa dikatakan lancar. Selain menulis

buku, ia secara berkala menerbitkan artikel, ulasan sastra dan catatan

perjalanan. Untuk karya sastra dan akademis ia mendapatkan apresiasi yang

tinggi. Hal tersebut dibuktikan dengan penghargaan-penghargaan yang beliau


70

dapat, baik dari pemerintah Jerman maupun dari luar Jerman. Adapun

penghargaan-perhargaan beliau antara lain:

a. Pada tahun 2000 ia memenangkan penghargaan bergengsi Ernst Bloch

Förderpreis

b. Pada tahun 2011 beliau juga mendapatkan medali Buber-Rosenzweig atas

pemikiran beliau tentang sosial-politik al-Qur’an

c. Penghargaan Hannah Arendt adalah medali terbaru yang diterima oleh Navid

Kermani

d. Penghargaan Kleist juga diterima pada awal 2013

Navid Kermani juga aktif dalam menulis. Terhitung 20 judul buku yang

sudah beliau tulis, baik yang berbahasa Jerman maupun yang berbahasa inggris

adapun rinciannya

a. Offenbarung als Komunikation; Das Konzept Wahy in Nasr Hamid Abu

Zaids Mafhum al-Nass

b. Iran - Die Revolution der Kinder

c. Dynamit des Geistes. Martyrium, Islam und Nihilismus

d. Das Buch der von Neil Young Getöteten

e. Schöner Neuer Orient. Berichte von Städten und Kriegen

f. Nach Europa

g. Nasr Hamid Abu Zaid, Ein Leben mit dem Islam, erzählt von Navid

Kermani, aus dem Arabischen übersetzt von Chérifa Magdi

h. Toleranz. Drei Lesarten zu Lessings Märchen vom Ring im Jahre


71

i. Du sollst

j. Der Schrecken Gottes. Attar, Hiob und die metaphysische Revolte

k. Strategie der Eskalation. Der Nahe Osten und die Politik des Westens

l. Ayda, Bär und Hase, Kinderbuch

m. Mehdi Bazargan, Der Koran und die Christen, herausgegeben von Navid

Kermani

n. Kurzmitteilung

o. Ausnahmezustand. Reisen in eine beunruhigte Welt

p. Dein Name

q. Gott ist schön. Das ästhetische Erleben des Koran

r. Brave New Orient. Reports on Cities and Wars

s. Forty Lives

t. The Terror of God. Attar, Job and the Metaphysical Revolt25

C. Konstruksi Teori Resepsi Estetis

1. Teori Resepsi

a. Estetika Tanggapan dan Efek

Kata kunci dari konsep ini adalah estetika tanggapan dan efek.

Menurut Navid Kermani, pembacalah yang menilai, menikmati, menafsirkan

dan memahami karya sastra. Pembaca dalam kondisi demikianlah yang

mampu menentukan nasib dan peranannya dari segi sejarah sastra dan

25
Seluruh data biografi Navid Kermani diambil di website pribadi beliau lebih jelasnya lihat.
www.navidkermani.de
72

estetika. Resepsi sebuah karya dengan pemahaman dan penilaiannya tidak

dapat diteliti lepas dari rangka sejarahnya, seperti yang terwujud dalam

horizon harapan pembaca masing-masing. Baru dalam kaitannya dengan

pembaca, karya sastra mendapat makna dan fungsinya. Dengan demikian

istilah estetika tanggapan adalah penerimaan yang mengedepankan arti,

makna, dan kualitas sebuah obyek, yang meliputi unsur-unsur indrawi, baik

penglihatan, pendengaran, cita rasa maupun getaran sebuah obyek

penerimaan.26

Hal yang menjadi perhatian utama dalam teori ini menurut Navid

Kermani adalah pembaca karya sastra di antara jalinan segitiga pengarang,

karya sastra, dan masyarakat pembaca. Pembaca mempunyai peranan aktif

bahkan mempunyai kekuatan pembentuk sejarah. Terkait dengan maksud di

atas, maka pendengaran penghayatan, pengalaman, serta keharuan pembaca

terhadap al-Qur’an dalam proses resepsi atau penerimaannya bisa

dikategorikan dalam dimensi penerimaan estetik terhadap al-Qur’an.27

Konsep yang dikemukakan oleh Navid Kermani di atas apabila

diterapkan dalam proses penerimaan estetik terhadap al-Qur’an, maka dapat

dikatakan bahwa al-Qur’an merupakan karya sastra yang mengandung

pesan-pesan, pengirim pesan adalah penulis, dan penerima pesan adalah

26
Navid Kermani, “The Aesthetic Reception of the Qur’an as Reflected in Early Muslim
History” (ed) Issa J. Boullata, Literary Structures of Religious Meaning in the Qur’an, (Curzon Press,
2000), hlm.258-259
27
Navid Kermani, “The Aesthetic Reception of the Qur’an”, hlm.261-262
73

pembaca atau pendengar. Hubungan antara teks sastra dengan penulis

menunjukkan adanya simpton atau fenomena. Fenomena mengarah pada

kegiatan mental yang berupa sikap, perasaan, kebutuhan, dan kemauan.

Sedangkan hubungan teks sastra dengan pembaca menunjukkan adanya

sinyal. Teks sastra yang merupakan hasil sikap, perasaan, kebutuhan dan

kemauan penulis memberikan sinyal bagi pembaca. Agar sinyal tersebut

dapat diterima dengan baik maka diperlukan teori yang dapat mengungkap

berbagai hal yang berhubungan dengan pembaca.

b. Horizon Harapan Pembaca

Konsep horizon harapan pembaca merupakan hasil modifikasi yang

dilakukan Navid Kermani terhadap teori horizon harapan,

(Erwatungshorizon), konsep yang semula diperkenalkan oleh Hans Robert

Jauss. Menurut Navid Kermani, pembaca memiliki horizon harapan yang

tercipta karena pembacaannya yang lebih dahulu dan pengalamannya selaku

manusia budaya. Fungsi efek, nilai sebuah karya sastra tergantung pada

relasi struktur, ciri-ciri dan unsur-unsur karya tersebut dengan horizon

harapan.

Kajian Kermani ini dilandasi atas keyakinan bahwa sejarah resepsi al-

Qur’an merupakan faktor yang berpengaruh dalam aspek-aspek yang terkait

dengan estetika. Untuk memperjelas kerangka ini, Navid Kermani

mengadopsi teori Jauss tentang horizon harapan. Horison harapan yang

terjadi pada diri pembaca meskipun karya sastra itu tampak baru, tetapi tidak
74

muncul seperti sesuatu yang baru dalam suatu informasi ruang hampa.

Pengalaman pembaca, isyarat yang jelas maupun rahasia, ciri-ciri umum

yang dikenal atau tersembunyi membangkitkan emosi serta memori pembaca

yang selanjutnya membuat suatu horison harapan. Horison harapan itu

bergerak dari awal hingga akhir dengan berbagai proses secara utuh.28

Horizon harapan adalah harapan-harapan pembaca karya sebelum

membacanya. Pembaca sudah mempunyai wujud harapan dalam karya sastra

yang dibacanya. Horizon harapan muncul pada tiap aktifitas pembacaan

untuk masing-masing karya di dalam momen historisnya melalui bentuk dan

pemahaman atas bentuk dan tema karya yang telah dikenal. Perihal kondisi

tersebut, karya sastra mampu menstimulus proses psikis pembaca dalam

meresepsi karya sastra yangg dibacanya sehingga dari proses tersebut

mengimplikasikan adanya harapan-harapan karya yang dibacanya.29

Lebih lanjut, menurut Jauss pengalaman yang dimaksud

mengindikasikan bahwa teks karya sastra menawarkan efek yang bermacam-

macam kepada pembaca yang bermacam-macam pula dari sisi

pengalamannya pada setiap periode atau zaman pembacanya. Pembaca yang

beragam dalam periode waktu yang berbeda akan menunjukan efek yang

berbeda pula. Pengalaman akan mewujudkan perpaduan antara tanggapan

28
Navid Kermani, “Poerty and Language” (Ed) Andre Rippin, The Blackwell Companion to
The Qur’an, (Blackwell Publishing, 2006), hlm.112
29
Hans Robert Jauss, Toward an Aesthetic of Reception, hlm.136
75

baru pembacanya dengan teks yang membawanya hadir dalam aktifitas

pembaca-pembacanya.30 Dalam hal ini, kesejarahan sastra tidak tergantung

pada organisasi fakta-fakta literar tetapi dibangun oleh pengalaman

kesastraan yang dimiliki pembaca atas pengalaman sebelumnya.

Menurut Jauss, ada beberapa faktor yang mempengaruhi horizon

harapan pembaca

1. Pengetahuan pembaca mengenai genre-genre sastra

2. Pengetahuan dan pemahaman mengenai tema dan bentuk yang mereka

dapat melalui pengalaman pembaca karya sastra

3. Pengetahuan dan pemahaman terhadap pertentangan antara bahasa sastra

dan bahasa sehari-hari atau bahasa nonsastra pada umumnya

4. Sidang pembaca bayangan

Sedangkan horizon harapan yang menjadi teori jauss ditentukan oleh

tiga pilar yaitu:

1. Norma-norma umum yang keluar dari teks yang telah dibaca oleh

pembaca

2. Pengetahuan dan pengalaman atau semua teks yang telah dibaca

sebelumnya

30
Hans Robert Jauss, Toward an Aesthetic of Reception, hlm.140
76

3. Pertentangan antara fiksi dan kenyataan, misalnya kemampuan pembaca

memahami teks baru baik dari harapan-harapan sastra maupun dari

pengetahuan tentang kehidupan.31

Selain itu, kontribusi Jauss adalah mengenalkan konsep resepsi dengan

tujuh tesis tentang horizon harapan pembaca sebagai berikut :

1. Karya sastra tidak bisa dipandang sebagai objek tunggal dan bermakna

sama, seperti anggapan tradisional mengenai objektivitas sejarah sebagai

deskripsi yang tertutup. Pembaca berhak untuk memberikan penilaian

terhadap karya sastra sesuai dengan pengalaman pembacaan masing-

masing pembaca. Koherensi karya sastra sebagai sebuah peristiwa

terutama dijembatani oleh horizon-horizon harapan, pengalaman

kesastraan dan horizon harapan pembaca, kritikus, dan pengarang.

2. Sistem horizon harapan pembaca timbul sebagai akibat adanya momen

historis karya sastra, yang meliputi suatu prapemahaman mengenai genre,

bentuk, dan tema dalam karya yang sudah diakrabi, dan dari pemahaman

mengenai oposisi antara bahasa puitis dan bahasa sehari-hari.

3. Horizon harapan memungkinkan pembaca mengenali ciri artistik dari

sebuah karya sastra. Jika ternyata masih ada jarak estetik antara horizon

harapan dengan wujud sebuah karya sastra yang baru, maka proses

penerimaan dapat mengubah harapan itu baik melalui penyangkalan

31
Hans Robert Jauzz. Toward an Aesthetic of Reception, hlm.139
77

terhadap pengalaman estetik yang sudah dikenal atau melalui kesadaran

bahwa sudah muncul suatu pengalaman estetik yang baru.

4. Rekonstruksi horizon harapan terhadap karya sastra sejak diciptakan

diterima pada masa lampau akan menghasilkan berbagai varian resepsi

dengan semangat jaman yang berbeda. Dengan demikian, pandangan

platonis mengenai makna karya sastra yang objektif, tunggal, dan abadi

untuk semua penafsir perlu ditolak.

5. Teori penerimaan estetik tidak hanya sekedar memahami makna dan

bentuk karya sastra menurut pemahaman historis, tetapi juga menuntut

pembaca agar memasukkan karya individual ke dalam rangkaian sastra

agar lebih dikenal posisi dan arti historisnya dalam konteks pengalaman

sastra.

6. Apabila pemahaman dan pemaknaan sebuah karya sastra menurut resepsi

historis tidak dapat dilakukan karena adanya perubahan sikap estetik,

maka seseorang dapat menggunakan perpektif sinkronis untuk

menggambarkan persamaan, perbedaan, pertentangan, ataupun hubungan

antara sistem seni sejaman dengan sistem seni dalam masa lampau.

Sebuah sejarah sastra akan lebih mantap dalam pertemuan perspektif

sinkronis dan diakronis. Jadi, sistem sinkronis tetap harus membuat masa

lampau sebagai elemen struktural yang tak dapat dipisahkan.

7. Selain menampilkan sistem-sistem karya sastra secara sinkronis dan

diakronis, tugas sejarah sastra adalah mengaitkannya dengan sejarah


78

umum. Fungsi sosial dari karya sastra dapat terwujud dengan pengalaman

sastra pembaca masuk ke dalam horison harapan mengenai kehidupannya

yang praktis, membuat pembaca semakin memahami dunianya, dan

akhirnya memberi pengaruh pada tingkah laku sosialnya.32

c. Keterbukaan al-Qur’an

Keterbukaan al-Qur’an versi Navid Kermani adalah pengakuan diri al-

Qur’an sebagai teks yang terbuka. Karakter keterbukaan al-Qur’an ini

merupakan konsekuensi lanjutan dari keteguhan Kermani untuk

memprimadonakan al-Qur’an dalam fungsi puitiknya. Penempatan tersebut

mengakibatkan teks keagamaan layaknya teks-teks sastra yang terbuka untuk

dikaji, ditelaah, dan ditentukan kualitas keindahan sastranya.

Untuk meneropong keterbukaan al-Qur’an Navid Kermani meminjam

istilah Roman Jakobson, “keterbukaan sebuah teks terletak salah satunya

pada kemampuan teks tersebut menyampaikan informasi yang terkandung,

sehingga informasi tersebut dapat difahami dari semua level yang ada”33

Dari level teoritis ini, Kermani kemudian menghubungkannya dengan teks

al-Qur’an dengan maksud menyandingkan dengan timbangan-timbangan

ilmu dan kritik sastra dalam rangka menguatkan anggapan bahwa aspek-

aspek puitik sangat lekat dengan al-Qur’an

32
Rachmat Djoko Pradopo, Beberapa Teori Sastra, hlm.107
33
Navid Kermani, “The Aesthetic Reception of the Qur’an as Reflected in Early Muslim
History” (ed) Issa J. Boullata, Literary Structures of Religious Meaning in the Qur’an, (Curzon Press,
2000), hlm.258
79

Menurut Kermani, salah satu indikator keterbukaan al-Qur’an adalah

bahwa penyampaian informasi yang dilakukan al-Qur’an tidak sekedar

berkutat pada dataran diskursif, melainkan juga mengacu pada level-level

komunikatif lainnya, seperti aspek akustik, emotif, puitik, bahkan estetik.

Ungkapan-ungkapan al-Qur’an yang sangat kompleks dan sangat berarti

misalnya, rima (nada akhir ayat), struktur kalimat, ritme-ritme yang dipakai,

serta gambaran-gambaran yang termuat, merupakan karakter utama dari

informasi yang disampaikan al-Qur’an.

Navid Kermani dalam teorinya juga menyebutkan pengakuan Ibnu

`Arabi tentang keterbukaan al-Qur’an yang menurutnya terletak salah

satunya pada interaksi antara pendengar dan teks yang selalu baru, dalam arti

semakin sering teks al-Qur’an dibacakan, kesan yang dimiliki oleh pembaca

dan pendengar akan semakin bertambah, sekaligus juga akan mempertinggi

tingkat apresiasi pembaca dan pendengar terhadapnya.34 Untuk memperjelas

ungkapan tersebut Navid Kermani menghadirkan lima ayat pertama surat al-

Qari’ah.

1. Al-Qa>ri’ah

2. Ma> al-qa>ri’ah

3. Wa ma> adra>ka ma al-qa>ri’ah

4. Yawma yaku>nu al-na>s ka al-fara>sy al-mabṡuṡ

5. Wa taku>nu al-jiba>lu ka-l-‘ihni al-manfu>s


34
Navid Kermani, “The Aesthetic Reception of the Qur’an”, hlm.259
80

Dalam penjelasanya disebutkan bahwa ayat pertama diawali dengan

kata al-Qa>ri’ah. Secara leksikal sulit ditentukan maksudnya. Akar kata q-r

dalam Lisa>n al-‘Ara>b karya Ibnu Manẓu>r memiliki makna semantik

“memukul”, “mengejutkan, serta ” memecahkan”.35 Ketidak pastian kata

dalam ayat pertama al-Qa>ri’ah dilanjutkan dengan ketidak jelasan ayat kedua

dengan frasa Ma> al-qa>ri’ah. Pertanyaan pada ayat kedua dilanjutkan dengan

pertanyaan pada ayat ketiga. Hal tersebut menurut Navid Kermani seakan

mempertegas pertanyaan tersebut dan sekaligus memicu munculnya

keingintahuan pembaca akan arti dari kata al-Qa>ri’ah ayat pertama.

Kermani menjelaskan bahwa kata yawm menurut mufasir menyimpan

maksud perintah Tuhan untuk berfikir dan merenung pada hari di mana

manusia laksana “anai-anai yang bertebaran” dan gunung-gunung seperti

“bulu bulu yang berhamburan”. Penggambaran al-Qur’an dengan

mengunakan perintah berfikir dan merenung bahwa manusia nanti seperti

anai-anai yang berterbangan, menyimpan pesan yang luar biasa. Menurut

Navid Kermani hal inilah letak keterbukaan al-Qur’an, dalam artian al-

Qur’an melampaui batas-batas komunikasi biasa yang tidak hanya mencakup

level diskursif akan tetapi memasuki level-level komunikasi lainnya seperti

emotif, puitik dan estetik.36

35
Ibnu Mundzir, Lisan Arab, CD-ROM Syamilah, Global Islamic Software, 1991-1997
36
Navid Kermani, “The Aesthetic Reception of the Qur’an, hlm.260
81

d. Memori Kultural (Cultural Memory)

Sumber-sumber yang digunakan Navid Kermani dalam proyek resepsi

estetis ini adalah kitab-kitab sirah Nabi Muhammad SAW., seperti kitab

karya Abu> Isha>q Muhammad al-Ṡa'labi yang berjudul kita>b muba>rak

yużkaru fi>hi qatla> al-Qur’a>n al-‘az}i>m allażi>na sami’u al-Qur’a>na wa ma>tu> bi

sima>’ihi. Dalam literatur ini Navid Kermani menemukan banyak sekali data

yang menunjukan pengaruh pembacaan al-Qur’an terhadap pembacanya,

baik menangis, menjerit, pingsan bahkan ada yang terus meninggal.

Sehingga Kermani semakin yakin akan pengaruh psikologis yang amat kuat

dari pembacaan al-Qur’an.

Riwayat-riwayat yang dinukil dari kitab-kitab sirah tersebut tidak

bermaksud untuk menunjukan absah dan tidaknya. Tujuan penelitian ini

adalah menemukan bukti-bukti akan pengaruh psikologis pembacaan dan

pendengaran terhadap al-Qur’an. Untuk mendukung teorinya, Kermani

mengadopsi teori akal kultural yang dipopulerkan Jan Assman.37

Sebagai gambaran teori memori kultural Navid Kermani memberikan

deskripsi sebagai berikut :

“The collective memory of a shared inhabited past is essential for the


identity of a community. independent of its historical validity, such a
memory is always a social construct whose properties result from the
need to make sense and from the referential framework of particular
realities.”38

37
Navid Kermani, “The Aesthetic Reception of the Qur’an”, hlm.256
38
Ibid,hlm.256
82

Untuk memperjelas teori memori kultural yang dimaksud Navid Kermani di

atas, ia mengutip konsep yang ditawarkan oleh Jan Assmann.

Konsep memori kultural berhubungan dengan salah satu dari beberapa


dimensi luar akal pikiran manusia. Manusia memahami pemikiran
mula-mula (hanya sebagai) fenomena internal yang terlokalisir di
dalam otak setiap individu, yang semata-mata merupakan bidang garap
psikologi akal, neurologi, dan psikologi secara umum, dan sebaliknya
bukan merupakan ilmu budaya historis. Apa yang direkam oleh akal
pikiran, berapa lama ia bisa diingat, bagaimana ia diorganisir bukan
merupakan bagian dari fenomena internal, melainkan aspek-aspek
ekternal yang terbingkai dalam kerangka serta ukuran budaya dan
masyarakat.39

Dalam pengertian konsep memori kultural yang ditawarkan Jan

Assmann ia berpendapat bahwa masyarakat membayangkan gambaran

dirinya dan berlangsung terus menerus sepanjang generasi sehingga

membentuk semacam identitas atau jadi diri kultural masyarakat tersebut.40

Menurut Assmann, ingatan adalah kemampuan manusia untuk menciptakan

kesadaran tentang dirinya sendiri, baik di level pribadi maupun sosial.

Kesadaran tersebut muncul dalam pemaknaan ruang dan waktu. Ruang dan

waktu itulah yang menjadi panggung bagi peristiwa. Namun waktulah yang

sesungguhnya mempengaruhi pembentukan dan pengembangan identitas,

39
Navid Kermani, “The Aesthetic Reception of the Qur’an”, hlm.257
40
Ibid, hlm.259
83

baik personal maupun kolektif. Ingatan kolektif akan kebiasaan masa lalu

merupakan unsur inti dari identitas suatu masyarakat. 41

Assmann kemudian berpendapat bahwa ingatan terdiri dari dua level,

yakni level personal dan level sosial. Pada level personal ingatan adalah

materi dari sistem mental saraf kita. Sebelum wacana tentang ingatan

berkembang, para ahli sastra mengenali tipe ingatan ini di dalam kajian

mereka. Namun penelitian dan teori berkembang, lalu ditemukan level kedua

dari ingatan, yakni level sosial. Pada level sosial ingatan adalah soal dari

komunikasi dan interaksi sosial42. Di satu sisi ingatan muncul dalam proses

relasi manusia dengan lingkungan sosialnya. Di sisi lain ingatan membuat

manusia mampu hidup bersama dengan manusia lainnya.43

Assmann lebih jauh berpendapat, bahwa kultur adalah bagian dari

ingatan kolektif suatu masyarakat. Ingatan kolektif terekam dalam simbol

yang kurang lebih permanen, seperti struktur bangunan, tata jalan raya, dan

sebagainya. Simbol tersebut kemudian diwariskan ke generasi berikutnya.

Pewarisan simbol adalah pewarisan kultur. Pewarisan kultur akan

mempengaruhi identitas kelompok terkait. Semua itu terkait dengan konsep

41
Jan Assman, “Communicative and Cultural Memory” (ed) Astrid erll, Cultural Memory
Studies:An Internationaland Interdisplinary Handbook (Berlin Library of Congress Cataloging in
Publication Data, 2008), hlm.98
42
Assmann dalam hal ini sangat dipengaruhi oleh Maurice Halbwachs, seorang pemikir prancis
yang mengajukan argumen, bahwa ingatan lebih kuat berpijak pada sosialisasi dan komunikasi. Dalam
arti ini terdapat dialektika antara ingatan dan masyarakat lebih jelasnya lihat Jan Assman,
“Communicative and Cultural Memory”, hlm.96
43
Jan Assman, Religion and Cultural Memory, (Stanford University Press. 2006), hlm.1
84

ingatan, bahwa yang kita miliki sebagai makhluk yang dilengkapi dengan

pikiran manusia terjadi dalam interaksi terus menerus tidak hanya dengan

ingatan manusia, tetapi juga dengan benda-benda. Benda-benda itulah yang

disebut Assman sebagai simbol-simbol eksternal.

Jan Assmann juga berpendapat bahwa ada relasi dialektis antara

manusia yang mengingat dengan benda yang menciptakan ataupun menyulut

ingatan. “Benda-benda”, demikian tulisannya, tidak memiliki ingatan pada

dirinya sendiri, tetapi benda-benda itu mengingatkan kita, memancing

ingatan kita, karena benda-benda itu membawa ingatan yang telah kita tanam

kepadanya. Assmann menjabarkan relasi antara tindak mengingat dan

pemicu ingatan di level individual.

Di dalam level sosial, peran sosial justru semakin penting. Bagi

Assmann kelompok tidaklah bisa mengingat. Pengingat adalah individu-

individu yang hidup di dalam kelompok. Individu-individu tersebut

menciptakan simbol yang menegaskan jati diri mereka sebagai sebuah

kelompok. Inilah dasar berpikir dari keberadaan museum, monumen, arsip,

dan semua tugu peringatan lainnya. Assmann menyebut ini sebagai ingatan

kultural (cultural memory).44

Assmann membedakan antara ingatan kultural dan ingatan kolektif.

Ingatan kultural membutuhkan institusi resmi untuk pelestarian dan

pengembangannya. Sementara ingatan kolektif atau yang disebut sebagai


44
Jan Assman, Religion and Cultural Memory, hlm.10-15
85

ingatan komunikatif adalah tidak institusional; ingatan komunikatif tidak

didukung oleh institusi apapun. Ingatan kolektif menurut Assmann tidak

memerlukan peringatan, tidak diformalisasikan dengan upacara, tugu,

ataupun simbol-simbol material lainnya.45 Konsep inilah yang kemudian

dielaborasi lebih lanjut oleh Navid Kermani dalam membidik suasana awal

masyarakat pertama penerima wahyu melalui rekaman-rekaman penerimaan

atau resepsi yang tersebar dalam berbagai literatur Islam klasik.

Konsep resepsi estetis yang dikenalkan Navid Kermani sebenarnya

bukan konsep baru dalam dunia sastra. Penelitian Kermani tersebut

mengelaborasi beberapa teori sastra yang berkembang pesat di dunia Barat

pada periode modern ini, diantaranya adalah teori resepsi Jauss, dan teori

memori kultural yang dikenalkan oleh Jan Assmann. Dalam meneliti sejarah

resepsi al-Qur’an Kermani mengunakan teori resepsi Jauss karena teori

tersebut mengedepankan efek dan estetika tanggapan, sedangkan teori

memori kultural digunakan untuk menjelaskan kondisi masyarakat pada saat

tersebut.

Secara fungsional kedua teori tersebut ditujukan untuk menemukan

bukti-bukti akan pengaruh psikologis pembacaan dan pendengaran terhadap

al-Qur’an. Aplikasi serta implikasi dari teori efek estetis al-Qur’an sebagai

metodologi resepsi al-Qur’an dapat diterapkan pada pada obyek masyarakat

multi perspektif dalam hal ini penulis menerapkan pada dua kasus yaitu
45
Jan Assman, “Communicative and Cultural Memory”, hlm.109
86

Masyarakat Generasi Awal dan Komunitas Sufi. Penjelasan lebih mendalam

pada kedua kasus tersebut akan dijelaskan pada bab selanjutnya.


BAB IV

RESEPSI ESTETIS DALAM DIMENSI MUSIKALIK AL-QUR’AN

Pada bab kedua dan ketiga telah dibahas secara berturut-turut dimensi

musikalik al-Qur’an dan konstruksi teori resepsi estetis Navid Kermani. Pada

bab ini akan dibahas bagaimana teori resepsi estetis Navid Kermani jika

digunakan untuk melihat respon atau penerimaan masyarakat terhadap

pembacaan musikalik al-Qur’an. Penulis mencoba menghadirkan dua kasus

yaitu masyarakat Arab generasi awal dan komunitas Sufi. Kedua kasus tersebut

merupakan representasi dari kelompok masyarakat yang menonjolkan tujuan

estetis dalam rangka mengekpresikan penerimaan mereka terhadap kitab sucinya.

Ada beberapa faktor yang signifikan terhadap pembacaan musikalik

masyarakat Arab generasi awal dan komunitas sufi. Pertama, masyarakat Arab

pra-Islam adalah komunitas budaya, mereka dibedakan dan diidentifikasi melalui

bahasa dan puisi1 sehingga aspek-aspek puitik bagi mereka sangat dekat dengan

al-Qur’an. Kedua, kewajiban untuk menghayati dan merefleksikan tingkah laku

dalam kehidupan sehari-hari guna mendekatkan diri pada Allah SWT melalui

ayat-ayat al-Qur’an merupakan ajaran yang sangat kental bagi komunitas sufi.

Bahkan dalam tradisi kaum sufi penghayatan dan pembacaan mereka terhadap al-

1
Wildana Wargadinata dan Laily Fitriani, Sastra Arab dan Lintas Budaya, (Malang: UIN-
Malang Press, 2008), hlm.89

87
88

Qur’an selalu dihiasi dengan suara dan irama yang merdu.2 Hal ini lah yang

menjadi faktor munculnya berbagai variasi respon dan penerimaan terhadap

pembacaan musikalik al-Qur’an dan akan dijelaskan lebih mendalam dengan

mengunakan teori resepsi estetis Navid Kermani.

A. Resepsi al-Qur’an dalam Tradisi Masyarakat Arab Generasi Awal

1. Dimensi Horizon Harapan Masyarakat Arab Generasi Awal

a. Spiritualitas3 Masyarakat Arab Generasi Awal

Masyarakat Arab pra-Islam selalu diidentikkan dengan masyarakat

jahiliyah. Sebutan jahiliyah identik dengan permusuhan dan pertumpahan

darah. Perang menjadi bagian dari hidup mereka, sehingga sulit terbentuk

kesatuan antar suku. Kejahiliyahan masyarakat Arab tidak berarti mereka

tidak memiliki peradaban dan nilai-nilai religus. Peradaban mereka sangat

tinggi. Hal ini terbukti dengan adanya pasar di daerah Ukaz{ yang menjadi

2
Bersufi Melalui Musik: Sebuah Pembelaan Musik Sufi oleh Ahmad al-Ghazāli (Yogyakarta:
Gama Media, 2003), hlm.34

3
Spritualitas merupakankeyakinan dalam hubungannya dengan Yang Maha Kuasa dengan
mengunakan instrumen/medium yang bersifat batiniah maupun lahiriah. Pembacaan musikalik al-
Qur’an merupakan bentuk ekpresi seni yang bertujuan untuk keindahan (estetis). Keindahan itu
sangat berkaitan dengan spritualitas seseorang yaitu merasuk pada sifat batiniah sekaligus sangat
bersifat lahiriah. Menurut Ahmad Baidhowi, konsepsi seni dalam alur spiritualitas berlaku bagi semua
jenis seni dalam hal ini adalah seni musik. Lihat Ahmad Baidhowi, ‚Resepsi Estetis terhadap al-
Qur’an‛, ESENSIA, Vol. 8 No. 1 Januari 2007 . Sedangkan seni Islam setidaknya mengandung empat
pesan atau fungsi spiritual. pertama mengalirkan barakah sebagai akibat hubungan batin dengan
dimensi spritual Islam. Kedua, sebagai ukuran gerakan sosial. Ketiga, sebagai kriteria tingkat
hubungan intelektual dan religiusitas masyarakat. Keempat, mengingatkan kehadiran tuhan
dimanapun manusia berada. Lihat Sayyed Hossen Nasr, Spiritualitas dan Seni Islam,terj. Sutejo
(Bandung: Mizan, 1993), hlm. 214-218
89

ajang untuk kebolehan dalam menunjukan keindahan sastra, terutama puisi

dan qasidah.4

Dalam masalah religiusitas, masyarakat Arab sudah memiliki konsep-

konsep keberagamaan yang plural. Kepercayaan animisme, dinamisme,

politeisme, monoteisme terdapat dalam masyarakat Arab. Meskipun

mayoritas masyarakat Arab menganut politeisme, namun mereka memiliki

kepercayaan terhadap Tuhan. Dewa-dewa dalam agama mereka adalah

simbol yang dijadikan sebagai mediator untuk menuju kekuatan yang lebih

tinggi.5

Masyarakat Arab juga memiliki kepercayaan monoteisme yang

disebut dengan agama h{ani>f6. H{ani>f merupakan kelompok beriman kepada

tuhan yang maha esa tetapi belum memeluk agama tertentu. Ajaran agama

ini menolak penyembahan terhadap berhala dan mengajak kepada

ketauhidan. Hal tersebut terbukti dalam literatur-literatur syair dan qasidah

mereka. Para penyair dari kelompok ini mengumandangkan syair yang

bertemakan keimanan dan keesaan Allah.

4
Asghar Ali Engineer, Asal Usul dan Perkembangan Islam: Analisis Pertumbuhan Sosio
Ekonomi terj. Imam Baehaqi, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar 1998), hlm.145
5
Syarqawi, Filsafat Kebudayaan Islam, terj Ahmad Rofi’ Usmani, (Bandung: Penerbit
Pustaka, 1986), hlm.64
6
Istilah H{ani>f mula-mula berasal dari Syiria (dari kota Hanpa) dalam lingkungan kawasan
Nasrani, oleh sebab itu ajaran-ajaran Nasrani dan Yahudi dianggap berperan dalam membentuk
kepercayaan ini, lebih jelas lihat. Ali Sodiqin, Antropologi al-Qur’an: Model Dialektika antara
Wahyu dan Budaya, (Yogyakarta: Ar-Ruzz Media, 2008), hlm.52
90

Usaha yang dilakukan oleh Nabi Muhammad SAW. dalam

menyebarkan ajaran al-Qur’an mendapat respon yang beragam dari

kalangan masyarakat Arab. Secara garis besar respon masyarakat Arab

terbagi menjadi dua, yaitu menerima dan menolak. Dua kelompok ini

berasal dari kelas sosial yang berbeda bahkan bertentangan. Al-Qur’an juga

menggambarkan berbagai respon tersebut dalam istilah yang terdapat dalam

al-Qur’an seperti Mu’mi>n, Muslim, Ka>fir, Musyrik, Muna>fiq

Kelompok yang menolak berasal dari golongan aristokrat Quraisy,

suku yang paling disegani pada waktu itu. Menurut Arkoun, Penolakan

mereka bukan karena ketidaktahuan atau oposisi sistem etis terhadap al-

Qur’an. Mereka sebenarnya berada dalam problematika terhadap kehadiran

kitab itu, sehingga mereka mengajukan syarat-syarat agar bisa

menerimanya.7 Sikap penolakan ini juga muncul karena alasan reservasi

budaya, hegemoni kesukuan, dan dominasi ekonomi. Secara budaya mereka

tidak mau meninggalkan apa yang telah ditradisikan oleh nenek moyang

mereka.

Sedangkan kelompok yang menerima sebagian besar berasal dari

kalangan masyarakat bawah. Secara sosial para penerima ajaran Nabi

Muhammad SAW. dapat dikelompokan menjadi tiga. Pertama, yaitu

kelompok pemuda yang berasal dari keluarga dan suku yang terpandang.

7
Mohammed Arkoun, Kajian Kontemporer al-Qur’an, terj Hidayatullah, (Bandung: Penerbit
Pustaka, 1998), hlm.74
91

Mereka adalah korban monopoli dalam sistem perdagangan Makkah.

Kedua, kelompok dari suku-suku kecil yang lemah. Ketiga adalah kelompok

masyarakat tak bersuku.8

Sikap menerima kelompok ini ditunjukan dengan meninggalkan

semua adat istiadat lama mereka. Kebiasaan judi, minum khamar, praktik

riba, poligami, perbudakan mereka sesuaikan dengan ajaran al-Qur’an.

Tidak hanya meninggalkan tradisi lama mereka tapi juga mengikuti tradisi

baru yang sudah diajarkan dalam nilai-nilai al-Qur’an. Masyarakat Muslim

Madinah merupakan prototipe kelompok Muslim dan Mukmin dalam

berbudaya.

Dilihat dari sudut pandang budaya, al-Qur’an juga menghilangkan

dominasi budaya Arab terhadap budaya non-Arab. Konsep ummah yang

dibangun Nabi Muhammad SAW. Telah mengubah struktur sosial yang

berlaku. Nilai-nilai yang dibudayakan al-Qur’an tetap bersifat universal.

Hal ini dikarenakan nilai-nilai tersebut didasarkan atas nilai kesetaraan

sosial. Meskipun simbol yang digunakan adalah Arab, akan tetapi

paradigma budayanya mengalami perubahan. Melalui pesan-pesan yang

terkandung dalam al-Qur’an, tradisi-tradisi yang berlaku pada masa itu

semakin tertata. Hal itu dikarenakan. Tahapan dialektika antara al-Qur’an

dan budaya masyarakat Arab dimulai dari adopsi, adaptasi, dan integrasi,

8
Ali Sodiqin, Antropologi al-Qur’an, hlm.53
92

sehingga muncullah budaya-budaya baru. Akan tetapi budaya baru hasil

bentukan al-Qur’an tersebut harus dipandang dari prosesnya bukan dari

hasilnya.9

Merupakan sebuah kenyataan bahwa al-Qur’an lahir dalam

masyarakat Arab dengan budaya lisan yang sangat kuat. Kefasihan lidah

merupakan satu dari tiga keahlian manusia sempurna dalam masyarakat

Arab disamping keahlian berkuda. Sejarawan terkenal Philip K. Hitti

mengatakan ‚kearifan itu hanya berbentuk tiga corak: akal budi bangsa

Prancis, tangan bangsa Tionghoa, dan lidah bangsa Arab.‛ Secara umum,

ada empat bentuk budaya lisan dalam masyarakat Arab pra-Islam yakni

syair atau puisi, ramal (ka>hin), orator (kha>tib), dan cerita atau dongeng

(qas}a>s)} 10

Pengakuan masyarakat Arab baik orang-orang Mukmin maupun Kafir

atas keindahan gaya bahasa al-Qur’an merupakan bukti akan tingginya nilai

estetika al-Qur’an, anggapan para penyair Arab bahwa al-Qur’an adalah

puisi bisa difahami karena mereka adalah penyair. Mereka sadar bahwa nilai

estetika al-Qur’an jauh melebihi estetika puisi yang mereka ciptakan.

9
Ali Sodiqin, Antropologi al-Qur’an, hlm.200
10
Philip K. Hitti, Sejarah Singkat Dunia Arab, terj. Ushuludin Hutagalung dan O.D.P
Sihombang, (Yogyakarta: Iqra’ Pustaka, 2001), hlm.56
93

b. Problematika antara Puisi dan al-Qur’an pada Masa Generasi Awal

Nabi Muhammad SAW. hidup pada tahun 570 sampai 632 Masehi.

Beliau pertama kali mendapatkan wahyu ilahiah pada usia 40, itulah saat

pertama kali Nabi menerima wahyu kerasulan yang terus berlangsung

hingga beliau wafat. Nabi Muhammad SAW. menyampaikan Qur’a>nan

Arabiyyan (bacaan dalam bahasa Arab)11. Hal tersebut dikarenakan al-

Qur’an membedakan wahyu dalam bahasa Arab (Qur’a>nan Arabiyan)

dengan wahyu dalam bahasa asing (Qur’a>nan ‘A’jamiyyan).12 Pada mulanya

Nabi menyebarkan wahyu yang diterimanya pada masyarakat Makkah dan

kemudian kepada bangsa Arab secara keseluruhan.13

Pada abad ke VII atau pra-Islam bangsa Arab tidak membentuk suatu

kelompok tunggal atau memiliki landasan politik yang sama. Sebaliknya

mereka saling berperang dan saling menumpahkan darah di seantero negeri.

Satu-satunya unit sosial yang kuat pada masa itu adalah suku. Meskipun

demikian berbagai suku yang saling bermusuhan tersebut tetap merasa

sebagai suatu kesatuan masyarakat.14 Bahasa merupakan elemen pemersatu

dari semua konflik yang terjadi di jazirah Arab pada abad ke VII.15

11
Kata Qur’an sendiri secara harfiah berarti ‚bacaan‛ atau ‚sesuatu yang dibaca‛. Lihat Ibnu
Mundzir, Lisan Arab, CD-ROM Syamilah, Global Islamic Software, 1991-1997
12
Lihat Q.S. Fussilat 44
13
Mohammed Arkoun, Kajian Kontemporer al-Qur’an, hlm.75
14
Philip K. Hitti, Sejarah Singkat Dunia Arab, hlm.58
94

Perbedaan dialek antar suku yang sulit difahami serta bahasa tulis

yang tidak digunakan secara luas menjadikan komunikasi antar suku di

Jazirah Arab semakin sulit. Meskipun demikian bahasa puisi yang telah

dibakukan, yang mana memiliki teknik yang rumit, dan kaidah serta standar

yang ketat dapat mengatasi perpecahan dan merupakan dasar bagi memori

bersama yang homogen. Fenomena tersebut menurut para ahli bahasa

merupakan fenomena yang unik dan tidak bisa dijelaskan bagaimana semua

itu terjadi.

Puisi Arab kuno merupakan suatu fenomena yang sangat kompleks.

Kosakata, keunikan tata bahasa, serta sejumlah kaidahnya yang ketat

diwariskan secara turun temurun, dan hanya pelajar yang benar-benar cerdas

yang mampu menyandang status sebagai penyair. Nabi Muhammad tumbuh

dalam sebuah dunia yang mengagungkan ekspresi puitik. Beliau tidak

pernah mempelajari keterampilan berpuisi akan tetapi Nabi Muhammad

muncul membawa al-Qur’an yang memiliki bahasa yang sangat kuat

sehingga mempesona pendengar pada masa itu. Namun apa yang dilafalkan

Nabi Muhammad berbeda dengan puisi Arab kuno. Kaidah Arab kuno

modifikasi secara aneh. Hal tersebut merupakan suatu yang baru bagi

15
Navid Kermani, ‚Poerty and Language‛ (ed) Andrew Rippin, The Blackwell Companion to
The Qur’an, (Blackwell Publishing, 2006), hlm.107
95

masyarakat Arab pada masa Nabi Muhammad SAW.16 Oleh karena itu

terlepas dari kesenjangan bentuk dan isi, banyak penduduk Makkah yang

menganggap Nabi Muhammad adalah seorang penyair.17

Pernyataan sebagian masyarakat Arab bahwa al-Qur’an adalah puisi,

bukanlah sekedar polemik. Hal tersebut mencerminkan apa yang dirasakan

oleh banyak orang pada masa itu dan juga bukan dikarenakan kesadaran

kolektif yang menyamakan antara al-Qur’an dan puisi, melainkan puisi

adalah satu-satunya bentuk yang oleh masyarakat Arab dapat dikaitkan

dengan al-Qur’an. Akan tetapi para ahli puisi Arab kuno pada masa itu

sangat terkesan dan terpesona akan keindahan bahasa al-Qur’an serta selalu

mengatakan bahwa al-Qur’an bukanlah puisi ataupun prosa bersajak. Hal

tersebut memberikan batasan-batasan dalam menilai al-Qur’an.18

Selama berabad-abad hubungan antara al-Qur’an dengan puisi dalam

sejarah kebudayaan Arab sangat dekat. Keberadaan kajian-kajian sastra

Arab banyak dipengaruhi al-Qur’an. Al-Qur’an yang ditulis dengan

ungkapan puisi Arab kuno memberikan nuansa normatif yang unik bagi

16
Navid Kermani, ‚Poerty and Language‛, hlm.108
17
Kontroversi yang mempersoalkan status Nabi sebagai penyair digambarkan dalam al-Qur’an
surat al-Anbiya’ ayat 5
18
Navid Kermani, ‚Poerty and Language‛, hlm.108
96

perkembangan puisi Arab. Bahasa Arab klasik mampu muncul sebagai

bahasa resmi dan bahasa ilmu pengetahuan bagi bangsa Arab.19

Kedekatan antara al-Qur’an dengan puisi Arab tidak selamanya

harmonis, di satu pihak para penyair ingin menyaingi al-Qur’an, sementara

di pihak lain para teolog konservatif mengecam puisi. Hal tersebut menurut

Navid Kermani dikarenakan puisi Arab merupakan saingan utama al-Qur’an

dan dianggap sebagai ancaman yang lebih kuat dibandingkan agama lain di

wilayah Muslim pada saat itu.20

Pada bab ini penulis tidak bermaksud mengatakan bahwa al-Qur’an

adalah puisi, akan tetapi menjelaskan bahwa kenyataannya, al-Qur’an

memberikan kekuatan normatif yang unik terhadap bahasa Arab.

Pembacaan al-Qur’an atau ceramah penyair besar Arab yang masing-masing

memperlihatkan terjaganya pembedaan bunyi huruf secara tegas, nuansa

fonetik yang kaya serta panjang vokal yang merdu merupakan bukti bahwa

bahasa Arab dan al-Qur’an memiliki kekuatan lisan yang magis21

19
Navid Kermani, ‚Qur’an, Puisi, Politik‛ terj. Tim Penerjemah Kalam , Kalam, Vol 20
Desember 2002, hlm.211
20
Navid Kermani, ‚Poerty and Language‛, hlm.110
21
Yang dimaksud magis disini adalah bahwa bunyi kata-kata yang dilafadkan secara tepat
dapat menumbuhkan rasa khidmat secara mendalam, suasana hati yang suci yang sama sekali tidak
berkaitan dengan makna semantiknya. Lebih jelasnya lihat Navid Kermani, ‚Recitation and Aesthetic
Reception‛ (Ed) Jane Dammen Mc Auliffe, The Cambridge Companion to The Qur’an, (Cambridge
University Press, 2006), hlm.117
97

Dengan menerapkan teori horizon harapan Navid Kermani maka

dapat disimpulkan bahwa horizon harapan masyarakat Arab generasi awal

antara lain. Pertama, Respon terhadap kehadiran al-Qur’an setidaknya ada

dua kelompok yaitu menerima dan menolak. Dua kelompok ini beasal dari

kelas sosial yang berbeda bahkan bertentangan. Hal itu menunjukan sistem

masyarakat yang membedakan antara kelas atas dan bawah. Kedua,

masyarakat Arab pra-Islam adalah komunitas budaya, yang mana mereka

dibedakan dan diidentifikasi pada dasarnya melalui bahasa dan puisi. Ketiga,

daya tarik yang luar biasa yang dikatakan berasal dari pembacaan al-Qur'an

dan tidak ada seorang pun yang bisa menolak pesona al-Qur’an. Variasi

penerimaan masyarakat Arab generasi awal Islam merupakan bukti sejarah

resepsi al-Qur’an yang tidak hanya berada dalam level diskursif melainkan

juga mengarah pada level estetis.

2. Efek Estetik dalam Pembacaan Musikalik al-Qur’an Masyarakat Arab

Generasi Awal

Sumber-sumber Islam klasik banyak menyajikan gambaran bahwa faktor

utama yang menentukan keberhasilan Islam adalah pesona yang begitu kuat

dari al-Qur’an serta kekuatan estetika retoriknya. Dalam sumber-sumber

tersebut banyak ditemukan data yang menunjukan pengaruh pembacaan al-

Qur’an terhadap pembacanya, baik menangis, menjerit, pingsan, bahkan ada

yang terus meninggal. Dengan berpijak pada manuskrip karya Abu> Isha>q
98

Muhammad al-Ṡa’labi yang berjudul kita>b muba>rak yużkaru fi>hi qatla> al-

Qur’a>n al-‘az{i>m allażi>na sami’u al-Qur’a>na wa ma>tu> bi sima>’ihi, Navid

Kermani semakin yakin akan pengaruh psikologis al-Qur’an.

Validitas sebuah riwayat dari berbagai literatur sirah Nabi tidak terlalu

dipermasalahkan untuk memperoleh data efek estetik al-Qur’an. Sasaran yang

ingin dicapai dari teori ini adalah bukan sah atau tidaknya berita yang dibawa

melainkan menemukan bukti-bukti akan pengaruh psikologis pembacaan dan

pendengaran al-Qur’an. Dalam meneropong efek estetis Navid Kermani

memilah berita yang dihadirkan menjadi dua kelompok. Pertama, berita-berita

yang merekam masuk Islam-nya para pendekar sastra Arab dan tokoh

antagonis pada masa itu. Kedua, riwayat-riwayat yang memuat kesyahduan,

kekhusuan dan keseriusan generasi awal muslim dalam mendengar al-Qur’an.

Riwayat yang menggambarkan kekaguman seorang ahli sastra Arab

yaitu seorang penyair bernama Labid bin Rabiah menggantungkan syair-syair

gubahannya di depan Ka’bah sebagai ajang untuk kemampuan menggubah

syair di kalangan masyarakat Arab. Dengan digantungnya karya Labid,

masyarakat Arab berkeyakinan bahwa keunggulan sastra tersebut tidak bisa

tertandingi oleh karya sastrawan lain. Suatu ketika datanglah beberapa

pengikut Nabi Muhammad SAW. dengan membawa potongan ayat dan

mengantungkannya serta meminta Labid untuk membacanya. Didorong rasa

ingin tahu dan merasa ditantang, Labid kemudian membaca ayat yang
99

dibawakan pengikut Nabi. Kagum dan terpana akan keindahan bahasa ayat

yang dibacanya, Labid kemudian memeluk Islam.22

Riwayat lain adalah berita yang dibawa oleh Ibnu Isha>q, bahwa suatu

ketika, , al-T{ufail, seorang sastrawan terkemuka bangsa Arab dari Bani Daws

berkunjung ke Makkah, karena mendengar berita bahwa ada seorang ‚ahli

sihir‛ bernama Muhammad SAW.. Ketika al-T{ufail berada di dekat

Muhammad SAW. dan mendengarkan ajaran-ajaran yang dibawakannya,

pikirannya berubah untuk tidak lagi percaya dengan berita-berita orang

Quraisy Makkah yang menganggap Muhammad SAW. adalah ‚ahli sihir‛.

Bahkan ketika al-T{ufail mendengarkan qira>’ah (bacaan) Nabi Muhammad

SAW., berkatalah dia, ‚saya adalah empu sastra yang ahli menilai mana

gubahan sastra yang indah dan mana yang tidak. Tetapi mendengar bacaan

Muhammad SAW., terus terang saya belum pernah mendengar untaian kalimat

seindah ini‛. Tidak lama kemudian al-Tufail memeluk agama yang dibawa

Nabi Muhammad SAW. yaitu agama Islam.23

Contoh lain yang mencolok adalah meninggalnya seorang Sahabat

bernama Zurara al-Harasyi ketika mendengar ayat al-Qur’an dibacakan dalam

shalat berjamaah. Begitu juga riwayat Pembacaan musikalik yang terekam

dalam sejarah Islam adalah masuk Islamnya Khalifah kedua yaitu Umar bin

22
Muhammad Nur Kholis Setiawan, al-Qur’an Kitab Sastra Terbesar, (Yogyakarta, ELSAQ
Press, 2005), hlm.72
23
Navid Kermani, ‚The Aesthetic Reception of the Qur’an‛, hlm.258
100

Khat{t{a>b R.A. Riwayat-riwayat tersebut, baik respon langsung berupa jeritan,

tangisan, keharuan ataupun kekaguman terhadap al-Qur’an ketika dibacakan

merupakan data sejarah yang tidak saja dilakukan oleh generasi Sahabat,

melainkan juga oleh generasi masa Tabi’in. bahkan berlanjut sampai

masyarakat modern saat ini.

Kisah yang dialami oleh Labid bin Rabiah, al-T{ufail, Zurara al-Harasyi,

maupun kisah Umar bin Khat{t{a>b memperlihatkan bahwa al-Qur’an mampu

masuk dan mempengaruhi kehidupan seseorang. Tidak hanya dalam aspek-

aspek riil, melainkan juga aspek-aspek intelektual. Dengan kata lain

pembahasan ini tidak dimaksudkan untuk membuktikan keunggulan sastra al-

Qur’an melalui teori sastra kontemporer, melainkan menunjukan arti penting

penerimaan estetik al-Qur’an bagi umat Islam khususnya.

B. Resepsi al-Qur’an dalam Tradisi Komunitas Sufi

1. Dimensi Horizon Harapan dalam Tradisi Komunitas Sufi

a. Spiritualitas Komunitas Sufi

Dalam ajaran tasawuf, tingkatan spiritual merupakan hal yang sangat

esensial. Hal itu disebabkan tasawuf bertujuan untuk mencapai tauhid

murni s{afa>’ al-Tauhi>d dalam arti yang sangat komprehensif. Tauhid murni

tidak akan tercapai kecuali seorang sa>lik telah melintasi berbagai tingkatan

spiritualitas. Tingkatan spiritualitas disimbolkan dengan istilah Maqa>ma>t


101

dan Ahwa>l24. Keduanya memuat ajaran yang tidak dapat dipisahkan dengan

proses menuju tauhid. Menurut Abdul Muhaya bahwa kedua ajaran tersebut

adalah internalisasi dari persaksian la> ila>ha illa Allah.25

Ima>m al-Ghaza>li26 dalam kitab Misyka>t al-Anwa>r membagi tingkatan

spiritualitas menjadi lima. Pembagian ini dimulai dari kesadaran terendah

sampai tingkatan kesadaran tertinggi. Lima tingkatan tersebut adalah al-

Ru>h al-Hayawa>ni, al-Ru>h al-Khayya>li, al-Ru>h al-‘Aqli>, al-Ru>h al-Fikri>, dan

al-Ru>h al-Qudsi>. Dari segi fungsi dan kualitasnya kelima tingkatan spiritual

itu memiliki perbedaan fungsi dan kualitas

1. al-Ru>h al-Hayawa>ni memiliki kesadaran yang bersifat alamiah dan

berkualitas rendah

2. al-Ru>h al-Khayya>li berfungsi sebagai penyimpan dari kesan-kesan yang

diperoleh dari panca indra dan ini memiliki kualitas yang lebih tinggi

3. al-Ru>h al-Aqli> berfungsi sebagai penemu makna yang terkandung dibalik

fenomena

24
Kata maqa>m berarti tempat seorang hamba dihadapan Tuhan dan proses atau tingkatan
yang dilakukan dalam pemurnian jiwa untuk mendapatkan iluminasi Allah SWT.. lebih jelasnya lihat
Abdul Aziz Musthafa, Mahabatullah: Tangga Menuju Cinta Allah: Wacana Imam Ibnu Qayyim al-
Jauziyah., (Jakarta: Risalah Gusti, 1996), hlm.36
25
Bagi sufi, persaksian bahwa tiada tuhan selain allah merupakan wujud pengesaan terhadap
allah dalam segala hal, terutama dalam hal dia sebagai zat yang dicinta satu-satunya. Sebab, menurut
al-ghazali bahwa yang disebut tuhan adalah setiap sesuatu yang dihamba, dan setiap sesuatu yang
dihamba adalah yang dicintai dan setiap yang dicintai adalah yang dituju ( al-maqshud) lihat Abdul
Muhaya, Bersufi melalui Musik: Sebuah pembelaan Musik Sufi oleh ahmad al-Ghazali (Yogyakarta:
Gama Media, 2003), hlm.26
26
Muhammad al-Ghazali, Misyka>t al-Anwa>r wa Masha>fat al-As}s}ar. (Bairut: ‘Alam al-Kutub,
1986), hlm.58
102

4. al-Ru>h al-Fikri berfungsi sebagai alat yang dapat menghasilkan intuisi

batin yang punya arti yang sangat berguna bagi kehidupan

5. al-Ruh al-Qudsi> memiliki fungsi yang dapat menyampaikan seorang

menuju wilayat kenabian dan kewalian, dan ini menduduki tingkatan

spiritualitas yang paling tinggi.

Pada tingkatan al-Ruh al-Qudsi> yang merupakan tingkatan

spiritualitas tertinggi inilah, manusia dapat menerima iluminasi cahaya

Allah. Ia memanifestasikan dirinya sebagai cermin Allah, karenanya ia

dalam istilah tasawuf dikategorisasikan sebagai orang yang telah mencapai

derajat Insa>n Ka>mil. Orang yang sudah mencapai derajat ini atau tingkatan

yang demikian ini sudah berada dalam kesadaran ilahiah. Bahkan dalam

derajat lebih tinggi mereka seolah-olah ada tingkatan al-maiyah al-żatiyah

al-ilahiyah orang yang tidak butuh risalah kenabian, sebab secara langsung

dia dapat mencapainya sendiri.27

Abdul Muhaya mengutip pendapat Hakim al-Tirmidzi dalam

membagi tingkatan spiritualitas menjadi empat, yaitu S{adr, Qalb, Fua>d, dan

Lubb. Dalam tingkatannya Lubb lebih tinggi tingkatanyya dari S{adr. Hal

itu disebabkan Lubb berada dalam Fua>d, Fua>d berada dalam Qalb,Qalb

27
Kisah pertemuan Nabi Musa dan Khidir yang ada dalam al-Qur’an patut kita renungkan.
Meskipun ulama sepakat bahwa Nabi Musa adalah seorang Nabi yang memiliki syariat sendiri,
namun dalam perjalanan akhirnya kisah tersebut terlihat bahwa yang dianggap Nabi Musa
merupakan kemungkaran ternyata oleh Khidir justru dinilai sebaliknya. Hal ini disebabkan keputusan
yang diambil Nabi Musa lebih bersifat rasional yang mempertimbangkan fenomena tampak,
sedangkan Khidir lebih menekankan alasan dibalik itu.
103

berada dalam S{adr. Menurutnya setiap tingkatan memancarkan cahaya dan

pengetahuan yang berbeda

1. S{adr akan memancarkan Nu>r al-Isla>m (cahaya kebenaran yang dibawa

oleh para nabi untuk umatnya), pengetahuan yang ditangkap oleh S{adr

ini hanya bersifat informatif dan suatu saat bisa hilang.

2. Qalb dapat memancarkan Nu>r al-Ima>n, pengetahuan yang diperoleh Qalb

bersifat esotetik yang diberikan langsung oleh Allah.

3. Fua>d dapat memperoleh Nu>r al-Ma’rifah. Pengetahuan yang diperoleh

oleh Qalb adalah Qalb mengetahui lewat perantara ilmu Ladunni,

sedangkan Fua{d dapat melihat langsung realitas yang ada.

4. Lubb yang menjadi inti dari tiga tingkatan spiritualitas dapat

memancarkan Nu>r al-Tauhi>d. Pengetahuan yang diperoleh oleh Lubb

memiliki validitas yang luar biasa karena ilmu diperoleh bersama dan

beserta (bi Allah, ma’a Allah).28

Sedangkan dalam terminologi tasawuf dijumpai juga istilah Tawa>jud,

Wajd, dan Wuju>d. Ketiga istilah tersebut menunjukan pada tingkatan

spiritual (ha>l) yang dirasakan oleh seorang sufi tatkala melakukan Sama>’.

Menurut Abu Ali al-Daqqa>q, Tawa>jud diumpamakan sebagai tahap melihat

lautan, sedangkan Wajd memasukinya, dan Wuju>d menyelam kedalamnya.

28
Abdul Muhaya, Bersufi melalui Musik: hlm.19
104

Karena itulah, al-Qusyairi berkata bahwa Tawa>jud merupakan awal dari

Wajd, dan Wuju>d merupakan akhir dari keduanya.29

Tawa>jud diartikan sebagai upaya sungguh-sungguh untuk

mewujudkan Wajd dengan cara berkontemplasi atas kemurahan-

kemurahan, ayat-ayat Allah, pertemuan dan persatuan dengan-Nya, haus

dengan berbagai amalan yang telah dilakukan oleh orang-orang suci. Semua

itu dilakukan supaya kecintaan dengan Allah dan menurut Muhammad al-

Ghaza>li disebut sebagai al-Ahwa>l al-Syari>fah, dapat menjadi karakter bagi

mereka. Dengan demikian, sang sufi akan lebih peka dalam menerima dan

memahami serta mencerna iluminasi tuhan.

Abdul Muhaya mengutip pendapatnya Ahmad al-Ghaza>li dalam kitab

yang berjudul Bawa>riq al-Ilma’ fi al-Rad ‘Ala> Yuharrim al-Sama>’ tentang

Tawa>jud dan Wajd:

‚Secara simbolik Tawa>jud dapat digambarkan sebagai berikut: Wajd


yang menjadi sasaran Tawa>jud itu menyerupai akal yang terdapat
pada pola pikir anak kecil, akal tersebut tidak akan menjadi aktual
kecuali jika ada stimulus yang datang dari luar, dan stimulus itu
adalah al-Sama>’ (mendengarkan musik), zikir, al-Qur’an, dan lain
sebagainnya, sehingga dapat menerima hal-hal yang yang belum
pernah mereka rasakan sebelumnya.‛30

Lebih lanjut menurut Ahmad al-Ghaza>li bahwa semua tingkatan di

atas dapat dilintasi melalui proses Takha>li, Tah}a>li, Tajalli> sebagaimana


29
Abdullah Scheilfer. ‚Tasawuf di Mesir dan Timur Arab‛ (Ed) Sayyed Hossen Nasr,
Enslikopedi Tematis: Spiritualitas Islam Manifestasi terj. Tim Penerjemah Mizan, (Bandung:
Penerbit Mizan, 1997), hlm.263
30
Abdul Muhaya, Bersufi melalui Musik, hlm.24
105

yang dirumuskan dalam Maqa>ma>t, yang bersifat negasi bertujuan untuk

membina al-Nafs al-Amma>rah bi al-Su>’ untuk menjadi al-Nafs al-

mut{mainnah. Maqa>ma>t yang bersifat penegasan bertujuan untuk

meningkatkan spiritualitas untuk menerima ‚iluminasi‛ Allah. Manakala

seorang sufi telah melintasi semua tingkatan tersebut, ia akan sampai pada

derajat al-Washilu>n. Dalam kondisi yang demikian ini sebagaimana mereka

ada yang tidak sadarkan diri karena terpesona oleh keindahan dan

kesempurnaan Allah. Meskipun demikian, sebagian yang lain ada yang

sampai pada Ma’rifa>h dengan tanpa meninggalkan ke-wira’i-annya.31

b. Fungsi Musik bagi Komunitas Sufi

Tingkatan-tingkatan spiritualitas yang dijelaskan di atas dapat dituju

ataupun dicapai dengan dua cara. Pertama, sebagian para sufi mengunakan

ajaran maqa>ma>t sebagai jalannya. Kedua, ada juga sufi yang mengunakan

perantara efek musik32 sebagai sarana munuju tingkatan spiritualitas yang

sangat tinggi Hal tersebut dikarenakan musik dapat menyibak hati,

31
Takhalli> adalah pengosongan diri dari sifat-sifat tercela, kemudia tahalli adalah
memasukkan sifat-sifat terpuji dan diakhiri dengan tajalli adalah menghadirkan iluminasi tuhan pada
diri seseorang .lebih jelasnya Abdul Muhaya, Bersufi melalui Musik, hlm.44
32
Menurut Ibnu Sina , musik adalah gelombang udara (al-khara>kah al-hawa>). Karena itu tidak
lah salah jika para filosof klasik seperti pythagoras, plato menyatakan bahwa gerakan planet
menghasilkan musik samawi yang indah. Sehingga pada gilirannya dapat mempengaruhi kondisi
fisik, emosi, mental hingga speritual seseorang.
106

mengobarkan api cinta ilahi, mengangkat pendengaran ke derajat

Musya>hada>h, suatu tingkatan spiritual yang sangat tinggi.33

Adapun beberapa ulama’ sufi yang membahas musik dan

memanfaatkannya yaitu Abu> T{a>lib al-Makki, Abu> Nas{r al-Sarra>j

(w.378/988), ‘Abd al-Kari>m Ibn Hawa>zin al-Qusyairy, al-Hujwiri, Abu>

Ha>mid al-Ghaza>li (w.505/1111), Ahmad al-Ghaza>li (w.520/1121), Jala>l al-

Di>n al-Ru>mi (w.672), dan Muhammad al-Syadili> al-T{unisi (w. 882).34 Bagi

kaum sufi, musik memiliki fungsi yang beragam antara lain:

1. Membawa jiwa ke alam realitas

2. Menyejukkan hati

3. Mengeluarkan permata ilahiah yang tersimpan dalam relung hati

4. Membersihkan hati dan meningkatkan kerinduan serta kecintaan kepada

Allah

5. Sebagai sarana mendekatkan diri kepada Allah dan untuk mencapai

derajat Wus{u>l

Tradisi keagamaan yang berkembang di masyarakat sering

mengunakan instrumen musik sebagai wadah ekpresi keagamaan. Musik

sendiri dalam tradisi keagamaan sering dibedakan antara musik vokal

dengan musik yang dihasilkan oleh instrumen. Biasanya musik vokal

33
Abdul Muhaya, Bersufi melalui Musik, hlm.20
34
Biografi dan pemikiran para tokoh bisa dilihat di Abdul Muhaya, Bersufi melalui Musik,
hlm.22
107

memiliki nilai yang lebih tinggi dari musik yang dihasilkan oleh

instrumen.35 Keutamaan musik vokal disebabkan oleh kemampuan

kapasitasnya dalam berkomunikasi dengan makna (pesan). Menurut al-

Farabi, dilihat dari fungsinya, musik dapat diklasifikasikan menjadi tiga

macam dan ketiga jenis musik ini terangkum dan termuat dalam suara

manusia, yaitu antara lain :

1. Musik yang digunakan oleh pendengarnya sebagai alat untuk menghibur

diri. Ini adalah fenomena yang sering kita jumpai dalam kehidupan.

2. Musik yang bertujuan untuk terjadinya suatu aksi dan reaksi (perbuatan

tertentu)

3. Musik yang membangunkan/membangkitkan daya imajinasi

Menurut Navid Kermani aktivitas fisik seperti menangis, menjerit,

haru serta pingsan menunjukan kuatnya pengaruh psikologi pembacaan al-

Qur’an dalam kehidupan keseharian kaum sufi. Reaksi yang ditunjukan

komunitas sufi terhadap al-Qur’an merupakan reaksi yang mencengangkan

jika dibandingkan dengan reaksi-reaksi kelompok-kelompok keagamaan

lainnya terhadap al-Qur’an. Hal ini salah satunya disebabkan oleh kentalnya

ajaran sufi untuk benar-benar menghayati, mencermati tingkah laku dalam

mendekatkan diri kepada Allah melalui ayat-ayatnya.36

35
Abu Nas{r Muhammad al-Fara>bi, Kita>b al-Mu>si>qa> al-Ka>bir, (Kairo: Dar al-Kita>b al-
‘Arabiyyah,), hlm.47
36
Navid Kermani, ‚The Aesthetic Reception of the Qur’an, Hlm. 263
108

Sejalan dengan Navid Kermani, dalam pandangan al-Syadzili37,

pembacaan musikalik memiliki beberapa fungsi. Pertama, dapat

menyejukkan batin para sufi yang sedang mengarungi perjalanan

spiritualitas yang penuh rintangan. Kedua, dapat membahagiakan roh-roh

para wali. Ketiga, dapat menghilangkan kesedihan dan dapat mendatangkan

kebahagiaan bagi pendengarnya. Senada dengan al-Syadzili, Ibn

Khurradadẓbih mengatakan bahwa pembacaan musikalik dapat mengasah

daya pikir, memperhalus sifat, mengerakkkan jiwa, menyenangkan, dan

memberi semangat kepada hati.38

Berdasarkan keterangan di atas, pembacaan musikalik dalam

komunitas sufi memiliki fungsi yang bermacam-macam. Tidak hanya

berfungsi sebagai hiburan saja, melainkan juga memiliki fungsi imajinatif,

psikoterapis, religius dan mistis. Oleh karena itu tidak mengherankan jika

pembacaan musikalik dimanfaatkan oleh komunitas sufi sebagai jalan untuk

membangkitkan dan menguatkan kecintaan mereka kepada Allah.

37
Nama lengkap al-Syadzili adalah abu al-Hasan al-Syadzili, beliau lahir di wilayah Ghumarah
, dekat Ceuta saat ini di utara Maroko, beliau lahir pada tahun 593 H/1197 M pada masa dinasti al-
Muwahiddun. Sebagai seorang Syarif keturunan Hanif ia menganut mazhab maliki. Lebih jelasnya
lihat Victor Danner, ‚Tarekat Syadziliyah dan Tasawuf di Afrika Utara‛ ed. Seyyed Hossein nasr
ensiklopedi Tematis Spiritualitas Islam terj. Tim penerjemah mizan (Bandung:Mizan Media
Utama,2003), hlm.36
38
Victor Danner, ‚Tarekat Syadziliyah dan Tasawuf di Afrika Utara‛ ed. Seyyed Hossein nasr
ensiklopedi Tematis Spiritualitas Islam terj. Tim penerjemah mizan (Bandung:Mizan Media
Utama,2003), hlm.37
109

Sebagaimana penerapan horizon harapan pada masyarakat Arab

generasi awal Islam yang menghasilkan beberapa kesimpulan, maka

komunitas sufi juga memiliki horizon harapan dalam kaitanya mereka

bergaul dengan kitab sucinya, adapun horizon harapan komunitas sufi

antara lain: Pertama, tingkat spiritual merupakan indikator kesalehan

seseorang sufi. Kedua, doktrin sufi yang mengajarkan bahwa musik sebagai

media untuk mencapai derajat sufi. Ketiga, kebiasaan komunitas sufi

mendengarkan nyanyian. Pada giliranya, kebiasaan ini juga menjadikan

mereka sangat kental dengan penghayatan psikologis terhadap al-Qur’an

dengan menunjukan kuatnya dampak estetik al-Qur’an dalam kehidupan

keseharian komunitas sufi.

c. Efek Estetik dalam Pembacaan Musikalik al-Qur’an Komunitas Sufi

Para filosof klasik mengatakan bahwa kebahagiaan adalah jenis dari

musik yang tertinggi. Ia (musik samawi) mengatur gerakan planet

sebagaimana musik dunia mengatur kehidupan manusia. Musik dunia juga

dapat membersihkan jiwa manusia. Oleh karena itulah Phythagoran dan

Nichomacus serta filsuf-filsuf lainnya memiliki kebiasaan mendendangkan

nyanyian-nyanyian yang dapat melunakkan jiwa dan membangkitkan roh


110

dari kelalaian atas kebahagiaan yang bersifat spiritual dengan iringan

tabuhan-tabuhan yang indah.39

Al-Junayd mengatakan bahwa pembacaan musikalik melalui

hubungan simbiosis mutualismenya dapat mengantarkan jiwa pendengar

untuk berpulang ke alam ide universal (‘Alam al-Nafs), yaitu alam tempat

seluruh jiwa mendapat kenikmatan yang luar biasa yang bersumber dari

kenikmatan yang bersifat rohani. Alam ini bagi para sufi merupakan rumah

sejati yang senantiasa dirindukan oleh jiwa yang ada di dunia, sebuah

tempat terjadinya perjanjian primordial (al-Mi>ṡa>q). 40

Dapat disimpulkan bahwa menurut pandangan komunitas sufi, musik

memiliki fungsi yang bermacam-macam, tidak hanya berfungsi sebagai

hiburan saja melainkan mengandung fungsi imajinatif, psikoteratif, religius

dan mistis. Al-Qur’an sendiri diyakini merupakan kitab suci yang memiliki

bahasa yang indah, yang bahkan tak seorangpun mampu menandinginya.

Kualitas kesastraan inilah yang dijadikan ulama’ sufi sebagai faktor untuk

memanfaatkan media musik al-Qur’an sebagai medium untuk

membangkitkan dan menguatkan kecintaan mereka kepada Allah.

Efek atau pengaruh pembacaan musikalik al-Qur’an terhadap

komunitas sufi timbul akibat kondisi mental yang membisikannya, suara

39
James Robson, Tract on Listening Music, (London: The Royal Asiatic Society, 1938), hlm.
124-125

40
Abu al-Qasim al-Junayd, Rasa>’il al-Junayd (Kairo: Dar al-Kita>b al-‘Arabiyyah), hlm.83
111

tersebut akan secara otomatis menimbulkan reaksi-reaksi seperti suka,

duka, sakit dll. Hal tersebut menunjukan adanya hubungan simbiotik

mutualisme antara pembacaan musikalik dan kondisi mental. Pada

kesempatan tertentu musik dapat mempengaruhi kondisi mental, pada saat

yang lain mungkin akan terjadi sebaliknya. Dalam memproduksi sebuah

reaksi terhadap pembacaan al-Qur’an dibutuhkan dua komponen; pertama

kondisi jiwa/tingkat intensitas jiwa dalam menguasai ilmu pengetahuan dan

intensitas kerinduan terhadap tuhan. Kedua komponen musik/bentuk

material dari bacaan tersebut.

Dalam melihat pengaruh pembacaan musikalik terhadap kondisi jiwa,

mungkin penjelasan Muhammad al-Ghazali dapat dipandang sebagai

penjelasan yang rinci dan jelas. Menurutnya, perbedaan pengaruh

pembacaan musikalik pada diri seorang sufi tergantung pada kondisi

spiritual mereka, yang dapat dibedakan menjadi empat.

1. Seseorang yang mendengarkannya untuk hiburan. Ini adalah jenis

pengaruh yang paling rendah karena seluruh hewan yang hidup dapat

melakukannya

2. Mereka yang mendengarkan alunan suara yang teratur dengan

pemahaman, tetapi pemahaman tersebut diaplikasikan pada makhluk.

Mereka mendengarkan pembacaan musikalik untuk memenuhi -

syahwatnya dan kondisi mentalnya


112

3. Mereka yang mendengarkan, kemudian mengaplikasikan apa yang

didengarkan kepada kondisi spiritual yang sedang terjadi pada jiwanya.

Ini biasanya dilakukan oleh sufi pemula (al-Muri>di>n). Sufi pemula yang

mengunakan pembacaan musikalik sebagai alat untuk meningkatkan

kualitas spiritualnya.

4. Para sufi yang telah melewati tingkatan dan kondisi spiritual. Mereka

pada kondisi ini ketika mendengarkan bacaan al-Qur’an dan lain

sebagainnya, tidak lagi terpengaruh oleh selain Allah karena semua itu

telah hilang dari kesadaran mereka. Kondisi mereka ibarat orang bingung

dan tenggelam dalam lautan menyaksikan Allah. Dalam kondisi ini

seorang sufi dalam kondisi Fana>’ ‘an Nafsi>, dan sekaligus Fana>’ dari

selain Allah. Ini adalah derajat yang tertinggi dan merupakan derajat

para wali, seorang yang telah mencapai kondisi Fana>’ , baik terhadap

dirinya maupun keadaan yang diperolehnya.41

Secara psikologis, ritme dan tempo yang dihasilkan oleh bacaan al-

Qur’an dapat mempengaruhi jiwa pendengarnya Abdul Muhaya mengatakan

bahwa suara yang diatur melalui ritme tertentu memiliki dua pengaruh.

Pertama, dari segi komposisi khas yang dimilikinya (kandungan isi al-

Qur’an). Kedua, dari segi lagu yaitu muatan spiritual yang menyamainnya.

Lebih lanjut ia mengatakan bahwa ketika suara diracik dengan komposisi

41
Muhammad al-Ghaza>li, Misyka>t al-Anwa>r wa Masha>fat al-As}s}ar. (Bairut: ‘Alam al-Kutub,
1986), hlm.79-83
113

yang harmonis dengan isi dan saling berhubungan antara satu dengan

lainnya, ia akan mengobarkan jiwa manusia. Akibatnya, perasaan jiwa

manusia itu menjadi terikat dengan lagu. Ketika terjadi perubahan pada

lagu, kondisi jiwa pendengar juga mengalami perubahan secara bersamaan.


42

Tempo juga dapat mempengaruhi jiwa pendengarnya. Tempo yang

sangat cepat akan menyatukan jiwa manusia dengan hirup pikuk kehidupan,

bahkan sebaliknnya. Hal tersebut dapat dijadikan alasan mengapa dalam

ilmu seni membaca al-Qur’an berkembang berbagai nama lagu yang

sebagian diambil dari nama tempat asalnya. Seperti Hija>z, ‘Ira>qi, Nahawand

dan sebagian diambil dari posisi suara pada nada seruling, seperti Duga>h

(posisi kedua atau A), Syiqa>h (posisi ketiga atau B), atau pada sebagian lain

menunjukan kondisi jiwa seperti Fara>hfaza yang berasal dari kata Fara>h

artinya senang, bahkan ada yang menunjukan nama musim yaitu nasm yang

artinya angin sepoi-sepoi, waktu pagi s{abah dan lain sebagainya.43

Dalam kehidupan keseharian komunitas sufi dikenal beberapa istilah

yang berkenaan dengan penghayatan dan pendengaran terhadap al-Qur’an.

42
Abdul Muhaya, Bersufi melalui Musik, hlm.57
43
Kristina Nelson, The Art of Reciting the Qur’an, (Cairo: the American University in Cairo
Press, 2001), hlm.110
114

44
Istilah tersebut diantaranya halawa untuk menghadirkan reaksi atau

penghayatan estetik terhadap al-Qur’an Navid Kermani mengutip

pernyataan al-Ghazali dalam kitab Ihya>’ Ulu>m al-Di>n, bahwa suatu hari al-

Ghaza>li pernah berkata :

‚Aku telah membaca al-Qur’an tanpa mendapatkan kenikmatan,


kemudian aku baca al-Qur’an seperti Nabi Muhammad SAW
membacanya ketika beliau menerimanya dari Allah. Setelah itu
barulah aku temukan pengalaman membaca yang derajatnya lebih
tinggi. Kemudian aku baca al-Qur’an seperti bacaan malaikat
jibrilketika mendapat mandat dari Allah SWT. Untuk
menyampaikannya kepada Rasulullah. Kemudian Allah SWT.
Menuntunku pada level yang bisa membuatku mendengar apa yang
disampaikan Allah SWT. Kepada malaikat Jibril. Di sinilah aku
memperoleh kenikmatan yang sungguh luar biasa yang tidak pernah
terhenti.‛45

Pengalaman pembacaan dan pendengaran yang dialami al-Ghaza>li

ternyata dikuatkan oleh banyak teolog muslim klasik, salah seorang

diantaranya adalah Ibn al-Qayyim al-Jauziyyah yang menegaskan bahwa

menghiasi bacaan, serta membaguskan suara, dan mengiringinya dengan

irama-irama musik, akan meningkatkan dan menambah efek bacaan

tersebut karena bisa mengakselerasi proses masuknya nuansa makna yang

dibawa oleh teks tersebut ke dalam hati pendengarnya.46

44
Halawa adalah menikmati indahnya sebuah teks, baik pujaan (puisi-puisi sufistik) maupun
kesyahduan bacaan al-Qur’an, serta kesyahduan komunikasi lewat pujian
45
Navid Kermani, ‚Recitation and Aesthetic Reception‛, hlm.116
46
Ibnu Qayyim al-Jauziyyah, Mada>rij al-Sa>liki>n bayn Mana>zil Iyya>ka Na’budu wa Iyya>ka
Nasta’i>n. (Kairo: Dar al-Kutub, 1995), hlm.94
115

Menurut riwayat yang dikutip Abdul Muhaya dalam bukunya Bersufi

Melalui Musik, Nabi SAW. sendiri pernah melakukan tawajud ,

diriwayatkan dari Abdullah bin Mas’u>d. Nabi bersabda kepadanya,

‚Bacakanlah (al-Qur’an) kepadaku!‛ aku menjawab, ‚ Wahai utusan Allah

aku membacakan al-Qur’an kepadamu sedangkan ia itu diturunkan

kepadamu?‛ Nabi menjawab, ‚Ya‛ maka, aku membacakannya surat an-

Nisa’ dan ketika aku membaca ayat 41 Nabi bersabda ‚Cukup‛. Maka

akupun menoleh kepadanya, dan di kala itu kedua matanya berlinang air

mata.47

Dilihat dari riwayat di atas, menangis di kala mendengarkan al-

Qur’an merupakan simbol dari tingkatan spiritualitas seorang hamba.

Tangisan tersebut bukanlah ekpresi dari rasa sedih, kecewa, atau

penyesalan, melainkan sebagai luapan rasa rindu yang menderu terhadap

Sang Khalik. Secara psikologis, menangis itu merupakan ungkapan yang

paling jujur serta tulus tentang suara batin manusia yang melambangkan

kepsarahan total kepada penciptanya. Menangis merupakan fenomena

universal dan dapat terjadi pada siapapun bagi mereka yang mempunyai

tingkatan spiritualitas yang tinggi.

Menurut Navid Kermani kebiasaan mendengarkan dan menghayati al-

Qur’an yang sedemikian rupa, nyatanya tidak serta merta menunjukan

47
Abdul Muhaya, Bersufi melalui Musik, hlm.44
116

perhatian yang lebih pada aspek ke-I’jaz-an al-Qur’an. Karya-karya yang

dihasilkan oleh sarjana komunitas sufi jarang sekali mengupas I’ja>z al-

Qur’a>n. Sebaliknya mereka berpendirian bahwa penghayatan dan

‚kemesraan‛ mereka dengan al-Qur’an benar-benar merupakan urusan

individu yang tidak menerima intervensi kalangan lain. Menurut mereka,

sikap keseharian dalam menghayati, mendengarkan dengan berbagai reaksi

fisik sudah dengan sendirinya merupakan indikator ‚kehebatan‛ dan

kesempurnaan al-Qur’an.48

48
Navid Kermani, ‚Recitation and Aesthetic Reception‛, hlm.122
DAFTAR PUSTAKA

Abidin, Zainal.Seluk-Beluk al-Qur‟an.Jakarta: Rinaka Cipta.1992

Abrams, M.H.The Norton Anthology of English Literature, 7 Edition Vol I, W.W.


Norton & Company.2000

Al-Ghazali, Muhammad, terj. Maskur Hakim dan Ubaidillah.Berdialog dengan al-


Qur‟an “Memahami Pesan Suci dalam Kehidupan Masa Kini”, Bandung:
Mizan.1997

_____Misykat al-Anwar wa Mashafat al-Assar. Beirut: „Alam al-kutub.1986

Al-Faruqi, Ismail Raji.Seni Tauhid: Esensi dan Ekspresi Estetik Islam.Yogyakarta:


Yayasan Bentang Budaya.1999

Al-Said, Labib.al-Jam’u as-S}auti al-Awwal Li al-Qur’a>n al-Kari>m aw al-Mus}ha} f al-


Murattal Bawa>’isuhu wa Mukhathatuhu.Kairo: Da>r al-Katib al-‘Araby Li at-
T>}aba’ah wa al-Nasyr.tt

Ath-Thabari, Abi Ja’far Muhammad bin Jarir.Jami’ al-Baya>n fi Tafsi>r al-Qur’a>n.


Maktabah Buhu>s wa al-Dira>sah al-‘Arabiyah wa al-Isla>miyah.2001

Al-Z}ahabi, Muhammad Husein.al-Tafsi>r wa al-Mufassiru>n.Maktabah Mash’ab Ibn


‘Umar al-Isla>miyah.2004

Asy-Syirazi.Abu Ishak, al-Muhaz}z}ab, Jilid II.Kairo: Maktabah al-Shafa>

Ali, Atabik.Kamus Inggris Indonesia Arab.Yogyakarta: Multi Karya Grafika.2003

Akbar, Abdul Haris.Musikalitas al-Qur‟an : Kajian Unsur Keindahan Bunyi Internal


dan Ekternal al-Qur‟an.Skripsi Fakultas Ushuluddin, Studi Agama dan
Pemikiran Islam, tidak diterbitkan.2009

Al-Qattan, Manna‟ Khalil.Mabahits fi Ulumil Quran, terj. Mudzakkir AS, Studi


Ilmu-Ilmu Quran.Jakarta: PT. Litera Antar Nusa.2000

Al-Zarkasyi, Al-Imam.al-Burhan fi „Ulumil Qur‟an, ditahqiq oleh Muhammad Abul


Fadl Ibrahim.Beirut: al-Maktabah al-„Ashriah Vol. I, cet.II.1972

Al-Zamakhsyari.Al-Kasyaf, CD-ROM Maktabah al-Syamilah, Global Islamic


Software, 1991-1997

Ahmadi, Habibullah.Ahsan al-Hadits:Analisis Tekstual Ulumul Qur‟an.Jakarta: Sadra


Press.2011

Assman, Jan.“Communicative and Cultural Memory” (ed) Astrid erll, Cultural


Memory Studies:An Internationaland Interdisplinary Handbook.Berlin: Library
of Congress Cataloging in Publication Data.2008

121
122

________Religion and Cultural Memory.Stanford University Press.2006

Arkoun, Mohammed.Kajian Kontemporer al-Qur‟an, terj. Hidayatullah.Bandung:


Penerbit Pustaka.1998

Baulatta, Isa J.“Introduction Literary Structures of Religious Meaning in the Qur‟an”,


Ed. Isa J. Baulatta, Literary Structures of Religious Meaning in the Qur‟an
Curzon: Curzon Press.2000

Baidhowi, Ahmad, “Resepsi Estetis terhadap al-Qur‟an” disampaikan dalam seminar


Living al-Qur‟an ; al-Qur‟an dalam Fenomena Sosial dan Budaya di Yogyakarta
8 - 9 Agustus 2006

Bazouki A.The Oxford English Dictionary, Second Edition. Oxford: Clarendon Press.
2007

Carterette, E.C and R. Kedall.“Comparativ Music Perception and Cognition”, Ed D.


Deutsch, The Psychology of Music 2 San Diego: Academia Press.1999

Corbin, Henry.History of Islamic Philosophy.London and New York in Association


with Islamic Publication for The Ismaili Studies

Danner, Victor.“Tarekat Syadziliyah dan Tasawuf di Afrika Utara” ed. Seyyed


Hossein nasr ensiklopedi Tematis Spiritualitas Islam terj. Tim penerjemah
Mizan, Bandung: Mizan Media Utama.2003

Dahlan, Zaini, Azharuddin Sabil.al-Qur‟an Karim dan Terjemahan Artinya.


Yogyakarta: UII Press.1999

Engineer, Asghar Ali.Asal Usul dan Perkembangan Islam: Analisis Pertumbuhan


Sosio Ekonomi terj. Imam Baehaqi.Yogyakarta: Pustaka Pelajar.1998

Farmer, Henry George.The Influence of Music from Arabic Source.Leiden: Leiden


University Press.1965

Ghani, Hasan Abdul.Muqaddimah Tafsir Ibnu Juraij.Kairo: Maktabah al-Islamiyah.


1992

Hamid, Mas‟an.Ilmi „arudl dan Qawafi.Surabaya: Al – Iklhas.1995

Hitti, Philip K.History of The Arabs.Jakarta: PT Serambi Ilmu Semesta.2010

_______Sejarah Singkat Dunia Arab, terj. Usuludin Hutagalung dan O.D.P


Sihombang.Yogyakarta: Iqra‟ Pustaka.2001

Hidayat, Komarudin.Menafsirkan Kehendak Tuhan.Bandung: Teraju.2004

Ibnu Qutaibah.al-Ma’a>rif.Beirut: Maktabah Muastirah.1970


123

Ibnu Khaldun.Muqadimah.Maktabah Buhu>s wa al-Dira>sah al-‘Arabiyah wa al-


Islami>yah.1982

Ibnu Mundzir.Lisan Arab, CD-ROM Syamilah.Global Islamic Software.1991-1997

Imām Asy-Syaukānī.Nailul Authār, Jilid VIII.Beirut: Al-Da'wah Al Islami>yah.1997

Isser, Wolfgang.The Act of Reading: a Theory of Aesthetic Response, Baltimore and


London: The Jhon Hopkins University Press.1987

Izutsu, Toshihiko.Relasi Tuhan dan Manusia, Pendekatan Semantik terhadap al-


Qur‟an.Yogyakarta: Tiara Wacana.1997

Jausz, Hans Robet.Toward an Aesthetic of Reception.Minniepolis: University of


Minnisota Press.1970

Junus, Umar.Resepsi Sastra: Sebuah Pengantar.Jakarta: PT. Gramedia Pustaka


Utama.1985

Kermani, Navid.“Recitation and Aesthetic Reception” (ed) Jane Dammen McAuliffe,


The Cambridge Companion to The Qur‟an.Cambridge University Press.2004

_______“The Aesthetic Reception of the Qur‟an as Reflected in Early Muslim


History” (ed) Issa J. Boullata, Literary Structures of Religious Meaning in the
Qur‟an.Curzon Press.2000

_______“Poerty and Language” (Ed) Andre Rippin, The Blackwell Companion to The
Qur‟an.Blackwell Publishing.2006

_______“Qur‟an, Puisi, Politik”.Kalam Jurnal Kebudayaan, XX.2003

Mack, Dieter.Musik Kontemporer dan Persoalan Interkultural.Yogyakarta: Arti Line.


2001

_______“Art (music) Education in Indonesia : a Great Potential but a Dilemmatic


Situation”.Jurnal EDUCATIONIST Vol I No. 2/Juli.2007

Muqa>til Ibnu Sulaiman.al-Asybah wa al-Naz}a>ir fi al-Qur’a>n al-Kari>m, ed. Mahmud


Shihatah.Kairo: al-Hay’a al-Misyriyah al-‘Amma li al-Kitab.1974

Moleong, Lexy J.Metodologi Penelitian Kualitatif edisi Revisi.Bandung: Rosdakarya.


2005

Michon, Jean-Louis.“Musik dan Tarian Suci dalam Islam”, Ed. Seyyed Hossein Nasr,
Ensiklopedi Tematis Spiritualitas Islam Manifestasi.Bandung: Penerbit Mizan.
2003

Machlis, Josep.The Enjoyment of Music. New York: W.W. Norton Company.1955


124

Muhaya, Abdul.Bersufi Melalui Musik:Sebuah Pendekatan Musik Sufi oleh Ahmad


Al-Ghazali.Yogyakarta: Gama Media.2003

Nasr, Sayyed Hossein.Spiritualitas dan Seni Islam, terj. Drs. Sutejo, Bandung: Mizan,
1993

Neuwirth, Angelika.“Referentiality and Textuality in Surat al-Hijr Some Observation


on the Qur‟anic “Canonical Process” and the Emergence of a Community” (Ed)
Issa J. Baullata, Literary Structure of Religious Meaning in the Qur‟an Curzon:
Curzon Studies in the Qur‟an.2000

Nelson, Kristina.The Art of Reciting the Qur‟an, New York: The American in Cairo
Press.2001

Partanto, Pius A. dan M. Dahlan al-Barry.Kamus Ilmiah Populer.Surabaya: Arloka.


2001

Patah, A.“Musikalitas al-Qur‟an dalam Ayat-Ayat Makiyyah.”dalam Jurnal Adabiyat,


1 Maret 2005

Pradopo, Rachmat Djoko.Beberapa Teori Sastra, Metode Kritik, dan Penerapannya.


Yogyakarta: Pustaka Pelajar.1995

Ratna, Nyoman Kutha.Estetika Sastra dan Budaya.Yogyakarta: Pustaka Pelajar.2007

Rasmussen, Anne K.Women, the Recited Qur‟an, and Islamic Music in Indonesia
London: University of California Press.2010

Read,Herbert.The Meaning of Art.New York: Penguin Book.1959

Syarqawi.Filsafat Kebudayaan Islam, terj Ahmad Rofi‟ Usmani.Bandung: Penerbit


Pustaka.1986

Sodiqin, Ali.Antropologi al-Qur‟an: Model Dialektika antara Wahyu dan Budaya.


Yogyakarta: Ar-Ruzz Media.2008

Setiawan, Muhammad Nur Kholis.”Para Pendengar Firman Tuhan; Telaah Terhadap


Efek Estetik al-Qur‟an”. Jurnal al-Jamiah, Vol 39 Nomor 1 Januari-Juni.2001

_______al-Qur‟an Kitab Sastra Terbesar.Yogyakarta: ELSAQ Press.2005

Syamsuddin, Sahiron.Hermeneutika dan Pengembangan Ulumul Qur‟an.Yogyakarta:


Pesantren Nawesea Press.2009

Smith Wilfred C.Kitab Suci Agama-Agama, Terj. Dede Iswadi.Bandung: Teraju.2005

Sulaiman, Sayyid Ismail Ali, ‚Tajwid‛ dalam Muhammad hamdi zaqzuq (ed.), al-
Mausu>ah al-Qur’a>niyah al-Mutakhassas}.Kairo: Jumhuriah Misr al-‘Arabiyah
Wiza>rat al-Auqa>f al-Majlis al-‘A’la al-syu’u>n al-isla>miyah.2005
125

Tim Pustaka Phoenix.Kamus Besar Bahasa Indonesia, Edisi ketiga,.Jakarta: Pustaka


Phoenix.2007

Teeuw, A.Membaca dan Menilai Sastra.Jakarta: PT. Gramedia.1983

Wijaya, Aksin.Arah Baru Studi Ulum al-Qur‟an: Memburu Pesan Tuhan di Balik
Fenomena Budaya.Yogyakarta: Pustaka Pelajar.2009

Wargadinata, Wildana dan Laily Fitriani.Sastra Arab dan Lintas Budaya.Malang:


UIN-Malang Press.2008

Widodo, Joko dan Ekarinisasrawati. “Pola Penerimaan Teks (Estetika Resepsi)


Cerpen Indonesia Mutakhir Siswa Dan Sistem Pembelajaran Apresiasi Cerpen
Di Smu Kota Malang”.Bestari Universitas Muhamadiyah Malang, Vol 42
Januari-Juni.2009

Wehr, Hans.Arabic-English Dictionary: The Hans Wehr Dictionary of Modern


Written Arabic. Ed. J M. Cowan.Germany: Spoken Language Systems.1977

Yapitaum, Yoseph.Pengantar Teori Sastra, Cet. I.Indonesia: Nusa Indah.1997

Zaid, Nasr Hamid Abu.Tekstualitas al-Qur‟an: Kritik terhadap Ulumul Qur‟an.


Yogyakarta: PT. LKiS Pelangi Aksara.2005

Niken, http/eunikeyoanita.blogspot.com/2013/09/estetika-resepsi.html, diakses


tanggal 15 September 2013

View publication stats

Anda mungkin juga menyukai