Anda di halaman 1dari 23

KONSEP TASAMUH DAN TA’AWUN DALAM

AL-QUR’AN

MAKALAH
Disampaikan untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Tafsir Sosial Politik
Dosen Pengampu: Dr. Mukhlis Najmuddin

Disusun Oleh:
Nurul Hikmah Amir
30156120011

Kelas UQ-1
Semester 5

PROGRAM STUDI ILMU AL-QUR’AN DAN TAFSIR


JURUSAN USHULUDDIN, ADAB, DAN DAKWAH
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI MAJENE
TAHUN AJARAN 2022/2023
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan atas kehadirat Allah ‫ ﷻ‬yang telah memberikan
rahmat, hidayah, dan karunia-Nya kepada penulis sehingga penulis dapat
menyelesaikan penyusunan makalah ini untuk memenuhi tugas mata kuliah Tafsir
Sosial Politik. Shalawat dan salam kepada Nabi Muhammad ‫ ﷺ‬yang telah
membawa umat Islam kepada ridha Allah ‫ﷻ‬.

Penulis mengucapkan terima kasih kepada pihak-pihak yang telah


membantu dalam penulisan makalah ini. Penulis berharap makalah ini dapat
menjadi referensi tambahan bagi para pembaca, khususnya terkait dengan tema-
tema tafsir sosial politik. Penulis menyadari bahwa makalah ini masih belum
sempurna. Oleh karena itu, kritik dan saran dari semua pihak, penulis harapkan
demi perbaikan makalah ini.

Majene, 31 Desember 2022

Penulis

i
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL
KATA PENGANTAR ......................................................................................... i

DAFTAR ISI ...................................................................................................... ii

BAB I PENDAHULUAN ................................................................................... 1

A. Latar Belakang Masalah ...................................................................................... 1

B. Rumusan Masalah ............................................................................................... 1

C. Tujuan Penulisan ................................................................................................. 1

BAB II PEMBAHASAN .................................................................................... 2

A. Tasamuh .............................................................................................................. 2

B. Ta’awun .............................................................................................................. 7

BAB III PENUTUP .......................................................................................... 19

A. Kesimpulan ....................................................................................................... 19

B. Saran ................................................................................................................. 19

DAFTAR PUSTAKA ....................................................................................... 20

ii
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Secara kodrati, manusia adalah makhluk yang memiliki kecenderungan
untuk hidup dalam kebersamaan dengan yang lain untuk belajar hidup sebagai
manusia.1 Sebagai makhluk sosial, naluri untuk saling menolong dan saling
menghargai, serta naluri simpati dan empati tentu dimiliki oleh setiap manusia.
Naluri tersebutlah yang akan menciptakan keharmonisan dan kerukunan dalam
kehidupan masyarakat.

Manusia diciptakan berbangsa-bangsa dan bersuku-suku, berbeda warna


kulit, berbeda bahasa, serta budaya. Kemajemukan ini tentu akan menimbulkan
perselisihan jika salah dalam menyikapinya. Perbedaan yang tidak disikapi dengan
baik dapat menimbulkan perpecahan bahkan permusuhan di dalam masyarakat.
Sikap saling menghargai (tasamuh) serta sikap saling tolong menolong (ta’awun)
merupakan sikap terbaik dalam menyikapi perbedaan tersebut.

Dalan membangaun keharmonisan hubungan sosial dan untuk memenuhi


kebutuhan-kebutuhan manusia, kedua sikap tersebut menjadi suatu konsep yang
diajarkan dalam Islam. Hal inilah yang menjadi kajian utama dalam makalah ini.

B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana konsep tasamuh dalam al-Qur’an?
2. Bagaimana konsep ta’awun dalam al-Qur’an?

C. Tujuan Penulisan
1. Untuk mengetahui konsep tasamuh dalam al-Qur’an.
2. Untuk mengetahui konsep ta’awun dalam al-Qur’an.

1
Galuh Widitya Qomaro dan Armyza Oktasari, Manifestasi Konsep Ta’awun dalam
Zaakwaarneming Perspektif Hukum Perikatan, Et-Tijarie, Vol. 5 No. 1, 2018, hlm 12.

1
BAB II
PEMBAHASAN
A. Tasamuh
1. QS. Al-Hujurat Ayat 13

َ ‫َيَٰٓأ َ ُّي َها ٱل َّناس ِإ َّنا َخلَ ْقنَكم مِن ذَك ٍَر َوأنثَى َو َج َع ْلنَك ْم شعوبًا َوقَ َبا َٰٓ ِئ َل ِلت َ َع‬
ِ َّ ‫ارف َٰٓو ۟ا ۚ ِإ َّن أ َ ْك َر َمك ْم عِندَ ٱ‬
‫ّلل‬
‫ير‬
ٌ ِ‫علِي ٌم َخب‬ َ َّ ‫أَتْقَىك ْم ۚ إِ َّن ٱ‬
َ ‫ّلل‬

Artinya: Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu


dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu
berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-
mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu di sisi
Allah ialah orang yang paling taqwa di antara kamu. Sesungguhnya
Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal.
Sebab turunnya QS. al-Hujurat: 13, diriwayatkan oleh Ibnu Abi Ḥatim
al-Ḥakim yang bersumber dari Ibnu Abi Mulaikah, dia mengemukakan:
“Ketika Fatḥu Makkah (penaklukan kota Makkah), Bilal naik ke atas
Ka’bah untuk mengumandangkan adzan. Beberapa orang berkata: “Apakah
pantas budak hitam ini adzan di atas Ka’bah?”, maka berkatalah yang
lainnya: “Sekiranya Allah membenci orang ini, pastilah Dia akan
menggantikannya”. Ayat ini turun sebagai penegasan bahwa dalam Islam
tidak ada diskriminasi, yang paling mulia adalah yang paling bertaqwa. 2

Ibnu ‘Asakir meriwayatkan dalam Kitab Mubhamat-nya (yang ditulis


tangan oleh Ibnu Basykuwai), yang bersumber dari Abu Bakr bin Abi
Dawud di dalam tafsirnya, mengemukakan bahwa ayat ini turun berkenaan
dengan Abu Hind yang dikawinkan oleh Rasulullah kepada seorang wanita
Banıi Bayaḍah. Bani Bayaḍah berkata: “Wahai Rasulullah, pantaskah kalau
kami mengawinkan putri-putri kami kepada bekas-bekas budak kami?”
Ayat ini turun sebagai penjelasan bahwa dalam Islam tidak ada perbedaan
antara bekas budak dan orang merdeka.3

2
Ade Jamaruddin, Membangun Tasamuh Keberagaman dalam Perspektif Al-Qur’an,
Toleransi: Media Komunikasi Umat Beragama, Vol. 8 No. 2, 2016, hlm. 173.
3
Ade Jamaruddin, Membangun Tasamuh Keberagaman dalam Perspektif Al-Qur’an, hlm.
173.

2
Kata syu'ub (‫ )شعوب‬merupakan kata benda bentuk jamak dari kata sya'b.
Kata benda ini diambil dari kata kerja sya'aba-yasy'abu-sya'bun yang
berarti berpisah/bercerai-berai, bersatu, merusak, memperbaiki. Ditinjau
dari segi bahasa, menurut Ibnu Faris, kata yang terdiri dari huruf syin, 'ain
dan ba', memunyai arti yang berlawanan, berpisah dan berkumpul/bersatu,
memperbaiki dan merusak. Dari segi terminologi, Majma'ul-Lughatul-
'Arabiyah mendefinisikan sya'b sebagai kelompok besar manusia yang
berasal dari satu bapak, mematuhi satu pranata sosial, serta menggunakan
satu bahasa."4

2. Tafsir5
a. Tafsir Al-Muyassar / Kementerian Agama Saudi Arabia

Wahai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kalian dari satu


bapak, yaitu Adam dan satu ibu yaitu Hawwa. Maka janganlah merasa
lebih utama di antara sebagian kalian atas sebagian yang lain dari sisi
nasab. Kami menjadikan kalian berbangsa-bangsa dan bersuku-suku
melalui proses berketurunan, agar sebagian dari kalian mengenal
sebagian yang lain. Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara
kalian di sisi Allah adalah yang paling bertakwa kepada Allah.
Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui orang-orang yang bertakwa dan
Maha teliti terhadap mereka.

b. Tafsir as-Sa'di / Syaikh Abdurrahman bin Nashir as-Sa'di

Allah memberitahukan bahwa Dia menciptakan anak cucu Adam


dari asal usul dan diri yang satu, semua keturunan Adam berasal dari
lelaki dan perempuan yang silsilah semuanya merujuk pada Adam dan
Hawa. Allah mengembangbiakkan dari keduanya lelaki dan perempuan
yang banyak, mereka kemudian disebar dan dijadikan “berbangsa-

4
M. Quraish Shihab, Ensiklopedia Al-Qur’an Kajian Kosakata, (Jakarta: Lentera Hati,
2007), Cet. III, hlm. 959.
5
TafsirWeb, https://tafsirweb.com/9783-surat-al-hujurat-ayat-13.html diakses pada tanggal
31 Desember 2022.

3
bangsa dan bersuku-suku,” yakni suku-suku yang besar dan kecil. Yang
demikian itu bertujuan agar saling mengenal satu sama lain, sebab andai
masing-masing orang menyendiri, tentu tidak akan tercapai tujuan
saling mengenal satu sama lain yang bisa menimbulkan saling tolong
menolong, bahu-membahu, saling mewarisi satu sama lain serta
menunaikan hak-hak kerabat.

Adanya manusia dijadikan berbangsa-bangsa dan bersuku-suku


bertujuan agar berbagai hal positif tersebut bisa terwujud yang
bergantung pada proses saling mengenal satu sama lain serta pemaduan
nasab. Namun ukuran kemuliaan di antara mereka adalah takwa. Orang
yang paling mulia di antara sesama adalah yang paling bertakwa kepada
Allah, paling banyak melakukan ketaatan serta paling mampu mencegah
diri dari kemaksiatan, bukan yang paling banyak kerabat serta kaumnya,
atau yang keturunannya paling terpandang (karena level sosial).

Dan mengenai semua itu Allah “Maha Mengetahui lagi Maha


Mengenal.” Allah mengetahui siapa di antara mereka yang bertakwa
kepada Allah baik secara lahir maupun batin, serta siapa di antara
mereka yang tidak menunaikannya, baik secara lahir maupun batin.
Masing-masing akan diberi balasan yang sesuai.

c. Tafsir Ringkas Kementrian Agama RI


Ayat ini menjelaskan tata krama dalam hubungan antara manusia
pada umumnya, sehingga ditujukan kepada manusia pada umumnya.
Wahai manusia! Sungguh, Kami telah menciptakan kamu dari seorang
laki-laki dan seorang perempuan, yakni berasal dari keturunan yang
sama yaitu Adam dan Hawa. Semua manusia sama saja derajat
kemanusiaannya, tidak ada perbedaan antara satu suku dengan suku
lainnya. Kemudian Kami jadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-
suku agar kamu saling mengenal dan dengan demikian saling membantu
satu sama lain, bukan saling mengolok-olok dan saling memusuhi antara
satu kelompok dengan lainnya. Allah tidak menyukai orang yang

4
memperlihatkan kesombongan dengan keturunan, kekayaan atau
kepangkatan karena sungguh yang paling mulia di antara kamu di sisi
Allah ialah orang yang paling bertakwa. Karena itu berusahalah untuk
meningkatkan ketakwaan agar menjadi orang yang mulia di sisi Allah.
Sungguh, Allah Maha Mengetahui segala sesuatu baik yang lahir
maupun yang tersembunyi, Mahateliti sehingga tidak satu pun gerak-
gerik dan perbuatan manusia yang luput dari ilmu-Nya.

3. Konsep Tasamuh
Dalam bahasa Arab, istilah yang lazim dipergunakan sebagai padanan
dari kata toleransi adalah ‫ سماحة‬atau ‫ تسامح‬yang berarti kemuliaan, lapang
dada, ramah, dan suka memaafkan. Berbeda dengan kata toleransi yang
mengandung nuansa keterpaksaan, maka kata tasamuh memiliki
keutamaan, karena melambangkan sikap yang bersumber pada kemuliaan
diri (al-jud wa al-karam) dan keikhlasan.6 Ibnu Faris dalam kamus Maqayis
al-Lughah mengatakan bahwa kata yang terdiri dari huruf (‫ ) س – م – ح‬dalam
bahasa Arab mengandung makna kelonggaran dan kemudahan.7

W.J.S Poerwadarminto menyatakan toleransi adalah sikap atau sifat


menenggang berupa menghargai serta membolehkan suatu pendirian,
pendapat, pandangan, kepercayaan maupun yang lainnya yang berbeda
dengan pendirian sendiri. 8

Tasamuh mengarah kepada sikap terbuka dan mau mengakui adanya


berbagai macam perbedaan, baik dari sisi suku bangsa, warna kulit, bahasa,
adat-istiadat, budaya, bahasa, serta agama. Ini semua merupakan fitrah dan
sunnatullah yang sudah menjadi ketetapan Tuhan. 9 Tasamuh dalam

6
Bustanul Arifin, Implikasi Prinsip Tasamuh (Toleransi) dalam Interaksi Antar Umat
Beragama, Fikri, Vol. 1 No. 2, 2016, hlm. 397.
7
Tarmazi M. Jakfar, Perspektif Al-Qur’an dan Sunnah tentang Toleransi, Substantia, 2016,
hlm. 56.
8
Bustanul Arifin, Implikasi Prinsip Tasamuh (Toleransi) dalam Interaksi Antar Umat
Beragama, hlm. 397.
9
Ade Jamaruddin, Membangun Tasamuh Keberagaman dalam Perspektif Al-Qur’an, hlm.
173.

5
beragama bukan berarti kita hari ini boleh bebas menganut agama tertentu
dan esok hari kita menganut agama yang lain atau dengan bebasnya
mengikuti ibadah dan ritualitas semua agama tanpa adanya peraturan yang
mengikat. Akan tetapi, toleransi beragama harus dipahami sebagai bentuk
pengakuan kita akan adanya agama-agama lain selain agama kita dengan
segala bentuk sistem, dan tata cara peribadatannya dan memberikan
kebebasan untuk menjalankan keyakinan agama masing-masing.10

Selain itu toleransi mempunyai unsur-unsur yang harus ditekankan


dalam mengekspresikannya terhadap orang lain. Unsur-unsur tersebut
adalah11:

1) Memberikan Kebebasan atau Kemerdekaan


2) Mengakui Hak Setiap Orang
3) Menghormati Keyakinan Orang Lain
4) Saling Mengerti

Secara tekstual, QS.Al-Hujurat ayat 13 memang tidak menyebutkan


kata tasamuh. Namun, diciptakannya manusia dengan beragam bangsa dan
suku agar saling mengenal menunjukkan adanya konsep saling menghargai.
Konsep ini juga bisa dilihat dari asbabun nuzul ayat, sebagaimana yang
telah dijelaskan sebelumnya. Konsep tasamuh dalam ayat ini lebih kepada
bentuk menghargai kemajemukan manusia yang memang Allah ciptakan
sedari awal.

Ayat-ayat lain yang juga menunjukkan konsep tasamh dalam beragama


adalah QS. Al-Kafirun ayat 1-6. Dalam surah ini, sangat jelas bentuk
toleransi dalam beragama di mana setiap umat beragama tidak saling
mencampuri urusan agama satu sama lain. Masing-masing menjalankan

10
Ade Jamaruddin, Membangun Tasamuh Keberagaman dalam Perspektif Al-Qur’an, hlm.
174.
11
Ninik Yusrotul Ula, Konsep Pendidikan Tasamuh dalam Mewujudkan Islam Rahmatan
Lil ‘Alamin di Pondok Pesantren Tebuireng Jombang, (Malang: UIN Maulana Malik Ibrahim,
2017), hlm. 21-24.

6
agamanya tanpa perlu mengikuti ibadah agama lain. Inilah toleransi yang
sebenarnya, bukan justru dengan ikut beribadah dengan agama lain.

B. Ta’awun
1. QS. Al-Maidah Ayat 2

َٰٓ َ ‫ْى َو ََل ٱ ْلقَلََٰٓئِدَ َو‬


َ‫َل َءآَٰمِينَ ٱ ْلبَيْت‬ َ ‫ام َو ََل ٱ ْل َهد‬
َ ‫ش ْه َر ٱ ْل َح َر‬ ِ َّ ‫شعََٰٓئ َِر ٱ‬
َّ ‫ّلل َو ََل ٱل‬ َ ‫وا‬ ۟ ‫يََٰٓأَيُّ َها ٱلَّذِينَ َءا َمن‬
۟ ُّ‫وا ََل تحِ ل‬
‫شنَـَٔان قَ ْو ٍم أَن‬ َ ‫وا ۚ َو ََل يَج ِْر َمنَّك ْم‬ ۟ ‫طاد‬ َ ‫ص‬ ْ ‫ام يَ ْبت َغونَ فَض ًًْل مِن َّربِ ِه ْم َو ِرض َْونًا ۚ َوإِذَا َحلَ ْلت ْم فَٱ‬ َ ‫ٱ ْل َح َر‬
‫علَى ٱ ْ ِْلثْ ِم‬ ۟ ‫اون‬
َ ‫وا‬ َ ‫علَى ٱ ْل ِب ِر َوٱلت َّ ْق َوى ۖ َو ََل ت َ َع‬ ۟ ‫اون‬
َ ‫وا‬ ۟ ‫ع ِن ٱ ْل َمس ِْج ِد ٱ ْل َح َر ِام أَن ت َ ْعت َد‬
َ ‫وا ۘ َوت َ َع‬ َ ‫صدُّوك ْم‬ َ
ِ ‫شدِيد ٱ ْل ِعقَا‬
‫ب‬ َ َّ ‫ّلل ۖ ِإ َّن ٱ‬
َ ‫ّلل‬ ۟ ‫َوٱ ْلعد َْو ِن ۚ َوٱتَّق‬
َ َّ ‫وا ٱ‬

Artinya: Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu melanggar


syi'ar-syi'ar Allah, dan jangan melanggar kehormatan bulan-bulan haram,
jangan (mengganggu) binatang-binatang had-ya, dan binatang-binatang
qalaa-id, dan jangan (pula) mengganggu orang-orang yang mengunjungi
Baitullah sedang mereka mencari kurnia dan keridhaan dari Tuhannya dan
apabila kamu telah menyelesaikan ibadah haji, maka bolehlah berburu. Dan
janganlah sekali-kali kebencian(mu) kepada sesuatu kaum karena mereka
menghalang-halangi kamu dari Masjidilharam, mendorongmu berbuat
aniaya (kepada mereka). Dan tolong-menolonglah kamu dalam
(mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam
berbuat dosa dan pelanggaran. Dan bertakwalah kamu kepada Allah,
sesungguhnya Allah amat berat siksa-Nya.
Beberapa term tolong menolong dalam al-Qur’an yaitu 12; Pertama,
‫ تعاون‬yang berasal dari kata al-‘aun, jamaknya al-a’wan. Kata ini dengan
semua bentuk derivasinya memiliki arti tolong/pertolongan atau bantuan.
Adapun huruf alif dalam lafadz ta’awun menunjukkan makna li al-
musyarakat yang berarti saling tolong menolong. Kata yang merupakan
bentukan dari al-‘aun dalam al-Qur’an ada tujuh kata yaitu ،‫ اعينوني‬،‫اعانه‬
‫ والمستعان‬،‫ عوان‬،‫ استعينوا‬،‫ نستعين‬،‫تعاونوا‬.

Kedua, ‫ نصر‬yang juga berarti pertolongan. Menurut kitab Fath ar-


Rahmân Fî Tafsîr Al-Qur’an ada tujuh kata yang merupakan derivasi atau
musytaq dari pada kata nashara yaitu:

12
Muhammad Kamil Mukhtar, Wawasan Al-Qur’an Tentang Tolong Menolong Perspektif
Syekh Nawawi Al-Bantani, (Jakarta: Intstitut PTIQ, 2017), hlm. 44-55.

7
‫ ينصرن‬،‫ انصارى‬،‫ منتنصر‬،‫ منصورا‬،‫ النصير‬،‫ ينصر‬،‫نصروا‬

Dari tujuh kata tersebut di atas semuanya terdapat dalam al-Qur’an yang
berbeda-beda.

Ketiga, ‫اولياء‬. Kata walî dan auliyâ dalam al-Qur’an, tidak pernah berdiri
sendiri dan lepas dari konteks, berbagai makna yang muncul adalah akibat
dari berfungsinya kata tersebut dalam ayat. Kata Walî (‫ )ولي‬berasal dari akar
kata ( ‫ ولى‬waw, lam, dan ya’) yang berarti dekat. Bentuk jama’ dari walî
(‫ )ولي‬adalah auliyâ (‫ )اولياء‬Dari akar kata inilah kata-kata seperti ( ‫يلى – ولى‬
walâ yalî ) yang berarti dekat dengan, mengikuti, ( ‫ ولى‬walla) memiliki arti
menguasai, menolong, mencintai, ( ‫ أولى‬aulâ) memiliki arti yang
menguasakan, mempercayakan, berbuat, ( walan ‫ )وَل‬berarti menolong,
membantu, bersahabat, (‫ تولى‬tawallâ) berarti menetapi, mengurus,
menguasai, ( ‫ إستولى عليه‬istaulâ ‘alaih) berarti memiliki, menguasai, ( ‫األولى‬
al-aulâ) berarti yang pâling berhak dan paling layak, (‫ و َلء‬wallâ’an)
memiliki arti berpaling dari, meninggalkan, dan ( ‫أولى‬aulâ) berarti
menunjukkan ancaman dan ultimatum, seperti pada ( ‫ أولى لك‬aulâ lak) berarti
kecelakaan bagimu atau kecelakaan akan mendekatimu maka berhati-
hatilah. Semua kata turunan dari (‫ )ولى‬menunjukkan makna kedekatan
kecuali bila diiringi kata depan (‫ )عن‬secara tersurat dan tersirat seperti wallâ
‘an dan tawallâ ‘an maka makna yang ditunjukkan adalah menjauhi atau
berpaling. Walî dan auliyâ diartikan sebagai Penolong kata walî memiliki
arti penolong terdapat pada beberapa ayat yaitu: Q. S. Âli ‘Imrân: 122, Q.
S. Al-Mâidah: 55, Q. S. At-Taubah: 23 dan 71, Q. S. Hûd: 20 dan 113, Q.S.
Al-Isrâ: 97 dan 111, Q.S. Al-Kahfi: 17 dan 102, Q.S. As-Sajdah: 4.

Keempat, ‫أشدد‬. Kata usydud dalam Al-Qur’an itu ada dua yaitu terletak
pada surat Yûnus ayat 88 dan surat Thâha ayat 31. Namun keduanya
terambil dari akar kata syadda yasyuddu yang mempunyai arti yaitu ikatan
yang kuat.

8
Kelima, ‫سعد‬. Kata sa’ada di dalam Al-Qur’an hanya ada 2 saja. Dan
keduanya terdapat di surat Hûd yakni pertama pada ayat 105 dan kedua ayat
108 yang artinya pertolongan segala perkara dari Allah swt untuk manusia
agar mendapatkan kebaikan.

2. Tafsir13
a. Tafsir Al-Muyassar / Kementerian Agama Saudi Arabia

Wahai orang-orang yang beriman kepada Allah dan rasul-Nya serta


menjalankan syariat-Nya, janganlah kalian melewati batasan-batasan
Allah dan rambu-rambu-Nya, dan janganlah kalian menghalalkan
peperangan di bulan-bulan haram, yaitu, Bulan dzulqadah, dzulhijjah,
muharram, dan rajab. Dan ketetapan ini berlaku pada permulaan
perkembangan islam. Dan janganlah kalian menghalalkan kehormatan
binatang hadyu dan jangan pula binatang-binatang yang leher-lehernya
telah dikalungi sesuatu. Hal itu karena mereka meletakkan kalung-
kalung berbentuk kuciran-kuciran dari bulu domba atau unta pada
batang lehernya sebagai pertanda bahwa binatang-binatang ternak
tersebut diperuntukkan sebagai hadyu dan pembawanya adalah orang
yang hendak mengerjakan ibadah haji. Dan janganlah kalian
menghalalkan tindakan memerangi orang-orang yang bermaksud
mendatangi Masjidil Haram yang mengharapkan dari Allah karunia
yang dapat memperbaiki kualiatas kehidupan dunia mereka dan
mendatangkan keridhaan tuhan mereka. Apabila kalian telah selesai dari
ihram kalian, maka halal bagi kalian binatang buruan. Dan janganlah
menyeret kalian rasa kebencian kalian terhadap satu kaum gara-gara
mereka menghalang-halangi kalian untuk memasuki masjidil haram,
sebagimana yang terjadi pada tahun perjanjian Hudaibiyah, membuat
kalian mengabaikan perbuatan adil terhadap mereka. Dan tolong-

13
TafsirWeb, https://tafsirweb.com/1886-surat-al-maidah-ayat-2.html diakses pada
tanggal 31 Desember 2022.

9
menolonglah di antara kalian wahai kaum Mukminin,dalam
mengerjakan kebaiakan dan ketakwaan kepada Allah. Dan janganlah
kalian saling menolong dalam perbuatan yang memuat dosa,maksiat,
dan pelanggaran terhadap batasan-batasan Allah, dan wasapadalah
kalian dari melanggar perintah Allah, karena sesungguhnya Dia amat
dahsyat siksaan-Nya.

b. Tafsir as-Sa'di / Syaikh Abdurrahman bin Nashir as-Sa'di

Firman Allah, “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu


melanggar syiar-syiar Allah,” maksudnya apa-apa yang di haramkannya
dimana Allah telah memerintahkanmu agar mengagungkannya dan
tidak melanggarnya. Larangan ini meliputi larangan melakukannya dan
meyakini kehalalannya. Ia meliputi larangan melakukan perbuatan
buruk yang meyakini bolehnya. Termasuk dalam hal ini adalah perkara-
perkara yang di haramkan pada waktu ihram dan perkara-perkara yang
di haramkan di daerah haram.

Termasuk pula apa yang dinyatakan oleh Firman-Nya “Dan


janganlah kamu melanggar kehormatan bulan-bulan haram.”
Maksudnya, janganlah kamu menodainya dengan melakukan
peperangan dan kezhaliman yang bermacam-macam di dalamnya
sebagaimana Firman Allah, “Sesungguhnya bilangan bulan pada sisi
Allah adalah dua belas bulan, dalam ketetapan Allah di waktu Dia
menciptakan langit dan bumi, di antaranya empat bulan haram. Itulah
(ketetapan) agama yang lurus, maka janganlah kamu menganiaya diri
kamu dalam bulan yang empat itu, dan perangilah kaum musyrikin itu
semuanya sebagaimana merekapun memerangi kamu semuanya, dan
ketahuilah bahwasanya Allah beserta orang-orang yang bertakwa.” (At-
Taubah:36).

Jumhur ulama berpendapat bahwa larangan berperang di bulan-


bulan haram adalah mansukh dengan Firman-Nya “Apabila sudah habis

10
bulan-bulan Haram itu, maka bunuhlah orang-orang musyrikin itu
dimana saja kamu jumpai mereka, dan tangkaplah mereka. Kepunglah
mereka dan intailah ditempat pengintaian. Jika mereka bertaubat dan
mendirikan sholat dan menunaikan zakat, maka berilah kebebasan
kepada mereka untuk berjalan. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun
lagi maha Penyayang.” (At-Taubah:5).

Dan ayat lain bersifat umum kandungannya adalah perintah untuk


memerangi kaum kafir secara mutlak dan ancaman bagi yang tidak
berpartisipitasi dalam memerangi mereka dan didukung lagi oleh
kenyatan bahwa nabi memerangi penduduk Thaif di bulan Dzulqa’dah
dan ia adalah salah satu bulan haram.

Ulama lain berpendapat bahwa berperang di bulan haram tidak


mansukh berdasarkan ayat ini dan lainnya yang padanya terdapat
larangan secara khusus. Dan dalil yang umum tersebut, mereka
sinkronkan dengan makna tersebut. Mereka berpendapat, bahwa dalil-
dalil yang mutlak harus ditafsirkan dengan dalil-dalil yang muqayyad.

Sebagian ulama meletakkan perincian, mereka berkata, “Tidak


boleh memulai perang di bulan-bulan Haram. Adapun melanjutkannya
jika ia telah dimulai sebelumnya maka itu boleh. Pendapat ini
menafsirkan perang Nabi terhadap penduduk Tha’if, karena peperangan
melawan mereka telah dimulai di HUnain dan itu terjadi di bulan Syawal
(yang belum masuk bulan haram).”

Semuan itu berlaku untuk peperangan yang tidak bertujuan untuk


membela diri. Adapun jika kaum Muslimin membela diri karena orang-
orang kafir yang memulai, maka kaum Muslimin boleh memerangi
mereka untuk mebela diri di bulan-bulan Haram atau selainnya
berdasarkan ijma’ para ulama.

Firman-Nya, “jangan mengganggu binatang-binatang hadyu dan


qala’id.” Maksudnya janganlah kamu menghalalkan binatang hadyu

11
yang di giring ke baitullah pada pelaksanaan ibadah haji atau umrah
selainya, baik unta ataupun yang lain. Janganlah kamu mengahalang-
halanginya untuk sampai di tempat penyembelihannya. Janganlah kamu
mengambilnya dengan mencurinya atau lainya. Janganlah kamu
menyia-nyiakannya atau membebaninya di atas batas kemampuannya
karena dikhawatirkan ia mati sebelum sampai ke tempat
penyembelihannya. Akan tetapi hormatilah ia dan hormati orang-orang
yang datang membawanya. “Jangan menggangu binatang qala’id.”
Qala’id adalah salah satu macam hadyu yang hkusus, yaitu hadyu yang
dilingkari kalung tali yang disematkan olehnya untuk menampakan
syiar-syiar Allah, mendorong orang-orang untuk mengikuti dan
mengajarkan sunah kepada mereka agar diketahui bahwa ia adalah
hadyu dan supaya ia di muliakan. Karena itu, memberi kalung kepada
binatang hadyu adalah termasuk syiar-syiar yang disunnahkan.

“Jangan mengganggu orang-orang yang mengunjungi baitullah.”


Yaitu mereka yang memang bermaksud mendatanginya “sedang mereka
mencari karunia dan keridhaan dari Tuhannya.” Maksudnya barang
siapa yang medatangi baitullah, sementara tujuannya adalah perniagaan
dan pekerjaan yang di bolehkan, atau tujuannya mencari ridha Allah
dengan haji, umrah, thawaf, shalat dan ibadah-iabdah yang lainnya,
maka janganlah kamu menimpakan keburukan kepadanya, dan
menghinakan, akan tetapi muliakanlah dia dan hirmatilah orang-orang
yang datang berkunjung ke rumah Rabb-Mu.

Termasuk dalam perintah ini adalah menjamin terciptanya


keamanan jalan-jalan yang menghubungkan ke baitullah, menjadikan
orang-orang yang medatanginya merasa tenang dan lega tanpa
kekhawatiran terhadap diri mereka dari pembunuhan dan yang lebih
kecil dari pembunuhan, tanpa tajut terhadap harta mereka dari
rampokan, pemalakan, dan lain-lain.

12
Ayat ini di khususkan oleh Firman Allah, “Hai orang-orang yang
beriman, Sesungguhnya orang-orang yang musyrik itu najis, maka
janganlah mereka mendekati Masjidilharam sesudah tahun ini. Dan jika
kamu khawatir menjadi miskin, maka Allah nanti akan memberimu
kekayaan kepadamu dari karunia-Nya, jika Dia menghendaki.
Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.” (At-
Taubah:28).

Orang-orang musyirik tidak diberi kesempatan untuk masuk daerah


haram. Pengkhususan larangan untuk tidak mengganggu orang-orang
yang mengunjungi Baitullah demi mencari ridha Allah dan karunia
Allah dalam ayat ini menunjukan bahwa barangsiapa yang
mendatanginya untuk melakukan penyimpangan dengan melakukan
kemaksiatan, maka menghalangi orang yang bertujuannya seperti itu
agar tidak membuat kerusakan di Baitullah adalah termasuk
kesempurnaan penghormatan kepada Baitullah Al-Haram, sebagaimana
Firman Allah, “Sesungguhnya orang-orang yang kafir dan menghalangi
manusia dari jalan Allah dan Masjidilharam yang telah Kami jadikan
untuk semua manusia, baik yang bermukim di situ maupun di padang
pasir dan siapa yang bermaksud di dalamnya melakukan kejahatan
secara zalim, niscaya akan Kami rasakan kepadanya sebahagian siksa
yang pedih.” (Al-Hajj:25).

Ketika Allah melarang mereka berburu pada waktu ihram, Allah


berfirman, “ Dan apabila kamu telah menyelesaikan ibadah haji, maka
bolehlah kamu berburu.” Maksudnya, jika kamu telah menyelesaikan
haji dan umrah dengan bertahallul dari keduanya dan kamu telah keluar
dari daerah Haram, maka halal untukmu berburu. Keharaman menjadi
hilang. Dan perintah yang datang sesudah larangan hukumnya di
kembalikan kepada hukum sebelum larangn itu ada.

“Dan janganlah sekali-kali kebencianmu pada suatu kaum karena


mereka mengahalang-halangimu dari Masjidil Haram mendorongmu

13
berbuat aniaya kepada mereka.” Maksudnya kebencian suatu kaum,
permusuhan, dan kezhaliman mereka terhadap kalian, dimana mereka
menghalangimu dari Masjidil Haram jangan sampai mendorongmu
untuk berbuat semena-mena kepada mereka untuk balas dendam.
Seorang hamba harus senantiasa berpijak kepada perintah Allah dan
menempuh jalan keadilan, walaupun dia dijahati atau di dzalimi atau di
aniaya. Dia tidak boleh berdusta kepada orang berdusta kepadanya, atau
menghianati orang yang menghianatinya.

“Dan tolong menolonglah kamu dalam menolong kebaikan dan


takwa.” Maksudnya, hendaknya sebgaian dari kamu membantu segaian
yang lain dalam kebaikan. Kebajikan adalah nama yang mengumpulkan
segalan perbuatan, baik lahir maupun batin, baik hak Allah maupun hak
manusia yang di cintai dan diridhai oleh Allah. Dan takwa disini adalah
nama yang mengumpulkan sikap meninggalkan segala perbuatan-
perbuatan lahir dan batin yang di benci oleh Allah dan Rasul-Nya.
Setiap perbuatan baik yang di perintahkan untuk di kerjakan atau setiap
perbiatan buruk yang diperintahkan untuk di jauhi, maka seorang hamba
di perintahkan untuk melaksanakannya sendiri dan dengan bantuan dari
orang lain dari kalangan saudara-saudaranya yang beriman, baik dengan
ucapan atau perbuatan yang mamacu dan mendorong kepadanya.

“Dan janganlah kamu saling tolong menolong dalam perbuatan


dosa,” yaitu saling mendorong melakukan kemaksiatan, di mana
pelakunya memikul beban berat dosa. “Dan pelanggaran,” yaitu
pelanggaran terhadap manusia pada darah, harta, dan kehormatan
mereka. Seorang hamba wajib menghentikan diri dari segala
kemaksiatan dan kezhaliman lalu membantu orang lain untuk
meninggalkannya.

“Dan bertakwalah kamu kepada Allah, sesungguhnya Allah amat


berat siksa-Nya.” Ialah, atas orang yang bermaksiat kepada-Nya dan
berani melanggar perkara-perkara yang diharamkannya. Karena itu

14
berhati-hatilah terhadap perkara-perkara yang diharamkan agar
hukuman-Nya tidak menimpa kalian di dunia dan akhirat.

c. Tafsir Ringkas Kementrian Agama RI

Ayat ini berisi hukum-hukum Allah yang berkaitan dengan tata cara
pelaksanaan ibadah haji. Wahai orang-orang yang beriman! janganlah
kamu melanggar syiar-syiar kesucian Allah, yakni segala amalan yang
dilakukan dalam melaksanakan ibadah haji seperti tata cara melakukan
tawaf dan sa'i, serta tempat-tempat mengerjakannya, seperti Ka’bah,
Safa, dan Marwah, jangan engkau melanggarnya dengan berburu ketika
dalam keadaan ihram dan jangan pula melanggar kehormatan bulan-
bulan haram, yaitu bulan zulkaidah, zulhijah, muharram, dan rajab,
janganlah pula engkau melanggar kehormatannya dengan berperang
pada bulan itu kecuali untuk membela diri ketika diserang. Jangan pula
mengganggu hadyu, yaitu hewan-hewan kurban yang dihadiahkan
kepada Ka’bah untuk mendekatkan diri kepada Allah, hewan-hewan itu
disembelih di tanah haram dan dihadiahkan dagingnya kepada fakir
miskin, dan qala'id, hewan-hewan kurban yang diberi tanda, dikalungi
dengan tali sebagai tanda yang menunjukkan bahwa hewan itu telah
dipersiapkan untuk dikurbankan dan dihadiahkan, dan jangan pula
mengganggu orang-orang yang mengunjungi Baitulharam, untuk
melaksanakan ibadah haji atau umrah, mereka mencari karunia berupa
keuntungan duniawi, dan keridaan yang berupa ganjaran dari tuhannya.
Akan tetapi, apabila kamu telah menyelesaikan ihram, maka bolehlah
kamu berburu apabila kamu mau. Jangan sampai kebencian sebagian
kamu kepada suatu kaum karena mereka menghalang-halangimu dari
mengunjungi Masjidilharam, mendorongmu berbuat melampaui batas
kepada mereka dengan cara membunuh mereka atau melakukan
kejahatan kepada mereka. Dan tolong-menolonglah kamu dalam
mengerjakan kebajikan, melakukan yang diperintahkan Allah, dan
takwa, takut kepada larangannya, dan jangan tolong-menolong dalam

15
berbuat dosa, melakukan maksiat dan permusuhan, sebab yang
demikian itu melanggar hukum-hukum Allah. Bertakwalah kepada
Allah, takut kepada Allah dengan melakukan perintah-Nya dan
meninggalkan larangan-Nya, karena sungguh Allah sangat berat
siksaan-Nya kepada orang-orang yang tidak taat kepada-Nya.

3. Konsep Ta’awun

Kata ta’awun berasal dari kata ‫‘( عون‬aunun) yang artinya pertolongan,
‫عون‬-‫عاون‬-‫( اعان‬a’aana-‘aawana-‘auna) yang artinya membantu, menolong,
‫ اعانة‬yang berarti bantuan, pertolongan, ‫ معاون‬yang berarti pembantu atau
penolong. Kata ta’awun artinya adalah saling menolong.14

Ta’awun terdapat dalam Al-Qur’an surah Al-Maidah ayat 2, dari kata


Ta’awanu, yang diartikan “ Kamu membantu satu sama lain, kamu bekerja
sama”. Wajib bagi orang-orang mukmin tolong-menolong antara sesama
dalam mengerjakan kebajikan dan taqwa, dan dilarang tolong-menolong
dalam berbuat dosa dan pelanggaran. 15

Ta’awun dapat diartikan sebagai sikap kebersamaan dan rasa saling


membutuhkan antara satu dengan yang lainnya, sehingga dapat
mewujudkan suatu pergaulan yang harmonis dan rukun. Al-Qur’an
menyebutkan bahwa Ta’awun merupakan hal yang esensial bagi setiap
muslim. Umat Islam diperintahkan untuk saling tolong-menolong terhadap
sesama terutama tolong-menolong dalam perbuatan yang terpuji. Sayyid
Qurtb menjelaskan dalam menafsirkan Q.S. Al-Maidah ayat 2, jarak antar
dataran rendah jahiliyah dengan ufuk Islam adalah jarak antara semboyan
Jahiliyah yang popular itu dengan firman Allah “Janganlah sekali-kali
kebencianmu kepada suatu kaum karena mereka menghalang-halangi kamu
dari masjidil haram, mendoronmu berbuat aniaya (kepada mereka). Tolong-

14
Rahmatul Hijrati, Konsep Ta’awun Menurut Al-Qur’an dan Pengembangan dalam
Konseling Islam, (Aceh: UIN Ar-Raniry, 2020), hlm. 12.
15
Rahmatul Hijrati, Konsep Ta’awun Menurut Al-Qur’an dan Pengembangan dalam
Konseling Islam, hlm. 12.

16
menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan taqwa, dan jangan
tolong-menolong di dalam berbuat dosa dan pelanggaran. Bertaqwalah
kepada Allah, sesungguhnya Allah amat berat siksa-Nya.”16

Ayat ini menerangkan bahwa tolong-menolong dalam ketaqwaan


merupakan salah satu faktor penegak agama, karena dengan tolong-
menolong akan menciptakan rasa saling memiliki diantara umat sehingga
akan lebih mengikat persaudaraan. Selain itu, secara lahiriah manusia
adalah makhluk sosial yang tidak dapat hidup sendirian karena manusia
butuh berinteraksi dengan sesamanya. 17

Dapat disimpulkan bahwa pengertian Ta’awun adalah suatu pekerjaan


maupun perbuatan tolong-menolong antar sesama manusia yang didasari
pada hati nurani dan semata-mata mencari ridha Allah
Subhanallahuwata’ala, Tolong menolong tersebut dianjurkan tanpa
memandang ras, suku, bangsa dan agama, selama bukan tujuan keburukan
dan kerusakan di muka bumi, maka manusia dianjurkan untuk saling tolong-
menolong dan saling bekerja sama. 18

Konsep Ta’awun dalam Islam dapat diterjemahkan menjadi 6 macam19:

1) Ta’awun di dalam kebajikan dan ketaqwaan, yang mencakup


kebajikan universal (al-birr) dalam bingkai ketaatan sepenuh hati
(at-taqwa) yang membawa akibat kepada kebaikan masyaratakat
Muslim dan keselamatan dari keburukan serta kesadaran individu
akan peran tanggung jawab yang diemban oleh masing-masing
pribadi muslim.

16
Rahmatul Hijrati, Konsep Ta’awun Menurut Al-Qur’an dan Pengembangan dalam
Konseling Islam, hlm. 12-13.
17
Rahmatul Hijrati, Konsep Ta’awun Menurut Al-Qur’an dan Pengembangan dalam
Konseling Islam, hlm. 13.
18
Rahmatul Hijrati, Konsep Ta’awun Menurut Al-Qur’an dan Pengembangan dalam
Konseling Islam, hlm. 13-14.
19
Galuh Widitya Qomaro dan Armyza Oktasari, Manifestasi Konsep Ta’awun dalam
Zaakwaarneming Perspektif Hukum Perikatan, hlm 20-22.

17
2) Ta’awun dalam bentuk wala’ (loyalitas) kepada antar muslim.
Setiap muslim harus berkesadaran bahwa dirinya adalah saudara
dari muslim yang lain. Siapapun yang mengabaikan saudara sesama
muslim dan menelantarkannya, maka pada hakikatnya ia adalah
seorang yang dapat diragukan keislamannya. Seorang Muslim
haruslah memiliki solidaritas terhadap saudaranya, ikut merasakan
kesusahannya.
3) Ta’awun yang berorientasi pada penguatan sendi-sendi kehidupan
bermasyarakat dan saling melindungi.
4) Ta’awun dalam upaya ittihad (persatuan). Ta’awun dan persatuan
selayaknya ditegakkan di atas kebajikan dan ketaqwaan, jika tidak,
akan menghantarkan pada kelemahan umat Islam, berkuasanya para
musuh Islam, terampasnya tanah air, terinjak-injaknya kehormatan
umat.
5) Ta’awun dalam bentuk tawashi (saling berwasiat) di dalam
kebenaran dan kesabaran. Saling berwasiat di dalam kebenaran dan
kesabaran termasuk manifestasi nyata dari ta’awun di dalam
kebajikan dan ketaqwaan.
6) Diantara bentuk manifestasi ta’awun di dalam kebajikan dan
ketaqwaan adalah menghilangkan kesusahan kaum muslimin,
menutup aib mereka, mempermudah urusan mereka, menolong
mereka dari orang berbuat aniaya, mencerdaskan mereka,
mengingatkan orang yang lalai di antara mereka, mengarahkan
orang yang tersesat di kalangan mereka, menghibur yang sedang
berduka cita, meringankan mereka yang tertimpa musibah, dan
menolong mereka dalam segala hal yang baik.

18
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
1. Tasamuh mengarah kepada sikap terbuka dan mau mengakui adanya
berbagai macam perbedaan, baik dari sisi suku bangsa, warna kulit,
bahasa, adat-istiadat, budaya, bahasa, serta agama. Unsur-unsur
tasamuh yaitu memberikan kebebasan atau kemerdekaan, mengakui hak
setiap orang, menghormati keyakinan orang lain, serta saling mengerti.
Hal ini sebagaimana dalam QS.Al-Hujurat ayat 13.
2. Ta’awun dapat diartikan sebagai sikap kebersamaan dan rasa saling
membutuhkan antara satu dengan yang lainnya, sehingga dapat
mewujudkan suatu pergaulan yang harmonis dan rukun. Al-Qur’an
menyebutkan bahwa Ta’awun merupakan hal yang esensial bagi setiap
muslim. Umat Islam diperintahkan untuk saling tolong-menolong
terhadap sesama terutama tolong-menolong dalam perbuatan yang
terpuji. Hal ini sebagaimana dalam QS. Al-Maidah ayat 2.

B. Saran
Makalah ini dapat menjadi referensi tambahan bagi para pembaca pada
umumnya serta bagi mahasiswa tafsir pada khususnya, terlebih yang tertarik
memperdalam wawasan mengenai tema-tema tafsir sosial politik, dalam hal ini
tasamuh dan ta’awun.

19
DAFTAR PUSTAKA
Arifin, Bustanul. Implikasi Prinsip Tasamuh (Toleransi) dalam Interaksi Antar
Umat Beragama. 2016. Fikri. Vol. 1 No. 2.

Hijrati, Rahmatul. Konsep Ta’awun Menurut Al-Qur’an dan Pengembangan dalam


Konseling Islam. 2020. Aceh: UIN Ar-Raniry.

Jakfar, Tarmazi M. Perspektif Al-Qur’an dan Sunnah tentang Toleransi. 2016.


Substantia.

Jamaruddin, Ade. Membangun Tasamuh Keberagaman dalam Perspektif Al-


Qur’an. 2016. Toleransi: Media Komunikasi Umat Beragama. Vol. 8 No.
2.

Mukhtar, Muhammad Kamil. Wawasan Al-Qur’an Tentang Tolong Menolong


Perspektif Syekh Nawawi Al-Bantani. 2017. Jakarta: Intstitut PTIQ.

Qomaro, Galuh Widitya dan Armyza Oktasari. Manifestasi Konsep Ta’awun dalam
Zaakwaarneming Perspektif Hukum Perikatan. 2018. Et-Tijarie. Vol. 5 No.
1.

Shihab, M. Quraish. Ensiklopedia Al-Qur’an Kajian Kosakata. 2007. Cet. III.


Jakarta: Lentera Hati.

TafsirWeb, https://tafsirweb.com/9783-surat-al-hujurat-ayat-13.html diakses pada


tanggal 31 Desember 2022.

TafsirWeb, https://tafsirweb.com/1886-surat-al-maidah-ayat-2.html diakses pada


tanggal 31 Desember 2022.

Ula, Ninik Yusrotul. Konsep Pendidikan Tasamuh dalam Mewujudkan Islam


Rahmatan Lil ‘Alamin di Pondok Pesantren Tebuireng Jombang. 2017.
Malang: UIN Maulana Malik Ibrahim.

20

Anda mungkin juga menyukai