Anda di halaman 1dari 19

MAKALAH

( QS An-Nissa : 34-35 & 128 (tentang Musyuz, syiqaq, penjelasan konflik) )


Disusun untuk memenuhi tugas kelompok mata kuliah Tafsir Ayat Munakahat
Dosen :Dr.H. Alfan Syafi’i, Lc, M.Pd.I

DisusunOleh :
1. Ani
2. Silvi Mariyam Ulviah

SEKOLAH TINGGI ILMU SYARIAH HUSNUL KHOTIMAH


(STIS-HK) 2019
Jl. Raya ManiskidulDesaManiskidulKec. JalaksanaKab.KuninganJawa Barat -45554
Telp. 0232-61 3808 Fax.0232-61 3809, HP 081324001600, 081313123710
Website :www.stishusnulkhotimah.ac.id
KATA PENGANTAR

Dengan menyebut nama Allah SWT yang Maha Pengasih lagi Maha
Panyayang, Kami panjatkan puja dan puji syukur atas kehadirat-Nya, yang telah
melimpahkan rahmat, hidayah, dan inayah-Nya kepada kami, sehingga kami dapat
menyelesaikan makalah Tafsir Ayat Munakahat tentang QS An-Nissa : 34-35 & 128
(tentang Musyuz, syiqaq, penjelasan konflik).

Makalah Tafsir Ayat Munakahat ini telah kami susun dengan maksimal
.Untuk itu kami menyampaikan banyak terima kasih kepada semua Rekan yang telah
berkontribusi dalam pembuatan makalah ini.

Terlepas dari semua itu, Kami menyadari sepenuhnya bahwa masih ada
kekurangan baik dari segi susunan kalimat maupun tata bahasanya. Oleh karena itu
dengan tangan terbuka kami menerima segala saran dan kritik dari pembaca agar
kami dapat memperbaiki makalah Tafsir Ayat Munakahat ini.

Akhir kata kami berharap semoga makalah Tafsir Ayat Munakahat tentang
QS An-Nissa : 34-35 & 128 (tentang Musyuz, syiqaq, penjelasan konflik) ini dapat
memberikan manfaat terhadap pembaca.

Kuningan, 1 November 2019

Penyusun
DAFTAR ISI

HALAMAN COVER …………………................................………….............……. i


KATA PENGANTAR ………………………………........................……………… ii
DAFTAR ISI ………………………………………….....................………………. iii

BAB I PENDAHULUAN ……………..................................................……..……..1

A. Latar Belakang ……………......................................……….....…..................….. 1

BAB II PEMBAHASAN ……...............................………………………....………. 2

A. Pengertian Mahram dan Muhrim ....................................................................…… 2

BAB III
PENUTUP ………………………..……................................................……......… 11

A. Simpulan …………………………………….....................….................….....…11

DAFTAR PUSTAKA ................................................................................................13


BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Perkawinan merupakan suatu hubungan yang mengikat seorang laki-laki dengan


seorang perempuan melalui akad untuk membina rumah tangga.Dengan adanya
hubungan tersebut, maka dihalalkan bagi laki dan perempuan tersebut untuk
melakukan segala sesuatu, termasuk hubungan intim yang pada mulanya dilarang
ketika masih belum ada ikatan perkawinan,sehingga bisa memperoleh keturunan yang
baik.
Dalam proses perjalanan membinarumah tangga tersebut, tidak jarang terjadi
perselisihan (syiqaq) di antara suami istri dikarenakn suatu hal tertentu yang memicu
keretakan rumah tangga.Percekcokan dan permusuhan yang berkepanjangan dan
meruncing antara suami istri akan menimbulkan keretakan rumah tangga yang
berujung pada tombak perceraian.
Ada beberapa hal yang harus kita ketahui dalam menghadapi dan menyelesaikan
perselisihan ini untuk meminimalisir kemungkinan terjadinya perceraian, salah
satunya dengan mengadakan hakamain sebagai mediator untukmenengahi suami-istri
agar bisa bersatu kembali dalam membina rumah tangga. Nah, untuk selebihnya kami
akan membahas mengenai apa itu syiqaq (perselisihan) dn bagaimana cara
penyelesaiannya, termasuk diadakannya hakamain ini secara lebih detail pada bab
Pembahasan.
BAB II
PEMBAHASAN

A. SURAT AN-NISA’ AYAT 34-35


Pembahasan tentang nusyuz dan syiqaq serta cara menghadapinya
dijelaskan dalam Al-Qur’an Surat An-Nisa’ Ayat 34-35 adalah sebagai
berikut:

‫ض َو ِّب َمآ أ َ ْنفَقُ ْوا ِّم ْن أ َ ْم َوا ِّل ِّه ْم‬ٍ ‫علَى َب ْع‬ َ ‫ض ُه ْم‬ َ ‫َّللاُ َب ْع‬
َّ ‫ض َل‬ َّ َ‫آء بِّ َما ف‬ ِّ ‫س‬َ ِّ‫علَى الن‬ َ َ‫ِّال َجا ُل قَ َّوا ُم ْون‬
‫ظ ْو ُه َّن‬ ُ ‫ش ْوزَ ُه َّن فَ ِّع‬ ُ ُ‫ت تَخَافُ ْونَ ن‬ ِّ ‫َّللاُ َواّل‬ َّ ‫ظ‬ َ ‫ب بِّ َما َح ِّف‬ ِّ ‫ظاتٌ ِّل ْلغَ ْي‬ َ ‫صا ِّل َحاتُ قَلنِّت َاتٌ َح ِّف‬ َّ ‫فَال‬
َ‫َّللاَ َكان‬ َّ ‫إن‬ َّ ‫س ِّبي ََْل‬َ ‫علَ ْي ِّه َّن‬ َ َ ‫اجعِّ َواض ِّْرب ُْو ُه َّن فَإ ِّ ْن أ‬
َ ‫ط ْعنَ ُك ْم فَ ََلت َ ْبغُ ْوا‬ ِّ ‫ض‬َ ‫َوا ْه ُج ُر ْو ُه َّن ِّفى ْال َم‬
‫﴾و ِّإ ْن ِّخ ْفت ُ ْم ِّشقَاقَ بَ ْينِّ ِّه َما فَا ْبعَث ُ ْوا َح َك ًما ِّم ْن أ َ ْه ِّل ِّه َو َح َك ًما ِّم ْن أ َ ْه ِّل َها ِّإ ْن ي ُِّر ْي َدآ‬ َ ۳۴﴿ ‫ع ِّليًّا َكبِّي ًْرا‬ َ
﴾۳۵﴿ ‫ع ِّل ْي ًما َخبِّي ًْرا‬ َ َ‫َّللا َكان‬ َ َّ ‫َّللاُ بَ ْينَ ُه َمآ إِّ َّن‬
َّ ‫ق‬ِّ ِّ‫ص ََل ًحا ي َُوف‬ْ ِّ‫إ‬
Artinya: “Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita,
karena Allah telah melebihkan sebagian mereka (laki-laki) atas sebagian yang
lain (wanita), dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari
harta mereka. Sebab itu, maka wanita yang saleh ialah yang taat kepada Allah
lagi memelihara diri ketika suaminya tidak ada, karena Allah telah
memelihara (mereka).Wanita-wanita yang kamu khawatirkan nusyuznya,
maka nasehatilah mereka dan pisahkanlah mereka di tempat tidur mereka,
serta pukullah mereka.Kemudian jika mereka menaatimu, maka janganlah
kamu mencari-cari jalan untuk menyusahkannya. Sesungguhnya Allah Maha
Tinggi lagi Maha Besar. Jika kamu khawtirkan ada persengketaan antara
keduanya, maka kirimlah seorang hakam dari keluarga laki-laki dan seorang
hakam dari kelurga wanita. Jika kedua orang hakam tersebut bermaksud
mengadakan perbaikan, niscaya Allah akan memberi taufik kepada suami-istri
itu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal.” (QS.An-
Nisa’: 34-35)

B. PENGERTIAN NUSYUZ DAN SYIQAQ SERTA CARA


MENGHADAPINYA
1. Nusyuz
Nusyuz pada asalnya berarti “terangkat” atau tertinggi. Seorang
perempuan yang keluar meninggalkan rumah dan tidak melakukan
tugasnya sebagai seorang istri dan menganggap ia lebih tinggi dari
suaminya, singkat kata yaitu istri yang durhaka pada suaminya.
Menurut Slamet Abidin dan H. Aminuddin, nusyuz berarti durhaka,
maksudnya seorang istri melakukan perbuatan yang menentang suaminya
tanpa alasan yang dapat diterima oleh syara’.
Jadi, Istri nusyuz adalah istri yang telah keluar dari ketaatan kepada
suaminya dan tidak menjalankan segala kewajiban yang telah
diperintahkan kepadanya, seperti keluar rumah tanpa izin suaminya.Oleh
karenanya, seorang istri tidak masuk dalam katagori nusyuz hanya dengan
meninggalkan ketaatan atas sesuatu yang tidak diwajibkan pada seorang
istri. Maka, jika ia tidak melakukan pekerjaan-pekerjaan rumah dan segala
kebutuhan suami yang tidak berkaitan dengan kebutuhan biologis seperti:
menyapu, menjahit, memasak dan selainnya, walaupun menyiapkan air
minum dan menyiapkan tempat tidur semua itu tidak masuk katagori
nusyuz
Dalam surat An-Nisa’ ayat 34 tersebut di atas ada kata “takut nusyuz”,
menurut sebagian ulama’, maksud dari “takut nusyuz pada ayat tersebut
adalah jika diketahuinya dengan pasti bahwa istrinya itu akan berbuat
demikian. Sedangkan menurut sebagian ulama’ lain menjelaskan bahwa
yang dimaksud “takut nusyuz” adalah jika disangkanya istri itu telah
melakukan nusyuz dengan memperhatikan qarinah (gerak-gerik) istri yang
berubah dari yang biasanya dalam melayani suaminya. Jika telah terjadi
nusyuz yang demikian, Alqur’an telah memberikan solusi/langkah-
langkah bagaimana cara menghadapi seorang istri yang nusyuz, yaitu pada
surat An-Nisa’ ayat 34.

a. Memberikan nasehat dan petuah


b. Jika nasihat tidak efektif dan istri tidak terpengruh oleh nasihat itu, maka
suami harus menghindarinya di tempat tidur, tidak berbicara dengannya
dan tidak mendekatinya serta tidak melakukan hubungan suami istri,
dengan harpan istri menyadari kesalahannya. Menurut Ibnu Abbas, yang
dimaksud dengan menghindarinya di tempat tidur adalah teteap berada di
tempat tidur, namun tidak boleh berjima’ dengannya dan tidurnya dengan
cara membelakanginya atau memunggunginya. Menurut Said bin Zubair,
ditinggalkannya dari mencampuri istrinya. Sedangkan menurut Sya’bi,
ditinggalkanya sebantal segulingan dengan istrinya (tidak bersetubuh).
c. Jika cara yang kedua tersebut masih tidak efektif. Menurut yang hadits
diwayatkan oleh Thabari dapat dilakukan pukulan yang tidak terlalu keras
dan tidak sampai menyakitkan/melukai badannya. Dalam hal memukul,
hendaknya menjauhi bagian muka dan tempat-tempat lain yang
membahayakan, karena memukul ini tujuannya dapat memberikan
pelajaran (ta’zir). Hal ini sesuai dengan hadits Rasulullah SAW).
ْ ُ ‫ان ت‬
‫طمِّ َع َها‬ ْ :َ‫علَ ْيهِّ؟ قَال‬
َ ‫ َما َح ُّق زَ ْو َج ِّة أ َح ِّدنَا‬،‫َّللا‬
َّ ‫س ْو َل‬ُ ‫ار‬ َ َ‫ قُ ْلتُ ي‬:َ‫ع ْن أ ِّب ْي ِّه قَال‬ َ َ‫ع ْن َح ِّكيْم ب ِّْن ُم َعا ِّويَةَ ْالق‬
َ ‫شي ِّْري‬ َ
ْ َّ ْ
ِّ ‫ب ال َوجْ هَ َو َّل تُقَبِّحْ َو َّل ت َ ْه ُج ْر إّل فِّى البَ ْي‬
‫ت‬ ِّ ‫سيْتَ َو َّل تَض ِّْر‬ ْ
َ َ ‫س ْوهَا إذَاكت‬ ْ َ
ُ ‫اذَا ط ِّع َمتْ َوتَك‬
Artinya: “Dari Hakim bin Mu’awiyah Al-Qusyairy, dari ayahnya, ia
berkata, “saya bertanya, “ Wahai Rasulullah, apakah hak seorang istri
pada suaminya?” Beliau bersabda, h”Hendaklah kamu memberi makan
dia jika engkau makan. Berilah pakaian kepadanya seperti cara engkau
berpakaian. Jangan pukul mukanya, jangan menjelek-jelekkan dan jangan
engkau meninggalkannya kecuali masih dalam serumah… “. (HR. Abu
Dwaud).
Mengenai nusyuz ini di Indonesia telah diatur, yakni dalam KHI pasal
80 ayat (7) yang berbunyi “Kewajiban suami sebagaimana dimaksud ayat
(5) gugur apabila istri nusyuz”. Selain itu juga diatur pada pasal 84 KHI
yang berbunyi “(1) istri dapat dianggap nusyuz jika tidak mau
melaksanakan kewajiban-kewajiban sebagaimana dimaksud dalam pasal
83 ayat (1) kecuali dengan alasan yang sah, (2) selama istri nusyuz,
kewajiban suami terhadap istrinya tersebut pada pasal 80 ayat (4) huruf a
dan b tidak berlaku kecuali hal-hal untuk kepentingan anaknya,
(3)kewajiban suami tersebut pada ayat (2) di atas berlaku kembali
sesudah istri nusyuz, (4) ketentuan tentang ada atau tidak adaya nusyuz
dari istri harus ada bukti yang sah.”

2. Syiqaq
Kata syiqaq berasal dari bahasa arab al-syaqqu yang berarti sisi.
Adanyaperselisihan suami-isteri disebut “sisi”, karena masing-masing
pihak yang berselisih itu\berada pada sisi yang berlainan, disebabkan
adanya permusuhan dan pertentangan, sehingga padanan katanya adalah
perselisihan; (al-khilaf); perpecahan; permusuhan; (aladawah).
Syiqaq memiliki arti sama dengan al-khilaf (perselisihan) atau al-
‘adawah (pertentangan atau persengketaan). Jadi syiqaq ialah perselisihan
antara suami dengan istri.Hal ini biasanya timbul karena suami atau istri
tidak melaksanakan kewajibannya, maka dalam ayat di atas diperintahkan
untuk mencari hakim guna menjadi juru damai di antara keduanya.
Ada beberapa pandangan tentang syiqaq.Ada yang berpendapat bahwa
dikatakan syiqaq kalau selisihnya itu mengandung unsur membahayakan
suami isteri dan terjadi pecahnya perkawinan, sedangkan bila tidak
mengandung unsur-unsur yang membahayakan dan belum sampai pada
tingkat darurat, maka hal tersebut belum dikatakan syiqaq.
Pertentangan atau persengketaan Menurut istilah fiqih ialah
perselisihan suami istri yang diselesaikan oleh dua orang hakam, yaitu
seorang hakam dari pihak suami dan seorang hakam dari pihak istri.Al-
Maraghi dalam tafsirnya menjelaskan permasalahan syiqaq dengan cukup
lugas. Al-syiqaq berarti perselisihan yang berpotensi membuat dua pihak
berpisah, dan ketakutan masing-masing pihak akan terjadinya perpisahan
itu dengan lahirnya sebab-sebab perselisihan.

C. PENGERTIAN DAN PENGANGKATAN HAKAMAIN


Hakamain merupakan bentuk tatsniyah dari kata “hakam” yang artinya
juru damai.Jadi, hakamain adalah juru damai yang dikirim oleh kedua belah
pihak suami dan istri apabila terjadi perselisihan antara keduanya, tanpa
diketahui keadaan siapa yang benar dan siapa yang salah.
Menurut Wahbah al-Zuhaili, suatu rumah tangga dikatakan syiqaq
sehinggamembutuhkan adanya pengangkatan hakamain, secara teori melewati
beberapa fase, antara lain: 1)mu’asyarah bi al-ma’ruf, adanya itikad baik dan
upaya sungguh-sungguh kedua belah pihak menciptakan hubungan yang baik,
2) al-shabr, yaitu kesabaran dan upaya bertahan menghadapi ujian yangtimbul
sebagai akibat perkawinan termasuk sikap pasangan yang nusyuz, 3)
tahammul al-adza, adalah situasi seorang suami dengan pantang menyerah
menanggung beban fisik dan mental dalam melaksanakan kewajibannya, 4)
alwa’zhu, upaya suami memberikan nasihat kepada isterinya dengan hikmah
dan kebijaksanaa, 5) al-hajr, upaya (nasihat) suami dengan cara membatasi
komunikasi terhadap isteri, 6) al-dharb al-yasir, upaya tegas suami terhadap
isteri yang pula berupa sikap fisik yang wajar, 7) irsal al-hakamain, upaya
mediasi antar keluarga kedua belah pihak dengan pengangkatan hakamain.
Dalam mengatasi kemelut rumah tangga (syiqaq), Islam
memerintahkan agar dilakukan arbitrase (tahkim).Suami boleh mengutus
seorang hakam dan istri boleh pula mengutus seorang hakam, yang mewakili
masing – masing. Namun sebaik- baiknya terdiri dari kaum keluarganya, yang
mengetahui dengan baik perihal suami istri itu, jika tidak ada boleh diambil
dari orang lain. Pengutusan hakim ini bermaksud untuk menelusuri sebab-
sebab terjadinya syiqaq dan berusaha mencari jalan keluar guna memberikan
penyelesaian terhadap kemelut rumah tangga yang dihadapi oleh kedua suami
istri tersebut.
Filosofi mengangkat hakam dari pihakkeluarga adalah mereka
dianggap lebih tahu keadaan suami isteri secara baik.Keluarga kedua belah
pihak memiliki misi untuk mendamaikan percekcokan yang terjadi diantara
keduanya sehingga peluang suami isteri untuk menyampaikan uneg-unegnya
dapat dilakukan tanpa banyak hambatan.
Dalam permaslahan hakim, sayid sabiq dalam kitab Fiqh Sunnah
mensyaratkan 4 syarat bagi seorang hakim yaitu; berakal, baligh, adil, muslim
dalam pendapat lain menambahi satu syarat yaitu seorang laki-laki, akan
tetapi hakim tersebut tidak di syaratkan dari kerabat/keluarga suami istri
tersebut, maka dengan demikian hakim boleh dari dari orang lain yang
memenuhi kriteria yang telah disyaratkan.
Menurut Mahmud Syaltut berpendapat mengutus juru damai
merupakan tugas wajib ‘ain (setiap orang) bagi keluarga kedua suami istri.
Kewajiban ini akan berpindah ke pengadilan apabila keluarga kedua pihak
suami dan istri tidak mampu lagi untuk merukunkan kembali pasangan suami
istri tersebut.

D. KEDUDUKAN DAN PERAN HAKAMAIN


Dalam hal wewenang hakam dalam kasus syiqaq, terdapat perbedaan
pendapat antarulama Fiqh.Menurut ulama Hanafi, qaul qadim Imam Syafi’I,
sebagian pengikut madzhab Hanbali, Hasan al-Basri dan Ibn Qatadah, hakam
tidak berwenang untuk menjatuhkan talaq suami terhadap istri dan dari pihak
istri tidak boleh mengadakan khuluk tanpa persetujuan istri. Pendapat mereka
ini sebagai konsekuensi dari pandangan mereka bahwa hakam tersebut hanya
berstatus sebagai wakil. Hakam berwenang mengambil suatu keputusan hanya
sepanjang dizinkan oleh suami istri yang mewakilkannya.
Sedangkan menurut pendapat yang lain yaitu sebagian pengikut Imam
Hanbali yang lain, qaul jadid dari Imam Syafi’i, Ibn Munzir, Imam Malik, Ibn
Abbas menyatakan bahwa kedua hakam berkedudukan sebagai hakim dan
dapat memutuskan keputusan yang mereka anggap baik, apakah mereka harus
bercerai atau berdamai kembali. Hal ini beralasan pada petunjuk ayat tersebut.
Sebagian ahli takwil berpendapat bahwa yang diperintahkan atau yang
berhak mengirim seorang hakam adalah penguasa (hakim) yang menangani
kasus tersebut. Ada juga yang berpendapat bahwa yang diperintahkan untuk
mengirim hakam adalah suami dan istri yang berselisih.
Jika terjadi persengketaan antara suami istri, maka selayaknya mereka
mendatangkan seorang hakam (mediator) dari keluarga kedua belah pihak
untuk bermusyawarah mencari jalan keluar (solusi). Hakam disyaratkan harus
orang yang adil, dari kerabat, dan mempunyai pengalaman dalam urusan
rumah tangga (keluarga) dan pendapat yang lain tidak harus dari kerabat.
Hisyam berkata dalam hadisnya, “Wanita itu berkata,’Aku telah ridha
terhadap kitab Allah, baik (terhadap sesuatu yang) bermanfaat bagiku maupun
yang mudharat bagiku”.Lelaki itu berkata, ‘Adapun perpisahan, tidak’.Ali lalu
berkata, ‘Engkau telah berdusta. Demi Allah, (janganlah engkau kembali)
hingga engkau ridha (terhadap sesuatu), seperti istrimu ridha terhadap sesuatu
itu”.
Cara penyelesaiannya ialah hakam dari pihak laki-laki berpartner
dengan suami, sedang hakam dari pihak perempuan berpartner dengan
istri.Setalah itu, masing-masing dari keduanya berkata kepada partnernya
(suami atau istri tersebut), “jujurlah kepadaku tentang keinginan yang ada
dihatimu’.apabila masing-masing dari kedua pasangan suami-istri itu jujur
kepada kedua hakam tersebut, maka kedua hakam itupun berkumpul, dan
masing-masing pihak dari mereka membuat sebuah janji dengan kawannya
(hakam yang lain), “Hendaklah engkau jujur kepadaku tentang keinginan
yang dikatakan partnermu kepadamu, niscaya aku akan jujur kepadamu
tentang keinginan yang dikatakan partnerku kepadaku’. dengan cara seperti
ini maka kedua hakam tersebut akan mengetahui perbuatan yang telah
dilakukan oleh partnernya terhadap pasangannya. Dan para hakam tersebut
akan tahu siapa yang berbuat zalim atau siapa yang bersalah, sehingga
keduanya dapat mempertimbangkan dan mengambil keputusan.
Menurut Imam Abu Hanifah, sebagian pengikut Imam Hambali, dan
Qaul Qadimdari Imam Syafi’i, hakam itu berarti wakil.Menurut Imam Malik,
hakam itu sebagai hakim, sehingga berwenang memberikan keputusan sesuai
dengan pendapat keduanya tentang hubungan suami istri yahg sedang
berselisih itu, apakah ia akan memberikan keputusan perceraian atau ia akan
memerintahkan agar berdamai kembali.
Dalam praktek peradilan agama di Indonesia, fungsi hakam terbatas
yaitu untukmencari upaya penyelesaian perselisihan dan fungsi tersebut tidak
dibarengi dengankewenangan untuk menjatuhkan putusan.Berarti setelah
hakam berupaya mencoba mencaripenyelesaian diantara suami istri, fungsi
dan kewenangannya berhenti sampai disitu.Hakam mempunyai fungsi
kewajiban yang melaporkan kepada pengadilan sampai sejauhmana usaha
yang telah dilakukannya, dan apa hasil yang telah diperolehnya selama
hakammenjalankan fungsinya. Hakam hanya sekedar usaha penjajakan
penyelesaian perselisihandiantara suami istri tanpa dibarengi dengan
kewenangan mengambil putusan.

E. KANDUNGAN HUKUM SURAT AN-NISA’ AYAT 34-35

1. Seorang suami wajib memberi nafkah kepada istrinya, dan ketika


seorang sua,I sudah melaksanakan kewajibannya tersebut, maka
seorang istri wajib mentaati suaminya.
2. Kewajiban seorang suami gugur ketika istrinya berbuat nusyuz.
3. Hal-hal yang harus dilakukan ketika istri nusyuz adalah 1)
menasehatinya, 2) menghindarinya tempat tidur. 3) memukulnya.
4. Ketika terjadi perselisihan antara sepasang suami istri maka harus
mengutus hakamain (2 orang mediator) untuk membantu
menyelesaikan perselisihan tersebut agar kembali seperti semula,
yakni satu hakam dari pihak suami dan satu hakam dari pihak istri.
5. Hakamain hendaknya diambil dari kerabat terdekat karena kerabat
lebih memahami keadaan rumah tangga saudaranya tersebut.
F. SURAT AN-NISA AYAT 128

‫علَ ۡي ِه َما ٓ أَن يُصۡ ِل َحا بَ ۡي َن ُه َما‬َ ‫وزا أ َ ۡو ِإ ۡع َراضٗ ا فَ ََل ُجنَا َح‬ ً ‫ش‬ُ ُ‫َو ِإ ِن ۡٱم َرأَة ٌ خَافَ ۡت ِم ۢن بَعۡ ِل َها ن‬
‫ٱَّللَ َكانَ ِب َما‬ َّ ‫ش ۚ َّح َو ِإن ت ُ ۡح ِسنُواْ َوتَتَّقُواْ فَإ ِ َّن‬ ُ ُ‫ت ۡٱۡلَنف‬
ُّ ‫س ٱل‬ ِ ‫ض َر‬ِ ‫ر َوأ ُ ۡح‬ٞۗ ‫ص ۡل ُح خ َۡي‬
ُّ ‫ص ۡل ٗح ۚا َوٱل‬
ُ
١٢٨ ‫ت َعۡ َملُونَ َخ ِب ٗيرا‬

Dan jika seorang wanita khawatir akan nusyuz atau sikap tidak acuh dari
suaminya, maka tidak mengapa bagi keduanya mengadakan perdamaian yang
sebenar-benarnya, dan perdamaian itu lebih baik (bagi mereka) walaupun
manusia itu menurut tabiatnya kikir. Dan jika kamu bergaul dengan isterimu
secara baik dan memelihara dirimu (dari nusyuz dan sikap tak acuh), maka
sesungguhnya Allah adalah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.
A. Asbabun nuzul
At-Tirmidzi meriwayatkan, dari Ibnu Abbas, ia berkata: “Saudah khawatir
akan diceraikan oleh Rasulullah SAW, kemudian ia berkata, ‘Janganlah engkau
menceraikanku dan biarkan aku ini tetap menjadi istrimu, dan berikanlah jatah
hariku untuk Aisyah’, Nabi punn melakukan permintaannya, sehingga turunlah
ayat ini ‫ص ۡل ُح خ َۡير‬
ُّ ‫ص ۡل ٗح ۚا َوٱل‬ُ ‫علَ ۡي ِّه َما ٓ أَن يُصۡ ِّل َحا بَ ۡينَ ُه َما‬
َ ‫ فَ ََل ُجنَا َح‬dan apa saja yang dijadikan
oleh keduanya sebagai media untuk berdamai, maka hal itu
diperbolehkan”.
Ibnu Uyainah meriwayatkan dari az-Zuhri dari Sa’id bin al-
Musayyab bahwa Rafi’ bin Khadij mempunyai istri yang bernama Khaulah
binti Muhammad bin Maslamah, ia tidak suka pada istrinya, entah karena
ia sudah tua atau karena hal yang lainnya, lalu ia ingin menceraikannya,
istrinya berkata: “janganlah engaku menceraikanku dan berikanlah jatah
hariku semaumu” dan hal yang seperti ini banyak terjadi sehingga
turunlah ayat ‫ص ۡل ُح خ َۡير‬ ُّ ‫ص ۡل ٗح ۚا َوٱل‬ُ ‫علَ ۡي ِّه َما ٓ أَن يُصۡ ِّل َحا بَ ۡينَ ُه َما‬
َ ‫ فَ ََل ُجنَا َح‬.

B. Tafsir Mufrodat
‫ خَافَ ۡت مِّ ۢن بَعۡ ِّل َها‬Khawatir suaminya melakukan hal yang ia (istri) tidak
sukai, ‫وزا‬ ً ‫ش‬ُ ُ‫ ن‬merasa tinggi dan merasa sombong darinya dengan
meninggalkan tempat tidurnya dan mengurangi sebagian nafkahnya dan
ambisius mata suaminya kepada kecantikannya. ‫ أ َ ۡو ِّإ ۡع َراضٗ ا‬atau tidak acuh
terhadap wajahnya (istri) yaitu kecenderungannya dan menyimpang ‫فَ ََل‬
‫ص ۡل ٗح ۚا‬
ُ ‫علَ ۡي ِّه َما ٓ أَن يُصۡ ِّل َحا َب ۡينَ ُه َما‬
َ ‫ ُجنَا َح‬damai dalam pembagian jatah dan nafkah
dengan kau tinggalkan baginya sesuatu yang ia cari kekalan persahaban,
jika kau ridha dengan demikian itu, jika tidak maka hak suami untuk
memberikan sepenuhnya hak nya (istri) atau memisahkannya (istri).
‫ص ۡل ُح خ َۡير‬
ُّ ‫ َوٱل‬damai dari pemisahan dan nusyuz dan tak acuh. ‫س‬ ُ ُ‫ت ۡٱل َنف‬ ِّ ‫َوأ ُ ۡح‬
ِّ ‫ض َر‬
‫ش ۚ َّح‬
ُّ ‫ ٱل‬sangat pelit yaitu jika kikir itu hadir pada dirinya (istri) tidak
menghilang darinya yaitu menjadi tabi’at atas dirinya.
‫ٱَّللَ َكانَ بِّ َما ت َعۡ َملُونَ َخبِّ ٗيرا‬
َّ ‫َوإِّن ت ُ ۡح ِّسنُواْ َوتَتَّقُواْ فَإ ِّ َّن‬

C. Tafsir Ayat
Takwil Firman Allah: ‫علَ ۡي ِّه َما ٓ أَن يُصۡ ِّل َحا‬
َ ‫وزا أ َ ۡو ِّإ ۡع َراضٗ ا فَ ََل ُجنَا َح‬
ً ‫ش‬ُ ُ‫َو ِّإ ِّن ٱمۡ َرأَة ٌ خَافَ ۡت مِّ ۢن َبعۡ ِّل َها ن‬
ۡ
‫صل ُح خ َۡير‬ ۡ
ُّ ‫صل ٗح ۚا َوٱل‬ ُ ‫ بَ ۡينَ ُه َما‬Dan jika seorang wanita khawatir akan nusyuz atau
sikap tidak acuh dari suaminya, maka tidak mengapa bagi keduanya
mengadakan perdamaian yang sebenar-benarnya, dan perdamaian itu
lebih baik (bagi mereka).
Allah memberitahukan serta mengisyaratkan ketetapan hukum-
hukumnya menyangkut berbagai kondisi yang dialami oleh sepasang
suami istri. Adakalanya pihak suami bersikap tidak senang kepada
istrinya, adakalanya pihak suami serasi dengan istrinya, dan adakalanya
pihak suami ingin bercerai dengan istrinya.
Keadaan pertama terjadi apabila pihak istri merasa khawatir terhadap
suaminya, bila si suami merasa tidak senang kepadanya dan bersikap
tidak acuh kepada dirinya. Maka dalam keadaan seperti ini pihak istri
boleh menggugurkan diri dari kewajiban suaminya seluruh hak atau
sebagian haknya yang menjadi tanggungn suami, seperti sandang,
pangan, dan tempat tinggal serta lain-lainnya yang termasuk hak istri atas
suaminya. Pihak suami boleh menerima hal tersebut dari pihak istrinya,
tiada dosa bagi pihak istri memberikan hal itu kepada suaminya, tidak
(pula) penerimaan pihak suami dari pihak istrinya akan itu.
Firman Allah ٌ ‫ َو ِّإ ِّن ٱمۡ َرأَة‬dalam bentuk rafa’ (dhammah), oleh fi’il (kata
kerja) setelahnya, dan kata ‫ خَافَ ۡت‬berarti khawatir, adapun yang bermakna
yakin adalah salah. Az-Zajjaj berkata, “Artinya adalah apabila seorang
wanita khawatir akan nusyuz dari suaminya” ia melanjutkan “perbedaan
antara nusyuz dan sikap tidak acuh adalah dengan cara tidak
mengajaknya bicara dan tidak menemaninya”.
Abu Ja’far berkata: maksud ayat ‫ َوإِّ ِّن ٱمۡ َرأَة ٌ خَافَ ۡت مِّ ۢن بَعۡ ِّل َها‬adalah,
memahami benar suaminya ‫وزا‬ ً ‫ش‬
ُ ُ‫ ن‬nusyuz, yakni bersikap egois, diktator,
dan sombong. Adapun dikarenakan kebencian, adakalanya karena
ketidaksukaannya terhadap beberapa faktor, diantaranya tidak cantik dan
tua. ‫“ أ َ ۡو ِّإ ۡع َراضٗ ا‬atau sikap tidak acuh” memalingkan wajahnya atau
berpaling dari sebagian manfaat yang dimiliki istri darinya ‫علَ ۡي ِّه َما ٓ أَن‬ َ ‫فَ ََل ُجنَا َح‬
ۚ‫ص ۡل ٗحا‬
ُ ‫“ يُصۡ ِّل َحا بَ ۡينَ ُه َما‬maka tidak mengapa bagi keduanya mengadakan
perdamaian yang sebenar-benarnya”. Jadi, tidak berdosa atas keduanya,
yakni seorang perempuan yang khawatir akan nusyuz dan sikap acuh tak
acuh dari suaminya, untuk mengadakan perdamaian yang sebenar-
benarnya –karena suaminya telah melewati hari-harinya, menyia-nyiakan
sebagian kewajiban istri yang sudah menjadi hak suami- meminta
perdamaian atas kejadian tersebut, untuk tetap berada dalam ikatan
pernikahan, menahan diri dari akad pernikahan yang mengikat keduanya.
Dalam ayat ini terdapat permasalahan fiqh, yaitu tentang pendapat
orang-orang bodoh yang megatakan bahwa seorang laki-laki yang
mengambil masa muda sorang wanita (kawin dengannya disaat wanita,
itu masih muda), ketika telah tua, maka lelaki tersebut tidak dibolehkan
menceraikannya.
Ulama berkata: “semua bentuk perdamaian dalam kejadian ini
dibolehkan, yaitu dalam bentuk suami memberikan sebagian hartanya
dengan konsekwensi istri harus bersabar, atau istri memberikan sebagian
hartanya dengan konsekwensi suami mengutamakannya, atau suami
mengutamakan dan tetap menjadikannya sebagai istrinya, atau
perdamaian ini terjadi dengan kesabaran atau pengutamaan dengan
tanpa memberi (sesuatupun), semua bentuk perdamaian ini boleh, dan
dibolehkan juga bagi para isrti berdamai, dalam bentuk salah satu
diantara keduanya memberikan sesuatu kepada yang lainnya, untuk
ditukarkan dengan jatah harinya, seperti yang dilakukan oleh para istri
Nabi SAW dimana pada saat itu Rasulullah SAW sedang marah kepada
Shafiyah, kemudian ia (Shafiyah) berkata kepada Aisyah: “perbaikilah
hubunganku dengan Rasulullah SAW, dan aku akan memberikan jatah
hariku untukmu”, cerita ini disebutkan oleh Ibnu Khuwaizimandad dalam
kitab al-Ahkamnya. Aisyah, ia berkata: Rasulullah SAW menemukan
pada diri Shafiyyah sesuatu yang membuat Beliau marah, lalu Shafiyah
berkata kepadaku (Aisyah): “Apakah engkau mau memperbaiki
hubunganku dengan Rasulullah dengan imbalan aku akan memberikan
jatah hariku padamu?” Aisyah berkata “kemudian aku memakai kerudung
milikku yang telah dicelupkan dengan za’faran dan telah aku perciki
dengan za’faran tersebut, lalu aku datang dan duduk disamping Nabi
SAW, Rasul pun bersabda: “Menjauhlah dariku, sebab sekarang bukan
harimu”, aku menjawab, “itulah pemberian Allah yang diberikan kepada
siapa saja yang Dia kehendaki” lalu aku menceritakan tentang apa yang
terjadi, dan Nabi pun rela dengan hal ini”. Dalam kejadian ini terdapat
sebuah pelajaran, yaitu tidak memberikan hak yang sama terhadap para
istri dan mengutamakan yang satu dengan yang lainnya itu tidak
diperbolehkan kecuali dengan izin dan kerelaan dari orang yang
dikalahkan dalam pengutamaan ini.
Berkata Nuhas: “Perbedaan antar nusyuz dengan i’radh yaitu
bahwasannya nusyuz itu menyimpang sedangkan i’radh tidak bicara
kepadanya (istri) dan tidak ramah kepadanya.
Abu Ja’far berkata, “Lafaz ‫ص ۡل ُح خ َۡير‬
ُّ ‫ َوٱل‬dan perdamaian itu lebih baik,
maksudnya melakukan perdamaian karena telah meninggalkan sebagian
haknya, terus menerus melakukan hal-hal yang diharamkan, dan
menahan diri dari akad pernikahan, lebih baik daripada meminta cerai
dan perpisahan.
Firman Allah ‫ص ۡل ُح خ َۡير‬
ُّ ‫ َوٱل‬adalah lafaz umum yang mempunyai
pengertian perdamaian sebenarnya yang mententramkan jiwa, dan
menghilangkan perselisihan secara keseluruhan, termasuk dalam
pengertian ini adalah sesuatu yang dijadikan media perdamaian antara
suami dan istri, yang bisa berupa harta, jima’, atau yang lainnya. Kata ‫خ َۡير‬
artinya lebih baik daripada berpisah, sebab memperuncing perselisihan
dan permusuhan, serta saling membenci merupakan pilar-pilar kejelekan,
Rasulullah SAW bersabda tentang kebencian: “Sesungguhnya ia
merupakan pengikat” yang dimaksud adalah pengikat agama dan bukan
pengikat rambut. Maksudnya bahwa sesuatu yang dapat memperbaiki
hubungan diantara dua orang yang berseteru adalah dengan
meninggalkan kebencian.
Riwayat-riwayat yang sesuai dengan pendapat tersebut adalah:
Dari Ibnu Sirin, ia berkata: “seorang laki-laki datang kepada Umar
untuk menanyakan tentang satu ayat, lalu laki-laki itu membenci ayat
tersebut. Orang lain lalu bertanya tentang ayat ini ‫وزا‬ ً ُ‫َو ِّإ ِّن ٱمۡ َرأَة ٌ خَافَ ۡت مِّ ۢن بَعۡ ِّل َها نُش‬
َ
‫ أ ۡو إِّ ۡع َراضٗ ا‬Umar lalu berkata: “tentang ayat yang serupa dengan ayat ini,
maka tanyakanlah” ia lalu berkata lagi: “Wanita ini mempunyai suami dan
suaminya telah meninggalkannya, kemudian suaminya menikah dengan
seorang gadis demi mendapatkan keturunan. Selama keduanya
mengadakan perdamaian, hal itu diperbolehkan.
Dari Ibnu Abbas, tentang firman Allah ‫وزا أ َ ۡو إِّ ۡع َراضٗ ا‬ ً ‫ش‬ ُ ُ‫َوإِّ ِّن ٱمۡ َرأَة ٌ خَافَ ۡت مِّ ۢن بَعۡ ِّل َها ن‬
ia berkata: “Seorang wanita berada disamping suaminya hingga usianya
tua, lalu suaminya ingin menikah lagi, maka keduanya mengadakan
perdamaian yang sebenar-benarnya, meluangkan satu hari untuk
istrinya, sedangkan dua atau tiga hari untuk istri mudanya.
Dari Aisyah, tentang firman Allah ‫شو ًزا أ َ ۡو ِّإ ۡع َراضٗ ا فَ ََل‬ ُ ُ‫َو ِّإ ِّن ٱمۡ َرأَة ٌ خَافَ ۡت مِّ ۢن بَعۡ ِّل َها ن‬
ۡ
‫صل ُح خ َۡير‬ ۚ ۡ
ُّ ‫صل ٗحا َوٱل‬ َ َ
ُ ‫عل ۡي ِّه َما ٓ أن يُصۡ ِّل َحا بَ ۡينَ ُه َما‬ َ ‫ ُجنَا َح‬ia berkata: “Tentang seorang wanita
yang telah lama berada disisi suaminya, kemudian suaminya berlaku
sombong terhadapnya, dan perempuan itu tidak mempunyai anak yang
dapat menemeninya, kemudian perempuaun itu berkata: “Jangan kamu
ceraikan aku, sekalipun kau halal untuk menceraikanku”
Takwil firman Allah َ‫ٱَّللَ َكانَ بِّ َما ت َعۡ َملُون‬ َّ ‫ش ۚ َّح َوإِّن ت ُ ۡح ِّسنُواْ َوتَتَّقُواْ فَإ ِّ َّن‬ ُّ ‫س ٱل‬ ُ ُ‫ت ۡٱلَنف‬
ِّ ‫ض َر‬ ِّ ۡ‫َوأُح‬
١٢٨ ‫ َخبِّ ٗيرا‬walaupun manusia itu menurut tabiatnya kikir. Dan jika kamu
bergaul dengan isterimu secara baik dan memelihara dirimu (dari nusyuz
dan sikap tak acuh), maka sesungguhnya Allah adalah Maha Mengetahui
apa yang kamu kerjakan.
Firman Allah ‫ش ۚ َّح‬ ُّ ‫س ٱل‬ ُ ُ‫ت ۡٱلَنف‬ِّ ‫ض َر‬ ِّ ۡ‫ َوأُح‬pernyataan ini merupakan berita yang
mengabarkan bahwa kikir terdapat pada setiap orang, sebab manusia
diciptakan dengan tabiat kikir sehingga seorang mampu mengatasi sifat
kikir dalam dirinya. Ibnu Jubair berkata: “Kekikiran disini berasal dari
pihak suami dan juga dari pihak istri”. Ibnu Athiyyah berkata: “Ini lebih
bagus karena biasanya seorang istri kikir (untuk memberikan) bagian
yang didapatkan dari suaminya dan biasanya seorang suami kikir untuk
memberikan bagian itu kepada istri tuanya jika ia kawin lagi dengan
wanita muda. Kata asy-Syuhhu lebih tepat diartikan kepada suatu
kepercayaan, keinginan, harta dan lain sebagainya, sedangkan kikir
dalam urusan agama dengan artian tidak melebih-lebihkannya
merupakan sesuat u yang baik, sedangkan kikir dalam urusan lain maka
hal itu tercela, inilah yang dikatakan oleh Allah dalam firman-Nya َ‫َو َمن يُوق‬
‫ش َّح ن َۡف ِّسهِّۦ‬
ُ Dan siapa yang dipelihara dari kekikiran dirinya, (Q.S. al-Hasyr
[59]: 09) adapun kikir dalam bentuk melarang untuk memberikan hak-hak,
yang telah diatur dalam syara’, atau sesuatu yang berhubungan dengan
masalah perangai, maka hal ini dinamakan dengan bakhil, dan itu tercela,
jadi kebakhilan yang berujung pada akhlak yang jelek dan tanda-tanda
ketercelaan adalah tidak mendatangkan apapun kecuali kehinaan.
Sebagian ahli tafsir berpendapat bahwa maksudnya adalah: “Para
wanita itu kikir terhadap bagian mereka, baik bagian pada diri suami
mereka maupun harta mereka”
Riwayat yang sesuai dengan pendapat tersebut adalah:
Dari sa’id bin Jubair, tentang ayat ini ‫ش ۚ َّح‬ ُّ ‫س ٱل‬ُ ُ‫ت ۡٱلَنف‬ ِّ ‫ض َر‬ ِّ ۡ‫ َوأُح‬ia berkata:
“Perempuan yang kikir atas bagian yang telah diberikan suaminya, baik
bagian diri suaminya maupun bagian hartanya”.
Sebagian lain berpendapat bahwa maksudnya adalah: “Setiap
individu, baik laki-laki maupun perempuan, pasti bersikap kikir dengan
hak yang menjadi miliknya”.
Riwayat yang sesuai dengan pendapat tersebut adalah:
Ibnu Wahab berkata: Aku mendengar Zaid berkata tentang firman
Allah ‫ش ۚ َّح‬ ُ ُ‫ت ۡٱلَنف‬
ُّ ‫س ٱل‬ ِّ ‫ َوأ ُ ۡح‬ia berkata: “tidaklah senang untuk memberikan
ِّ ‫ض َر‬
sedikit pun, lalu dibolehkan, dan tidak senang untuk membagi harta
dengan orang lian, lalu bersimpati terhadapnya”.
Firman Allah ‫ٱَّللَ َكانَ ِّب َما ت َعۡ َملُونَ َخ ِّب ٗيرا‬
َّ ‫ َو ِّإن تُحۡ ِّسنُواْ َوتَتَّقُواْ فَإ ِّ َّن‬Dan jika kamu
bergaul dengan isterimu secara baik dan memelihara dirimu (dari nusyuz
dan sikap tak acuh), maka sesungguhnya Allah adalah Maha Mengetahui
apa yang kamu kerjakan.
Jika kalian sabar menahan apa yang tidak kalian sukai dari mereka
dan kalian tetap membagi giliran kepada mereka sama dengan istri kalian
yang lainnya, maka sesungguhnya Allah maha mengetahui hal tersebut,
dan kelak Dia akan memberikan kepada kalian balasan pahala yang
berlimpah atas sikap kalian yang bijak ini.
D. Istinbat Hukum dari Ayat Tersebut
Pada ayat ini, Allah mengkabarkan hukum-hukum yang dapat dijadikan
fatwa bagi perempuan, yaitu:

i. Perbaikan keadaan nusyuz atau i’rad suami terhadap istri. I’rad


yaitu suami memalingkan wajahnya atau memalingkan manfaat-
manfaat yang dahulu didapatkan istri seperti mengurangi berbicara
dengan istri atau kurang tertarik karena tua atau cacat atau cacat
dari lahir atau bosan.
ii. Perbaikan keadaan dengan berdamai dengan cara meninggalkannya
beberapa hari, sebagaimana yang dikerjakan Saudah kepada
Rasulullah SAW. Atau meletakkan sebagian kewajibannya dari
nafkah atau sandang atau hibahkan untuknya sebagian dari
maharnya atau berikan dia harta agar tetap bersamanya.

Firman Allah ‫ص ۡل ُح خ َۡير‬


ُّ ‫ َوٱل‬, menunjukkan bahwa segala perdamaian pada
masalah ini hukumnya mubah dengan mengasihi salah seorang dari
keduanya akan harta atau meniggalkan hak istri dari haknya pada
istirahat malamnya secara mutlak atau meniggalkan haknya dalam waktu
yang lama.
Firman Allah ْ‫ َوإِّن تُحۡ ِّسنُواْ َوتَتَّقُوا‬, menunjukkan bahwa ketetapan bagi para
suami atas istrinya yang kikir sebagai akibat karena tidak bergaul dengan
baik, jika para suami bergaul dan memelihara diri (dari nusyuz dan i’rad)
dalam bergaul dengan istri pada pendirinamu atas kalian bersama
kebencianmu bagi sahabatnya (sifat yang tidak disukai) dan waspada
kedzaliman mereka maka yang demikian itu lebih baik bagimu.
BAB III

PENUTUP

A. KESIMPULAN

Nusyuz menurut bahasa berarti tertangakat, durhaka, membangkang.Sedangkan


menurut istilah, nusyuz adalah seorang istri melakukan perbuatan yang menentang
suaminya tanpa alasan yang dapat diterima oleh syara’.Jadi, Istri nusyuz adalah istri
yang telah keluar dari ketaatan kepada suaminya dan tidak menjalankan segala
kewajiban yang telah diperintahkan kepadanya, seperti keluar rumah tanpa izin
suaminya.

Hal-hal yang harus dilakukan ketika istri nusyuz adalah 1) menasehatinya, 2)


menghindarinya tempat tidur. 3) memukulnya.

Syiqaq memiliki arti sama dengan al-khilaf (perselisihan) atau al-‘adawah


(pertentangan atau persengketaan). Jadi syiqaq ialah perselisihan antara suami dengan
istri.Hal ini biasanya timbul karena suami atau istri tidak melaksanakan
kewajibannya, maka dalam ayat di atas diperintahkan untuk mengutus 2 orang hakim
guna menjadi juru damai di antara keduanya.Yakni satu hakim dari pihak suami dan
satu hakim dari pihak istri.

Berdasarkan keterangan para Mufasir diatas mengenai surah An-Nisa ayat 34


dapat ditarik kesimpulan bahwasanya melalui firman-Nya Allah telah memberikan
solusi atau perintah terhadap para suami jika sang istri mulai menampakkan
nusyuznya dengan tiga tahap atau cara dalam menghadapi ketidaktaatannya tersebut.
Tahap pertama yakni dengan menasehatinya agar kembali taat kepada perintah Allah
dengan memenuhi dan memuliakan hak suaminya serta mengingatkannya untuk
menunaikan kewajibannya sebagai istri dan apabila istrinya telah kembali taat kepada
Allah maka suami dilarang mencari-cari kesalahan istri dan melarang suami
menzhalimi istrinya. Akan tetapi jika istri masih belum taat kepada Allah ketika telah
dinasehati, maka pisahkan dari tempat tidurnya. Akan tetapi ketika cara ini sudah
dilakukan namun istri masih membangkang terhadap suaminya, maka Allah
mempersilahkan suami untuk memukul istrinya dengan catatan memukul dengan
tidak menyebabkan luka atau meninggalkan bekas, hal itu dikarenakan pukulan
tersebut dalam rangka mendidik atau memberi peringatan dengan tujuan agar istri
sadar dan kembali taat kepada Allah dan suaminya.

Kesimpulan dari penafsiran surah An-Nisa ayat 128 ialah jika istri khawatir akan
nusyuz yang datang dari suaminya maka Allah membolehkan salah satu diantara
mereka untuk melakukan perdamaian dengan cara mengikhlaskan atau salah satu
diantara mereka agar mengalah akan sebagian hak dan kewajiban salah satu diantara
keduanya untuk digugurkan dengan tujuan untuk mempertahankan keutuhan rumah
tangga, atau demi menghindari terjadinya perceraian. Karena perdamaian dengan cara
apapun dibolehkan demi menghindari terjadinya perceraian.

Anda mungkin juga menyukai