DisusunOleh :
1. Ani
2. Silvi Mariyam Ulviah
Dengan menyebut nama Allah SWT yang Maha Pengasih lagi Maha
Panyayang, Kami panjatkan puja dan puji syukur atas kehadirat-Nya, yang telah
melimpahkan rahmat, hidayah, dan inayah-Nya kepada kami, sehingga kami dapat
menyelesaikan makalah Tafsir Ayat Munakahat tentang QS An-Nissa : 34-35 & 128
(tentang Musyuz, syiqaq, penjelasan konflik).
Makalah Tafsir Ayat Munakahat ini telah kami susun dengan maksimal
.Untuk itu kami menyampaikan banyak terima kasih kepada semua Rekan yang telah
berkontribusi dalam pembuatan makalah ini.
Terlepas dari semua itu, Kami menyadari sepenuhnya bahwa masih ada
kekurangan baik dari segi susunan kalimat maupun tata bahasanya. Oleh karena itu
dengan tangan terbuka kami menerima segala saran dan kritik dari pembaca agar
kami dapat memperbaiki makalah Tafsir Ayat Munakahat ini.
Akhir kata kami berharap semoga makalah Tafsir Ayat Munakahat tentang
QS An-Nissa : 34-35 & 128 (tentang Musyuz, syiqaq, penjelasan konflik) ini dapat
memberikan manfaat terhadap pembaca.
Penyusun
DAFTAR ISI
BAB III
PENUTUP ………………………..……................................................……......… 11
A. Simpulan …………………………………….....................….................….....…11
A. Latar Belakang
ض َو ِّب َمآ أ َ ْنفَقُ ْوا ِّم ْن أ َ ْم َوا ِّل ِّه ْمٍ علَى َب ْع َ ض ُه ْم َ َّللاُ َب ْع
َّ ض َل َّ َآء بِّ َما ف ِّ سَ ِّعلَى الن َ َِّال َجا ُل قَ َّوا ُم ْون
ظ ْو ُه َّن ُ ش ْوزَ ُه َّن فَ ِّع ُ ُت تَخَافُ ْونَ ن ِّ َّللاُ َواّل َّ ظ َ ب بِّ َما َح ِّف ِّ ظاتٌ ِّل ْلغَ ْي َ صا ِّل َحاتُ قَلنِّت َاتٌ َح ِّف َّ فَال
ََّللاَ َكان َّ إن َّ س ِّبي ََْلَ علَ ْي ِّه َّن َ َ اجعِّ َواض ِّْرب ُْو ُه َّن فَإ ِّ ْن أ
َ ط ْعنَ ُك ْم فَ ََلت َ ْبغُ ْوا ِّ ضَ َوا ْه ُج ُر ْو ُه َّن ِّفى ْال َم
﴾و ِّإ ْن ِّخ ْفت ُ ْم ِّشقَاقَ بَ ْينِّ ِّه َما فَا ْبعَث ُ ْوا َح َك ًما ِّم ْن أ َ ْه ِّل ِّه َو َح َك ًما ِّم ْن أ َ ْه ِّل َها ِّإ ْن ي ُِّر ْي َدآ َ ۳۴﴿ ع ِّليًّا َكبِّي ًْرا َ
﴾۳۵﴿ ع ِّل ْي ًما َخبِّي ًْرا َ ََّللا َكان َ َّ َّللاُ بَ ْينَ ُه َمآ إِّ َّن
َّ قِّ ِّص ََل ًحا ي َُوفْ ِّإ
Artinya: “Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita,
karena Allah telah melebihkan sebagian mereka (laki-laki) atas sebagian yang
lain (wanita), dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari
harta mereka. Sebab itu, maka wanita yang saleh ialah yang taat kepada Allah
lagi memelihara diri ketika suaminya tidak ada, karena Allah telah
memelihara (mereka).Wanita-wanita yang kamu khawatirkan nusyuznya,
maka nasehatilah mereka dan pisahkanlah mereka di tempat tidur mereka,
serta pukullah mereka.Kemudian jika mereka menaatimu, maka janganlah
kamu mencari-cari jalan untuk menyusahkannya. Sesungguhnya Allah Maha
Tinggi lagi Maha Besar. Jika kamu khawtirkan ada persengketaan antara
keduanya, maka kirimlah seorang hakam dari keluarga laki-laki dan seorang
hakam dari kelurga wanita. Jika kedua orang hakam tersebut bermaksud
mengadakan perbaikan, niscaya Allah akan memberi taufik kepada suami-istri
itu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal.” (QS.An-
Nisa’: 34-35)
2. Syiqaq
Kata syiqaq berasal dari bahasa arab al-syaqqu yang berarti sisi.
Adanyaperselisihan suami-isteri disebut “sisi”, karena masing-masing
pihak yang berselisih itu\berada pada sisi yang berlainan, disebabkan
adanya permusuhan dan pertentangan, sehingga padanan katanya adalah
perselisihan; (al-khilaf); perpecahan; permusuhan; (aladawah).
Syiqaq memiliki arti sama dengan al-khilaf (perselisihan) atau al-
‘adawah (pertentangan atau persengketaan). Jadi syiqaq ialah perselisihan
antara suami dengan istri.Hal ini biasanya timbul karena suami atau istri
tidak melaksanakan kewajibannya, maka dalam ayat di atas diperintahkan
untuk mencari hakim guna menjadi juru damai di antara keduanya.
Ada beberapa pandangan tentang syiqaq.Ada yang berpendapat bahwa
dikatakan syiqaq kalau selisihnya itu mengandung unsur membahayakan
suami isteri dan terjadi pecahnya perkawinan, sedangkan bila tidak
mengandung unsur-unsur yang membahayakan dan belum sampai pada
tingkat darurat, maka hal tersebut belum dikatakan syiqaq.
Pertentangan atau persengketaan Menurut istilah fiqih ialah
perselisihan suami istri yang diselesaikan oleh dua orang hakam, yaitu
seorang hakam dari pihak suami dan seorang hakam dari pihak istri.Al-
Maraghi dalam tafsirnya menjelaskan permasalahan syiqaq dengan cukup
lugas. Al-syiqaq berarti perselisihan yang berpotensi membuat dua pihak
berpisah, dan ketakutan masing-masing pihak akan terjadinya perpisahan
itu dengan lahirnya sebab-sebab perselisihan.
علَ ۡي ِه َما ٓ أَن يُصۡ ِل َحا بَ ۡي َن ُه َماَ وزا أ َ ۡو ِإ ۡع َراضٗ ا فَ ََل ُجنَا َح ً شُ َُو ِإ ِن ۡٱم َرأَة ٌ خَافَ ۡت ِم ۢن بَعۡ ِل َها ن
ٱَّللَ َكانَ ِب َما َّ ش ۚ َّح َو ِإن ت ُ ۡح ِسنُواْ َوتَتَّقُواْ فَإ ِ َّن ُ ُت ۡٱۡلَنف
ُّ س ٱل ِ ض َرِ ر َوأ ُ ۡحٞۗ ص ۡل ُح خ َۡي
ُّ ص ۡل ٗح ۚا َوٱل
ُ
١٢٨ ت َعۡ َملُونَ َخ ِب ٗيرا
Dan jika seorang wanita khawatir akan nusyuz atau sikap tidak acuh dari
suaminya, maka tidak mengapa bagi keduanya mengadakan perdamaian yang
sebenar-benarnya, dan perdamaian itu lebih baik (bagi mereka) walaupun
manusia itu menurut tabiatnya kikir. Dan jika kamu bergaul dengan isterimu
secara baik dan memelihara dirimu (dari nusyuz dan sikap tak acuh), maka
sesungguhnya Allah adalah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.
A. Asbabun nuzul
At-Tirmidzi meriwayatkan, dari Ibnu Abbas, ia berkata: “Saudah khawatir
akan diceraikan oleh Rasulullah SAW, kemudian ia berkata, ‘Janganlah engkau
menceraikanku dan biarkan aku ini tetap menjadi istrimu, dan berikanlah jatah
hariku untuk Aisyah’, Nabi punn melakukan permintaannya, sehingga turunlah
ayat ini ص ۡل ُح خ َۡير
ُّ ص ۡل ٗح ۚا َوٱلُ علَ ۡي ِّه َما ٓ أَن يُصۡ ِّل َحا بَ ۡينَ ُه َما
َ فَ ََل ُجنَا َحdan apa saja yang dijadikan
oleh keduanya sebagai media untuk berdamai, maka hal itu
diperbolehkan”.
Ibnu Uyainah meriwayatkan dari az-Zuhri dari Sa’id bin al-
Musayyab bahwa Rafi’ bin Khadij mempunyai istri yang bernama Khaulah
binti Muhammad bin Maslamah, ia tidak suka pada istrinya, entah karena
ia sudah tua atau karena hal yang lainnya, lalu ia ingin menceraikannya,
istrinya berkata: “janganlah engaku menceraikanku dan berikanlah jatah
hariku semaumu” dan hal yang seperti ini banyak terjadi sehingga
turunlah ayat ص ۡل ُح خ َۡير ُّ ص ۡل ٗح ۚا َوٱلُ علَ ۡي ِّه َما ٓ أَن يُصۡ ِّل َحا بَ ۡينَ ُه َما
َ فَ ََل ُجنَا َح.
B. Tafsir Mufrodat
خَافَ ۡت مِّ ۢن بَعۡ ِّل َهاKhawatir suaminya melakukan hal yang ia (istri) tidak
sukai, وزا ً شُ ُ نmerasa tinggi dan merasa sombong darinya dengan
meninggalkan tempat tidurnya dan mengurangi sebagian nafkahnya dan
ambisius mata suaminya kepada kecantikannya. أ َ ۡو ِّإ ۡع َراضٗ اatau tidak acuh
terhadap wajahnya (istri) yaitu kecenderungannya dan menyimpang فَ ََل
ص ۡل ٗح ۚا
ُ علَ ۡي ِّه َما ٓ أَن يُصۡ ِّل َحا َب ۡينَ ُه َما
َ ُجنَا َحdamai dalam pembagian jatah dan nafkah
dengan kau tinggalkan baginya sesuatu yang ia cari kekalan persahaban,
jika kau ridha dengan demikian itu, jika tidak maka hak suami untuk
memberikan sepenuhnya hak nya (istri) atau memisahkannya (istri).
ص ۡل ُح خ َۡير
ُّ َوٱلdamai dari pemisahan dan nusyuz dan tak acuh. س ُ ُت ۡٱل َنف ِّ َوأ ُ ۡح
ِّ ض َر
ش ۚ َّح
ُّ ٱلsangat pelit yaitu jika kikir itu hadir pada dirinya (istri) tidak
menghilang darinya yaitu menjadi tabi’at atas dirinya.
ٱَّللَ َكانَ بِّ َما ت َعۡ َملُونَ َخبِّ ٗيرا
َّ َوإِّن ت ُ ۡح ِّسنُواْ َوتَتَّقُواْ فَإ ِّ َّن
C. Tafsir Ayat
Takwil Firman Allah: علَ ۡي ِّه َما ٓ أَن يُصۡ ِّل َحا
َ وزا أ َ ۡو ِّإ ۡع َراضٗ ا فَ ََل ُجنَا َح
ً شُ َُو ِّإ ِّن ٱمۡ َرأَة ٌ خَافَ ۡت مِّ ۢن َبعۡ ِّل َها ن
ۡ
صل ُح خ َۡير ۡ
ُّ صل ٗح ۚا َوٱل ُ بَ ۡينَ ُه َماDan jika seorang wanita khawatir akan nusyuz atau
sikap tidak acuh dari suaminya, maka tidak mengapa bagi keduanya
mengadakan perdamaian yang sebenar-benarnya, dan perdamaian itu
lebih baik (bagi mereka).
Allah memberitahukan serta mengisyaratkan ketetapan hukum-
hukumnya menyangkut berbagai kondisi yang dialami oleh sepasang
suami istri. Adakalanya pihak suami bersikap tidak senang kepada
istrinya, adakalanya pihak suami serasi dengan istrinya, dan adakalanya
pihak suami ingin bercerai dengan istrinya.
Keadaan pertama terjadi apabila pihak istri merasa khawatir terhadap
suaminya, bila si suami merasa tidak senang kepadanya dan bersikap
tidak acuh kepada dirinya. Maka dalam keadaan seperti ini pihak istri
boleh menggugurkan diri dari kewajiban suaminya seluruh hak atau
sebagian haknya yang menjadi tanggungn suami, seperti sandang,
pangan, dan tempat tinggal serta lain-lainnya yang termasuk hak istri atas
suaminya. Pihak suami boleh menerima hal tersebut dari pihak istrinya,
tiada dosa bagi pihak istri memberikan hal itu kepada suaminya, tidak
(pula) penerimaan pihak suami dari pihak istrinya akan itu.
Firman Allah ٌ َو ِّإ ِّن ٱمۡ َرأَةdalam bentuk rafa’ (dhammah), oleh fi’il (kata
kerja) setelahnya, dan kata خَافَ ۡتberarti khawatir, adapun yang bermakna
yakin adalah salah. Az-Zajjaj berkata, “Artinya adalah apabila seorang
wanita khawatir akan nusyuz dari suaminya” ia melanjutkan “perbedaan
antara nusyuz dan sikap tidak acuh adalah dengan cara tidak
mengajaknya bicara dan tidak menemaninya”.
Abu Ja’far berkata: maksud ayat َوإِّ ِّن ٱمۡ َرأَة ٌ خَافَ ۡت مِّ ۢن بَعۡ ِّل َهاadalah,
memahami benar suaminya وزا ً ش
ُ ُ نnusyuz, yakni bersikap egois, diktator,
dan sombong. Adapun dikarenakan kebencian, adakalanya karena
ketidaksukaannya terhadap beberapa faktor, diantaranya tidak cantik dan
tua. “ أ َ ۡو ِّإ ۡع َراضٗ اatau sikap tidak acuh” memalingkan wajahnya atau
berpaling dari sebagian manfaat yang dimiliki istri darinya علَ ۡي ِّه َما ٓ أَن َ فَ ََل ُجنَا َح
ۚص ۡل ٗحا
ُ “ يُصۡ ِّل َحا بَ ۡينَ ُه َماmaka tidak mengapa bagi keduanya mengadakan
perdamaian yang sebenar-benarnya”. Jadi, tidak berdosa atas keduanya,
yakni seorang perempuan yang khawatir akan nusyuz dan sikap acuh tak
acuh dari suaminya, untuk mengadakan perdamaian yang sebenar-
benarnya –karena suaminya telah melewati hari-harinya, menyia-nyiakan
sebagian kewajiban istri yang sudah menjadi hak suami- meminta
perdamaian atas kejadian tersebut, untuk tetap berada dalam ikatan
pernikahan, menahan diri dari akad pernikahan yang mengikat keduanya.
Dalam ayat ini terdapat permasalahan fiqh, yaitu tentang pendapat
orang-orang bodoh yang megatakan bahwa seorang laki-laki yang
mengambil masa muda sorang wanita (kawin dengannya disaat wanita,
itu masih muda), ketika telah tua, maka lelaki tersebut tidak dibolehkan
menceraikannya.
Ulama berkata: “semua bentuk perdamaian dalam kejadian ini
dibolehkan, yaitu dalam bentuk suami memberikan sebagian hartanya
dengan konsekwensi istri harus bersabar, atau istri memberikan sebagian
hartanya dengan konsekwensi suami mengutamakannya, atau suami
mengutamakan dan tetap menjadikannya sebagai istrinya, atau
perdamaian ini terjadi dengan kesabaran atau pengutamaan dengan
tanpa memberi (sesuatupun), semua bentuk perdamaian ini boleh, dan
dibolehkan juga bagi para isrti berdamai, dalam bentuk salah satu
diantara keduanya memberikan sesuatu kepada yang lainnya, untuk
ditukarkan dengan jatah harinya, seperti yang dilakukan oleh para istri
Nabi SAW dimana pada saat itu Rasulullah SAW sedang marah kepada
Shafiyah, kemudian ia (Shafiyah) berkata kepada Aisyah: “perbaikilah
hubunganku dengan Rasulullah SAW, dan aku akan memberikan jatah
hariku untukmu”, cerita ini disebutkan oleh Ibnu Khuwaizimandad dalam
kitab al-Ahkamnya. Aisyah, ia berkata: Rasulullah SAW menemukan
pada diri Shafiyyah sesuatu yang membuat Beliau marah, lalu Shafiyah
berkata kepadaku (Aisyah): “Apakah engkau mau memperbaiki
hubunganku dengan Rasulullah dengan imbalan aku akan memberikan
jatah hariku padamu?” Aisyah berkata “kemudian aku memakai kerudung
milikku yang telah dicelupkan dengan za’faran dan telah aku perciki
dengan za’faran tersebut, lalu aku datang dan duduk disamping Nabi
SAW, Rasul pun bersabda: “Menjauhlah dariku, sebab sekarang bukan
harimu”, aku menjawab, “itulah pemberian Allah yang diberikan kepada
siapa saja yang Dia kehendaki” lalu aku menceritakan tentang apa yang
terjadi, dan Nabi pun rela dengan hal ini”. Dalam kejadian ini terdapat
sebuah pelajaran, yaitu tidak memberikan hak yang sama terhadap para
istri dan mengutamakan yang satu dengan yang lainnya itu tidak
diperbolehkan kecuali dengan izin dan kerelaan dari orang yang
dikalahkan dalam pengutamaan ini.
Berkata Nuhas: “Perbedaan antar nusyuz dengan i’radh yaitu
bahwasannya nusyuz itu menyimpang sedangkan i’radh tidak bicara
kepadanya (istri) dan tidak ramah kepadanya.
Abu Ja’far berkata, “Lafaz ص ۡل ُح خ َۡير
ُّ َوٱلdan perdamaian itu lebih baik,
maksudnya melakukan perdamaian karena telah meninggalkan sebagian
haknya, terus menerus melakukan hal-hal yang diharamkan, dan
menahan diri dari akad pernikahan, lebih baik daripada meminta cerai
dan perpisahan.
Firman Allah ص ۡل ُح خ َۡير
ُّ َوٱلadalah lafaz umum yang mempunyai
pengertian perdamaian sebenarnya yang mententramkan jiwa, dan
menghilangkan perselisihan secara keseluruhan, termasuk dalam
pengertian ini adalah sesuatu yang dijadikan media perdamaian antara
suami dan istri, yang bisa berupa harta, jima’, atau yang lainnya. Kata خ َۡير
artinya lebih baik daripada berpisah, sebab memperuncing perselisihan
dan permusuhan, serta saling membenci merupakan pilar-pilar kejelekan,
Rasulullah SAW bersabda tentang kebencian: “Sesungguhnya ia
merupakan pengikat” yang dimaksud adalah pengikat agama dan bukan
pengikat rambut. Maksudnya bahwa sesuatu yang dapat memperbaiki
hubungan diantara dua orang yang berseteru adalah dengan
meninggalkan kebencian.
Riwayat-riwayat yang sesuai dengan pendapat tersebut adalah:
Dari Ibnu Sirin, ia berkata: “seorang laki-laki datang kepada Umar
untuk menanyakan tentang satu ayat, lalu laki-laki itu membenci ayat
tersebut. Orang lain lalu bertanya tentang ayat ini وزا ً َُو ِّإ ِّن ٱمۡ َرأَة ٌ خَافَ ۡت مِّ ۢن بَعۡ ِّل َها نُش
َ
أ ۡو إِّ ۡع َراضٗ اUmar lalu berkata: “tentang ayat yang serupa dengan ayat ini,
maka tanyakanlah” ia lalu berkata lagi: “Wanita ini mempunyai suami dan
suaminya telah meninggalkannya, kemudian suaminya menikah dengan
seorang gadis demi mendapatkan keturunan. Selama keduanya
mengadakan perdamaian, hal itu diperbolehkan.
Dari Ibnu Abbas, tentang firman Allah وزا أ َ ۡو إِّ ۡع َراضٗ ا ً ش ُ َُوإِّ ِّن ٱمۡ َرأَة ٌ خَافَ ۡت مِّ ۢن بَعۡ ِّل َها ن
ia berkata: “Seorang wanita berada disamping suaminya hingga usianya
tua, lalu suaminya ingin menikah lagi, maka keduanya mengadakan
perdamaian yang sebenar-benarnya, meluangkan satu hari untuk
istrinya, sedangkan dua atau tiga hari untuk istri mudanya.
Dari Aisyah, tentang firman Allah شو ًزا أ َ ۡو ِّإ ۡع َراضٗ ا فَ ََل ُ َُو ِّإ ِّن ٱمۡ َرأَة ٌ خَافَ ۡت مِّ ۢن بَعۡ ِّل َها ن
ۡ
صل ُح خ َۡير ۚ ۡ
ُّ صل ٗحا َوٱل َ َ
ُ عل ۡي ِّه َما ٓ أن يُصۡ ِّل َحا بَ ۡينَ ُه َما َ ُجنَا َحia berkata: “Tentang seorang wanita
yang telah lama berada disisi suaminya, kemudian suaminya berlaku
sombong terhadapnya, dan perempuan itu tidak mempunyai anak yang
dapat menemeninya, kemudian perempuaun itu berkata: “Jangan kamu
ceraikan aku, sekalipun kau halal untuk menceraikanku”
Takwil firman Allah َٱَّللَ َكانَ بِّ َما ت َعۡ َملُون َّ ش ۚ َّح َوإِّن ت ُ ۡح ِّسنُواْ َوتَتَّقُواْ فَإ ِّ َّن ُّ س ٱل ُ ُت ۡٱلَنف
ِّ ض َر ِّ َۡوأُح
١٢٨ َخبِّ ٗيراwalaupun manusia itu menurut tabiatnya kikir. Dan jika kamu
bergaul dengan isterimu secara baik dan memelihara dirimu (dari nusyuz
dan sikap tak acuh), maka sesungguhnya Allah adalah Maha Mengetahui
apa yang kamu kerjakan.
Firman Allah ش ۚ َّح ُّ س ٱل ُ ُت ۡٱلَنفِّ ض َر ِّ ۡ َوأُحpernyataan ini merupakan berita yang
mengabarkan bahwa kikir terdapat pada setiap orang, sebab manusia
diciptakan dengan tabiat kikir sehingga seorang mampu mengatasi sifat
kikir dalam dirinya. Ibnu Jubair berkata: “Kekikiran disini berasal dari
pihak suami dan juga dari pihak istri”. Ibnu Athiyyah berkata: “Ini lebih
bagus karena biasanya seorang istri kikir (untuk memberikan) bagian
yang didapatkan dari suaminya dan biasanya seorang suami kikir untuk
memberikan bagian itu kepada istri tuanya jika ia kawin lagi dengan
wanita muda. Kata asy-Syuhhu lebih tepat diartikan kepada suatu
kepercayaan, keinginan, harta dan lain sebagainya, sedangkan kikir
dalam urusan agama dengan artian tidak melebih-lebihkannya
merupakan sesuat u yang baik, sedangkan kikir dalam urusan lain maka
hal itu tercela, inilah yang dikatakan oleh Allah dalam firman-Nya ََو َمن يُوق
ش َّح ن َۡف ِّسهِّۦ
ُ Dan siapa yang dipelihara dari kekikiran dirinya, (Q.S. al-Hasyr
[59]: 09) adapun kikir dalam bentuk melarang untuk memberikan hak-hak,
yang telah diatur dalam syara’, atau sesuatu yang berhubungan dengan
masalah perangai, maka hal ini dinamakan dengan bakhil, dan itu tercela,
jadi kebakhilan yang berujung pada akhlak yang jelek dan tanda-tanda
ketercelaan adalah tidak mendatangkan apapun kecuali kehinaan.
Sebagian ahli tafsir berpendapat bahwa maksudnya adalah: “Para
wanita itu kikir terhadap bagian mereka, baik bagian pada diri suami
mereka maupun harta mereka”
Riwayat yang sesuai dengan pendapat tersebut adalah:
Dari sa’id bin Jubair, tentang ayat ini ش ۚ َّح ُّ س ٱلُ ُت ۡٱلَنف ِّ ض َر ِّ ۡ َوأُحia berkata:
“Perempuan yang kikir atas bagian yang telah diberikan suaminya, baik
bagian diri suaminya maupun bagian hartanya”.
Sebagian lain berpendapat bahwa maksudnya adalah: “Setiap
individu, baik laki-laki maupun perempuan, pasti bersikap kikir dengan
hak yang menjadi miliknya”.
Riwayat yang sesuai dengan pendapat tersebut adalah:
Ibnu Wahab berkata: Aku mendengar Zaid berkata tentang firman
Allah ش ۚ َّح ُ ُت ۡٱلَنف
ُّ س ٱل ِّ َوأ ُ ۡحia berkata: “tidaklah senang untuk memberikan
ِّ ض َر
sedikit pun, lalu dibolehkan, dan tidak senang untuk membagi harta
dengan orang lian, lalu bersimpati terhadapnya”.
Firman Allah ٱَّللَ َكانَ ِّب َما ت َعۡ َملُونَ َخ ِّب ٗيرا
َّ َو ِّإن تُحۡ ِّسنُواْ َوتَتَّقُواْ فَإ ِّ َّنDan jika kamu
bergaul dengan isterimu secara baik dan memelihara dirimu (dari nusyuz
dan sikap tak acuh), maka sesungguhnya Allah adalah Maha Mengetahui
apa yang kamu kerjakan.
Jika kalian sabar menahan apa yang tidak kalian sukai dari mereka
dan kalian tetap membagi giliran kepada mereka sama dengan istri kalian
yang lainnya, maka sesungguhnya Allah maha mengetahui hal tersebut,
dan kelak Dia akan memberikan kepada kalian balasan pahala yang
berlimpah atas sikap kalian yang bijak ini.
D. Istinbat Hukum dari Ayat Tersebut
Pada ayat ini, Allah mengkabarkan hukum-hukum yang dapat dijadikan
fatwa bagi perempuan, yaitu:
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Kesimpulan dari penafsiran surah An-Nisa ayat 128 ialah jika istri khawatir akan
nusyuz yang datang dari suaminya maka Allah membolehkan salah satu diantara
mereka untuk melakukan perdamaian dengan cara mengikhlaskan atau salah satu
diantara mereka agar mengalah akan sebagian hak dan kewajiban salah satu diantara
keduanya untuk digugurkan dengan tujuan untuk mempertahankan keutuhan rumah
tangga, atau demi menghindari terjadinya perceraian. Karena perdamaian dengan cara
apapun dibolehkan demi menghindari terjadinya perceraian.