Anda di halaman 1dari 24

Metode Studi Sanad Hadis

Makalah ini di buat untuk memenuhi tugas dari Bapak Ro‟uf sebagai dosen
pembimbing di mata kuliah AL-qur‟an hadits

Dosen pengampu :M. Abdurro‟uf Hanif, S.pd

DI SUSUN OLEH :
KELOMPOK 6

DIMAS ATTORIQ
GALANG ARMAYUDA

SEKOLAH TINGGI ILMU TARBIYAH


STIT TANGGAMUS
2021
Kata pengantar

Penulis sangat berharap Puji syukur diucapkan kehadirat Allah SWT atas
segala rahmatNya sehingga makalah ini dapat tersusun sampai dengan selesai.
Tidak lupa kami mengucapkan terimakasih terhadap Bapak Ro‟uf selaku dosen
pada mata kuliah Al-qur‟an hadis dan mahasiswa/i sebagai audien.

semoga makalah ini dapat menambah pengetahuan dan menambah wawasan


bagi pembaca. Bahkan kami berharap lebih jauh lagi agar makalah ini bisa
pembaca mengerti atas materi yang di sampaikan.

Bagi kami sebagai penyusun merasa bahwa masih banyak kekurangan


dalam penyusunan makalah ini karena keterbatasan pengetahuan dan wawasan
Kami. Untuk itu kami sangat mengharapkan kritik dan saran yang membangun
dari pembaca demi kesempurnaan makalah ini.

Talangpadang, November 2021

Penyusun

I
Daftar isi
Kata pengantar` .................................................................................... I
Daftar isi................................................................................................. II
BAB I
A. Latar Belakang ............................................................................ 1
B. Rumusan masalah ........................................................................ 2
C. Tujuan........................................................................................... 3
BAB II
A. Pengertian dan sejarah sanad hadis .......................................... 4
1. Pengertian sanad ..................................................................... 5
2. Sejarah sanad .......................................................................... 6
a. Sama’ ..................................................................................... 7
b. Ardh’ ...................................................................................... 8
c. Ijazah ..................................................................................... 9
d. Munawalah ............................................................................ 10
e. Kitabah .................................................................................. 11
f. I’lam ....................................................................................... 12
g. Washiyyat .............................................................................. 13
h. Wajadah ................................................................................ 14
B. Tujuan dan manfaat metode penelitian sanad .......................... 15
C. Faktor yang mendorong penelitian sanad ................................. 16
D. Bagian yang harus di teliti sanad ............................................... 17
1. Ketersambungan sanad .......................................................... 18
2. Keadilan perawi ...................................................................... 19
3. Kedhabitan perawi.................................................................. 20
4. Terhindar dari syaz dan ‘illat ................................................ 21
BAB III
A. Kesimpulan ..................................................................22

B. Saran ............................................................................23

Daftar pustaka .....................................................................24

II
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Dalam mempelajari Hadis Nabi saw, seseorang harus mengetahui dua
unsur penting yang menentukan keberadaan dan kualitas Hadis tersebut
yaitu al-sanad dan al-matan. Kedua unsur Hadis tersebut begitu penting
artinya dan antara yang satu dan yang lainnya saling berhubungan erat,
sehingga apabila salah satunya tidak ada maka akan berpengaruh dan
bahkan dapat merusak eksistensi dan kualitas dari suatu Hadis. Suatu
berita yang tidak memiliki sanad, menurut Ulama Hadis, tidak dapat
disebut sebagai Hadis dan kalaupun disebut Hadis maka ia dinyatakan
sebagai Hadis palsu (maudhu‟).1
Di dalam penilaian suatu Hadis unsur sanad dan matan adalah sangat
menentukan. Oleh karenanya, yang menjadi objek kajian dalam penelitian
Hadis adalah kedua unsur tersebut, yaitu sanad dan matan. Sanad adalah
jalan yang menyampaikan kita kepada matan Hadis dan matan adalah
materi atau lafazh Hadis itu sendiri.
B. Rumusan masalah
1. Apa itu pengertian Sanad
2. Sejarah penelitian Sanad Hadits
3. Tujuan dan manfaat penelitian sanad hadits
4. Faktor pendorong penelitian sanad
5. Bagian yang harus di teliti sanad hadits
C. Tujuan
1. Untuk mengetahui pengertian Sanad
2. Untuk mengetahui sejarah penelitian sanad hadits
3. Untuk mengetahui tujuan dan manfaat penelitian sanad hadits
4. Untuk mengetahui faktor pendorong penelitian sanad
5. Untuk mengetahui

1
M. Syuhudi Ismail, Metodologi Penelitian Hadis Nabi, (Jakarta: Bulan Bintang, 1992), h. 23
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian dan sejarah sanad hadits
1. Pengertian sanad
Kata Sanad atau as-sanad menurut bahasa, dari sanada, yasnudu
yang berarti mu‟tamad (sandaran/tempat bersandar, tempat berpegang,
yang dipercaya, atau yang sah). Dikatakan demikian, karena Hadis itu
bsersandar kepadanya dan dipegangi atas kebenarannya.2
Dalam kegiatan penelitian sanad dipergunakan istilah an-Naqd, kata
an-Naqd adalah masdar dari kata naqada yang secara etimologi berarti
memisahkan sesuatu yang baik dan yang buruk. 3 Kata an-Naqd juga
berarti memilih-milih dirham dengan mengeluarkan dirham yang asli dari
yang palsu.4Kata an-naqd dapat juga diartikan dengan kritik.5
Secara istilah an-naqd adalah membedakan hadis-hadis yang sahih
dari yang dhaif sekaligus menetapkan status tsiqah dan cacat bagi
perawinya.6Kritik sanad juga berarti penilaian terhadap keadaaan setiap
periwayat hadis yang bersangkutan dari berbagai aspek, masa hidup,
pengetahuan, guru dan murid, kejujuran, kesalehan, kekuatan ingatan,
cara berfikir dan aliran teologi yang dianutnya sehingga penilai dapat
menentukan apakah riwayatnya dapat diterima atau tidak. Dalam ilmu
hadis kritik sanad disebut an-naqd ad-dakhil (kritik intern)7. Menurut
istilah ahli Hadis, sanad ialah jalan yang menyampaikan kita kepada

2
Utang Ranuwijaya, Ilmu Hadis, (Jakarta : Gaya Media Pratama, 1996), h.91
3
Lois Ma‟luf, Al-Munjid fi al-Lughat wa al-A‟lam, cet. 34, (Beirut: Dar al-Masyriq,, 1994), h.
830.
4
Ibn Manzur Muhammad ibn Mukarram, Lisan al-„Arab, Juz XIV (Beirut: Dar Ihy al-Turas al-
„Arabi, 1995), h. 254.
5
Lihat Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Ensiklopedi Indonesia, cet. 4 (Jakarta: Ikhtiar
Baru Van Hoeve, 1992), h. 1981.
6
M.M.Azmi, Manhaj al-Naqd inda al-Muhaddisin, Nasy‟atun wa tarikuhu (Riyad: Maktabat al-
Kausar, 1410H/1990), h. 5. Lihat juga Ahmad Syayb, Usul al-Naqd al-Adabi, (Mesir: Maktabat
Nahdat al-Misriyyah, 1964), h.116.
7
]Ramli Abdul Wahid, Fikih Sunnah Dalam Sorotan (Medan: LP2IK, 2005), h. 55-56.

2
matanHadis.8[8]

Sebagai contoh dari sanad adalah seperti yag terlihat dalam hadis berikut:
‫اا َح ْب ا َح ِب ا ِبا َحَل َحةَحا َح ْب ا َحنَح ِبسا‬
‫اا ال َّد َح ِب ُّي ا َح َحاا َح َّد َح َح ا َح ُّي ُم‬
‫َح َّد َح َح ا ُم َح َّد ُما ْب ُم ا ْبا ُم ل َح َّد ا َح َحاا َح َّد َح َح ا َح ْب ُما ْبا َح َّد ِب‬
‫َح َحا ْب ِبا َحيا ِبنا‬ ‫َح َّد َحيا َح َحاا َح َح ٌث ا َح ْب ا ُم َّد ا ِب ِبيا َح َح َحا َح َح‬ ‫ِب َح ا َّد ُما َح ْبيُما َح ْب ا ا َّد ِب ِّي ِبا َح َّد ا َّد ُما َح َح ْب ِبيا َح‬ ‫ْب ِب ا َح ِبا ٍك ا َحا‬
‫َح َحها َح ْبنا َحعُم دَحا‬
‫ِب َّد ا ْبا َح ْب َح َحاَلا ُم ِب ُّييُما ِب َّدَلا ِب َّد ِبا َح ا َح ْبنا َح ْب‬ ‫َّد ُما َح َح ُم اُميُما َح َح َّد ا ِباَح ْب ِبيا ِب َّد ا ِب َح ُم َح ا َح َح ْبنا ُم‬ ‫َح ْبنا َح ُم نَح ا‬
‫ِب ا ْبا ُم ْب ِب ا َح َح ا َح ْب َح هُما َح ْبنا ُم ْب َح َح ا ِب ا ا َّد ِبا‬
“Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Al Mutsanna berkata,
telah menceritakan kepada kami Abdul Wahhab Ats Tsaqafi berkata,
telah menceritakan kepada kami Ayyub dari Abu Qilabah dari Anas bin
Malik dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda: “Tiga
perkara yang apabila ada pada diri seseorang, ia akan mendapatkan
manisnya iman: Dijadikannya Allah dan RasulNya lebih dicintainya dari
selain keduanya. Jika ia mencintai seseorang, dia tidak mencintainya
kecuali karena Allah. Dan dia benci kembali kepada kekufuran seperti
dia benci bila dilempar ke neraka”.” (bukhari muslim)
Masing-masing orang yang menyampaikan Hadis di atas secara
sendirian, disebut dengan rawi (perawi/periwayat), yaitu orang yang
menyampaikan, atau menuliskan dalam suatu kitab, apa yang pernah
didengar atau diterimanya dari seseorang (gurunya). 9 Dengan demikian,
apabila kita melihat contoh Hadis di atas, maka Hadis tersebut
diriwayatkan oleh beberapa orang perawi, yaitu :
- Anas ra (sebagai perawi pertama).
- Abi Qilabah (sebagai perawi kedua).
- Ayyub (sebagai perawi ketiga).
- „Abd al-Wahhab al-Tsaqafi (sebagai perawi keempat).
- Muhammad ibn al-Mutsanna (sebagai perawi kelima)
Imam Bukhari sebagai perawi terakhir dapat juga disebut Mukharrij
yaitu orang yang telah menukil atau mencatat suatu Hadis pada kitabnya,
8
Tengku Muhammad Hasbi ash-Shiddieqi, Sejarah dan Penganta Ilmu Hadis, (Semarang : Pustaka
Rizki, Putra, 2009), h. 147
9
M. Syahudi Ismail, Pengantar Ilmu Hadis, (Bandung: Angkasa, 1991), h. 17

3
dan dari segi ini Bukhari adalah orang yang mentakhrij Hadis di atas.
Apabila kita melihat dari segi sanad yaitu, jalan yang menyampaikan kita
kepada matan Hadis, maka urutannya adalah sebagai berikut :
- Muhammad ibn al-Mutsanna (sanad pertama).
- „Abd al-Wahhab al-Tsaqafi (sanad kedua).
- Ayyub (sanad ketiga).
- Abi Qilabah (sanad keempat).
- Anas ra (sanad kelima)

2. Sejarah sanad
Sejarah penghimpunan dan pengkodifikasian Hadis, terlihat begitu
besarnya peranan yang dimainkan oleh masing-masing perawi Hadis
dalam rangka mencacat dan memelihara keutuhan Hadis Nabi saw.
Kegiatan pendokumentasian Hadis, terutama pengumpulandan
penyimpanan Hadis-hadis Nabi saw, baik melalui hafalan maupun
melalui tulisan yang dilakukan oleh sahabat, tabi‟in, tabi‟ al tabi‟in dan
mereka yang datang sesudahnya, yang rangkaian mereka itu disebut
dengan sanad, sampai kepada generasi yang membukukan Hadis-hadis
tersebut, seperti Malik bin Anas, Ahmad bin Hanbal, Bukhari, Muslim,
dan lainnya, telah menyebabkan terpelihara Hadis-hadis Nabi saw
sampai ke kita sampai saat ini.
Berdasarkan sejarah periwayatan Hadis, para perawi, mulai dari
tingkatan sahabat sampai kepada ulama Hadis, maka pembukuan Hadis
telah melakukan pendokumentasian Hadis melalui hapalan dan tulisan.
Bahkan menurut Al-Azami, pada tingkatan sahabat pengumpulan dan
pemeliharaan Hadis dilakukan dengan tiga cara,10 yaitu : (i). Learning by
memorizing, yaitu dengan cara mendengarkan setiap perkataan Nabi saw
secara hati-hati dan menghafalkannya; (ii) Learning through writing,
yaitu mempelajari Hadis dan menyimpannya dalam bentuk tulisan.

10
M.M. Azami, Studies In Hadith Metodologi and Literature, (Indianapolis : American Trust
Publication, 1413 H/1992 M), h. 13-14

4
Dalam cara ini, yaitu menyimpan dan menyampaikan Hadis dalam
bentuk tulisan, terdapat sejumlah sahabat yaitu Abu Ayyub al-Anshari
(w.52 H), Abu Bakar al-Shiddiq (w. 13 H), Abd Allah Ibnu Abbas (w.
68), „Abd Allah ibnu „Umar (w. 74 H), dan lain-lain.11 (iii) Learning
Practice, yaitu para sahabat memperaktekkan setiap apa yang mereka
pelajari mengenai Hadis yang diterimanya baik melalui hapalan maupun
tulisan.
Demikianlah cara-cara sahabat dalam menerima dan memelihara Hadis-
hadis Nabi saw cara yang demikian tetap dipertahankan oleh para sahabat
dan ulama yang datang setelah mereka, setelah wafatnya Nabi saw,
khusus mengenai kegiatan penulisan Hadis yang dilakukan oleh masing-
masing generasi sahabat, generasi tabi‟in, tabi‟i al-tabi‟in, samapai para
ulama sesudah mereka, telah .didokumentasikan oleh M.M. Azami di
dalam disertasi doktornya yang berjudul Studies In Early Hadith
Literature.

Dalam perkembangan berikutnya, proses pendokumentasian Hadis


semakin banyak dilakukan dengan tulisan. Hal ini terlihat dari delapan
mempelajari Hadis yang dikenal dikalangan ulama Hadis, tujuh
diantaranya, yaitu metode kedua sampai kedelapan adalah sangat
tergantung kepada materi tertulis, bahkan sisanya yang satu lagi pun,
yaitu yang pertama juga sering berkaitan dengan materi tertulis.
Kedelapan metode tersebut adalah12:
a. Sama
Sama‟ yaitu bacaan guru untuk murid-muridnya. Metode ini
berwujud dalam empat bentuk yakni bacaan secara lisan, bacaan dari
buku, Tanya jawab, dan mendiktekan.

11
Lebih lanjut lihat M.M. Azami, Studies Early Hadith Literature, (Indianapolis : American Trust
Publication, 1978 ), h. 34-80
12
Mahmud Thahhan, Inti Sari Ilmu Hadis, (Malang:UIN, Malang Press, 20070, hal. 175-184

5
1) Kedudukan sama’ min lafdzi syaikh
Cara priwayatan bentuk ini oleh mayoritas ulama hadis dinilai sebagai
cara yang paling tinggi kualitasnya.

2) Pernyataan atau kata-kata yang dipakai


Istilah atau kata-kata yang dipakai untuk cara ini adalah ;

 Sebelum ditentukan pnggunaan secara khusus untuk masing- masing


cara tahammul (penerimaan riwayat) kata-kata yang dipakai adalah :
sami‟tu, akhbarani, haddstani, anba‟ani, qala li, dan dzakarali.
 Setelah ditentukan penggunaan secara khusus untuk masing-masing
cara tahammul, kata-kata yang dipakai antara lain : Untuk cara sama‟ :
sami‟tu dan haddatsani, cara al-qira‟ah : akhbarani, cara ijazah :
anba‟i, dan untuk cara sama‟ al-muzakarah : qalali atau dzakarali.
b. ‘Ardh
„Ardh yaitu bacaan oleh murid kepada guru. Dalam hal ini para murid
atau seseorang tertentu yang disebut Qori‟, membaca catatan Hadis
dihadapan gurunya, dan selanjutnya yang lain mendengarkan serta
membandingkann dengan catatan mereka atau menyalin dari cacatan
tersebut.

Hukum periwayatan dengan dengan cara ini


Periwayatan hadis dengan „ardh menurut sebagaian besar ulama adalah
shahih, kecuali menurut kelompok tasyaddud (garis keras) yang tidak
terbiasa menggunakan ini.
Kedudukannya
- Sejajar dengan sama‟, ini menurut imam malik, al- bukhari dan
sebagian besar ulama Hizaz dan kufah
- Lebih rendah dari sama‟, ini menurut sebagian ulama maroko
(pendapat yang shahih)

6
- Lebih tinggi dari sama‟, ini menurut Abu hanifah, Abu dzi‟b dan
sebagian riwayat imam malik
Kata-kata yang di pakai untuk cara ini
- Yang paling hati-hati : qara‟tu „ala pulan, qiri‟a „alaihi dan wa ana
„asma‟u pa aqra u bihi.
- Mengggunakan ibarat sama‟ yang dikaitkan dengan lafal qira‟ah :
haddatsana qira‟atan „alaihi.
- Yang sering di pakai oleh sebagian besar ulama hadits hanya kata :
akhbarana.
c. Ijazah
Ijazah, yaitu memberi izin kepada seseorang untuk meriwayatkan sebuah
Hadis atau buku yang bersumber darinya, tanpa terlebih dahulu Hadis
atau buku tersebut dibaca dihadapannya.
Hukum periwayatan dengan ijazah
Ijazah murni yang disebutkan pertama , oleh mayoritas ulama
disepakati kebolehannya dan sebagian menganggap batal,
pendapat yang kedua antara lain riwayat dari Syafi‟i. Untuk jenis
yang lain diperselisihkan kebolehannya. Yang jelas penerimaan
dan periwayatan hadis dengan cara (ijazah) ini mengandung
unsure main-main yang mendorong untuk bersikap ceroboh
dalam periwayatan.
Kalimat periwayatan yang di pakai dengan cara ijazah
- Yang terbaik memakai kata : ajalu li pulan
- Boleh juga dengan ibarat sama‟ dan ardh yang di kaitkan dengan
kata ijazah seperti
- Yang selalu dipakai oleh ulama muta‟akhirin anba ana.
d. Munawalah
Munawalah,, yaitu memberikan kepada seseorang sejumlah Hadis tertulis untuk
diriwayatkan/disebarluaskan. Munawalah terbagi menjadi ada 2 macam. Yaitu :
1) Al-Munawalah al-Maqrunah bi al-Ijazah, yaitu al-Munawalah yang
dibarengi dengan ijazah. Prakteknya seorang guru hadis

7
menyodorkan kepada muridnya hadis yang ada padanya, kemudian
guru tadi berkata :”anda saya beri ijazah untuk meriwayatkan hadis
yang saya peroleh ini”. Atau seornag murid menyodorkan hadis
kepada guru hadis, kemudian guru itu memeriksanya dan setelah
guru memaklumi bahwa dia juga meriwayatkannya, maka dia
berkata : “hadis ini telah saya terima dari guru-guru saya dan anda
saya beri ijazah untuk meriwayatkan hadis ini dari saya”. Bentuk
ijazah ini dinilai paling tinggi kualitasnya diantara bentuk ijazah lain.
2) Al-Munawalah Mujarradah „an al-Ijazah, yaitu al-munawalah yang
tidak dibarengi dengan ijazah. Prakteknya seorang guru
menyodorkan kitab hadis kepada muridnya sambil berkata “ini hadis
yang pernah saya dengar” atau ini hadis yang telah saya riwayatkan”.
Hukum periwayatan dengan al-munawarah
- Periwayatan dengan cara ijazah yang pertama hukumnya boleh,
tapi kualitasnya lebih rendah dari sama‟ dan ardh.
- Periwayatan dengan cara ijazah yang kedua menurut pendapat
yang shahih tidak boleh.
Kalimat periwayatan yang dipakai dengan cara al-Munawarah
- Untuk al-Munawalah al-maqrunah bi al-ijazah yang terbaik dengan
kata : nawalani atau wa ajaza li.
- Boleh juga memakai ibarat sama‟ atau ardh yang dikaitkan dengan
kata munawalah dan ijazah, seperti : haddatsana manawalah atau
akhbarana munawalatu dan ijazatu.
e. Kitabah
Kitabah, yaitu menuliskan Hadis untuk seseorang yang selanjutnya untuk
diriwayatkan kepada orang lain.
Macam-macam kitabah
- Al-Kitabah yang disertai dengan ijazah, seperti perkataan :
ajzatuka ma katabtu laka au ilaika.

8
- Al-Kitabahi yang tidak dibarengi dengan ijazah, artinya seorang
guru menulis sebagian hadis untuk diberikan kepada seseorang
tanpa memberi izin meriwayatkannya.
Hukum periwayatan dengan cara al-kitabah
- Periwayatan dengan macam al-Kitabah yang pertama adalah sah
dan kualitasnya sama dengan al-munawalah yang disertai dengan
ijazah.
- Periwayatan dengan macam al-kitabah yang keduan ditolak oleh
sebagian kaum dan sebagian yang lain membolehkannya, namun
yang shahih menurut ahli hadis, sebab secara tidak langsung sudah
mengandung maksud ijazah.
Periwayatan dengan cara al-kitabah
- Dengan jelas memakai lafal al-kitabah, seperti perkataan : kataba
ila pulan
- Atau memakai lafal sama‟ yang dikaitkan dengan lafal al-kitabah,
seperti perkataan : haddastani pulan atau akhbarani kitabah.

f. I’lam
I‟lam yaitu memberi tahu seseorang tentang kebolehan untuk
meriwayatkan Hadis dari buku tertentu berdasarkan atas otorita ulama
tertentu.
Hukum periwayatan dengan cara i’lam
Ada 2 pendapat yaitu :
- Kebanyakan ulama hadis, fiqh dan ushul fiqh membolehkan
periwayatan dengan cara al-I‟lami.
- Sebagian menyatakan tidak boleh, sebab hadis yang diberitahukan
itu ada cacatnya, karenanya guru tersebut tidak menyuruh
muridnya untuk meriwayatkannya, ini pendapat yang shahih.
Kalimat yang di pakai untuk cara i’lam
- „alamani syaikh bi kadza.

9
g. Washiyyat
Washiyyat, yairtu seseorang mewasiatkan sebuah buku atau catatan
tentang Hadis kepada orang lain yang dipercayainya dan dibolehkannya
untuk meriwayatkannya kepada orang lain.
Hukum periwatdan dengan metode washiyyat
- Menurut sebagian ulama salaf boleh periwayatan dengan cara
washiyyat. Pendapat ini salah, karena yang diwasiatkan itu
kitabnya bukan wasiat untuk meriwayatkannya.
- Menurut pendapat yang benar adalah tidak boleh periwayatan hadis
dengan cara wasiat.
Kalimat yang di pakai dengan cara washiyyat
- ausha „ila pulan bi kadza atau haddatsani pulan washiyyah.
h. Wajadah
Wajadah, yaitu mendapatkan buku atau catatan seseorang tentang Hadis
tanpa mendapatkan izin dari yang bersangkutan untuk meriwayatkan
Hadis tersebut kepada orang lain. Dan cara yang seperti ini tidak
dipandang oleh ulama Hadis sebagai cara menerima atau mempelajari
Hadis.13
Hukum wajadah
Periwayatan hadis dengan cara wajadah termasuk kategori munqathi‟,
namun masih terdapat unsure ittishalnya.
Kata yang di pakai untuk cara wajadah
wajadat bikhath pulan atau bikhath pulan kadza.

Melalui cara-cara / metode di atas, masing-masing sanad Hadis secara


berkesinambungan mulai dari lapisan sahabat., tab‟in, tabi‟ al-tabi‟in, dan
seterusnya sampai terhimpunnya Hadis-hadisnya Nabi saw di dalam
kitab-kitab Hadis yang kita jumpai sekarang telah memelihara dan
menjaga keberadaan dan kemurnian Hadis Nabi saw, yang merupakan

13
Azami , Studies In Hadith Metodologi and Literature, h. 16-21

10
sumber kedua dari ajaran Islam. Kegiatan pendokumentasian hadis yang
dilakukan oleh masing-masing sanad tersebut di atas baik melalui hafalan
maupun melalui tulisan, telah pula didokumentasikan oleh para ulama
dan para peneliti serta kritikus Hadis. Kitab-kitab Muktabar dan standar,
seperti Shahih Bukhari, Shahih Muslim, dan lainnya, di dalam
menuliskan Hadis juga menuliskan secara urut nama-nama sanasd Hadis
tersebut satu persatu, mulai dari sanad pertama sampai sanad terakhir.14

B. Tujuan dan manfaat penelitian sanad


1. Untuk memelihara keberadaan Hadis.
2. Untuk memelihara kemurnian Hadis
3. Untuk memelihara kesinambungan Hadis
4. Untuk mengetahui kualitas Hadis.
Tujuan dan manfaat penelitian sanad Hadis adalah untuk
pendokumentasian Hadis yang menyangkut pengumpulan dan pemeliharaan
Hadis, baik dalam bentuk tulisan atau dengan mengandalkan daya ingat
yang setia dan tahan lama dan untuk penentuan kualitas Hadis.15Apakah
diterimaatauditolak.

Para ulama memberikan berbagai komentar tentang pentingnya sanad,


antara lain :
1. Muhammad bin Sirin
“Sesungguhnya ilmu ini (hadis) adalah agama, perhatikanlah dari mana
kamu mengambil agama itu”.
2. Abdullah bin Al-Mubarok
“Sanad itu bagian dari agama, jika tidak ada sanad maka siapa saja dapat
menyatakan apa yang dikehendakinya”.
3. “Sanad itu bagian dari agama, jika tidak ada sanad maka siapa saja dapat
menyatakan apa yang dikehendakinya”.

14
Nawir Yuslem, Ulumul Hadis, (Jakarta : Mutiara Sumber Widya, 1998), h. 154
15
Ibid, h. 155

11
“Tidak layak naik ke loteng/atap rumah kecuali dengan tangga” 16.

C. Faktor-faktor yang mendorong penelitian sanad


Faktor-faktor yang mendorong peneltian sanad adalah untuk mengetahui
status dan kualitas suatu Hadis, apakah dapat diterima atau ditolak,
tergantung pada sanad dan matan Hadis tersebut. Apabila sanad suatu Hadis
telah memenuhi syarat-syarat dan kriteria tertentu, demikian juga matan-
nya, maka Hadis itu dapat diterima sebagai dalil untuk melakukan sesuatu
atau menetapkan hokum atas sesuatu; akan tetapi, apabila syarat-syarat nya
tidak terpenuhi, maka Hadis tersebut dtolak dan tidak dapat dijadikan
hujjah.17
Kualitas Hadis yang dapat diterima sebagai dalil atau hujjah adalah
Shahih dan Hasan, dan keduanya disebut juga Hadis maqbul (hadis yang
dapat diterima sebagai dalil atau dasar penetapan hukum).18 Diantara syarat
qabul suatu Hadis adalah berhubungan erat dengan sanad Hadis tersebut
yaitu : sanad-nya bersambung, bersifat adil dan dhabith. Dan syarat
seelanjutnya berhubungan erat dengan matan Hadis yaitu : Hadisnya tidak
syadz dan tidak terdapat padanya „illat.19
Dari lima kriteria di atas agar suatu Hadis dapat diterima sebagai dalil
atau hujjah, tiga diantaranya adalah berhubungan dengan sanad Hadis
tersebut. Suatu Hadis manakala sanad- nya tidak bersambung atau terputus,
maka Hadis tersebut tidak dapat diterima sebagai dalil. Keterputusan sanad
tersebut dapat terjadi pada awal sanad, baik satu orang perawi atau lebih
(disebut Hadis mu‟allaq), atau pada akhir sanad (disebut Hadis mursal), atau
terputusnya sanad satu orang (munqathi‟), atau dua orang atau lebih secara
berurutan (mu‟dhal), dan lainnya. Demikian juga halnya apabila sanad
Hadis mengalami cacat, baik cacat yang berhubungan dengan keadilan para

16
Abdul Majid, Ulumul Hadis, (Amzah, 2010), h. 98
17
Nawir Yuslem, Ulumul Hadis, h. 160
18
M. Ajjaj al-Khathib, Ushul al-Hadis : Ulumuhu Musthalahuhu, (Beirut : Dar Al-Qur‟an al-
Karim, 1979), h. 303
19
Ibid, h. 305.

12
perawi seperti pembohong, fasik, pelaku bid‟ah atau tidak diketahui
sifatnya, atau cacatnya berhubungan dengan ke-dhabitan-nya seperti sering
berbuat kesalahan, buruk hapalannya, lalai, sering ragu, dan menyalahi
keterangan orang-orang terpecaya. Keseluruhan cacat tersebut apabila
terdapat pada salah seorang perawi dari suatu sanad Hadis, maka Hadis
tersebut juga dinyatakan Dha‟if dan ditolak sebagai dalil.20

D. Bagian yang harus diteliti oleh sanad


Dalam bidang ilmu Hadis sanad itu merupakan salah satu neraca yang
menimbang shahih atau dhai‟f-nya suatu Hadis. Andaikata salah seorang
dalam sanad ada yang fasik atau tertuduh dusta atau jika setiap pembawa
berita dalam mata rantai sanad tidak bertemu langsung (muttashil), maka
Hadis tersebut dha‟if sehingga tidak dapat dijadikan hujjah. Demikian juga
sebaliknya jika para pembawa Hadis tersebut orang-orang cakap dan cukup
persyaratan, yakni : adil, takwa, tidak fasik, menjaga kehormatan diri, dan
memiiliki daya ingat yang kridibel, sanad-nya bersambung dari satu
periwayat kepada periwayat lain sampai kepada sumber berita pertama,
maka Hadisnya dinilai shahih.21 Di bawah ini akan dijelaskan tentang
Bagian yang harus diteliti sanad Hadis, yaitu:

1. Ketersambungan sanad
Yang dimaksud dengan sanad yang bersambung adalah bahwa masing-
masing perawi di dalam rangkaian sanad tersebut menerima hadis secara
langsung dari perawi yang di atasnya (yang mendahuluinya), selanjunya dia
menyampaikannya kepada perawi yang dating sesudahnya. Hal tersebut
harus berlangsung dan dapat dibuktikan dari sejak perawi pertama, yaitu
generasi sahabat yang menerima Hadis tersebut langsung dari Rasulullah
sampai kepada perawi terakhir yang mencatat dan membukukan Hadis
tersebut, seperti Imam Bukhari, Imam Muslim dan lainnya.

20
Nawir Yuslem, Ulumul Hadis, h. 161
21
Abdul Majid, Ulumul Hadis, (Amzah, 2010), h. 97

13
Dengan kata lain, bahwa matan Hadis tersebut tidak melalui perantaraan
tangan orang lain yang termasuk dalam rangkaian perawi yang disebutkan
di dalam sanad. Karena, boleh jadi perawi perantara yang namanya tidak
disebutkan di dalam rangkaian sanad Hadis itu adalah seorang yang
pembohong, atau seorang yang pelupa, hal tersebut bertentangan dengan
syarat-syarat diterimanya sebuah Hadis sebagai dalil, seperti syarat “adil”
dan“dhabith”.22

Dalam pelaksanaan penelitian mengenai kebersambungan sanad, ada dua


hal penting yang harus dikaji oleh seorang peneliti Hadis, yaitu :

a. Sejarah hidup masing-masing perawi


Dalam meneliti sejarah hidup perawi, yang perlu dicatat adalah (a). Masa
hidupnya, yaitu tahun lahirnya dan wafatnya; (b) Tempat lahir dan daerah-
daerah yang pernah dikunjumginya; (c) Guru-gurunya, yaitu sumber Hadis
yang diterimanya; (d) murid-muridnya, yaitu orang-orang yang
meriwayatkan Hadis-hadisnya, informasi mengenai riwayat hidup para
perawi dapat ditelusuri melalui kitab-kitab Tahdzib al-Tahdzib, Taqrib al-
Tahhdzib, Tahdzib al-Kamal, al-Kasyrib, Mizan al-I‟tidal, Ushud al-
Ghabah, al-Ishabat, dan lain-lain.

b. Shighat al-tahammul wa al-adda’


yaitu lambang-lambang periwayatan Hadis yang digunakan oleh masing-
masing perawi dalam meriwayatkan Hadis tersebut seperti : Sami‟tu,
akhbarana, „an ann.
Langkah berikutnya adalah meneliti lambang-lambang periwayatan
Hadis yang digunakan oleh masing-masing perawi dalam meriwayatkan

22
Nawir Yuslem, Metodologi Penelitian Hadis, (Bandung: Cita Pustaka, 200), h. 6

14
Hadis. Lambang-lambang tersebut menggambarkan atau cara si perawi
dalam menerima Hadis dari gurunya. Para ulama Hadis menyimpulkan ada
delapan cara periwayatan Hadis yaitu : (1) al-sama‟, al-qira‟ah (al-„ardh),
(3) al-ijazah, (4) al-munawalah, (5) al-kitabah, (6) al-i‟lam, (7) al-
washiyyah, dan (8) al-wajadah.23
Lambang-lambang sami‟na dan haddatsani, disepakati oleh para ahli
Hadis penggunaannya untuk periwayatan dengan metode al-sama‟, yaitu
pendengaran langsung oleh murid dari gurunya, sebagai metode yang
menurut mayoritas ulama Hadis memiliki tingkat akurasi yang tinggi.
Sedangkan lambang nawalan dan nawalani, disepakati sebagai lambang
periwayatan al-munawalah, yakni metode periwayatan yang masih
dipersoalkan tingkat akurasinya.24

2. Keadilan perawi
Sifat adil adalah suatu sifat yang tertanam di dalam diri seseorang yang
mendorognya untuk senantiasa memelihara ketakwaan, menjaga muru‟ah
(moralitas) sehingga menghasilkan jiwa yang tepercaya dengan
kebenarannya, yang ditandai dengan sikap menjauhi dosa-dosa besar dan
dosa-dosa kecil.25
bn al-Mubarak (w. 181 H) menyebutkan bahwa seorang yang adil harus
memiliki ketentuan berikut : (1) Menyaksikan atau bergaul dengan
masyarakat, Tidak meminum-minuman yang memabukkan, (3) Tidak rusak
agamanya, (4) Tidak berbohong, Tidak terganggu akalnya.26
Pengertian adil secara umum menurut ulama Mushthalah al-Hadis adalah
bahwa seseorang itu harus memenuhi criteria berikut : (1) Muslim, (2)

23
Azami, Studies in Hadith Methodology and Literature, h. 16
24
M. Syuhudi Ismail, Metodologi Penelitian Hadis, h. 82
25
M.M. Azami, Manhaj al-Naqd „inda al-Muhaddtsin : Nasy‟atuhu wa Tarikhuhu, ( Riyad :
Maktabat al-Kautsar, Cet. Ketiga, 1990), h. 24
26
Azami, Manhaj al-Naqd „inda al-Muhaddtsin, h. 25

15
Baligh, (3) Berakal sehat, (4) Terpelihara dari sebab-sebab kefasikan, dan
(5) Terpelihara dari sebab-sebab yang merusak muru‟ah.27
Untuk mengetahui keadilan seorang perawi Hadis, dapat dilakukan
dengan cara-cara berikut :
- Melalui pemberitahuan para kritikus Hadis atau melalui pernyataan
dua orang mu‟addil.
- Melalui popularitas yang dimiliki seorang perawi bahwa dia adalah
seorang yang adil, seperti : Malik ibn Anas.
Apabila terdapat berbagai pendapat para ulama mengenai status keadilan
seorang perawi. seperti : ada yang menyatakan adil, dan ada yang
menyatakab jarh, maka permasalahan ini harus diselesaikan dengan
mempedomani kaidah-kaidah dalam „Ilm al-Jarh wa al-Ta‟dil, sehingga
dapat ditarik kesimpulan mengenai keadilannya.28

3. Kedhabitan perawi
Sifat dhabit atau kedhabitan seorang perawi dalam terminology ulama
Hadis adalah :
Adalah ingatan (kesadaran) seorang perawi Hadis semenjak ia menerima
Hadis, melekatnya (setianya) apa yang dihapalnya di dalam ingatannya, dan
pemeliharaan tulisan (kitab)nya dari segala macam perubahan, sampai pada
masa dia menyampaikan (meriwayatkan) Hadis tersebut.29[29]
Dari defenisi di atas dapat disimpulkan bahwa dhabith tersebut adalah
kesadaran dan kemampuan memahami yang dimiliki oleh seorang perawi
terhadap apa yang didengarnya, dan kesetiaan ingatannya terhadap riwayat
yang didengarnya itu mulai dari masa terimanya sampai pada waktu dia
menyampaikannya kepada perawi lain. Kedhabitan adakanya berhubungan
dengan daya ingat dan hapalannya, yang disebut dhabith shadran dan
adakalanya berhubungan dengan kemampuannya dalam memahami dan

27
Ibn al-Shalah, „Ulum al-Hadits, Ed Nur al-Din Atr (Madinah : Al-Maktabat al-„Ilmiyyah, Cet
Kedua, 1972), h. 94
28
Ibid, h. 95 Maktabat al-Kautsar, ce
29
Nawir Yuslem, Metodologi Penelitian Hadis, h. 9

16
memelihara catatan Hadis yang ada padanya dengan baik dan ada
kemungkinan terjadinya kesalahan, perubahan atau kekurangan. Dhabith
dalam bentuk kedua ini disebut dhabith kitaban.30
Untuk mengetahui kedhabithan seorang perawi Hadis dapat dilakukan
melalui cara-cara berikut :
- Berdasarkan kesaksian atau pengakuan ulama yang sezaman
dengannya.
- Berdasarkan kesesuaian riwayat yang disampaikannya dengan riwayat
para perawi lain yang tsiqah atau yang dikenali kedhabithannya.
- Apabila sesekali dia mengalami kekurangan, hal tersebut tidaklah
merusak kedhabithannya, namun apabila sering terjadi kekeliruan
tersebut, maka dia tidak lagi disebut sebagai seorang yang dhabith dan
riwayatnya tidak dapat dijadikan hujjah.
Tingkat kesdhabithan yang dimiliki oleh para perawi tidak sama. Hal
tersebut disebabkan oleh perbedaan kesetiaan daya ingat dan kemampuan
pemahaman yang dimiliki oleh masing-masing perawi. Perbedaan tersebut
dirumuskan oleh para ulama dengan istilah-istilah berikut :
Dhabith, istilah ini diperuntukkan bagi perawi yang :
- Mampu menghafal dengan baik Hadis-hadis yang diterimanya.
- Mampu menyampaikan dengan baik Hadis yang dihapalnya itu
kepada orang lain.
Tamm al-Dhabith, istilah ini diperuntukkan bagi perawi yang :
- Hapal dengan sempurna Hadis yang diterimanya.
- Hapal dengan sempurna Hadis yang diterimanya.
- Paham dengan baik Hadis yang dihapalnya itu.31

4. Terhindar Dari Syaz dan ‘illat

30
Ibn al-Shalah, „Ulum al-Hadits, h. 94
31
Nawir Yuslem, Metodologi Penelitian Hadis, h. 10

17
Langkah penelitian sanad selanjutnya adalah melihat kemungkinan
adanya syaz dan „illat. Para ulama hadis berbeda pendapat dalam
memberikan definisi syuzuz yakni:

- Hadis yang diriwayatkan oleh orang yang ¡iqah tetapi riwayatnya


bertentangan dengan riwayat yang dikemukakan oleh banyak
perawi yang ¡iqah pula. Pendapat ini dikemukakan imam asy-
Syafi‟i (w. 204 H/820 M).
- Hadis yang diriwayatkan oleh orang yang tsiqah, tetapi orang yang
£iqah lainnya tidak meriwayatkan hadis itu. Pendapat ini dari al-
¦±kim an-Naisaburi (w. 405 H/1014M).
- Hadis yang sanadnya hanya satu saja, baik periwayatannya bersifat
£iqah maupun tdak. Pendapat ini dari Yahya al-Khalil³ (w. 446 H).
Di antara pendapat-pendapat ini yang paling banyak diikuti ahli
hadis adalah pendapat Imam asy-Syafi‟i.
M.Syuhudi Ismail, mengatakan kesyazzan sanad hadis baru dapat
diketahui setelah diadakan penelitian sebagai berikut: Pertama, semua sanad
yang mengandung matan hadis yang pokok masalahnya sama dihimpun dan
diperbandingkan. Kedua, para periwayat diseluruh sanad diteliti kualitasnya.
Ketiga, apabila seluruh periwayat bersifat siqah dan ternyata ada seorang
periwayat yang sanadnya menyalahi sanad-sanad lainnya, maka sanad yang
menyalahi itu disebut yang syazz sedang yang lainnya disebut dengan sanad
mahfuz.32
Langkah penelitian „illat menurut al-Khatib al-Baghdad³ (w. 463 H/1072
M) sebagaimana dikutib oleh Syuhudi Ismail adalah pertama, seluruh sanad
hadis untuk matan yang semakna dikumpulkan dan diteliti, kalau hadis yang
bersangkutan memiliki muttabiq atau sy±hid, kedua, seluruh periwayat
dalam berbagai sanad diteliti berdasarkan kritik yang telah dikemukakan
oleh para ahli kritik hadis.33

32
Syuhudi, Kaedah , h. 144
33
Ibid., h. 149

18
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Sanad ialah jalan yang menyampaikan kita kepada matan Hadis.
Rangkaian mereka itu disebut dengan sanad, sampai kepada generasi yang
membukukan Hadis-hadis telah menyebabkan terpelihara Hadis-hadis Nabi
saw sampai ke kita pada saat sekarang ini.

Tujuan dan manfaat penelitian sanad Hadis adalah untuk


pendokumentasian Hadis yang menyangkut pengumpulan dan pemeliharaan
Hadis, baik dalam bentuk tulisan atau dengan mengandalkan daya ingat
yang setia dan tahan lama dan untuk penentuan kualitas Hadis.

Faktor-faktor yang mendorong peneltian sanad adalah untuk mengetahui


status dan kualitas suatu Hadis, apakah dapat diterima atau ditolak,
tergantung pada sanad dan matan Hadis tersebut. Apabila sanad suatu Hadis
telah memenuhi syarat-syarat dan kriteria tertentu.

Para ulama Hadis menyimpulkan ada delapan cara periwayatan Hadis


yaitu : (1) al-sama‟, al-qira‟ah (al-„ardh), (3) al-ijazah, (4) al-munawalah, (5)
al-kitabah, (6) al-i‟lam, (7) al-washiyyah, dan (8) al-wajadah. Bagian-bagian
yang harus diteliti pada sanad, yaitu : Ketersambungan Sanad, keadilan
perawi, kdhabithan perawi, dan syaz dan „illat.

B. Saran
Dengan adannya pembahasan tentang sanad hadis, diharap pembaca bisa
memahami lebih lanjut “ metode sanad hadis” dan semoga bermanfaat bagi
kita semua sekian terimakasih.

19
DAFTAR PUSTAKA
 Azami, Manhaj al-Naqd „inda al-Muhaddtsin : Nasy‟atuhu wa Tarikhuhu,
Riyad : Maktabat al-Kautsar, Cet. Ketiga, 1990.
 Studies Early Hadith Literature, Indianapolis : American Trust
Publication, 1978.
 Studies In Hadith Metodologi and Literature, Indianapolis : American
Trust Publication, 1413 H/1992 M.
 Hasbi ash-Shiddieqi, Tengku Muhammad, Sejarah dan Penganta Ilmu
Hadis, Semarang : Pustaka Rizki, Putra, 2009.
 Ibn Mukarram, Ibn Manzur Muhammad, Lisan al-„Arab, Juz XIV Beirut:
Dar Ihy al-Turas al-„Arabi, 1995.
 Ismail, Syuhudi, Metodologi Penelitian Hadis Nabi, Jakarta: Bulan
Bintang, 1992.
 Pengantar Ilmu Hadis, Bandung: Angkasa, 1991.
 al-Khathib, Ajjaj, Ushul al-Hadis : Ulumuhu Musthalahuhu, Beirut : Dar
Al-Qur‟an al-Karim, 1979.
 Majid, Abdul Ulumul Hadis, Amzah, 2010.
 Ma‟luf, Lois, Al-Munjid fi al-Lughat wa al-A‟lam, cet. 34, Beirut: Dar al-
Masyriq,, 1994.
 Ranuwijaya, Utang, Ilmu Hadis, Jakarta : Gaya Media Pratama, 1996.
 al-Shalah, Ibn, „Ulum al-Hadits, Ed Nur al-Din Atr, Madinah : Al-
Maktabat al-„Ilmiyyah, Cet Kedua, 1972.
 Thahhan, Mahmud, Inti Sari Ilmu Hadis, (Malang:UIN, Malang Press,
2007
 Yuslem, Nawir, Ulumul Hadis, Jakarta : Mutiara Sumber Widya, 1998.
 Metodologi Penelitian Hadis, Bandung: Cita Pustaka, 2008.

20
21

Anda mungkin juga menyukai