Anda di halaman 1dari 17

REVIEW ARTIKEL

TEORI RELASI AL-QURAN DENGAN HADIST

Disusun Guna Memenuhi Tugas Individu Mata Kuliah Studi Al-Quran dan Hadis
(Teori Dan Aplikasi)

OLEH :

Oleh:
DINA FADHILA
22203011096

Dosen Pengampu:
Dr. Mansur, S.Ag., M. Ag.

HUKUM KELUARGA ISLAM


MAGISTER ILMU SYARIAH
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN KALIJAGA
YOGYAKARTA
2022

0
KETERANGAN ARTIKEL

Reviewer : Dina Fadhila, S.H.


Nim : 22203011096
Mata Kuliah : Studi Al-Quran dan Hadis
Judul Jurnal : Tafsir Al-Quran Dengan Al-Sunnah (Studi Historis-Sosiologis Al-Quran)
Penulis : Intan Zakiyyah
Penerbit : Al-Burhan: Kajian Ilmu dan Pengembangan Budaya Al-Qur’an
TahunTerbit : Volume 21 Nomor 1 Edisi Juni 2021
Kota Terbit : Jakarta
Sinta :5
Tanggal Akses : 22 November 2022
Kata Kunci : Tafsir, Al-Quran, Al-Sunnah, Historis, Sosiologis
Akses Jurnal :
IMPLIKASI TEORI RELASI AL-QURAN DAN HADITS DALAM MEMBANGUN
KELUARGA ISLAMI
(Analisis atas artikel Membangun Keluarga Islami: Tinjauan Terhadap Ayat-Ayat Al-Quran dan
Hadis Rasul Saw)

Dina Fadhila
Mahasiswa Magister Hukum Keluarga Islam UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta
fadhilladina21@gmail.com

Abstrak
Artikel ini membahas mengenai tafsir al-Quran dengan al-Sunnah. Adapun pendekatan
yang digunakan dalam tulisan ini adalah pendekatan historis dan sosiologis. Pada masa Nabi
Muhammad penafsiran ayat-ayat al-Quran menjadi otoritas beliau. Namun beliau hanya
menafsirkan ayat-ayat al-Quran yang dianggapnya penting dan yang ditanyakan oleh sahabatnya.
Sumber penafsiran beliau adalah ayat-ayat al-Quran dan Sunnah. Pada zaman setelahnya seperti
sahabat dan tabiin, penafsiran al-Quran terus berkembang. Penafsiran ayat-ayat al-Quran pada
masa Nabi dan sahabat diketahui dari mulut ke mulut, karena kodifikasi tafsir dilaksanakan pada
akhir masa kerajaan Umayyah, meskipun kodifikasi itu masih dalam bab khusus kitab-kitab
Hadis. Sesudah itu barulah perkembangan kodifikasi tafsir dilaksanakan secara terpisah dari
kitab-kitab Hadis ke kitab khusus untuk tafsir. Tafsir muncul berbarengan dengan al-Quran ada,
yaitu ketika ia diwahyukan kepada Nabi Muhammad. Nabi Muhammad dalam menafsirkan al-
Quran ada yang menggunakan hadis qawliyyah, fi’liyyah dan juga taqririyyah. Oleh karena itu
pembahasan ini adalah pembahasan yang menarik dari masa-kemasa. Serta kajian ini juga relasi
tafsir al-Quran dengan al-Sunnah, fungsi hadis terhadap al-Quran, motif Nabi Muhammad dalam
menafsirkan al-Quran dan karakteristik serta keistimewaan tafsir al-Quran dengan al-Sunnah.
Kata Kunci: Tafsir, Al-Quran, Al-Sunnah, Historis, Sosiologis.

PENDAHULUAN
Al-Qur’an dan sunnah merupakan mashadir al-tasyri’ (sumber hukum) yang muttafaq
alaiha (disepakati para ulama ushul). Keduanya tidak bisa dipisahkan satu dengan yang lainnya,
dan hal itu tampak dalam penerapan hukum al-Qur’an dalam kehidupan. 1 Al-Quran jika
dikaitkan dengan hukum-hukum syariah kebanyakan mengandung makna global bukan rinci,
maka diperlukan penjelasan dari makna dari Al-Qur’an agar bisa ditafsirkan terutama terhadap
beberapa hukum di Al-Qur’an yang masih global dengan cara menggunakan penjelasan-
penjelasan, atau mengikuti makna asal, kecuali jika ditakhsis dengan dalil, seperti ditakhsis
1
Ahmad Mukhlisin, Integrasi Al-Qur’an Dengan Sunnah Dalam Membangun Metode Penemuan Hukum,
Dosen Tetap Universitas Nahdlatul Ulama Lampung, hlm. 23.

2
dengan sunnah. Ini menunjukkan bahwa al-Quran memerlukan banyak penjelasan, dan fungsi
sunnah adalah menjelaskan al-Quran. Tentu saja tidak terbatas permasalahan hukum, namun
mencakup seluruh persoalan kehidupan manusia.2
Secara hierarkis memang sudah menjadi ungkapan umum bahwa al-Qur’an merupakan
sumber hukum pertama sedangkan al-Hadits adalah sumber rujukan kedua. Urutan seperti ini
dibuat untuk keperluan para Mujtahid dalam merujuk sumber-sumber wahyu. Dalam aktivitas
istinbat} hukum, seorang Mujtahid mesti merujuk terlebih dahulu kepada al-Qur’an sebelum
menelusuri muatan hukum yang terdapat dalam beberapa hadits nabi.
Menafsirkan al-Qur’an dengan al-Sunnah adalah salah satu cara penafsiran yang biasa
digunakan dalam metode tafsir bi al-Maʻsūr. Tafsir bi al-Maʻsūr adalah salah satu metode
penafsiran al-Qur’an yang paling kuat dan diakui keabsahannya, yaitu metode menafsirkan nash-
nash al-Qur’an dengan menggunakan nash-nash al-Qur’an itu sendiri atau menggunakan sunnah
Rasulullah Saw. Pada saat al-Qur’an diturunkan, Rasulullah SAW sebagai penerima wahyu
adalah satu satunya orang yang paling memahami wahyu yang beliau terima dari Allah sebagai
Dzat Pemberi wahyu. Karenanya, menafsirkan al-Qur’an menggunakan sunnah diyakini sebagai
salah satu metode memahami wahyu agar sesuai dengan maksud yang dikehendaki oleh Dzat
Pemberi wahyu.3
Penafsiran terhadap al-Qur’an telah tumbuh dan berkembang sejak masa awal
pertumbuhan dan perkembangan Islam. Hal ini disebabkan oleh kenyataan adanya ayat-ayat
tertentu yang maksud dan kandunganya tidak bisa dipahami sendiri oleh para sahabat, kecuali
harus merujuk pada Rasulullah Saw.4 Rasulullah Saw sebagai penerima wahyu risalah berupa al-
Qur’an untuk menyampaikan serta menjelaskan segala maksud apa yang telah difirmankan oleh
Allah di dalam al-Qur’an. Maka seiring dengan kemajuan ilmu pengetahuan seputar kajian al-
Qur’an, sesuai dengan kebutuhan dan tantangan zaman, berbagai penafsiran al-Qur’an terus
berkembang, dengan berbagai corak dan para ulama serta intelektual muslim telah melahirkan
konsep pemahaman al-Qur’an dengan penafsiran dan metodologi tafsir al-Qur’an.
Dalam perjalanan sejarah di satu sisi telah melahirkan nilai-nilai dan capaian
kumulatifnya, dan teks keagamaan di sisi lain, tetaplah sama seperti sejak masa formatifnya.
2
Intan Zakiyyah, Tafsir Alquran Dengan Al-Sunnah (Studi Historis-Sosiologis Al-Quran), al- Burhan,
Jurnal Kajian Ilmu dan Pengembangan Budaya Al-Qur’an, Vol 21, No. 2, 2021, hlm. 3.
3
Isa Ansori, Tafsir Al-Qur’an dengan Al-Sunnah, Kalam, Jurnal Vol 11, No. 2, Desember 2017, hlm. 524.
4
Ahmad Hariyanto, Tafsir Era Nabi Muhammad Saw, At-Tibyan, Jurnal: Ilmu Al-Quran dan Tafsir, Vol. 1,
No. 1, Januari–Juni 2016, hlm. 71.
Kenyataan bahwa teks keagamaan bahwa teks (nass) bersifat terbatas sedangkan realitas
(waqa’i) terus berkembang, menuntut pada sarjana Muslim, khususnya di bidang tafsir al-Qur’an
untuk melakukan penafsiran (interpretation) yang cocok dengan denyut nadi perkembangan
zaman.5
Tujuan penulisan ini untuk melengkapi kajian dari fokus pengkaji sebelumnya yang
berkenaan dengan juga tafsir al-Quran dengan al-Sunnah, fungsi hadis terhadap al-Quran, motif
Nabi Muhammad dalam menafsirkan al-Quran dan karakteristik serta keistimewaan tafsir al-
Quran dengan al-Sunnah. Beriringan dengan itu reviewer memfokuskan pada analisa teori relasi
al-Quran dengan al-Sunnah atau hadis. Dari pembahasan ini diharapkan bisa menjelaskan secara
komperhensif mengenai teori relasi al-Quran dengan al-Sunnah atau hadis.

Tafsir dan Sunnah


Menafsirkan ayat al-Quran adalah upaya membuka atau menampakkan makna yang dapat
dirasakan dan dinalar menggunakan penjelasan secara lafzi yang dapat menunjukkan maksud
yang merupakan fakta dari suatu ayat. Ini adalah suatu upaya menggali maksud yang sebenarnya
dari pembuat syariat, yaitu Allah Swt, sehingga maksud itu dapat diaplikasikan dan
direalisasikan oleh setiap hamba-Nya dalam kehidupan sehari-hari dalam rangka beribadah
menggapai keridaan-Nya dan memperoleh kebahagiaan hidup di dunia hingga akhirat.
Tujuannya diorientasikan bagi terwujudnya fungsi utama al-Quran sebagai petunjuk hidup
manusia menuju kebahagiaan hidup di dunia dan akhirat.
Menurut Imam Baidlawi, sebagai seorang ulama klasik al-Quran adalah kalam lafzi
Tuhan yang bersifat hadis (baru) yang berupa lafal dan makna serta berasal dari kalam nafsi
Tuhan yang bersifat qadim (terdahulu dan inheren dari perbuatan Tuhan) yang tidak berupa lafal
dan makna atau immateri. Kalam lafzi Tuhan merupakan konkretisasi dari kalam nafsi Tuhan
yang bersifat abstrak, yang tidak bisa disentuh kecuali oleh makhluk yang suci. Menurut
pendapat Imam Abu Hanifah, bahwa al-Quran hanya bersifat qadim dari segi makna, tidak pada
lafalnya. Dengan demikian, dalam perspektif terakhir ini, dapat dinyatakan bahwa al-Quran yang
bersifat kalam nafsi berada di Baitul Izzah (al-sama al-duniya), dan itu semuanya bermuatan
makna muhkamat yang menjadi rujukan atau tempat kembalinya ayat-ayat mutasyabihat,
sedangkan al-Quran yang turun ke bumi dan diterima oleh Muhammad sebagai Nabi terakhir,

5
Intan Zakiyyah, Tafsir Alquran Dengan Al-Sunnah (Studi Historis-Sosiologis Al-Quran), Jurnal: al-
Burhan, Vol 21, No. 2, 2021, hlm. 3.

4
merupakan kalam lafzi yang bermuatan kalam nafsi karena mengandung tidak hanya ayat yang
mutasyabihat tetapi juga ayat atau makna-makna yang bersifat muhkamat.6
Sunnah menurut bahasa banyak artinya di antaranya al-siratu al-mutba’atu, yakni suatu
perjalanan yang diikuti, baik dinilai perjalanan baik atau perjalanan buruk. Sunnah secara bahasa
berarti jalan, baik teruji atau tercela. Sunnah menurut istilah terjadi perbedaan pendapat di
kalangan para ulama, di antaranya sebagai berikut:
1. Menurut ulama ahli hadis (Muhadditsin), sunnah sinonim hadis, sama dengan definisi hadis
yakni segala perkataan Nabi, perbuatan Nabi dan segala tingkah laku atau taqrir Nabi.
2. Sunnah menurut ulama ushul fikih hanya perbuatan yang dapat dijadikan dasar hukum Islam.
Jika suatu perbuatan Nabi tidak dijadikan dasar hukum seperti makan, minum, tidur, berjalan,
meludah, menelan ludah, buang air, dan lainnya maka pekerjaan biasa sehari-hari tersebut
tidak dinamakan sunnah
3. . Menurut ulama fikih, sunnah dilihat dari segi hukum sesuatu yang datang dari Nabi tetapi
hukumnya tidak wajib, diberi pahala bagi yang mengerjakannya dan tidak disiksa bagi yang
meninggalkan. Contohnya seperti shalat sunnah, puasa sunnah dan lain-lain.
4. Menurut ulama maw’izhah (Ulama al-Wa’zhi wa al-Irsyad), sunnah adalah sesuatu yang
menjadi lawan dari bidah. Dengan demikian menurutnya sunnah adalah segala sesuatu yang
datang dari Nabi dan sahabat, sedangkan bidah antonim dari sunnah yaitu sesuatu yang tidak
datang dari keduanya, seperti salat wajib 3 atau 4 kali sehari semalam, semua salat wajib
dilaksanakan hanya 2 rakaat, ibadah haji dilakukan pada semua bulan dan lain-lain
Perbedaan ulama dalam mendefinisikan sunnah adalah dipengaruhi dari tujuan mereka
menggunakan sunnah, tergantung latar belakang keilmuan yang mereka tekuni. Bagi ulama
tafsir, membahas Rasul adalah dengan memandang beliau sebagai ahli tafsir yang memahami
dan mempraktikkan seluruh al-Qur’an dalam kehidupan beliau. Cakupan bahasan tafsir luas,
seluas yang tercakup dalam al-Qur’an. Karenanya, seorang mufasir seharusnya mampu
menempatkan Rasul sebagaimana para ahli hadis, ahli ushul fiqh, ahli fiqih, bahkan ahli-ahli
ilmu lain, dalam rangka memahami ucapan, perbuatan, dan takrir beliau untuk menafsirkan al-
Qur’an.7 Dengan demikian, berdasarkan penjelasan definisi sunnah dan hadis di atas, dapat

6
Intan Zakiyyah, Tafsir Alquran Dengan Al-Sunnah (Studi Historis-Sosiologis Al-Quran), al- Burhan,
Jurnal: Kajian Ilmu dan Pengembangan Budaya Al-Qur’an, Vol 21, No. 2, 2021, hlm. 5.
7
Muhammad Tajuddin Romli, Eksistensi Sunnah Dalam Penafsiran Al-Qur’an, Al-Ifkar, Jurnal:
Pengembangan Ilmu Keislaman, Vol. XV, No. 1, Maret 2021, hlm. 53.
dikatakan bahwa sunnah dan hadis memiliki makna yang sama sebagai ucapan, perbuatan dan
taqrir dari Nabi yang dapat digunakan untuk menafsirkan al-Qur’an.8

Hadis Nabi Muhammad Sebagai Tafsir Al-Quran


a) Nabi sebagai Mufassir
Dalam berbagai literatur yang ada, para ulama telah banyak menjelaskan mengenai
definisi tafsir dan mufassir. Maka secara teoritis yang dimaksud mufassir ialah seseorang yang
mampu menjelaskan, menyingkap maupun menampakkan sebuah ayat dalam arti yang lain atau
arti yang mirip dengan menggunakan perangkat-perangkat (keilmuan) yang dimilikinya.
Seseorang bisa disebut sebagai mufassir apabila telah memiliki kapabilitas keilmuan yang
memadai yang bisa digunakan sebagai sarana untuk memudahkan dalam memahami serta
menjelaskan maksud dari ayat atau surat dari Kitabullah, baik itu berupa penjelasan dalam
bentuk pengajaran (lisan/tindakan) ataupun tulisan (karya).9
Terkait dengan keterlibatan Nabi Muhammad Saw dalam penafsiran al-Qur’an, Ibnu
Khaldun dalam Muqaddimahnya pernah mengatakan: “Rasulullah saw menjelaskanmakna al-
Qur’an secara umum, membedakan ayat-ayat yang nasikh dan mansukh, kemudian
memberitahukan kepada para shahabat, sehingga mereka memahami sebab musabab turunnya
ayat (asbab al-nuzul) dan situasi yang mendukungnya. Dari penjelasan dan pemahaman ayat
tersebut, bisa dikatakan bahwa Nabi Muhammad Saw adalah orang pertama yang menafsirkan
al-Qur’an dan penafsirannya mencangkup semua ibadah-ibadah, muamalah-muamalah dan
akidah-akidah yang dibawa-Nya dan mencangkup semua yang berhubungan dengan masyarakat
manusia, dimulai dari keluarga kepada kelompok sampai kepada umat dan hubungan antar
hakim dengan terhukum serta hubungan antara umat Islam dengan umat-umat lain dalam
keadaan perang dan damai. Ini berarti awal munculnya tafsir al-Qur’an ialah sejak al-Qur’an
diturunkan, sebab begitu alQur’an diturunkan kepada nabi saw, sejak itu pula beliau melakukan
proses dan praktik penafsiran untuk menjelaskan al-Qur’an kepada para sahabat.10

b) Kedudukan Hadis
Dalam Ilmu Tafsir hadis memiliki kedudukan yang tinggi, sehingga ia menjadi sumber
8
Intan Zakiyyah, Tafsir Alquran Dengan Al-Sunnah (Studi Historis-Sosiologis Al-Quran), al- Burhan,
Jurnal: Kajian Ilmu dan……, hlm. 7.
9
Intan Zakiyyah, Tafsir Alquran Dengan Al-Sunnah (Studi Historis-Sosiologis Al-Quran), al- Burhan,
Jurnal: Kajian Ilmu dan……, hlm.7 - 8.
10
Ahmad Hariyanto, Tafsir Era Nabi Muhammad Saw, At-Tibyan, Jurnal: Ilmu Al-Quran dan Tafsir, Vol.
1, No. 1, Januari–Juni 2016, hlm. 74.

6
primer di dalam ilmu Tafsir. Tidak ada seorang mufasir pun yang pandai dalam penafsiran
kecuali dia memiliki ilmu yang memadai tentang Hadis. Bagi sahabat Nabi tidaklah sulit untuk
mengetahui tafsir ayat al-Quran, karena: Pertama, mereka menerima al-Quran dan mengetahui
tafsirnya secara langsung dari Nabi Muhammad Saw. Kedua, mereka menyaksikan secara
langsung turunnya dan sebab turunnya ayat al-Quran. Ketiga, al-Quran diturunkan dengan
menggunakan bahasa mereka yaitu bahasa Arab. Walaupun demikian tidaklah semua ayat al-
Quran dipahami oleh para sahabat, karena tidak semua ayat al-Quran telah ditafsirkan oleh Nabi
Muhammad hingga beliau wafat. Maka para sahabat berupaya menafsirkan al-Quran baik
menafsirkan al-Quran dengan al-Quran atau menafsirkan al-Quran dengan Hadis atau
menafsirkan al-Quran dengan pendapat sahabat sendiri ataupun menafsirkan al-Quran dengan
keterangan dari ahlu kitab.11
Kedudukan hadis atau sunnah Nabi Muhammad Saw adalah sangat penting, dan yang
paling tahu tentang isi al-Quran adalah Nabi Muhammad Saw, maka kita tidak mungkin
memahami isi al-Quran dan melaksanakan secara seksama dan tepat tanpa memperhatikan
apapun yang dijelaskan dan dicontohkan oleh Nabi Muhammad Saw.12

c) Fungsi Hadis Terhadap Al-Quran


Berdasarkan kutipan reviewer dari pernyataan dari abdul Wahhab Khalaf bahwa
kedekatan al-Qur’an dengan sunnah tak satu pun yang mengingkarinya. Dan hal tersebut dapat
dilihat dari fungsi sunnah terhadap al-Qur’an.13 Dan seorang mufasir ketika menafsirkan al-
Qur’an harus memperhatikan fungsi-fungsi sunnah atau hadis terhadap al-Qur’an. Dalam artikel
yang ditulis oleh Intan Zakiyyah ada beberapa fungsi sunnah terhadap al-Qur’an beserta
contohnya diantaranya adalah:
a) Bayan al-Taqrir
Posisi hadis sebagai penguat atau memperkuat keterangan al-Quran. Sebagian ulama
menyebut bayan ta’kid atau bayan taqrir. Artinya hadis menjelaskan apa yang sudah
dijelaskan al-Quran, misalnya hadis tentang zakat, puasa, dan haji, menjelaskan ayat-ayat al-

11
Intan Zakiyyah, Tafsir Alquran Dengan Al-Sunnah (Studi Historis-Sosiologis Al-Quran), al- Burhan,
Jurnal: Kajian Ilmu dan Pengembangan Budaya Al-Qur’an, Vol 21, No. 2, 2021, hlm. 9.
12
Amrul Choiri, Bambang Setiaji, Al-Quran Dan Al-Sunnah Sebagai Sumber Ajaran Islam (Kajian Kritis
Pemahaman Minardi Mursyid di Solo Raya), Suhuf, Jurnal: Kajian Al-Quran, Vol. 26, No. 2, November 2014, hlm.
92.
13
Ahmad Mukhlisin, Integrasi Al-Qur’an Dengan Sunnah Dalam Membangun Metode Penemuan Hukum,
Dosen Tetap Universitas Nahdlatul Ulama Lampung, hlm. 23.
Quran tentang hal itu juga:

‫يِن‬ َّ ِ َّ َ َّ ‫ت النَّيِب‬ ِ ِ ِ َّ‫اهلل ب ِن عمر ب ِن اخلَط‬ِ ِ ِ


َ ُ‫ (ب‬:‫صلى اهللُ َعلَْيه َو َسل َم َي ُق ْو ُل‬ ُ ‫ مَس ْع‬:‫اب َرض َي اهللُ َعْن ُه َما قَ َال‬ ْ َ َ ُ ْ ‫َع ْن َأيِب ْ َعْبد الرَّمْح َ ِن َعْبد‬
‫ص ْوِم‬ ِ ‫ وح ِّج‬،‫الز َك ِاة‬
َ ‫ َو‬،‫البْيت‬ َ ََ َّ ‫ َوِإ ْيتَ ِاء‬،‫الصالَِة‬ ِ ‫َأن حُم َّم ًدا رسو ُل‬
َّ ‫ َوِإقَ ِام‬،‫اهلل‬ ‫ِإ ِإ‬ ِ ٍ ْ‫اِإل ْسالَ ُم َعلَى مَخ‬
ْ ُ َ َ َّ ‫ َش َه َادة َأ ْن الَ لَهَ الَّ اهللُ َو‬:‫س‬
‫ي َو ُم ْسلِم‬
ُّ ‫ضا َن َر َواهُ الْبُ َخا ِر‬
َ ‫َر َم‬

Dari Ibnu Umar ra. Berkata: Rasulullah bersabda: Islam didirikan atas lima perkara:
menyaksikan bahwa tidak ada Tuhan melainkan Allah dan bahwa Muhammad utusan Allah,
mendirikan salat, menunaikan zakat, haji, dan puasa Ramadhan. (HR. Al-Bukhari).

Hadis di atas memperkuat keterangan perintah salat, zakat dan puasa dalam al-Quran surah
al-Baqarah (2) ayat 83 dan 183 sebagai berikut:
ٓ َ َ‫خَذنَا ِمي ٰث‬
ِ ‫ق بَنِ ٓى ِإ ْس ٰ َر ِءي َل اَل تَ ْعبُ ُدونَ ِإاَّل ٱهَّلل َ َوبِ ْٱل ٰ َولِ َدي ِْن ِإحْ َسانًا َو ِذى ْٱلقُرْ بَ ٰى َو ْٱليَ ٰتَ َم ٰى َو ْٱل َم ٰ َس ِك‬
‫ين‬ ْ ‫َوِإ ْذ َأ‬
۟ |۟ ‫اس ُح ْسنًا َوَأقِي ُم‬ |۟ ُ‫َوقُول‬
َ‫ْرضُون‬ ِ ‫صلَ ٰوةَ َو َءاتُوا ٱل َّز َك ٰوةَ ثُ َّم تَ َولَّ ْيتُْ|م ِإاَّل قَلِياًل ِّمن ُك ْم َوَأنتُم| ُّمع‬ َّ ‫وا ٱل‬ ِ َّ‫وا لِلن‬
Artinya: Dan (ingatlah), ketika Kami mengambil janji dari Bani Israil (yaitu): Janganlah
kamu menyembah selain Allah, dan berbuat kebaikanlah kepada ibu bapa, kaum kerabat,
anak-anak yatim, dan orang-orang miskin, serta ucapkanlah kata-kata yang baik kepada
manusia, dirikanlah shalat dan tunaikanlah zakat. Kemudian kamu tidak memenuhi janji
itu, kecuali sebahagian kecil daripada kamu, dan kamu selalu berpaling. (Al-Baqarah: 2
Ayat 83).

‫ين ِمن َقْبلِ ُك ْم لَ َعلَّ ُك ْم َتَّت ُقو َن‬ ِ َّ ِ ِ ۟ ِ َّ ٓ ٰ


َ ‫ب َعلَى ٱلذ‬
َ ‫ٱلصيَ ُام َك َما ُكت‬
ِّ ‫ب َعلَْي ُك ُم‬ َ ‫يََأيُّ َها ٱلذ‬
َ ‫ين ءَ َامنُوا ُكت‬

Artinya: Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana
diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa. (Al-Baqarah: 2 Ayat
183).

‫اع ِإلَْي ِه َسبِياًل ۚ َو َمن َك َفَر فَِإ َّن‬ ِ ۢ ِِ


ِ ِ ‫ت بِّي ٰنَت َّم َقام ِإب ٰر ِهيم ۖ ومن دخلَهۥ َكا َن ء ِامنًا ۗ ولِلَّ ِه علَى ٱلن‬
ْ ‫َّاس ح ُّج ٱلَْبْيت َم ِن‬
َ َ‫ٱستَط‬ َ َ َ ُ َ َ َ َ َ َ ْ ُ ٌ َ ٌ َ‫فيه ءَ ٰاي‬
ِ
َ ‫ٱللَّهَ َغىِن ٌّ َع ِن ٱلْ َٰعلَم‬
‫ني‬

Artinya: Padanya terdapat tanda-tanda yang nyata, (di antaranya) maqam Ibrahim;
barangsiapa memasukinya (Baitullah itu) menjadi amanlah dia; mengerjakan haji adalah

8
kewajiban manusia terhadap Allah, yaitu (bagi) orang yang sanggup mengadakan
perjalanan ke Baitullah. Barangsiapa mengingkari (kewajiban haji), maka sesungguhnya
Allah Maha Kaya (tidak memerlukan sesuatu) dari semesta alam. (Al-Baqarah: 2 Ayat
183).
b) Bayân Tafsîriy
Dalam fungsi ini hadis memberikan penjelasan secara terperinci pada ayat-ayat al-Quran
yang bersifat global, baik yang menyangkut masalah ibadah maupun hukum, sebagian ulama
menyebutnya bayan tafshil atau bayan tafsir. Reviewer mengambil contoh mengenai
perintah shalat pada beberapa ayat dalam al-Quran hanya diterangkan secara global
dirikanlah shalat tanpa disertai petunjuk bagaimana pelaksanaannya berapa kali sehari
semalam, berapa rakaat, kapan waktunya, rukun-rukunnya, dan lain sebagainya. Perincian itu
adanya dalam hadis Nabi Muhammad Saw sebagaimana sabdanya:

َ ‫صلُّوا َك َما َر َْأيتُ ُمويِن‬


)‫ُأصلِّي… (رواه البخارى‬ َ
“Shalatlah kalian sebagaimana kalian melihatku shalat” … (HR. Al-Bukhari)
Hadis di atas menjelaskan bagaimana salat itu dilaksanakan secara benar sebagaimana firman
Allah dalam al-Quran. Karena shalat itu adalah ibadah mahdah yang dalam pelaksanaannya
harus dilakukan sesuai dengan yang dituntunkan Rasulullah Saw.

c) Bayân Tasyrî‘iy atau al-Ziyâdah


Dalam hal ini hadis berfungsi membentuk hukum yang di dalam al-Qur’an tidak ada atau
sudah ada tetapi sifatnya khusus pada masalah-masalah pokok, sehingga keberadaan hadis
dapat dikatakan sebagai tambahan terhadap apa-apa yang termuat di dalam al-Qur’an itu
tidak disinggung. Sedangkan untuk model penjelasan seperti ini, oleh para ahli tersebut
dengan istilah zaidun ‘ala al-kitâb al-karîm. sebagaimana reviewer mengambil salah satu
contoh terkait keharaman jual beli dengan berbagai cabangnya menerangkan yang tersirat
dalam surah al-Baqarah (2): 275 dan an-Nisa ayat 4:

Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan
jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama-suka di
antara kamu. Dan janganlah kamu membunuh dirimu; sesungguhnya Allah adalah Maha
Penyayang kepadamu (QS. an-Nisa (4): 29).
Demikian juga keharaman makan daging keledai ternak, keharaman setiap binatang yang
berbelalai, dan keharaman menikahi seorang wanita bersama bibi dan paman wanitanya.
Hadis tasyri diterima oleh para ulama karena kapasitas hadis juga sebagai wahyu dari Allah
yang menyatu dengan Alquran, hakikatnya ia juga merupakan penjelasan secara implisit
dalam Alquran.
d) Bayân al-Taghyîr atau al-Naskh
Maksudnya hadis berfungsi untuk melakukan perubahan terhadap apa-apa yang telah
ditetapkan oleh ayat-ayat al-Qur’an, seperti hadis Nabi sebagai berikut: “........Sesungguhnya
Allah telah memberi hak bagian bagi orang-orang yang benar-benar memiliki hak untuk itu,
makanya tidak ada wasiat bagi ahli waris”.47 Hadis ini menghapus ketetapan surat al-
Baqarah ayat 130:

a) Bayan Takhsis
Hadis mengkhususkan ayat-ayat al-Quran yang umum, sebagian ulama menyebut bayan
takhsis. Misalnya ayat-ayat tentang waris dalam surah an-Nisa (4) ayat 11:
b) Bayan Tasyri’
Hadis menciptakan hukum syari’at yang belum dijelaskan oleh al-Quran. Para ulama
berbeda pendapat tentang fungsi sunnah sebagai dalil pada sesuatu hal yang tidak
disebutkan dalam Al-Quran. Mayoritas mereka berpendapat bahwa sunnah berdiri sendiri
sebagai dalil hukum dan yang lain berpendapat bahwa sunnah menetapkan dalil yang
terkandung atau tersirat secara implisit dalam teks Al-Quran . Dalam hadis terdapat
hukum-hukum yang tidak dijelaskan Al-Quran, ia bukan penjelas dan bukan penguat.
Tetapi sunnah sendirilah yang menjelaskan sebagai dalil atau ia menjelaskan yang tersirat
dalam ayat-ayat Al-Quran . Misalnya, keharaman jual beli dengan berbagai cabangnya
menerangkan yang tersirat dalam surah al-Baqarah (2): 275 dan an-Nisa/4: 29:
c) Bayan Nasakh
Hadis menghapus hukum yang diterangkan dalam Al-Quran . Misalnya kewajiban wasiat
yang diterangkan dalam surah al-Baqarah/2: 180: ِDiwajibkan atas kamu, apabila seorang
di antara kamu kedatangan (tanda-tanda) maut, jika ia meninggalkan harta yang banyak,
berwasiat untuk ibu-bapak dan karib kerabatnya secara ma´ruf, (ini adalah) kewajiban

10
atas orang-orang yang bertakwa (QS. al-Baqarah/2: 180). Ayat di atas di-nasakh dengan
hadis Nabi: Sesungguhnya Allah memberikan hak kepada setiap yang mempunyai hak
dan tidak ada wasiyat itu wajib bagi ahli waris. (HR. An-Nasa’i).
d) Bayan al-Ta’rif
Yaitu menjelaskan apa yang dimaksud dengan term atau istilah yang disebutkan dalam
Al-Quran . Misalnya, tentang penafsiran ayat 1 surah al-Kautsar yang berbunyi: َ
Sesungguhnya Kami telah memberikan kepadamu nikmat yang banyak (QS.
alKautsar/108: 1). Nabi menjelaskan bahwa yang dimaksud al-Kautsar adalah sungai di
surga yang kedua tepinya dilapisi dengan mutiara. Sebagaimana pada hadis:
e) Bayan Tawsi’
Yaitu penjelasan yang sifatnya memperluas pengertian yang terkandung dalam suatu term
atau istilah. Misalnya kata al-du’a yang selama ini ditafsirkan dengan berdoa dengan
permohonan, kemudian ditafsirkan lebih luas, yakni ibadah. Misalnya penjelasan
mengenai firman Allah QS. Ghafir/40 ayat 60:
Dan Tuhanmu berfirman: "Berdoalah kepada-Ku, niscaya akan Kuperkenankan bagimu.
Sesungguhnya orang-orang yang menyombongkan diri dari menyembah-Ku akan masuk
neraka Jahannam dalam keadaan hina dina" (QS. Ghafir/40: 60)
f) Bayan Tamtsili
Artinya penjelasan yang sifatnya dalam konteks memberi contoh (‘ala sabil almitsal)
sesuai dengan realitas kontekstual saat itu. Misalnya dalam firman Allah QS. al-Anfal/8
ayat 60:

Implikasi Teori Relasi Al-Quran Dan Hadits dalam Membangun Keluarga Islami
Para sahabat ketika Rasulullah Saw. masih hidup, apabila mereka menemukan persoalan
terkait dengan Al-Quran mereka bertanya langsung kepada Rasulullah Saw, kemudian
Rasulullah Saw menjelaskannya untuk mereka. Posisi Rasulullah dalam hal ini sebagai penjelas
Al-Quran dan posisi ini merupakan posisi dan fungsi al-Sunnah dalam tafsir Al-quran. Ada
beberapa pendapat para ulama terkait penafsiran Rasulullah Saw. terhadap Al-quran. Pertama,
Rasulullah Saw. menjelaskan kandungan Al-Quran kepada para sahabatnya. Sebagaimana Ibn
Taymiyah mengatakan bahwa Rasulullah Saw wajib untuk mengajarkan kandungan Al-Quran
kepada para sahabatnya. Kedua, Rasulullah Saw. hanya sedikit dalam menjelaskan kepada
sahabat-sahabatnya. Sebagaimana riwayat 'Aisyah bahwa Rasulullah Saw. tidak menafsirkan
satu ayat pun dari Al-Quran kecuali sangat terbatas yaitu sesuai dengan apa yang diajarkan oleh
malaikat Jibril.14
Secara hierarkis memang sudah menjadi ungkapan umum bahwa al-Quran merupakan
sumber hukum pertama sedangkan al-Hadits adalah sumber rujukan kedua. Urutan seperti ini
dibuat untuk keperluan para Mujtahid dalam merujuk sumber-sumber wahyu. Dalam aktivitas
istinbat} hukum, seorang Mujtahid mesti merujuk terlebih dahulu kepada al-Quran sebelum
menelusuri muatan hukum yang terdapat dalam beberapa hadits nabi. Baru jika tidak
menemukan sumber rujukan dalam al-Quran dia lalu beralih kepada sumber kedua, hadits nabi.
Ulama’ ushul fiqh membagi fungsi al-hadits terhadap al-Quran menjadi tiga kemungkinan, yaitu:
1. Al-hadits mempunyai fungsi memperkuat dan mengokohkan kembali apa yang pernah
ditetapkan al-Quran . Dengan demikian, kandungan hukum yang ditetapkan memiliki dua
dalil sekaligus, yaitu al-Quran sebagai penyampai pesan dan al-hadits sebagai penguat.15
2. Al-hadits berfungsi memberikan penafsiran dan penjabaran lebih konkret terhadap ketentuan
dalam al-Quran yang masih mujmal, yakni hanya mengatur persoalan secara garis besarnya
saja. Sebagai contoh adalah ayat-ayat al-Quran yang berbicara soal anjuaran shalat, zakat,
dan haji di atas. Ayat-ayat tersebut berisi anjuran secara global dan garis besarnya. Lalu
hadits nabi datang untuk menjelaskan teknis melakukan amalan ibadah tersebut secara lebih
mendetail dan aplikatif.
3. Al-hadits memiliki fungsi dan peran memunculkan hukum yang belum pernah diatur dalam
al-Quran . Seperti pengharaman mengumpulkan atau mengawini secara bersama-sama antara
seorang perempuan dengan bibinya, pengharaman makan daging binatang buas yang
memiliki taring, burung yang mempunyai kuku pencakar dan ketentuan-ketentuan hukum
lain yang hanya dijelaskan oleh al-hadits namun tidak pernah disinggung oleh al-Quran .16
Dari beberapa penjelasan pada artikel sebelumnya penulis dapat memahami bahwasanya
keluarga yang baik menurut pandangan Islam dalam tinjauannya ayat-ayat al-Quran dan hadis
rasul saw disebut keluarga sakinah dengan karakteristik utamanya adalah kasih sayang terjalin
dan terikat antara suami dan istri. Sehingga dalam membentuk keluarga yang islami atau

14
Mustopa , Al-Sunnah Dan Tafsir Alquran (Tinjauan tentang Fungsi dan Posisi al-Sunnah dalam Tafsir
Alquran), Jurnal Diya Al-Afkar: Vol. 5, No. 1, Juni 2017, hlm. 34-35.
15
Abd al-Wahhab Khalaf, Ilmu Ushul al-Fiqh, (Kuwait: Dar al-Qalam,1978), hlm. 39.
16
Abd al-Wahhab Khalaf, Ilmu Ushul al-Fiqh, (Kuwait: Dar al-Qalam,1978), hlm. 40.

12
sakinah, maka salah satu faktor pentingnya adalah dapat memahami langkah-langkah awal dalam
memilih pasangan hidup seperti memperhatikan jalur nasab yang boleh dan tidak boleh dinikahi.
Hal ini sebagaimana dalam ketentuan al-Quran tentang wanita-wanita yang boleh dikawini oleh
seorang laki-laki. Dalam kaitan ini Allah berfirman,

Artinya: Dan (haram juga dikawini) ibu-ibu kamu yang menyusui kamu dan saudara-
saudara perempuan kamu dari susuan. QS al-Nisa’ (4): 23.
Atas penjelasan al-Quran yang sangat simpel ini kemuadian hadits Nabi datang memberikan
penjelasan panjang lebar. Dalam penjelasan hadits, semua kerabat dekat dari faktor nasab
diharamkan juga dikawini dari aspek susuan. Seperti bibi susuan, anak susuan dan seterusnya.
Tidak terbatas pada apa yang dijelaskan al-qur’an, yaitu ibu susuan dan saudari susuan saja.
Dalam kaitan ini Rasulullah bersabda:

Artinya: Sesungguhnya Allah mengharamkan (dikawini) dari faktor susuan wanita-


wanita yang diharamkan dari faktor nasab. ( HR. Imam al-Bukhari danMuslim).17

Kemudian setelah pernikahan untuk membentuk keluarga sakinah, faktor yang penting
lainnya adalah terpenuhinya kewajiban dan hak suami-istri dalam keluarga. Karena keluarga
merupakan unit terkecil yang terdiri dari ayah, ibu dan anak yang bernaung di bawah satu rumah
tangga. Maka memerlukan pimpinan sebagaimana dalam pandangan al-Quran yang wajar
memimpin adalah ayah atau suami. Sehingga sebagai seorang pemimpin berkewajiban untuk
memenuhi kebutuhan anggota keluarganya, seperti yang dinyatakan dalam QS. Al-baqarah (2);
233 yang berbunyi: " Dan kewajiban ayah memberi makan dan pakaina kepada para ibu dengan
cara yang ma'ruf.... ".18
Pada ayat tersebut memberi pengertian bahwa suami harus berlapang dada untuk
meringankan sebagian kewajiban istri. Ayat tersebut juga menganjurkan bagi para suami untuk
memperhatikan istrinya dengan sifat terpuji agar mereka memperoleh akhlak dan derajat yang
mulia. Imam al-Gazali menegaskan bahwa yang dimaksud dengan perlakuan baik terhadap istri,
17
Ra’uf Syalabi, al-Sunnah al-Islamiyyah baina Itsba> t al- Fahimin wa Rafd}i al-Ja>hilin, (Kuwait: Dar
al-Qalam, 1982), hlm. 67.
18
Departemen Agama RI, Al-Qur'an dan Terjemahnya, (Jakarta: Proyek Pengadaan Kitab Suci Al-Qur'an,
1992), hlm. 57.
bukan saja tidak menggangunya, tetapi juga bersabar ketika sang istri melakukan kesalahan serta
memperlakukannya dengan penuh kelembutan dan memberinya maaf saat ia menampakkan
emosi dan kemarahannya.19 Kemudian penjelasan mengenai hal tersebut diperkuat dalam hadist
sebagaimana Nabi saw bersabda: “sesungguhnya orang mukmin yang paling sempurna imannya
ialah mereka yang paling baik akhlaknya dan mereka yang paling lembut kepada keluarganya”.

Kelebihan
Penulis telah memilih tema yang menarik untuk dibahas mengingat masih kurangnya
penulisan karya ilmiah yang membahas mengenai pembentukan keluarga islami sekaligus dalam
dua tinjauan yaitu al-Quran dan hadis rasul saw sebagaimana juga ndapat dijadika rujukan
akademisi dalam menulis karya ilmiah atau penelitian. Pembahasan yang diuraikan oleh penulis
dalam jurnalnya memiliki nilai urgensi yang tinggi bagi pembaca dan bagi pasangan yang
hendak membangun keluarga yang sakinah. Kemudian dalam penulisannya penulis
menggunakan bahasa yang sederhana sehingga mudah dipahami oleh pembaca.

Kekurangan

Kekurangan dalam jurnal ini menurut pembaca penulis tidak menjelaskan secara
langsung mengenai permasalahan yang hendak diteliti dan tujuan dari penelitiannya. Dalam
jurnal tersebut penulis hanya menyampaikan materi, terkait materi yang dibahas oleh penulis
dalam jurnal ini masih belum komprehensif mengenai upaya-upaya membentuk Keluarga Islami
Kemudian penulis tidak lengkap dalam mencantumkan footnote sehingga sebagian dari tulisan
ini kurang jelas referensinya. Sehingga reviewer menggembangkan kembali pembahsan dalam
jurnal ini dengan pengunaan teori relasi Al-Quran dan hadits dalam membangun keluarga islami.

Kesimpulan
Dalam kajian diatas, maka dapat dismpulkan bahwasanya keluarga yang baik menurut
pandangan Islam dalam tinjauannya ayat-ayat al-Quran dan hadis rasul saw disebut keluarga
sakinah dengan karakteristik utamanya adalah kasih sayang terjalin dan terikat antara suami dan
istri. Ada beberapa hal yang patut diperhatikan dalam upaya menumbuhkan keluarga bahagia
menurut ajaran Islam dengan mengenal karakteristik rumah tangga yang Islami, diantaranya:
1. Mendirikan Keluarga atas Dasar Ibadah.
2. Internalisasi Nilai-Nilai Islam secara kaffah (menyeluruh).

19
Lihat Abū Hamid Al-gazaliy, Ihya' Ulūm al-Dīn (Kairo: al-Śaqāfah al-islāmiyah, 1336 H), hlm. 211.

14
3. Terdapat keteladanan (qudwah) dari suami maupun istri yang dapat dicontoh oleh anak-anak.
4. Adanya pembagian tugas yang sesuai dengan syariat.
5. Tercukupinya kebutuhan materi (sandang, pangan, papan) secara wajar.
6. Terciptanya hubungan mesra, saling pengertian dan tenggang rasa antara suami istri.
7. Menghindari hal-hal yang tidak Islami.
8. Berperan dalam pembinaan masyarakat.
DAFTAR PUSTAKA

Abd al-Wahhab Khalaf, Ilmu Ushul al-Fiqh, (Kuwait: Dar al-Qalam, 1978).

Al-Hafizh Abu al-Fida Isma’il Ibn Katsir, Tafsir al-Quran al-‘Azhim Juz 4, (Kairo: Dar al-
Hadits. 1993).

Departemen Agama RI, Al-Qur'an dan Terjemahnya, (Jakarta: Proyek Pengadaan Kitab Suci Al-
Qur'an, 1992).

Eka Prasetiawati, Penafsiran Ayat-Ayat Keluarga Sakinah, Mawaddah, Wa Rahmah dalam


Tafsir Al-Misbah dan Ibnu Katsir, Institut Agama Islam Ma’arif NU Metro.

Hadis Purba, Membangun Keluarga Islami: Tinjauan Terhadap Ayat-Ayat Al-Quran dan Hadis
Rasul saw, Jurnal: Almufida , Vol III No. 01 Januari-Juni 2018.

Muhammad Abdullah, Terjemahan Tafsir Ibn Katsir, Jilid 8, Cet 1, (Bogor; Pustaka Imm
Syafi’i, 20040.

Muhammad Abu Zahra, Tanzib al Islam li al Mujtama’ Allih Bahasa Shadiq Nor Rahman,
Membangun Masyarakat Islam, Jakarta: Pustaka Firdaus. 1994).

Mustop , Al-Sunnah Dan Tafsir Al-Quran (Tinjauan tentang Fungsi dan Posisi al-Sunnah dalam
Tafsir Al-quran), Jurnal Diya Al-Afkar: Vol. 5, No. 1, Juni 2017.

Muzalifatul Muna, Moh. Munir, Upaya Membentuk Keluarga Sakīnah Pada Keluarga Penghafal
Al-Quran , Jurnal Antologi Hukum Vol. 1, No. 2, Desember 2021.

Ra’uf Syalabi, al-Sunnah al-Islamiyyah baina Itsba>t al- Fahimin wa Rafd}i al-Ja>hilin,
(Kuwait: Dar al-Qalam, 1982).

Rohmahtus Sholihah dan Muhammad Al Faruq, Konsep Keluarga Sakinah Menurut Muhammad
Quraish Shihab, Jurnal Salimiya, Volume 1, Nomor 4, Desember 2020.

16

Anda mungkin juga menyukai