Disusun oleh :
Kelompok 8
Puji syukur kami panjatkan kepada ke hadirat Allah سبحانه وتعالى. yang
telah memberikan rahmat, taufik serta hidayahnya sehingga makalah ini dapat
dikerjakan dengan tepat waktu. Shalawat dan salam tak lupa kami haturkan
kepada junjungan nabi agung kita yakni Nabi Muhammad ﷺ. yang telah
menuntun kita dari jalan gelap gulita menuju jalan yang terang benderang. Dalam
pembuatan makalah ini, penulis telah memberikan usaha yang terbaik serta kami
dalam keadaan sehat tanpa kekurangan suatu apapun.
Makalah ini disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Fiqh Mawaris
yang judul “Gharawayn dan Musytarakah”. Kami mengucapkan terimakasih
kepada teman-teman terlebih kepada Bapak Abdul Haris, M.HI selaku dosen
pengampu mata kuliah yang telah memberikan kami dorongan dan motivasi,
sehingga kami dapat mengerjakan serta menyelesaikan makalah ini. Serta penulis
mengucapkan terimakasih banyak kepada para pihak yang telah berpartisipasi
dalam pembuatan penulisan makalah ini.
Terlepas dari semua itu, makalah ini masih jauh dari kata sempurna baik
dari segi tata bahasa, penggunaan tanda baca, susunan kalimatnya serta kurangnya
riset yang mendalam. Oleh karena itu, kami sangat mengharapkan kritik dan saran
yang membangun dari pembaca agar penulisan makalah ini dapat menjadi lebih
baik lagi. Dengan demikian, kami memohon maaf yang sebesar-besarnya atas
kesalahan dan kekurangannya. Semoga dengan adanya makalah ini dapat
menambah wawasan serta memberikan manfaat bagi kita semua.
Penyusun
i
DAFTAR ISI
ii
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Salah satu ketentuan hukum Islam yang diatur secara terperinci adalah
masalah kewarisan, baik itu diatur melalui ketetapan Allah dalam al-Qur’an
maupun ketetapan Rasulullah ﷺdalam haditsnya. Jika terdapat masalah-
masalah kewarisan yang belum diatur oleh keduanya, maka berperanlah
lembaga ijma atau ijtihad para sahabat, imam-imam madzhab dan mujtahid-
mujtahid kenamaan yang berfungsi memecahkan persoalan tersebut.
Masalah kewarisan tersebut dikenal dengan sebutan ilmu
mawaris atau ilmu faraidh yang telah ada sejak masa Rasulullah ﷺdan
pertama kali diturunkan dalilnya pada QS. An-Nisa’ ayat (11) yang artinya:
“Allah mensyariatkan bagimu tentang (pembagian pusaka untuk) anak-
anakmu. Yaitu: bahagian seorang anak lelaki sama dengan bahagian dua
orang anak perempuan; dan jika anak itu semuanya perempuan lebih dari
dua, maka bagi mereka dua pertiga dari harta yang ditinggalkan; jika anak
perempuan itu seorang saja, maka ia memperoleh separuh harta. Dan untuk
dua orang ibu-bapa, bagi masing-masingnya seperenam dari harta yang
ditinggalkan, jika yang meninggal itu mempunyai anak; jika orang yang
meninggal tidak mempunyai anak dan ia diwarisi oleh ibu-bapanya (saja),
maka ibunya mendapat sepertiga; jika yang meninggal itu mempunyai
beberapa saudara, maka ibunya mendapat seperenam. (Pembagian-
pembagian tersebut di atas) sesudah dipenuhi wasiat yang ia buat atau (dan)
sesudah dibayar hutangnya. (Tentang) orang tuamu dan anak-anakmu, kamu
tidak mengetahui siapa di antara mereka yang lebih dekat (banyak)
manfaatnya bagimu. Ini adalah ketetapan dari Allah. Sesungguhnya Allah
Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana”.
Dari nash tersebut, Rasulullah kemudian bersabda tentang urgensi dari
mempelajari dan mengajarkan ilmu mawaris dalam hadits beliau ﷺ. yang
artinya:
“Pelajarilah Al-Qur'an dan ajarkanlah kepada manusia (orang banyak) dan
pelajarilah faraidh dan ajarkanlah kepada orang banyak, karena
sesungguhnya aku adalah manusia yang pada suatu ketika akan mati dan ilmu
pun akan terangkat (hilang) dan boleh jadi akan ada dua orang bersengketa
(berselisih) dalam faraid dan masalahnya, dan mereka tidak menjumpai
orang yang memberi tahu kepada mereka (hukum-hukumnya dan
penyelesaiannya).” (HR. Ahmad Tirmidzi dan Nasa'i).
Berdasarkan hadits tersebut, fuqaha yang hidup semasa dengan nabi
dan setelahnya menetapkan hukum mempelajari ilmu mawaris adalah fardhu
1
kifayah. Ilmu ini menjadi bagian sangat penting untuk dipelajari agar dalam
pelaksanaan pembagian harta warisan tidak terjadi kesalahan serta dapat
dilaksanakan dengan seadil-adilnya, sebab dengan mempelajari hukum
kewarisan Islam, maka seorang muslim akan dapat menunaikan hak-hak yang
berkenaan dengan harta warisan setelah ditinggalkan oleh si pewaris
(muwarits) dan disampaikan kepada ahli waris (mauruts) yang berhak untuk
menerimanya.
Seiring dengan perkembangan Islam kala itu, semakin beragam pula
permasalahan mawaris dalam masyarakat. Ditemukan permasalahan-
permasalahan baru seputar kewarisan yang tidak diatur secara eksplisit dalam
nash, baik Al-Qur’an maupun hadits, sehingga muncul cabang ilmu fiqh
mawaris yang digagas oleh para sahabat dan fuqaha sepeninggal Rasulullah ﷺ.
Salah satu sahabat yang mengadakan pembaruan hukum dalam fiqh mawaris
ialah Umar bin Khattab r.a. Umar telah banyak mengambil kebijakan dalam
hukum yang tidak sesuai dengan teks ayat-ayat Al-Qur’an. Salah satu gagasan
beliau dalam fiqh mawaris ialah kasus gharawayn dan musytarakah.
B. Rumusan Masalah
1. Apa pengertian dari Gharawayn dan Musytarakah?
2. Bagaimana sejarah munculnya permasalahan Gharawayn dan
Musytarakah?
3. Bagaimana contoh permasalahan Gharawayn dan Musytarakah serta
penyelesaiannya?
C. Tujuan Penelitian
1. Mengetahui pengertian dari Gharawayn dan Musytarakah.
2. Mengetahui dan memahami sejarah munculnya permasalahan Gharawayn
dan Musytarakah.
3. Memahami contoh permasalahan Gharawayn dan Musytarakah serta
penyelesaiannya
2
BAB II
PEMBAHASAN
1
Ma’luf al-Yasu’iy dan Totel al-Yasu’iy, “Al-Munjid Fi Lughah Wa A’lam”, (Beirut: Dar al-
Mashreq, 2005), hlm. 546.
2
Ahmad Rofiq, “Fiqh Mawaris”, Lembaga Studi Islam dan Kemayarakatan (LSIK), Raja
Grafindo Persada, Jakarta, cet 1, 1937, hal.103-104.
3
perempuan), dan dua atau lebih saudara seibu (baik laki-laki atau
perempuan).3
Dalam hal ini sesuai dengan ketentuan:
1. Suami mendapatkan ½, karena pewaris tidak mempunyai anak.
2. Ibu/nenek mendapatkan 1/6, karena pewaris mempunyai beberapa
saudara.
3. Saudara (i) seibu mendapatkan 1/3, karena lebih dari satu.
4. Saudara laki-laki sekandung menjadi ashabah bin nafsi, atau saudara
sekandung laki-laki dan perempuan menjadi ashabah bil ghairi.
Setelah dibagikan, ternyata harta warisan habis terbagi untuk dzawil
furudh, sementara saudara sekandung yang menjadi ashabah tidak
mendapatkan apa-apa.
فَ َما بَِق َي فَ ُه َو ِِل َْوََل َر ُج ٍل ذَ َك ٍر ) ُمتَّ َف ٌق َعلَْي ِه, ض ِِب َْهلِ َها ِ
َ اَلْ َفَرائ
Artinya: “Dari Ibnu Abbas bahwa Rasulullah ﷺbersabda: “Berikan
bagian warisan kepada ahli warisnya, selebihnya adalah milik laki-laki
yang paling dekat.” (HR.Muttafaq alaih).
3
Wahbah al-Zuhaili, “al-Fiqh al-Islamy wa Adillatuhu”, Jld. 10, (Damsyik: Dar al-Fikr, 2006),
Hlm. 7807; Hasbiyallah, “Belajar Mudah Ilmu Waris”, (Bandung, Remaja Rosdakarya, 2007),
Hlm.110.
4
Abdullah bin Abdurrohman Al-Bassam. Taudhihul Ahkam Min Bulughil Marom: Bab Faraidh.
https://www.masjidal-jihad.com/tausiyah/bab-faraidh-kitab-taudhih-al-ahkam-hadits-ke-1/
4
Ashabah Ghairu Binafsih. Dalam pembahasan Gharawayn pewaris hanya
meninggalkan ahli waris diantaranya yakni suami, ibu dan bapak, atau
istri, ibu dan bapak. Sehingga, apabila merujuk pada perhitungan hukum
waris Islam maka, tidak akan sesuai dengan hukum asal dalam Q.S. An-
Nisa (4) : 11 yang menyebutkan bagian laki-laki dengan perempuan yakni
dengan perbandingan 2:1, melainkan hasil perhitungan menunjukkan
kemiripan atau kesamaan antara laki-laki dengan perempuan.
Kemajuan dalam suatu peradaban membuat konflik-konflik baru
yang tidak ada dalam Nash ini muncul.5 Oleh karena itu, untuk mengisi
kekosongan hukum salah satu Khulafaur Rasyidin yakni Umar bin Khattab
r.a membuat sebuah terobosan baru dengan melakukan sebuah ijtihad yang
kemudian mencetuskan sebuah hukum baru berlandaskan kepada qiyas
sebagai yurisprudensi. Hasil dari ijtihad tersebut dikenal dengan sebutan
Gharawayn (Umariyatain).
Dengan demikian, untuk mngetahui apakah suatu kasus itu
tergolong khusus (Gharawayn) atau tidak dapat dilihat dari siapa ahli
warisnya. Apabila ahli waris hanya terdiri dari suami, bapak dan ibu atau
istri, bapak dan ibu maka, masalah ini dinamakan gharawayn. Untuk lebih
memahami dapat dilihat pada tabel 1.1 dan 1.2.
Tabel 1.1. Jika ahli waris adalah isteri, ibu dan bapak (pewaris laki-laki)
Ahli Asal Masalah =
Bagian Keterangan
waris 12
5
Muhammad Ali Mahmudi, “Ketentuan Gharawayn dalam Pasal 178 Ayat(2) Kompilasi Hukum
Islam Perspektif Teori Maslahah Muhammad Sa’id Ramadlan Al-Butiy” (Uin Maulana Malik
Ibrahim Malang, 2016).
5
Tabel 1.2. Jika ahli waris adalah suami, ibu dan bapak (pewaris perempuan)
Ahli waris Bagian Asal Masalah = 6 Keterangan
Suami ½ 1/2 x 6 = 3
Bagian bapak
Ibu 1/3 1/3 x 6 = 2 setengah lebih
kecil dari bagian
Asabah ibu yakni 1:2
Bapak Sisa dari 6 - 5 = 1
Binafsih
Tabel 2.1. Jika ahli waris adalah isteri, ibu dan bapak (pewaris suami/laki-laki)
dalam konsep Gharawayn
Ahli waris Bagian Asal Masalah = 12 Keterangan
6
Tabel 2.2. Jika ahli waris adalah suami, ibu dan bapak (pewaris perempuan) dalam
konsep Gharawayn
2. Musytarakah
Musytarakah juga sama seperti Gharawaynyang mana muncul
dan ditetapkan oleh sahabat yakni Umar bin Khattab. Konsep
Musytarakah ini disepakati oleh beberapa sahabat lainnya salah satunya
Zaid bin Tsabit yang kemudian menjadi salah satu dasar dalam pendapat
madzhab Imam Syafi’i.6
Masalah Musytarakah merupakan masalah khusus yang
menyelesaikan kewarisan antara saudara seibu (dalam perkara ini, laki-laki
dan perempuan sama) dengan saudara laki-laki seibu sebapak. Adapun
dalam kasus muyarakah ahli waris terdiri dari suami, ibu atau nenek,
saudara seibu lebih dari 1 orang dan saudara laki-laki seibu sebapak.
Untuk lebih lanjut dapat melihat dari tabel 3.1.
6
Musthafa Al-Khin, Al-Fiqhul Manhaji; Darul Qalam, Damaskus.1992, juz V.hlm.113.
7
Suami ½ 1/2 x 6 = 3 Dari
perhitungan
Ibu 1/6 1/6 x 6 = 1
ini saudara
Sdr pr si 2 seibu
1/3 1/3 x 6 = 2
Sdr lk si 2 sebapak
tidak
Ashabah bi
Sdr lk sisb 5 Nihil mendapat
nafsi
bagian
Dari tabel di atas dapat kita ketahui apabila masalah ahli warisnya
adalah suami, ibu atau nenek, saudara seibu lebih dari satu orang, dan
saudara laki-laki seibu sebapak dalam perhitungan warisnya menggunakan
rumus biasa maka, akan terdapat keganjalan. Hal ini karena ahli waris
yang hanya sebagai saudara seibu dari mayit mendapatkan bagian,
sedangkan saudara seibu sebapak mayit (saudara kandung) tidak
mendapatkan bagiannya karena tidak terdapat sisa harta. Oleh karena itu,
untuk menjawab persoalan ini terciptalah konsep Musytarakah yang
perhitungannya sebagaimana dalam tabel 3.2.
Sdr pr si 2
1/3
Sdr lk si 2 1/3 x 6 = 2 x 9 18
Sdr lk sisb 5
8
bagian warisan, sedangkan saudara laki-laki seibu sebapak tidak
mendapatkan bagian. Adapun untuk saudara seibu sebapak yang menjadi
sayarat hanyalah saudara seibu sebapak laki-laki (sisb) saja, sedangkan
saudara perempuan seibu sebapak (sisb) tidak. Hal ini karena jika ada
saudara laki-laki seibu sebapak maka saudara perempuan seibu sebapak
akan menjadi asabah bil ghairihi. Dan apabila saudara seibu hanya 1 maka,
tidak perlu menggunakan konsep Musytarakah karena pasti akan sisa.7
Ahli Waris JP AM
Rp.30.000.000 (sisa
Suami ½ x Rp.60.000.000
Rp.30.000.000)
7
Suhrawardi K.lubis, Komis Simanjuntak. Hukum Waris Islam (Lengkap & Praktis). (Jakarta :
Sinar Grafika, 2004). Hlm. 142-143.
9
suami)
Jumlah Rp.60.000.000
Ahli Waris JP AM
Rp.22.500.000 (sisa
Istri ¼ x Rp.90.000.000
Rp.67.500.000)
Jumlah Rp.90.000.000
2. Musytarakah
Musytarakah terjadi apabila si mayit meninggalkan suami, ibu atau
nenek, dua orang saudara seibu atau lebih, dan saudara laki-laki kandung. Inti
dari permasalahan Musytarakah adalah saat ahli warisnya sebagaimana
tersebut di atas, maka saudara kandung laki-laki tidak akan mendapatkan
warisan karena ia adalah sebagai ‘ashabah.
Ahli waris:
10
Ahli Waris Bagian AM = 6 Perolehan Harta
Ibu ⅙ 1 ⅙ x 360 jt = 60 jt
2 Saudara Seibu
⅓ 2 2/6 x 360 jt = 120 jt
Saudara LK kandung
11
BAB III
KESIMPULAN
12
DAFTAR RUJUKAN
13