Anda di halaman 1dari 26

MAKALAH

TAFSIR AYAT HUKUM KELUARGA


MEMAHAMI AYAT-AYAT TENTANG PERNIKAHAN

Oleh

HUSEIN (2021110858)

MAHDI (2021110845)

PRODI HUKUM KELUARGA ISLAM

SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM

DARUL ULUM KANDANGAN

TAHUN 2022 M/1444 H


BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah

Tafsir ayat hukum keluarga seperti yang kita ketahui ialah suatu ilmu yang
mengkaji tentang mengungkap kandungan-kandungan ayat hukum Al-Qur’an dalam ruang
lingkup keluarga. Dalam hal ini kami membahas dan memahami ayat pernikahan.
Pernikahan ialah suatu moment sakral dan diperbolehkannya sesuatu yang tidak
diperbolehkan sebelum pernikahan yang bertujuan menjaadikan keluarga sakinah
mawaddah warahmah. Selain dianjurkan oleh Allah SWT juga banyak keutamaan
pernikahan diantaranya : dicukupkannya kebutuhan hidupnya, terlindungi dari fitnah,
memperoleh ketenangan, serta melanjutkan keturunan yang dapat menjadi investasi untuk
akhirat.

Diatas semua itu, ada beberapa hukum yang bersifat dasar (urgent) dan harus
diperhatikan dalam urusan pernikahan , agar pernikahan yang dilangsungkan dapat
mencapai ke-barakahan. Diantaranya Al Qur’an surat An-Nisa ayat 1, Al- A’raaf ayat 189,
dan An Nur ayat 32. Dimana menurut pandangan kami, 3 hukum tersebut masih kurang
diperhatikan oleh muslim maupun muslimah daripada illmu-ilmu pernikahan yang lain.

Maka kami menyusun makalah ini guna menambah ilmu pengetahuan dan
membuka mata akan pentingnya tiga hukum dasar tersebut bagi kami serta masyarakat,
khususnya teman-teman sepantaran kamiyang masih memerlukan banyak ilmu akan hal ini.
Sebelumnya, kami berlindung kepada Allah dari mengucapkan hal-hal yang tidak kami
ketahui, serta menjauhkan kami dari keadaan orang-orang yang tidak mengetahui.

1
B. Rumusan Masalah

1. Bagaimana tafsir yang terkandung dalam surah An-Nisa ayat 1

2. Bagaimana tafsir yang terkandung dalam surah Al-A'raf ayat 189

3. Bagaimana tafsir yang terkandung dalam surah An-Nur ayat 32

C. Tujuan Penugasan

1. Memahami tafsir yang terkandung dalam surah An-Nisa ayat 1

2. Memahami tafsir yang terkandung dalam surah Al-A'raf ayat 189

3. Memahami tafsir yang terkandung dalam surah An-Nur ayat 32

2
BAB II

PEMBAHASAN

A. Al-Qur’an surah An-Nisa' 4: Ayat 1

1. Ayat dan Terjemahnya

Allah Subhanahu Wa Ta'ala berfirman:

ۤ
َّ َ‫ق ِم ْنهَا زَ وْ َجهَاـ َوب‬
‫ث ِم ْنهُ َما ِر َجا اًل َكثِ ْيرًا‬ َ َ‫س َّوا ِح َد ٍة َّو َخل‬ ٍ ‫ٰيـاَيُّهَا النَّا سُ اتَّقُوْ ا َربَّ ُك ُم الَّ ِذيْ َخلَقَ ُك ْم ِّم ْن نَّ ْف‬
‫َّونِ َسٓا ًءۚ   َوا تَّقُوا هّٰللا َ الَّ ِذيْ تَ َسٓا َءلُوْ نَ بِ ٖه َوا اْل َ رْ َحا َمۗ  اِ َّن هّٰللا َ َكا نَ َعلَ ْي ُك ْم َرقِ ْيبًاـ‬

Artinya:

"Wahai manusia! Bertakwalah kepada Tuhanmu yang telah menciptakan kamu dari
diri yang satu (Adam), dan (Allah) menciptakan pasangannya (Hawa) dari (diri)nya; dan
dari keduanya Allah memperkembangbiakkan laki-laki dan perempuan yang banyak.
Bertakwalah kepada Allah yang dengan nama-Nya kamu saling meminta dan (peliharalah)
hubungan kekeluargaan. Sesungguhnya Allah selalu menjaga dan mengawasimu." (QS.
An-Nisa' 4: Ayat 1)

ٍ ‫( نَّـ ْف‬an-Nisa'/4: 1)
2. Kosakata: Nafsun Wahidah ‫س َّوا ِح َد ٍة‬

Nafsun waḥidah secara bahasa berarti "jiwa yang satu". Mayoritas ulama
memahami istilah ini dalam arti "Adam". Pemahaman tersebut menjadikan kata zaujahā
(pasangannya) adalah istri Adam a.s. yang biasa disebut dengan nama Hawa. Karena ayat
ini menyatakan bahwa pasangan itu diciptakan dari nafsun wāḥidah, yaitu "Adam", maka
sebagian mufasir memahami bahwa istri Adam diciptakan dari Adam sendiri. Pemahaman
ini melahirkan pandangan negatif terhadap perempuan dengan menyatakan bahwa
perempuan adalah bagian dari laki-laki. Sebagian ulama lain memahami nafsun wahidah

3
dalam arti jenis manusia laki-laki dan perempuan. Pemahaman demikian melahirkan
pendapat bahwa pasangan Adam diciptakan dari jenis manusia juga, kemudian dari
keduanya lahirlah manusia yang ada di bumi ini.1

3. Munasabah

Pada akhir Surah Ali Imran, Allah memerintahkan umat Islam untuk bertakwa, pada
ayat ini yang merupakan awal surah selanjutnya (an-Nisa'), perintah bertakwa itu dipertegas
kembali.

4. Tafsir

Di dalam ayat Allah memerintahkan kepada manusia agar bertakwa kepada Allah,
yang memelihara manusia dan melimpahkan nikmat karunia-Nya. Dialah Yang
menciptakan manusia dari seorang diri yaitu Adam. Dengan demikian, menurut jumhur
mufasir, Adam adalah manusia pertama yang dijadikan oleh Allah. Kemudian dari diri yang
satu itu Allah menciptakan pula pasangannya yang biasa disebut dengan nama Hawa. Dari
Adam dan Hawa berkembang biaklah manusia. Dalam Al-Qur'an penciptaan Adam disebut
dari tanah liat (al-An'am/6:2; as-Sajdah/32:7; $åd/38:71 dan dalam beberapa ayat lagi).
Dalam an-Nisa'/4:1 disebutkan ". dan (Allah) menciptakan pasangannya (Hawa) dari
dirinya; ..." Kata-kata dalam Surah an-Nisa' ayat pertama ini sering menimbulkan salah
pengertian di kalangan awam, terutama di kalangan perempuan, karena ada anggapan
bahwa perempuan diciptakan dari rusuk Adam, yang sering dipertanyakan oleh kalangan
feminis. Ayat itu hanya menyebut ... wa khalaqa minha zaujaha, yang diterjemahkan
dengan menciptakan pasangannya dari dirinya; lalu ada yang mengatakan bahwa
perempuan itu diciptakan dari rusuk Adam, dan pernyataan yang terdapat dalam beberapa
hadis ini ada yang mengira dari Al-Qur'an. Di dalam Al-Qur'an nama Hawa pun tidak ada,
yang ada hanya nama Adam. Nama Hawa (Eve) ada dalam Bibel ("Manusia itu memberi
1
Agama RI Departemen, al-qur’an dan tafsirnya (edisi yang disempurnakan) jilid II, (Jakarta:
Lentera Abadi, 2010), h. 110

4
nama Hawa kepada isterinya, sebab dialah yang menjadi ibu semua yang hidup." (Kejadian
iii. 20), (Hawwa' dari kata bahasa Ibrani heva, dibaca: hawwah, yang berarti hidup).
Pernyataan bahwa perempuan diciptakan dari rusuk laki-laki itu terdapat dalam Perjanjian
Lama, Kitab Kejadian ii. 21 dan 22: "Lalu Tuhan Allah membuat manusia itu tidur
nyenyak; ketika tidur, Tuhan Allah mengambil salah satu rusuk dari padanya, lalu menutup
tempat itu dengan daging. Dan dari rusuk yang diambil Tuhan Allah dari manusia itu,
dibangun-Nyalah seorang perempuan, lalu dibawa-Nya kepada manusia itu."

Kemudian sekali lagi Allah memerintahkan kepada manusia untuk bertakwa


kepada-Nya dan seringkali mempergunakan nama-Nya dalam berdoa untuk memperoleh
kebutuhannya. Menurut kebiasaan orang Arab Jahiliah bila menanyakan sesuatu atau
meminta sesuatu kepada orang lain mereka mengucapkan nama Allah. Allah juga
memerintahkan agar manusia selalu memelihara silaturrahmi antara keluarga dengan
membuat kebaikan dan kebajikan yang merupakan salah satu sarana pengikat silaturrahmi.

Ilmu Hayati Manusia (Human Biology) memberikan informasi kepada kita, bahwa
manusia dengan kelamin laki-laki mempunyai sex-chromosome (kromosom kelamin) XY,
sedang manusia dengan kelamin wanita mempunyai sex-chromosome XX. Ayat di atas
menjelaskan bahwa "manusia diciptakan dari diri yang satu dan daripadanya Allah
menciptakan istrinya".

Ayat ini menjelaskan kepada kita bahwa 'diri yang satu itu' tentu berjenis kelamin
laki-laki, sebab kalimat berikutnya menyatakan, 'daripadanya diciptakan istrinya'. Dari
sudut pandang Human Biology hal itu sangatlah tepat, sebab sex-chromosome XY (laki-
laki) dapat menurunkan kromosom XY atau XX; sedang kromosom XX (wanita) tidak
mungkin akan membentuk XY, karena dari mana didapat kromosom Y? Jadi jelas bahwa
laki-laki pada hakikatnya adalah penentu jenis kelamin dari keturunannya. Diri yang satu
itu tidak lain adalah Adam.2
2
Ibid, h. 111-112

5
B. Al-Qur’an surah An-Nur 24: Ayat 32

1. Ayat dan Terjemah

Allah Subhanahu Wa Ta'ala berfirman:

ُ ‫ض ـلِ ٖهۗ   َوا هّٰلل‬


ْ َ‫ـرٓا َء يُ ْغنِ ِه ُم هّٰللا ُ ِم ْن ف‬ ّ ٰ ‫َواَ ْن ِكحُوا ااْل َ يَا مٰ ى ِم ْن ُك ْم َوا ل‬
َ ‫صلِ ِح ْينَ ِم ْن ِعبَا ِد ُك ْم َواِ َمٓاِئ ُك ْم ۗ اِ ْن يَّ ُكوْ نُــوْ ا فُقَـ‬
‫َوا ِس ٌع َعلِ ْي ٌم‬

Artinya :

"Dan nikahkanlah orang-orang yang masih membujang di antara kamu, dan juga orang-
orang yang layak (menikah) dari hamba-hamba sahayamu yang laki-laki dan perempuan.
Jika mereka miskin, Allah akan memberi kemampuan kepada mereka dengan karunia-Nya.
Dan Allah Maha Luas (pemberian-Nya), Maha Mengetahui." (QS. An-Nur 24: Ayat 32)

2. Kosakata: Al-Ayāmā ‫( ااْل َ يَا مٰ ى‬an-Nūr/23: 32)

Al-Ayāma artinya orang orang yang membujang. Bentuk jamak dari kata al-ayyim.
Akar katanya terdiri dari huruf huruf (‫ا‬-‫ ي‬-‫)م‬. Akar kata ini mempunyai tiga arti yaitu,
pertama asap atau dukhān. Asap dikatakan3 sebagai al-iyām. Kedua, ular, orang Arab
mengatakan ular putih dengan al-aym. Ketiga, perempuan yang tidak mempunyai suami.
Pengertian yang ketiga inilah yang dimaksudkan dengan ayat di atas. Pada mulanya kata ini
diperuntukan bagi perempuan yang tidak mempunyai suami. Namun pada akhirnya kata ini
juga ditujukan bagi lelaki yang masih membujang. Dari ayat ini terlihat sekali bahwa Islam
menghendaki manusia untuk membentuk keluarga yang mempunyai nilai positif yang
sangat banyak. Dengan adanya keturunan maka mereka akan bisa membentuk masyarakat

3
Agama RI Departemen, al-qur’an dan tafsirnya (edisi yang disempurnakan) jilid VI, (Jakarta:
Lentera Abadi, 2010), h. 598

6
yang dengan kebersamaan mereka menggali potensi alam. Keluarga juga bias menciptakan
ketenteraman lahir dan batin.

3. Munasabah

Pada ayat-ayat yang lalu Allah memerintahkan supaya kaum Muslimin memelihara
pandangannya dari hal-hal yang mendorong terangsangnya naluri seks seperti melihat aurat
dan sebagainya, supaya mereka terhindar dari perbuatan yang akan mengotori
kehormatannya, maka pada ayat-ayat berikut ini Allah menyerukan dan menghimbau
kepada orang-orang yang tidak bersuami atau tidak beristri untuk menikah dalam rangka
untuk memelihara kesucian dirinya dan jangan merasa takut karena tidak memiliki harta
benda, sebab Allah akan melimpahkan karunia-Nya kepadanya, tetapi apabila ia benar-
benar tidak mampu untuk menikah maka hendaklah ia memelihara kehormatannya.

4. Tafsir

Pada ayat ini Allah menyerukan kepada semua pihak yang memikul tanggung jawab
atas kesucian dan kebersihan akhlak umat, agar mereka menikahkan laki-laki yang tidak
beristri, baik duda atau jejaka dan perempuan yang tidak bersuami baik janda atau gadis.
Demikian pula terhadap hamba sahaya laki-laki atau perempuan yang sudah patut
dinikahkan, hendaklah diberikan pula kesempatan yang serupa. Seruan ini berlaku untuk
semua para wali (wali nikah) seperti bapak, paman dan saudara yang memikul tanggung
jawab atas keselamatan keluarganya, berlaku pula untuk orang-orang yang memiliki hamba
sahaya, janganlah mereka menghalangi anggota keluarga atau budak yang di bawah
kekuasaan mereka untuk nikah, asal saja syarat-syarat untuk nikah itu sudah dipenuhi.
Dengan demikian terbentuklah keluarga yang sehat bersih dan terhormat. Dari keluarga
inilah akan terbentuk suatu umat dan pastilah umat atau bangsa itu menjadi kuat dan
terhormat pula. Oleh sebab itu Rasulullah SAW bersabda:

َ ‫ب ع َْن ُسنَّتِي فَلَي‬


َ .‫ْس ِمنِّي‬
)‫(ر َواهُ ُم ْسلِ ٌم‬ َ ‫النِّ َكا ُح ُسنَّتِى فَ َم ْن َر ِغ‬

7
Artinya :

Nikah itu termasuk Sunnahku. Barangsiapa yang membenci Sunnahku maka dia tidak
termasuk golonganku. (Riwayat Muslim)4

Bila di antara orang-orang yang mau nikah itu ada yang dalam keadaan miskin
sehingga belum sanggup memenuhi semua keperluan pernikahannya dan belum sanggup
memenuhi segala kebutuhan rumh tangganya, hendaklah orang-orang seperti itu didorong
dan dibantu untuk melaksanakan niat baiknya itu. Janganlah kemiskinan seseorang menjadi
alasan untuk mengurungkan pernikahan, asal saja benar-benar dapat diharapkan
daripadanya kemauan yang kuat untuk melangsungkan pernikahan. Siapa tahu di belakang
hari Allah akan membukakan baginya pintu rezeki yang halal, baik, dan memberikan
kepadanya karunia dan rahmat-Nya. Sesungguhnya Allah Maha luas rahmat-Nya dan kasih
sayang-Nya, Mahaluas Ilmu pengetahuan-Nya. Dia melapangkan rezeki bagi siapa yang
dikehendaki-Nya dan menyempitkan rezeki bagi siapa yang dikehendaki sesuai dengan
hikmat kebijaksanaan-Nya.

Ibnu Abbas berkata, Allah menganjurkan pernikahan dan menggalakkannya, serta


menyuruh manusia supaya mengawinkan orang-orang yang merdeka dan hamba sahaya,
dan Allah menjanjikan akan memberikan kecukupan kepada orang-orang yang telah
berkeluarga itu kekayaan. Diriwayatkan dari Abu Hurairah Rasulullah bersabda:

ُ‫ ( َر َواه‬.ِ ‫ النَّا ِك ُح ي ُِري ُد ْال َعفَافَ َو ْال ُم َكاتَبُ الَّ ِذي ي ُِري ُد ااِل دَا َء َو ْال ُم َجا ِه ُد فِي َسبِي ِل هَّللا‬:‫ق َعلَى هَّللا ِ عَوْ نُهُ ْم‬
َّ ‫ثَاَل ثَةُ َح‬
)ُ‫احْ َمد‬

Artinya :

Ada tiga macam orang yang Allah berkewajiban menolongnya: orang yang nikah dengan
maksud memelihara kesucian dirinya, hamba sahaya yang berusaha memerdekakan dirinya

4
Ibid, h. 599

8
dengan membayar tebusan kepada tuannya, dan orang yang berperang di jalan Allah.
(Riwayat Aḥmad)5

C. Al-Qur’an surah Al-A'raf 7: Ayat 189

1. Ayat dan Terjemah

Allah Subhanahu Wa Ta'ala berfirman:

ْ َ‫س َّوا ِح َد ٍة َّو َج َع َل ِم ْنهَا َزوْ َجهَاـ لِيَ ْس ُكنَ اِلَ ْيهَاۚ  فَلَ َّما تَ َغ ٰ ّشٮهَا َح َمل‬
ْ ‫ت َح ْماًل خَ فِيْفًا فَ َمـ ر‬
‫َّت‬ ٍ ‫هُ َو الَّ ِذيْ َخلَقَ ُك ْم ِّم ْن نَّـ ْف‬
َ‫صا لِحًا لَّـنَ ُكوْ ن ََّن ِمنَ ال ٰ ّش ِك ِر ْين‬ ‫هّٰللا‬ ْ َ‫بِ ٖهۚ  فَلَ َّم ۤا اَ ْثقَل‬
َ ‫ت َّد َع َوا َ َربَّهُ َما لَِئ ْن ٰاتَ ْيتَـنَا‬

Artinya :

"Dialah yang menciptakan kamu dari jiwa yang satu (Adam) dan darinya Dia menciptakan
pasangannya, agar dia merasa senang kepadanya. Maka setelah dicampurinya, (istrinya)
mengandung kandungan yang ringan, dan teruslah dia merasa ringan (beberapa waktu).
Kemudian ketika dia merasa berat, keduanya (suami-istri) bermohon kepada Allah, Tuhan
mereka (seraya berkata), "Jika Engkau memberi kami anak yang saleh, tentulah kami akan
selalu bersyukur." (QS. Al-A'raf 7: Ayat 189)

2. Kosakata: Ja'ala ‫( َج َع َل‬al-A'raf/7: 189)

Ja'ala merupakan kata kerja dalam bentuk madi (lampau), yang bentuk sekarang
atau yang akan datang (mudari) adalah yaj'alu. Makna dari kata kerja ini adalah
menjadikan atau mewujudkan sesuatu dari bahan yang telah ada sebelumnya sambil
menekankan bahwa yang wujud itu sangat bermanfaat dan harus diraih faedahnya. Manfaat
itu terutama diciptakan untuk manusia, karena seluruh makhluk yang ada di alam ini
diadakan untuk kesejahteraan manusia. Karena itu, manusia harus dapat meraih manfaat
dari segala yang ada. Selain ja ala, kata yang hampir sama maknanya adalah khalaqa.
5
Ibid, h. 600

9
Namun demikian, antara keduanya tetap ada perbedaan. Khalaqa maknanya mencipta.
Dalam kata ini terkesan bahwa terciptanya sesuatu itu melalui bahan yang telah ada
sebelumnya atau yang belum ada. Selain itu, pada kata ini juga terkesan bahwa wujud yang
tercipta itu sangat hebat, dan akan menjadi lebih hebat lagi bila Allah yang
mewujudkannya.

3. Munasabah

Pada ayat-ayat yang telah lalu Allah swt menerangkan tingkah laku dan sikap
mental orang musyrik Mekah yang menyimpang dari fitrahnya. Mereka ingkar kepada
keesaan Allah swt, kepada kenabian dan kepada hari Kiamat. Maka pada ayat-ayat ini
Allah swt mengungkapkan sejarah penyimpangan manusia dari fitrahnya, yang sebenarnya
telah ada jauh sebelum zaman Quraisy di Mekah itu. 6

4. Tafsir

Dalam ayat ini Allah menjelaskan bahwa manusia itu diciptakan dari jenis yang
satu, dan dari jenis yang satu itu diciptakan pasangannya, maka hiduplah mereka
berpasangan pria-wanita (suami-isteri) dan tenteramlah dia dengan isterinya itu. Hidup
berpasangan suami-isteri merupakan tuntutan kodrat manusia rohaniyah dan jasmaniah.
Bila seseorang telah mencapai usia dewasa, timbullah keinginan untuk hidup berpasangan
sebagai suami-isteri, dan dia akan mengalami keguncangan batin apabila keinginan itu
tidak tercapai. Sebab dalam berpasangan suami-isteri itulah terwujud ketenteraman.
Ketenteraman tidak akan terwujud dalam diri manusia diluar hidup berpasangan suami-
isteri. Maka tujuan kehadiran seorang isteri pada seorang laki-laki di dalam agama Islam
ialah menciptakan hidup berpasangan itu sendiri. Islam mensyariatkan manusia agar
mereka hidup berpasangan suami-isteri, karena dalam situasi hidup demikian itu manusia
menemukan ketenteraman dan kebahagian rohaniyah dan jasmaniah.
6
Agama RI Departemen, al-qur’an dan tafsirnya (edisi yang disempurnakan) jilid III, (Jakarta:
Lentera Abadi, 2010), h. 547

10
Bila kedua suami-isteri itu berkumpul, mulailah isterinya mengandung benih. Saat
permulaan dari pertumbuhan benih itu terasa ringan. Pertama-tama terhentinya haid dan
selanjutnya benih itu terus berproses, perlahan-lahan. Maka ketika kandungannya mulai
berat, ibu-bapak memanjatkan doa kepada Allah agar keduanya dianugerahi anak yang
saleh, sempurna jasmani, berbudi luhur, cakap smelaksanakan tugas kewajiban sebagai
manusia. Kedua, isteri itu berjanji akan mewajibkan atas dirinya sendiri untuk bersyukur
kepada Allah karena menerima nikmat itu dengan perkataan, perbuatan dan keyakinan.7

D.Analisis Point

1.Point kandungan Dalam Surah An-Nur ayat 32

Analisis point dalam ayat ini ialah anjuran pernikahan dan menggalakkannya, serta
menyuruh manusia supaya mengawinkan dan membantu orang-orang yang merdeka dan
hamba sahaya akan melaksanakan niat baiknya itu. Janganlah kemiskinan seseorang
menjadi alasan untuk mengurungkan pernikahan, asal saja benar-benar dapat diharapkan
daripadanya kemauan yang kuat untuk melangsungkan pernikahan, dan Allah menjanjikan
akan memberikan kecukupan kepada orang-orang yang telah berkeluarga itu kekayaan.

2. Point kandungan Dalam Surah Al-A'raf ayat 189

Analisis point dalam ayat ini ialah bahwa manusia itu diciptakan dari jenis yang
satu, dan dari jenis yang satu itu diciptakan pasangannya, maka hiduplah mereka
berpasangan pria-wanita (suami-isteri) dan tenteramlah dia dengan isterinya itu. Dan ketika
kandungannya mulai berat, hendaknya ibu-bapak meniatkan serta memanjatkan doa kepada
Allah agar keduanya dianugerahi anak yang saleh, sempurna jasmani, berbudi luhur, cakap
melaksanakan tugas kewajiban sebagai manusia.

3. Point kandungan Dalam Surah An-Nisa ayat 1

7
Ibid, h. 548

11
Analisis point dalam ayat ini ialah Allah memerintahkan untuk menjaga hubungan
baik (arham) antara laki-laki dan perempuan. Banyak hadis yang menyebutkan ancaman
bagi orang yang memutus hubungan baik (qath’uar-rahmi) dengan orang lain.

Hubungan antara laki-laki dan perempuan adalah hubungan yang saling melengkapi
satu sama lain. Keduanya memiliki kelemahan dan kelebihan masing-masing. Tidak bisa
disamakan seluruh laki-laki dan perempuan. Dan bertaqwalah serta jika
mengembangbiakkan anak yang banyak haruslah memeliharanya dengan baik dalam
hubungan kekeluargaan.8

E. Kandungan Hukum Menurut Hukum Islam dan Hukum Positif

Pengertian Perkawinan

Dalam Al-qur'an dan Hadis Nabi Muhammad juga dalam kehidupan sehari-hari
orang Arab, sering memakai kata nikah dan zawaj yang artinya adalah pernikahan atau
perkawinan menurut literatur fiqh berbahasa arab. Menurut Islam perkawinan adalah
perjanjian suci yang kuat dan kokoh untuk membentuk keluarga yang kekal, saling
menyantuni, saling mengasihi,9 aman tenteram, bahagia dan kekal antara seorang laki-laki
dan perempuan yang disaksikan oleh dua orang saksi laki-laki. Selain itu, perkawinan juga
diatur dalam hukum Islam harus dilakukan dengan akad atau perikatan hukum antara kedua
belah pihak.

Penikahan atau perkawinan dapat diartikan sebagai sebuah ikatan, apabila sesuatu
sudah diikatkan antara yang satu dengan yang lain maka akan saling ada keterikatan dari
kedua belah pihak. (QS. AdDhukhan: 54). Yang artinya: "Demikianlah dan kami kawinkan
mereka dengan bidadari.

Perkawinan sejatinya adalah sebuah perjanjian atau pengikatan suci antara seorang
laki laki dan perempuan. Sebuah perkawinan antara laki-laki dan perempuan dilandasi rasa
saling mencintai satu sama lain, saling suka dan rela antara kedua belah pihak. Sehingga
tidak ada keterpaksaan satu dengan yang lainnya. Perjanjian suci dalam sebuah perkawinan
8

9
Aisyah Ayu Musyafah, Perkawinan Dalam Perspektif Filosofis Hukum Islam, Jurnal Crepido,
Volume 02, Nomor 02, November 2020, h.111-122

12
dinyatakan dalam sebuah jab dan qobul yang harus dilakukan antara calon laki-laki dan
perempuan yang kedua-duanya berhak atas diri mereka. Apabila dalam keadaan tidak waras
atau masih berada di bawah umur, untuk mereka dapat bertindak wali-wali mereka yang
sah."

Menurut Abu Zahrah perkawinan dapat menghalalkan hubungan biologis antara


laki-laki dan perempuan, dengan adanya perkawinan ini maka laki-laki dan perempuan
mempunyai kewajiban dan haknya yang harus saling dipenuhi satu sama lainnya sesuai
syariat Islam.

Perkawinan berasal dari kata dasar "kawin" yang mempunyai makna bertemunya
alat kelamin laki-laki dan alat kelamin wanita yang keduanya sudah memiliki aturan hukum
yang sah dan halal sehingga dapat memperbanyak keturunan. Seperti yang dituliskan
dtuliskan dalam Firman Allah SWT:

"Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu istri-


istri dari janismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tentram kepadanya dan
dijadikan-Nya diantara mu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu
benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir. (QS. Ar-Rum ayat 21)

Penikahan adalah suatu akad yang sangat kuat atau mitsagaan ghalidzan untuk
menaati perintah Allah untuk melaksanakannya sebagai ibadah dan untuk menjalankan
Sunnah Rosul sesuai dengan Pasal 2 Kompilasi Hukum Islam (KHI). Sehingga dapat
disimpulkan bahwa perkawinan tersebut adalah perjanjian suci yang sangat kuat antara
laki-laki dan perempuan atas dasar kerelaan dan saling suka yang dilakukan oleh pihak wali
sesuai sifat dan syaratnya.10 Sehingga dapat menghalalkan kebutuhan biologis antara
keduanya dan dapat untuk meneruskan garis keturunan.

2. Rukun Nikah

Rukun merupakan hal pokok yang tidak boleh ditinggalkan atau masuk di dalam
substansi, berbeda dengan syarat yang tidak masuk ke dalam substansi dan hakikat sesuatu.
Rukun dalam pemikahan harus memperhatikan hal-hal pokoknya yang tidak boleh
ditinggalkan, sebagai berikut.

a. Wali

10
Ibid, h.113

13
Dalam sebuah pernikahan bahwa wali merupakan salah satu rukun yang harus ada.
Wali berasal dari pihak perempuan yang akan dinikahkan kepada pengantin laki-laki.
Karena kemutlakan adanya wali dalam sebuah akad nikah adalah menghalalkan kemaluan
wanita yang wanita tersebut tidak mungkin akan menghalalkan kemaluannya sendiri tanpa
adanya wali.

Salah satu rukun nikah yaitu wali juga terdapat dalam HR Abu Daud, At-Tirmidzy
dan Ibnu Majah bahwa "Wanita mana saja yang menikah tanpa izin walinya maka nikahnya
batal, batal, batal."

Adanya wali merupakan suatu yang harus ada, apabila wanita tersebut tidak mampu
menyediakan wali dari pihaknya atau seorang yang dapat menjadi hakim maka ada tiga
cara, yaitu: 1) wanita tersebut tetap tidak dapat menikah tanpa ada wall. 2) wanita tersebut
dapat menikahkan dirinya sendiri karena keadaan darurat 3) wanita menyuruh kepada
seseorang untuk menjadi wali atau mengangkat wali (hakim) untuk dirinya ketika akan
menikah menurut Imam Nawawi seperti yang telah dinukil oleh imam Mawardi.

Imam Syafi'i pernah menyatakan, "Apabila dalam suatu rombongan (dalam


perjalanan jauh) ada seorang perempuan yang tidak ada walinya, lalu ia memperwalikan
seseorang laki-laki untuk menikahkannya, maka yang demikian itu diperbolehkan. Hal ini
dapat disamakan dengan memperwalikan seseorang hakim (penguasa Negara atau pejabat
yang mewakilinya) dikala tidak terdapat seorang wali nikah yang sah."

Penikahan merupakan sesuatu yang sangat sakral sehingga untuk melakukannya


harus dilakukan yang terbaik agar dapat terlaksana.

Wali nikah pun diatur di Kompilasi Hukum Islam dalam beberapa pasal, sebagai
berikut.

Beberapa pasal tentang wali nikah salah satunya Pasal 19 yang berbunyi "wali nikah
dalam perkawinan merupakan rukun yang harus dipenuhi bagi calon mempelai wanita yang
bertindak untuk menikahkannya". Pasal 20 berbunyi "ayat (1) Yang bertindak sebagai wali
nikah ialah seorang laki-laki yang memenuhi syarat hukum Islam yakni muslim, aqil dan
baligh. Ayat (2) Wali nikah terdiri dari: a. Wali nasab; b. Wali hakim". Dan pasal 21 yang
berbunyi, ayat (1) Wali nasab terdiri dari empat kelompok dalam urutan kedudukan,
kelompok yang satu didahulukan dan kelompok yang lain sesuai erat tidaknya susunan
kekerabatan dengan calon mempelai wanita.

14
Kelompok pertama adalah kerabat laki-laki garis lurus keatas yaitu ayah, kakek dari
pihak ayah dan seterusnya. Kelompok kedua adalah kerabat saudara laki-laki kandung atau
saudara laki-laki seayah dan keturunan dari mereka. Kelompok ketiga adalah kerabat
paman yaitu saudara laki-laki kandung ayah, saudara seayah dan keturunan dari mereka.
Kelompok keempat adalah saudara laki-laki kandung kakek, suadara laki-laki seayah dan
keturunan laki-laki mereka.

Ayat (2) Apabila dalam satu kelompok wali nikah terdapat beberapa orang yang
sama-sama berhak menjadi wali, maka yang paling berhak menjadi wali ialah yang lebih
dekat derajat kekerabatannya dengan calon mempelai wanita. Ayat (3) Apabila dalam satu
kelompok sama derajat kekerabatan maka yang paling berhak menjadi wali nikah ialah
kerabat kandung dari kerabat yang seayah. Ayat (4) Apabila dalam satu kelompok, derajat
kekerabatannya sama yakni sama-sama derajat kandung atau sama-sama dengan kerabat
seayah, mereka sama-sama berhak menjadi wall nikah, dengan mengutamakan yang lebih
tua dan memenuhi syarat-syarat wali.

Pasal 22 yang berbunyi, apabila wali nikah yang paling berhak, urutannya tidak
memenuhi syarat sebagai wali nikah atau oleh karena wali nikah itu menderita tuna wicara,
tuna rungu atau sudah udzur, maka hak menjadi wali bergeser kepada wali nikah yang lain
menurit derajat berikutnya". Pasal 23 yang berbunyi, ayat (1) Wali hakim baru dapat
bertindak sebagai wali nikah apabila wali nasab tidak ada atau tidak mungkin
menghadirkannya atau tidak diketahui tempat tinggalnya atau gaib atau adial atau enggan.
Ayat (2) Dalam hal wali adlal atau enggan maka wali hakim baru dapat bertindak sebagai
wali nikah setelah ada putusan Pengadilan Agama tentang wali tersebut.11

b. Dua Orang Saksi

Rasulullah sallallahu Alaihi Wasallam bersabda: "Tidak ada nikah kecuali dengan
wali dan dua saksi yang adil. "(HR Al-Baihaqidan Ad- Asy-Syaukani dalam Nailul Athaar
berkata: "Hadist dikuatkan dengan hadits-hadits lain)"

Perkawinan harus disaksikan oleh dua orang saksi, menurut golongan syafi'i
pernikahan yang dilakukan oleh saksi apabila belum diketahui adil atau tidaknya maka akan
tetap sah. Karena pernikahan tidak semua tempat ada, di kampung, daerah terpencil
ataupun kota sehingga tidak dapat disama ratakan. Pada saat itu adil dapat dilihat dari segi

11
Ibid, h.115

15
lahiriahnya wali tidak terlihat fasik, jika terlihat fasik maka akad nikah yang telah terjadi
tidak akan terpengaruh."

Dalam penikahan hadimya seorang saksi adalah rukun yang harus dipenuhi, karena
apabila pernikahan tanpa adanya saksi maka pemikahan tersebut tidak sah. Meskipun dalam
pemikahan tersebut diumumkan kepada kalayak ramai maka pernikahan tersebut tetap tidak
sah. Berbeda dengan sebaliknya, apabila pernikahan tanpa diumumkan di kalayak ramai
tetapi terdapat saksi dalam pernikahan tersebut maka pernikahan tersebut tetap sah. Hal ini
karena saksi sangat penting untuk ke depannya apabila nanti ada sengketa antara suami dan
istri, maka saksi yang akan diminta keterangannya. Seperti dalam hadis Nabi yang artinya:
"Telah menceritakan Yusuf bin Hammad al-Mughl al-Bashri, telah menceritakan Abd al-
Ala dari Said dari Qatadah dari Jabir bin Zaid dari Ibn Abbas, sesungguhya Rasulullah
telah bersabda "Pelacur adalah perempuan-perempuan yang mengawinkan tanpa saksi".

Saksi nikah pun diatur juga di dalam Kompilasi Hukum Islam di beberapa pasal,
sebagai berikut.

Pasal 24, ayat (1) menyatakan saksi dalam perkawinan adalah rukun dalam akad
nikah. Ayat (2) pernikahan harus di saksikan oleh dua orang saksi. Pasal 25, yang ditunjuk
menjadi saksi adalah seorang laki-laki muslim, adil, aqil baligh, tidak terganggu ingatan
dan tidak tuna rungu atau tuli. Pasal 26, bahwa saksi harus hadir dan menyaksikan langsung
pemikahan tersebut dan ikut menandatangani akta nikah pada waktu dan tempat akad nikah
dilangsungkan.

c.ljab dan Qabul

Ijab qobul merupakan salah satu rukun nikah yang harus dilaksanakan, ijab
mempunyai makna penyerahan dari pihak pertama, sedangkan qobul adalah penerimaan
dari pihak kedua. ijab dari pihak wall perempuan mengucapkan: "Saya nikahkan anak saya
yang bernama si A kepadamu dengan mahar sebuah kitab Riyadhus Shalihin." Qabul
adalah penerimaan dari pihak suami dengan ucapannya, misalnya: "Saya terima nikahnya
anak Bapak yang bernama si A dengan mahar sebuah kitab Riyadhus Shalihin.

Ijab dan qabul juga diatur di dalam Kompilasi Hukum Islam dalam Pasal 27 dan
29,sebagai berikut.

Pasal 27 yang berbunyi, ljab dan kabul antara wali dan calon mempelai pria harus
jelas beruntun dan tidak berselang waktu. Pasal 29 yang berbunyi, ayat (1) yang

16
mengucapkan qobul adalah calon mempelai laki-laki sendiri. (2) qobul dalam hal tertentu
dapat diwakilkan kepada pihak lain dengan syarat mempelai laki-laki memberikan kuasa
secara tegas dan tertulis untuk mewakilkannya. (3) apabila calon mempelai wanita atau
walinya keberatan jika dikuasakan maka pernikahan tidak dapat berlangsung.

d. Calon Suami

Syarat sah menikah adalah ada mempelai laki-laki, seorang laki-laki telah
memenuhi persyaratan yang disebutkan oleh Imam Zakaria al-Anshari dalam Fathul Wahab
bi Syarhi Minhaj al-Thalab (Beirut: Dar al-Fikr), juz II, hal. 42: "Syarat calon suami ialah
halal menikahi calon istri yakni Islam dan bukan mahram, tidak terpaksa, ditertentukan, dan
tahu akan halalnya calon istri baginya

Dan dilarang untuk memperistri perempuan yang haram untuk dinikahi seperti
pertalian nasab, pertalian kerabat semenda, pertalian sesusuan dan wanita tersebut masih
terikat dengan pernikahannya, seorang wanita dalam masa iddah dan seorang wanita yang
tidak beragama islam dan seorang pria dilarang menikah dengan wanita apabila pria
tersebut sedang mempunyai 4 (empat) orang istri dengan seorang wanita bekas istrinya
yang ditalak tiga kali dan dengan seorang wanita bekas istrinya yang dili an. Dan itu semua
sudah diatur juga di dalam Kompilasi Hukum Islam juga dalam Pasal 39-43.

e. Calon Istri

Calon istri adalah rukun yang harus dipenuhi, wanita yang masih terdapat pertalian
darah, hubungan sepersusuan atau kemertuaan haram untuk dinikahi. Diatur pasal 44
Kompilasi Hukum Islam, bahwa wanita Islam dilarang menikah dengan pria yang tidak
beragama Islam.12

3. Syarat Perkawinan Menurut Hukum Islam

Syarat merupakan dasar yang harus dipenuhi untuk menentukan sah atau tidaknya,
Seperti halnya syarat dalam perkawinan juga harus dipenuhi karena akan menimbulkan
kewajiban dan hak suami istri untuk menjalin kehidupan rumah tangga kedepannya. Syarat
ini harus dipatuhi oleh kedua mempelai dan keluarga mempelai. Apabila ada syarat yang
tidak ada maka akad akan rusak. Syarat nikah ada tiga yaitu adanya persaksian, bukan
mahrom dan adanya akad nikah.

12
Ibid, h.117

17
Akad nikah merupakan hal pokok yang mengharuskan adanya saksi yang hukumnya
sah menurut syariat. Saksi dalam pernikahan bertujuan untuk mengingat agar tidak lupa di
kemudian hari.

Selanjutnya. Syarat keharusan nikah maksudnya syarat-syarat yang menimbulkan


keberlangsungan dan kontinuitas pernikahan dan tidak ada pilihan bagi salah satunya untuk
menghindarinya. Jika salah satu dari syarat tersebut cacat, rusaklah akad. Para Fuqaha'
mempersyaratkan keharusan akad nikah dengan beberapa syarat.

Adapun syarat dalam akad nikah harus memenuhi beberapa syarat, yaitu :

a. Orang yang menjadi wali adalah orang yang tidak ada atau kurang keahlian salah satu
dari pihak orang tua atau anak.

b. Wanita baligh dan berakal, menikahkan dirinya sendiri tanpa adanya wall, adapun hak
wali dalam akad ada dua syarat, yaitu suami harus sekufu atau tidak lebih rendah
kondisinya dari wanita, dan mahar akad sebesar mahar mitsil atau kurtang dari mahar mitsil
apabila wali ridho.

c. Tidak adanya penipuan dari masing-masing pihak.

d. Tidak ada cacat sehingga dari pihak suami yang memperbolehkan faskh seperti penyakit
kritis berbahaya"

4. Hukum Pernikahan atau Perkawinan dalam Islam

Hukum pernikahan memilki dua makna yaitu sifat syara' pada sesuatu (seperti
wajib. haram makruh, sunnah dan mubah), dan akibat yang ditimbulkan sesuatu menurut
syara'. Dalam hukum pemikahan ini, suami mempunyai kewajiban terhadap mahar dan
nafkah terhadap istri, sedangkan istri mempunyai kewajiban untuk taat pada suami dan
menjaga pergaulan dengan baik.

Hukum taklifi atau pembebanan adalah hukum yang ditetapkan syara' apakah
dituntut mengerjakan atau tidak. Pemikahan itu lebih dari sekedar urusan kepentingan
pribadi, tetpi juga untuk beribadah, melindungi wanita, memperbanyak keturunan dan umat
serta menjalankan sunah Rasul.

Sedangkan secara rinci hukum pernikahan yaitu:

18
1. Wajib

Wajib apabila sesorang telah mampu baik fisik maupun finansial, apabila tidak
segera menikah dikhawatirkan berbuat zina.

2. Sunnah

Apabila nafsunya telah mendesak dan mempunyai kemampuan menikah tetapi


masih dapat menahan diri.

3. Makruh

Bagi orang yang lemah syahwat dan tidak mampu menafkahi istrinya

4. Mubah

Orang yang hendak menikah tetapi masih mampu menahan nafsuya dari zina dan
dia belum berniat untuk segera menikah dan mempunyai anak.

5. Haram

Haram hukumnya apabila menikah akan merugikan istrinya dan tidak mampu
menaikani baik lahir maupun batin.13

Pencatatan Perkawinan dan Hak Keperdataan Istri dan Anak Sahnya perkawinan
dan pencatatan perkawinan terdapat pada Pasal 2 UU Perkawinan yang berbunyi, ayat (1)
perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing masing agamanya dan
kepercayaannya itu, ayat (2) Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-
undangan yang berlaku. Pasal 5 ayat (1) dan ayat (2) berbunyi agar terjamin ketertiban
perkawinan bagi masyarakat Islam setiap perkawinan harus dicatat dalam Pencatatan
Pekawinan tersebut pada ayat (1) dilakukan oleh pegawai Pencatat Nikah sebagaimana
yang diatur dalam Undang-undang no.22 tahun 1946 jo. Undang-undang no.32 tahun 1954.

Dalam peraturan undang-undang no.22 tahun 1946 terus diabadikan dalam UUP
no.1 tahun 1974 yang menyatakan bahwa perkawinan dianggap sah apabila dicatatkan di
hadapan petugas resmi pencatatan sesuai syarat dan ketentuan. Pencatatan perjanjian
perkawinan di atas kertas termasuk masih asing dan baru dalam peraturan keluarga Islam.

13
Ibid, h.119

19
Masih didiskusikan tentang kesaksian yang dibutuhkan dalam ijab qobul dan tidak
membahas perlunya mencatat perjanjian perkawinan.

Pencatatan perkawinan dianjurkan karena mempunyai manfaat yaitu mengurangi


limbulnya kemudaratan bagi kedua belah pihak dan keturuanannya kelak. Dengan adanya
pencatatan perkawinan akan menguatkan tegaknya syariat islam, dan apabila tidak
dilaksanakan maka perkawinan tersebut akan fasid. Selama pencatatan perkawinan tidak
bertentangan dengan syariat Islam maka pencatatan tersebut dianjurkan.

Perkawinan yang tidak dilakukan pencatatan maka akan merugikan pihak


perempuan ataupun keturunannya kelak. Karena jika tidak di catatkan maka pihak dari istri
yang berpisah dengan suami tidak memiliki bukti dokumen kuat secara hukum. Sementara
untuk keturunannya juga akan kesulitan apabila memerlukan dokumen hukum.

Perkawinan yang tidak dicatatkan akan memberikan dampak negatif bagi istri,"
yaitu: 1) Terhadap istri, perkawinan yang tidak dicatatkan ini berdampak sangat merugikan
bagi istri dan perempuan. Dari segi hukum istri tidak dianggap sebagai istri yang sah,
dengan demikian istri tidak berhak atas nafkah dan warisan dari suami jika suami
meninggal dunia. Dari segi sosial, istri akan sulit bersosialisasi karena perempuan yang
melakukan perkawinan bawah tangan sering dianggap telah tinggal serumah dengan laki-
laki tanpa ikatan perkawinan (alias kumpul kebo) atau anda dianggap menjadi istri
simpanan. 2) Terhadap suami tidak begitu merugikan justru akan menguntungkan untuk
pihaj suami karena bebas untuk menikah lagi, karena perkawinan sebelumnya yang di
bawah tangan dianggap tidak sah dimata hukum. 3) Terhadap anak, tidak sahnya
perkawinan bawah tangan menurut hukum negara memiliki dampak negatif bagi status
anak yang dilahirkan di mata hukum, yaitu:

A) Status anak yang dilahirkan akan dianggap sebagai anak yang tidak sah karena
tidak ada anak hanya akan meimiliki hubungan perdata dengan ibunya dan tidak
dengan ayahnya.

B) Status anak di muka hukum tidak jelas, mengakibatkan hubungan antara ayah
dan anak tidak kuat,

C) Anak tidak berhak atas biaya kehidupan dan pendidikan, nafkah dan warisan dari
ayahnya.

20
Perkawinan di bawah tangan akan sangat merugikan terutama untuk pihak istri dari
segi hak dan kewajiban apabila sampai terjadi perceraian. Perkawinan di bawah tangan
apabila sampai terjadi perceraian maka istri tidak akan mendapatkan hak apapun.
Sementara perkawinan yang tercatat apabila sampai terjadi perceraian maka untuk hak dan
kewajibannya akan tetap sama.14

Perkawinan yang tidak tercatat atau yang tidak dapat dibuktikan dengan surat nikah,
tidak mempunyai akibat hukum apapun. Artinya jika suami atau istri tidak memenuhi
kewajibannya. maka salah satu pihak tidak dapat menuntut apapun ke pengadilan, baik
mengenai nafkah termasuk kedua anaknya atau harta bersama yang mereka peroleh selama
perkawinan berlangsung. Bahkan jika salah satu pihak meninggal dunia (suami/istri) maka
ia tidak dapat mewaris dari si istri atau suaminya itu. Perkawinan dibawah tangan atau tidak
tercatat ini risiko hukumnya sangat tinggi dan sangat merugikan kaum perempuan terutama
pada anak-anak yang telah dilahirkan. Meskipun masalah pencatatan perkawinan telah
tersosialisasikan dalam Pasal 2 ayat (2) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang
Perkawinan dan Kompilasi Hukum Islam Pasal 5 ayat (1) dan ayat (2), akan tetapi sampai
saat ini masih terdapat kendala dalam pelaksanaannya. Hal ini mungkin sebagian
masyarakat musim masih ada yang berpegang teguh kepada perspektif fikih tradisional.
Menurut pemahaman sebagian masyarakat bahwa perkawinan sudah sah apabila ketentuan-
ketentuan yang tersebut dalam kitab-kitab fikih sudah terpenuhi, tidak perlu ada pencatatan
di Kantor Urusan Agama dan tidak perlu surat nikah sebab hal itu tidak diatur pada zaman
Rasulullah dan merepotkan saja.

Tentang Hal Baligh

Para Ulama Mazhab sepakat bahwa haidh dan hamil merupakan bukti ke-baligh
an seorang wanita. Hamil terjadi karena terjadinya pembuahan ovum oleh sperma,
sedangkan haidh kedudukannya sama dengan mengeluarkan sperma bagi laki-laki.

Imamiyah, Maliki, Syafi'i dan Hambali mengatakan: tumbuhnya bulu-bulu ketiak


merupakan bukti baligh-nya seseorang. Sedangkan Hanafi menolaknya, sebab bulu-bulu
ketiak itu tidak ada bedanya dengan bulu-bulu lain yang ada pada tubuh.

Syafi'i dan Hambali menyatakan: usia baligh untuk anak laki-laki dan perempuan adalah
lima belas tahun, sedangkan Maliki menetap kannya tujuh belas tahun. Sementara itu

14
Ibid, h.120

21
Hanafi menetapkan usia baligh bagi anak laki-laki adalah delapan belas tahun, sedangkan
nak perempuan tujuh belas tahun. (Lihat Ibn Qudamah, Al-Mughni, jilid IV).

Adapun Imamiyah, maka mazhab ini menetapkan usia baligh anak laki-laki adalah
lima belas tahun, sedangkan anak perempuan sembilan tahun, berdasarkan hadis Ibnu Sinan
berikut ini:

ْ ‫اريَةُ تِ ْس َع ِسنِينَ َدفَ َع ِإلَ ْيهَا َمالَهَا َو َجازَ َأ ْم ُرهَا ٌو ُأقِي َم‬
‫ت ْال ُحدُو ُـد الثَّا َّمةُ لَهَا َو َعلَ ْيهَا‬ ِ ‫َت ْال َج‬
ْ ‫ِإ َذا بَلَغ‬

Apabila anak perempuan telah mencapai usia sembilan tahun, maka hartanya
diserahkan kepadanya, urusannya dipandang boleh, dan hukum pidana dilakukan atas
haknya dan terhadap dirinya secara penuh.

Sementara itu, pengalaman membuktikan bahwa kehamilan bisa terjadi pada anak gadis
usia sembilan tahun, sedangkan kemampuan untuk hamil dipandang sepenuhnya sama
dengan hamil itu sendiri.

Catatan:

Pendapat Hanafi dalam hal usia baligh di atas adalah batas mak simal, sedangkan
usia minimalnya adalah dua belas untuk anak laki laki, dan sembilan tahun untuk anak
perempuan. Sebab pada usia tersebut seorang anak laki-laki dapat mimpi mengeluarkan
sperma, menghamili atau mengeluarkan mani (di luar mimpi), sedang pada anak
perempuan dapat mimpi keluar sperma, hamil, atau haidh. (Lihat In 'Abidain, jilid V, 1326
H, hal. 100).a

Tetapi jika dilihat dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) tentang batas minimal usia
perkawinan Pasal 7 yang terjadi perubahan pada 14 Oktober 2019 yang berbunyi sebagai
berikut.15

Pasal 7
15
Jawad Mughniyah, Muhammad, “ Fiqih Lima Mazhab”, (Jakarta : Penerbit Lentera, 2008)

22
(1) Perkawinan hanya diizinkan apabila pria dan wanita sudah mencapai umur 19
(sembilan belas) tahun.

(2) Dalam hal terjadi penyimpangan terhadap ketentuan umur sebagaimana dimaksud
pada ayat (1), orang tua pihak pria dan/atau orang tua pihak wanita dapat meminta
dispensasi kepada Pengadilan dengan alasan sangat mendesak disertai bukti-bukti
pendukung yang cukup.

(3) Pemberian dispensasi oleh Pengadilan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) wajib
mendengarkan pendapat kedua belah calon mempelai yang akan melangsungkan
perkawinan.

(4) Ketentuan-ketentuan mengenai keadaan seorang atau kedua orang tua calon
mempelai sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (3) dan ayat (4) berlaku juga
ketentuan mengenai permintaan dispensasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dengan
tidak mengurangi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (6).”16

Kesimpulan

Ketiga ayat ini sama-sama menganjurkan pernikahan dengan dalih da kebaikannya


masing-masing. Menurut istilah hukum Islam, pernikahan adalah akad yang ditetapkan
syara‟ untuk membolehkan bersenang-senang antara laki-laki dengan perempuan dan
menghalalkan bersenang-senangnya perempuan dengan laki-laki.

Hukum asal perkawinan adalah mubah (boleh). Namun berdasarkan „illat-nya atau
dilihat dari segi kondisinya, maka perkawinan tersebut dapat berubah hukumnya menjadi

16
Kompilasi Hukum Islam Pasal 7 (14 Oktober 2019)

23
wajib, sunnah, makruh, haram dan mubah.

Menurut Undang-undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 dalam Pasal 1


menyebutkan bahwa perkawinan ialah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan
seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga)
yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. 17 Sedangkan pengertian
Perkawinan menurut Kompilasi Hukum Islam (KHI) adalah akad yang sangat kuat atau
mitsaqan ghalidhan untuk mentaati perintah Allah dan melaksanakannya merupakan
ibadah.

17

24
DAFTAR PUSTAKA

Agama RI Departemen, al-qur’an dan tafsirnya (edisi yang disempurnakan) jilid II,
(Jakarta: Lentera Abadi, 2010)

Agama RI Departemen, al-qur’an dan tafsirnya (edisi yang disempurnakan) jilid VI,
(Jakarta: Lentera Abadi, 2010)

Agama RI Departemen, al-qur’an dan tafsirnya (edisi yang disempurnakan) jilid III,
(Jakarta: Lentera Abadi, 2010)

Aisyah Ayu Musyafah, Perkawinan Dalam Perspektif Filosofis Hukum Islam, Jurnal
Crepido, Volume 02, Nomor 02, November 2020,

Jawad Mughniyah, Muhammad, “ Fiqih Lima Mazhab”, (Jakarta : Penerbit Lentera,


2008)

Kompilasi Hukum Islam Pasal 7 (14 Oktober 2019)

25

Anda mungkin juga menyukai