Anda di halaman 1dari 17

TAFSIR DAN ANALISIS AYAT AL-QUR’AN TENTANG SYU’UB

MAKALAH

Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Mata Kuliah Tafsir Sosial

Dosen: Drs. Hamid Sidiq, M.Ag

Oleh:

FADILA KHOERUNISA

SRI RAHAYU

WITA SITI NURHAFIDANINGSIH

PROGRAM SARJANA ILMU QUR’AN DAN TAFSIR

SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM PERSATUAN ISLAM BANDUNG

2017 M /1439 H

KABUPATEN BANDUNG
Tafsir Sosial

KATA PENGANTAR

Segala puji bagi swt yang telah memberikan nikmat yang luar biasa kepada kita semua,
baik itu nikmat iman maupun nikmat islam, semuanya wajib kita syukuri dengan segala bentuk
ketaatan kita kepada swt. swt juga memberikan nikmat sehat yang selalu kita terima setiap hari
dan disetiap saat, mudah-mudahan dengan nikmat sehat ini menjadi salah satu alasan kita untuk
tetap semangat dalam mencari ilmu dan juga menyebarkan ilmu yang telah kita dapat kepada orang
lain yang memang wajib kita sampaikan.
Makalah ini disusun sebagai salah satu tugas matakuliah Tafsir Sosial, mudah-mudahan
dengan adanya makalah ini akan memberikan sumbangan positif bagi mahasiswa dalam mengenal
dan memahami tentang “Ayat dan Analisis Tafsir tentang Syu’ub”.
Penulis menyadari, bahwa dalam penulisan makalah ini masih jauh dari kata sempurna,
karena kami sadar kami masih dalam proses belajar yang tetap harus menyempurnakan keilmuan
dan wawasan kami. Oleh karena itu saran atau kritikan yang positif dari para pembaca sangat
penulis harapkan, sehingga penulisan makalah ini menjadi lebih sempurna.
Penulis juga menyampaikan banyak terimakasih kepada Ustadz Hamid Sidiq, M.Ag.
selaku dosen mata kuliah Tafsir Ibadah yang telah memberikan saran dan masukannya dalam
proses penulisan makalah ini.

Semoga makalah ini bermanfaat, khususnya bagi penulis dan umumnya para pembaca yang
budiman.
Akhirnya, hanya kepada Allah Swt jugalah penulis memohon maaf dan mudah-mudahan
dengan makalah ini memberikan petunjuk-Nya kejalan yang lurus yang diridhai-Nya,Aamiin.

Bandung, 19 Maret 2018

Penulis

1
Tafsir Sosial

DAFTAR ISI

Kata Pengantar………………………………………………………………………………… 1

Daftar isi ………………………………………………………………………………………. 3

Bab I Muqaddimah

A. Latar Belakang Masalah ……………………………………………………………….. 3


B. Rumusan Masalah ……………………………………………………………………… 3
C. Tujuan Pembahasan ……………………………………………………………………. 3
D. Metode Pembahasan ……………………………………………………………………. 4
E. Sistematika Pembahasan ……………………………………………………………….. 4

Bab II Pembahasan

A. Pengertian Syu’ub ………………………………………………………………………. 5


B. Tafsir dan Analisis Ayat Tentang Syu’ub……………………………………………….. 6

Bab III Penutup

A. Kesimpulan……………………………………………………………………………. 16
B. Saran…………………………………………………………………………………... 16

Daftar Pustaka ………………………………………………………………………………. 18

2
Tafsir Sosial

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah


Manusia merupakan bagian terkecil dari masyarakat. Dan masyarakat sebagai tempat atau
wadah untuk berinteraksi dengan sesamanya. Dalam masyarakat manusia menjalin hubungan
dengan sesamanya sehingga semakin terjalin persaudaraan antara yang satu dengan yang lain.
Al Qur’an menyebut sejumlah konsep komunitas. Diantaranya sya’bun atau jamaknya
syu’ub (komunitas yang dihimpun oleh hubungan genetik sebagai suatu marga). Istilah
menyebutkan bahwa sya’b adalah suku. Seperti yang kita lihat saat ini, bahwa di sekitar kita
masih sangat kaya dengan suku-suku, bahkan di Negara ini terdiri dari berbagai suku.
Dalam bentuknya sebagai jamak kata syu’ub muncul sebanyak satu kali dalam Al Qur’an
yaitu terdapat pada Q.S. Al Hujurat (49): 13.
Dalam makalah ini, penulis akan memaparkan pengertian dan tafsir kata syu’ub dalam Al
Qur’an.
B. Rumusan Masalah
Dari latar belakang tersebut, dapat diambil rumusan masalah sebagai berikut:
1. Apa pengertian Syu’ub?
Bagaimana tafsir dan analisis ayat tentang Syu’ub ?
C. Tujuan Pembahasan
Makalalah ini bertujuan untuk:
1. Mengetahui tafsir dan alisis ayat tentang Syu’ub
2. Mengetahui tafsir dan analisis ayat tentang Syu’ub
D. Metoda Pembahasan

Metoda Library Research atau penelitian kepustakaan. Metode ini dipergunakan untuk
meneliti dokumentasi, literatur dan tulisan-tulisan yang ada hubungannya dengan pokok
permasalahan yang dibahas. Metode kepustakaan atau literatur ini mengumpulkan informasi
dari berbagai buku-buku, kitab-kitab, yang berkaitan dengan pembahasan kali ini yang
mengenai “Tafsir dan Analisis Ayat tentang Syu’ub ”

3
Tafsir Sosial

E. Sistematika pembahasan
Adapun sistematika pembahasan yang akan ditampilkan dalam tulisan ini meliputi:
1. BAB I: Pendahuluan yang meliputi: latar Belakang Masalah, Rumusan Masalah, Tujuan
Pembahasaan. Metoda Pembahasaan dan Sistematika Pembahasaan.
2. BAB II: Pembahasan yang meliputi: Ayat tentang Syu’ub
3. BAB III: Penutup yang meliputi: Kesimpulan dan Saran

4
Tafsir Sosial

BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Syu’ub
Kata ( ‫ ) شعوب‬syu’ub adalah bentuk jamak dari kata ( ‫ ) شعب‬sya’b. Kata Sya’ab sendiri
memiliki dua makna yang saling bertentangan yakni berpisah dan bersatu. Ahli Bahasa juga
berbeda pendapat mengenai makna kata tersebut.1 Sedang al-Qurtubi memahami kata Sya’ab
dengan para pemuka kabilah seperti Rabi’ah, Mudhor, Aus, dan Khajraz. Dinamakan
demikian, karena mereka bersatu. Al Jawhari mengatakan makna sya’b adalah bersatunya
beberapa kabilah Arab dan non Arab. Sedang Ibnu Abbas mengatakan bahwa syu’ub adalah
kelompok besar seperti Bani Mudhar. Sedang kabilah adalah kelompok kecil. Sementara itu,
Mujahid mengatakan bahwa syu’ub berarti keturunan dari jalur nasab yang jauh sedang
kabilah adalah jalur nasab yang dekat.2 Kata ini digunakan untuk menunjukan kumpulan dari
sekian (‫ )قبيله‬Qabilah yang biasa diterjemahkan suku yang merujuk pada satu kakek.
Qabilah/suku pun terdiri dari sekian banyak kelompok keluarga yang dinamai (‫ )عمارة‬imarah,
dan yang ini terbagi lagi dari sekian banyak kelompok yang dinamai (‫ )بطن‬bathn. Di bawah
bathn ada sekian banyak (‫ )فخذ‬fakhdz hingga akhirnya sampai pada himpunan keluarga yang
terkecil.3
Kata sya’b juga berarti bangsa (nation), yang terdiri dari beberapa suku atau Qabilah yang
bersepakat untuk bersatu dibawah aturan-aturan yang disepakati bersama.4
Zamakhsyari dalam al-Kasysyaf mengatakan sya’ab merupakan tingkat pertama dari
enam tingkatan bangsa arab, yaitu: sya’ab, qabillah, imarah, bathn, fakhihz, dan fashilah.
Sya’ab terdiri dari beberapa qabilah, qabilah terbentuk dari beberapa imarah, imarah
terhimpun dari sejumlah bathn, bathn terdiri dari beberapa fakhihz dan fakhihz terbentuk dari
beberapa fashilah. Khuzaimah merupakan sya’ab, sementara kinanah adalah sebuah qabilah,

1
Abu Alhusain Ahmad bin Faris bin Zakariyya, Mu’jam al-Maqayis fi al-Lughah, (Bairut: Dar al-Fikr,1994),
Hal.527
2
Muhamad ibn Ahmad Ibn Abi Bakar ibn Farh al-Anshari al-Qurtubi, al-Jami li Ahkam al-Quran, juz XVI,
(Riyadh: Dar Alam al-kutub, 2003), Hal.433
3
Quraish Shihab, Tafsir Al-Mishbah: Pesan, Kesan dan Keserasian Al-Qur’an, vol. 13, hal. 216
4
Kementrian Agama RI, Al-Qur’an dan Tafsirnya (edisi yang
5 disempurnakan) juz 25-27, jilid 9, hal. 419
Tafsir Sosial

adapun qurais merupakan sebuah imarah, kemudian qushai merupakan sebuah bathn, Hasyim
merupakan sebuah fakhihz, sedangkan Abbas merupakan fashilah.5
Menurut suatu pendapat, yang dimaksud dengan syu'ub ialah kabilah-kabilah yang non-
Arab. Sedangkan yang dimaksud dengan kabilah-kabilah ialah khusus untuk bangsa Arab,
seperti halnya kabilah Bani Israil disebut Asbat.6

B. Ayat dan Tafsir Tentang Syu’ub

Di dalam Al-Qur’an, kata Syu’ub, hanya ada pada satu ayat. Yaitu dalam Surat Al-

Hujurat ayat :13

ۡ َ َّ ٓ َ َ َ َ ٓ َ َ َ ٗ
ۡ‫ك َر َمكم‬ ۡ َ َۡ َ َ َ َ َ َ َ ۡ َ َ َّ َ ُّ َ َ
َٰ َٰ َٰ
‫يأيها ٱنلاس إِنا خلقنكم مِن ذك ٖر وأنَث وجعلنكم شعوبا وقبائِل ِلِ عارف ْۚوا إِن أ‬ َّ َٰٓ

ٞ َ ٌ َ َ َّ َّ ۡ َٰ َ ۡ َ َّ َ
١٣ ‫عِند ٱّللِ أتقىك ْۚم إِن ٱّلل علِيم خبِري‬

Hai manusia, Sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang
perempuan dan menjadikan kamu berbangsa – bangsa dan bersuku-suku supaya kamu
saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu di sisi
ialah orang yang paling taqwa diantara kamu. Sesungguhnya Maha Mengetahui lagi
Maha Mengenal.

Kosakata

1. Syu’uban ‫( ُشعُوْ بًا‬al-Hujurat /49: 13)


Kata syu’ub merupakan bentuk plural (jama) dari kata sya’b yang berarti bangsa (nation)
yang terdiri dari beberapa suku atau qabilah yang bersepakat untuk bersatu dibawah aturan-
aturan yang disepakati bersama. Dalam konteks ayat ini, Allah swt menjelaskan bahwa Dia
menciptakan manusia dari lelaki dan perempuan, dan menjadikannya berbagai bangsa dan
suku bangsa.

5
Zamakhsyari, Tafsir Al-Kasyaf, Beirut: Dar Al Maarifah
6
Ibnu Katsir, Tafsir Ibnu Katsir, (Riyadh: Maktabah Maarifah, 1410-1989), Jil. 4, Hal. 437

6
Tafsir Sosial

2. Qaba’il ‫( قَبَائل‬al-Hujurat /49: 13)


Kata qaba’il merupakan bentuk plural (jamak) dari kata kabilah yang berarti kabilah atau
suku. Biasanya kata kabilah atau suku didasarkan pada banyak keturunan yang menjadi
kebangsaan. Jelasnya, kata qabilah (suku-suku) lebih kecil cakupannya dari pada syu’ub
(bangsa-bangsa).

Asbabul Nuzul

Diriwayatkan oleh Abu Dawud mengenai turunnya ayat ini yaitu tentang peristiwa yang
terjadi pada seorang sahabat yang bernama Abu Hindin yang biasa berhidmat kepada nabi
Muhamad untuk mengeluarkan darah kotor dari kepalanya dengan pembekam, yang
bentuknya seperti tanduk. Rasululloh Saw menyuruh kabilah Bani Bayadah agar menikahkan
Abu Hindin dengan seorang perempuan dikalangan mereka. Mereka bertanya, “Apakah patut
kami mengawinkan gadis-gadsi kami dengan budak-budak?” maka Allah swt menurunka ayat
ini agar kita tidak mencemoohkan seseorang karena memandang rendah kedudukannya.
Diriwayatkan oleh Abu Mulaikah bahwa tatkala terjadi Pembebasan Mekah, yaitu
kembalinya negeri Mekah di bawah kepemimpinan Rasululloh saw untuk mengumandangkan
adzan. Ia memanjat kabah dan mengumandangkan adzan, berseru kepada kaum muslimin
untuk sholat berjama’ah.
Atta bin Usaid ketika melihat bilal naik ke atas ka’bah untuk beradzan, berkata, “segala
puji bagi Allah swt yang telah mewafatkan ayah ku sehingga tidak sempat menyaksikan
peristiwa hari ini.” Haria bi Hisam, ia berkata, “Muhamad tidak akan menemukan orang lain
untuk beradzan kecuali burung gagak yang hitam ini.” Maksudnya mencemooh bilal karna
warna kulitnya yang hitam. Maka datanglah malaikat Jibril bemberi tahukan kepada
Rasululloh Saw, apa yang mereka ucapkan itu. Maka turunlah ayat ini yang melarang manusia
menyombongkan diri karena kedudukan, kepangkatan, kekayaan, keturunan, dan
mencemoohkan orang-orang miskin. Diterangkan pula bahwa kemuliaan itu dihubungkan
dengan ketakwaan kepada Allah swt.7

Diriwayatkan oleh Abu Daud bahwa ayat ini turun berkenaan dengan Abu Hind yang
pekerjaan sehari-harinya adalah pembekam. Nabi meminta kepada Bani Bayadhah agar

7
Kementrian Agama RI, Hal. 220

7
Tafsir Sosial

menikahkan salah seorang putri mereka dengan Abu Hind, tetapi merka enggan dengan alesan
tidak wajar menikahkan putri mereka dengannya yang merupakan salah seorang bekas budak
mereka. Sikap keliru ini di kecam oleh Al-Qur’an dengan menegaskan bahwa kemulian disisi
Allah swt bukan karena keturunan atau garis kebangsawanannya tetapi karena ketakwaan.
Ada juga riwayat yang menyatakan bahwa Usaid Ibn Abi Al-Ish berkomentar ketika
mendengar Bilal mengumandangkan adzan di ka’bah bahwa “ alhamdulillah ayahku wafat
sebelum melihat kejadiaan ini” ada lagi yang berkomentar “adakah Nabi Muhammad tidak
menemukan selain burung gagak itu untuk beradzan ?”

Adapun sebab nuzulnya, yang jelas ayat diatas menegaskan kesatuan asal usul manusia
dengan menunjukan dengan menunjukan kesamaan derajat manusia. Tidak wajar sesorang
merasa berbangga diri dan merasa lebih dari yang lain, bukan saja satu bangsa, suku, warna
kulit dengan selainnya, tetapi antara jenis kelamin meraka. Karena kalaulah seandainya ada
yang berkata bahwa Hawwa’ yang perempuan itu bersumber dari tulang rusuk Adam, sedang
Adam adalah laki-laki, dan suber sesuatu lebih tinggi dari cabangnya, sekali lagi seandainya
ada yang berkata demikian maka itu hanya khusus terhadap Adam dan Hawwa’, tidak
terhadap semua manusia karena manusia selain mereka berdua – kecuali Isa As. – lahir akibat
percampuran laki-laki dan perempuan.

Dalam konteks ini sewaktu haji wada’ (perpisahan), Nabi saw. Berpesan antara
lain:”Wahai seluruh manusia, sesngguhnya tuhan kamu Esa, ayah kamu satu, tiada kelebihan
orang Arab atas non Arab. Tidak juga non Arab atas orang Arab, atau orang (berkulit) hitam
atas orang (berkulit) merah (yakni putih) tidak juga sebaliknya kecuali dengan takwa,
sesungguhnya semulia-mulia kamu di sisi Allah swt adalah yang paling bertakwa. (HR. al-
Baihaqi melalui jalur ibn Abdulilah).8

Munasabah

Pada ayat-ayat yang lalu, Allah swt menjelaskan tentang etika sesama muslim, pada ayat
ini, Allah swt menjelaskan etika antar bangsa.

8
Quraish Shihab, Hal. 264

8
Tafsir Sosial

Tafsir

Setelah memberi petunjuk tata karma pergaulan dengan sesama muslim, ayat di atas
beralih pada uraian tentang prinsip dasar hubungan antara manusia. Karena itu ayat di atas
tidak lagi menggunakan panggilan yang ditunjukan kepada orang-orang beriman, tetapi
kepada jenis manusia. Allah swt berfirman: Hai manusia, sesungguhnya kami menciptakan
kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan yakni Adam dan Hawwa’,atau dari
sperma (benih laki-laki) dan ovum (indung telur perempuan) serta menjadikan kamu
berbangsa-bangsa juga bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal yang mengantar
kamu untuk bantu membantu serta saling melengkapi, sesungguhnya yang paling mulia
diantara kamu disisi Allah swt ialah yang pling bertakwa diantara kamu. Sesunggguhnya
Allah swt Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal sehingga tidak ada satupun yang
tersembunyi bagi-Nya, walau detak-detik jantung dan niat seseorang.

Penggalan pertama ayat diatas Sesungguhnya kami menciptakan kamu dari seorang laki-
laki dan seorang perempuan” adalah pengantar untuk menegaskan bahwa semua manusia
derajat kemanusiannnya sama di sisi Allah swt, tidak ada perbedaan antara satu suku dengan
yang lain. Tidak ada pula perbedaan pada nilai kemanusian antara laki-laki dan permpuan
karena semua diciptakan dari seorang laki-laki dan seorang perempuan. Pengantar tersebut
mengantar pada kesimpulan yang disebut oleh penggalan ayat terakhir ini yakni
“Sesungguhnya yang paling mulia diantara kamu disisi ialah yang pling bertakwa” karena
itu berusahalah untuk meningkatkan ketakwaan agar menjadi yang temulia disisi Allah swt.

Terlihat dari penggunaan kata sya’b bahwa ia bukan menunjuk pada penertian bangsa
sebagaimana dipahami dewasa ini. Memang paham kebangsaan sebagaimana dikenal dewasa
ini – pertama kali muncul dan berkembang di Eropa pada abad XVIII M dan baru dikenal
umat Islam sejak masuknya Napolean ke Mesir akhir abad XVIII itu. Namun ini bukan berarti
bahwa paham kebangsaan dalam pengertian modern tidak disetujui oleh Al-Qur’an.

Kata (‫ )تعارفوا‬ta’arufu’ terambil dari kata (‫‘ )عرف‬arafa yang berati mengenal. Patron kata
yang digunakan ayat ini mengandung makna timbal balik, dengan demikian ia saling
mengenal.

9
Tafsir Sosial

Semakin kuat pengenalan satu pihak kepada selainnya, semakin terbuka pandangan untuk
saling memberi manfaat. Karena itu ayat di atas menekankan perlunya saling mengenal.
Perkenalan itu di tumbuhkan untuk saling menarik perhatian dan pengalaman pihak lain, guna
meningkatkan ketakwaan kepada Allah Swt. Yang dampaknya tercermin dari kedamaian dan
kesejahteraan hidup dunia dan kebahagiaan akhirat. Anda tidak dapat menarik pelajaran, tidak
dapat saling melengkapi, dan menarik mamfaat bahkan tidak dapat bekerja sama tanpa saling
kenal mengenal. Saling mengenal yang di garis bawahi dalam ayat diatas adalah “pancing”nya
bukan “ikan”nya. Yang dikarenakan caranya bukan manfaatnya, karena seperti kata orang,
memberi “pancing” jauh lebih baik dari pada memberi “ikan”.

Demikian juga pula halnya dengan mengenal terhadap alam raya. Semakin banyak
mengenal terhadapnya, semakin banyak pula rahasia-rahasianya yang terungkap, dan ini pada
gilirannya melahirkan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi serta menciptakan
kesejahteraan lahir dan batin, dunia dan akhirat. Dari sini juga sejak dini Al-Qur’an menggaris
bawahi bahwa “Sesungguhnya manusia berlaku senang-senang bila ia merasa tidak butuh”
(Qs Al-Alaq: 6-7) salah satu dampak ketidak butuhan itu adalah keengganan menjalin
hubungan, keengganan saling mengenal dan ini pada gilirannya melahirkan bencana dan
perusakan di dunia.

Kata (‫ )أكرمرم‬akromakum terambil dari kata (‫ )كرم‬karama yang pada dasarnya berarti yang
baik dan istimewa sesuai dengan objeknya. Manusia yang baik dan istimewa adalah yang
memiliki akhlak baik terhadap dan terhadap sesama makhluk.

Manusia memiliki kecenderungan untuk mencari bahkan bersaing dan berlomba menjadi
yang terbaik. Banyak sekali manusia yang menduga bahwa kepemilikan materi kecantikan
serta kedudukan sosial karena kekuasaan atau garis keturunan, mereupakan kemuliaan yang
harus dimiliki dan karena itu banyak yang berusaha memilikinya. Tetapi bila diamani apa
yang dianggap keistimewaan dan sumber kemuliaan itu, sifatnya sangat sementara bahkan
tidak jarang menghantar pemiliknya kepada kebinasaan. Jika demikian, hal-hal tersebut
bukanlah sumber kemuliaan. Kemuliaan adalah sesuatu yang langgeng sekaligus
membahagiakan sera terus-temerus. Kemuliaan abadi dan langgeng itu ada di sisi-Nya. Dan
untuk mencapainya adalah dengan mendekatkan diri kepada-Nya, menjauhi larangan-Nya,
melaksanakan perintah-Nya serta meneladani sifat-sifat-Nya sesuai kemampuan manusia itu

10
Tafsir Sosial

takwa, dan dengan demikian yang paling mulia di sisi Allah swt adalah yang paling bertakwa.
Untuk meraih hal tersebut, manusia tidak perlu merasa khawatir kekurangan karena ia
melimpah, melebihi kebutuhan bahkan keinginan manusia sehingga tidak pernah habis. Allah
swt berfirman:

“Apa yang di sisi kamu (wahai mahluk) akan lenyap, dan apa yang ada di sisi Allah swt akan
kekal (tidak habis-habisnya)” (Qs. An-Nahl : 96)

Sifat (‫‘ )عليم‬alim dan (‫ )خير‬khabir keduanya mengandung makna sama kemahatuhanan
Allah Swt, sementara ulama berpendapat keduanya dengan menyatakan bahwa ‘alim
menggambarkan pengetahuan-Nya menyangkut segala sesuatu. Penekanannya adalah pada
dzat yang bersifat Maha Mengetahui – bukan pada sesuatu yang diketahuinya itu. Sedang
khabir menggambarkan pengetahuannya yang menjangkau sesuatu. Di sini penekananya
bukan pada dzat-Nya yang Maha Mengetahui tetapi pada sesuatu yang diketahuinya itu.

Penutup ayat di atas (‫ )ان هللا عليم خبر‬inna Allah ‘alimun khabir ”Sesungguhnya Allah swt
Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal” yakni menggabungkan dua sifat Allah swt yang
bermakna mirip itu, hanya ditemukan tiga kali dalam al-Qur’an. Konteks ketiganya adalah
pada hal-hal yang mustahil, atau amat sangat sulit diketahui manusia. Pertama tempat
kematian seseorang yakni firman Allah swt:

“ dan tidak seorangpun mengetahui di bumi ini mana ia akan mati, sesungguhnya Allah swt
Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal.” (Q.S.Lukman:34)

Kedua adalah rahasia yang dipendam. Dalam hal ini kasus pembicaraan rahasia antara
istri-istri Nabi Saw, Aisyah dan Hafshah menyangkut sikaf mereka terhadap Rasul yang lahir
akibat kecemburuan terhadap istri Nabi yang lain, Zainab ra. Dalam Qs. At-Tahrim:3
berfirman bahwa:

“dan ingatlah ketika Nabi membicarakan secara rahasia kepada salah seorang istri-
istrinya (Hafshah) menceritakan peristiwa itu (kepada Aisyah) dan Allah swt memberi
tahukan hal itu (semua pembicaraan antara Hafshah dan Aisyah) kepada Muhammad, lalu
Muhammad memberikan sebagian (ang diberikan kepadanya) dan menyembunyikan
sebagian yang lainnya (kepada Hafshah). Maka tatkala (Muhammad) mmberitahukan
pembicaraan (antara Hafshah dan Aisyah) lal Hafsha bertanya:siapakah yang

11
Tafsir Sosial

memberitahukan ini kepad mu? Nabi menjawab: “telah diberitakan kepadaku oleh Allah
swt yang mMaha Mengetahui lagi Maha Mendengar”.

Ketiga, adalah kualitas ketakwaan dan kemuliaan seseorang di sisi Allah swt. Yaitu ayat
yang ditafsirkan di atas. Ini berarti bahwa adalah sesuatu yang paling sulit bukan mustahil,
seorang manusia dapat menilai kadar dan kualitas keimanan serta ketakwaan sesorang. Yang
mengetahuinya hanyalah Allah Swt. Di sisi lain, penutup ayat ini mengisaratkan juga bahwa
apa yang diciptakan Allah swt menyangkut esensi kemulian adalah yang paling tepat, bukan
apa yang diperbuat oleh banyak manusia, karena Allah swt Maha Mengetahui lagi Maha
Mengenal. Dengan demikian manusia hendaknya memperhatikan apa yang dipesankan oleh
sang Pencipta manusia yang Maha Mengetahui dan Mengenal mereka juga kemaslahatan
mereka.9

Pada garis besarnya semua manusia bila ditinjau dari unsur kejadiannya —yaitu tanah
liat— sampai dengan Adam dan Hawa a.s. sama saja. Sesungguhnya perbedaan keutamaan di
antara mereka karena perkara agama, yaitu ketaatannya kepada Rasul-Nya. Karena itulah
sesudah melarang perbuatan menggunjing dan menghina orang lain, Allah Swt. berfirman
mengingatkan mereka, bahwa mereka adalah manusia yang mempunyai martabat yang sama:

‫يَا أَيُّ َها النَّاسُ إِنَّا َخلَ ْقنَاك ُْم ِم ُْن ذَ َكرُ َوأنْثَى َو َج َعلْنَُاك ُْم شعوبُا َوقَبَائِ َُل لِتَ َع َارفو‬

Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang
perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling
kenal-mengenal. (Al-Hujurat: 13)

Sufyan As-Sauri mengatakan bahwa orang-orang Himyar menisbatkan dirinya kepada


sukunya masing-masing, dan orang-orang Arab Hijaz menisbatkan dirinya kepada kabilahnya
masing-masing.

9
Quraish Shihab. M, Tafsir Al-Mishbah: Pesan, Kesan dan Keserasian Al-Qur’an, vol. 13, Hal.260-264

12
Tafsir Sosial

،‫يسى الث ََّق ِف ِّي‬ ِ ُِ ِ‫ ع ُن عب ُِد الْمل‬،‫ حدَّثَنَا عبدُ اللَُِّه بنُ الْمبارِك‬،‫َْحدُ بنُ ُم َّمد‬
َ ‫ك بْ ُِن ع‬ َ َْ ْ َ َ َ ْ َْ َ ُُّ ‫يسى الت ِّْرِم ِذ‬
َ ْ َْ ‫ َحدَّثَنَا أ‬: ‫ي‬
ِ َُ َ‫ق‬
َ ‫ال أَبو ع‬
ِ َ‫تَعلَّموا ِم ُن أَنْسابِك ُم ما ت‬: "‫ال‬ ِ ُِ ِ‫ل الْمْنبَع‬
ُ‫صلو َن‬ َْ َ ْ َ َُ َ‫صلَّى اللَّهُ َعلَْي ُه َو َسلَّ َُم ق‬ ُِّ ِ‫ َع ُِن الن‬،‫َب هَريَْرَة‬
َ ‫َّب‬ ُ ِ‫ َع ُْن أ‬-‫ث‬ َُ ‫َع ُْن يَِز‬
َُ‫ َم ْو‬-‫يد‬

ُ ِ ُ‫ َمْن َسأَة‬،‫ف الْ َم ِال‬


".‫ف ْاْلَثَُِر‬ ُ ِ ُ‫الرِح ُِم َُمَبَّة‬
ُ ِ ُ‫ َمثْ َراة‬،‫ف ْاْل َْه ِل‬ َّ ‫بُِِه أ َْر َح َامك ْم؛ فَِإ َُّن ِصُلََُة‬

Abu Isa At-Turmuzi mengatakan, telah menceritakan kepada kami Ahmad ibnu
Muhammad, telah menceritakan kepada kami Abdullah ibnul Mubarak, dari Abdul Malik ibnu
Isa As-Saqafi, dari Yazid Mula Al-Munba'is, dari Abu Hurairah r.a., dari Nabi Saw. yang telah
bersabda: Pelajarilah nasab-nasab kalian untuk mempererat silaturahmi (hubungan keluarga)
kalian, karena sesungguhnya silaturahmi itu menanamkan rasa cinta kepada kekeluargaan,
memperbanyak harta, dan memperpanjang usia.
Kemudian Imam Turmuzi mengatakan bahwa hadis ini garib, ia tidak mengenalnya
melainkan hanya melalui jalur ini.

Firman Swt.:

ُ‫إِ َُّن أَ ْكَرَمك ُْم ِعنْ َُد اللَُِّه أَتْ َقاك ْم‬

Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi ialah orang yang paling
bertakwa. (Al-Hujurat: 13)

Yakni sesungguhnya kalian berbeda-beda dalam keutamaan di sisi swt hanyalah dengan
ketakwaan, bukan karena keturunan dan kedudukan. Sehubungan dengan hal ini banyak hadis
Rasulullah Saw. yang menerangkannya.

ُ َِ‫ َع ُْن َسعِيدُ بْنُ ُأ‬،‫ َع ُْن عبَ ْي ُِد اللَِّه‬،‫ َح َُّدثَنَا َعْب َدة‬،‫ َحدَّثَنَا ُمَ َّمدُ بْنُ َس ََلم‬: ُ‫ي َرِْحَهُ اللَّه‬
ُ‫ َع ُْن أَِب‬،‫ب َسعِيد‬ ُُّ ‫ال الْب َخا ِر‬
َُ َ‫ق‬
َِّ ِ ُُّ َ‫ُأ‬: ‫صلَّى اللَّهُ َعلَْي ُِه َو َسلَّ َُم‬ ِ ِ َُ َ‫هري رةَُ ق‬
ُ‫س‬
َ ‫لَْي‬: ‫أَ ْكَرمه ُْم عنْ َُد الل ُه أَتْ َقاه ُْم "قَالوا‬: "‫ال‬ ُِ ‫ي الن‬
َُ َ‫َّاس أَ ْكَرم؟ ق‬ َ ‫سئ َُل َرسولُ اللَُّه‬: ‫ال‬ َْ َ
.‫ك‬
َُ ‫س َع ُْن َه َذا نَ ْسأَل‬ ُِ ِ‫ ابْ ُِن َخل‬،‫ب اللَِّه‬
َُ ‫ُلَْي‬: ‫"قَالوا‬. ‫يل اللَُِّه‬ ُِّ َِ‫ ابْنُ ن‬،‫ب اللَِّه‬ ُِ ‫فَأَ ْكَرمُ الن‬: "‫ال‬
ُُّ َِ‫َّاس يوسفُ ن‬ َُ َ‫ق‬. ‫ك‬
َُ ‫َع ُْن َه َذا نَ ْسأَل‬

"‫ال ْس ََلُِم إِ َذا فَِقهوا‬ ُ ِ ‫اهلِيَُِّة ِخيَارك ُْم‬


ُِْ ‫ف‬ ِ ‫اْل‬
َْ ‫ف‬ُ ِ ‫ُفَ ِخيَارك ُْم‬: "‫ال‬ ُِ ‫فَ َع ُْن َم َع ِاد ُِن الْ َعَر‬: "‫ال‬
َُ َ‫ق‬. ‫نَ َع ُْم‬: ‫ب تَ ْسأَل ِوِن؟ " قَالوا‬ َُ َ‫ق‬

Imam Bukhari mengatakan, telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Salam, telah
menceritakan kepada kami Abdah, dari Ubaidillah, dari Sa'id ibnu Abu Sa'id r.a., dari Abu

13
Tafsir Sosial

Hurairah yang mengatakan bahwa Rasulullah Saw. pernah ditanya mengenai orang yang
paling mulia, siapakah dia sesungguhnya? Maka Rasulullah Saw. menjawab: Orang yang
paling mulia di antara mereka di sisi adalah orang yang paling bertakwa. Mereka
mengatakan, "Bukan itu yang kami maksudkan." Rasulullah Saw. bersabda: Orang yang
paling mulia ialah Yusuf Nabi , putra Nabi dan juga cucu Nabi , yaitu kekasih . Mereka
mengatakan, "Bukan itu yang kami maksudkan." Rasulullah Saw. balik bertanya, "Kamu
maksudkan adalah tentang kemuliaan yang ada di kalangan orang-orang Arab?" Mereka
menjawab, "Ya." Maka Rasulullah Saw. bersabda: Orang-orang yang terhormat dari kalian
di masa Jahiliah adalah juga orang-orang yang terhormat dari kalian di masa Islam jika
mereka mendalami agamanya.
Imam Bukhari meriwayatkan hadis ini bukan hanya pada satu tempat melainkan melalui
berbagai jalur dari Abdah ibnu Sulaiman. Imam Nasai meriwayatkannya di datem kitab
tafsir, dari Ubaidah ibnu Umar Al-Umari dengan sanad yang sama.

Firman Swt.:

ٞ‫ُخبِري‬ ِ ‫إِ َّنُٱللَّه‬


َ ‫ُعليم‬
َ َ

Sesungguhnya Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal. (Al-Hujurat: 13)

Yakni Dia Maha Mengetahui kalian dan Maha Mengenal semua urusan kalian, maka Dia
memberi petunjuk kepada siapa yang dikehendaki-Nya dan menyesatkan siapa yang
dikehendaki-Nya, merahmati siapa yang dikehendaki-Nya dan mengazab siapa yang
dikehendaki-Nya, serta mengutamakan siapa yang dikehendaki-Nya atas siapa yang
dikehendakinya. Dia Mahabijaksana, Maha Mengetahui, lagi Maha Mengenal dalam
semuanya itu.

14
Tafsir Sosial

BAB III

PENUTUP

Kesimpulan

Kata ( ‫ ) شعوب‬syu’ub adalah bentuk jamak dari kata ( ‫ ) شعب‬sya’b. kata ini digunakan untuk
menujukan kumpulan dari sekian (‫ )قبيله‬Qabilah yang biasa diterjemahkan suku yang merujuk pada
satu kakek. Qabilah/suku pun terdiri dari sekian banyak kelompok keluarga yang dinamai (‫)عمارة‬
imarah, dan yang ini terbagi lagi dari sekian banyak kelompok yang dinamai (‫ )بطن‬bathn. Di bawah
bathn ada sekian banyak (‫ )فخذ‬fakhdz hingga akhirnya sampai pada himpunan keluarga yang
terkecil.

Allah swt menciptakan manusia dari seorang laki-laki dan perempuan dan menjadikan manusia
berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya mereka saling mengenal dan tolong menolong.
Kemulian manusia tidak diukur dengan keturuanan atau kekayaan, melainkan diukur dengan
ketakwaan kepada Allah swt.

15
Tafsir Sosial

DAFTAR PUSTAKA

Abu Alhusain Ahmad bin Faris bin Zakariyya, Mu’jam al-Maqayis fi al-Lughah, (Bairut: Dar
al-Fikr,1994
Muhamad ibn Ahmad Ibn Abi Bakar ibn Farh al-Anshari al-Qurtubi, al-Jami li Ahkam al-
Quran, (Riyadh: Dar Alam al-kutub, 2003)
Quraish Shihab, Tafsir Al-Mishbah: Pesan, Kesan dan Keserasian Al-Qur’an, (Tangerang:
Lentera Hati, 2008)
Kementrian Agama RI, Al-Qur’an dan Tafsirnya (edisi yang disempurnakan), Jilid 9, Jakarta:
Widya Cahaya, 2011)
Zamakhsyari, Tafsir Al-Kasyaf, Beirut: Dar Al Maarifah, 2009
Ibnu Katsir, Tafsir Ibnu Katsir, (Riyadh: Maktabah Maarifah, 1410-1989)

16

Anda mungkin juga menyukai