Anda di halaman 1dari 10

TUGAS AKIDAH AKHLAK

MAKALAH ISLAM WASATHIYAH

Oleh : Kelompok Amr Ibn Ash


1. Ziyad Azzahidi
2. Nova Firdaus
3. M. Hafiz Ramdhony
4. Surandaka Candra W.
5. L. Dzulmi Ariyanzi
6. Andi Gibran R.

MADRASAH ALIYAH PUTRA NARMADA


PONDOK PESANTREN NURUL HARAMAIN
TAHUN PELAJARAN 2022/2023
KELAS X BAHASA I

i
KATA PENGANTAR

Assalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh.

Segala puji dan syukur kami panjatkan kepada Allah Swt. karena berkat kebaikan-
Nya kami mampu menyelesaikan tugas makalah ini dengan baik dan tepat waktu.

Tidak lupa, tim penyusun atau kelompok Amr Ibn Ash ingin mengucapkan terima
kasih kepada Ust. Juseri Windarmin selaku guru mata pelajaran Akidah Akhlak yang sudah
membantu kami dalam proses penggarapannya.

Makalah yang berjudul ‘Islam Wasathiyah’ disusun oleh kami selaku kelompok Amr
bin Ash untuk memenuhi tugas mata pelajaran Akidah Akhlak.

Kami pun mengetahui jika makalah yang sudah kami tulis masih dari kata sempurna.
Masih banyak kekurangan sehingga kami sangat berharap saran dan kritiknya kepada kami
agar di kemudian hari kami bisa membuat salah satu makalah yang lebih berkualitas.

Terima kasih atas segala perhatiannya.

Wassalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh.

Narmada, 01 Februari 2023

Kelompok Amr Ibn Ash

ii
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL............................................................................................... i
KATA PENGANTAR............................................................................................. ii
DAFTAR ISI........................................................................................................... iii
BAB I PENDAHULUAN....................................................................................... 1
A. Latar belakang ............................................................................................ 1
BAB II PEMBAHASAN......................................................................................... 2
A. Pengertian Islam Wasathiyah...................................................................... 2
1. Menurut MUI................................................................................... 2
2. Menurut Muhammadiyah................................................................ 4
BAB III PENUTUP................................................................................................. 7
A. Kesimpulan.................................................................................................. 7

iii
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar belakang

Nusantara merupakan sebuah corak Islam yang dikembangkan di Indonesia dulunya


bernama (Nusantara) sejak abad ke-16 masehi, sebagai hasil dari ijtihad para ulama zaman
dahulu dalam menyebarkan ajaran agama Islam lewat akulturasi Sosial-budaya,
kontekstualisasi, indigenisasi, interpretasi konsep Islam, serta vernakulasi terhadap ajaran dan
nilai-nilai Islam yang Universal, yang sesuai dengan ralitas sosio-kultural Indonesia. Meskipun
konsep Islam Nusantara telah di rumusan oleh para ulama NU pada tahun 1926, namun konsep
ini baru muncul ke permukaan dan baru booming pada tahun 2015 sontak hal ini menuai
kontroversi dan pro-kontra di kalangan cendekia muslim serta para ulama Indonesia. Jika
ditelaah lebih mendalam konsep Islam Nusantara ini merupakan cara para waliyullah di
Nusantara pada zamanya menyebarkan ajaran Islam seperti halnya yang dilakukan oleh Sunan
Kali Jaga yang berdakwah dengan media kearifan lokal yaitu wayang. Para sesepuh Nahdhutul
Ulama (NU) mengkalim bahwasanya konsep Islam Nusantara yang diusung oleh mereka
merupakan interpretasi dari konsep Ummatan Wasathan yang mengandung makna, sifathiyah
agama Islam tersendiri yang didalamnya mengandung nilai-nilai moderat/pertenganhan (umat
yang adil serta pilihan) yang menjungjung tinggi nilai-nilai keadilan sosial, menghargai nilai-
nilai kebudayaan lokal, sikap toleransi, cinta sesama makhluk, cinta damai, dan cinta tnah air.
Konon, berkembangnya konsep Islam Nusantara ini secara lokal melalui institusi pendidkan
tradisional (pondok pesantren). Pendidikan ini dibangun berlandaskan tatakrama, sopan santun
dan etika ketimuran, yaitu menekankan ta’dzim (pemulyaan) terhadap guru, kiayi, dan ulama
yang telah memberi mereka ilmu pengetahuan yang amat luas mengenai ajaran agama Islam.

1
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian
Moderat atau Wasathiyah sebagai sikap dasar keagamaan memiliki pijakan kuat pada
ayat Al-Quran tentang ummatan wasatha dalam QS al-Baqarah ayat 143. Para mufassir generasi
pertama menyebut bahwa Islam sebagai ummatan wasatha antara spiritualisme Nashrani dan
materialisme Yahudi. Sementara Ibnu Katsir menyebut bahwa ummatan wasatha merupakan
citra ideal umat terbaik (khair al-ummah) sebagaimana yang termaktub dalam QS Ali Imran
ayat 110. Dalam Islam, wasathiyyah pada intinya bermakna sikap tengah di antara dua kubu
ekstrem.
Nabi Muhammad pernah menampilkan sikap wasathiyah ketikaberdialog dengan para
sahabat. Kisah yang direkam Aisyah ini menceritakan tiga orang sahabat yang mengaku
menjalankan agamanya dengan baik. Masing-masing dari ketiga sahabat itu mengaku rajin
berpuasa dan tidak berbuka; selalu salat malam dan tidak pernah tidur; dan tidak menikah
lantaran takut mengganggu ibadah. Rasulullah saat itu menegaskan bahwa ‘aku yang terbaik di
antara kalian’. Karena Nabi berpuasa dan berbuka, salat malam dan tidur, dan menikah.
Apa yang dilakukan Nabi sejalan dengan perintah Allah yang mengecam sikap ekstrem
di semua dimensi hidup: dalam ibadah ritual, dilarang untuk ghuluw  (QS. An-Nisa: 171), dalam
muamalah dilarang keras untuk israf (QS. Al-A’raf :31), bahkan dalam perang sekalipun tidak
membolehkan melakukan tindakan-tindakan di luar batas (QS. Al-Baqarah: 190). Konsep-
konsep dasar ini menjadi pijakan oleh para ulama sehingga ideologi-ideologi ekstrem selalu
marginal dan tertolak dalam Islam.
Adapun pendapat dari beberapa kalangan sebagai berikut :

1) Menurut MUI (Majelis Ulama Indonesia)


Dalam khazanah Islam klasik, pengertian wasathiyah terdapat banyak pendapat
dari para ulama yang senada dengan pengertian tersebut, seperti Ibnu ‘Asyur, al-
Asfahany, Wahbah al-Zuḥaily, al-Thabary, Ibnu Katsir dan lain sebagainya.
Menurut Ibnu ‘Asyur, kata wasath berarti sesuatu yang ada di tengah atau
sesuatu yang memiliki dua belah ujung yang ukurannya sebanding.
Menurut al-Asfahany, kata wasathan berarti tengah-tengah di antara dua batas
(a’un) atau bisa berarti yang standar. Kata tersebut juga bermakna menjaga dari sikap
melampaui batas (ifrath) dan ekstrem (tafrith).
Wahbah al-Zuhaili dalam tafsir al-Munir menegaskan bahwa kata al-wasath
adalah sesuatu yang berada di tengah-tengah atau ‫ َمرْ َك ُز ال َّداِئ َر ِة‬, kemudian makna tersebut
digunakan juga untuk sifat atau perbuatan yang terpuji, seperti pemberani adalah
pertengahan di antara dua ujung.
“Dan demikianlah Kami menjadikan kalian umat yang pertengahan”, artinya
“dan “demikianlah Kami memberi hidayah kepada kalian semua pada jalan yang lurus,
yaitu agama Islam. Kami memindahkan kalian menuju kiblatnya Nabi Ibrahim as dan
Kami memilihkannya untuk kalian.
Kami menjadikan Muslimin sebagai pilihan yang terbaik, adil, pilihan umat-
umat, pertengahan dalam setiap hal, tidak ifrath dan tafrith dalam urusan agama dan
dunia. Tidak melampaui batas (ghuluw) dalam melaksanakan agama dan tidak
seenaknya sendiri di dalam melaksanakan kewajibannya.”

2
Al-Thabary memiliki kecenderungan yang sangat unik, yakni dalam memberikan
makna seringkali berdasarkan riwayat. Terdapat 13 riwayat yang menunjukkan kata al-
wasath bermakna al-‘adl, disebabkan hanya orang-orang yang adil saja yang bisa
bersikap seimbang dan bisa disebut sebagai orang pilihan.
Di antara redaksi riwayat yang dimaksud, yaitu:

َ ‫ ع َْن َأبِي َس ِع ْي ٍد ع َِن النَّبِ ِّي‬،‫ح‬


َ ِ‫صلَّى هللاُ َعلَ ْي ِه َو َسلَّ َم فِي قَوْ لِ ِه َو َك َذال‬
‫ك‬ ٍ ِ‫صال‬ َ ‫ع َْن َأبِي‬
‫ ُع ُدوْ اًل‬:‫ َج َع ْلنَا ُك ْم ُأ َّمةً َو َسطًا قَال‬.
Artinya: “Dari Abi Sa’id dari Nabi bersabda; “Dan demikianlah Kami jadikan
kalian umat yang wasathan”. Beliau berkata: (maknanya itu) adil.”
Berdasarkan pengertian tersebut, seringkali dipersoalkan mengapa Allah lebih
memilih menggunakan kata al-wasath dari pada kata “al-khiyar”? Jawaban terkait hal ini
setidaknya ada dua sebab, yaitu:
Pertama, Allah menggunakan kata al-wasath karena Allah akan menjadikan umat
Islam sebagai saksi atas (perbuatan) umat lain. Sedangkan posisi saksi semestinya harus
berada di tengah-tengah agar dapat melihat dari dua sisi secara berimbang
(proporsional). Lain halnya jika ia hanya berada pada satu sisi, maka ia tidak bisa
memberikan penilaian dengan baik.
Kedua, penggunaan kata al-wasath terdapat indikasi yang menunjukkan jati diri
umat Islam yang sesungguhnya, yaitu bahwa mereka menjadi yang terbaik, karena
mereka berada di tengah-tengah, tidak berlebih-lebihan dan tidak mengurangi baik
dalam hal akidah, ibadah, maupun muamalah.
Berdasarkan pengertian dari para pakar tersebut, dapat disimpulkan beberapa inti
makna yang terkandung di dalamnya, yaitu: sesuatu yang ada di tengah, menjaga dari
sikap melampaui batas (ifrath) dan dari sikap mengurangi ajaran agama (tafrith), terpilih,
adil dan seimbang.
Ditinjau dari segi terminologinya, makna kata “wasathan” yaitu pertengahan
sebagai keseimbangan (al-tawazun), yakni keseimbangan antara dua jalan atau dua arah
yang saling berhadapan atau bertentangan: spiritualitas (ruhiyah) dengan material
(madiyah). Individualitas (fardiyyah) dengan kolektivitas (jama’iyyah).
Kontekstual (waqi’iyyah) dengan tekstual. Konsisten (tsabat) dengan perubahan
(taghayyur). Oleh karena itu, sesungguhnya keseimbangan adalah watak alam raya
(universum), sekaligus menjadi watak dari Islam sebagai risalah abadi.
Bahkan, amal menurut Islam bernilai shaleh apabila amal tersebut diletakkan
dalam prinsip-prinsip keseimbangan antara theocentris (hablun minallah) dan
anthropocentris (hablun min al-nas).
Menurut Din Syamsuddin, terdapat pula interpretasi wasathiyah sebagai al-
Shirath al-Mustaqim. Konsep jalan tengah tersebut, tentu tidak sama dengan konsep the
middle way atau the middle path di bidang ekonomi konvensional.
Wasathiyah dalam Islam bertumpu pada tauhid sebagai ajaran Islam yang
mendasar dan sekaligus menegakkan keseimbangan dalam penciptaan dan kesatuan dari
segala lingkaran kesadaran manusia.
Hal ini membawa pada pemahaman tentang adanya korespondensi antara
Pencipta dan ciptaan (al-‘Alaqah bain al-Khaliq wa al-Makhluq), sekaligus analogi
antara makrokosmos dan mikrokosmos (al-Qiyas bain al-‘Alam al-Kabir wa al-’Alam al-
Shaghir) menuju satu spot, titik tengah (median position).

3
Menurut Hasyim Muzadi:

ِ ‫ْال َو َس ِطيَّةُ ِه َي اَلتَّ َوا ُز ُن بَ ْينَ ْال َعقِ ْي َد ِة َوالتَّ َسا ُم‬
‫ح‬
Artinya: “Wasathiyah adalah keseimbangan antara keyakinan (yang kokoh)
dengan toleransi”.
Syarat untuk merealisasikan sikap wasathiyah yang baik tentu memerlukan
akidah dan toleransi, sedangkan untuk dapat merealisasikan akidah dan toleransi yang
baik memerlukan sikap yang wasathiyah.
Berdasarkan beberapa pengertian tersebut, pemaknaan wasathiyah dapat
dipadukan bahwa; keseimbangan antara keyakinan yang kokoh dengan toleransi yang di
dalamnya terdapat nilai-nilai Islam yang dibangun atas dasar pola pikir yang lurus dan
pertengahan serta tidak berlebihan dalam hal tertentu.
Keseimbangan tersebut bisa terlihat dengan kemampuan mensinergikan antara
dimensi spiritualitas dengan material, individualitas dengan kolektivitas, tekstual dengan
kontekstual, konsistensi dengan perubahan dan meletakkan amal di dalam prinsip-
prinsip keseimbangan antara theocentris dan anthropocentris, adanya korespondensi
antara
Pencipta dan ciptaan sekaligus analogi antara makrokosmos dan mikrokosmos
menuju satu spot yaitu median position. Keseimbangan yang mengantarkan pada al-
Shirath al-Mustaqim tersebut yang nantinya akan melahirkan umat yang adil, berilmu,
terpilih, memiliki kesempurnaan agama, berakhlak mulia, berbudi pekerti yang lembut
dan beramal shaleh.
Salah satu ciri dari Islam adalah wasathiyah. Kata wasathiyah memiliki beberapa
makna, yakni menurut bahasa Indonesia artinya adalah moderasi. Menurut Afifuddin
Muhadjir, makna wasathiyah sebetulnya lebih luas dari pada moderasi.
Wasathiyah bisa berarti realistis (Islam Wasathiyah yaitu Islam yang berada di
antara realitas dan idealitas). Yakni, Islam memiliki cita-cita yang tinggi dan ideal untuk
menyejahterakan umat di dunia dan akhirat. Cita-citanya yang melangit, tapi ketika di
hadapkan pada realitas, maka bersedia untuk turun ke bawah.
Wasathiyah yang disebut dalam QS: al-Baqarah 143 dapat juga diartikan jalan di
antara ini dan itu. Dapat juga dikontekstualisasikan Islam Wasathiyah adalah tidak
liberal dan tidak radikal. Dapat diartikan pula, Islam antara jasmani dan ruhani.
2) Menurut Muhammadiyah
Pada tahun 1927 saat Kongres Muhammadiyah ke-16 di Pekalongan, gagasan
mendirikan Majelis Tarjih muncul ke permukaan. Pendirian Majelis Tarjih secara formal
baru diresmikan pada Kongres Muhammadiyah ke-17 di Yogyakarta tahun 1928 dengan
KH. Mas Mansoer sebagai ketuanya. Salah satu faktor kelahiran Majelis yang
membidangi ihwal keagamaan dalam Muhammadiyah ini adalah untuk mengakomodir
perbedaan pendapat di antara para ulama Muhammadiyah dan menentukan pendapat
yang benar-benar “tengahan” yang sesuai dengan semangat al-Quran, al-Hadis, dan al-
Tajdid.
Majelis Tarjih sebagai benteng pertahanan moderasi dalam tubuh
Muhammadiyah telah menyusun suatu kerangka berfikir yang dinamakan dengan
Manhaj Tarjih. Manhaj tarjih merupakan metode istinbath hukum yang sejatinya berdiri
di jalan tengah, mengawinkan tradisi dan inovasi, keteguhan iman dan toleransi. Walau
terkesan sebagai gerakan puritan di satu sisi, jauh di dalam diri Manhaj Tarjih ini
bersemayam kelenturan dan kemodernan.

4
Setidaknya ada lima hal yang menjadi kekhaksan Manhaj Tarjih atau Perspektif
Tarjih, yaitu: 1) wawasan tentang Agama; 2) tidak berafiliasi mazhab; 3) tajdid; 4)
keterbukaan; dan 5) toleransi. Dari kelima Perspektif Tarjih ini akan diperlihatkan
bagaimana sisi moderatnya Majelis Tarjih dalam pemahaman keislaman.
Dalam mendefinisikan agama, Majelis Tarjih menempatkan agama sebagai fakta
objektif dan eta subyektif. Agama sebagai fakta objektif adalah kumpulan norma-norma
yang di dalamnya terdapat perintah, anjuran, dan larangan. Sedangkan Agama sebagai
eta subyektif adalah pengalaman keagamaan yang ada dalam diri manusia. Majelis
Tarjih menolak dikotomi antara agama sebagai “fakta obyektif” yang bernuansa fikih
dan “eta subyektif” yang bernuansa tasawuf. Karenanya, jika melihat putusan-putusan
Majelis Tarjih, kontennya tidak hanya berisi koridor-koridor normatif an sich, tetapi
juga menekankan pada aspek penghayatan spiritual terhadap perintah, larangan, dan
anjuran Allah.
Hal tersebut lantaran Fikih dalam rumusan Manhaj Tarjih Muhammadiyah
dimaknai sebagai sekumpulan nilai dasar (al-qiyam al-asasiyyah), prinsip universal (al-
ushul al-kulliyyah), dan rumusan norma implementatif (al-ahkam al-far’iyyah) yang
bersumber dari agama Islam. Dengan norma berjenjang ini, rumusan Fikih memiliki ruh
dan penghayatan yang dalam sebagai sebuah proses reflektif dan kontemplatif untuk
berkomunikasi langsung dengan Allah SWT.
Pandangan Agama dalam Manhaj Tarjih sesungguhnya mencerminkan
sikap wasathiyyah sebab dapat menempatkan teks-teks al-Quran dan al-Hadis yang
memiliki kontribusi sosial dalam pelaksanaannya dapat berdampak pada dimensi
spiritual. Karenanya, pengalaman spiritual dalam Muhammadiyah tidak diasosiasikan
dengan penyendirian, pertapaan untuk menyatu dengan Tuhan, serta mengasingkan diri
dari pergaulan masyarakat ramai. Kontribusi sosial dalam Muhammadiyah juga tidak
pernah dilepaskan dari penghayatan yang dalam terhadap Tuhan.
Selain itu, sikap wasathiyah juga tercermin dalam keyakinan bahwa
Muhammadiyah tidak berafiliasi mazhab. Meski demikian, pandangan mazhab dapat
menjadi pertimbangan putusan. Alasan utama Muhammadiyah tidak menisbatkan diri
menjadi pengikut mazhab tertentu karena tidak ada perintah yang tegas dalam al-Qur’an
maupun Sunnah untuk mengikuti pandangan mereka. Para imam mazhab juga
menegaskan bahwa sekiranya pendapat mereka keliru dan menyelisihi al-Qur’an dan
Sunnah, maka jangan segan untuk meninggalkannya.
Muhammadiyah memahami bahwa kenyataan yang terjadi di panggung sejarah,
ketika pemikiran mazhab menyebar, aktivitas ijtihad terus mengalami kemandegan
cukup parah, lalu lintas impuls pemikiran hukum Islam menjadi macet total, bahkan
menemui jalan buntu dengan dikumandangkannya pintu ijtihad telah tertutup.
Menisbatkan diri pada mazhab mungkin menjadi faktor utama terhadap munculnya
fenomena taklid dalam diskursus fikih. Taklid jadi semacam penanggungjawab utama
matinya kreativitas pemikiran hukum Islam. Meski demikian, Muhammadiyah sama
sekali tidak anti dengan pemikiran mazhab.
Dalam Manhaj Tarjih disebutkan bahwa pandangan imam mazhab itu tidak
selalu mutlak, namun argumentasi mereka bisa jadi penambah referensi. Sebab
Muhammadiyah tidak memandang fikih klasik sebagai fahmu turast li al-turast,
pemahaman masa lalu hanya untuk masa lalu. Artinya, dalam menyikapi karya-karya
ulama masa lampau, Muhammadiyah memposisikan mereka secara adil dan
proporsional, dan tidak secara ideologis: tidak membuang seluruhnya tapi juga tidak
mengambil seluruhnya. Posisi tengah seperti inilah yang membuat Muhammadiyah

5
begitu fleksibel karena di satu sisi dapat leluasa melakukan pembaharuan, di sisi lain
tidak anti dengan warisan ulama klasik.
Bukan hanya itu, makna tajdid yang dipahami Muhammadiyah dalam Manhaj
Tarjih juga merupakan ejawantah dari semangat wasathiyah. Dalam Muhammadiyah,
tajdid tidak dilakukan untuk menunjukkan arogansi intelektual atau sensasi pemberitaan.
Tetapi tajdid difungsikan sebagai panduan dan pencerahan dari berbagai persoalan nyata
yang dihadapi masyarakat. Karenanya dalam Manhaj Tarjih, tajdid dimaknai sebagai
purifikasi dalam konteks akidah dan ibadah, dan dinamisasi dalam konteks muamalah.
Muhammadiyah menempatkan tajdid secara proporsional. Hal tersebut sesuai
dengan kaidah usul fikih yang menegaskan bahwa hukum dasar dalam ibadah (mahdlah)
adalah haram sampai benar-benar ada dalil yang mengaturnya. Sehingga dalam
persoalan ibadah, segala ukuran, waktu, volume, harus disesuaikan dengan dalil.
Sementara itu, hukum dasar muamalah adalah mubah sampai benar-benar ada dalil yang
melarangnya. Artinya, segala kegiatan sosial dibolehkan kecuali unsur-unsur yang telah
tegas dilarang dalam agama.
Dengan demikian, persoalan ibadah harus memiliki dimensi masa lalu yang kuat
dan permasalahan muamalah harus beriorientasi ke masa depan yang cerah. Hal tersebut
merupakan ciri khas dari semangat wasathiyah. Sebab tidak sedikit dari perilaku umat
Islam yang memandang segala persoalan duniawi sebagai tuntutan ibadah yang kaku di
satu sisi dan di sisi yang lain sebagian umat Islam menganggap
persoalan ukhrawi sebagai tuntunan zaman yang bisa diotak-atik.
Prinsip keterbukaan dan toleransi yang menjadi semangat dalam Manhaj Tarjih
juga merupakan cerminan dari sikap wasathiyah. Majelis Tarjih tidak menganggap
dirinya sebagai satu-satunya jalan kebenaran sekaligus menegasikan pendapat yang
berbeda. Apa yang telah diputuskan merupakan capaian maksimal yang mampu diraih
saat mengambil dan menyusun keputusan itu. Karenanya, baik fatwa maupun putusan
yang telah dikeluarkan Majelis Tarjih sangat terbuka dengan kritik dan masukan.

6
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan

Islam wasathiyah adalah sikap umat islam yang menengahi literalisme dan
liberaisme, tidak terlalu terpaku pada satu kubu ekstrem yang membuat kubu lain
tersinggung. Jadi umat islam bisa berpikir luas tentang keagamaan sebagaimana
mestinya.

Anda mungkin juga menyukai