Di susun Oleh :
PASCASARJANA
2023
Kata Pengantar
Kami menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari kata sempurna. Oleh
karena itu, kritik dan saran dari semua pihak yang bersifat membangun selalu
kami harapkan demi kesempurnaan makalah ini. Akhir kata, kami sampaikan
terimakasih. Semoga Allah SWT senantiasa meridhoi segala usaha kita. Aamiin.
Penyusun
i
DAFTAR ISI
ii
BAB I
PENDAHULUAN
Hal yang telah disebutkan tadi, berlatar belakang karena adanya iri,
dengki, berprasangka buruk/berpikir negatif, tidak mau mendengar nasihat
dari orang lain, serta kurangnya toleransi dan pemahaman antar sesama
manusia. Islam telah mengatur di dalam al-Qur’an dan al-Hadits tentang
akhlak kita kepada Allah, akhlak kepada sesama manusia (sebagai cara
bersosialisasi), juga kepada makhluk ciptaan Allah lainnya. Kaitannya dengan
latar belakang/penyebab konflik sosial yang telah disebutkan di atas, salah
satunya ialah berprasangka buruk. Islam telah melarang ummatnya
berprasangka buruk/berpikir negatif kepada Allah maupun kepada sesama
manusia.
1
Harimulyo, M. S., Prasetiya, B., & Muhammad, D. H. (2021). Nilai-Nilai Pendidikan
Akhlak Dalam Kitab Risalatul Mu’awanah Dan Relevansinya. Jurnal Penelitian IPTEKS, 6(1),
72-89.
1
berkemas, ‘Aisyah keluar dari biliknya untuk membuang hajat, dan
sekembalinya beliau baru sadar bahwa kalungnya hilang. Saat ‘Aisyah
mencari kalungnya, rombongan mengira beliau di dalam haudaj (bilik kecil di
atas unta), akhirnya unta tersebut dituntun bersama rombongan untuk
perjalanan ke Madinah. ‘Aisyah pun menemukan kalungnya dan mendapati
bahwa rombongan telah berangkat ke Madinah. Beliau berpikir bahwa pasti
nanti ada yang menyadari ketiadaan beliau di dalan haudaj dan kembali
mencarinya, akhirnya beliau berbaring dengan berselimut jilbab. Kemudian,
tiba-tiba terdengar seseorang berucap “innalillahi wa innā ilaihi roji’un, istri
rasulullah”. Saat Aisyah membuka mata, terlihat Sofwan bin Mu’aththal
berdiri di sampingnya. Sofwan mengenali beliau, karena belum ada perin tah
berjilbab ketika itu, ia menurunkan untanya dan mempersilahkan ‘Aisyah
naik ke untanya untuk menyusul rombongan ke Madinah. Fitnah pun
menyebar luas, dan pendapat para sahabat terpecah antara menyarankan
Rasulullah untuk menceraikan ‘Aisyah atau tetap mempertahankan
pernikahan beliau hingga turun firman dari Allah. ‘Aisyah izin pulang ke
rumah orangtuanya, karena Rasul pun bersifat berbeda dikarenakan dilema
terhadap berita tersebut. Turunlah firman Allah Q.S. an-Nuur ayat 11
membantah berita bohong tersebut.2
ٰيَاُّيَه ا اَّلِذ ْيَن ٰاَم ُنوا اْج َتِنُبْو ا َك ِثْيًر ا ِّم َن الَّظِّن ِاَّن َبْعَض الَّظِّن ِاٌمْث َّو اَل َجَتَّس ُس ْو ا َو اَل َيْغَتْب َّبْع ُضُك ْم َبْع ًض ا َاِحُي ُّب
َاَح ُد ُك ْم َاْن َّيْأُك َل ْحَلَم َاِخ ْيِه َمْيًتا َفَك ِر ْهُتُمْو ُه َو اَّتُقوا الّٰل َه ِاَّن الّٰل َه َتَّو اٌب َّر ِح ْيم
2
Muhammad Sa’id Ramadhan Al-Buthy, terjemahan Aunur Rafiq Shaleh Tahmid, Sirah
Nabawiyah, (Jakarta: Rabbani Press), 2006
2
Artinya : ”Hai orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan prasangka
(kecurigaan), karena sebagian dari prasangka itu dosa. Dan janganlah
mencari-cari keburukan orang dan janganlah menggunjingkan satu sama lain.
Adakah seseorang di antara kamu yang suka memakan daging saudaranya
yang sudah mati? Maka tentulah kamu harus merasa jijik kepadanya. Dan
bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Penerima Taubat lagi
Maha Penyayang.”
Berdasarkan latar belakang tersebut, Kami akan membahas dan
mengkaji surat Al Hujurat ayat 12 mulai dari asbabun nuzul, tafsir dan
konstektualitasnya.
B. Rumusan Masalah
Dari penjelasan latar belakang masalah diatas kami pemakalah mendapatkan
rumusan masalah sebagai berikut :
1. Apa asbabun nuzul Quran Surah Al Hujurat ayat 12 ?
2. Bagaimana tafsir Quran Surah Al Hujurat ayat 12 menurut ahli tafsir ?
3. Bagaimana konstektual Quran Surah Al Hujurat ayat 12 dalam kehidupan
sehari-hari ?
C. Tujuan Penelitian
1. Untuk mengetahui apa asbabun nuzul Quran Surah Al Hujurat ayat 12 !
2. Untuk mengetahui bagaimana tafsir Quran Surah Al Hujurat ayat 12
menurut ahli tafsir !
3. Untuk mengetahui bagaimana konstektual Quran Surah Al Hujurat ayat 12
dalam kehidupan sehari-hari !
3
BAB II
PEMBAHASAN
ٰيَاُّيَه ا اَّلِذ ْيَن ٰاَم ُنوا اْج َتِنُبْو ا َك ِثْيًر ا ِّم َن الَّظِّن ِاَّن َبْعَض الَّظِّن ِاٌمْث َّو اَل َجَتَّس ُس ْو ا َو اَل َيْغَتْب َّبْع ُضُك ْم َبْع ًض ا َاِحُي ُّب
َاَح ُد ُك ْم َاْن َّيْأُك َل ْحَلَم َاِخ ْيِه َمْيًتا َفَك ِر ْهُتُمْو ُه َو اَّتُقوا الّٰل َه ِاَّن الّٰل َه َتَّو اٌب َّر ِح ْيم
Asbabun nuzul dari surah al hujurat ayat 12 ini diriwayatkan oleh Ibnu
Mundzir yang bersumber dari Ibnu Juraij bahwa ayat ini (al-Hujurat: 12)
turun berkenaan dengan Salman al Farisi yang bila selesai makan, suka terus
tidur dan mendengkur. Pada waktu itu ada orang yang menggunjing
perbuatannya. Maka turunlah ayat ini (al Hujurat: 12) yang melarang
seseorang mengumpat dan menceritakan keaiban orang lain.3
4
Umar bin Al Khathab ra. pernah berkata, "Janganlah kalian berprasangka
terhadap ucapan yang keluar dari saudara mukmin kecuali dengan prasangka
baik. Sedangkan engkau sendiri mendapati adanya kemungkinan ucapan itu
mengandung kebaikan."
B. KOSAKATA
1. Az- zan
Kata az-zann adalah bentuk masdar dari kata zanna-yazunnu berarti
menduga, menyangka, dan memperkirakan. Bentuk jamaknya adalah zunun.
Umumnya kata ini digunakan untuk sesuatu yang dianggap tercela. Zann
juga berarti menuduh atau berprasangka. Jadi, kata zann menunjukkan
sesuatu yang belum jelas dan pasti serta masih bersifat praduga.4
2. Wa la Tajassasu
Wa la tajassasu berasal dari kata jassa yang berarti menyentuh dengan
tangan. Sebagian ulama mengangap sama antara hass (dengan ha) dengan
jass (dengan jim). Jawasul-insan adalah tangan, mata, hidung, dan telinga,
sama dengan pegertian hawasul-insan. Al-Hass hanya memeriksa dari luar
sedangkan Al-Jass memeriksa bagian dalam dan lebih banyak digunakan
pada kejelekan. Dalam ayat ini, kalimat tajassus diartikan dengan mencari-
cari kesalahan orang lain. Mencari kesalahan orang lain berawal dari sebuah
prasangka (az-zann) buruk. Kemudian timbul ghibah. Oleh sebab itu, Allah
melarang tiga pekerjaan tersebut.5
3. Yagtab
Kata yagtab merupakan fi‟il mudari‟ yang berasal dari kata gaba-
yagibugaiban yang berarti hilang tidak terlihat. Kalimat ini di gunakan pada
sesuatu yang hilang dari pancaindra ataupun hilang dari pengetahuan. Pada
ayat ini, Allah menjelaskan tentang larangan berghibah atau menyebut
kejelekan orang lain tanpa kehadirannya. Para ulama membolehkan ghibah
4
Departemen Agama Republik Indonesia,1990(.Al-Qur’an dan Tafsirnya) Vol 26.412
5
Kementrian Agama RI 2011, Al-Qur’an dan Tafsirnya, Edisi yang disempurnakan,
(Jakarta: Ikrar Mandiri Abadi 2011), Kosakata Musahabah, 413.
5
dengan syarat ghibah dimaksudkan untuk kemaslahatan baik bagi dirinya
sendiri atau orang lain.6
6
celah untuk kebaikan.” 6 dan Imam Malik meriwayatkan dari Abu Hurairah
ra, bahwasanya Rasulullah saw bersabda: Hindarilah berprasangka, sebab
prasangka ialah perkataan yang paling dusta, dan jangan saling mecari
kesalahan orang lain, janganlah saling mengintai, juga janganlah saling
menghasut, dan janganlah saling membenci, janganlah saling memutuskan,
dan jadilah kalian hamba Allah yang bersaudara.9
Ayat ini juga mengandung larangan mencari-cari kesalahan orang lain
untuk mencari aibnya, dan menyebutkan kejelekan saudara kalian yang lain
karena diibaratkan dengan memakan bangkai seperti hadits yang
diriwayatkan oleh Abu Dawud dari Abu Hurairah ra. yang artinya sebagai
berikut: “Ditanyakan ‘Wahai Rasulullah, apakah ghibah itu?’ Rasul
menjawab: ‘Kamu menceritakan saudaramu tentang hal yang tak
disukainya’. Lalu ditanya kembali: Bagaimanakah bila keadaannya sesuai
dengan perkataanku?’ Rasul menjawab: ‘Bila keadaan saudaramu sesuai
dengan yang kau katakan, itulah ghibah, dan jika tidak terdapat hal yang kau
katakan tentangnya pada dirinya, maka kau telah berdusta.”10
4. Prof. Quraish Shihab
Dalam karya tafsirnya yakni Tafsir AlMishbah tentang ayat ini
sebagai berikut: Ayat di atas masih merupakan lanjutan tuntunan ayat yang
lalu. Hanya disini hal-hal buruk yang sifatnya tersembunyi, karena itu
panggilan mesra kepada orang-orang beriman diulangi kembali untuk
kelima kalinya. Di sisi lain memanggil dengan panggilan buruk (yang telah
dilarang oleh ayat 11) boleh jadi panggilan/gelar tersebut dilakukan atas
dasar dugaan yang tak berdasar, karena itu ayat di atas menyatakan: Hai
orang-orang yang beriman, jauhilah dengan upaya sungguh-sungguh banyak
dari dugaan yakni prasangka buruk terhadap manusia yang tidak memiliki
indikator memadai, sesungguhnya sebagian dugaan yakni yang tidak
memiliki indikator itu adalah dosa.11
9
Abdullah bin Muhammad, Terjemahan Tafsir Ibnu Katsir Vol.9, (Jakarta: Pustaka Imam
Asy-Syafi’i, 2008), hal. 97.
10
Abdullah bin Muhammad, Terjemahan Tafsir Ibnu Katsir, Vol. 9, hal. 98
11
M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Mishbah: Pesan, Kesan dan Keserasian Al-Qur’an
(Jakarta: Lentera Hati, 2002), hal. 609.
7
Jumhur Ulama’ berpendapat bahwa jalan yang harus ditempuh para
orang yang melakukan ghibah untuk bertaubat yakni dengan melepaskan
diri dari ghibah, serta berkemauan kuat untuk tak melakukannya kembali.
Ada ulama’ yang memberikan syarat supaya meminta maaf kepada saudara
yang digunjingkan dengan cara memberikan sanjungan. Sehingga gunjingan
dibayar dengan sanjungan.12 Kemudian, bertakwalah kepada Allah dan
berhati-hatilah terhadap siksa-Nya dengan cara menjalankan perintah-Nya
dan menjauhi larangan-Nya, sebab Allah Maha Penerima taubat serta Maha
Pengasih kepada para manusia yang bertaubat dan kembali meminta ampun
kepada-Nya.
D. KONTEKSTUALISASI SURAH AL HUJURAT AYAT 12 DALAM
KEHIDUPAN SEHARI-HARI
Ayat ini mengajarkan umat Islam untuk menjauhi prasangka buruk
terhadap sesama muslim. Allah menegaskan bahwa sebagian besar prasangka
buruk itu adalah dosa. Selain itu, umat Islam dilarang untuk mencari-cari
kesalahan orang lain dan menggunjing. Perumpamaan yang digunakan dalam
ayat, seperti memakan daging saudara yang sudah mati, digunakan untuk
menunjukkan betapa jijiknya prasangka buruk. Allah juga menyeru umat
Islam untuk bertakwa, karena Allah adalah Maha Penerima taubat dan Maha
Penyayang. Dengan menghindari prasangka buruk dan menjaga hubungan
antar sesama muslim, umat Islam diingatkan untuk membangun masyarakat
yang penuh kasih sayang, saling menghormati, dan menjaga persatuan. Ayat
tersebut juga menggaris bawahi pentingnya kehati-hatian dalam bersikap
terhadap sesama, dengan tidak langsung menyebarkan informasi yang belum
diketahui kebenarannya. Perintah untuk menjauhi prasangka buruk juga
mengajarkan umat Islam untuk memberikan manfaat dari keraguan dan
kecurigaan terhadap orang lain.
Dalam konteks lebih luas, Surah Al-Hujurat berfokus pada etika dan
moralitas dalam kehidupan masyarakat Muslim. Surah ini membangun
landasan untuk membentuk masyarakat yang saling mendukung, adil, dan
12
Ibid, hal 100.
8
penuh kasih sayang. Kesatuan umat Islam dan persaudaraan di dalamnya
dianggap sebagai aspek penting dalam membangun masyarakat yang kokoh
dan harmonis.Pentingnya takwa dan kesadaran bahwa Allah Maha Penerima
taubat dan Maha Penyayang mengingatkan umat Islam untuk selalu
berintrospeksi, memperbaiki diri, dan tidak terjerumus dalam prasangka
buruk atau perilaku yang dapat merusak hubungan sosial.
Dengan demikian, Surah Al-Hujurat ayat 12 memberikan panduan
moral dan etika yang kuat untuk membentuk masyarakat Muslim yang
bertanggung jawab, saling menghormati, dan berusaha untuk menciptakan
lingkungan yang harmonis dan damai.
Adapun kontekstualisasi surah al hujurat ayat 12 dalam sehari-hari
menjelaskan pentingnya beberapa hal, yaitu :
1. Menjauhi Prasangka Buruk:
Dalam kehidupan sehari-hari, kita seringkali berhadapan dengan
orang-orang yang berbeda latar belakang, suku, agama, atau budaya. Ayat
ini mengajarkan kita untuk tidak membuat prasangka buruk terhadap
orang lain tanpa dasar yang jelas. Menggantikan prasangka dengan
pemahaman dan kasih sayang dapat memperkuat hubungan antar individu.
2. Menghormati dan Menghindari Fitnah:
Pesan untuk tidak mencari-cari kesalahan orang lain dan
menghindari fitnah mengajarkan kita untuk menghormati privasi dan
martabat orang lain. Di tengah dunia sosial media dan komunikasi yang
cepat, kita harus berhati-hati dengan kata-kata kita dan tidak mudah
menyebarkan informasi yang tidak terverifikasi.
3. Perspektif Empati:
Perumpamaan tentang tidak suka memakan daging saudara yang
sudah mati memberikan gambaran tentang pentingnya empati dan keadilan
dalam berinteraksi dengan sesama. Ayat ini mengajak kita untuk melihat
orang lain dengan hati yang lembut, tidak mencari-cari kesalahan, dan
berusaha memahami perspektif mereka.
9
4. Taubat dan Kasih Sayang:
Pesan tentang bertaqwa kepada Allah, yang Maha Penerima taubat
dan Maha Penyayang, mengingatkan kita bahwa manusia tidak luput dari
kesalahan. Konsep ini mengajarkan kita untuk selalu bersikap rendah hati,
siap menerima koreksi, dan memberikan kesempatan bagi perubahan.
10
BAB III
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Perbuatan Ghibah merupakan sesuatu yang dilarang oleh agama
Islam seperti yang telah dijelaskan dalam QS. Al-Hujurat ayat 12. Umat
muslim diisyaratkan untuk menjauhi prasangka, memata matai yang
berujung pada membicarakannya (ghibah). Hal tersebut diserupakan oleh
Allah dengan seseorang yang meamakan bangkai manusia yang telah mati.
Perbuatan tersebut tentu sangat menjijikan yang selayaknya untuk dijauhi.
Namun, ternyata tidak semua prasangka memata-matai dan menghibah itu
dilarang oleh Allah. Allah membolehkan berprasangka, memata matai dan
ghibah dengan tujuan tujuan tertentu, misalnya utuk kepentingan hukum,
dan Investigasi.
Gosip saat ini dapat dilakukan dengan sangat mudah karena
perkembangan teknologi dan media sosial. Hal ini tentu memiliki dampak
posistif dan negatif. Positifnya dengan adanya fenomena ini, maka lebih
mudah mengakses Informasi tentang seseorang terutama untuk
kepentingan hukum dan Investigasi. Selain itu dengan teknologi seseorang
dapat dengan menanggulangi kejahatan melalui informasi yang terdapat di
Internet dan jejaring sosial. Namun, hal ini juga memiliki dampak negatif
karena menjadikan gosip sebagai sesuatu yang lazim dilakukan. Padahal
hal tersebut dilarang oleh Allah. Oleh karena itu sebagai muslim yang baik
seharusnya mampu mengambil tidakan yang bijak dengan menjauhi
ghibah tanpa adanya kepentingan kepentingan yang urgebn seperti
investigasi dan hukum melalui media sosial.
11
DAFAR PUSTAKA
Abdullah bin Muhammad, Terjemahan Tafsir Ibnu Katsir, Vol. 9, hal. 98
Abdullah bin Muhammad, Terjemahan Tafsir Ibnu Katsir Vol.9, (Jakarta: Pustaka
Imam Asy-Syafi’i, 2008), hal. 97.
Ahmad Mustafa Al-Maraghi, Tafsir Al-Maraghi, hal. 233.
Departemen Agama Republik Indonesia,1990(.Al-Qur’an dan Tafsirnya) Vol
26.412
Harimulyo, M. S., Prasetiya, B., & Muhammad, D. H. (2021). Nilai-Nilai
Pendidikan Akhlak Dalam Kitab Risalatul Mu’awanah Dan
Relevansinya. Jurnal Penelitian IPTEKS, 6(1), 72-89.
Ibid, hal 100.
KHQ Shaleh dkk, Asbabun Nuzul,Semarang,Alpha Mediatama,2003.345
Kementrian Agama RI 2011,Al-Qur’an dan Tafsirnya.,414
Kementrian Agama RI 2011, Al-Qur’an dan Tafsirnya, Edisi yang
disempurnakan, (Jakarta: Ikrar Mandiri Abadi 2011), Kosakata
Musahabah, 413.
M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Mishbah: Pesan, Kesan dan Keserasian Al-Qur’an
(Jakarta: Lentera Hati, 2002), hal. 609.
Muhammad Sa’id Ramadhan Al-Buthy, terjemahan Aunur Rafiq Shaleh Tahmid,
Sirah Nabawiyah, (Jakarta: Rabbani Press), 2006
Sayyid Qutb, penj As’ad Yasih A.H. dkk., Terjemah Tafsir fi Zialil Qur’an, hal.
420.
12