Anda di halaman 1dari 11

DAKWAH BILHIKMAH ATAU DENGAN KEKERASAN?

Pengertian Dakwah Secara kebahasaan perkataan manhaj atau minhj, menurut Ibn Manzhur, berarti al-tharq alwdhih, jalan yang jelas. Istilah manhaj atauminhj berasal dari perkataan al-nahj yang berarti al-tharq al-mustaqim, jalan yang lurus.[i] Sementara itu, menurut Hans Wehr dalam A Dictionary of Modern Written Arabic perkataan manhaj atau minhj berarti way, road, method danprocedure (jalan, cara, metode dan prosesdur).[ii] Dengan demikian, manhaj al-dawah berarti jalan, cara atau metode dakwah. Sementara itu, istilah dawah merupakan kosa kata Al-Qur`an. Secara bahasa perkataan dawah berasal dari kata kerja ( da yad, dawatan), yang berarti mengajak, menyeru, memanggil.[iii] Para ulama ahli linguistik menggali makna perkataan dawah dalam Al-Qur`an secara mendalam. Abu Ishaq, sebagaimana disebutkan oleh Ibn Manzhur berpendapat, ungkapan Al-Qur`an Surah Al-Baqarah ayat 186, (dawat ad di), seruan orang yang menyeru, menyatakan bahwa makna dawah pada ayat tersebut dapat bibagi ke dalam tiga bagian. Pertama, mentauhidkan Allah dan memuji-Nya, antara lain dengan ungkapan ( Ya Allah, tiada tuhan selain Engkau), dan/atau ungkapan (Wahai Tuhan kami dan hanya untuk-Mu segala puji). Jika anda menyatakan kedua ungkapan tersebut, maka anda telah menyeru dan/atau memanggil-Nya. Kedua, memohon kepada Allah ampunan dan kasih sayang dan segala sesuatu yang mendekatkan kita kepada ampunan dan kasih sayang Allah. Ketiga, memohon kepada Allah bagian dari kehidupan dunia seperti harta dan anak.[iv] Permohonan ketiga dimaksudkan bahwa harta dan anak dapat menguatkan manusia dalam meneguhkan prinsip tauhid serta memuji Allah guna mendapatkan ampunan dan kasih sayang-Nya di dunia dan di akhirat. Sementara itu, dari segi istilah (terminologi) dawah dirumuskan oleh para ulama dengan rumusan yang berbeda, tetapi bermuara pada satu perspektif sebagai berikut: 1. Prof. H.M. Thoha Yahya Umar, membagi pengertian dakwah menjadi dua bagian yakni, dakwah secara umum dan dakwah secara khusus. Secara umum dakwah adalah ilmu pengetahuan yang berisi cara-cara dan tuntutan bagaimana seharusnya menarik perhatian manusia untuk menganut, menyetujui, melaksanakan suatu ideologi dan pendapat dan pekerjaan tertentu. Sementara itu, secara khusus dakwah adalah mengajak manusia dengan cara bijaksana kepada jalan yang benar sesuai dengan perintah Tuhan untuk kemaslahatan dan kebahagiaan mereka di dunia dan di akhirat. [v] 2. Syaikh Ali Mahfudz menyatakan bahwa dakwah ialah mendorong (memotivasi) manusia untuk melakukan kebaikan dan mengikuti petunjuk, memrintahkan mereka berbuat ma'ruf dan mencegahnya dari perbuatan munkar agar mereka memperoleh kebahagiaan di dunia dan di akhirat.[vi] 3. Prof. DR. Muhammad Quraish Shihab, M.A. merumuskan bahwa dakwah adalah seruan atau ajakan kepada keinsyafan atau usaha mengubah situasi kepada situasi yang lebih baik dan sempurna, baik pada kehidupan pribadi maupun kehidupan masyarakat. [vii] 4. Wardi Bachtiar menyatakan bahwa dakwah adalah suatu proses atau upaya mengubah situasi kepada situasi lain yang lebih baik sesuai ajaran Islam.[viii] Dari paparan para ulama di atas, dapat ditarik kesimpulan bahwa istilah dakwah mencakup pengertian sebagai yang berikut:

a. Dakwah adalah suatu aktivitas atau kegiatan yang bersifat menyeru atau mengajak kepada orang lain untuk mengamalkan ajaran Islam. b. Dakwah adalah suatu proses penyampaian ajaran agama Islam dari seseorang kepada orang lain yang dilakukan secara sadar dan sengaja. c. Dakwah adalah suatu aktivitas yang pelaksanaanya bisa dilakukan dengan berbagai cara atau metode. d. Dakwah adalah kegiatan yang direncanakan dengan tujuann mencari kebahagiaan hidup dengan dasar keridhaan Allah e. Dakwah adalah ikhtiar, usaha dan perjuangan secara sungguh-sungguh dalam rangka meningkatkan pemahaman umat terhadap ajaran Islam secara mendalam guna mengubah pandangn hidup, sikap batin dan perilaku umat yang tidak sesuia dengan ajaran Islam menjadi sesuai dengan tuntutan syariat agar memperoleh kebahagiaan hidup dunia akhirat. f. Dakwah adalah memperkenalkan ajaran Islam kepada masyarakat, dan mengajak masyarakat mengamalkan ajaran Islam. 2. Metodologi (Manhaj/Minhj) Dakwah Dalam Al-Qur`an

Metodologi (manhaj atau minhj) dakwah dalam Al-Qur`an tersebar pada beberapa ayat dan surah. Salah satunya disebutkan dengan tegas pada ayat Al-Qur`an yang berikut:


Serulah (manusia) kepada jalan Tuhanmu dengan hikmah dan pengajaran yang baik, dan berdebatlah dengan mereka dengan cara yang baik. Sesungguhnya Tuhanmu, Dialah yang lebih mengetahui siapa yang sesat dari jalan-Nya dan Dialah yang lebih mengetahui siapa yang mendapat petunjuk. (Q.S. AnNahl/16: 125) Dalam menafsirkan ayat di atas Al-Fakhr al-Rz menyatakan, Ketahuilah bahwa sesungguhnya Allah subhnahu wa tal telah memerintahkan kepada Rasul-Nya untuk mengajak manusia (kepada jalan Allah) dengan salah satu dari ketiga metodologi ini, yakni dengan hikmah, pengajaran yang baik, dan berdebat dengan cara yang terbaik.[ix] Sementara itu, As-Sad menjelaskan bahwa maksud ayat di atas adalah perintah Allah kepada Raslullhshallllah alayhi wa sallam, hendaklah cara engkau (Muhammad) mengajak manusia, yang Muslim maupun yang kafir, kepada jalan Tuhan-Mu yang lurus dengan memadukan ilmu dan amal. [x] a. Metodologi Dakwah Bilhikmah

Maksud berdawkah dengan hikmah, menurut As-Sad, adalah mengajak setiap individu berdasarkan keadaan dirinya, tingkat pemahaman, tingkat penerimaan, dan kemungkinan individu itu untuk mematuhi seruan dakwah.[xi]Termasuk ke dalam cara berdakwah dengan hikmah adalah: (a) berdakwah dengan ilmu pengetahuan (yang mencerdaskan), bukan (dengan cara-cara dogmatik) yang membawa kepada kebodohan; (b) berdakwah dengan cara-cara yang mendekatkan (sasaran dakwah) kepada pengertian dan pemahaman agama yang mendalam; (c) berdakwah dengan cara-cara yang memungkinan penerimaan

terhadap pesan dakwah dengan sempurna; dan (d) berdakwah dengan cara yang persuasif dan lembut.[xii] Menurut Ar-Raghib al-Ashfahani, penyususn Kitab Mufradat Alfadh Al-Qur`an al-hikmah adalah ( Hikmah adalah bertindak sesuai dengan kebenaran berdasarkan pengetahuan dan pemikiran (yang mendalam). Hikmah, menurutnya, terbagi dua bagian. Hikmah yang dimiliki Allah secara mutlak dinamakan al-hikmah al-ilahiyyah dan hikmah yang dimiliki manusia dinamakan alhikmah al-insaniyyah. Hikmah yang dimiliki Allah secara mutlak adalah Allah mengetahui segala sesuatu dengan pengetahuan yang luas tiada terbatas dan mewujudkannya dengan sangat teratur demi kebaikan dan kepentingan makhluk. Sementara itu, hikmah yang ada pada diri manusia adalah pengetahuan yang luas tentang segala yang wujud (al-mawjdt) secara mendalam kemudian bertindak dan berbuat dengan pemikiran yang mendalam, yakni dengan pengetahuan akal dan qalbu sehingga menghasilkan kebajikan. [xiii] Hikmah yang dimiliki manusia (al-hikmah al-insaniyyah) berasal dari Allah sebagaimana disebutkan pada ayat Al-Qur`an yang berikut:


Dia memberikan hikmah kepada siapa yang Dia kehendaki. Barangsiapa diberi hikmah, sesungguhnya dia telah diberi kebaikan yang banyak. Dan tidak ada yang dapat mengambil pelajaran kecuali orangorang yang mempunyai kemampuan berfikir mendalam. (Q.S. Al-Baqarah/2: 269) Cara dakwah dengan metodologi hikmah atau dakwah yang persuasif dan lembut dapat dirumuskan sebagai dakwah yang merangkul bukan dakwah yang memukul. Dalam ungkapan bahasa Sunda metodologi dakwah dengan hikmah terangkum dalam ungkapan Caina herang, laukna benang.Maksudnya dengan dakwah yang persuasif, lingkungan tenang, target dakwah tercapai. Ibn Katsir dalam menafsirkan Surah An-Nahl ayat 125 di atas menyatakan, Firman Allah tersebut merupakan perintah kepada Rasul-Nya, Muhammad shallllah alayhi wa sallam, agar beliau mengajak manusia kepada Allah dengan hikmah. Menurut Ibn Jarir, mengajak manusia kepada Allah dengan hikmah itu adalah mengajak mereka kepada Allah dengan cara-cara sebagaimana yang diturunkan Allah kepada beliau di dalam Al-Qur`an dan As-Sunnah, yaitu dengan pengajaran atau nasihat yang baik, yang mengandung unsur peringatan dan pelajaran dari kejadian-kejadian yang menimpa manusia, yang mendorong manusia berhati-hati dalam menghadapi hukuman Allah. [xiv] Sementara itu, Al-Fakhr al-Rz menyatakan, Metodologi berdakwah itu dapat diringkaskan pada dua model. Jika menyampaikan pesan-pesan dakwah itu dengan menggunakan dalil-dalil yang qathi, ---yang pasti, rasional dan mendalam---, maka metodologi dakwah tersebut dengan hikmah. Sebaliknya, jika penyampaian pesan-pesan dakwah itu dengan menggunakan dalil-dalil yangzhanni, maka metodologi dakwah tersebut adalah metodologi dakwah al-mawizhah al-hasanah, dengan nasihat atau pelajaran yang baik. [xv] Ayat ini, menurut Al-Qurtubi, diturunkan di Makkah ketika Rasulullahshallllah alayhi wa sallam diperintahkan untuk menghadapi kekejaman kaum Quraisy. Allah memerintahkan kepada Nabi shallllah alayhi wa sallam untuk berdakwah, mengajak mereka kepada agama Allah dan menjalankan syariat-Nya dengan kasih sayang, lembut dan persuasif; bukan dengan radikal dan

kekerasan. Demikian pula sebaiknya kaum Muslimin diberi pelajaran (tentang ajaran Islam) hingga hari kiamat. Pola dakwah yang demikian merupakan metodologi dakwah dengan hikmah bagi orang-orang yang telah mentauhidkan Allah, tetapi mereka masih tetap berbuat dosa. Pola ini tidak berlaku bagi orangorang kafir yang memerangi kaum Muslimin, sebab kaum Muslimin dibolehkkan menghadapi mereka dengan perang. Sungguhpun dibolehkan menghadapi mereka dengan perang, tetapi jika pola persuasif memungkinkan dalam menghadapi orang-orang kafir, bahkan diduga keras bahwa pola persuasif akan mendorong mereka beriman, maka pola dakwah ini perlu dilakukan tanpa harus perang. Kebijakan memilih pola dakwah yang lembut merupakan bagian dari meteodologi dakwah dengan hikmah. Wa Allh alam.[xvi] Metodologi dakwah dengan hikmah, terutama dengan pendekatan yang lembut atau persuasif, menurut Ibn Katsir[xvii] dan Al-Maraghi[xviii], tercermin pada perintah Allah kepada Nabi Musa a.s. dan Nabi Harun a.s. dalam menghadapi Firaun yang kejam seperti termaktub pada ayat Al-Qur`an yang artinya sebagai berikut: Maka berbicaralah kamu berdua kepadanya (Firaun) dengan kata-kata yang lemah lembut, mudahmudahan dia sadar atau takut. (Q.S. Thaha/20: 44) Dengan demikian, menurut hemat penulis, unsur utama atau essensi metodologi dakwah dengan hikmah, selain terletak pada kekuatan argumentasi yang jelas dengan menggunakan dalil-dalil yang qathi, yang pasti, rasional dan mendalam; juga terletak pada kecerdasan emosi dan spiritual para juru dakwah. Mereka diharapkan seperti Nabi Musa dan Nabi Harun yang dibimbing langsung oleh Allah melalui wahyu yang diturunkan kepada beliau agar tetap memilih kata-kata yang lembut dan persuasif dalam menyampaikan pesan dakwah kepada Firaun, meskipun Firaun seorang tiran, penguasa yang sombong dan kejam seperti dijelaskan pada ayat Al-Qur`an yang artinya sebagai berikut: Dan Fir'aun yang mempunyai pasak-pasak (tentara yang banyak); yang berbuat sewenang-wenang dalam negeri. Lalu mereka (Firaun dan para pembesarnya) berbuat banyak kerusakan dalam negeri itu. (Q.S. Al-Fajr/89: 10-12) Metodologi dakwah dengan hikmah, yang diperintahkan Allah kepada Rasulullah shallllah alayhi wa sallam, terutama dengan pendekatan yang lembut dan persuasif, dijelaskan secara komprehensip (lengkap dan menyeluruh) dengan diksi (pilihan kata) yang tepat, dan muatan makna yang berbobot pada ayat AlQur`an yang artinya: Maka berkat rahmat Allah engkau (Muhammad) berlaku lemah lembut terhadap mereka. Sekiranya engkau bersikap keras dan berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekitarmu. Karena itu maafkanlah mereka dan mohonkanlah ampunan untuk mereka, dan bermusyawarahlah dengan mereka dalam urusan itu. Kemudian, apabila engkau telah membulatkan tekad, maka bertawakallah kepada Allah. Sungguh, Allah mencintai orang yang bertawakal. (Q.S. Ali Imran/3: 159). Kedua ayat di atas, Surah Thaha ayat 44 dan Surah Ali Imran ayat 159, memiliki benang merah yang sangat jelas. Surah Thaha ayat 44 menjelaskan perintah Allah kepada Nabi Musa dan Nabi Harun agar bersifat lembut dalam menyampaikan pesan dakwah kepada Firaun, meskipun ia seorang penguasa yang melampaui batas. Sementara itu, Surah Ali Imran ayat 159 menjelaskan sikap lemah lembut Nabi shallllah alayhi wa sallam kepada kaum Muslimin, khususnya mereka yang telah melakukan kesalahan dan pelanggaran dalam Perang Uhud.[xix] Bersikap lemah lembut adalah ruh bagi dakwah dengan hikmah, seakligus menjadi kunci sukses dakwah Rasulullah shallllah alayhi wa sallam.

Pada Surah Ali Imran ayat 159 di atas terdapat tujuh kunci sukses dakwah Rasulullah shallllah alayhi wa sallam sebagai berikut: 1) Mendasarkan kegiatan dakwah atas dasar menebar kasih sayang Allah; 2) Senantiasa bersikap lemah lembut dalam menghadapi umat; 3) Bersikap lapang dada sehingga mudah memaafkan kesalahan umat; 4) Membangun komunikasi personal dengan Allah dengan senantiasa memohon agar Allah mengampuni dosa dan kesalahan umat; 5) Bermusyawarah dengan umat dalam merencanakan suatu program aksi; 6) Mengambil keputusan yang tepat dan mantap dalam bermusyawarah dengan kebulatan tekad untuk mewujudkannya; 7) Bertawakal kepada Allah, jika suatu perencanaan sudah dilakukan dengan cermat dan diputuskan dengan hati yang mantap. b. Metodologi Dakwah Bil Mawizhah al-Hasanah

Ungkapan ( al-mawizhah), menurut Ibn Manzhur, secara kebahasaan berasal dari kata ( alwazhu), ( al-izhah), dan ( al-azhah) yang berarti nasihat atau peringatan tentang akibat suatu tindakan atau pilihan. Menurut Ibn Sayyidah, ( al-mawizhah) adalah engkau memberikan peringatan kepada manusia yang menjadikan kalbunya sejuk, tergerak hatinya untuk melakukan kebaikan sehingga mendapat pahala, dan menyadari pentingnya meninggalkan kemaksiatan karena takut mendapat hukuman Allah.[xx] Di dalam Al-Qur`an ungkapan ( al-mawizhah) diulang sebanayk sembilan kali. Hal ini belum termasuk ungkapan yang satu akar kata dengan ( al-mawizhah) seperti ( waazhta), ( yaizhukum), ( yazhn) dan ( al-wizhn) sehingga keseluruhannya diulang sebanayk 25 kali.[xxi] ( al-mawizhat al-hasanah) pada Surah An-Nahl ayat Menurut Al-Maraghi, ungkapan 125 di atas, mengandung arti ( berbabagi dalil atau argumentasi yang bersifat zhanni yang memberikan kemantapan (beragama) bagi orang kebanyakan).[xxii] Pendapat AlMaraghi tersebut sejalan dengan pandangan Al-Fakhr al-Rz yang menyatakan bahwa, Metodologi berdakwah itu pada intinya dapat diringkaskan pada dua model saja. Jika menyampaikan pesan-pesan dakwah itu dengan menggunakan dalil-dalil yang qathi, ---yang pasti, rasional dan mendalam---, maka metodologi dakwah tersebut dengan hikmah. Sebaliknya, jika penyampaian pesan-pesan dakwah itu dengan menggunakan dalil-dalil yang zhanni, maka metodologi dakwah tersebut adalah metodologi dakwah dengan al-mawizhah al-hasanah, yakni dengan nasihat atau pelajaran yang baik. [xxiii] Dalam pada itu, menurut Ahmad Mustafa Al-Maraghi, al-mawizhah al-hasanah, yakni nasihat atau pelajaran yang baik itu adalah dengan ( mendekati mereka ---sasaran dakwah atau mad--- dengan tutur kata yang baik).[xxiv]

Melengkapi pandangan Al-Maraghi di atas, menurut Ibn Taymiyyah, pada waktu seorang dai mendekati sasaran dakwah atau mad dengan metodologi al-mawizhah al-hasanah, yakni menyampaikan nasihat atau pelajaran dengan tutur kata yang baik, perlu memperhatikan dua hal. Pertama, memperhatikan pesan Surah Al-Ashr ayat 3 yang menyatakan:

)3(
Dan mereka saling nasihat menasihati supaya mentaati kebenaran dan nasihat menasihati supaya tetap dalam kesabaran. (Q.S. Al-Ashr/103: 3). [xxv] Maksudnya, menurut hemat penulis, pelajaran yang baik yang disampaikan dengan tutur kata yang baik itu hendaklah dalam rangka memberikan nasihat kepada sasaran dakwah supaya mengikuti kebenaran dan menjalani hidup dengan tetap dalam kesabaran; namun pada waktu yang sama para dai hendaklah bersedia dengan lapang dada menyimak pandangan mereka sebagai umpan balik yang juga bernilai nasihat bagi para juru dakwah. Pendekatan ini memberi manfaat ganda, menyampaikan pesan dakwah dengan tutur kata yang santun, dan kedua, bersedia menyimak pandangan mereka guna evalusi diri. Kedua, memadukan secara simoni ilmu dengan amal. Sebab, ( al-khayr), kebaikan, ---yang diperjuangkan Islam itu--- diperoleh melalui pengenalan (marifah) terhadap Al-Haqq ---Allah Yang Maha Benar---dan mengikuti jalan-Nya dengan ilmu dan amal, yang sekaligus memperbaiki kualitas ucapan dan perbuatan. Ilmu yang melahirkan al-irdah, kehendak atau motivasi yang kuat untuk beramal. Ilmu, menurut Ibn Taymiyyah, merupakan dasar atau basis amal (tindakan atau perbuatan), yang juga merupakan sumber pokok kehendak atau motivasi yang kuat dan cinta (al-mahabbah).[xxvi] Melalui ilmu yang diamalkan akan melahirkan motivasi yang kuat untuk beramal dan mencintai amal, yang merupana realisasi cinta kepada Allah. Dengan berbasis pada kekuatan ilmu dan amal, berdakwah, mengajak manusia kepada jalan Allah, dengan metodologi al-mawizhah al-hasanah, nasihat atau pelajaran yang baik, akan memiliki kekuatan (power) yang dahsyat. Sebaliknya, seorang juru dakwah yang hanya mengandalkan kekuatan al-mawizhah al-hasanah,tanpa dibarengi dengan kekuatan amal perbutan akan kehilangan wibawa dan kekuatan moral dalam menyampaikan pesan dakwahnya. Perhatikan kecaman Allah kepada Ahli Kitab yang hanya pandai menyuruh manusia melakukan kebaikan, tetapi mereka sendiri tidak melakukannya, padahal mereka mengetahui ajaran Allah dalam Kitab Taurat. Mengapa kamu menyuruh orang lain (mengerjakan) kebajikan, sedang kamu melupakan diri (kewajiban)-mu sendiri, padahal kamu membaca Al-Kitab (Taurat)? Maka apakah kamu tidak berpikir? (Q.S. Al-Baqarah/2: 44) Ayat ini, menurut Ibrahim al-Biqai sebagaimana dikutip oleh M. Quraish Shihab, mengecam pemukapemuka Agama Yahudi, yang sering memberi tuntunan tetapi melakukan sebaliknya. Dalam riwayat disebutkan, bahwa ada orang-orang Yahudi yang menyuruh keluarganya yang telah memeluk Islam agar mempertahankan keyakinan mereka dan terus mengikuti Nabi Muhammad saw. Terhadap merekalah ayat ini diturunkan. Ayat ini dapat juga mencakup kasus lain, bahwa di antara Bani Israil ada yang menyuruh aneka kebajikan, seperti taat kepada Allah, jujur, dan membantu orang lain; tetapi mereka sendiri durhaka, menganiaya, dan berkhianat. Terhadap mereka juga kecaman ayat ini ditujukan.[xxvii] Singkatnya, menurut hemat penulis, dakwah dengan metodologi al-mawizhah al-hasanah dapat dirangkum sebagai berikut: Menyampaikan ajaran Islam secara lisan maupun tulisan dengan bahasa yang

santun dan ramah, serta tutur kata yang baik, dengan kupasan yang populer, mudah dimengerti dan komunikatif, tetapi menyentuh kalbu dan menyadarkan yang lupa, karena cara berdakwahnya memadukan kekuatan ilmu dan amal, serta keteladanan. c. Metodologi Dakwah dengan Mujdalah

Menurut Ibn Manzhur, istilah mujdalah secara bahasa berarti( almunzharah), perdebatan dan ( almukhshamah), pertentanganatau permusuhan. [xxviii] Menurut Al-Raghib al-Ashfahani, istilah mujdalahsecara bahasa berasal dari kata ( al-jidl) yang berarti ( al-muifwadhah al sabl al-munzaah wa al-mughlabah), yakni berunding dengan cara beradu argumentasi guna memenangkan (kebenaran atas kebatilan).[xxix] Adapun yang dimaksud dengan istilah mujdalah dalam hadits Nabishallllah alayhi wa sallam adalah mendebat kebatilan dan memenangkan kebenaran atas kebatilan supaya al-haqq (kebenaran) itu muncul dan unggul, sehingga karenanya tindakan ini merupakan tindakan yang terpuji. Hal inilah yang dimaksud dengan firman Allah: (dan berdebatlah dengan mereka dengan cara yang baik).[xxx] Sementara itu, Abd al-Rahman bin Nashir As-Sadi, ketika menafsirkan Surah An-Nahl ayat 125 di atas, menyatakan bahwa metodologi mujdalahdalam berdakwah dilakukan apabila sasaran dakwah atau almad memandang bahwa pendapat atau keyakinannya benar, (padahal sebenarnya salah), atau apabila sasaran dakwah mempromosikan kebatilan; maka (dalam keadaan demikian) berdebatlah dengan mereka dengan cara yang baik. Adapun yang dimaksud dengan cara yang baik (dalam berdebat) adalah dengan menggunakan berbagai metode yang paling efektif untuk bisa diterima oleh mereka, baik secara logika (aql) maupun berdasarkan nash Al-Qur`an dan Sunnah yang diyakini sebagai jalan terdekat guna mencapai tujuan, yakni memenangkan kebenaran atas kebatilan. Metodologi mujdalah dalam berdakwah, menurut As-Sadi, harus diperhatikan secara seksama supaya tidak menjurus kepada pertentangan dan permusuhan yang menjauhkan dari tujuan utama mujdalah, yakni mengalirnya hidayah Allah kepada manusia, bukan mencari kemenangan.[xxxi] Muhammad Ali As-Shbn, ketika menafsirkan ayat (dan berdebatlah dengan mereka dengan cara yang baik), menyatakan: Dan berdebatlah dengan mereka yang menolak pesan dakwah dengan metodologi yang lebih baik, baik dengan cara ( al-munzharah), adu argumentasi, maupun dengan cara ( al-mujdalah), perdebatan denganhujjah yang kuat dan argumentasi yang rasional.[xxxii] Sejalan dengan pandangan para mufassir di atas, Al-Fakhr al-Rz berpendapat, Surah An-Nahl ayat 125 di atas mengandung makna perintah Allah kepada Rasulullah shallllah alayhi wa sallam, Serulah orang-orang yang mampu berfikir secara sempurna ke dalam agama yang benar (Islam) dengan hikmah, yakni dengan argumentasi yang qathi dan meyakinkan; ajaklah kebanyakan orang (al-awwm) dengan nasihat dan pengajaran yang baik, yakni dengan dalil-dalil yang zhanni, tetapi meyakinkan dan memuaskan; dan berbicaralah tentang Islam dengan mereka yang menolak (kebenaran Islam) dengan mujdalah yang lebih baik dan lebih sempurna.[xxxiii] Maksudnya dengan debat yang berkualitas dan beretika, yaitu debat dengan hujjah yang kuat, argumentasi yang rasional dan hati yang dingin. Ketiga metodologi dakwah yang disebut di dalam Surah An-Nahl ayat 125 di atas, terutama tentang perintah atau keharusan Nabi shallllah alayhi wa sallam dan kaum Muslimin bermujadalah dalam

menghadapi kelompok-kelompok yang menolak kebenaran Islam atau menyelewengkan kesucian ajaran Al-Qur`an dan Sunnah dengan debat yang berkualitas dan beretika, diperkuat dengan ayat Al-Qur`an yang artinya sebagai berikut: Dan janganlah kamu berdebat dengan Ahli kitab, melainkan dengan cara yang paling baik, kecuali dengan orang-orang zalim di antara mereka, dan Katakanlah: "Kami Telah beriman kepada (kitab-kitab) yang diturunkan kepada kami dan yang diturunkan kepadamu; Tuhan kami dan Tuhanmu adalah satu; dan kami Hanya kepada-Nya berserah diri". (Q.S. Al-Ankabt/29: 46) Muhammad Quraish Shihab dalam menjelaskan maksud ayat di atas menyatakan, Kata (#q9 pgB (tujdil) terambil dara kata ( jdala) yang berarti berdiskusi, yakni berupaya untuk meyakinkan pihak lain tentang kebenaran sikap masing-masing dengan menampilkan argumentasinya. Ayat di atas menggunakan bentuk jamak. Karena itu, ayat ini lebih banyak ditujukan kepada kaum Muslimin, sebab kemungkinan terjadinya mujdalah dengan cara yang tidak terbaik, hanya dapat diduga datang dari mereka, kaum Muslimin, bukan dari Nabi shallllah alayhi wa sallam.[xxxiv] Pada ayat ini, kaum Muslimin dilarang membantah, berdiskusi, dan berdebat dengan Ahli Kitab, orangorang Yahudi dan Nasrani, menyangkut ajaran agama yang diperselisihkan kecuali dengan cara berdiskusi, serta ucapan yang terbaik, kecuali dengan orang-orang yang berbuat kezaliman di antara mereka, misalnya melampaui batas kewajaran dalam berdiksusi, maka kamu boleh tidak melakukan yang terbaik buat mereka; namun demikian, kalau pun diskusi itu tetap dilakukan, maka lakukanlah dengan cara yang terbaik, sesuai dan setimpal dengan sikap mereka yang zalim itu.[xxxv] Adapun yang dimaksud dengan orang-orang yang zalim pada ayat di atas ialah orang-orang yang setelah diberikan kepadanya keterangan-keterangan dan penjelasan-penjelasan dengan cara yang paling baik, tetapi mereka tetap membantah, membangkang dan tetap menyatakan permusuhan terhadap kaum Muslimin. ( kecuali orang-orang yang Sayyid Qutub memahami penggalan ayat yang berbunyi berbuat kezaliman di antara mereka) di atas, dalam arti Ahli Kitab yang mengubah kitab suci mereka, berpaling dari tauhid kepada kemusyrikan, karena syirik itu adalah kezaliman yang paling besar. Terhadap mereka, menurut Sayyid Qutub, tidak perlu ada mujdalah atau berdikusi, tidak juga ada sisi kebaikan buat mereka. Mereka itulah yang diperangi oleh Islam, ketika negara Islam terbentuk di Madinah. Pemahaman Sayyid Qutub tentang kalimat yang dibahas ini, tidak mendapat dukungan banyak ulama. Di dalam Al-Qur`an bahkan ditemukan banyak ayat yang memerintahkan berdiskusi, berdialiog, dan mujdalah dengan siapa pun dengan cara yang baik, bahkan dengan cara yang terbaik. Sekian banyak contoh dari jidl Al-Qur`an yang begitu halus dan baik, yang justru ditujukan kepada kaum Musyrikin di Mekkah, sehingga tentu lebih-lebih lagi terhadap Ahli Kitab yang dalam pandangan AlQur`an jauh lebih baik dari kaum Musyrikin. [xxxvi] 3. Penutup

Demikianlah, Al-Qur`an membimbing Rasulullah shallllah alayhi wa sallam dalam melaksanakan missi beliau, mengajak kepada Allah dengan cara-cara yang elegan dan bermartabat. Menghadapi mereka yang terdidik dengan baik, cendekiawan, intelektual dan pemikir; Al-Qur`an menawarkan metodologi yang sesuai dengan tingkat pendidikan mereka, yakni dengan hikmah, pemikiran yang mendalam, logika yang tertib, dan argumentasi yang qathi. Sebaliknya, ketika menghadapi orang kebanyakan dengan tingkat pendidikan yang menengah; Al-Qur`an menawarkan metodologi yang sesuai dengan tingkat

pendidikan mereka, yakni dengan metodologi al-mawizhah al-hasanah, nasihat atau pelajaran yang baik. Dengan ungkapan, pilihan kata, kalimat dan bahasa yang komunikatif dan mudah diterima, tetapi menyentuh kalbu dan meyakinkan mereka untuk mengamalkan Islam dengan istiqamah hingga akhir hayat. Sementara itu pada bagian ketiga, ketika menghadapi kelompok yang menolak ajaran Islam, menodai kesucian Al-Qur`an dan simbol-simbol keagungan Islam, serta berusaha memutar balikan kebenaran Islam; kaum Muslimin diharapkan dapat menghadapi mereka dengan metodologi mujdalah, diskusi, pertukaran pemikiran dan debat dengan cara yang lebih berkualitas dan lebih beretika. Tugas pokok seorang Nabi dan Rasul adalah ( at-tablgh), menyampaikan dan ( ad-dawah), mengajak. Menyampaikan ajaran Allah kepada umat dan mengajak umat kepada ajaran Allah. Seorang Nabi dan Rasul tidak bertanggung-jawab menjadikan umat menerima ajakan beliau sehingga menjadi Muslim. Membuka fikiran, menggerakkan kalbu, dan mendorong seseorang mengikrarkan dua kalimat syahadat sepenuhnya merupakan otoritas Allah. Ada beberapa ayat Al-Qur`an yang menjelaskan hal ini dengan tegas, di antaranya, yang artinya: Kewajiban Rasul tidak lain hanyalah menyampaikan, dan Allah mengetahui apa yang kamu lahirkan dan apa yang kamu sembunyikan.(Q.S. Al-Ma`idah/5: 99) Sesungguhnya kamu (Muhammad) tidak akan dapat memberi petunjuk kepada orang yang kamu kasihi, tetapi Allah memberi petunjuk kepada orang yang dikehendaki-Nya, dan Allah lebih mengetahui orangorang yang mau menerima petunjuk. (Q.S. Al-Qashash/28: 56) Sejalan dengan penegasan Allah pada dua ayat di atas bahwa kewajiban Rasul itu hanyalah menyampaikan ajaran Allah kepada umat, dan mengajak umat kepada ajaran Allah, maka dakwah itu sebuah perjuangan. Para pembawa missi dakwah itu adalah para pejuang. Mereka para mujahid dakwah. Seorang mujahid dakwah harus membekali dirinya dengan berbagai persiapan, termasuk menguasai metodologi dakwah yang diwahyukan Allah kepada Rasulullah shallllah alayhi wa sallam pada Surah An-Nahl ayat 125 di atas, namun yang paling penting adalah kesiapan mental untuk menghadapi kenyataan, jika ajakannya kepada Allah ditolak oleh umat. Sebab yang menguasai kalbu seseorang itu hanya Allah. Allah-lah yang menggerakkan kalbu seseorang untuk menerima hidayah. Hanya Allah yang mengetahui potensi dan kapasitas ruhani seseorang untuk menerima ajaran Allah. Prinsip inilah yang diharapkan dapat mencerahkan para mujahid dakwah dan sekaligus menjadi pedoman dalam berdakwah sebagaimana termaktub pada ujung ayat yang berbunyi:


Dialah yang lebih mengetahui siapa yang sesat dari jalan-Nya dan Dialah yang lebih mengetahui siapa yang mendapat petunjuk. (Q.S. An-Nahl/16: 125) Manusia berkewajiban untuk berjuang, merencanakan dan melaksanakan missi para Rasul, menyampaikan ajaran Allah kepada umat, dan mengajak umat kepada ajaran Allah; tetapi Allah yang membukakan pintu hidayah. Wa Allah alam bi al-shawwab.

A.

Kesimpulan Materi

Dari uraian di atas dapat disimpulkan beberapa hal berikut : 1. Banyak pengertian dakwah yang dikemukakan para ahli salah satu pengertian dakwah tersebut adalah dakwah adalah seruan atau ajakan kepada keinsyafan atau usaha mengubah situasi kepada situasi yang lebih baik dan sempurna, baik pada kehidupan pribadi maupun kehidupan masyarakat. 2. Metodologi dakwah dalam al-Quran menurut surah al-Nahl/16: 125 ada tiga. Metode al-hikmah, metode mauidzah hasanah dan metode mujadalah. Pada dasarnya organisasi kemasyarakatan (ormas) dibentuk untuk kebaikan anggota, khususnya dan masyarakat pada umumnya. Tetapi kondisi dan situasi tertentu atau pengaruh ideologi bisa menjadikan tindakan ormas menjadi kontradiktif dengan tujuan awalnya. Ketidakpuasan terhadap kinerja aparat pemerintah dalam menangani suatu masalah merupakan salah satu faktor munculnya aksi kekerasan ormas, termasuk ormas keagamaan. Misalnya perjudian dan pelacuran atau hiburan malam yang mengganggu ketenangan masyarakat, sedangkan pemerintah berpura-pura tidak tahu. Karena faktor inilah akhirnya sering terjadi pengrusakan oleh ormas seperti Front Pembela Islam (FPI) terhadap tempat-tempat hiburan yang dianggap arena kemaksiatan. Munculnya kekerasan juga bisa pengaruh dari ideologi. Faktor ideologis ini sering dijadikan legitimasi untuk mengintimidasi atau bahkan menyerang kelompok lain, baik seagama, tapi beda keyakinan seperti jemaah Ahmadiyah atau kelompok lain. Membela Tuhan Munculnya paham dan aksi kekerasan yang mengatasnamakan ajaran agama, antara lain akibat adanya paradigma bahwa agama hanya sebagai media untuk membela Tuhan dan menegakkan kepentingan Tuhan. Sehingga bila ada umat agama lain atau satu agama melakukan aktivitas yang berbeda, dianggap melecehkan agama, melecehkan Tuhan, sesat, dan harus diberantas dengan cara apa pun. Faktor ideologis atau keyakinan muncul karena adanya interpretasi teks-teks agama. Keyakinan kewajiban secara mutlak amar makruf nahi munkar (menyeru kepada kebaikan dan mencegah perbuatan munkar) sering diinterpretasikan dengan memberantas kemungkaran. Padahal mencegah jelas berbeda dengan memberantas. Mencegah lebih tepat dengan pendekatan dan cara persuasif, jauh dari pengertian represif dan destruktif. Interpretasi terhadap amar makruf nahi mungkar juga sering dikuatkan dengan interpretasi terhadap teks lain yang sekilas melegitimasi kekerasan dalam mencegah kemungkaran. Hadis tentang nahi munkar: Man raa minkum munkaran falyughayyirhu biyadihi, fain lam yastathi fabilisanih, fain lam yastathi fabiqolbihi wa dzlika adhaful iman. Artinya Jika di antara kamu melihat kemungkaran maka benahilah (ingatkanlah) dengan tanganmu, bila tidak mampu, maka dengan tanganmu, bila tidak mampu juga, maka ubahlah dengan hatimu, dan itu merupakan iman yang paling lemah. Klausul ubahlah (benahilah) dengan tanganmu sering diinterpretasikan dengan tindakan fisik yang tidak jarang berupa tindakan destruktif. Padahal kalimat tersebut bisa saja berarti kekuasaan, otoritas, dan kapasitas sebagaimana penafsiran Imam al-Tsalabiy (I: 234). Artinya, nahi mungkar dengan tangan tidak selalu bermakna pendekatan fisik apalagi sampai merusak dan bertentangan dengan ajaran kasih sayang dalam Islam.

Bahkan dalam suatu hadis Baihaqi, Nabi Muhammad melarang seseorang mengatakan kamu zalim saat melihat orang lain berbuat zalim (Sunan Kubra lil Baihaqi, VI:95). Hal ini menunjukkan betapa beliau mengedepankan pendekatan persuasif dalam menanggulangi kezaliman. Teks agama harus diinterpretasikan dengan berbagai komponen dan pendekatan. Untuk mendapatkan interpretasi yang tepat dan bijak, tidak cukup dengan pendekatan bahasa dan ideologi, tetapi juga perlu pendekatan historis sosiologis. Perlu juga pertimbangan dari praktek pada masa Rasulullah, sahabat, dan para khalifah. Islam mengajarkan cara halus dan pendekatan yang konstruktif dalam berdakwah. Alquran menyerukan cara bilhikmah dan cara billati hiya ahsan. Cara yang lemah lembut dan tidak menimbulkan kerusakan. Membumikan Ajaran Memang dalam menjalankan amar makruf nahi munkar umat Islam harus tegas, tapi harus menghindari kekerasan. Tegas dalam arti menjelaskan ajaran agama secara jelas, tapi tidak dalam arti bertindak keras, apalagi terhadap umat agama lain yang pasti berbeda ajaran. Tidak bijak menghakimi dan melarang suatu yang dibolehkan oleh suatu agama tertentu dengan keyakinan agama sendiri. Suatu yang dinilai kemungkaran dalam ajaran agama Islam belum tentu dianggap kemungkaran bagi agama lain. Sebagai contoh, memakan daging babi atau makan minum di siang hari pada bulan Ramadan adalah suatu kemungkaran dan diharamkan dalam Islam. Munkar dalam arti tidak sesuai dengan ajaran dan syariat perintah Allah swt. Namun, hal itu tidak mungkar menurut agama lain yang tidak mengharamkan daging babi dan tidak memerintahkan umatnya untuk berpuasa. Ormas apa pun bentuknya terlebih yang mengatasnamakan Islam, harus mencerminkan dan mampu membumikan ajaran rahmatan lil alamin. Pencapaian tujuan dalam ormas Islam hendaknya menggunakan paradigma yang mengedepankan pemahaman dan interpretasi teologis-humanis. Menjalankan dakwah Islam berlandas pada teologi teosenris dengan pendekatan antroposentris yang mengedepankan membela kepentingan manusia dan kemanusiaan. Memahami dan mengimplementasikan ajaran agama sebagai teologi pembebasan, pencerahan, dan perdamaian yang menjunjung nilai-nilai kemanusiaan. Jangan sampai agama diinterpretasikan dengan egoisme dan kaca mata sinis terhadap kelompok lain. Apalagi sampai interpretasi tersebut diikuti dengan tindak kekerasan yang justru bertolak belakang dengan ajaran agama yang cinta damai. (Sumber: Lampung Post, 6 Maret 2012).

Anda mungkin juga menyukai