Anda di halaman 1dari 3

REVIEW ARTIKEL ILMIAH

MATA KULIAH AGAMA DAN TEORI SOSIAL


Nama : Imam Fauzan
NIM : (20200011121)
Kelas : A

1. Epistemologi Bayani, Irfani dan Burhani Al-Jabiri dan Relevansinya Bagi Studi
Agama Untuk Resolusi Konflik dan Peacebuilding (Wira Hadi Kusuma)

Pada awal artikel ini membahas tentang pandangan al-Jabiri dan sumbangsihnya terhadap
khazanah pemikiran Islam. Menurut al-Jabiri, tradisi Islam adalah semua yang secara asasi
berkaitan dengan aspek pemikiran dalam peradaban Islam, mulai dari ajaran doktrinal, syariat,
bahasa, sastra, seni, teologi, filsafat dan tasawuf. Kritik nalar Arab yang menjadi fokus penelitian
al-Jabiri bukan kritik nalar Islami, karena menurut al-Jabiri kata “Islam” secara tidak langsung
akan mengalihkan kepada agama Islam itu sendiri, padahal al-Jabiri ingin melihat al-turats
(warisan Arab murni) yang berikutnya akan memberikan kontribusi terhadap khazanah
pemikiran Islam.

Kesimpulan dari tulisan ini adalah deskripsi tentang epistemologi bayani, irfani dan
burhani dalam pemikiran Al-Jabiri. Bayani adalah model metodologi berpikir berbasis teks.
Irfani adalah metodologi model berpikir yang didasarkan pada pendekatan dan pengalaman
langsung terhadap realitas spiritual religius. Padahal burhani adalah metodologi berpikir yang
tidak berdasarkan teks atau pengalaman, tetapi atas dasar kekacauan logika. Pada tahap tertentu,
keberadaan teks suci dan pengalaman spiritual hanya dapat diterima jika sesuai dengan kaidah
logika. Bagi al-Jabiri epistemologi burhani harus menjadi epistemologi yang layak diterapkan di
masyarakat untuk mereduksi kebiasaan romantisme yang mencari ilmu melalui iluminatif.
Dalam konteks konflik Burhani sangat relevan dalam menyelesaikan konflik atau pembangunan
perdamaian.

Penelitian ini mencoba untuk mendeskripsikan, menganalisis dan menjelaskan


ketiga epistomologi Islam tersebut (bayani, irfani, dan burhani) yang dirumuskan oleh
pemikir muslim kontemporer Muhammad Abid alJabiriv dan relevansinya bagi resolusi
konflik dan peacebuilding. Sehingga muncul beberapa rumusan masalah yaitu
Bagaimana pemikiran Abed AlJabiri tentang Epistimologi Bayani, Irfani, dan burhani?
Dan bagaimana relevansinya bagi resolusi konflik dan peacebuilding?
Menuurut hemat penulis artikel ini hanya seebatas penjabaran atau deskripsi tentang
pandangan tokoh tentang teori tertentu tanpa menambahkan atau membandingkannya dengan
pandangan tokoh lain agar pembahasan yang dilakukan lebih tajam dan lebih luas. Pada bagian
akhir artikel ini penulis menambahkan indeks kata yang membuat pembaca awam akan lebih
mudah dalam memahami teks. Penulisan indeks kata juga dapat menambah wawasan baru bagi
peembaca awam tentang kosa kata ilmiah yang jarang ditemukan pada tulisan lain. Penulis juga
tidak memaparkan pendekatan dan teori apa yang penulis gunakan dalam meneliti pemikiran
tokoh dalam artikel ini. Penulis juga belum menambahkan pandangan penulis terkait pemikiran
tokoh yang ia kaji dalam tulisannya.

Link Referensi:
https://media.neliti.com/media/publications/288055-epistemologi-bayani-irfani-dan-burhani-a-
ecc1b788.pdf.

2. Kelahiran Muhammadiyah Dari Perspektif Hermeneutik


Penulis membahas hermenutika prespektif Gadamer pada awal pembahasan. Menurut
penulis pemikiran hermeneutika Gadamer tergolong dalam hermeneutika dialektiko-spekulatif
dengan pengalaman dialektis dari Hegel. Kemudian penulis membahas Pokok pemikiran KH
Ahmad Dahlan dan Identitas Muhammadiyah. Pada diskusi ini penulis menjabarkan pandangan
KH Ahmad Dahlan tentaang keadaan umat Islam pada masa itu dan ajaran-ajaran yang ia
gunakan dalam mengemban misi keislaman. Ketika Gadamer memandang pemahaman sebagai
hasil interaksi antara masa lalu dengan masa kini yang didapatkan melalui partisipasi dan
keterbukaan, maka dapat dikatakan bahwa Ahmad Dahlan benar-benar telah memahami kondisi
nyata umat Islam di lingkungan sekitarnya, baik secara internal maupun eksternal, sebagai hasil
pergulatan antara masa lalu dengan masa kini. Pemahaman tersebut berangkat dari partisipasi
yang dilakukan Ahmad Dahlan, tidak hanya ketika berada di tanah air, tetapi juga pada waktu
beliau menunaikan ibadah haji di Mekah bertemu dengan banyak ulama dan keterbukaan saat
menyelami gagasan-gagasan pembaruan Islam sejak dari ide-idenya Ibnu Taymiyah, Muhammad
ibnu Abdul Wahhab, hingga gagasan-gagasannya Muhammad Abduh.
Artikel ini membahas tentang lahirnya Muhammadiyah dari perspektif hermeneutik,
khususnya dari Gadamer. Ahmad Dahlan mendirikan Muhammadiyah pada tanggal 18
November 1912 berdasarkan pengetahuan tentang gagasan reformasi Islam modern serta
pemahaman dan kepedulian terhadap kondisi riil umat Islam yang dilanda kemiskinan,
kebodohan, dan keterbelakangan. Ahmad Dahlan memiliki kesadaran sejarah yang tinggi untuk
mengubah tradisi masyarakat yang diliputi oleh tradisi Islam sinkretis yang menghasilkan
budaya takhayul dan Islam tradisionalis yang menghasilkan budaya sesat dan khurafat menuju
pemurnian Islam dan dinamika masyarakat Islam. Kesadaran sejarah Ahmad Dahlan ditopang
oleh temperamennya yang kuat, pendiriannya yang teguh, dan keberaniannya mendobrak tradisi
mesum.

Dalam artikel ini, penulis akan mencoba menganalisis kelahiran Muhammadiyah


dari perspektif hermeneutik, terutama mengacu pada pemikiran Hans Georg Gadamer
dari Jerman. Setelah dibuka dengan pendahuluan, berturutturut akan dibahas mengenai
perspektif hermeneutik, biografi singkat Ahmad Dahlan, pokok-pokok pikiran Ahmad
Dahlan dan identitas Muhammadiyah, kelahiran Muhammadiyah dalam perspektif
hermeneutik, dan artikel ini diakhiri dengan penutup.

Dalam artikel ini penulis mengulas teori hermeneutika Gadamer dengan baik. Bahasa
yang digunakan sangat mudah dipahami meskipun oleh pembaca awam. Penulis telah
menambahkan pandangan pribadi pada bagian penutup sebagai kesimpulan dari sosok KH.
Ahmad Dahlan yang terpanggil dengan kesadaran yang menyejarah dan keberanian memikul
beban untuk melakukan perbaikan dan perubahan atas kondisi umat Islam melalui gerakan
Muhammadiyah yang didirikannya. Kesadaran menyejarah pada diri Ahmad Dahlan berangkat
dari sifat dan tabiat beliau yang kuat dan teguh pendirian, serta berani untuk mendobrak dan
melawan tradisi. Sementara keberanian Ahmad Dahlan untuk memikul beban tanggung jawab
dakwah amar ma’ruf dan nahi munkar ditopang oleh kesadaran beliau sebagai keturunan ulama
besar Wali Sanga, yakni Sunan Giri. Beliau adalah reformer Islam sejati.

Link Referensi:
https://jurnal.ugm.ac.id/sasdayajournal/article/download/43886/23940

Anda mungkin juga menyukai